Unggas Swasembada
Dalam bidang perunggasan kita sebagian diekspor. Populasi ayam pedaging
pada 2004 berjumlah 889,1 juta ekor dengan produksi daging unggas 1,2 juta
ton. Tingkat konsumsi daging unggas 3,65 persen kg per kapita pada 2003
(Rusfida A.,2005), meningkat rata-rata 5 persen per tahun selama kurun waktu
tiga tahun. Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, tingkat
konsumsi kita termasuk rendah. Malaysia 36,7 kg/kapita/tahun, Thailand 13,5
kg/kapita/tahun, Filipina 7,5 kg/kapita/tahun, Vietnam 4,6 kg/kapita/tahun, dan
Myanmar 4,2 kg/kapita/tahun. Apalagi dengan merebaknya virus flu burung,
tingkat konsumsi daging unggas menurun drastis. Perlu waktu lama untuk
meyakinkan masyarakat bahwa mengkonsumsi daging unggas aman bagi
kesehatan.
Untuk daging kambing dan domba kita sudah berswasembada dengan produksi
masing-masing 58.900 ton dan 66.500 ton pada 2005. Demikian juga untuk
daging kerbau dengan produksi mencapai 40.800 ton pada 2005. Jumlah
populasi kerbau pada 2004 mencapai 2,5 juta ekor.
Mutu Produk
Yang juga perlu menjadi perhatian adalah subtema tentang mutu produk pangan.
Sebenarnya hal ini sudah dilakukan sejak dulu, terutama untuk produk ikan.
Udang windu, misalnya, memiliki persyaratan yang tinggi agar dapat lolos ekspor
terutama menyangkut hama penyakit. Persyaratan sanitary dan phito sanitarynya merupakan salah satu kesepakatan GATT Uruguay, harus bebas dari bakteri
Salmonella,E Colli dan bakteri pathogen. Ikan tuna yang kita ekspor juga
memiliki persyaratan dasar agar dapat di ekspor, seperti, berat minimal 10 kg per
ekor. Hal ini berkaitan dengan konservasi biota laut.
Mutu daging kita juga menjadi persoalan serius belakangan ini. Ada daging
unggas yang terkena virus flu burung, daging sapi dan kambing terkena penyakit
mulut dan kuku.juga ada daging dan ikan yang disebut-sebut menggunakan
formalin. Kemudian ada daging sapi gelondongan, banyak mengandung air,
sehingga mudah busuk.
Semua hal di atas menurunkan mutu produk pangan kita. Siapa yang
bertanggung jawab untuk keamanan pangan ini? Tentunya aparat Dinas
Peternakan. Karantina Hewan, Badan/Kantor Ketahanan pangan setempat.
Merekalah yang bertanggung jawab memeriksa dan mengawasi produsen
daging dan ikan untuk memastikan bahwa pangan tersebut aman. Sanksi berat
kepada yang melanggar ketentuan tersebut harus dijatuhkan agar memberikan
efekjera. Kita memiliki UU Pangan No. 7 tahun 1996 yang menjadi payung
hukumnya.
Pengawasan lalu lintas ternak sangat penting untuk mencegah menyebarnya
penyakit menular hewan dan ikan. Lemahnya pengawasan lalu lintas hewan
antarprovinsi dan pulau merupakan salah satu penyebab merebaknya virus flu
burung. Jika kita mampu melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum
terhadap pelanggaran keamanan pangan maka masalah mutu pangan dapat
diatasi.
Viktor Siagian
Penulis adalah peneliti di BPTP Sumsel
Dimuat dalam Harian Bisnis Indonesia, 2 Januari 2008