Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA KETOASIDOSIS


DIABETIKUM DAN SINDROMA HIPEROSMOLAR
HIPERGLIKEMIK

Pembimbing :
dr. Wahyu Pramono, Sp.PD

Penyusun :
Angie Beatrice W
030.11.032

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT BADAN PENGUSAHA OTORITA BATAM
PERIODE 29 JUNI 2015 - 12 SEPTEMBER 2015
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA KETOASIDOSIS DIABETIKUM DAN
SINDROMA HIPEROSMOLAR HIPERGLIKEMIK

Diajukan untuk memenuhi syarat kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Dalam


periode 29 Juni 2015 - 12 September 2015
di Rumah Sakit Badan Pengusaha Otorita Batam

Disusun oleh:
Angie Beatrice W
030.11.032
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Batam, .... Agustus 2015


Pembimbing

dr. Wahyu Pramono, Sp.PD

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................3
PENDAHULUAN......................................................................................................4
KETOASIDOSIS DIABETIKUM.............................................................................5
2.1 Definisi................................................................................................5
2.2 Epidemiologi.......................................................................................5
2.3 Patogenesis..........................................................................................5
2.4 Diagnosis.............................................................................................7
2.5 Penatalaksanaan...................................................................................8
SINDROMA HIPEROSMOLAR HIPERGLIKEMIK..............................................14
3.1 Definisi................................................................................................14
3.2 Epidemiologi.......................................................................................14
3.3 Patogenesis..........................................................................................14
3.4 Diagnosis.............................................................................................16
3.5 Perbandingan KAD dan HHS..............................................................17
3.6 Faktor pencetus KAD dan HHS..........................................................19
3.7 Penatalaksanaan...................................................................................20
3.8 Pencegahan..........................................................................................22
KESIMPULAN..........................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................24

PENDAHULUAN
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan metabolik yang dikarakteristikkan
dengan hiperglikemi sebagai hasil dari defek sekresi dan atau kerja insulin.(1) Hiperglikemia
yang berkepanjangan ini berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi serta
kegagalan berbagai sistem organ seperti mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. (1)
Diabetes dan komplikasinya telah menjadi beban kesehatan di seluruh dunia serta menjadi
3

tantangan besar, tidak hanya bagi pasien namun juga untuk sistem kesehatan dan
perekonomian nasional.(2) Estimasi terakhir International Diabetes Federation, terdapat 382
juta orang yang hidup dengan diabetes di dunia pada tahun 2013.(3) WHO memperkirakan
antara tahun 2000 dan 2030, populasi seluruh dunia akan meningkat 37% dan jumlah
penderita diabetes pun akan meningkat 114%.(2) Peningkatan terbesar epidemi diabetes salah
satunya terjadi di Asia. Pertumbuhan penduduk, proses penuaan dan angka urbanisasi di Asia
menunjukkan India dan China menjadi dua negara dengan angka penderita diabetes tertinggi
(79,4 juta jiwa dan 42,3 juta jiwa). Sebagai tambahan, diantara sepuluh besar negara dengan
angka penderita diabetes tertinggi, terdapat empat negara Asia lainnya, yaitu : Indonesia,
Pakistan, Bangladesh, dan Filipina.(2)
Diabetes mellitus memiliki dua komplikasi, komplikasi akut dan komplikasi kronis.
Komplikasi akut mencakup dua kegawatan metabolik, antara lain ketoasidosis diabetik
(KAD) dan sindroma hiperosmolar hiperglikemik (HHS). Dua komplikasi akut diabetes
mellitus ini menjadi hal yang mengancam nyawa terutama di negara berkembang. (4) Walaupun
kedua kelainan ini menghasilkan keadaan hiperglikemi yang parah, namun patofisiologi yang
mendasari, presentasi klinis dan terapi keduanya cukup berbeda. (5) KAD dikarakteristikkan
dengan hiperglikemi, asidosis metabolik dan peningkatan konsentrasi keton di dalam
sirkulasi tubuh. Sementara HHS dikarakteristikkan sebagai defisiensi konsentrasi insulin
yang bersifat relatif untuk menjaga keadaan normoglikemia namun masih dalam batas cukup
untuk mencegah lipolisis dan ketogenesis.(4)
Tujuan pembuatan referat ini agar dapat membedakan kedua kelainan yang seringkali
terjadi tumpang tindih. Selain itu, fokus pembahasan diagnosis dan terapi pada dua kelainan
sehingga dapat dikenali tanda dan gejala nya lebih awal.

KETOASIDOSIS DIABETIKUM (KAD)


2.1

Definisi
Ketoasidosis diabetikum (KAD) adalah komplikasi metabolik akut, mayoritas dari

diabetes mellitus tipe 1 yang disebabkan oleh defisiensi insulin berat sehingga mengarah
kepada keadaan hiperglikemia.(6) KAD merupakan penyebab mortalitas paling umum pada
penderita diabetes mellitus tipe 1 dibawah usia 40 tahun.(6)
2.2

Epidemiologi
Dari data yang ada menunjukkan kejadian KAD meningkat dari 80.000 perawatan

pada tahun 1988 sampai 140.000 pada 2009 untuk kasus dimana KAD ditempatkan sebagai
4

diagnosis primer. Secara keseluruhan, mortalitas KAD memiliki kisaran 1% pada dewasa, 5%
pada lanjut usia dengan komorbid, dan 2-5% pada anak-anak. (5) Laporan CDC terbaru
menunjukkan 123.000 perawatan untuk diagnosis KAD pada tahun 2007. Dari data tersebut
ditemukan 89% pasien berusia lebih dari 15 tahun dengan laki-laki sedikit mengungguli
wanita.(16)
Patogenesis (4,6,8-10)
Karakteristik KAD adalah triase yang terdiri dari : hiperglikemia, asidosis metabolik,

2.3

dan peningkatan konsentrasi benda keton. Ketidakseimbangan metabolik ini merupakan hasil
dari faktor-faktor yang saling bersinergi, antara lain:

Defisiensi insulin relatif maupun absolut mengarah ke keadaan hiperglikemi.


Defisiensi insulin, meningkatkan lipolisis sehingga meningkatkan ketogenesis pada

KAD.
Peningkatan kadar hormon-hormon kontra regulator yang mengarah kepada
peningkatan kadar glukosa dan mencetuskan lipolisis.
Hiperglikemia terjadi akibat kombinasi dari peningkatan produksi glukosa hepar dan

renal (via glikogenolisis dan glukoneogenesis) serta terganggunya penggunaan glukosa pada
jaringan perifer.(4) Rendahnya kadar insulin juga turut merangsang katabolisme dari protein
otot yang meningkatkan kadar alanin di dalam darah. Dari peningkatan jumlah substrat non
karbohidrat yaitu, alanin dan gliserol serta dibantu dengan peningkatan aktivitas enzim
glukoneogenik, phosphoenol pyruvate carboxylase-PEPCK, bifosfatase dan piruvat
karboksilase merangsang peningkatan glukoneogenesis di hepar.(4) Sebagai hasilnya, kadar
glukosa darah akan meningkat. Setelah produksi glukosa yang bertambah, ketidakefektifan
penggunaan glukosa pada jaringan perifer akibat rendahnya kadar insulin dan tingginya
konsentrasi katekolamin berdampak pada menurunnya uptake jaringan. Rendahnya kadar
insulin juga bersama dengan peningkatan kadar hormon kontra regulator terutama epinefrin
akan mengaktivasi hormon lipase sensitif pada jaringan adiposa yang menyebabkan lipolisis.
(9)

Hasil dari lipolisis adalah pemecahan trigliserid menjadi gliserol dan asam lemak bebas. (6,10)

Peningkatan lipolisis dan ketogenesis akan memicu ketonemia serta asidosis metabolik
(ketoasidosis).(9) Populasi benda keton utama terdiri dari 3-beta hidroksibutirat, sementara
aseton sebenarnya tidak termasuk komponen utama. Walaupun sudah dibentuk banyak benda
keton untuk sumber energi, sel-sel tubuh tetap masih lapar dan terus memproduksi glukosa.
Hiperglikemia dah hiperketonemia mengarahkan pada keadaan diuresis osmotik, dehidrasi,
dan kehilangan elektrolit yang dapat mempengaruhi perfusi ginjal. Perubahan pada ginjal ini
5

akan memicu lebih lanjut hormon stres sehingga akan terjadi perburukan hiperglikemia dan
hiperketonemia. Secara singkat, penyebab keadaan hiperglikemia, asidosis metabolik serta
peningkatan konsentrasi keton dalam darah adalah kombinasi dari defisiensi insulin relatif
maupun absolut dengan peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin,
kortisol, growth hormone, dan somatostatin). Peningkatan kadar hormon ini sebagai respon
terhadap kondisi stres seperti sepsis, trauma, penyakit gastrointestinal berat, infark miokard
akut, stroke, dan lainnya.(9)

2.4

Diagnosis
Diagnosis KAD didapatkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang

yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini : (5,7,9,11,12)

Anamnesis

KAD
- Onset munculnya gejala dalam kurun waktu 24 jam
- Mual, muntah, nyeri abdomen difus.
- Riwayat DM tipe 1 (lebih sering)
- Poliuria, polidipsi, penurunan berat badan dirasakan sebelum lelah,
kram otot, mual dan nyeri perut.
- Rasa haus
- Cari tanda-tanda pencetus seperti : infeksi traktus urinarius, traktus
respiratorius, onset DM tipe 1 dan iskemia jaringan (pada otak dan atau

Pemeriksaan
fisik

jantung)
- Wajah kemerahan (flushed face)
- Kesadaran : tergantung derajat beratnya DKA (ringan, sedang, berat)
6

- Pernapasan : kussmaul / takipnea, nafas berbau keton.


- Suhu dalam batas normal atau cenderung hipotermi.
- Tanda-tanda dehidrasi : turgor kulit menurun, membran mukosa kering,

Pemeriksaan
penunjang

takikardi, dan hipotensi.


- Nyeri tekan abdomen, terutama pada anak namun bisa di dewasa.
- Gluk plasma : >250 mg/dL
- pH darah arteri :
Ringan : 7,25 - 7,30
Sedang : 7 - <7,24
Berat : <7
- Bikarbonat serum :
Ringan : 15-18 mEq/L
Sedang : 10-<15 mEq/L
Berat : <10 mEq/L

- Keton dalam urine : Ada


- Keton dalam darah : Ada
- Osmolalitas serum efektif :
Bervariasi
- Anion gap :
Ringan : >10
Sedang - berat : >12
- Status mental :
Ringan : sadar dan tanggap
Sedang : sadar - somnolen
Berat : sopor/ koma
Substansi yang diukur pada pengukuran elektrolit meliputi dua ion positif (kation),
dan dua ion negatif (anion). Kation dan anion yang diukur ini berasal dari kation dan anion
dominan pada masing-masing intra dan ekstraselular. Kation yang diukur antara lain sodium
(Na+) dan potasium (K+), sedang anionnya klor (Cl-) dan bikarbonat (HCO3-). Saat total kation
dan total anion dibandingkan, normalnya total kation lebih besar dibandingkan dengan total
anion, hal inilah yang diketahui sebagai anion gap. Perbedaan besar anion dan kation ini
karena tidak semua anion diukur, seperti : asam organik, fosfat dan sulfat.(20)
Pengukuran anion gap ini membantu untuk menentukan kemungkinan terjadinya
asidosis metabolik. Asidosis metabolik yang dapat meningkatkan anion gap berkaitan dengan
keadaan seperti gagal ginjal, ketoasidosis diabetikum dan asidosis laktat. Anion gap diukur
dengan rumus : (20)

Nilai normal anion gap 16 4 mEq/L (16 4 mmol/L SI units) (~15 mmol/L)

2.5

Penatalaksanaan
Ketoasidosis diabetikum (KAD) dan sindroma hiperosmolar hiperglikemik (HHS)

merupakan kegawatdaruratan medis yang memerlukan penanganan tepat dan segera.


Penanganan meliputi anamnesis lengkap, pemeriksaan fisik, dan observasi/monitoring secara
ketat. Pada bagian kegawatdaruratan, rangkaian pemeriksaan dan tindakan yang harus
dilakukan pada pasien dengan krisis hiperglikemi meliputi:

Pemantauan glukosa dan keton pada darah setiap jam


Pemantauan kadar natrium, kalium, fosfat dan magnesium dalam darah
Pemantauan osmolalitas dan anion gap
Pemantauan analisa gas darah (vena)
Urinalisa untuk menilai ada tidaknya glukosa dan keton
Darah lengkap dan pemeriksaan pembekuan darah. Fungsi hepar, enzim jantung

dan creatinine clearence dilakukan sesuai dengan indikasi


EKG
Foto rontgen toraks
Observasi keadaan neurologis dengan Glasgow coma scale dan CT pada pasien
dengan kesadaran koma atau perburukan kondisi neurologis

Secara umum, tatalaksana pasien dengan KAD dan HHS meliputi rehidrasi intravena
untuk koreksi cairan elektrolit, terapi insulin, menegakkan diagnosis dan manajemen untuk
pencetus keadaan ini dan tindakan pencegahannya.(12) Pada KAD, rehidrasi cairan yang
dilakukan jumlahnya bervariasi tergantung dari hemodinamika, status hidrasi, kadar
elektrolit, dan produksi urin.(5,9) Proses rehidrasi cairan ini akan sangat mempengaruhi
pencapaian target glukosa darah, hilangnya benda keton, dan perbaikan asidosis.(9) Sedangkan
pada HHS, dilakukan pemantauan konsentrasi glukosa darah yang lebih ketat serta pemberian
insulin yang lebih cermat dan hati-hati. Pasien dengan HHS memerlukan monitoring ketat
terhadap kondisi dan respons terapi yang diberikan. Pasien HHS harus dirawat dan sebagian
besar harus dirawat di ruang rawat intensif atau intermediate.(9) Menurut Kitabchi et al.,
Diabetes Care 2006, estimasi kehilangan air dan elektrolit pada pasien KAD dan HHS
disebutkan sebagai berikut (14) :

Total air (L)


Air (ml/kg)
Na+ (mEq/kg)
Cl- (mEq/kg)
K+ (mEq/kg)

KAD
6
100
7-10
3-5
3-5

HHS
8
100-200
5-13
5-15
4-6
8

PO43- (mmol/kg)
Mg2+ (mEq/kg)
Ca2+ (mEq/kg)

2.5.1

5-7
1-2
1-2

3-7
1-2
1-2

Tatalaksana ketoasisdosis diabetikum


Hal yang dilakukan pertama kali di ruang kegawatdaruratan pada pasien KAD adalah

resusitasi cairan. Tindakan ini bersifat krusial, karena berfungsi untuk memperbaiki volume
intravaskular, interstisial, dan intraselular serta pengembalian perfusi ke ginjal. Total cairan
yang hilang pada KAD diperkirakan antara 5-7 L. Pemberian cairan secara intravena
bertujuan untuk menggantikan kekurangan cairan dan elektrolit serta mengurangi konsentrasi
glukosa plasma dan hormon kontra regulator. Pemasangan cairan intravena wajib dilakukan
sebelum memulai pemberian insulin pada HHS terutama pasien lanjut usia dalam rangka
menjaga volume vaskular. Cairan salin isotonik umumnya diberikan dengan dosis 15-20
mL/kgBB/jam atau 1-1,5 L pada jam pertama. Setelah kondisi pasien terstabilisasi, apabila
kadar natrium yang terkoreksi normal atau meningkat, cairan salin (0,9%) dapat diubah
menjadi cairan setengan salin (0,45%) dengan dosis 250-500 mL/jam. Namun bila kadar
natrium yang terkoreksi masih rendah, cairan salin dilanjutkan dengan dosis yang sama.
Respon resusitasi cairan ini dinilai dari keadaan hemodinamik (tekanan darah dan nadi),
pemeriksaan fisik (status hidrasi), produksi urin serta nilai laboratorium. (14) Resusitasi cairan
dapat dilakukan sampai 24 jam, dan resusitasi cairan sangat mempengaruhi pencapaian target
glukosa darah, hilangnya benda keton, dan perbaikan asidosis.

Insulin
Insulin merupakan farmakoterapi kausatif utama untuk KAD. Insulin menurunkan
jumlah pelepasan glukagon dari pankreas, menurunkan glukoneogenesis dan
ketogenesis (dengan menurunkan lipolisis dan sekresi glukagon), membatasi efek
glukagon di hepar, serta meningkatkan penggunaan dan uptake glukosa pada jaringan
perifer.(12,17) Satu-satunya kontraindikasi pemberian insulin adalah nilai potasium
dalam darah <3,5 mEq/L dimana insulin akan memperparah keadaan hipokalemia
dengan perpindahan potasium ke dalam sel.(14) Rekomendasi saat ini untuk terapi
insulin pada KAD adalah loading dose insulin intravena 0,1 unit/kgBB per jam IV
drip dan dengan kadar maksimal 10 unit dalam 1 jam. Jika glukosa darah pasien tidak
turun 10% dari kadar pada jam pertama, maka dilakukan penambahan dosis loading
intravena 0,14 unit/kgBB.(5) Saat kadar gula darah mencapai 200-250 mg/dL,
9

kecepatan pemberian insulin harus dikurangi 1-2 unit/jam dan dilakukan penambahan
dekstrosa 5% ke cairan intravena (glucose-insulin clamp). Teknik ini dilakukan guna
mencegah terjadinya hipoglikemia namun tetap menjaga insulin dalam jumlah cukup
untuk mengatasi ketoasidosis pada KAD. (14)

Bikarbonat

Ketidakseimbangan bikarbonat dapat terjadi pada pasien KAD dan HHS. Pada KAD
walaupun kadar serum bikarbonat selalu rendah, namun pemberian bikarbonat sebagai
terapi jarang diberikan dan masih kontroversial.(17) Penggunaan bikarbonat eksogen
dapat mencetuskan terjadinya hipokalemia, penurunan ambilan oksigen jaringan,
risiko edema serebri, dan perlambatan perbaikan ketosis. (9,17) Apabila diperlukan,
pemberian bikarbonat sebaiknya diberikan pada pasien dengan asidosis berat (pH
arteri <6,9) atau ketika pH <7,1 serta terjadi ketidakstabilan hemodinamik atau
terdapat tanda hiperkalemi pada elektrokardiografi. (17) Pada keadaan ini, 100 ml
sodium bikarbonat dicampur dengan 400 ml akua steril dan diberikan secara intravena

10

200 ml/jam biasanya mencukupi, walaupun re-dosing setiap 2 jam perlu dilakukan

sampai pH >7,0.(17)
Potasium (K+)
Disamping penurunan kadar total potasium dalam tubuh akibat dari diuresis osmotik
glikosuria, serum potasium biasanya normal.(17) Perpindahan potasium dalam darah
terjadi sebagai hasil dari perpindahan ekstraselular yang berhubungan dengan
defisiensi insulin dan asidosis. Kematian pada fase inisial resusitasi biasanya
berkaitan dengan hiperkalemia sedangkan penyebab tersering kematian pada fase
lanjut resusitasi berkaitan dengan hipokalemia.(5) Kekurangan potasium pada KAD
berkisar antara 3-5 mEq/kg. Prosedur penentuan pemberian potasium, apabila kadar
potasium <3,5 mmol/L koreksi hipokalemi harus segera diberi sebelum terapi insulin
dimulai. Kadar potasium 3,5-5,5 mmol/L mengindikasikan pemberian potasum dan
apabila kadar potasium >5,5 mmol/L penggantian tidak perlu dilakukan. Sesuai
dengan rekomendasi JBDSICG (2010) penggantian penurunan potasium dengan
menambahkan 20-40 mmol potasium ke dalam infus natrium klorida. Ditambah
dengan pemantauan kardiak selama penggantian potasium.(12)

Fosfat
Hipofosfatemia juga merupakan salah satu manifestasi KAD. Kadar serum <1,5
mg/dL dengan kelemahan sistem respirasi dan skeletal sudah harus dimulai terapi
dengan dipotasium difosfat intravena dengan kecepatan 0,5 mL/jam. Pada awalnya,
kadar fosfat serum pada pasien berada dalam batas normal, namun terjadi penurunan
kadar fosfat dalam darah sejumlah 0,5-1 mmol/L pada pasien dengan KAD setelah
pemberian terapi insulin.(5,17) Pemberian fosfat perlu dipertimbangkan apabila
kadarnya <1mg/dL atau terdapat bukti klinis seperti hemolisis, asidosis refrakter,
penurunan cardiac output, kelemahan otot-otot pernapasan, depresi susunan saraf
pusat, kejang, koma atau acute renal failure.(17)

11

SINDROMA HIPEROSMOLAR HIPERGLIKEMIK (HHS)

3.1

Definisi

12

Sindroma hiperosmolar hiperglikemik (HHS) adalah suatu sindrom yang ditimbulkan


dari keadaan hiperglikemik darurat akut pada pasien diabetes mellitus tipe 2. Karakteristik
sindrom HHS, meliputi : hiperglikemia berat, hiperosmolaritas, dan dehidrasi tanpa disertai
ketoasidosis.(7)

3.2

Epidemiologi
Dibandingkan pasien dengan KAD, tingkat perawatan rumah sakit untuk pasien

dengan HHS secara signifikan lebih rendah. Namun antara tahun 1997-2009 terjadi
peningkatan hospitalisasi pasien HHS sebanyak 52,4% pada anak dan dewasa. Keadaan ini
berbanding terbalik dengan tingkat mortalitas pasien HHS yang lebih tinggi dibandingkan
dengan KAD dengan kisaran 10-20%.(5) Kejadian KAD dan HHS juga dipengaruhi faktor
usia, dimana KAD umumnya mengenai orang muda dan HHS lebih banyak terjadi pada
orang lanjut usia, dengan rata-rata usia onset pada dekade ketujuh.(9)

3.3

Patogenesis
HHS dikarakteristikkan dengan peningkatan ekstrim konsentrasi glukosa dalam serum

dan hiperosmolaritas tanpa ketosis. Kekacauan metabolik pada HHS juga merupakan hasil
dari defisiensi insulin dan peningkatan hormon-hormon kontraregulator. Faktor yang
memulai HHS adalah diuresis glikosuria. Peningkatan konsentrasi glukosa dan osmolaritas
dari ekstraselular, mengakibatkan terjadi gradien osmolar sehingga air keluar dari dalam sel.
Glukosuria membuat kegagalan pada kemampuan ginjal dalam mengonsentrasikan urin
sehingga memperberat derajat kehilangan air. Dalam keadaan normal, ginjal berfungsi untuk
mengeliminasi glukosa yang melebihi ambang batas tertentu. Tapi penurunan volume
intravaskular akan menurunkan laju filtrasi glomerulus yang membuat konsentrasi glukosa
meningkat. Hilangnya air lebih banyak dibanding natrium menyebabkan keadaan
hiperosmolar. Keadaan hiperosmolar ini memicu sekresi hormon anti diuretik serta
menimbulkan

rasa

haus.

Hiperglikemia

pada

HHS

timbul

akibat

peningkatan

glukoneogenesis dan peningkatan konversi glikogen menjadi glukosa (glikogenolisis) serta


penggunaan glukosa pada jaringan perifer (otot) yang inadekuat. Insulin yang ada tidak
cukup untuk menurunkan konsentrasi glukosa darah. Keterbatasan ketogenesis karena
keadaan hiperosmolar, konsentrasi asam lemak bebas yang rendah untuk ketogenesis, serta
tingginya rasio sirkulasi insulin per glukagon menjadi hipotesis tidak terjadinya ketoasidosis
13

pada pasien HHS. Hiperglikemia dan hiperosmolar ini jika kehilangan cairan nya tidak
diperbaiki dengan oral intake maka dapat menimbulkan dehidrasi dan kemudian
hipovolemia. Hipovolemia dapat menyebabkan hipotensi, yang berefek pada gangguan
perfusi jaringan. Keadaan koma merupakan stadium akhir dari proses hiperglikemik ini
dimana telah terjadi gangguan elektrolit berat dalam hubungan dengan hipotensi.

Skema patogenesis KAD dan HHS (14)

3.4
Diagnosis HHS
Diagnosis HHS didapatkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang
yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini : (5,7,9,11,12)
14

Anamnesis

HHS
- Onset munculnya gejala lebih gradual, beberapa hari-minggu
- Riwayat DM tipe 2 (lebih sering)
- Poliuria dan polidipsi
- Penurunan berat badan
- Rasa lemah, gangguan penglihatan, kram tungkai.
- Kejang (fokal / general)
- Riwayat infeksi traktur respiratorius (terutama pneumonia), infeksi traktus
urinarius, sepsis, infark miokard, dan penggunaan diuretik, beta bloker serta

Pemeriksaan
fisik

Pemeriksaan
penunjang

steroid.
- Kesadaran : somnolen, letargi, delirium, koma
- Subfebris (low grade fever)
- Gangguan penglihatan
- Tanda-tanda dehidrasi : turgor kulit yang buruk, mukosa bukal kering, mata
cekung, akral dingin, takikardi, hipotensi
- Distensi abdomen
- Tanda neurologis lokal (hemianopia dan atau hemiparesis)
- Defisit neurologis sensoris.
- Gluk plasma : >600 mg/dL
- pH darah arteri :
>7,30
- Bikarbonat serum :
>18 mEq/L

- Keton dlm urine :


Sedikit - tidak ada
- Keton dlm darah :
Sedikit-tidak ada
- Osmolalitas serum efektif :
>320 mOsm/kg
- Anion gap :
<12
- Status mental :
Sopor-koma. Terlihat perubahan pada tingkat yang lebih berat.

3.5

Perbandingan KAD dan HHS (13)

Usia
Durasi gejala
Kadar gula darah
Kadar sodium serum
Kadar potasium serum

KAD
< 40 tahun
< 2 hari
< 600 mg/dL
Normal atau rendah
(130-140 mEq/L)
Normal atau tinggi
(5-6 mEq/L)

HHS
> 60 tahun
> 5 hari
> 600 mg/dL
Normal atau tinggi
(145-155 mEq/L)
Normal
(4-5 mEq/L)
15

Kadar bikarbonat serum


Benda keton
PH
Osmolalitas serum
Defisit cairan
Edema serebral

< 15 mEq/L
+ pada dilusi 1:2
< 7,35
< 320 mOsm/kg
10% BB
Asimptomatik dan jarang

> 15 mEq/L
- pada dilusi 1:2
> 7,3
> 320 mOsm/kg
15% BB
Sangat jarang.

Prognosis

tampak secara klinis.


Mortalitas : 3-10%
>20% pada pasien >65 tahun

Mortalitas : 10-20%

Perbandingan KAD dan HHS meliputi karakteristik individu, kadar elektrolit dalam
darah, kadar keton, pH, osmolalitas serum, jumlah kekurangan cairan, risiko edema serebral
dan prognosis. Osmolalitas serum diukur untuk menentukan jumlah bahan-bahan kimia
terlarut dalam darah. Bahan-bahan yang mempengaruhi osmolalitas serum : natrium, klorida,
bikarbonat, protein dan glukosa. ADH (anti diuretic hormone) memiliki sebagian peran
dalam mengatur osmolalitas serum. Cairan secara konstan keluar dari tubuh melalui
berkeringat, bernapas, berkemih, dan melalui insensible water loss. Jika seseorang tidak
mengonsumsi air dalam jumlah cukup konsentrasi bahan-bahan kimia terlarut dalam darah
akan meningkat. Ketika terjadi peningkatan osmolalitas serum, tubuh akan melepaskan ADH.
ADH akan mempertahankan cairan untuk keluar dari tubuh sehingga menjaga volume cairan
intravaskular. Rumus menghitung osmolalitas serum : (18)

Walaupun banyak rumus osmolalitas serum ini mengikutsertakan kadar BUN, namun
karena dianggap adanya distribusi yang seimbang pada intra dan ekstraselular sehingga BUN
tidak diikutsertakan kedalam penghitungan osmolalitas serum efektif. Begitu juga dengan
16

potasium yang digunakan pada beberapa rumus namun tidak direkomendasikan oleh
American Diabetes Association (ADA).(19)

3.6

Faktor pencetus KAD dan HHS (17)

3.7
Tatalaksana
hiperglikemik

hiperosmolar

sindrom
Penatalaksanaan HHS memiliki tujuan memperbaiki kelainan yang mendasari,
menormalkan osmolalitas pasien secara aman dan bertahap, mengganti cairan dan elektrolit

17

yang hilang serta menormalkan glukosa darah. Tujuan lainnya juga sebagai pencegahan
terhadap terjadinya trombosis pada arteri dan vena, ulkus pada kaki, juga komplikasi lain
yang mungkin terjadi.(15) Pasien dengan HHS biasanya memiliki komorbid multipel sehingga
membutuhkan monitor intensif. The Joint British Diabetes Societies (JBDS) menyebutkan
adanya satu atau lebih hal-hal dibawah ini mengindikasikan kebutuhan pemantauan khusus,
antara lain :

Osmolalitas > 350 mosmol/kg


Sodium > 160 mmol/L
pH arteri atau vena <7,1
Hipokalemi < 3,5 mmol/L atau hiperkalemia > 6 mmol/L
GCS <12 atau abnormal skala AVPU (Alert, Voice, Pain, Unresponsive)
Saturasi O2 < 92%
Tekanan darah sistolik < 90 mmHg
Nadi > 100 atau < 60
Urin output < 0,5 ml/kg/jam
Kreatinin serum > 200 mol/L
Hipotermia
Infark miokard atau stroke
Penatalaksanaan HHS meliputi lima pendekatan, antara lain (1) Rehidrasi intravena

agresif, (2) Penggantian elektrolit, (3) Pemberian insulin intravena, (4) Diagnosis dan
manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta, (5) Pencegahan.(9)

Cairan dan elektrolit


Langkah pertama dan terpenting dalam penatalaksanaan HHS adalah rehidrasi cairan
secara agresif yang dimulai dengan mempertimbangkan perkiraan defisit cairan 100-200
ml/kg atau rata-rata sekitar 8-9 L.(9) Tujuan dari rehidrasi adalah ekspansi volume intra dan
ekstravaskular serta mengembalikan perfusi perifer. Rehidrasi juga bertujuan untuk
menggantikan 50% dari estimasi hilangnya cairan dalam 12 jam pertama. Pada 12 jam
berikutnya, jumlah pemberian cairan ditentukan dari derajat berat penyakit, kelainan ginjal
dan komorbid. Pilihan cairan yang direkomendasikan ialah cairan kristaloid 0,9% natrium
klorida dengan penambahan kalium sesuai jumlah yang diperlukan. (15) Pada sebagian besar
kasus HHS, normalisasi osmolalitas serum dan status mental terjadi saat hiperglikemia
terkoreksi, dan glucose clamp pada keadaan ini tidak diperlukan.(14)
Jumlah terapi cairan inisial yang diberikan adalah bolus 500 ml dilanjutkan dengan 12 L selama 2 jam pertama.(5) Terapi rehidrasi cairan saja (tanpa insulin) dapat menurunkan
glukosa darah yang bisa menurunkan osmolalitas dan menyebabkan perpindahan air kedalam
ruang intraselular. Bersamaan dengan peningkatan kadar natrium sebagai hasil akhir
18

rehidrasi, penurunan glukosa darah 5,5 mmol/L menghasilkan peningkatan kadar natrium
sebanyak 2,4 mmol/L. Peningkatan kadar natrium perlu menjadi perhatian apabila tidak
disertai dengan penurunan osmolalitas. Penurunan glukosa darah yang terlalu cepat perlu
dihindari, nilai aman penurunan kadar gula darah yang direkomendasikan antara 4-6
mmol/L/jam (Kitabachi,2009). Normalisasi perbaikan cairan, elektrolit serta osmolalitas pada
HHS diperkirakan dapat mencapai 72 jam.(15)
Sementara untuk perbaikan elektrolit, keadaan hiperkalemia pada HHS seringkali
terkoreksi dengan sendirinya dengan masuknya cairan dan terapi insulin. Untuk mencegah
terjadinya hipokalemia, penggantian kalium dilakukan dengan penambahan 20-30 mEq
natrium pada setiap liter cairan disaat kadar kalium turun <5,2 mEq/L. Karena baik
hiperkalemi dan hipokalemia dapat menimbulkan gangguan fungsi jantung, kadar kalium
sebaiknya diperiksa setiap 2 jam. Ketidakseimbangan fosfat dan magnesium lebih jarang
terjadi pada pasien HHS, namun kadarnya tetap harus dipantau dan proses perbaikan dimulai
saat kadarnya menurun dibawah nilai normal.(5)

Insulin
Menurut konsensus ADA tahun 2004-2009, terapi insulin pada pasien dengan HHS
dimulai dengan bolus 0,1 unit/kgBB/ jam sampai kadar glukosa darah mencapai <250 mg/dL,
baru kemudian kurangi dosis insulin 50%.(7) Namun menurut The Joint British Diabetes
Societies (JBDS), pemberian insulin didasarkan pada ada tidaknya ketonemia. Apabila
terdapat ketonemia >1mmol/L ini merupakan indikasi relatif hipoinsulinemia dan insulin
dianjurkan untuk dimulai saat itu. Sebaliknya, apabila tidak didapatkan ketonemia signifikan
<1 mmol/L, insulin sebaiknya jangan dimulai. Dosis rekomendasi insulin adalah fixed rate
intravenous insulin infusion (FRIII) yaitu 0,05 unit/kg/jam. Penurunan kadar glukosa 5
mmol/L/jam setelah resusitasi cairan masih dalam batas normal dan tetap membutuhan
pengkajian ulang asupan cairan serta evaluasi fungsi ginjal.(15)

19

3.8

Pencegahan KAD dan HHS


Banyak kasus dari KAD dan HHS yang dapat dicegah melalui perbaikan akses ke

pelayanan kesehatan, edukasi pasien yang memadai, dan komunikasi efektif dengan penyedia
layanan kesehatan tentang penyakit yang diderita.(12) Tujuan dari seluruh usaha ini adalah
peningkatan edukasi dan pengetahuan saat terjadi sakit, yang meliputi :
o Segera menghubungi penyedia layanan kesehatan,
o Menekankan pentingnya penggunaan insulin dan alasan mengapa penggunaannya
jangan sampai terputus tanpa berkonsultasi dahulu dengan tenaga kesehatan,
o Evaluasi target glukosa darah dan penggunaan short maupun long acting insulin,
o Konsumsi obat-obatan secara teratur untuk menurunkan risiko infeksi,
o Memulai konsumsi makanan lunak yang mengandung karbohidrat dan garam saat
merasa mual,
o Edukasi kepada anggota keluarga mengenai manajemen yang dapat dilakukan saat
terjadi serangan, seperti mengukur dan mencatat suhu, glukosa darah dan pengecekan
urin, insulin yang digunakan, oral intake dan berat badan.(14)

KESIMPULAN

20

Diabetes mellitus menjadi hal yang sulit, dari perjalanan penyakit, progresivitas juga
komplikasi yang ditimbulkan menjadi beban bagi tenaga medis dan penderita. Komplikasi
diabetes mellitus dibagi menjadi komplikasi akut dan komplikasi kronis. Komplikasi akut
dari diabetes mellitus antara lain ketoasidosis diabetikum (KAD) dan sindroma hiperosmolar
hiperglikemik (HHS). Ketoasidosis diabetikum (KAD) adalah komplikasi metabolik akut dari
diabetes mellitus tipe 1 yang disebabkan oleh defisiensi insulin berat yang mengarah kepada
keadaan hiperglikemia. Sedangkan sindroma hiperosmolar hiperglikemik (HHS) adalah suatu
sindrom yang ditimbulkan dari keadaan hiperglikemik darurat akut pada pasien diabetes
mellitus tipe 2.
Secara

keseluruhan,

ketoasidosis

diabetikum

dan

sindroma

hiperosmolar

hiperglikemik ini mempunyai kemiripan dalam hal gejala seperti poliuria, polidipsi,
penurunan berat badan, kelemahan, dehidrasi dan perubahan status mental serta faktor
pencetus terjadinya KAD dan HHS yang terbanyak karena infeksi, baik traktus respiratorius
maupun traktur urinarius. Perbedaan signifikan dari kedua penyakit ini pada onset munculnya
gejala, karakteristik individu yang terkena, kriteria diagnosis, jumlah cairan yang hilang, sisa
insulin dan kriteria resolusi. Selanjutnya penatalaksanaan KAD dan HHS serupa, dengan
fokus terapi yang berbeda. KAD berfokus memperbaiki keadaan ketoasidosis metabolik,
sedangkan HHS berfokus pada penurunan kadar glukosa darah. Banyak cara yang dapat
dilakukan untuk mencegah pasien diabetes mellitus jatuh ke dalam keadaan ini, namun hal
tersebut memerlukan kerjasama antara dokter, pasien serta keluarga.

DAFTAR PUSTAKA

21

1. American Diabetes Association. Diagnosis and classification of diabetes mellitus.


Diabetes care 2012; 35:S64-70.
2. Ramachandran A, Ma RCW, Snehalatha C. Diabetes in asia. Lancet 2010;375:408-18.
3. Kementrian Kesehatan RI. Infodatin : Pusat data dan informasi kementrian kesehatan
RI. Jakarta : Pusat Data dan Informasi; 2014. p 2-4.
4. Umipierrez GE, Murphy MB, Kitabchi AE. Diabetic ketoacidosis and hyperglycemic
hyperosmolar sydrome. Diabetes spectrum 2002;15:28-35.
5. Lenahan CM, Holloway B. Differentiating between DKA and HHS. J Emerg Nurs
2015;41:201-7.
6. Wilson V. Diagnosis and treatment of diabetic ketoacidosis. Emerg Nurse 2012;20:7.
7. Pasquel FJ, Umpierrez GE. Hyperosmolar hyperglycemic state : a historic review of
the clinical presentation, diagnosis, and treatment. Diabetes care 2014;37:3124-31.
8. Steenkamp DW, Alexanian SM, McDonnell ME. Adult hyperglycemic crisis : a
review and perspective. Curr Diab Rep 2013;13:130-37.
9. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. 6th ed. Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2014.
10. Chiasson JL, Aris-Jilwan N, Blanger R, Bertrand S, Beauregard H, Eko JM, et al.
Diagnosis and treatment of diabetic ketoacidosis and the hyperglycemic hyperosmolar
state. CMAJ 2003;168:859-66.
11. Kitabchi AE, Umipierrez GE, Miles JM, Fisher JN. Hyperglycemic crises in adult
patients with diabetes. Diabetes Care 2009;32:1335-43.
12. Garcia-Pascual MC, Kidby J. Procedures and medications to help patients control
their diabetes. Emerg Nurse 2012;20:30-5.
13. Andreoli TE, Loscalzo J, Carpenter CCJ, Griggs RC. Cecil Essentials of Medicine.
6thed. Michigan : W.B. Saunders; 2004.
14. Lupsa BC, Inzucchi SE. Chapter 2: Diabetic ketoacidosis and hyperosmolar
hyperglycemic syandrome. Endocr Emerg 2014;15-30.
15. Scott A, Claydon A. The management of the hyperosmolar hyperglycemic state
(HHS) in adults with diabetes. JBDS 06 NHS 2012;1-31.
16. Beneck JJ. Management of diabetic ketoacidosis in adults. The Clinical Advisor
2011;33-40.
17. Chaithongdi N, Subauste JS, Koch CA, Geraci SA. Diagnosis and management of
hyperglycemic emergencies. Hormones 2011; 10: 250-60.
18. Thomson EG, Dalkin AC. Serum osmolality. Website : WebMD. Nov 14th 2014. [Cited
Aug 23th 2015] . Available at : http://www.webmd.com/a-to-z-guides/serumosmolality
19. Stoner GD. Hyperosmolar hyperglycemic state. AAFP 2005; 71:1723-30.

22

23

Anda mungkin juga menyukai