Anda di halaman 1dari 4

Catatan harian

Kamis, 13 Maret 1986


[buku tulis bersampul Meriam Bellina, hal.66]
Terkadang aku menyesali sifatku yang plin-plan. Terkadang pula aku berterima kasih
kepadanya di saat-saat aku dilanda kebosanan.
Uaaah, capek. Bosan.
Setiap tempat tinggal baru, catatan harianku juga baru. Yang lama nasibnya hanya
sebagai barang tumpukan.
Tempat tinggal pertama sejak lahir, di Jalan Nuri. Sebelum aku lahir orang tua dan
kakak-kakak sudah merasakan menjadi gypsi (berpindah-pindah Red.). Di Jalan
Nuri catatan harianku cuma kertas selembar. Jopi menganjurkan membuat catatan
harian meskipun hanya selembar. Saat itu aku belum serius menulis diary. Jadi
catatanku mengenai masa-masa kecil hampir sama sekali tidak ada. Dalam bentuk
tulisan. Sedang di kepalaku untuk mengingat saat-saat lampau perlu dibantu lagulagu tua. Sedangkan lagu tua aku tak dapat memastikan mana yang [benar-benar]
pernah kudengar.
Masa kecil aku selalu sibuk merenung. Melamun, berpikir, bertanya-jawab dan
mengambil kesimpulan tentang segalanya. Waktu itu aku selalu tertarik dengan
kebetulan yang terlalu persis. Kalau tak ada maka kucari sendiri dalam kesimpulankesimpulan lain.
Di taman kanak-kanak aku suka membaca. Caraku ngomong juga menjadi bahasa
buku. Aku juga sering humor. Tapi Jopi dan Oi selalu mengatakan:
Bodok sekali kau. Sudah tau masih pura-pura bikin bodoh diri sendiri.
Kata-kata mereka benar. Tapi apakah tidak boleh kalau bercanda?

Catatan harian
Minggu, 16 Maret 1986
[buku tulis bersampul Meriam Bellina, hal.66]
Aku kembali dilanda kebosanan. Di saat-saat seperti itu tulisanku cenderung lebih
romantis dan aku lebih memperhatikan lurus tidaknya [tulisan tanganku].
Perasaanku Kamis pagi itu terlalu berlebihan [ada dua entry pada hari Kamis. Yang
pagi tidak/belum diekspos Red.] . Aku terlalu meributkan hal-hal yang tidak
[bermakna] apa-apa. Setelah itu aku kembali seperti biasanya. Biasa bagaimana?
Tak tahulah.
Yang dulu-dulu kucatat tidak sama dengan yang baru-baru kutulis. Catatan sampai
kelas satu esempe betul-betul catatan, mengenai kejadian yang kulihat, ditambah
secuil kesanku. Sekarang, aku kebanyakan menceritakan isi hatiku dan hubungan
sebab-akibatnya. Jadinya akupun betul-betul rindu pada hari-hari aku menulis hanya
catatan harian. Pada saat demikian aku terkadang berkhayal tulisanku akan
ditemukan beratus tahun kemudian dan dijadikan film seri seperti halnya yang
terjadi pada diary Laura Ingalls Wilder. Saat inipun harapan itu masih ada, tapi [aku]
tidak sesemangat dulu.
Untuk bernostalgia, mengenang hari-hari lalu dan meresapi kebenaran-kebenaran
dan berusaha menghempaskan segala ketololanku, aku mulai lagi mencatat. Seperti
yang kubuat hari Kamis. Namun tulisan yang kubuat siang itu tidak selesai. Karena
aku cepat menutup buku ada yang datang. Sri dan temannya Ningsih. Aku lagi
duduk di depan rumah Asih.
Sebenarnya penerawangan kembali itu sudah kulakukan, kubuat di dalam buku lain.
Aku benar-benar bosan. Pertama membuat diary di Panakkukang, buku kecil itu lari
hilang ke mana-mana. [Sebelumnya] Di Jalan Nuri hanya sekali dan hanya selembar
kertas lepas. Jalan Nuri, Panakkukang, terus Aspol Mawas. Di sana sama sekali tak
ada catatan. [Di] Lorong X atau Jalan Cendrawasih V, akhirnya kutumpahkan tinta
ke atas buku ini.
Begitu jauh. Begitu lama aku tidak mengenal diriku sendiri.
Begitu lama.

Catatan harian
Jumat, 4 April 1986
[buku tulis bersampul Meriam Bellina, hal.74-76. Entry terakhir]
[Maaf, ada beberapa bagian yang disensor]
Tadi pagi seperti kebiasaan akhir-akhir ini setelah diperintah beberapa pagi oleh Ida,
aku menyapu dengan Syamsir yang lebih dulu kerja. Hampir tiap pagi aku habiskan
waktu kosong sebelum teman-teman datang dengan menyapu kelas. Kalau Ida
tidak ngotot tiap pagi menyuruhku maka akupun tidak akan terbiasa.
Begitu lama setelah hiruk pikuk telah mengusir pagi, aku sedang berdiri di dekat
pintu kelas. Syamsir keluar dan langsung bertanya:
Ari, Winny itu siapa? Siapa itu Winny
Aku belum mengerti maksudnya sampai ia masuk kembali dan ketika aku masuk
kudapati dia lagi membaca karanganku. Aku ditanggapi dengan nyengir bagus.
Meskipun aku tidak tahu [bagaimana] perasaanku [saat itu]. Aku duduk. Dia sudah
selesai. Dia bertanya lagi:
Ari, saya tau itu. Derek itu kau, baru Winny lanjutannya kurang jelas. Dia
bangkit bertanya sama Klementin dan menyebutkan, D, I, atau H. Pokoknya salah
satu.
Pulang sekolah dengan jarak waktu yang lama sekali aku di rumah Ar, menceritakan
Syamsir yang terlalu berlebihan menilai cerpenku. Karena ingin tahu, Ar pun
membacanya. Ketika itu kaset tape diputar dan aku membaca [majalah] dan Ar
tiduran dan adiknya Al sibuk bermain. Ar setelah selesai membaca tidak
mengeluarkan suara. Padahal sebelumnya dia mengomentari beberapa alinea
pertama.
Karanganku itu tentang Derek dan Winny. Lokasinya di dalam kelas. Garis besarnya
begini:
Derek punya kebiasaan ngunyah gulgulkar (permen karet). Dia juga suka melipat
buku, menyisipkan di kantong belakang celana dan pernah jadi ketua kelas. Dia
pernah bersandiwara menjadi anak nakal menggoda cewek seisi kelas dan ributribut lainnya untuk menghilangkan kesempatan jadi ketua kelas. Jabatan yang
dijauhinya, tapi tetap menjadi miliknya. Dia terpilih. Bekas korbannya, salah satu,
membekas di hatinya. Begitu pula sebaliknya. Dia membekas di hati korbannya
bekas korbannya. Nama cewek itu Winny.
Winny punya tempat duduk di bangku paling belakang. Dia punya mata bagus,
suara bagus. Dia naksir Derek gara-gara Derek pernah menggodanya. Dan
sandiwara menjadi kenyataan.

Naksir itu dalam cerita kutulis cinta. Winny tidak tahan setelah Derek membiarkan
cinta itu mengambang, setelah Derek dan Winny kelas dua, setelah Derek tidak lagi
ketua kelas. Di kelas kosong ketika kesempatan keduanya hanya keduanya, Winny
menghamburkan segala uneg-unegnya. Derek yang membenci penghamburan isi
hati akhirnya berterus terang juga. Tentang sandiwaranya. Dan jadilah kepedihan
hadir di situ. Winny menuduh Derek pesimis, pengecut, penakut. Memintanya dan
bertanya apakah cinta itu menjijikkan baginya. Derek mengaku pernah jatuh cinta
tapi tidak menjawab pertanyaan Winny.
Di akhir karangan yang menghabiskan hampir persis empat lembar itu, senyum
sendu menghiasi bibir kedua remaja.
Dua pasang lengan berpisah menjauh meninggalkan bekas. Bersama mereka
melangkah keluar. Di luar ketemu teman-teman yang mau baris, disambut dengan
ledakan.
Hei, Derek. Kau apakan Edu yang barusan ngomong cuma bisa melongo meliat
keduanya berpisah tanpa koma dan titik. Karena mereka tidak mengatakan apaapa.
Dalam kenyataannya karangan itu hanya kuanggap konsep dari cerita
selengkapnya. Tidak langsung Winny dan Derek ketemu pagi-pagi di dalam kelas.
Tapi cerita selengkapnya itu tidak pernah ada. Pada kenyataannya cerita itu belum
selesai.
--- V --Malam ini aku pulang rumah sepi. Masuk kamar, Yeri [sedang] menulis. Aku
menyanyi pelan dari lagu Without Love Tom Jones yang dinyanyikan ulang Elvis
Presley. Yeri melarang, boleh dibilang marah.
Jangan menyanyi.
Aku keluar kamar. Kulihat kamar Mami dan Papa gelap. Masuk kamar Lani, ada Lani
dan Mami. Mami lagi tiduran dengan sedikit-sedikit melap ingus. Dari kamar Papa
terdengar bunyi air.
Aku lebih tenang daripada dulu. Dan lebih terguncang dibanding dulu. Entah ada
cekcok dan keperihan apa yang ada tadi, atau tidak ada apa-apa. Yang jelas aku
semakin lirih menyenandungkan Without Love-nya Tom Jones.

Anda mungkin juga menyukai