Oleh :
Golongan / Kelompok : C / 8
Brian Agata Bagaskara (131510501229)
Handika Dwi Anggara
(131510501226)
(131510501230)
Tyas Pangastuti
(131510501234)
Iffatul Azizah R
(131510501235)
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
BAB 1. PENDAHULUAN
alat pemanenan padi yang sangat populer di zaman yang serba modern ini.
Dengan menggunakan alat itu, pemanenan padi akan berjalan sangat cepat
dibandingkan dengan menggunakan ani-ani dan sabit.
Pengeringan adalah salah satu usaha dalam penanganan pasca panen padi
bertujuan untuk menurunkan kadar air gabah menjadi maksimum 14%. Kegiatan
ini merupakan salah satu kegiatan yang penting dalam
memperbaiki
/mempertinggi mutu gabah, sehingga gabah tidak akan mudah rusak pada waktu
disimpan. Harga jualnya tinggi, dan akan diperoleh rendemen serta mutu beras
yang baik waktu digiling. Untuk mengurangi butir kuning, harus melakukan
pengeringan segera setelah perontokan dan pembersihan. Pengeringan gabah
dapat dilakukan secara alami maupun mekanik.
Didasarkan pada fakta-fakta di atas, penulis ingin mengetahui bagaimana
cara memanen padi yang baik agar kualitas dan kuantitas tetap terjaga. Di
samping itu, penulis juga ingin mengetahui kinerja dari alat-alat pemanenan padi
mulai dari tradisional hingga ke zaman modern. Selain itu, penulis juga ingin
mengetahui tentang pasca panen pada tanaman padi.
1.2 Tujuan
1. Untuk mengenal kepada mahasiswa tentang kretria panen, cara dan peralatan
panen penanganan pasca panen serta dapat menghitung potensi produksi padi.
BAB 3. METODOLOGI
hasil panen di suatu wadah atau tempat yang dialasi. Panen dengan menggunakan
mesin akan menghemat waktu, dengan alat Reaper binder panen dapat dilakukan
selama 15 jam untuk setiap hektar, sedangkan dengan Reaper harvester panen
hanya dilakukan selama 6 jam untuk 1 hektar. Perontokan hasil panen
menggunakan pedal thresher. Perontokan dengan pengebotan (memukul-mukul
batang padi pada papan) sebaiknya dihindari karena kehilangan hasilnya cukup
besar, bisa mencapai 3,4% (Norsalis, 2011).
2.2 Perkembangan Teknologi Panen Padi di Indonesia
2.2.1 Periode Sebelum Tahun 1969 (Pra-Revolusi Hijau)
Sebelum tahun 1969, hampir semua petani menanam padi lokal dengan
postur tanaman tinggi dan gabah sukar rontok. Untuk itu, padi dipanen
menggunakan aniani dengan cara memotong malai dan padi dibendel dengan tali
bambu. Gabah dijemur di halaman rumah dengan alas dari anyaman bambu. Hasil
panen disimpan dalam bentuk gabah kering dengan cara ditumpuk. Proses
pemberasan gabah dilakukan dengan cara ditumbuk dalam lesung menggunakan
alu. Pada saat itu belum diketahui istilah pascapanen.
2.2.2 Periode 1970-1985 (Revolusi Hijau)
Pada
periode
ini,
International
Rice
Research
Institute
(IRRI)
mengintroduksi varietas unggul PB5 dan PB8 pertama kali di Indonesia. Selain
berdaya hasil tinggi dan reponsif terhadap pemupukan, varietas unggul tersebut
memiliki postur pendek dan gabahnya mudah rontok, sehingga terjadi perubahan
cara panen dari menggunakan ani-ani menjadi sabit. Demikian pula perontokan
gabah, dari cara diiles menjadi dibanting atau digebot.
2.2.3 Periode 1986-1999 (Pascaswasembada Beras)
Pada periode ini, penanganan pascapanen padi mendapat perhatian yang
lebih besar dari pemerintah, tercermin dari dikeluarkannya Keputusan Presiden
No. 47/1986, tentang Peningkatan Penanganan Pascapanen Hasil Pertanian. Hal
ini membuahkan hasil sebagaimana terbukti dari peningkatan jumlah mesin
perontok (thresher) yang pada tahun 1973 hanya 1.347 unit menjadi 15.149 unit
pada tahun 1981. Pada tahun 1988, jumlah thresher meningkat tajam menjadi
103.019 unit dan pada tahun 1998 mencapai 367.250 unit (Ananto et al. 2004).
Walaupun perkembangan mesin perontok cukup meyakinkan, total kehilangan
hasil gabah masih tinggi, yaitu 21,0% pada tahun 1986/1987 (BPS 1988) dan
20,5% pada tahun 1995 (BPS 1996). Unit penggilingan padi juga berkembang
pesat, yaitu dari 21.627 unit pada tahun 1973 dan 26.936 unit pada tahun 1988
menjadi 42.551 unit pada tahun 1998 dengan jumlah mesin penggilingan 37.071
unit.
2.2.4 Periode 2000 Sampai Sekarang (Reformasi dan Desentralisasi)
Pada periode ini, pemerintah melalui Badan Litbang Pertanian berupaya
mengembangkan inovasi teknologi pascapanen padi melalui pelatihan dan
demonstrasi bagi para penyuluh. Upaya ini ternyata membuahkan hasil di
beberapa provinsi. Di Lampung, misalnya, tingkat kehilangan hasil padi turun
menjadi 13,2% (Dinas Pertanian Provinsi Lampung 2006), di Jawa Tengah 10,6%
(Dinas Pertanian Provinsi Jawa Tengah 2006), di Bali 11,1% (Dinas Pertanian
Provinsi Bali 2006), dan di Kalimantan Selatan bahkan hanya 7,38% (Dinas
Pertanian Provinsi Kalimantan Selatan 2006) (Setyono, 2010).
2.3 Hama pada Tanaman Padi
2.3.1 Walang Sangit (Leptocorixa acuta)
Imago bertubuh ramping dengan tungkai dan antena relatif panjang.
Walang sangit akan bau khas bila diganggu, apalagi bila badannya ditekan. Imago
aktif berterbangan pada malam hari dan mudah tertarik dengan cahaya lampu atau
obor. Stadium imago berlangsung selama 2-3 bulan. Imago bertina dapat bertelur
sebanyak 200-300 butir. Telur diletakkan secara kelompok (10-20 butir
perkelompok), atau satu persatu di permukaan atas daun dekat tulang daun utama
saat tanaman padi mulai berbunga. Warna telur merah kecolatan dengan bentuk
mirip cakram. Stadium telur berlangsung sekitar 5-8 hari. Nimfa berwarna hijau
kekuningan dengan panjang tubuh 2-14 mm melalui 5 instar. Nimfa hidup
bergerombol dan lebih aktif dibanding imago. Lama stadium nimfa sekitar 17-27
hari.
Walang sangit cenderung menyerang tanaman padi yang mulai berbunga.
Imago dan Nimfa walang sangit menghisap cairan batang dan bulir padi pada fase
masak susu atau yang mulai mengeras, tanpa melubanginya. Bulir padi yang telah
menguning tidak diganggunya. Selanjutnya pada bulir padi terdapat bercak putih
yang lalu berubah menjadi coklat. Bulir padi mengecil, tapi tidak hampa.
Kerusakan akibat imago lebih hebat dibandingkan nimfa. Pengendaliannya
dengan cara :
a. Tanam serempak pada areal yang luas.
b. Rotasi tanam dengan tanaman selain padi.
c. Bila serangan belum begitu hebat, telur dikumpulkan lalu dibakar.
d. Membuat perangkap dari cahaya obor, tumbuhan rawa dan hewan yang telah
membusuk (kodok, ular, kepiting, udang, dll). Perangkap diletakkan
menjulang di atas pertanaman padi. Walang sangit yang tertangkap kemudian
dibakar.
e. Menyiangi gulma jenis rumput-rumputan yang dapat menjadi inang
walang
kondisi suhu rendah, kelembaban tinggi, dan angin yang lemah. Di daerah
beriklim populasi wereng coklat ditandai dengan periode musiman, kepadatan
awal yang rendah, pertumbuhan curam dan stabil, distribusi spasial mengelompok
,dan fluktuasi kekerasan dari tahun ke tahun. Wereng Coklat merupakan penghuni
sementara yang datang dari jarak jauh hampir di musim tanam padi. Wereng
coklat mempunyai daya adaptasi tinggi untuk menjadi tuan rumah dalam berbagai
tahap pertumbuhan padi, dan toleransi yang tinggi untuk berkerumun sehingga
penyebaran di sawah tidak merata. Ciri-ciri ini juga menyebabkan pertumbuhan
curam dan stabil dalam populasi yang memungkinkan serangga untuk
meningkatkan ke tingkat yang merusak meskipun kepadatan awal rendah. Baik
nimfa dan dewasa dari wereng coklat ( Nilaparvata lugens ) dapat menghapus
getah tanaman dari sel-sel floem. Penghapusan getah tersebut dikombinasikan
dengan penyumbatan pembuluh floem oleh heaths makan serangga dan
menyebabkan anakan mengering dan berubah menjadi cokelat (Satpathi dkk,
2012).
Cara pengendalian dari wereng coklat adalah :
a. Tanam serempak pada areal yang luas dengan selisih waktu tanam maksimal 2
minggu.
b. Rotasi tanam dengan tanaman bukan padi, misalnya jagung dan kacangkacangan.
c. Penggunaan pola tanam yang baik, misalnya : padi rendengan-padi gadupalawija umur pendek, atau padi rendengan-palawija umur pendek, padi gadu.
d. Pengaturan jarak tanam, jangan terlampau rapat sebab hama ini menyukai
kondisi yang lembab.
e. Pengeringan lahan sawah selama beberapa hari, sehingga diharapkan
kelembabannya menurun.
f. Tanam varietas tahan wereng secara bergiliran.
g. Setelah panen, jerami dan tunggul padi dibakar.
h. Menyiagi gulma, terutama jenis rumput-rumputan (Soemadi, 1997).
2.4 Penyakit pada Tanaman Padi
padi dipotong pendek atau dipotong panjang menggunakan sabit; mesin Mower
atau mesin Reaper.
2.5.1 Ani-ani
Hingga saat ini panen padi Tradisional cara ani-ani masih eksis dan terus
berlangsung terutama terjadi di daerah pedalaman (Banten, Sumatera, Kalimantan,
Papua) yaitu di daerah yang menanam padi varietas lokal berumur panjang (6
bulan), kapasitas kerja cara ani-ani berkisar antara 10 sampai 15 kg malai/jam
dengan susut hasil (losses) berkisar antara 3,2 %. Cara panen Tradisional ani-ani
merupakan suatu System panen yang akrab dengan kelestarian lingkungan dan
terbukti mampu mengatasi ketahanan pangan rumah tangga petani (lokal), dimana
seluruh proses sejak padi di tanam (pra panen) hingga proses gabah menjadi beras
(pasca panen), secara keseluruhan ditangani oleh petani dan nilai tambah padi
menjadi beras adalah milik petani, tanpa menimbulkan kerusakan alam dan
pencemaran lingkungan, seluruh tubuh tanaman padi termanfaatkan mulai dari
berasnya hingga jeraminya. Tahapan proses panen padi cara Tradisional ani-ani
berbeda dengan proses pada cara Modern. Pada cara ani-ani padi dipanen dalam
bentuk malai kemudian diangkut untuk dijemur (proses pengeringan) kemudian
disimpan di lumbung (proses penyimpanan). Pelaksanaan proses perontokan dan
pemberasan
dilakukan
sewaktu-waktu
petani
membutuhkan
beras,
2.5.2 Sabit
Penggunaan alat sabit bergerigi mempunyai keunggulan dibanding dengan
penggunaan sabit biasa. Petani yang sudah terbiasa menggunakan sabit bergerigi
akan merasakan perbedaan yang signifikan dibanding menggunakan sabit non
bergerigi. Sabit bergerigi semakin sering dipakai akan semakin tajam pisau
geriginya. Dari hasil penelitian menyebutkan bahwa pada saat proses panen
terdapat pengaruh signifikan penggunaan sabit bergerigi dengan sabit non
bergerigi terhadap detak jantung petani, sabit bergerigi lebih berpihak kepada
kesehatan.
2.5.3 Mesin Sabit Mower
Mesin sabit mower atau disebut sebagai mower, merupakan modifikasi
dari mesin sejenis yang diproduksi di China. Mesin tersebut merupakan hasil
modifikasi kerjasama antara BBP Mektan dengan PT Shang Hyang Sri, bekerja
mirip pemotong rumput untuk memotong tegakan tanaman padi di lahan saat
panen tiba dengan kapasitas kerja 18 s/d 20 jam per hektar. Mesin mower sangat
cocok pengganti alat sabit. Mesin ini tidak hanya mampu dipakai untuk
memotong tanaman padi, akan tetapi juga mampu untuk panen tanaman jenis lain
seperti jagung, kedelai dan gandum. Mesin mower telah diintroduksikan di
beberapa Kabupaten di Propinsi Jawa Tengah (Kebumen, Sragen, Pekalongan),
Propinsi Banten (Serang), dan Propinsi Kalimantan Tengah (Dadahup, C3, PLG)
oleh Institusi BBP Mektan, Badan Libang Pertanian, Deptan.
2.5.4 Mesin Reaper
Teknologi Panen padi menggunakan mesin pemanen reaper belum begitu
populer di tingkat petani. Mesin ini dapat dipakai untuk memanen tanaman bijibijian seperti padi, gandum, sorgum dan sebagainya. Untuk digunakan panen padi,
prinsip kerjanya mirip dengan cara panen menggunakan sabit, bekerja hanya
memotong dan merebahkan tegakan tanaman padi di sawah. Mesin ini sewaktu
bergerak maju akan menerjang dan memotong tegakan tanaman dan menjatuhkan
atau merobohkan tanaman tersebut kearah samping (disebut mesin Reaper), dan
ada pula yang mengikat tanaman yang terpotong menjadi seperti berbentuk sapu
lidi ukuran besar (disebut mesin Reaper Binder). Hasil panen yang direbahkan
menggunakan mesin Reaper ini selanjutnya akan dirontok menggunakan perkakas
atau mesin tertentu misalnya Thresher. Karena ada banyak jenis dan tipe mesin
Reaper yang beredar di pasaran dan masing-masing mempunyai keunggulan dan
kelebihan, maka setiap produsen atau pabrikan mesin Reaper selalu menyertakan
buku tentang : (1) Petunjuk Operasional; (2) Leaflet atau Booklet; (3) Daftar suku
cadang dan atau alamat agen purna jual; serta informasi-informasi lain yang
berkaitan dengan pemeliharaan dan perawatan terhadap mesin tersebut
(Sulistiadji, 2007).
2.6 Alat dan Mesin Perontok Padi
2.6.1 Gebot
Merontok padi dengan cara digebot (manual) merupakan cara sederhana
yang populer dilakukan oleh mayoritas petani di Indonesia. Kapasitas panen
dengan cara digebot berkisar antara 0,10 sampai dengan 0,16 ha/jam (28 - 34
kg/orang/jam), dan untuk padi varietas ulet berkisar antara 0,05 sampai dengan
0,06 ha/jam (10 - 12 kg/orang/jam), dengan syarat padi dipanen dengan malai
panjang agar dapat dipegang tangan saat digebot tergantung kepada kekuatan
orang. Perontokan padi dengan cara gebot banyak gabah yang tidak terontok
berkisar antara 6 % - 9 % . Susut hasil panen padi ini akan lebih besar lagi apabila
para pemanen menunda perontokan padinya selama satu sampai tiga hari yang
menyebabkan susut antara 2 % - 3 % .
2.6.2 Pedal Tresher
Thresher jenis pedal ini mempunyai konstruksi sederhana, terbuat dari
kayu dan dapat dibuat sendiri oleh petani. Pada umumnya hanya dipakai untuk
merontok padi. Thresher jenis pedal ini dikatagorikan sebagai Perkakas karena
tidak menggunakan sumber tenaga penggerak enjin ataupun motor. Di Jawa
Tengah umumnya disebut dos dengan penggerak pedal bertransmisi engkol
(crank), untuk mengangkatnya ke tempat padi yang akan dirontokkan diperlukan
paling tidak dua orang. Spesifikasi Pedal Thresher: (a) Mampu meghemat tenaga
dan waktu, (b) Kebutuhan operator 1 (satu) orang, (c) Mudah dioperasikan dan
akan mengurangi susut tercecer, dan (d) Kapasitas kerja : 75 kg hingga 100 kg per
jam (Sulistiadji, 2007).
2.7 Pasca Panen Tanaman Padi
Hasil pertanian merupakan bahan yang mudah rusak, sehingga
membutuhkan penanganan yang cepat dan tepat. Penanganan yang tidak tepat
BAB 4. PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Pelaksanaan Praktikum dan Pengamatan Panen Padi
1
1.
2.
2.
3.
- Padi dapat dipanen pada umur antara 110-115 hari setelah tanam.
- Kadar air gabah 22-26% yang diukur dengan moisture tester.
- Padi berkualitas unggul umumnya berusia sekitar 90 hari.
Pelaksanaan Panen Padi
1. Tahapan Pekerjaan :
2.
3.
3.
power tresher.
Keterangan :
2.
3.
disediakan.
Penghitungan hasil padi per ukuran luas petak sampel :
Luas Lahan 10.000 m2 = 1 ha
Luas Lahan Sample = 4 m2 = 4.10-4 ha
Berat Sample = 0,914 kg = 914.10-6 ton
1
x 914.106=2,285ton/ha
Hasil 4.104
4.
Keterangan :
Alat perontok tradisional yang bernama gebotan memiliki keunggulan
ialah ramah lingkungan dan sangat sedikit dalam hal kehilangan
4.
hasil.
Perontokan Padi Dengan Mesin
1. Tahapan Pekerjaan :
- Menyalakan mesin perontok padi.
- Memasukkan padi ke mesin perontok.
- Setelah itu, mengumpulkan rontokan padi untuk dijadikan
2.
3.
4.
sebagai sample.
Hasil Pekerjaan
Bulir padi akan keluar dari mesin perontokan dan sudah terpisah
dengan jerami.
Penghitungan hasil padi per ukuran luas petak sampel :
Luas Lahan 10.000 m2 = 1 ha
Luas Lahan Sample = 4 m2 = 4.10-4 ha
Berat Sample = 0,914 kg = 914.10-6 ton
1
x 914.106=2,285ton/ha
Hasil 4.104
Keterangan :
Penggunaan mesin perontok yang bernama "Power Tresher" dapat
mengakibatkan kehilangan hasil yang tinggi.
4.2 Pembahasan
Umumnya, padi dapat dipanen ketika umur padi telah mencapai antara
110-115 hari setelah tanam, gabah pada malai padi sudah berwarna kuning yang
memiliki persentase mencapai 90% sampai 95%,malai padi menunduk karena
menopang bulir-bulir beras. Selain itu, kadar air gabah 22-26% yang diukur
dengan moisture tester. padi yang dipanen ketika butir gabah terasa keras bila
ditekan dan apabila dikupas, tampak isi butir gabah berwarna putih dan keras bila
digigit.
Jika kita memanen padi terlalu awal akan menyebabkan mutu gabah
rendah, banyak beras yang akan pecah ketika digiling, berbutir hijau, serta
nampak berbutir kapur. Sedangkan jika kita memanen padi terlambat, maka akan
menyebabkan produksi menurun karena gabah banyak yang rontok. Penanganan
pascapanen bertujuan untuk menekan kehilangan hasil, meningkatkan kualitas,
daya simpan, daya guna komoditas pertanian, memperluas kesempatan kerja, dan
meningkatkan nilai tambah. Berkaitan dengan hal tersebut maka kegiatan
pascapanen padi meliputi :
a. Penumpukan dan Pengumpulan, merupakan tahap penanganan pasca panen
setelah padi dipanen. Ketidaktepatan dalam penumpukan dan pengumpulan
akan berakibat kehilangan hasil yang cukup tinggi, oleh sebab itu pada waktu
penumpukan dan pengumpulan padi harus menggunakan alas.
b. Perontokan, merupakan tahap penanganan pasca panen setelah pemotongan,
penumpukan dan pengumpulan padi. Cara perontokan padi telah mengalami
perkembangan dari cara digebot menjadi penggunaan pedal tresher dan power
tresher.
c. Pengeringan, merupakan proses penurunan kadar air gabah sampai mencapai
nilai tertentu sehingga siap untuk diolah/digiling atau aman untuk disimpan
dalam waktu yang cukup lama.
d. Penyimpanan, merupakan suatu tindakan untuk mempertahankan gabah/beras
agar tetap dalam keadaan baik dalam jangka waktu tertentu. Cara penyimpanan
gabah/beras dapat dilakukan dengan 2 cara :
1. Sistem curah, yaitu gabah yang sudah kering dicurahkan pada suatu tempat
yang dianggap aman dari gangguan hama maupun cuaca.
2. Cara penyimpanan menggunakan kemasan/wadah seperti karung plastik,
karung goni, dan lain-lain.
Alat-alat panen padi sangat bervariasi, mulai dari tradisional hingga
modern. Ani-ani adalah alat pemanenan padi secara tradisional. Ani-ani memiliki
kelebihan yaitu mampu memotong padi varietas lokal berpostur tinggi, sedangkan
kekurangan dari ani-ani adalah tidak mampu memanen padi pada lahan yang
sangat luas, karena membutuhkan banyak tenaga kerja dan waktu. Kedua, sabit
adalah alat pemanenan yang berkembang setelah ani-ani. Kelebihan dari sabit
adalah alat panen manual untuk memotong padi dengan cepat, dan dapat menekan
kehilangan hasil panen sebesar 3%. Kekurangan dari sabit adalah penggunaan
sabit dapat berjalan dengan cepat, namun tidak mampu memanen padi pada lahan
yang sangat luas, karena membutuhkan banyak tenaga kerja dan waktu. Reaper
Binder adalah alat modern yang banyak digunakan pada zaman yang serba
modern in. Reaper Binder memiliki kelebihan yaitu mampu memotong padi
mengikat
tanaman
yang
terpotong
menjadi
seperti
berbentuk sapu lidi ukuran besar. Sehingga memudahkan petani dalam hal
memanen hasil padi, sedangkan kekurangannya adalah dapat menimbulkan polusi
yang dihasilkan dari asap mesin reaper binder. Hal ini akan mengakibatkan
penurunan kondisi dari lingkungan sekitar penanaman, seperti tercemarnya tanah.
Cara panen padi juga bermacam-macam mulai dari pengunaan gebotan,
pedal tresher dan Power Tresher. Digebot adalah cara tradisional yang masih
banyak digunakan oleh petani Indoneia. Kelebihan dari digebot adalah ramah
lingkungan dan sangat sedikit dalam hal kehilangan hasil. Namun kekurangannya
terletak pada penggunaan tenaga manusia yang mengakibatkan penggunaan
metode ini tidak dapat merontokkan padi dalam jumlah banyak karena kurang
efisien dalam pemakaiannya. Pedal Tresher adalah alat perontok padi yang cukup
canggih karena memiliki kelebihan mampu menghemat tenaga dan waktu, mudah
dioperasikan dan mengurangi kehilangan hasil, cukup diperasikan oleh satu orang
dengan kapasitas kerja 75-100 kg per hari. Namun kekurangan dari alat ini adalah
tidak semua padi yang dirontokan menghasilkan hasil yang baik, terkadang padi
yang dirontokkan dengan alat ini tidak terkelupas semua. Power Tresher adalah
alat erontok yang paling canggih pada abad ke 20 ini, dengan kelebihan yang
dimilikinya adalah sangat menghemat tenaga karena sumber tenaga penggeraknya
adalah mesin, kapasitas kerja lebih besar dan efisiensi kerja lebih tinggi, dapat
merontokkan padi dalam jumlah banyak. Namun power tresher juga memiliki
kekurangan yaitu menghasilkan gas yang berbahaya bagi lingkungan sekitar,
tingginya kehilangan hasil panen.
Berdasarkan data yang telah ditulis diatas menyatakan bahwa padi dapat
dipanen dengan umur 110-115 hari. Panen padi dapat menggunakan alat-alat
tradisional hingga modern dengan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh
setiap alat tersebut. Alat tersebut antara lain : ani-ani, sabit dan mesin reaper.
Perontokan padi adalah cara untuk memisahkan padi dengan jeraminya sehingga
dihasilkan bulir padi. Alat perontok yang paling umum digunakan oleh petani
Indonesia adalah gebotan. Namun penggunaan pedal tresher dan power tresher
adalah alat perontok padi yang dapat merontokkan padi dalam jumlah yang
banyak dan menghemat waktu. Kedua alat tersebut menjadi alat pembantu para
petani untuk merontokkan padinya dengan cepat.
Produksi padi ciherang memiliki hasil panen yang selalu diatas rata-rata,
yaitu antara 5,5-8,5 ton/ha, dengan rata-rata produksi sebesar 6 ton/ha. Bahkan di
salah satu wilayah Indonesia produksi padi Ciherang mencapai 10 ton/ha. Angka
tersebut jauh di atas rata-rata produksi panen padi dengan menggunakan bibit
seperti IR 64 yang hanya mencapai 5 ton/ha. Produksi padi Ciherang diatas ratarata karena mampu menahan serangan dari wereng coklat yang dapat menurunkan
jumlah produksi padi, dan dapat menahan serangan dari penyakit hawar daun.
Oleh karena itu, padi Ciherang sangat berbeda dengan varietas padi yang lainnya.
BAB 5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Kriteria panen padi ditandai dengan gabah pada malai padi sudah berwarna
kuning yang memiliki persentase mencapai 90% sampai 95%, malai padi
menunduk karena menopang bulir-bulir beras, butir gabah terasa keras bila
ditekan. Apabila dikupas, tampak isi butir gabah berwarna putih dan keras bila
digigit, Padi dapat dipanen pada umur antara 110-115 hari setelah tanam, kadar
air gabah 22-26% yang diukur dengan moisture tester dan umumnya padi
berkualitas unggul umumnya berusia sekitar 90 hari.
2. Pemanenan padi dapat menggunakan alat seperti : ani-ani, sabit dan Reaper
Binder.
3. Perontokan padi dapat menggunakan alat dari tradisional hingga modern,
seperti penggunaan : gebotan, pedal tresher dan power tresher.
5.2 Saran
1. Seharusnya keadaan praktikum harus lebih kondusif.
2. Kurang jelasnya informasi yang diberikan oleh narasumber, karena di setiap
golongan hanya disediakan 1 narasumber.
DAFTAR PUSTAKA
Perdana, Adhi Surya. 2011. Budidaya Padi Gogo. [Sumber Online]. Terdapat
httpsawitwatch.or.iddownloadmanual%20dan%20modul148_Budi%20day
a%20Padi%20Gogo%201.pdf diakses pada 24 Maret 2014.
Norsalis, Eko. 2011. Padi Gogo dan Sawah. [Sumber Online] 14 Halaman.
Terdapat
pada
httpskp.unair.ac.idrepositoryGuruIndonesiaPadigogodansawah_ekonorsali
s_17170.pdf diakses pada 24 Maret 2014.
Setyono, Agus. 2010. Perbaikan Teknologi Pasca Panen Dalam Upaya Menekan
Kehilangan Hasil Padi. [Sumber Online]. Vol 3 (3), 15 Halaman.
Terdapat pada httpstaff.unila.ac.idbungdarwinfiles201111A-pascapanenpadi.pdf diakses pada 24 Maret 2014.
Soemadi, Widyaningsih. 1997. Pengendalian Hama Tanaman Pangan. Solo : CV
Aneka
Satphati, dkk. 2012. Impact of Seedling Spacing and Fertilizer on Brown Plant
Hopper, Nilaparvata lugens Stal. Incidence in Rice Field. [Sumber
Online]. Vol. 29, No. 1: 11 Halaman. Terdapat pada httpjbcr.inwpcontentuploads201207impact-on-seedling-ref.pdf diakses pada 24 Maret
2014.
Syam dan Wurjandari. 2003. Masalah Lapang Hama Penyakit Hara Pada Padi.
Bogor : Rice Knowledge Bank Version.
Sulistiaji, Koes. 2007. Alat dan Mesin (Alsin) Mesin Panen dan Perontokkan Padi
di Indonesia. Serpong : Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian.
Hasbi. 2012. Perbaikan Teknologi Pascapanen Padi di Lahan Suboptimal.
[Sumber Online]. Vol. 1 (2), 11 Halaman. Terdapat pada
httpwww.pur-plso-unsri.orgupload_file25-80-1-PB.pdf diakses pada 24
Maret 2014
Sinar Tani. 2013. Panen dan Pasca Panen Padi. [Sumber Online]. Terdapat pada
httpwww.litbang.deptan.go.iddownloadone377filePANEN-DAN-PASCAPANEN-PADI.pdf diakses pada 24 Maret 2014.
DOKUMENTASI