Anda di halaman 1dari 8

Seorang bayi telah dilahirkan di israel yang mukanya mirip seperti dajjal,

Allah (s.w.t) telah berkata di dalam al-Quran bahawa seorang bayi yang kelihatan seperti
dajjal akan dilahirkan di israel dan itu adalah petanda hari perhitungan.
Telah dinyatakan juga di dalam al-Quran bahwa tanda ini
adalah sebagian daripada tanda-tanda sebelum berlakunya hari pembalasan. Oleh karena itu,
para muslimin dan muslimat seharusnya sudah mulai berubah dan menunaikan solat.
Kamu tidak akan pernah tahu kapan hari kiamat tiba .....
# Bebaskan Palestina *menunggu* tanda-tanda Kiamat..
-Homoseksual
-Manusia memburuk-burukkan keturunan (kakek - nenek) orang lain.
-Pakaian yang mempamerkan hampir seluruh anggota badan (lekuk tubuh)
-Tiada lagi bintang di langit
-Manusia hilang
-Bangunan tinggi
-Kemunculan Imam Mahdi
-kemunculan Dajjal
-Turunnya Nabi Isa Al-Masih
-Kemunculan Yajooj - Majooj..
-Terbitnya matahari dari barat; dimana pintu keampunan akan ditutup
-Dabbat al-Ard akan muncul dari tanah dan akan memberi tanda kepada Muslim yang
sebenar-benarnya..
-Kabut selama 40 hari.. yang akan membunuh orang yg benar2 percaya pada Allah agar
mereka tidak lagi perlu menyaksikan tanda-tanda lain.
-Sebuah kebakaran yang besar (dahsyat)akan menyebabkan kehancuran.
-Kehancuran / kerosakkan Ka'bah
-Hilangnya tulisan di dalam al-Quran.
-Sangkakala ditiup kali pertama; semua hewan dan orang kafir akan mati dan semua gunung
dan bangunan akan musnah.
-Sangkakala ditiup buat kali kedua;
semua ciptaan Allah akan mati dan akan dihimpunkan di padang Arafat untuk dihisab.
-Matahari akan menghampiri bumi
Nabi Muhammad S.A.W. berkata:
Siapa saja yang menyebarkan berita ini kepada orang lain,akan aku tempatkan dia di dalam
Jannah pada hari pembalasan.
Mari kita lihat jika syaitan menghentikannya
(mungkin bermaksud = menghentikan penyebaran pesan ini).

# Silahkan share pesan ini..... semoga bermanfaat.


bersama Muhammad Amin, Yuriska Angjelina Aang,Marliyanti Masalan, dan 12 lainnya.

Dalil Tarawih 20 Rakaat


Mayoritas ulama berpendapat bahwa
bilangan rakaat shalat Tarawih yang
paling afdhal adalah dua puluh rakaat.
Berikut ini adalah dalil-dalil yang di
jadikan pijakan untuk mendukung
pendapat tersebut.
1. Hadis mauquf.




.





:

.


:

Diriwayatkan dari Ibnu Syihab, dari


`Urwah bin al-Zubair, dari Abd. Rahman
bin Abd. al-Qari, ia berkata: Pada suatu
malam di bulan Ramadhan, saya keluar
ke masjid bersama Umar bin alKhatthab. Kami mendapati masyarakat
terbagi menjadi beberapa kelompok yang
terpisah-pisah. Sebagian orang ada yang
shalat sendirian. Sebagian yang lain
melakukan shalat berjamaah dengan
beberapa orang saja.
Kemudian Umar berkata: Menurutku
akan lebih baik jika aku kumpulkan
mereka pada satu imam. Lalu Umar
berketetapan dan mengumpulkan mereka
pada Ubay bin Ka`ab. Pada kesempatan
malam yang lain, aku (Rahman bin Abd.
al-Qari) keluar lagi bersama Umar. (dan
aku menyaksikan) masyarakat
melakukan shalat secara berjamaah
mengikuti imamnya. Umar berkata: Ini
adalah sebaik-baik bid`ah (HR.
Bukhari).

Di dalam hadis yang lain disebutkan,


bilangan rakaat shalat Tarawih yang
dilaksanakan pada masa Khalifah Umar
bin al-Khatthab adalah dua puluh.
) :
















Diriwayatkan dari al-Sa`ib bin Yazid


radhiyallahu `anhu. Dia berkata :
Mereka (para shahabat) melakukan
qiyam Ramadhan pada masa Umar bin
al-Khatthab sebanyak dua puluh rakaat.
Hadis kedua ini diriwayatkan oleh Imal
al-Baihaqi di dalam al-Sunan al-Kubro,
I/496. dengan sanad yang shahih
sebagaimana dinyatakan oleh Imam al`Aini, Imam al-Qasthallani, Imam alIraqi, Imam al-Nawawi, Imam al-Subki,
Imam al-Zaila`i, Imam Ali al-Qari, Imam
al-Kamal bin al-Hammam dan lain-lain.
(10)
Menurut disiplin ilmu hadis, hadis ini di
sebut hadis mauquf (Hadis yang mata
rantainya berhenti pada shahabat dan
tidak bersambung pada Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam). Walaupun
mauquf, hadis ini dapat dijadikan sebagai
hujjah dalam pengambilan hukum (lahu
hukmu al-marfu`). Karena masalah shalat
Tarawih termasuk jumlah rakaatnya
bukanlah masalah ijtihadiyah (laa majala
fihi li al-ijtihad), bukan pula masalah
yang bersumber dari pendapat seseorang
(laa yuqolu min qibal al-ra`yi).(11)
2. Ijma` para shahabat Nabi.
Ketika Sayyidina Ubay bin Ka`ab
mengimami shalat Tarawih sebanyak dua
puluh rakaat, tidak ada satupun shahabat

yang protes, ingkar atau menganggap


bertentangan dengan sunnah Nabi
shallallahu alaihi wa sallam. Apabila
yang beliau lakukan itu menyalahi
sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam, mengapa para shahabat semuanya
diam? Ini menunjukkan bahwa mereka
setuju dengan apa yang dilakukan oleh
Sayyidina Ubay bin Ka`ab. Anggapan
bahwa mereka takut terhadap Sayyidina
Umar bin al-Khatthab adalah pelecehan
yang sangat keji terhadap para shahabat.
Para shahabat Nabi shallallahu alaihi wa
sallam adalah orang-orang yang terkenal
pemberani dan tak kenal takut melawan
kebatilan, orang-orang yang laa
yakhofuna fi Allah laumata laa`im.
Bagaimana mungkin para shahabat
sekaliber Sayyidina Ali bin Abi Thalib,
Sayyidina Utsman bin Affan, Sayyidina
Abu Hurairah, Sayyidah A`isyah dan
seabrek shahabat senior lainnya
(radhiyallahu `anhum ajma`in) kalah
berani dengan seorang wanita yang
berani memprotes keras kebijakan
Sayyidina Umar bin al-Khatthab yang
dianggap bertentangan dengan Al-Qur`an
ketika beliau hendak membatasi besarnya
mahar?(12)
Konsensus (ijma`) para shahabat ini
kemudian diikuti oleh para tabi`in dan
generasi setelahnya. Di masjid al-Haram
Makkah, semenjak masa Khalifah Umar
bin al-Khatthab radhiyallahu `anhu
hingga saat ini, shalat Tarawih selalu
dilakukan sebanyak dua puluh rakaat.
KH. Ahmad Dahlan, pendiri Perserikatan
Muhammadiyah juga melakukan shalat
Tarawih sebanyak dua puluh rakaat,
sebagaimana informasi dari salah
seorang anggota Lajnah Tarjih Pimpinan
Pusat Muhammadiyah yang sekaligus
pembantu Rektor Universitas
Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA. Para
ulama salaf tidak ada yang menentang
hal ini. Mereka hanya berbeda pendapat
mengenai kebolehan melakukan shalat
Tarawih melebihi dua puluh rakaat.(13)
Imam Ibnu Taimiyah yang di agungagungkan oleh kelompok pendukung
Tarawih delapan rakaat, dalam kumpulan
fatwanya mengatakan:
Sesungguhnya telah tsabit (terbukti)

bahwa Ubay bin Ka`ab mengimami


shalat pada bulan Ramadhan dua puluh
rakaat dan Witir tiga rakaat. Maka
banyak ulama berpendapat bahwa hal itu
adalah sunnah, karena Ubay bin Ka`ab
melakukannya di hadapan para shahabat
Muhajirin dan Anshar dan tidak ada
satupun di antara mereka yang
mengingkari(14)
Di samping kedua dalil yang sangat kuat
di atas, ada beberapa dalil lain yang
sering digunakan oleh para pendukung
Tarawih dua puluh rakaat. Namun,
menurut hemat penulis, tidak perlu
mencantumkan semua dalil-dalil
tersebut. Karena di samping dha`if,
kedua dalil di atas sudah lebih dari
cukup.
Dalil Tarawih 8 Rakaat
Sebagian ulama ada yang berpendapat
shalat Tarawih delapan rakaat lebih
afdhal. Bahkan ada yang ekstrim, yaitu
sebagian umat Islam yang berkeyakinan
shalat Tarawih tidak boleh melebihi
delapan rakaat. Syekh Muhammad
Nashir al-Din al-Albani berpendapat
bahwa shalat Tarawih lebih dari sebelas
rakaat itu sama saja dengan shalat
Zhuhur lima rakaat.(15)
Berikut ini adalah beberapa dalil yang
biasa mereka gunakan untuk
membenarkan pendapatnya sekaligus
sanggahannya.
1. Hadis Ubay bin Ka`ab :
: :
: :
:

:
: :

: :

.
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata :
Ubay bin Ka`ab datang menghadap
Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu
berkata : Wahai Rasulullah tadi malam
ada sesuatu yang saya lakukan,
maksudnya pada bulan Ramadhan. Nabi
shallallahu alaihi wa sallam kemudian
bertanya: Apakah itu, wahai Ubay?
Ubay menjawab : Orang-orang wanita
di rumah saya mengatakan, mereka tidak

dapat membaca Al-Qur`an. Mereka minta


saya untuk mengimami shalat mereka.
Maka saya shalat bersama mereka
delapan rakaat, kemudian saya shalat
Witir. Jabir kemudian berkata : Maka
hal itu sepertinya diridhai Nabi
shallallahu alaihi wa sallam dan beliau
tidak berkata apa-apa. (HR. Ibnu
Hibban).
Hadis ini kualitasnya lemah sekali.
Karena di dalam sanadnya terdapat rawi
yang bernama Isa bin Jariyah. Menurut
Imam Ibnu Ma`in dan Imam Nasa`i, Isa
bin Jariyah adalah sangat lemah
hadisnya. Bahkan Imam Nasa`i pernah
mengatakan bahwa Isa bin Jariyah adalah
matruk (hadisnya semi palsu karena ia
pendusta). Di dalam hadis ini juga
terdapat rawi bernama Ya`qub al-Qummi.
Menurut Imam al-Daruquthni, Ya`qub alQummi adalah lemah (laisa bi al-qawi).
(16)

riwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Imam


Muslim dan lain-lain (muttafaq `alaih).
Hanya saja, penggunaan hadis ini sebagai
dalil shalat Tarawih perlu di kritisi dan di
koreksi ulang.
Berikut ini adalah beberapa kritikan dan
sanggahan yang perlu diperhatikan oleh
para pendukung Tarawih delapan rakaat :

2. Hadis Jabir :

.
Dari Jabir, ia berkata : Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam pernah
mengimami kami shalat pada bulan
Ramadhan delapan rakaat dan Witir.
(HR. Thabarani).(17)
Hadis ini kualitasnya sama dengan Hadis
Ubay bin Ka`ab di atas, yaitu lemah
bahkan matruk (semi palsu). karena di
dalam sanadnya terdapat rawi yang sama,
yaitu Isa bin Jariyah dan Ya`qub alQummi.(18)

3. Hadis Sayyidah A`isyah tentang shalat


Witir :


Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam


tidak pernah menambahi, baik pada
bulan Ramadhan maupun selain bulan
Ramadhan, dari sebelas rakaat.
(Muttafaq `alaih).
Menurut kelompok pendukung Tarawih
delapan rakaat, sebelas rakaat yang di
maksud pada hadis ini adalah delapan
rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir.
Dari segi sanad, hadis ini tidak diragukan
lagi keshahihannya. Karena di

1. Pemotongan hadis.
Kawan-kawan yang sering menjadikan
hadis ini sebagai dalil shalat Tarawih,
biasanya tidak membacanya secara utuh,
akan tetapi mengambil potongannya saja
sebagaimana disebutkan di atas. Bunyi
hadis ini secara sempurna adalah sebagai
berikut :



-
: -





-











:


:




dari Abi Salamah bin Abd al-Rahman, ia


pernah bertanya kepada Sayyidah
A`isyah radhiyallahu `anha perihal shalat
yang dilakukan oleh Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam pada bulan
Ramadhan. A`isyah menjawab :
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
tidak pernah menambahi, baik pada
bulan Ramadhan maupun selain bulan
Ramadhan, dari sebelas rakaat. Beliau
shalat empat rakaat, dan jangan kamu
tanyakan baik dan panjangnya.
Kemudian beliau shalat empat rakaat,
dan jangan kamu tanyakan baik dan
panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga
rakaat. A`isyah kemudian berkata : Saya
berkata, wahai Rasulullah, apakah anda
tidur sebelum shalat Witir? Beliau
menjawab : Wahai A`isyah,
sesungguhnya kedua mataku tidur, akan
tetapi hatiku tidak tidur.
Pemotongan hadis boleh-boleh saja
dilakukan, dengan syarat, orang yang
memotong adalah orang alim dan bagian
yang tidak disebutkan tidak berkaitan
dengan bagian yang disebutkan. Dalam
arti, pemotongan tersebut tidak boleh
menimbulkan kerancuan pemahaman dan
kesimpulan yang berbeda.(19)

Pemotongan pada hadis di atas,


berpotensi menimbulkan kesimpulan
berbeda, karena jika di baca secara utuh,
konteks hadis ini sangat jelas berbicara
tentang shalat Witir, bukan shalat
Tarawih, karena pada akhir hadis ini,
A`isyah menanyakan shalat Witir kepada
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
(20)
2. Kesalahan dalam memahami maksud
hadis.
Dalam hadis di atas, Sayyidah A`isyah
dengan tegas menyatakan bahwa Nabi
shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah
melakukan shalat melebihi sebelas rakaat
baik pada bulan Ramadhan maupun pada
bulan-bulan yang lain. Shalat yang
dilakukan sepanjang tahun, baik pada
bulan Ramadhan maupun bulan lainnya,
tentu bukanlah shalat Tarawih. Karena
shalat Tarawih hanya ada pada bulan
Ramadhan. Oleh karena itu para ulama
berpendapat bahwa hadis ini bukanlah
dalil shalat Tarawih. Akan tetapi dalil
shalat Witir.
Kesimpulan ini diperkuat oleh hadis lain
yang juga diriwayatkan oleh Sayyidah
A`isyah radhiyallahu `anha.
- - : :

.
Dari A`isyah radhiyallahu `anha, ia
berkata : Nabi shallallahu alaihi wa
sallam shalat malam tiga belas rakaat,
antara lain shalat Witir dan dua rakaat
Fajar. (HR. Bukhari).(21)

3. Pemenggalan Hadis.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya,
kawan-kawan pendukung Tarawih
delapan rakaat mengatakan bahwa
maksud dari pada sebelas rakaat pada
hadis di atas adalah delapan rakaat
Tarawih dan tiga rakaat Witir. Hal ini
tidak tepat. Karena ini berarti satu hadis
yang merupakan dalil untuk satu paket
shalat dipenggal menjadi dua, delapan
rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir.(22)
Di sisi lain, jika kita menyetujui
pemenggalan ini, maka kita harus
menyetujui bahwa selama bulan

Ramadhan Nabi shallallahu alaihi wa


sallam hanya melakukan shalat Witir tiga
rakaat saja. Ini tidak pantas bagi beliau
yang merupakan tauladan bagi umat
dalam hal ibadah. Imam al-Tirmidzi
mengatakan : Diriwayatkan dari Nabi
shallallahu alaihi wa sallam shalat Witir
13, 11, 9, 7, 5, 3 dan 1 rakaat.(23)
Apabila di selain bulan Ramadhan saja
beliau melakukan shalat Witir sebanyak
13 atau 11 rakaat, pantaskah beliau hanya
melakukan shalat Witir hanya tiga rakaat
saja pada bulan Ramadhan yang
merupakan bulan ibadah?
4. Inkonsisten dalam mengamalkan
hadis.
Dalam hadis di atas secara jelas
dinyatakan bahwa Nabi shallallahu alaihi
wa sallam tidak pernah melakukan shalat
melebihi sebelas rakaat baik pada bulan
Ramadhan maupun pada bulan-bulan
yang lain. Kalau mau konsisten, kawankawan yang memahami bahwa sebelas
rakaat pada hadis di atas maksudnya
adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga
rakaat Witir, seharusnya mereka
melakukan shalat Tarawih dan Witir
sepanjang tahun, dan bukan pada bulan
Ramadhan saja. Tetapi kenyataannya
tidak demikian. Entah dasar apa yang
mereka pakai untuk memenggal hadis
tersebut pada bulan Ramadhan saja.
5. Kontradiksi dengan pemahaman para
shahabat Nabi.
Pemenggalan hadis seperti itu juga
bertentangan dengan konsensus (ijma`)
para shahabat radhiyallahu `anhum
termasuk diantaranya Khulafa` alRasyidin yang melakukan shalat Tarawih
dua puluh rakaat. Hal itu berarti juga
bertentangan dengan tuntunan Nabi
Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam
memerintahkan kita untuk mengikuti
jejak para Khulafa` al-Rasyidin. Dalam
sebuah hadis disebutkan :

Ikutilah sunnahku dan sunnah alKhulafa` al-Rasyidin setelahku! (HR.


Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibnu
Majah, Ibnu Hibban dan al-Hakim).(24)

Dalam hadis yang lain disebutkan :


Ikutilah orang-orang setelahku, yaitu


Abu Bakar dan Umar! (HR. Ahmad, alTirmidzi, Ibnu Majah dan lain-lain).(25)
Dalam hadis yang lain juga disebutkan :

Sesungguhnya Allah menjadikan


kebenaran pada lisan dan hati Umar.
(HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Hakim, alTirmidzi dan lain-lain).(26)
6. Kerancuan linguistik.
Kata tarawih dalam bahasa Arab adalah
bentuk jamak dari kata tarwihah, yang
secara kebahasaan berarti
mengistirahatkan atau istirahat sekali.
Jika di jamakkan, maka akan berarti
istirahat beberapa kali, minimal tiga kali.
Karena minimal jamak dalam bahasa
Arab adalah tiga. Shalat qiyam
Ramadhan disebut dengan shalat
Tarawih, karena orang-orang yang
melakukannya beristirahat tiap sehabis
empat rakaat.(27)[i] Maka Dari sudut
bahasa, shalat Tarawih adalah shalat yang
banyak istirahatnya, minimal tiga kali.
Hal ini pada gilirannya menunjukkan
bahwa rakaat shalat Tarawih lebih dari
delapan, minimal enam belas. Karena
jika seandainya shalat Tarawih hanya
delapan rakaat, maka istirahatnya hanya
sekali. Tentu hal ini sangatlah rancu
ditinjau dari segi kebahasaan.(28)
Kesimpulan
Dari uraian di atas, jelas sekali bahwa
shalat Tarawih dua puluh rakaat lebih
afdhal dibanding delapan rakaat. Dengan
dalil ijma` shahabat di dukung hadis
mauquf berkualitas shahih yang
diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi di
dalam al-Sunan al-Kubro. Sementara
tidak ada dalil shahih yang mendukung
keutamaan shalat Tarawih delapan rakaat
atas shalat Tarawih dua puluh rakaat.
Yang ada hanyalah dalil-dalil dha`if,
bahkan matruk (semi palsu) atau dalil
shahih yang di salah-pahami.
Namun perlu di ingat, sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, perbedaan ini
hanyalah berkisar seputar mana yang

lebih afdhal? Jadi, tidak selayaknya


kelompok yang lebih memilih
melaksanakan shalat Tarawih dua puluh
rakaat melecehkan atau menyesatkan
kelompok yang memilih melakukannya
delapan rakaat. Begitu pula sebaliknya.
Apalagi sampai saling mengkafirkan.
Sungguh sangat disesalkan, di bulan
Ramadhan yang agung, bulan untuk
berlomba-lomba mencari pahala, berkah,
rahmah dan ampunan dari Allah
Subhanahu wa Ta`ala, justru dikotori
dengan saling hina, saling menyalahkan
bahkan saling mengkufurkan antara
kelompok masyarakat yang lebih
memilih shalat Tarawih sebanyak dua
puluh rakaat dengan kelompok
masyarakat yang memilih delapan rakaat
saja. Apakah kiranya yang mendorong
kedua kelompok ini untuk tidak pernah
berhenti bertikai? Manakah yang lebih
berharga bagi mereka antara persatuan
sesama Muslim dibanding sikap arogan,
egois, fanatik serta pembelaan matimatian terhadap madzhab yang mereka
anut? Mengapa toleransi antar umat
beragama yang berbeda lebih mereka
perjuangkan daripada persatuan saudara
seagama? Apakah umat non Muslim
lebih layak untuk dihormati dan diayomi
dibanding saudara sendiri sesama
Muslim?
Sebenarnya kalau mau introspeksi, ada
hal yang jauh lebih penting yang harus
mereka perhatikan daripada mengurusi
jumlah rakaat shalat Tarawih orang lain.
Yaitu kebiasaan berlomba-lomba untuk
terburu-buru dalam melaksanakan shalat
Tarawih serta berbangga diri ketika
shalat Tarawihnya selesai terlebih
dahulu. Tidak jarang karena terlalu
cepatnya shalat Tarawih yang mereka
lakukan, mengakibatkan sebagian
kewajiban tidak dilaksanakan. Seperti
melaksanakan ruku`, i`tidal dan sujud
tanpa thuma`ninah atau membaca alFatihah dengan sangat cepat sehingga
menggugurkan salah satu hurufnya atau
menggabungkan dua huruf menjadi satu.
Dengan begitu, shalat yang mereka
laksanakan menjadi tidak sah, sehingga
mereka tidak mendapatkan apa-apa

darinya kecuali rasa capek (tuas kesel :


Jawa). Ironisnya mereka tidak mengerti
akan hal itu bahkan membanggakannya,
sehingga mereka tidak pernah mengakui
kesalahannya.(29)
Dari itu, waspadalah dan sadarlah wahai
saudara-saudaraku..! Marilah kita bersatu
dan saling mengingatkan antara satu
sama lain bi al-hikmah wa al-mau`idzah
al-hasanah. Marilah kita laksanakan
shalat Tarawih dan shalat-shalat lainnya
dengan benar. Marilah kita laksanakan
shalat dengan khusyu`, khudhur,
memenuhi segala syarat dan rukun serta
penuh adab. Jangan biarkan syetan
menguasai kita..! karena sesungguhnya
syetan tidak dapat menguasai orangorang yang beriman dan bertawakkal
kepada Tuhannya. Syetan hanya dapat
menguasai orang-orang yang
mengasihinya dan orang-orang yang
musyrik. Maka janganlah kita termasuk
diantara mereka.
forsan salaf
Dalil Nagli: Jumlah Rakaat Shalat
Tarawih Menurut Madhab Empat
Ada beberapa pendapat mengenai
bilangan rakaat yang dilakukan kaum
muslimin pada bulan Ramadhan sebagai
berikut:
1. Madzhab Hanafi
Sebagaimana dikatakan Imam Hanafi
dalam kitab Fathul Qadir bahwa
Disunnahkan kaum muslimin berkumpul
pada bulan Ramadhan sesudah Isya, lalu
mereka shalat bersama imamnya lima
Tarawih (istirahat), setiap istirahat dua
salam, atau dua istirahat mereka duduk
sepanjang istirahat, kemudian mereka
witir (ganjil).
Walhasil, bahwa bilangan rakaatnya 20
rakaat selain witir jumlahnya 5 istirahat
dan setiap istirahat dua salam dan setiap
salam dua rakaat = 2 x 2 x 5 = 20 rakaat.
2. Madzhab Maliki
Dalam kitab Al-Mudawwanah al Kubro,
Imam Malik berkata, Amir Mukminin
mengutus utusan kepadaku dan dia ingin

mengurangi Qiyam Ramadhan yang


dilakukan umat di Madinah. Lalu Ibnu
Qasim (perawi madzhab Malik) berkata
Tarawih itu 39 rakaat termasuk witir, 36
rakaat tarawih dan 3 rakaat witir lalu
Imam Malik berkata Maka saya
melarangnya mengurangi dari itu
sedikitpun. Aku berkata kepadanya,
inilah yang kudapati orang-orang
melakukannya, yaitu perkara lama yang
masih dilakukan umat.
Dari kitab Al-muwaththa, dari
Muhammad bin Yusuf dari al-Saib bin
Yazid bahwa Imam Malik berkata,
Umar bin Khattab memerintahkan Ubay
bin Kaab dan Tamim al-Dari untuk
shalat bersama umat 11 rakaat. Dia
berkata bacaan surahnya panjangpanjang sehingga kita terpaksa
berpegangan tongkat karena lama-nya
berdiri dan kita baru selesai menjelang
fajar menyingsing. Melalui Yazid bin
Ruman dia berkata, Orang-orang
melakukan shalat pada masa Umar bin
al-Khattab di bulan Ramadhan 23
rakaat.
Imam Malik meriwayatkan juga melalui
Yazid bin Khasifah dari al-Saib bin Yazid
ialah 20 rakaat. Ini dilaksanakan tanpa
wiitr. Juga diriwayatkan dari Imam Malik
46 rakaat 3 witir. Inilah yang masyhur
dari Imam Malik.
3. Madzhab as-Syafii
Imam Syafii menjelaskan dalam
kitabnya Al-Umm, bahwa shalat malam
bulan Ramadhan itu, secara sendirian itu
lebih aku sukai, dan saya melihat umat di
madinah melaksanakan 39 rakaat, tetapi
saya lebih suka 20 rakaat, karena itu
diriwayatkan dari Umar bin al-Khattab.
Demikian pula umat melakukannya di
makkah dan mereka witir 3 rakaat.
Lalu beliau menjelaskan dalam Syarah
al-Manhaj yang menjadi pegangan
pengikut Syafiiyah di Al-Azhar alSyarif, Kairo Mesir bahwa shalat
Tarawih dilakukan 20 rakaat dengan 10
salam dan witir 3 rakaat di setiap malam
Ramadhan.
4. Madzhab Hanbali
Imam Hanbali menjelaskan dalam Al-

Mughni suatu masalah, ia berkata,


shalat malam Ramadhan itu 20 rakaat,
yakni shalat Tarawih, sampai
mengatakan, yang terpilih bagi Abu
Abdillah (Ahmad Muhammad bin
Hanbal) mengenai Tarawih adalah 20
rakaat.
Menurut Imam Hanbali bahwa Khalifah
Umar ra, setelah kaum muslimin
dikumpulkan (berjamaah) bersama Ubay
bin Kaab, dia shalat bersama mereka 20
rakaat. Dan al-Hasan bercerita bahwa
Umar mengumpulkan kaum muslimin
melalui Ubay bin Kaab, lalu dia shalat
bersama mereka 20 rakaat dan tidak
memanjangkan shalat bersama mereka
kecuali pada separo sisanya. Maka 10
hari terakhir Ubay tertinggal lalu shalat
dirumahnya maka mereka mengatakan,
Ubay lari, diriwayatkan oleh Abu
Dawud dan as-Saib bin Yazid.
Kesimpulan
Dari apa yang kami sebutkan itu kita tahu
bahwa para ulama dalam empat
madzhab sepakat bahwa bilangan

Tarawih 20 rakaat. Kecuali Imam Malik


karena ia mengutamakan bilangan
rakaatnya 36 rakaat atau 46 rakaat. Tetapi
ini khusus untuk penduduk Madinah.
Adapun selain penduduk Madinah, maka
ia setuju dengan mereka juga bilangan
rakaatnya 20 rakaat.
Para ulama ini beralasan bahwa shahabat
melakukan shalat pada masa khalifah
Umar bin al-Khattab ra di bulan
Ramadhan 20 rakaat atas perintah beliau.
Juga diriwayatkan oleh al-Baihaqi
dengan sanad yang shahih dan lainlainnya, dan disetujui oleh para shahabat
serta terdengar diantara mereka ada yang
menolak. Karenanya hal itu menjadi
ijma, dan ijma shahabat itu menjadi
hujjah (alasan) yang pasti sebagaimana
ditetapkan dalam Ushul al-Fiqh.
KH Muhaimin Zen Ketua Umum
Pengurus Pusat Jamiyyatul Qurra wal
Huffadz (JQH) NU

Anda mungkin juga menyukai