BAB 1
PENDAHULUAN
lebih dari 15 tahun adalah 340 per 200.000 penduduk pada tahun 2013. Di
Provinsi Jawa Timur memiliki kasus TB terbanyak kedua setelah Provinsi
Jawa Barat (Kemenkes, 2011). Jumlah kasus baru TB di Kota Kediri pada
tahun 2012 berjumlah 531 kasus (Dinkes, 2013). Sedangkan jumlah penderita
TB di wilayah kerja Puskesmas Sukorame mengalami penurunan dari tahun
2013 yang berjumlah 40 menjadi 36 penderita pada tahun 2014 (Puskesmas
Sukorame, 2015).
Menurut Binongko (2012) dalam Maksalmina (2013), salah satu faktor yang
mempengaruhi penyakit TB Paru adalah status gizi. Status gizi adalah salah satu
faktor terpenting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi. Pada keadaan gizi
yang buruk, maka reaksi kekebalan tubuh akan melemah sehingga kemampuan
dalam mempertahankan diri terhadap infeksi menjadi menurun.
Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan
lain-lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan
terhadap penyakit termasuk TB Paru. Keadaan ini merupakan faktor penting yang
berpengaruh di negara miskin maupun berkembang, baik pada orang dewasa
maupun anak-anak (Manalu,2010). Orang dengan TB Paru aktif sering
kekurangan gizi dan mengalami defisiensi makronutrien serta penurunan berat
badan dan penurunan nafsu makan (WHO, 2012). Beberapa hasil penelitian yang
berkaitan dengan masalah TB Paru dan malnutrisi telah dilakukan antara lain:
pemberian diit Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) dan obat TB pada penderita
TB yang di rawat di rumah sakit akan menghasilkan perbaikan secara klinis
berupa peningkatan berat badan (Binongko, 2012).
Adapun faktor-faktor lain yang mempengaruhi status gizi pasien TB Paru adalah
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), lama pengobatan, tingkat pendapatan, dan
tingkat pendidikan. Berdasarkan hasil penelitian Pertiwi (2012), sebagian besar
para penderita TB Paru mempunyai kebiasaan atau perilaku yang tidak sehat,
seperti membuang dahak di sembarangan tempat dan tidak menutup mulut saat
batuk. Hasil penelitian Jayanti (2011) juga menunjukkan bahwa PHBS dalam
lingkungan keluarga berkorelasi positif dengan status gizi. Pengaruh lama
pengobatan juga terdapat pada penelitian Soemirat (2000), yaitu 15% pasien TB
memiliki status gizi buruk pada saat awal diagnosis dan setelah menjalani
pengobatan intensif selama dua bulan jumlah pasien yang mengalami gizi buruk
turun menjadi 8%. Menurut Soemirat (2000), faktor lain yang mempengaruhi
status gizi seseorang adalah tingkat pendapatan. Pendapatan per kapita pasien TB
Paru menjadi salah faktor yang berhubungan dengan status gizi pada pasien TB
Paru (Patiung, 2014). Tingkat pendidikan juga mempunyai hubungan yang
eksponensial dengan tingkat kesehatan. Semakin tinggi pendidikan semakin
mudah
menerima
konsep
hidup
sehat
secara
mandiri,
kreatif,
dan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberkulosis
2.1.1 Pengertian Tuberkulosis
Tuberkulosis yang dulunya disingkat menjadi TBC karena berasal dari
kata tuberkulosis, namun saat ini lazim disingkat dengan TB saja. Tuberkulosis
adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya seperti kulit, ginjal, usus, tulang, selaput otak, dan
lain-lain.
Semua
jenis
tuberkulosis
ini
sama-sama
disebabkan
oleh
menghasilkan lebih banyak pigmen, dan kurang tahan asam dari pada bentuk
pathogen (E.Jawetz,dkk,1982)
2.1.3 Gejala-Gejala Tuberkulosis
Gejala klinis pasien TB adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih .
Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk
darah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan menurun, malaise, keringat
malam hari tanpa kegiatan fisik, dan demam meriang lebih satu bulan
(Depkes,2006)
Gejala-gejala tersebut di atas dijumpai pula pada penyakit paru selain
tuberkulosis. Oleh sebab itu setiap orang yang datang ke unit pelayanan kesehatan
dengan gejala terebut di atas, harus dianggap sebagai seorang suspek Tuberkulosis
atau tersangka penderita TB dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung.
2.1.4 Mekanisme Terjadinya Penyakit TB Paru
Mekanisme penularan TB Paru dimulai dengan penderita TB Paru BTA (+)
mengeluarkan dahak berupa droplet nuklei ke lingkungan udara sebagai
aerosol (partikel yang sangat kecil sekali) yang mengandung kuman TB Paru.
Parikel aerosol ini terhirup melalui saluran pernafasan mulai dari hidung menuju
ke paru-paru tepatnya ke alveoli paru. Pada alveoli paru kuman TB Paru
mengalami pertumbuhan dan perkembangbiakan yang akan mengakibatkan
terjadinya destruksi paru. Bagian paru yang telah dirusak atau dihancurkan ini
akan berupa jaringan/sel-sel mati yang oleh karenanya akan diupayakan oleh paru
untuk dikeluarkan dengan reflek batuk. Oleh karena itu pada umumnya batuk
karena TB adalah produktif, artinya berdahak. Dahaknya dengan demikian
menjadi khas, yaitu mengandung zat-zat kekuning-kuningan berbentuk butirbutir/gumpalan dengan banyak basil TB di dalamnnya. (Danusantoso, 2001)
pencegahan
penularan (Depkes,2000).
Resiko penularan dengan arti sebesar 1%, berarti setiap tahun diantara 1000
penduduk, 10 (sepuluh) orang terinfeksi. Dapat diperkirakan bahwa pada daerah
faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TBC
adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya karena gizi buruk atau
HIV/AIDS ( Depkes, 2000)
Menurut WHO, riwayat terjadinya Tuberkulosis terbagi menjadi dua
bagian, yaitu: (Depkes, 2000)
a. Infeksi Primer
Pada saat orang pertama kali terpapar dengan kuman Tuberkulosis (TB) maka
itu dinamakan infeksi primer. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya,
sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilierbronkus, dan terus berjalan
sehingga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB
berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang
hal ini menjadi factor risiko terjadinya TB Paru yang penting, terutama jika
sumber ini tidak diobati. Penderita TB Paru yang tidak diobati, menurut
pernyataan WHO 50% akan meninggal setelah lima tahun, 25% akan sembuh
dengan sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi, 25% akan menjadi penderita
kronik sebagai carier (Depkes, 2000).
Banyak dari beberapa penelitian menyebutkan bahwa kontak diinfeksi oleh
kasus indeks sebelum kasus itu didiagnosa dan diobati (Feigin dan Cherry, 1992).
Sedangkan menurut Schlessberg (1983) dalam Sularso (1994), berpendapat
bahwa ada beberapa factor yang mempengaruhi terjadinya infeksi pada orang
yang pernah kontak dengan penderita TB Paru, yakni:
a. Diketahuinya reaksi tes kulit positif pada penderita TB Paru sebelum kontak
dengan orang sehat akan mengurangi resiko keterpajanan.
b. Infeksi akan terjadi lebih besar jika hubungan kontak dengan penderita TB Paru
meningkat.
c. Infeksi akan mungkin terjadi karena adanya hubungan yang erat antara
penderita dengan kontak
2.1.7 Penemuan Penderita TB
1. Penemuan penderita tuberkulosis pada orang dewasa.
Penemuan penderita TB dilakukan secara pasif (pasif promotif case finding), yaitu
menjaring tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang dating ke Unit
Pelayanan Kesehatan (UPK). Penemuan secara pasif didukung dengan
penyuluhan secara aktif oleh petugas kesehatan maupun oleh masyarakat untuk
meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita. Selain itu semua kontak
penderita TB Paru BTA positif dengan gejala yang sama, harus diperiksa
dahaknya.
2. Penemuan penderita tuberkulosis pada anak
Penemuan penderita tuberkulosis pada anak merupakan hal yang sulit, sebagian
besar diagnosis tuberkulosis anak didasarkan atas gambaran klinis, gambaran
radiologis dan uji tuberkulin.
2.2 Klasifikasi Penyakit TB berdasarkan Hasil Dahak Mikroskopis
Menurut Depkes RI, 2005, Klasifikasi penyakit TB dibagi dalam :
A. Tuberkulosis paru BTA Positif
1. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA Positif.
2. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukan gambaran tuberkulosis
3. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif
4.
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasil BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT
B. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB Paru BTA positif. Kriteria
diagnosis TB Paru BTA negatif harus meliputi :
1. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
2. Foto toraks abnormal menunjukan gambaran tuberkulosis
3. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT
4. Ditentukan( (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
2.2.1 Tipe Penderita
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe penderita yaitu :
1. Kasus baru, adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 hari).
2. Kambuh (relaps), adalah tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapatkan
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
3. Pindah (Transfe in), adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di
suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita
pindah tersebut harus membawa surat rujukan/pindah
4. Kasus berobat setelah lalai (pengobatan setelah default/drop out), adalah
penderita yang kembali berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif
setelah berobat (drop out) 2 bulan atau lebih.
5. Gagal, adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke 5 atau lebih, atau penderita BTA negatif
rontgen positif yang menjadi BTA positif setelah menyelesaikan pengobatan
ulang dengan kategori 2.
2.2.2 Prognosis TB Paru
Pasien yang tidak diobati, setelah 5 tahun akan (Depkes, 2005) :
1. 50% meninggal
2. 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi
3. 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular.
2.2.3 Pelayanan Kesehatan
Perawatan di rumah sakit bukanlah suatu keharusan bagi penderita TB Paru
untuk sembuh dari penyakitnya, kecuali terdapat komplikasi. Waktu pengobatan
relatif akan berjalan lama yaitu sekurang-kurangnya 6 bulan dan bisa sembuh
dengan kepatuhan menjalankan nasihat dokter atau petugas kesehatan terlatih dan
teratur meminum obat sesuai petunjuk. Tempat pelayanan dapat berupa balai
pengobatan, Puskesmas, dan Rumah Sakit yang memberikan pelayanan dengan
tujuan a). membuat penderita sembuh, b) mencegah kematian kepada
penderita, c) agar tidak kambuh, dan d) untuk menurunkan resiko penularan
(Depkes, 2000).
Upaya pelayanan untuk mencegah timbulnya penyakit Tuberkulosis dapat
dilakukan pada usia dini yaitu dengan pemberian imunisasi pasa anak usia mulai 0
bulan atau anak usia 6 tahun dan efek imunitasnya hanya berlangsung 6 tahun
atau kurang. Anak yang sejak usia 1 bulan mendapat suntikan imunisasi BCG
dapat meninggikan daya tahan tubuh terhadap kuman tuberkulosis yang virulen
(Depkes,2000). Strategi DOTS merupakan upaya penanggulangan TB Paru saat
ini. Program ini belum dapat menjangkau seluruh puskesmas, rumah sakit
pemerintah ataupun swasta dan unit pelayanan kesehatan lainnya.
2.3. Faktor Resiko Terjadinya Tuberkulosis
Faktor resiko yaitu semua variabel yang berperan timbulnya kejadian
penyakit. Pada dasarnya berbagai faktor resiko TB saling berkaitan satu sama
lain. Faktor resiko dapat dikelompokan dalam 2 kelompok yaitu faktor
kependudukan dan faktor resiko lingkungan. Faktor kependudukan terdiri dari
faktor karakteristik individu dan faktor sosial ekonomi sedangkan faktor resiko
lingkungan terdiri dari faktor fisik rumah dan faktor ketinggian wilayah
2.3.1 Faktor Karakteristik Responden
a. Umur
antara usia
jaringan kuman dapat tertidur lama (dorman) selama beberapa tahun dan tumbuh
secara optimal pada suhu sekitar 37C, sesuai dengan suhu tubuh manusia.
2.3.3 Faktor Lingkungan Fisik Rumah
Lingkungan yang kurang baik sebagai salah satu reservoir atau tempat yang
baik dalam menularkan penyakit menular seperti penyakit Tuberkulosis.Faktor
lingkungan erat kaitannya dalam penularan penyakit seperti lingkungan fisik,
biologi, ekonomi, social dan budaya (Soemirat, 2000).
Suatu permukiman/perumahan sangat berhubungan dengan kondisi ekonomi,
sosial, tradisi/kebiasaan, suku, geografi dan kondisi lokal. Selain itu lingkungan
perumahan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat menentukan kulitas
lingkungan perumahan tersebut, antara lain fasilitas kesehatan, perlengkapan,
peralatan yang dapat menunjang terselenggaranya kesehatan fisik, kesehatan
mental, kesehatan sosial bagi individu dan keluarganya.
2.3.4 Perilaku
Perilaku penderita merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabakan
timbulnya masalah penyebaran Tuberkulosis. Seorang penderita rata-rata dapat
menulari 2-3 orang anggota keluaganya. Namun demikian pengetahuan dan
perilaku penderita dalam mencegah agar anggota keluarga tidak tertular
berpengaruh besar dalam upaya kesembuhan dan pencegahan penyakit
Tuberkulosis (Sukana, 1999). Perilaku manusia sangat berpengaruh dalam
menularkan penyakit menular terutama perilaku yang tidak positif, sehingga
lingkungan dapat berubah sedemikian rupa menjadi tempat yang ideal sebagai
tempat penularan penyakit. Perilaku penderita TB Paru BTA positif yang tidur
bersama-sama dalam satu tempat tidur/kamar dengan istri, suami, anak, dan
2.3.5 Kemiskinan
Penderita TB yang hidup di daerah urban dengan lingkungan sosial ekonomi
yang rendah/miskin mempunyai masalah dengan keuangan karena kehilangan
pekerjaan, pendapatan, dan mengeluarkan biaya transport untuk pengobatannya.
Tidak dapat bekerja karena penyakitnya sehingga tidak mempunyai penghasilan.
Sehingga TB memicu terjadinya kemiskinan atau sebaliknya kemiskinan
merupakan faktor yang berkontribusi untuk terjadinya TB Paru ( Karyadi, Elvina,
2001).
2.4 Tinjauan Umum Tentang Pola Konsumsi
Pola konsumsi atau disebut juga dengan pola makan adalah berbagai
informasi yang menggambarkan mengenai macam dan jumlah bahan makanan
yang dimakan tiap hari oleh satu orang yang merupakan ciri khas untuk suatu
kelompok masyarakat. Sedangkan yang dimaksud dengan kebiasaan makan
seimbang adalah salah satu strategi dalam pencapaian perubahan pola konsumsi
makanan yang ada di masyarakat dengan tujuan akhir yaitu tercapainya status
gizi masyarakat yang baik.
Pedoman umum gizi seimbang (PUGS) adalah pedoman dasar tentang gizi
seimbang yang disusun sebagai penuntun pada perilaku konsumsi makanan di
masyarakat secara baik dan benar. PUGS digambarkan dalam logo berbentuk
kerucut. Dalam logo tersebut, bahan makanan dikelompokkan berdasarkan tiga
fungsi utama zat gizi, yaitu (Almatsier, 2006) :
1. Sumber energi atau tenaga, yaitu padi-padia atau serealia seperti beras,
jagung, dan gandum ; sagu; umbi-umbian seperti ubi, singkong dan talas; serta
makanan
individu/masyarakat
(Azwar, 2002). AKG untuk Indonesia didasarkan atas patokan berat badan untuk
masing- masing kelompok umur, gender, dan aktivitas fisik yang ditetapkan
secara berkala melalui survey penduduk. AKG digunakan sebagai standar untuk
mencapai status gizi optimal bagi penduduk dalam hal penyediaan pangan
secara nasional dan regional serta penilaian kecukupan.
Untuk mengatahui kebiasaan atau pola konsumsi dari individu atau
perorangan, maka dapat digunakan metode food recall 24 jam (Supariasa,
2002). Prinsip dari metode recall 24 jam, dilakukan dengan mencatat jenis dan
jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Dalam
metode ini, responden disuruh menceritakan semua yang dimakan dan diminum
selama 24 jam yang lalu (kemarin). Biasanya dimulai sejak ia bangun pagi
kemarin sampai dia istirahat tidur malam harinya, atau dapat juga dimulai dari
waktu saat dilakukan wawancara mundur ke belakang sampai 24 jam penuh.
Wawancara dilakukan oleh petugas yang sudah terlatih dengan menggunakan
kuesioner terstrukur. Hal penting yang perlu diketahui adalah bahwa dengan
recall 24 jam data yang diperoleh cenderung lebih bersifat kualitatif. Oleh
karena itu, untuk mendapatkan data kuantitatif, maka jumlah konsumsi makanan
individu ditanyakan secara teliti dengan menggunakan alat ukuran URT (sendok,
piring, gelas, dan lain-lain) atau ukuran lainnya yang biasa dipergunakan seharihari. karena itu, recall 24 jam sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan harinya
tidak berturut-turut. Kelebihan metode ini adalah, karena yang menyiapkan
model makanan dan mencatat adalah pewawancara, responden tidak dituntut
harus melek huruf. Hal yang mungkin menjadi sumber kesalahan, antara lain, (1)
orang tidak dapat mengingat dengan tepat, (2) makanan yang disantap kemarin
mungkin bukan makanan yang biasa disantap, (3) orang tidak sering melaporkan
makanan
dengan
baik
apabila
pemenuhan
gizi
dan
A) telah mengalami
Survei Konsumsi
Konsumsi pangan adalah indikator pola pangan yang baik, dan tidak mengukur
status gizi dengan cara yang tepat dan ;angsung. Akan tetapi, suatu studi
komsumsi lebih sering digunakan hanya sebagai salah satu teknik untuk
menunjukkan tingkat keadaan gizi dari dipakai sebagai salah satu pengukur.
2.
Pemeriksaan Fisik
Penilaian antropometri yang meliputi pengukuran tinggi badan, berat badan,
tebal lipatan kulit dan lingkar lengan merupakan teknik yang berharga untuk
digunakan sehubungan dengan pemeriksaan fisik guna menyaring individu
untuk penilaian tersebut. Cara ini sangat mudah dilakukan sehingga biasanya
dicantumkan dalam semua macam penilaian.
3.
Pemeriksaan Laboratorium
Cara pemeriksaan yang digunakan dalam penilaian status gizi, mempunyai
kemampuan untuk memberikan cara yang lebih tepat dan obyektif untuk menilai
status gizi. Teknik laboratorium yang paling sering digunakan adalah teknik
yang mengukur kandungan berbagai zat gizi dalam darah dan air seni.
Ada beberapa cara yang digunakan dalam pengukuran status gizi seseorang
terutama dalam menentukan berat badan ideal, salah satunya menggunakan
Indeks Massa Tubuh (IMT). Pengukuran antropometri yang paling mudah dan
paling sering dihubungkan dengan komposisi tubuh adalah Indek Massa Tubuh
(IMT). Perhitungan ini digunakan komposisi pada mereka dengan golongan usia
18 tahun atau lebih.
2
IMT = BB dalam kg / TB (dalam m )
Tabel 2.1 Klasifikasi IMT Orang Dewasa Menurut WHO (2000)
orang
terinfeksi kuman
gangguan sistem kekebalan pada tubuh. Gangguan sistem kekebalan tubuh pada
kondisi yang parah akan menyebabkan penurunan status gizi yang dapat
disebabkan oleh karena kurangnya asupan makanan yang disebabkan oleh
anoreksia, malabsorpsi, dan meningkatnya penggunaan zat gizi dalam tubuh.
Status gizi yang menurun sering dijumpai pada pasien Tuberkulosis termasuk
kehilangan lean body mass yang ditandai dengan penurunan berat badan.
Penyakit
Tuberkulosis
biasanya
berhubungan
dengan
rendahnya
kadar
Kurang energi dan zat gizi makro (protein dan karbohidrat) merupakan faktor
risiko berkembangnya Tuberkulosis Laten menjadi Tuberkulosis Aktif yang
berkaitan dengan sistem imunitas tubuh dan status gizi, serta mempermudah
yang
dapat
menyebabkan
kehilangan zat gizi makro dan mikro. Kurang energi dan protein akan
menurunkan imunitas sehingga dapat merusak efektivitas protektif vaksin BCG
(Kemenkes, 2014).
2.6.2 Kurang Zat Gizi Mikro
Kekurangan energi dan zat gizi makro menyebabkan defisiensi Zinc, vitamin
A, vitamin C, vitamin D, dan Fe, serta mengakibatkan kerusakan imunitas sel
yang sangat kritis untuk melawan Tuberkulosis. Zat gizi mikro tersebut juga
sangat penting pada pencegahan resistensi OAT.
Pada pasien Tuberkulosis umumnya ditemukan gejala anemia, namun
pemberian Fe tidak dianjurkan. Beberapa penelitian melaporkan bahwa
pemberian Fe dapat menyebabkan multiplikasi kuman Tuberkulosis, sehingga
memperberat penyakit (Kemenkes, 2014).
2.7 Hubungan Lama Pengobatan Dengan Status Gizi Pasien Tuberkulosis Paru
Pengobatan Tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan)
dan fase lanjutan (4-7 bulan). Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
ada hubungan antara lama sakit dengan ketidakpatuhan berobat pada penderita TB
Paru. Dimana juga terdapat hubungan antara ketidakpatuhan berobat dengan status
gizi pasien TB Paru. Penelitian pada pasien TB dengan usia 18tahun
menunjukkan 15% pasien TB memiliki status gizi buruk pada saat awal diagnosis
dan setelah menjalani pengobatan intensif selama dua bulan jumlah pasien yang
mengalami gizi buruk turun menjadi 8%. Penelitian yang dilakukan pada anak
berusia kurang dari lima tahun menunjukkan bahwa keberhasilan pengobatan
merupakan salah satu faktor yang mendukung terhadap peningkatan status gizi
(Soemirat, 2000).
2.8 Hubungan Status Sosial Eknomi Dengan Status Gizi Pasien Tuberkulosis Paru
WHO (2003) menyebutkan 90% penderita TB di dunia menyerang kelompok
sosial ekonomi lemah/miskin. Kondisi sosial ekonomi itu sendiri mungkin
tidak hanya berhubungan erat secara langsung, namun dapat merupakan penyebab
tidak langsung seperti adanya kondisi gizi buruk serta perumahan yang tidak
sehat dan akses terhadap pelayanan kesehatan juga menurun kemampuannya.
Menurut Soemirat (2000), faktor lain yang mempengaruhi status gizi
seseorang adalah tingkat pendapatan. Pendapatan per kapita pasien TB Paru
menjadi salah faktor yang berhubungan dengan status gizi pada pasien TB Paru
(Patiung, 2014). Pendapatan keluarga dipengaruhi oleh jenis pekerjaan seseorang
yang akan mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari diantaranya
konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi
terhadap kepemilikan rumah (Rohman, 2012) Tingkat pendidikan juga
mempunyai hubungan yang eksponensial dengan tingkat kesehatan. Semakin
tinggi pendidikan semakin mudah menerima konsep hidup sehat secara mandiri,
kreatif, dan berkesinambungan (Kartikasari, 2011). Latar belakang pendidikan
seseorang berhubungan dengan tingkat pengetahuan, jika tingkat pengetahuan gizi
seseorang baik maka diharapkan asuapan makan baik sehingga status gizinya juga
menjadi baik (Kartikasari, 2011).
2.9 Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Dengan Status Gizi Pasien
Tuberkulosis Paru
Faktor yang berpengaruh dalam penyebaran TB Paru dari kegagalan dalam
pengobatan secara tuntas adalah perilaku masyarakat sehingga setiap tahun selalu
ada kasus baru yang tercatat (Tobing, 2009). Menurut Suptriasa (2002), salah satu
yang mempengaruhi kesehatan adalah perilaku hidup bersih dan sehat, sehingga
jika seseorang memiliki perilaku hidup yang tidak sehat maka dapat terkena
penyakit infeksi dan terjadi penurunan status gizi. Berdasarkan hasil penelitian
Pertiwi (2012), sebagian besar para penderita TB Paru mempunyai kebiasaan atau
perilaku yang tidak sehat, seperti kebiasaan merokok, membuang dahak di
sembarangan tempat, dan tidak menutup mulut saat batuk. Hasil penelitian
Jayanti (2011) juga menunjukkan bahwa perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
dalam lingkungan keluarga berkorelasi positif dengan status gizi.
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
POLA KONSUMSI:
- ASUPAN ENERGI
ASUPAN
KARBOHIDRAT
- ASUPAN PROTEIN
STATUS GIZI
PASIEN TB
PARU
KARAKTERISTIK
RESPONDEN:
- PENDIDIKAN
- LAMA
PENGOBATAN
FAKTOR
EKONOMI:
TINGKAT
PENDAPATAN
Keterangan:
Menyebabkan
Diteliti
Status gizi adalah keadaan kesehatan fisik seseorang atau sekelompok orang
yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-ukuran gizi
tertentu (Supariasa, 2002). Gizi yang kurang menurunkan kekebalan tubuh pada
seseorang, sehingga akan mudah terjadi penyakit. Pada orang terinfeksi kuman
Mycobacterium tuberculosis terjadi gangguan sistem kekebalan pada tubuh.
Gangguan sistem kekebalan tubuh pada kondisi yang parah akan menyebabkan
penurunan status gizi yang dapat disebabkan oleh karena kurangnya asupan
makanan yang disebabkan oleh anoreksia, malabsorpsi, dan meningkatnya
penggunaan zat gizi dalam tubuh.
Kurang energi dan zat gizi makro (protein dan karbohidrat) merupakan faktor
risiko berkembangnya Tuberkulosis Laten menjadi Tuberkulosis Aktif yang
berkaitan dengan sistem imunitas tubuh dan status gizi, serta mempermudah
terjadinya infeksi Tuberkulosis Primer/baru.
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ada hubungan antara lama
sakit dengan ketidakpatuhan berobat pada penderita TB Paru. Dimana juga
terdapat hubungan antara ketidakpatuhan berobat dengan status gizi pasien TB
Paru.
Menurut Soemirat (2000), faktor lain yang mempengaruhi status gizi
seseorang adalah tingkat pendapatan. Pendapatan per kapita pasien TB Paru
menjadi salah faktor yang berhubungan dengan status gizi pada pasien TB Paru
(Patiung, 2014). Tingkat pendidikan juga mempunyai hubungan yang
eksponensial dengan tingkat kesehatan. Semakin tinggi pendidikan semakin
mudah
menerima
konsep
hidup
sehat
secara
mandiri,
kreatif,
dan
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
tingkat pendapatan, status pekerjaan, serta perilaku hidup bersih dan sehat
(kebiasaan merokok, menutup mulut ketika batuk, dan membuang ludah).
4.4.2 Variabel Terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah status gizi pasien Tuberkulosa Paru.
4.5 Definisi Operasional
Tabel 4.1 Definisi Operasional
No
.
1
Variabel
Pendidikan
2.
Tingkat
pendapatan
3.
Status Gizi
4.
Lama
Pengobatan
5.
Asupan
energi
4.
Asupan gizi
makronutrie
nt
Definisi
Operasional
Tingkat
pendidikan
formal terakhir
yang
diselesaikan.
Rata-rata
jumlah
pendapatan
keluarga yang
diperoleh tiap
bulan
Cara
Pengukuran
Kuisioner
Ordinal
Kuesioner
Ordinal
1. Pendapatan
rendah
(<Rp.1.500.000/
bulan)
2. Pendapatan
tinggi
(Rp.1.500.000/
bulan)
Keadaan
penderita
dengan melihat
indeks
masa
tubuh
Lama
pasien
menjalani
pengobatan TB
Asupan energi
yang diperoleh
dengan metode
food
recall
3x24
jam
terakhir
dan
hasilnya
dinyatakan
dalam
%
terhadap AKG
Asupan protein
dan karbohidrat
yang diperoleh
dengan metode
food
recall
3x24
jam
Kuesioner
Ordinal
Rekam medis
Ordinal
1. <6 bulan
2. 6 bulan
Form Food
Recall 3x24
jam
Ordinal
1. Kurang
<80%
AKG
2. Baik 80% AKG
Form Food
Recall 3x24
jam
Ordinal
1. Kurang
<80%
AKG
2. Baik 80% AKG
Skala
Kategori
Perilaku
merokok
6.
Perilaku
membuang
dahak
Perilaku
menutup
mulut
ketika batuk
terakhir
dan
hasilnya
dinyatakan
dalam
%
terhadap AKG.
Kebiasaan
merokok
(Kegiatan
responden
dalam
menghisap
rokok
yang
dilakukan
setiap
hari
dalam
kurun
waktu setahun)
Kebiasaan
membuang
dahak
yang
dilakukan
responden
Kebiasaan
menutup mulut
ketika batuk
Kuesioner
Nominal
1. Merokok
2. Tidak merokok
Kuesioner
Nominal
1. Buruk,membuan
g ludah selain
wadah tertutup
dan desinfektan
2. Baik, membuang
ludah
pada
wadah tertutup
dengan
desinfektan
Kuesioner
Nominal
1. Buruk,
tidak
menutup mulut
ketika batuk
2. Baik, menutup
mulut
ketika
batuk
disiapkan dan data sekunder berupa catatan rekam medis yang ada di Puskesmas
Sukorame (periode Januari-Agustus 2015). Responden diberitahukan mengenai
tujuan dari penelitian ini sebelum dilakukan pengambilan data dan responden
menyatakan kesediannya dengan mengisi lembar inform consent. Setelah data
terkumpul, selanjutnya dilakukan pengolahan data untuk selanjutnya dilakukan
analisis data dan pembahasan.
4.7 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan pengambilan
data primer melalui pengukuran antropometri (tinggi badan dan berat badan),
kuesioner, dan form food recall 3x24 jam yang telah disiapkan dan data sekunder
berupa catatan rekam medis yang ada di Puskesmas Sukorame (periode JanuariAgustus 2015).
Editing
Memeriksa kembali semua data yang telah dikumpulkan dengan tujuan
mengecek apakah hasilnya sudah sesuai dengan rencana atau tujuan yang
hendak dicapai.
2.
Scoring
Peneliti melakukan pemberian skor pada tiap-tiap item jawaban.
3.
Coding
Merupakan kegiatan pengubahan data lebih ringkas dengan menggunakan
kode yang dirumuskan untuk mempermudah dalam melakukan tabulasi dan
Entry
Setelah semua kuisioner terisi penuh dan dilakukan pengkodean, maka
langkah selanjutnya adalah memproses data agar dapat dianalisis.
Pemrosesan data dilakukan dengan cara memasukkan data dari kuisioner ke
program komputer.
5.
Tabulating
Setelah entry data kemudian data tersebut dikelompokkan dan ditabulasikan
sehingga diperoleh frekuensi dari masing-masing variabel.
Keterangan :
2 = nilai chi-kuadrat
c. Analisis Multivariat
Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui variabel bebas dengan
variabel terikat yang mempunyai kemaknaan statistik pada analisis bivariat,
melalui analisis regresi logistik berganda untuk mencari faktor risiko yang paling
dominan pada beberapa variabel yang dilakukan secara bersama-sama terhadap
status gizi pasien TB Paru (Budiarto, 2002).
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA
Penelitian kasus kontrol (case control study) ini dilakukan di wilayah kerja
Puskesmas Sukorame tanggal 27 Juli sampai dengan 19 Agustus 2015. Sampel
kasus yang digunakan adalah semua orang berusia 15 tahun yang berkunjung ke
Puskesmas Sukorame dengan dengan gejala klinis TB Paru (+), pemeriksaan BTA
(+), dan Rontgen (+) yang tercatat dalam catatan rekam medis dan berobat di
Puskesmas Sukorame pada bulan Januari-Agustus 2015 serta berdomisili di Kota
Kediri. Sedangkan sampel kontrol yang digunakan adalah semua orang berusia
Gambar 5.10 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kebiasaan Menutup Mulut Ketika Batuk
100
100
> 20 tahun
20
52,6
18
47,4
38
100
Laki-laki
11
44,0
14
56,0
25
100
Perempuan
60,0
40,0
15
100
Jenis kelamin
Variabel
Kontrol
Kasus
Total
0 bulan
20
100
20
100
1 bulan
100
100
2 bulan
100
100
3 bulan
100
100
4 bulan
100
100
5 bulan
100
100
6 bulan
100
100
7 bulan
100
100
Kurang
26,7
11
73,3
15
100
Baik
16
64,0
36,0
25
100
Kurang
37,5
15
62,5
24
100
Baik
11
68,8
31,2
16
100
Kurang
6,2
15
93,8
16
100
Baik
19
79,2
20,8
24
100
Kurang
100
100
Cukup
20
60,6
13
39,4
33
100
Rendah
18
54,5
15
45,5
33
100
Tinggi
28,6
71,4
100
Rendah
14
48,3
15
51,7
29
100
Tinggi
54,5
45,5
11
100
Lama berobat
Asupan Energi
Asupan Karbohidrat
Asupan Protein
Status Gizi
Pendidikan
Pendapatan
Kontrol
Variabel
Kasus
Total
Tidak
15
45,5
18
54,5
33
100
Ya
71,4
28,6
100
Tidak
14
73,7
26,3
19
100
Ya
28,6
15
71,4
21
100
Buruk
10
58,8
41,2
17
100
Baik
10
43,5
13
56,5
23
100
Total
20
50,0
20
50,0
40
100
Merokok
Membuang ludah
(Sumber:data
2015)
primer
Berdasarkan tabel 1 dari 40 sampel, sebagian besar sampel berumur lebih dari
20 tahun. Jenis kelamin sampel pasien TB Paru terdiri dari 14 laki-laki dan 6
perempuan. Sedangkan pada sampel yang bukan penderita Tuberkulosis Paru,
terdiri dari 11 laki-laki dan 9 perempuan. Lama pengobatan bagi penderita
Tuberkulosis Paru berkisar antara 1 hingga 7 bulan. Sebagian besar dari pasien ini
sudah melakukan pengobatan selama 7 bulan.
Asupan energi, karbohidrat maupun protein pada kelompok kontrol
cenderung lebih baik daripada kelompok kasus. Status gizi pada pasien kelompok
kontrol adalah cukup. Sedangkan status gizi pada pasien kasus sebagian besar
adalah cukup akan tetapi masih ada beberapa pasien yang berada pada kategori
kurang yaitu sebanyak 7 orang.
Tingkat pendidikan pada kelompok kontrol dan kasus sebagian besar adalah
rendah. Begitu pula dengan tingkat pendapatan masih tergolong rendah baik pada
kelompok kontrol maupun kasus. Baik pada kelompok kontrol maupun kasus,
sebagian besar sampel tidak merokok.
Pada saat batuk, sampel kelompok kontrol cenderung tidak menutup
mulutnya sedangkan pada kelompok kasus, pasien cenderung menutup mulutnya.
Pasien pada kelompok kasus cenderung membuang ludah pada wadah tertutup
meskipun masih ada beberapa yang membuang ludah tidak pada wadah tertutup.
Demikian pula pada kelompok kontrol, sebagian membuang ludah pada wadah
tertutup dan sebagian lagi tidak membuang ludah pada wadah tertutup.
5.2.1
Tabel 5.2 Hubungan Asupan Energi dengan Status Gizi Pasien TB Paru
Variabel
Status gizi
Total
PR
Kurang
Cukup
(95% CI)
pvalue
Kurang
33,3
10
66,7
15
100
5,750
Baik
8,0
23
92,0
25
100
(0,950 34,787)
Total
17,5
33
82,5
40
100
Asupan Energi
0,055
Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,055 artinya p> alpha (0,05) sehingga
dengan alpha 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara
asupan energi dengan status gizi pasien TB Paru.
5.2.2
Tabel 5.3 Hubungan Asupan Karbohidrat dengan Status Gizi Pasien TB Paru
Status gizi
PR
Total
(95% CI)
Variabel
Kurang
Cukup
N
Kurang
25,0
18
75,0
24
100
5,000
Baik
6,2
15
93,8
16
100
(0,540 46,274)
Total
17,5
33
82,5
40
100
pvalue
Asupan Karbohidrat
0,134
Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,134 artinya p> alpha (0,05) sehingga
dengan alpha 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara
asupan karbohidrat dengan status gizi pasien TB Paru.
5.2.3
Tabel 5.4 Hubungan Asupan Protein dengan Status Gizi Pasien TB Paru
Variabel
Status gizi
Total
PR
p-
Kurang
Cukup
(95% CI)
value
0,111
Kurang
37,5
10
62,5
16
100
13,800
Baik
4,2
23
95,8
24
100
(1,464 130,070)
Total
17,5
33
82,5
40
100
Asupan Protein
Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,111 artinya p> alpha (0,05) sehingga
dengan alpha 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara
asupan protein dengan status gizi pasien TB Paru.
5.2.4
Tabel 5.5 Hubungan Lama Pengobatan dengan Status Gizi Pasien TB Paru
Status gizi
PR
Total
(95% CI)
Variabel
Kurang
Cukup
N
< 6 bulan
38,5
61,5
13
100
1,563
6 bulan
28,6
71,4
100
(0,215 11,366)
pvalue
Lama berobat
0,526
Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,526 artinya p> alpha (0,05) sehingga
dengan alpha 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara
lama pengobatan dengan status gizi pasien TB Paru.
5.2.5
Tabel 5.6 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Status Gizi Pasien TB Paru
Variabel
Status gizi
Total
PR
p-
Kurang
Cukup
(95% CI)
value
0,645
Rendah
18,2
27
81,8
33
100
1,333
Tinggi
14,3
85,7
100
(0,134 13,225)
Total
17,5
33
82,5
40
100
Pendidikan
Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,645 artinya p> alpha (0,05) sehingga
dengan alpha 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara
tingkat pendidikan dengan status gizi pasien TB Paru.
5.2.6
Tabel 5.7 Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Status Gizi Pasien TB Paru
Status gizi
PR
Total
(95% CI)
Variabel
Kurang
Cukup
N
Rendah
20,7
23
79,3
29
100
2,609
Tinggi
9,1
10
90,9
11
100
(0,277 24,588)
Total
17,5
33
82,5
40
100
pvalue
Pendapatan
0,364
Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,364 artinya p> alpha (0,05) sehingga
dengan alpha 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara
tingkat pendapatan dengan status gizi pasien TB Paru.
5.2.7
Tabel 5.8 Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Status Gizi Pasien TB Paru
Status gizi
Variabel
Kurang
Cukup
PR
Total
(95% CI)
pvalue
0,355
Tidak
15,2
28
84,8
33
100
0,446
Ya
28,6
71,4
100
(0,067 2,973)
Total
17,5
33
82,5
40
100
Merokok
Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,355 artinya p> alpha (0,05) sehingga
dengan alpha 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara
tingkat kebiasaan merokok dengan status gizi pasien TB Paru.
5.2.8
Tabel 5.9 Hubungan Kebiasaan Menutup Mulut Ketika Batuk dengan Status Gizi Pasien
TB Paru
Status gizi
PR
pTotal
value
(95% CI)
Variabel
Kurang
Cukup
N
Tidak
15,8
16
84,2
19
100
0,797
Ya
19,0
17
81,0
21
100
(0,154 4,130)
Total
17,5
33
82,5
40
100
Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,559 artinya p> alpha (0,05) sehingga
dengan alpha 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara
tingkat kebiasaan menutup mulut ketika batuk dengan status gizi pasien TB Paru.
5.2.9
Tabel 5.10 Hubungan Kebiasaan Membuang Ludah dengan Status Gizi Pasien TB Paru
Status gizi
PR
pTotal
value
(95% CI)
Variabel
Kurang
Cukup
N
Buruk
17,6
14
82,4
17
100
1,018
Baik
17,4
19
82,6
23
100
(0,196 5,292)
Total
17,5
33
82,5
40
100
Membuang ludah
0,649
Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,649 artinya p> alpha (0,05) sehingga
dengan alpha 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara
tingkat kebiasaan membuang ludah dengan status gizi pasien TB Paru.
Tabel 5.11 Resume Hubungan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi Pasien TB
Paru Di Puskesmas Sukorame Kota Kediri
Variabel
Status gizi
Total
PR
p-
Kurang
Cukup
(95% CI)
value
0,055
Kurang
33,3
10
66,7
15
100
5,750
Baik
8,0
23
92,0
25
100
(0,950 34,787)
Kurang
25,0
18
75,0
24
100
5,000
Baik
6,2
15
93,8
16
100
(0,540 46,274)
Kurang
37,5
10
62,5
16
100
13,800
Baik
4,2
23
95,8
24
100
(1,464 130,070)
< 6 bulan
38,5
61,5
13
100
1,563
(0,215 11,366)
0,526
6 bulan
28,6
71,4
100
A Rendah
18,2
27
81,8
33
100
1,333
0,645
Tinggi
14,3
85,7
100
(0,134 13,225)
Rendah
20,7
23
79,3
29
100
2,609
Tinggi
9,1
10
90,9
11
100
(0,277 24,588)
Tidak
15,2
28
84,8
33
100
0,446
Ya
28,6
71,4
100
(0,067 2,973)
Tidak
15,8
16
84,2
19
100
0,797
Ya
19,0
17
81,0
21
100
(0,154 4,130)
Buruk
17,6
14
82,4
17
100
1,018
Baik
17,4
19
82,6
23
100
(0,196 5,292)
Asupan Energi
Asupan Karbohidrat
0,134
Asupan Protein
0,011
Lama Pengobatan TB
Pendidikan
Pendapatan
0,364
Merokok
0,355
Membuang ludah
Berdasarkan
analisis
(Sumber:data
primer
2015)
0,649
energinya baik cenderung memiliki status gizi yang cukup dengan peluang
sebesar 5,750 kali lebih besar daripada pasien yang asupan energinya kurang.
Peluang ini tidak bermakna secara statistik (p>0,05). Demikian pula dengan
asupan karbohidrat, pasien yang asupan karbohidratnya baik cenderung memiliki
status gizi yang cukup dengan peluang sebesar 5,000 kali lebih besar daripada
pasien yang asupan energinya kurang. Peluang ini tidak bermakna secara statistik
(p>0,05). Pada asupan protein, pasien dengan asupan protein yang baik cenderung
memiliki status gizi yang cukup dengan peluang sebesar 13,800. Peluang ini
bermakna secara statistik (p<0,05).
Lama pengobatan TB 6 bulan juga cenderung memiliki status gizi yang
cukup dengan peluang sebesar 1,563 kali lebih besar daripada pasien yang lama
pengobatan TB <6 bulan. Peluang ini tidak bermakna secara statistik (p>0,05).
Tingkat pendidikan pasien yang tinggi cenderung memiliki status gizi yang cukup
dengan peluang sebesar 1,333 lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat
pendidikan pasien yang rendah. Peluang ini tidak bermakna secara statistik
(p>0,05). Pada tingkat pendapatan, tingkat pendapatan pasien yang tinggi
cenderung memiliki status gizi yang cukup dengan peluang sebesar 2,609 lebih
tinggi dibandingkan dengan tingkat pendapatan pasien yang rendah. Peluang ini
tidak bermakna secara statistik (p>0,05)
Perilaku merokok pasien akan mengakibatkan kecenderungan berkurangnya
status gizi. Pasien yang merokok akan cenderung memiliki status gizi cukup
dengan peluang sebesar 0,446 kali lebih rendah daripada pasien yang tidak
merokok. Peluang ini tidak bermakna secara statistik (p>0,05).
Perilaku tidak menutup mulut pasien saat batuk akan mengakibatkan
kecenderungan berkurangnya status gizi. Pasien yang menutup mulut saat batuk
cenderung memiliki status gizi cukup dengan peluang sebesar 0,797 kali lebih
tinggi daripada pasien yang tidak menutup mulut saat batuk. Peluang ini tidak
bermakna secara statistik (p>0,05).
Perilaku membuang ludah pada wadah tertutup akan mengakibatkan
kecenderungan meningkatnya status gizi. Pasien yang mebuang ludah pada wadah
tertutup cenderung memiliki status gizi cukup dengan peluang sebesar 1,018 kali
lebih tinggi daripada pasien yang membuang ludah pada wadah tidak tertutup.
Peluang ini tidak bermakna secara statistik (p>0,05).
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa, asupan energi, karbohidrat dan
protein yang semakin baik akan mampu meningkatkan status gizi penderita TB
Paru di Puskesmas Sukorame Kota Kediri. Selain itu, perilaku tidak merokok,
menutup mulut saat batuk dan membuang ludah pada wadah yang tertutup juga
mempu meningkatkan status gizi penderita TB Paru di Puskesmas Sukorame Kota
Kediri.
bebas tersebut dengan menggunakan uji regresi logistik tampak seperti tabel di
bawah ini.
Tabel 5.12 Analisis Multivariat Uji Regresi Logistik
Variabel
Energi
-1,589
0,285
Karbohidrat
-2,268
0,318
Protein
-3,587
0,130
Pendidikan
-2,458
0,608
Pendapatan
1,313
0,771
Merokok
6,298
0,165
-2,747
0,193
Membuang ludah
-1,213
0,554
Lama Pengobatan
-1,077
0,133
Constant
8,677
0,093
Adjusted R square
0,616
dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti pada penelitian ini. Faktor yang
paling dominan berpengaruh terhadap status gizi pasien TB Paru di Puskesmas
Sukorame Kota Kediri yaitu variabel yang memiliki nilai tertinggi, yaitu
merokok dengan nilai sebesar 6,298. Persamaan regresi yang terbentuk adalah
sebagai berikut:
Y = 8,677 1,589 energi 2,268 karbohidrat 3,587 protein 2,458
pendidikan + 1,313 pendapatan + 6,298 merokok 2,747 menutup mulut
1,213 membuang ludah - 1,077 lama berobat
BAB 6
PEMBAHASAN
6.1 Hubungan Asupan Energi, Karbohidrat, dan Protein dengan Status Gizi Pasien
TB Paru
Berdasarkan analisis bivariat dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan
yang bermakna antara asupan energi, karbohidrat, dan protein dengan status gizi
pasien TB Paru. Dapat disimpulkan bahwa pasien yang asupan energinya baik
cenderung memiliki status gizi yang cukup dengan peluang sebesar 5,750 kali
lebih besar daripada pasien yang asupan energinya kurang. Demikian pula dengan
asupan karbohidrat, pasien yang asupan karbohidratnya baik cenderung memiliki
status gizi yang cukup dengan peluang sebesar 5,000 kali lebih besar daripada
pasien yang asupan energinya kurang. Pada asupan protein, pasien dengan asupan
protein yang baik cenderung memiliki status gizi yang cukup dengan peluang
sebesar 13,800. Peluang ini bermakna secara statistik (p<0,05).
Tidak adanya hubungan antara asupan energi, karbohidrat, dan protein dengan
status gizi pasien TB Paru dapat disebabkan, (1) subjek tidak dapat mengingat
dengan tepat, (2) makanan yang disantap kemarin mungkin bukan makanan yang
biasa disantap, (3) subjek tidak sering melaporkan makanan yang dapat
memalukan, misalnya petai, atau alkohol, di samping terlalu berlebihan dalam
menyebutkan makanan yang mereka ketahui sebagai makanan sehat. Hal ini
merupakan kelemahan dari metode food recall, karena keberhasilan menjaring
informasi dengan cara ini bergantung pada daya ingat responden, kemampuan
responden dalam memperkirakan ukuran makanan yang telah disantap (Arisman,
2007).
Hal ini tidak sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa pada orang yang
terinfeksi kuman Mycobacterium tuberculosis telah terjadi gangguan sistem
kekebalan pada tubuh. Gangguan sistem kekebalan tubuh pada kondisi yang
parah akan menyebabkan penurunan status gizi yang dapat disebabkan oleh
karena kurangnya asupan makanan yang disebabkan oleh anoreksia, malabsorpsi,
dan meningkatnya penggunaan zat gizi dalam tubuh (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2014).
Kurang energi dan zat gizi makro (protein dan karbohidrat) merupakan faktor
risiko berkembangnya Tuberkulosis Laten menjadi Tuberkulosis Aktif yang
berkaitan dengan sistem imunitas tubuh dan status gizi, serta mempermudah
terjadinya infeksi Tuberkulosis Primer/baru (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2014).
6.2 Hubungan Lama Pengobatan dengan Status Gizi Pasien TB Paru
Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,526 artinya p> alpha (0,05) sehingga
dengan alpha 5% dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara
lama pengobatan dengan status gizi pasien TB Paru. Lama pengobatan TB 6
bulan juga cenderung memiliki status gizi yang cukup dengan peluang sebesar
1,563 kali lebih besar daripada pasien yang lama pengobatan TB <6 bulan.
Peluang ini tidak bermakna secara statistik (p>0,05).
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ada hubungan antara lama
sakit dengan ketidakpatuhan berobat pada penderita TB Paru. Dimana juga
terdapat hubungan antara ketidakpatuhan berobat dengan status gizi pasien TB
Paru. Penelitian pada pasien TB dengan usia 18tahun menunjukkan 15% pasien
TB memiliki status gizi buruk pada saat awal diagnosis dan setelah menjalani
pengobatan intensif selama dua bulan jumlah pasien yang mengalami gizi buruk
turun menjadi 8%. Penelitian yang dilakukan pada anak berusia kurang dari lima
tingkat pendapatan dengan status gizi pasien TB Paru. Tetapi dapat disimpulkan
juga bahwa tingkat pendapatan pasien yang tinggi cenderung memiliki status gizi
yang cukup dengan peluang sebesar 2,609 lebih tinggi dibandingkan dengan
tingkat pendapatan pasien yang rendah. Peluang ini tidak bermakna secara
statistik (p>0,05).
Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya, menurut Soemirat (2000), faktor
lain yang mempengaruhi status gizi seseorang adalah tingkat pendapatan.
Pendapatan per kapita pasien TB Paru menjadi salah faktor yang berhubungan
dengan status gizi pada pasien TB Paru (Patiung, 2014). Pendapatan keluarga
dipengaruhi oleh jenis pekerjaan seseorang yang akan mempunyai dampak
terhadap pola hidup sehari-hari diantaranya konsumsi makanan, pemeliharaan
kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi terhadap kepemilikan rumah
(Rohman, 2012)
6.5 Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dengan Status Gizi Pasien TB
Paru
Berdasarkan analisis bivariat dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan
yang bermakna antara perilaku hidup bersih dan sehat (kebiasaan merokok,
menutup mulut ketika batuk, dan membuang ludah) dengan status gizi pasien TB
Paru. Tetapi dapat disimpulkan juga bahwa perilaku tidak menutup mulut pasien
saat batuk, kebiasaan merokok, dan membuang ludah akan mengakibatkan
kecenderungan berkurangnya status gizi, walaupun peluang ini tidak bermakna
secara statistik (p>0,05).
Faktor yang berpengaruh dalam penyebaran TB Paru dari kegagalan dalam
pengobatan secara tuntas adalah perilaku masyarakat sehingga setiap tahun selalu
ada kasus baru yang tercatat (Tobing, 2009). Menurut Suptriasa (2002), salah satu
yang mempengaruhi kesehatan adalah perilaku hidup bersih dan sehat, sehingga
jika seseorang memiliki perilaku hidup yang tidak sehat maka dapat terkena
penyakit infeksi dan terjadi penurunan status gizi. Berdasarkan hasil penelitian
Pertiwi (2012), sebagian besar para penderita TB Paru mempunyai kebiasaan atau
perilaku yang tidak sehat, seperti kebiasaan merokok, membuang dahak di
sembarangan tempat, dan tidak menutup mulut saat batuk. Hasil penelitian
Jayanti (2011) juga menunjukkan bahwa perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
dalam lingkungan keluarga berkorelasi positif dengan status gizi.
Dukungan keluarga mempunyai hubungan yang signifikan dengan status gizi
Pasien TB dimana hal ini juga mempengaruhi kesembuhan pasien TB Paru.
Keluarga adalah orang terdekat dengan pasien, perilaku keluarga yang sehat
merupakan salah satu motivasi pencapaian keberhasilan dalam penyembuhan TB
Paru. Adapun dukungan keluarga seperti pengawas minum obat, menemani
anggota keluarga yang menderita TB Paru untuk melakukan pemeriksaan ulang,
memberikan semangat agar tidak putus menjalani pengobatan.
sedikit untuk dilakukan penelitian. Jumlah data yang sedikit ini membuat peneliti
menggunakan seluruh populasi penderita TB Paru sebagai subjek penelitian
Keterbatasan lainnya adalah sebagian subjek penelitian yang diambil dari data
laporan penemuan TB tahun 2015 sudah tidak tinggal di alamat yang tercantum
dalam data Puskesmas.
Dalam pelaksanaan penelitian ini, form food recall juga memiliki kelemahan
yaitu 1) subjek tidak dapat mengingat dengan tepat, (2) makanan yang disantap
kemarin mungkin bukan makanan yang biasa disantap, (3) subjek tidak sering
melaporkan makanan yang dapat memalukan, misalnya petai, atau alkohol, di
samping terlalu berlebihan dalam menyebutkan makanan yang mereka ketahui
sebagai makanan sehat. Hal ini merupakan kelemahan dari metode food recall,
karena keberhasilan menjaring informasi dengan cara ini bergantung pada daya
ingat responden, kemampuan responden dalam memperkirakan ukuran makanan
yang telah disantap.
BAB 7
KESIMPULAN
7.1 Kesimpulan
1. Tidak ada hubungan yang bermakna antara asupan energi, karbohidrat, dan
protein dengan status gizi pasien TB Paru.
2. Tidak ada hubungan yang bermakna antara lama pengobatan dengan status
gizi pasien TB Paru.
3. Tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan
status gizi pasien TB Paru.
4. Tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendapatan dengan
status gizi pasien TB Paru.
5. Tidak ada hubungan yang bermakna antara perilaku hidup bersih dan sehat
(kebiasaan merokok, menutup mulut ketika batuk, dan membuang ludah)
dengan status gizi pasien TB Paru.
6. Walaupun peluang ini tidak bermakna secara statistik, tetapi secara
keseluruhan dapat dikatakan bahwa, asupan energi, karbohidrat dan
protein yang semakin baik akan mampu meningkatkan status gizi
penderita TB Paru di Puskesmas Sukorame Kota Kediri. Selain itu, tingkat
pendidikan dan pendapatan yang tinggi, perilaku tidak merokok, menutup
mulut saat batuk, dan membuang ludah pada wadah yang tertutup juga
mempu meningkatkan status gizi penderita TB Paru di Puskesmas
Sukorame Kota Kediri.
7.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas, maka peneliti memberikan
saran sebagai berikut:
1. Bagi Institusi Kesehatan
a. Perlu
dilakukan
penyuluhan
kesehatan
masyarakat
secara
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U.F., 2005, Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, PT. Kompas Media
Nusantara, Jakarta.
kesehatan
RI,
2002,
Pedoman
Nasional
Penanggulangan
Kesehatan
RI,
1999,
SK
Mentri
Kesehatan
No.
Tobing, 2009, Pengaruh Perilaku Penderita TB Paru dan Kondisi Rumah Terhadap
Pencegahan Potensi Penularan TB Paru Pada Keluarga di Kabupaten
Tapanuli. Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.