Soon To Be Referat KAD&HHS New
Soon To Be Referat KAD&HHS New
Pembimbing :
dr. Wahyu Pramono, Sp.PD
Penyusun :
Angie Beatrice W
030.11.032
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA KETOASIDOSIS DIABETIKUM DAN
SINDROMA HIPEROSMOLAR HIPERGLIKEMIK
Disusun oleh:
Angie Beatrice W
030.11.032
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................3
PENDAHULUAN......................................................................................................4
KETOASIDOSIS DIABETIKUM.............................................................................5
2.1 Definisi................................................................................................5
2.2 Epidemiologi.......................................................................................5
2.3 Patogenesis..........................................................................................5
2.4 Diagnosis.............................................................................................7
2.5 Penatalaksanaan...................................................................................8
SINDROMA HIPEROSMOLAR HIPERGLIKEMIK..............................................14
3.1 Definisi................................................................................................14
3.2 Epidemiologi.......................................................................................14
3.3 Patogenesis..........................................................................................14
3.4 Diagnosis.............................................................................................16
3.5 Perbandingan KAD dan HHS..............................................................17
3.6 Faktor pencetus KAD dan HHS..........................................................19
3.7 Penatalaksanaan...................................................................................20
3.8 Pencegahan..........................................................................................22
KESIMPULAN..........................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................24
PENDAHULUAN
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan metabolik yang dikarakteristikkan
dengan hiperglikemi sebagai hasil dari defek sekresi dan atau kerja insulin.(1) Hiperglikemia
yang berkepanjangan ini berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi serta
kegagalan berbagai sistem organ seperti mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. (1)
Diabetes dan komplikasinya telah menjadi beban kesehatan di seluruh dunia serta menjadi
3
tantangan besar, tidak hanya bagi pasien namun juga untuk sistem kesehatan dan
perekonomian nasional.(2) Estimasi terakhir International Diabetes Federation, terdapat 382
juta orang yang hidup dengan diabetes di dunia pada tahun 2013.(3) WHO memperkirakan
antara tahun 2000 dan 2030, populasi seluruh dunia akan meningkat 37% dan jumlah
penderita diabetes pun akan meningkat 114%.(2) Peningkatan terbesar epidemi diabetes salah
satunya terjadi di Asia. Pertumbuhan penduduk, proses penuaan dan angka urbanisasi di Asia
menunjukkan India dan China menjadi dua negara dengan angka penderita diabetes tertinggi
(79,4 juta jiwa dan 42,3 juta jiwa). Sebagai tambahan, diantara sepuluh besar negara dengan
angka penderita diabetes tertinggi, terdapat empat negara Asia lainnya, yaitu : Indonesia,
Pakistan, Bangladesh, dan Filipina.(2)
Diabetes mellitus memiliki dua komplikasi, komplikasi akut dan komplikasi kronis.
Komplikasi akut mencakup dua kegawatan metabolik, antara lain ketoasidosis diabetik
(KAD) dan sindroma hiperosmolar hiperglikemik (HHS). Dua komplikasi akut diabetes
mellitus ini menjadi hal yang mengancam nyawa terutama di negara berkembang. (4) Walaupun
kedua kelainan ini menghasilkan keadaan hiperglikemi yang parah, namun patofisiologi yang
mendasari, presentasi klinis dan terapi keduanya cukup berbeda. (5) KAD dikarakteristikkan
dengan hiperglikemi, asidosis metabolik dan peningkatan konsentrasi keton di dalam
sirkulasi tubuh. Sementara HHS dikarakteristikkan sebagai defisiensi konsentrasi insulin
yang bersifat relatif untuk menjaga keadaan normoglikemia namun masih dalam batas cukup
untuk mencegah lipolisis dan ketogenesis.(4)
Tujuan pembuatan referat ini agar dapat membedakan kedua kelainan yang seringkali
terjadi tumpang tindih. Selain itu, fokus pembahasan diagnosis dan terapi pada dua kelainan
sehingga dapat dikenali tanda dan gejala nya lebih awal.
Definisi
Ketoasidosis diabetikum (KAD) adalah komplikasi metabolik akut, mayoritas dari
diabetes mellitus tipe 1 yang disebabkan oleh defisiensi insulin berat sehingga mengarah
kepada keadaan hiperglikemia.(6) KAD merupakan penyebab mortalitas paling umum pada
penderita diabetes mellitus tipe 1 dibawah usia 40 tahun.(6)
2.2
Epidemiologi
Dari data yang ada menunjukkan kejadian KAD meningkat dari 80.000 perawatan
pada tahun 1988 sampai 140.000 pada 2009 untuk kasus dimana KAD ditempatkan sebagai
4
diagnosis primer. Secara keseluruhan, mortalitas KAD memiliki kisaran 1% pada dewasa, 5%
pada lanjut usia dengan komorbid, dan 2-5% pada anak-anak. (5) Laporan CDC terbaru
menunjukkan 123.000 perawatan untuk diagnosis KAD pada tahun 2007. Dari data tersebut
ditemukan 89% pasien berusia lebih dari 15 tahun dengan laki-laki sedikit mengungguli
wanita.(16)
Patogenesis (4,6,8-10)
Karakteristik KAD adalah triase yang terdiri dari : hiperglikemia, asidosis metabolik,
2.3
dan peningkatan konsentrasi benda keton. Ketidakseimbangan metabolik ini merupakan hasil
dari faktor-faktor yang saling bersinergi, antara lain:
KAD.
Peningkatan kadar hormon-hormon kontra regulator yang mengarah kepada
peningkatan kadar glukosa dan mencetuskan lipolisis.
Hiperglikemia terjadi akibat kombinasi dari peningkatan produksi glukosa hepar dan
renal (via glikogenolisis dan glukoneogenesis) serta terganggunya penggunaan glukosa pada
jaringan perifer.(4) Rendahnya kadar insulin juga turut merangsang katabolisme dari protein
otot yang meningkatkan kadar alanin di dalam darah. Dari peningkatan jumlah substrat non
karbohidrat yaitu, alanin dan gliserol serta dibantu dengan peningkatan aktivitas enzim
glukoneogenik, phosphoenol pyruvate carboxylase-PEPCK, bifosfatase dan piruvat
karboksilase merangsang peningkatan glukoneogenesis di hepar.(4) Sebagai hasilnya, kadar
glukosa darah akan meningkat. Setelah produksi glukosa yang bertambah, ketidakefektifan
penggunaan glukosa pada jaringan perifer akibat rendahnya kadar insulin dan tingginya
konsentrasi katekolamin berdampak pada menurunnya uptake jaringan. Rendahnya kadar
insulin juga bersama dengan peningkatan kadar hormon kontra regulator terutama epinefrin
akan mengaktivasi hormon lipase sensitif pada jaringan adiposa yang menyebabkan lipolisis.
(9)
Hasil dari lipolisis adalah pemecahan trigliserid menjadi gliserol dan asam lemak bebas. (6,10)
Peningkatan lipolisis dan ketogenesis akan memicu ketonemia serta asidosis metabolik
(ketoasidosis).(9) Populasi benda keton utama terdiri dari 3-beta hidroksibutirat, sementara
aseton sebenarnya tidak termasuk komponen utama. Walaupun sudah dibentuk banyak benda
keton untuk sumber energi, sel-sel tubuh tetap masih lapar dan terus memproduksi glukosa.
Hiperglikemia dah hiperketonemia mengarahkan pada keadaan diuresis osmotik, dehidrasi,
dan kehilangan elektrolit yang dapat mempengaruhi perfusi ginjal. Perubahan pada ginjal ini
5
akan memicu lebih lanjut hormon stres sehingga akan terjadi perburukan hiperglikemia dan
hiperketonemia. Secara singkat, penyebab keadaan hiperglikemia, asidosis metabolik serta
peningkatan konsentrasi keton dalam darah adalah kombinasi dari defisiensi insulin relatif
maupun absolut dengan peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin,
kortisol, growth hormone, dan somatostatin). Peningkatan kadar hormon ini sebagai respon
terhadap kondisi stres seperti sepsis, trauma, penyakit gastrointestinal berat, infark miokard
akut, stroke, dan lainnya.(9)
2.4
Diagnosis
Diagnosis KAD didapatkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang
Anamnesis
KAD
- Onset munculnya gejala dalam kurun waktu 24 jam
- Mual, muntah, nyeri abdomen difus.
- Riwayat DM tipe 1 (lebih sering)
- Poliuria, polidipsi, penurunan berat badan dirasakan sebelum lelah,
kram otot, mual dan nyeri perut.
- Rasa haus
- Cari tanda-tanda pencetus seperti : infeksi traktus urinarius, traktus
respiratorius, onset DM tipe 1 dan iskemia jaringan (pada otak dan atau
Pemeriksaan
fisik
jantung)
- Wajah kemerahan (flushed face)
- Kesadaran : tergantung derajat beratnya DKA (ringan, sedang, berat)
6
Pemeriksaan
penunjang
Nilai normal anion gap 16 4 mEq/L (16 4 mmol/L SI units) (~15 mmol/L)
2.5
Penatalaksanaan
Ketoasidosis diabetikum (KAD) dan sindroma hiperosmolar hiperglikemik (HHS)
Secara umum, tatalaksana pasien dengan KAD dan HHS meliputi rehidrasi intravena
untuk koreksi cairan elektrolit, terapi insulin, menegakkan diagnosis dan manajemen untuk
pencetus keadaan ini dan tindakan pencegahannya.(12) Pada KAD, rehidrasi cairan yang
dilakukan jumlahnya bervariasi tergantung dari hemodinamika, status hidrasi, kadar
elektrolit, dan produksi urin.(5,9) Proses rehidrasi cairan ini akan sangat mempengaruhi
pencapaian target glukosa darah, hilangnya benda keton, dan perbaikan asidosis.(9) Sedangkan
pada HHS, dilakukan pemantauan konsentrasi glukosa darah yang lebih ketat serta pemberian
insulin yang lebih cermat dan hati-hati. Pasien dengan HHS memerlukan monitoring ketat
terhadap kondisi dan respons terapi yang diberikan. Pasien HHS harus dirawat dan sebagian
besar harus dirawat di ruang rawat intensif atau intermediate.(9) Menurut Kitabchi et al.,
Diabetes Care 2006, estimasi kehilangan air dan elektrolit pada pasien KAD dan HHS
disebutkan sebagai berikut (14) :
KAD
6
100
7-10
3-5
3-5
HHS
8
100-200
5-13
5-15
4-6
8
PO43- (mmol/kg)
Mg2+ (mEq/kg)
Ca2+ (mEq/kg)
2.5.1
5-7
1-2
1-2
3-7
1-2
1-2
resusitasi cairan. Tindakan ini bersifat krusial, karena berfungsi untuk memperbaiki volume
intravaskular, interstisial, dan intraselular serta pengembalian perfusi ke ginjal. Total cairan
yang hilang pada KAD diperkirakan antara 5-7 L. Pemberian cairan secara intravena
bertujuan untuk menggantikan kekurangan cairan dan elektrolit serta mengurangi konsentrasi
glukosa plasma dan hormon kontra regulator. Pemasangan cairan intravena wajib dilakukan
sebelum memulai pemberian insulin pada HHS terutama pasien lanjut usia dalam rangka
menjaga volume vaskular. Cairan salin isotonik umumnya diberikan dengan dosis 15-20
mL/kgBB/jam atau 1-1,5 L pada jam pertama. Setelah kondisi pasien terstabilisasi, apabila
kadar natrium yang terkoreksi normal atau meningkat, cairan salin (0,9%) dapat diubah
menjadi cairan setengan salin (0,45%) dengan dosis 250-500 mL/jam. Namun bila kadar
natrium yang terkoreksi masih rendah, cairan salin dilanjutkan dengan dosis yang sama.
Respon resusitasi cairan ini dinilai dari keadaan hemodinamik (tekanan darah dan nadi),
pemeriksaan fisik (status hidrasi), produksi urin serta nilai laboratorium. (14) Resusitasi cairan
dapat dilakukan sampai 24 jam, dan resusitasi cairan sangat mempengaruhi pencapaian target
glukosa darah, hilangnya benda keton, dan perbaikan asidosis.
Insulin
Insulin merupakan farmakoterapi kausatif utama untuk KAD. Insulin menurunkan
jumlah pelepasan glukagon dari pankreas, menurunkan glukoneogenesis dan
ketogenesis (dengan menurunkan lipolisis dan sekresi glukagon), membatasi efek
glukagon di hepar, serta meningkatkan penggunaan dan uptake glukosa pada jaringan
perifer.(12,17) Satu-satunya kontraindikasi pemberian insulin adalah nilai potasium
dalam darah <3,5 mEq/L dimana insulin akan memperparah keadaan hipokalemia
dengan perpindahan potasium ke dalam sel.(14) Rekomendasi saat ini untuk terapi
insulin pada KAD adalah loading dose insulin intravena 0,1 unit/kgBB per jam IV
drip dan dengan kadar maksimal 10 unit dalam 1 jam. Jika glukosa darah pasien tidak
turun 10% dari kadar pada jam pertama, maka dilakukan penambahan dosis loading
intravena 0,14 unit/kgBB.(5) Saat kadar gula darah mencapai 200-250 mg/dL,
9
kecepatan pemberian insulin harus dikurangi 1-2 unit/jam dan dilakukan penambahan
dekstrosa 5% ke cairan intravena (glucose-insulin clamp). Teknik ini dilakukan guna
mencegah terjadinya hipoglikemia namun tetap menjaga insulin dalam jumlah cukup
untuk mengatasi ketoasidosis pada KAD. (14)
Bikarbonat
Ketidakseimbangan bikarbonat dapat terjadi pada pasien KAD dan HHS. Pada KAD
walaupun kadar serum bikarbonat selalu rendah, namun pemberian bikarbonat sebagai
terapi jarang diberikan dan masih kontroversial.(17) Penggunaan bikarbonat eksogen
dapat mencetuskan terjadinya hipokalemia, penurunan ambilan oksigen jaringan,
risiko edema serebri, dan perlambatan perbaikan ketosis. (9,17) Apabila diperlukan,
pemberian bikarbonat sebaiknya diberikan pada pasien dengan asidosis berat (pH
arteri <6,9) atau ketika pH <7,1 serta terjadi ketidakstabilan hemodinamik atau
terdapat tanda hiperkalemi pada elektrokardiografi. (17) Pada keadaan ini, 100 ml
sodium bikarbonat dicampur dengan 400 ml akua steril dan diberikan secara intravena
10
200 ml/jam biasanya mencukupi, walaupun re-dosing setiap 2 jam perlu dilakukan
sampai pH >7,0.(17)
Potasium (K+)
Disamping penurunan kadar total potasium dalam tubuh akibat dari diuresis osmotik
glikosuria, serum potasium biasanya normal.(17) Perpindahan potasium dalam darah
terjadi sebagai hasil dari perpindahan ekstraselular yang berhubungan dengan
defisiensi insulin dan asidosis. Kematian pada fase inisial resusitasi biasanya
berkaitan dengan hiperkalemia sedangkan penyebab tersering kematian pada fase
lanjut resusitasi berkaitan dengan hipokalemia.(5) Kekurangan potasium pada KAD
berkisar antara 3-5 mEq/kg. Prosedur penentuan pemberian potasium, apabila kadar
potasium <3,5 mmol/L koreksi hipokalemi harus segera diberi sebelum terapi insulin
dimulai. Kadar potasium 3,5-5,5 mmol/L mengindikasikan pemberian potasum dan
apabila kadar potasium >5,5 mmol/L penggantian tidak perlu dilakukan. Sesuai
dengan rekomendasi JBDSICG (2010) penggantian penurunan potasium dengan
menambahkan 20-40 mmol potasium ke dalam infus natrium klorida. Ditambah
dengan pemantauan kardiak selama penggantian potasium.(12)
Fosfat
Hipofosfatemia juga merupakan salah satu manifestasi KAD. Kadar serum <1,5
mg/dL dengan kelemahan sistem respirasi dan skeletal sudah harus dimulai terapi
dengan dipotasium difosfat intravena dengan kecepatan 0,5 mL/jam. Pada awalnya,
kadar fosfat serum pada pasien berada dalam batas normal, namun terjadi penurunan
kadar fosfat dalam darah sejumlah 0,5-1 mmol/L pada pasien dengan KAD setelah
pemberian terapi insulin.(5,17) Pemberian fosfat perlu dipertimbangkan apabila
kadarnya <1mg/dL atau terdapat bukti klinis seperti hemolisis, asidosis refrakter,
penurunan cardiac output, kelemahan otot-otot pernapasan, depresi susunan saraf
pusat, kejang, koma atau acute renal failure.(17)
11
3.1
Definisi
12
3.2
Epidemiologi
Dibandingkan pasien dengan KAD, tingkat perawatan rumah sakit untuk pasien
dengan HHS secara signifikan lebih rendah. Namun antara tahun 1997-2009 terjadi
peningkatan hospitalisasi pasien HHS sebanyak 52,4% pada anak dan dewasa. Keadaan ini
berbanding terbalik dengan tingkat mortalitas pasien HHS yang lebih tinggi dibandingkan
dengan KAD dengan kisaran 10-20%.(5) Kejadian KAD dan HHS juga dipengaruhi faktor
usia, dimana KAD umumnya mengenai orang muda dan HHS lebih banyak terjadi pada
orang lanjut usia, dengan rata-rata usia onset pada dekade ketujuh.(9)
3.3
Patogenesis
HHS dikarakteristikkan dengan peningkatan ekstrim konsentrasi glukosa dalam serum
dan hiperosmolaritas tanpa ketosis. Kekacauan metabolik pada HHS juga merupakan hasil
dari defisiensi insulin dan peningkatan hormon-hormon kontraregulator. Faktor yang
memulai HHS adalah diuresis glikosuria. Peningkatan konsentrasi glukosa dan osmolaritas
dari ekstraselular, mengakibatkan terjadi gradien osmolar sehingga air keluar dari dalam sel.
Glukosuria membuat kegagalan pada kemampuan ginjal dalam mengonsentrasikan urin
sehingga memperberat derajat kehilangan air. Dalam keadaan normal, ginjal berfungsi untuk
mengeliminasi glukosa yang melebihi ambang batas tertentu. Tapi penurunan volume
intravaskular akan menurunkan laju filtrasi glomerulus yang membuat konsentrasi glukosa
meningkat. Hilangnya air lebih banyak dibanding natrium menyebabkan keadaan
hiperosmolar. Keadaan hiperosmolar ini memicu sekresi hormon anti diuretik serta
menimbulkan
rasa
haus.
Hiperglikemia
pada
HHS
timbul
akibat
peningkatan
pada pasien HHS. Hiperglikemia dan hiperosmolar ini jika kehilangan cairan nya tidak
diperbaiki dengan oral intake maka dapat menimbulkan dehidrasi dan kemudian
hipovolemia. Hipovolemia dapat menyebabkan hipotensi, yang berefek pada gangguan
perfusi jaringan. Keadaan koma merupakan stadium akhir dari proses hiperglikemik ini
dimana telah terjadi gangguan elektrolit berat dalam hubungan dengan hipotensi.
3.4
Diagnosis HHS
Diagnosis HHS didapatkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang
yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini : (5,7,9,11,12)
14
Anamnesis
HHS
- Onset munculnya gejala lebih gradual, beberapa hari-minggu
- Riwayat DM tipe 2 (lebih sering)
- Poliuria dan polidipsi
- Penurunan berat badan
- Rasa lemah, gangguan penglihatan, kram tungkai.
- Kejang (fokal / general)
- Riwayat infeksi traktur respiratorius (terutama pneumonia), infeksi traktus
urinarius, sepsis, infark miokard, dan penggunaan diuretik, beta bloker serta
Pemeriksaan
fisik
Pemeriksaan
penunjang
steroid.
- Kesadaran : somnolen, letargi, delirium, koma
- Subfebris (low grade fever)
- Gangguan penglihatan
- Tanda-tanda dehidrasi : turgor kulit yang buruk, mukosa bukal kering, mata
cekung, akral dingin, takikardi, hipotensi
- Distensi abdomen
- Tanda neurologis lokal (hemianopia dan atau hemiparesis)
- Defisit neurologis sensoris.
- Gluk plasma : >600 mg/dL
- pH darah arteri :
>7,30
- Bikarbonat serum :
>18 mEq/L
3.5
Usia
Durasi gejala
Kadar gula darah
Kadar sodium serum
Kadar potasium serum
KAD
< 40 tahun
< 2 hari
< 600 mg/dL
Normal atau rendah
(130-140 mEq/L)
Normal atau tinggi
(5-6 mEq/L)
HHS
> 60 tahun
> 5 hari
> 600 mg/dL
Normal atau tinggi
(145-155 mEq/L)
Normal
(4-5 mEq/L)
15
< 15 mEq/L
+ pada dilusi 1:2
< 7,35
< 320 mOsm/kg
10% BB
Asimptomatik dan jarang
> 15 mEq/L
- pada dilusi 1:2
> 7,3
> 320 mOsm/kg
15% BB
Sangat jarang.
Prognosis
Mortalitas : 10-20%
Perbandingan KAD dan HHS meliputi karakteristik individu, kadar elektrolit dalam
darah, kadar keton, pH, osmolalitas serum, jumlah kekurangan cairan, risiko edema serebral
dan prognosis. Osmolalitas serum diukur untuk menentukan jumlah bahan-bahan kimia
terlarut dalam darah. Bahan-bahan yang mempengaruhi osmolalitas serum : natrium, klorida,
bikarbonat, protein dan glukosa. ADH (anti diuretic hormone) memiliki sebagian peran
dalam mengatur osmolalitas serum. Cairan secara konstan keluar dari tubuh melalui
berkeringat, bernapas, berkemih, dan melalui insensible water loss. Jika seseorang tidak
mengonsumsi air dalam jumlah cukup konsentrasi bahan-bahan kimia terlarut dalam darah
akan meningkat. Ketika terjadi peningkatan osmolalitas serum, tubuh akan melepaskan ADH.
ADH akan mempertahankan cairan untuk keluar dari tubuh sehingga menjaga volume cairan
intravaskular. Rumus menghitung osmolalitas serum : (18)
Walaupun banyak rumus osmolalitas serum ini mengikutsertakan kadar BUN, namun
karena dianggap adanya distribusi yang seimbang pada intra dan ekstraselular sehingga BUN
tidak diikutsertakan kedalam penghitungan osmolalitas serum efektif. Begitu juga dengan
16
potasium yang digunakan pada beberapa rumus namun tidak direkomendasikan oleh
American Diabetes Association (ADA).(19)
3.6
3.7
Tatalaksana
hiperglikemik
hiperosmolar
sindrom
Penatalaksanaan HHS memiliki tujuan memperbaiki kelainan yang mendasari,
menormalkan osmolalitas pasien secara aman dan bertahap, mengganti cairan dan elektrolit
17
yang hilang serta menormalkan glukosa darah. Tujuan lainnya juga sebagai pencegahan
terhadap terjadinya trombosis pada arteri dan vena, ulkus pada kaki, juga komplikasi lain
yang mungkin terjadi.(15) Pasien dengan HHS biasanya memiliki komorbid multipel sehingga
membutuhkan monitor intensif. The Joint British Diabetes Societies (JBDS) menyebutkan
adanya satu atau lebih hal-hal dibawah ini mengindikasikan kebutuhan pemantauan khusus,
antara lain :
agresif, (2) Penggantian elektrolit, (3) Pemberian insulin intravena, (4) Diagnosis dan
manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta, (5) Pencegahan.(9)
rehidrasi, penurunan glukosa darah 5,5 mmol/L menghasilkan peningkatan kadar natrium
sebanyak 2,4 mmol/L. Peningkatan kadar natrium perlu menjadi perhatian apabila tidak
disertai dengan penurunan osmolalitas. Penurunan glukosa darah yang terlalu cepat perlu
dihindari, nilai aman penurunan kadar gula darah yang direkomendasikan antara 4-6
mmol/L/jam (Kitabachi,2009). Normalisasi perbaikan cairan, elektrolit serta osmolalitas pada
HHS diperkirakan dapat mencapai 72 jam.(15)
Sementara untuk perbaikan elektrolit, keadaan hiperkalemia pada HHS seringkali
terkoreksi dengan sendirinya dengan masuknya cairan dan terapi insulin. Untuk mencegah
terjadinya hipokalemia, penggantian kalium dilakukan dengan penambahan 20-30 mEq
natrium pada setiap liter cairan disaat kadar kalium turun <5,2 mEq/L. Karena baik
hiperkalemi dan hipokalemia dapat menimbulkan gangguan fungsi jantung, kadar kalium
sebaiknya diperiksa setiap 2 jam. Ketidakseimbangan fosfat dan magnesium lebih jarang
terjadi pada pasien HHS, namun kadarnya tetap harus dipantau dan proses perbaikan dimulai
saat kadarnya menurun dibawah nilai normal.(5)
Insulin
Menurut konsensus ADA tahun 2004-2009, terapi insulin pada pasien dengan HHS
dimulai dengan bolus 0,1 unit/kgBB/ jam sampai kadar glukosa darah mencapai <250 mg/dL,
baru kemudian kurangi dosis insulin 50%.(7) Namun menurut The Joint British Diabetes
Societies (JBDS), pemberian insulin didasarkan pada ada tidaknya ketonemia. Apabila
terdapat ketonemia >1mmol/L ini merupakan indikasi relatif hipoinsulinemia dan insulin
dianjurkan untuk dimulai saat itu. Sebaliknya, apabila tidak didapatkan ketonemia signifikan
<1 mmol/L, insulin sebaiknya jangan dimulai. Dosis rekomendasi insulin adalah fixed rate
intravenous insulin infusion (FRIII) yaitu 0,05 unit/kg/jam. Penurunan kadar glukosa 5
mmol/L/jam setelah resusitasi cairan masih dalam batas normal dan tetap membutuhan
pengkajian ulang asupan cairan serta evaluasi fungsi ginjal.(15)
19
3.8
pelayanan kesehatan, edukasi pasien yang memadai, dan komunikasi efektif dengan penyedia
layanan kesehatan tentang penyakit yang diderita.(12) Tujuan dari seluruh usaha ini adalah
peningkatan edukasi dan pengetahuan saat terjadi sakit, yang meliputi :
o Segera menghubungi penyedia layanan kesehatan,
o Menekankan pentingnya penggunaan insulin dan alasan mengapa penggunaannya
jangan sampai terputus tanpa berkonsultasi dahulu dengan tenaga kesehatan,
o Evaluasi target glukosa darah dan penggunaan short maupun long acting insulin,
o Konsumsi obat-obatan secara teratur untuk menurunkan risiko infeksi,
o Memulai konsumsi makanan lunak yang mengandung karbohidrat dan garam saat
merasa mual,
o Edukasi kepada anggota keluarga mengenai manajemen yang dapat dilakukan saat
terjadi serangan, seperti mengukur dan mencatat suhu, glukosa darah dan pengecekan
urin, insulin yang digunakan, oral intake dan berat badan.(14)
KESIMPULAN
20
Diabetes mellitus menjadi hal yang sulit, dari perjalanan penyakit, progresivitas juga
komplikasi yang ditimbulkan menjadi beban bagi tenaga medis dan penderita. Komplikasi
diabetes mellitus dibagi menjadi komplikasi akut dan komplikasi kronis. Komplikasi akut
dari diabetes mellitus antara lain ketoasidosis diabetikum (KAD) dan sindroma hiperosmolar
hiperglikemik (HHS). Ketoasidosis diabetikum (KAD) adalah komplikasi metabolik akut dari
diabetes mellitus tipe 1 yang disebabkan oleh defisiensi insulin berat yang mengarah kepada
keadaan hiperglikemia. Sedangkan sindroma hiperosmolar hiperglikemik (HHS) adalah suatu
sindrom yang ditimbulkan dari keadaan hiperglikemik darurat akut pada pasien diabetes
mellitus tipe 2.
Secara
keseluruhan,
ketoasidosis
diabetikum
dan
sindroma
hiperosmolar
hiperglikemik ini mempunyai kemiripan dalam hal gejala seperti poliuria, polidipsi,
penurunan berat badan, kelemahan, dehidrasi dan perubahan status mental serta faktor
pencetus terjadinya KAD dan HHS yang terbanyak karena infeksi, baik traktus respiratorius
maupun traktur urinarius. Perbedaan signifikan dari kedua penyakit ini pada onset munculnya
gejala, karakteristik individu yang terkena, kriteria diagnosis, jumlah cairan yang hilang, sisa
insulin dan kriteria resolusi. Selanjutnya penatalaksanaan KAD dan HHS serupa, dengan
fokus terapi yang berbeda. KAD berfokus memperbaiki keadaan ketoasidosis metabolik,
sedangkan HHS berfokus pada penurunan kadar glukosa darah. Banyak cara yang dapat
dilakukan untuk mencegah pasien diabetes mellitus jatuh ke dalam keadaan ini, namun hal
tersebut memerlukan kerjasama antara dokter, pasien serta keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
21
22
23