LATAR BELAKANG
Pada kasus gawat darurat pada system pendengaran, pada saat melihat korban hendaknya
memperhatikan : korban bernapas atau tidak, kesadaran dan perdarahan. Keadaan ini dapat
terjadi pada kondisi apapun. Tingginya tingkat kecelakaan lalu lintas dan rendah perhatian orang
tua terhadap kondisi anak sehingga menyebabkan munculnya kegawat daruratan pada
pendengaran seperti trauma tumpul yang menyebabkan kehilangan pendengaran bahkan
keseimbangan. Kasus gawat darurat di telinga juga dapat di sebabkan oleh infeksi yaitu otitis
media yang merupakan peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba
eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Otitis media sering diawali dengan infeksi pada
saluran napas seperti radang tenggorokan atau pilek yang menyebar ke telinga tengah melalui
tuba eustachius. Sebagai mana halnya dengan infeksi saluran napas atas (ISPA), otitis media juga
merupakan sebuah penyakit langganan anak-anak. Di Amerika Serikat, diperkirakan sekitar 75%
anak mengalami setidaknya satu episode otitis media sebelum usia tiga tahun dan hampir dari
setengah mereka mengalami tiga kali atau lebih. Di Inggris, setidaknya 25% anak mengalami
minimal satu episode sebelum usia sepuluh tahun. Di negara tersebut otitis media paling sering
terjadi pada usia 3-6 tahun. Kegawat daruratan akibat otitis media yang paling di takuti adalah
timbulnya abses pada leher bagian dalam.
Kasus gawat darurat pada sistem pernafasan misalnya epistaksis dan benda asing di
dalam saluran nafas atas. Epitaksis disebut juga Sinonim: - bloody nose - nose bleed - nasal
hemorrhage. Asal kata bhs Yunani (Greek) : epistazein darah yang terus-menerus menetes
dari hidung (kavum nasi). Epitaksis bukan penyakit, tetapi gejala yang terdiri dari3 derajat :
ringan, sedang, berat (anemis, syok). Selain hal di atas, kegawatdaruratan sistem pernafasan juga
dapat di sebabkan obstruksi saluran nafas, misalnya: tumor dan trauma laring.
BAB II
1
LANDASAN TEORI
Kegawatdaruratan di bidang THT :
-
Epistaksis
Trauma Laring
A. Epistaksis
Epistaksis adalah perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab
kelainan sistemik. Epistaksis seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain.
Kebanyakan ringan dan sering berhenti sendiri tanpa perlu bantuan medis, tetapi epistaksis yang
berat dan sulit ditangani merupakan suatu kedaruratan yang harus segera ditanggulangi
Etiologi
A
Trauma
Pendarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung benturan
ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keias, atau sebagai akibat trauma yang
lebih hebat seperti kena pukul jatuh atau kecelakaan lalu-lintas. Selain itu juga bisa
terjadi akibat adanya benda asing tajam atau trauma pembedahan. Epistaksis sering
juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam. Pendarahan dapat terjadi di
tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila konka itu
sedang mengalami pembengkakan.
Infeksi lokal
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rinitis atau
sinusitis. Bisa juga pada infeksi spesifik seperti rinitis jamur, tuberkulosis, lupus,
sifilis atau lepra.
Tumor
Epistaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma. Yang lebih sering terjadi
pada angiofibroma, dapat menyebabkan epistaksis.
Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang terjadi pada arteriosklerosis,
nefritis kronik, sirosis hepatis atau diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis.
Epistaksis yang terjadi pada penyakit hipertensi seringkali hebat dan dapat berakibat
fatal karena pada penyakit hipertensi tekanan darah menjadi naik sehingga pembuluh
darah pada hidung tidak bisa menahan tekanan yg besar dalam pembuluh darah
sehingga pembuluh darah dalam hidung pecah.
Kelainan darah
Kelainan darah penyebab epistaksis antara lain leukemia, fombositopenia, bermacam
macam anemia serta hemofilia.
Kelainan Kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah teleangiektasis
hemoragik herediter (hereditary hemonhagic teleangiectasis Osler-Rendu-Weber
disease). Juga sering terjadi pada Von Willenbrand disease.
Infeksi sistemik
3
Gangguan hormonal
Epistaksis juga dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena pengaruh
perubahan hormonal. Pada wanita hamil biasanya mimisan terjadi pada trimester
kedua dan ketiga kehamilan. Mimisan dapat terjadi ringan atau berat. Mimisan ini
bisa terjadi karena hormon kehamilan seperti estrogen dan progesteron mengiritasi
dan membuat peradangan pada hidung, sehingga memicu produksi lendir di hidung,
ditambah dengan pelebaran pembuluh darah di seluruh tubuh termasuk di hidung dan
peningkatan volume darah selama hamil. (FKUI, 2007)
Klasifikasi Epistaksis
Melihat sumber peradarahan, epistaksis dibagi menjadi epistaksis anterior dan epistaksis
posterior. Untuk penatalaksanaannya perlu dicari sumber peradarahan walaupun kadang-kadang
sulit.
A
Epistaksis anterior
Kebanyakan berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian anterior atau dari
arteri etmoidalis anterior. Pendarahan pada septum anterior biasanya ringan karena
keadaan mukosa yang hiperemis atau kebiasaan mengorek hidung dan kebanyakan
terjadi pada anak, seringkali berulang dan dapat berhenti sendiri. (FKUI, 2007)
Epistaksis posterior
4
Dapat berasal dari arteri etmoidalis posterior atau arteri sfenopalatina. Pendarahan
biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri. Sering ditemukan pada pasien
dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler
karena pecahnya arteri sfenopalatina. (FKUI, 2007)
Penatalaksanaan
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan,
mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Pasien yang datang dengan
epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, sedangkan kalau sudah terlalu lemah
dibaringkan dengan meletakkan bantal di belakang punggung, kecuali bila sudah dalam
keadaan syok. Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap untuk
menyingkirkan bekuan darah. Kemudian diberikan tampon kapas yang telah dibasahi
dengan adrenalin 1: 10.000 dan lidokain atau pantokain 2 %. Kapas ini dimasukkan ke
dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa sakit pada
saat tindakan selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3 5 menit. Dengan cara ini
dapat ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau posterior.
(FKUI, 2007)
Pada penanganan epistaksis, yang terutama diperhatikan adalah perkiraan jumlah dan
kecepatan perdarahan. Pemeriksaan hematokrit, hemoglobin dan tekanan darah harus
cepat dilakukan. Pada pasien dalam keadaan syok, kondisi ini harus segera diatasi. Jika
ada kecurigaan defisiensi faktor koagulasi harus dilakukan pemeriksaan hitung trombosit,
masa protrombin dan masa tromboplastin (APTT), sedangkan prosedur diagnosis
selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. Bila terjadi kehilangan darah yang
banyak dan cepat, harus difikirkan pemberian transfusi sel-sel darah merah (packed red
cell) disamping penggantian cairan. (Munir, 2006)
A
Epistaksis Anterior
1 Kateurisasi
Sebelum dilakukan kauterisasi, rongga hidung dianestesi lokal dengan
menggunakan tampon kapas yang telah dibasahi dengan kombinasi lidokain 4%
topikal dengan epinefrin 1 : 100.000 atau kombinasi lidokain 4% topikal dan
penilefrin 0.5 %. Tampon ini dimasukkan dalam rongga hidung dan dibiarkan
Epistaksis Posterior
1 Tampon Posterior
Prosedur ini menimbulkan rasa nyeri dan memerlukan anestesi umum atau
setidaknya dengan anestesi lokal yang adekuat. Prinsipnya tampon dapat menutup
koana dan terfiksasi di nasofaring untuk menghindari mengalirnya darah ke
nasofaring. Kemudian dilakukan pemasangan tampon anterior. Tekhnik ini
pertama sekali diperkenalkan oleh Bellocq, dengan menggunakan tampon yang
diikat dengan tiga pita (band). Masukkan kateter karet kecil melalui hidung
kedalam faring, kemudian ujungnya dipegang dengan cunam dan dikeluarkan dari
mulut agar dapat diikat pada kedua ujung pita yang telah disediakan. Kateter
ditarik kembali melalui rongga hidung sehingga tampon tertarik ke dalam koana
melalui nasofaring. Bantuan jari untuk memasukkan tampon kedalam nasofaring
akan mempermudah tindakan ini. Apabila masih tampak perdarahan keluar dari
rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan tampon anterior ke dalam kavum
nasi. Kedua pita yang keluar dari nares anterior kemudian diikat pada sebuah
gulungan kain kasa didepan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di
nasofaring tidak bergerak. Pita yang terdapat di rongga mulut dilekatkan pada pipi
pasien. Gunanya untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2 3 hari.
(Munir, 2006)
2 Tampon Balon
Pemakaian tampon balon lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan
pemasangan tampon posterior konvensional tetapi kurang berhasil dalam
mengontrol epistaksis posterior. Ada dua jenis tampon balon, yaitu: kateter Foley
dan tampon balon yang dirancang khusus. Setelah bekuan darah dari hidung
dibersihkan, tentukan asal perdarahan. Kemudian lakukan anestesi topikal yang
ditambahkan vasokonstriktor. Kateter Foley no. 12 - 16 F diletakkan disepanjang
dasar hidung sampai balon terlihat di nasofaring. Kemudian balon diisi dengan 10
-20 cc larutan salin dan kateter Foley ditarik kearah anterior sehingga balon
menutup rongga hidung posterior. Jika dorongan terlalu kuat pada palatum mole
atau bila terasa sakit yang mengganggu, kurangi tekanan pada balon. Selanjutnya
dipasang tampon anterior dan kateter difiksasi dengan mengunakan kain kasa
yang dilekatkan pada cuping hidung. Apabila tampon balon ini gagal mengontrol
perdarahan, maka dilakukan pemasangan tampon posterior. (Vaghela, 2005)
Komplikasi dan pencegahan
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai akibat dari
usaha penanggulangan epistaksis. Pada perdarahan yang hebat dapat menyebabkan terjadinya
aspirasi darah kedalam saluran napas bawah, juga dapat menyebabkan syok, anemia dan gagal
ginjal.Turunnya tekanan darah secara mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia
serebri, insufisiensi koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian.
Dalam hal ini pemberian infus atau transfusi darah harus dilakukan secepatnya. Akibat
pembuluh darah yang terbuka dapat menyebabkan terjadinya infeksi, sehingga perlu diberikan
antibiotik. Pemasangan tampon dapat menyebabkan rinosinusitis, otitis media, septikemia atau
toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan antibiotik pada setiap pemasangan
tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut. Bila perdarahan masih berlanjut
7
dipasang tampon baru. Pemasangan tampon posterior (tampon Bellocq) dapat menyebabkan
laserasi palatum mole atau sudut bibir, jika benang yang keluar dari mulut terlalu ketat
dilekatkan pada pipi. Kateter balon atau tampon balon tidak boleh dipompa terlalu keras karena
dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung atau septum.
di dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi
dari berbagai sumber seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher.
Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di leher dalam yang terlibat.
Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman anaerob
Bacteroides atau kuman campuran. Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil, abses
retrofaring, abses parafaring, abses submandibula dan angina ludovici.
1. Abses Peritonsil
Etiologi
Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsilis akut atau infeksi yang bersumber dari
kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab
tonsillitis.
Patologi
Daerah superior dan lateral fossa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena
itu infiltrasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah tersebut, sehingga tampak
palatum
mole
membengkak.
pembengkakan tampak
Pada
stadium
permulaan
(stadium infiltrate),
selain
sehingga daerah tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula
kearah kontralateral. Bila proses berlangsung terus, peradangan jaringan di sekitarnya akan
menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah
spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru.
8
Odinofagia hebat
Otalgia
Muntah (regurgitasi)
Hipersalivasi
Pemeriksaan
-
Terapi
Stadium infiltrasi dapat diberikan antibiotika dosis tinggi, obat simtomatik, kumur-kumur
dengan cairan hangat & kompres dingin pada leher. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi
di daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi adalah tempat yang
paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula
dengan
geraham
atas
terakhir
pada
sisi
yang
sakit.
Tonsilektomi
pada
umumnya dilakukan sesudah infeksi tenang, 2-3 minggu setelah drainase abses.
Komplikasi
-
Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau piremia
Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring. Pada
penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum, sehingga terjadi mediastinitis. Bila terjadi
penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan thrombus sinus kavernosus,
meningitis, dan abses otak.
9
2. Abses Retrofaring
Etiologi
Secara umum abses retrofaring terbagi 2 jenis yaitu :1) Akut: Sering terjadi pada anakanak berumur dibawah 4 5 tahun. Keadaan ini terjadi akibat infeksi pada saluran nafas atas
seperti pada adenoid, nasofaring, rongga hidung,sinus paranasal dan tonsil yang meluas ke
kelenjar limfe retrofaring (limfadenitis) sehingga menyebabkan supurasi pada daerah tersebut.
Sedangkan pada orang dewasa terjadi akibat infeksi langsung oleh karena trauma akibat
penggunaan instrumen (intubasi endotrakea, endoskopi, sewaktu adenoidektomi) atau benda
asing. 2) Kronis: Biasanya terjadi pada orang dewasa atau anak-anak yang lebih tua. Keadaan ini
terjadi akibat infeksi tuberkulosis (TBC) pada vertebra servikalis dimana pus secara langsung
menyebar melalui ligamentum longitudinal anterior. Selain itu abses dapat terjadi akibat infeksi
TBC pada kelenjar limfe retrofaring yang menyebar dari kelenjar limfe servikal. Pada banyak
kasus sering dijumpai adanya kuman aerob dan anaerob secara bersamaan. Beberapa organisme
yang dapat menyebabkan abses retrofaring adalah
10
demam
suara sengau
dinding posterior faring membengkak (bulging) dan hiperemis pada satu sisi.
pada palpasi teraba massa yang lunak, berfluktuasi dan nyeri tekan atau
Pada keadaan lanjut keadaan umum anak menjadi lebih buruk, dan biasa dijumpai adanya:
-
Gejala yang timbul pada orang dewasa pada umumnya tidak begitu berat bila dibandingkan
pada anak. Dari anamnesis biasanya didahului riwayat tertusuk benda asing pada dinding
posterior faring, pasca tindakan endoskopi atau adanya riwayat batuk kronis. Gejala yang dapat
dijumpai adalah :
-
demam
dispnea
11
Pada bentuk kronis, perjalanan penyakit lambat dan tidak begitu khas sampai
terjadi pembengkakan yang besar dan menyumbat hidung serta saluran nafas.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran napas atas atau trauma,
gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan penunjang foto rontgen jaringan lunak leher lateral.
Pada foto rontgen akan tampak pelebaran ruang retrofaring lebih dari 7 mm pada anak dan
dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm pada anak dan lebih dari 22 mm pada
dewasa. Selain itu juga dapat terlihat berkurangnya lordosis vertebral servikal.
Diagnosis Banding
Adenoiditis, Tumor , Anuerisma aorta
Penatalaksanaan
1. Mempertahankan jalan nafas yang adekuat :
-
pemberian O2
trakeostomi/krikotirotomi
tanpa
menunggu
hasil
kultur
pus.
Antibiotik
yang diberikan harus mencakup terhadap kuman aerob dan anaerob, gram positip dan
gram negatif. Dahulu diberikan kombinasi Penisilin G dan Metronidazole sebagai
terapi
utama,
diberikan
tersendiri
seperti
cefuroxime)
ticarcillin / clavulanate,
beta
lactamaseresistant
piperacillin / tazobactam,
2. Simtomatis
3. Bila terdapat dehidrasi, diberikan cairan untuk memperbaiki keseimbangan cairan
elektrolit.
4. Pada infeksi Tuberkulosis diberikan obat tuberkulostatika.
5. Operatif :
a. Aspirasi pus (needle aspiration)
b. Insisi dan drainase :
-
yang
kecil
dan
terlokalisir.
Pasien
diletakkan
pada
untuk
anterior
m.
posterior
dibuat
dengan
melakukan
insisi
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah:
-
3. Abses Parafaring
Etiologi
-
Saluran limfatik/ supurasi dari kelenjar servikal dalam, gigi, tonsil, faring, hidung,sinus
paranasal, mastoid, vertebra servikal.
Patologi
Dimulai dari daerah prastiloid sebagai selulitis, jika tidak diobati berkembang menjadi
suatu abses dan akhirnya menjadi suatu trombosis dari vena jugularis interna.Abses dapat
mengikuti m. stiloglossus ke dasar mulut dimana terbentuk abses.Infeksi dapat menyebar ke
anterior ke bagian posterior, dengan perluasan ke bawah sepanjang sarung pembuluh-pembuluh
darah besar, disertai oleh trombosis v. jugularis/ mediastinitis. Infeksi bagian posterior : meluas
ke atas sepanjang pembuluh- pembuluh darah dan mengakibatkan infeksi intrakranial/ erosi a.
karotis interna.
Gejala dan Tanda
Gejala dan tanda yang utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan sekitar angulus
mandibula, demam tinggi, dan pembengkakan dinding lateral faring, sehingga menonjol ke arah
medial.
14
Pentalaksanaan
-
Insisi intraoral
Dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai klem arteri eksplorasi dilakukan
dengan menembus m. Konstriktor faring superior ke dalam ruang parafaring anterior.
Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan insisi eksternal.
Komplikasi
-
dinding
pembuluh
darah.
-
Nekrosis
4. Abses Submandibula
Etiologi
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur, kelenjar limfe
submandibula. Kuman penyebab biasanya campuran kuman aerob dan anaerob.
Gejala dan tanda
-
Nyeri leher
Terapi
15
5.Angina Ludovici
Etiologi
infeksi dari gigi atau dasar mulut.
Gejala dan tanda
-
Dasar mulut membengkak- mendorong lidah ke atas belakang- sumbatan jalan napas
sesak napas
Diagnosis
Riwayat sakit gigi, mengorek atau cabut gigi, gejala & tanda klinik.
16
Terapi
-
Komplikasi
-
Sepsis
sianosis
disebabkan
kekurangan oksigen dalam darah), gelisah bahkan penurunan kesadaran. Obstruksi total bila
tidak ditolong dengan segera dapat menyebabkan kematian. Obstruksi Saluran Nafas
Atas menyebabkan terjadinya Hipoventilasi Alveolar dan perubahan Biokimia yaitu hipoksemia
arteri, retensi CO2 [hiperkapnea], dan asidosis respiratori dan metabolik [karena PH yg Rendah].
Ketiga faktor ini akan menyebabkan keadaan Asfiksia. Keadaan Asphyxia menstimulasi
Kemoreseptor pada Carotid & Aortic Bodies. Keadaan
Chemoreceptor
& Symphatetic
nervous
Hipoksemia
system.
menstimuli :
Perangsangan
Chemoreceptor & Symphathetic Nervous System ini menyebabkan peningkatan usaha respirasi,
takikardia, vasokontriksi perifer hipertensi, peningkatan
resistensi Vascular Pulmonar, peningkatan aktivitas adrenal, peningkatan aktivitas
Cerebral
Cortical. Obstruksi saluran napas atas yang akan dibahas kali ini adalah obstruksi pada laring.
Prinsip penanggulangan obstruksi laring ialah menghilangkan penyebab sumbatan dengan cepat
atau membuat jalan napas baru yang dapat menjamin ventilasi. Sumbatan pada laring atau
saluran napas atas dapat disebabkan oleh : radang akut dan kronis, Benda asing, Trauma akibat
17
kecelakaan, Trauma akibat tindakan medik, Tumor saluran napas atas (tumor jinak maupun
ganas), Kelumpuhan nervus rekuren bilateral.
Gejala dan tanda
-
Stadium I
Stadium II
Stadium III
Stadium IV
Pemeriksaan foto leher dengan posisi tegak untuk menilai jaringan lunak leher serta
thorak postero-anterior dan lateral.
18
Penatalaksanaan
-
Stadium I
Tindakan
antiinflamasi,
anti alergi,
anti biotik serta pemberian oksigen intermiten jika disebabkan oleh peradangan.
-
Stadium II
Stadium III
Stadium IV
: Krikotiroidektomi
Intubasi Endotrakeal
Indikasi :
-
Membantu ventilasi
Mencegah aspirasi sekret yang ada di rongga mulut yang berasal dari lambung
Teknik Intubasi :
-
Posisi pasien tidur telentang, leher sedikit fleksi dan kepala ekstensi.
Laringoskop dengan spatel bengkok di pegang dengan tangan kiri, dimasukkan melalui
mulut sebelah kanan sehingga ligah terdorong ke kiri.
Spatel diarahkan menelusuri pangkal lidah ke valekula, lalu laringoskop diangkat ke atas
sehingga terlihat pita suara.
Dengan tangan kanan pipa endotrakeal dimasukkan melalui dua celah di antara pita suara
ke dalam trakea.
Balon diisi dengan udara lalu pipa endotrakeal difiksasi dengan benar. Harus berhati-hati
dalam memasukkan pipa endotrakeal karena dapat menyebabkan trauma pita suara,
laserasi pita suara sehingga timbul granuloma dan stenosis laring atau trakea.
Trakeostomi
-
Menurut letak stoma trakeostomi dibedakan letak yang tinggi dan letak yang rendah dan
batas letak ini adalah cincin trakea ke tiga
Krokotiroidektomi
Dilakukan dengan cara membelah membran krikotiroid.
Kontraindikasi :
-
Tergantung lokasi : Batuk hebat, rasa tercekik, tersumbat di tenggorok, bicara gagap,
obstruksi jalan nafas yang terjadi segera.
Nyeri daerah leher, rasa tidak enak di substernal, nyeri punggung, disfagia, nyeri
menelan, perforasi esofagus
lain emosi, gangguan psikis), ukuran dan bentuk serta sifat benda asing, faktor kecerobohan
(antara lain meletakkan benda asing di mulut, persiapan makanan yang kurang baik, makan atau
minum tergesa-gesa, makan sambil bermain, memberikan kacang atau permen pada anak yang
gigi molarnya belum lengkap)
Gejala
Gejala awal aspirasi akut dapat ditandai dengan episode yang khas yaitu choking
(rasatercekik), gagging (tersumbat), sputtering (gagap), wheezing (napas berbunyi),
paroxysmal coughing , serak, disfonia sampai afonia dan sesak napas tergantung dari derajat
sumbatan. Benda asing yang tersangkut di trakea akan menyebabkan stridor, dapat ditemukan
dengan auskultasi (audible stridor) dan palpasi di daerah leher ( palpatory thud ). Jika benda asing menyumbat total trakea akan timbul sumbatan jalan napas akut yang memerlukan tindakan
segera untuk membebaskan jalan napas.
Pemeriksaan Penunjang
-
Pemeriksaan radiologik leher dalam posisi tegak untuk menilai jaringan lunak leher
dan pemeriksaan toraks postero anterior dan lateral
Video fluoroskopi
Bronkogram
Pemeriksaan laboratorium
Penatalaksaan
Bronkoskopi kaku dengan kontrol pernapasan merupakan pilihan utama untuk kasus
benda asing di traktus trakeobronkial. Kebanyakan pasien yang datang ke pelayanan tertier telah
melewati fase darurat akut. Bila terdapat gangguan jalan napas berat atau adanya obstruksi total
dan benda asing tidak tajam lakukanlah back blows, abdominal thrusts atau Heimlich. Metode
ini tergantung umur penderita. Persiapan ekstraksi benda asing harus dilakukan sebaik-baiknya
dengan tenaga medis/operator, kesiapan alat yang lengkap. Besar dan bentuk benda asing harus
diketahui dan mengusahakan duplikat benda asing serta cunam yang sesuai benda asing yang
akan dikeluarkan. Benda asing yang tajam harus dilindungi dengan memasukkan benda tersebut
ke dalam lumen bronkoskop. Bila benda asing tidak dapat masuk ke lumen alat maka benda
21
asing kita tarik secara bersamaan dengan bronkoskop. Pemberian steroid dan antibiotik
preoperatif dapat mengurangi komplikasi seperti edema saluran napas dan infeksi.
Metilprednisolon 2 mg/kg IV dan antibiotik spektrum luas yang cukup mencakup Streptokokus
hemolitik dan Staphylococcus aureus dapat dipertimbangkan sebelum tindakan bronkoskopi.
Untuk sumbatan jalan napas bila terdapat benda asing di hidung cara mengeluarkannya ialah
dengan memakai pengait (haak) yang dimasukkan ke dalam hidung bagian atas, menyusuri atap
kavum nasi sampai menyentuh nasofaring. Setelah itu pengait diturunkan sedikit dan
ditarik ke depan. Sedangkan benda asing di tonsil dan dasar lidah digunakan cunam untuk
mengambilnya. Untuk benda asing yang terletak di dasar lidah, dapat digunakan kaca
tenggorok yang besar untuk membantu pengembilan benda asing tersebut. Pasien diminta
menarik lidahnya sendiri dan pemeriksa memegang kaca tenggorok dengan tangan kiri,
sedangkan tangan kanan memegang cunam untuk mengambil benda tersebut. Gunakan Xylocain
terlebih dahulu jika pasien merasa sensitive.
E. Trauma Laring
Ballanger membagi penyebab trauma laring atas:
1. Trauma mekanik eksternal (trauma tumpul, trauma tajam, komplikasi trakeostomi atau
krikotirotomi) dan mekanik internal (akibat tindakan endoskopi, intubasi endotrakea
atau pemasangan pipa nasogaster).
2. Trauma akibat luka bakar oleh panas (gas atau cairan yang panas) dan kimia (cairan
alcohol, amoniak, natrium hipoklorit dan lisol) yang terhirup.
3. Trauma akibat radiasi pada pemberian radioterapi tumor ganas leher.
4. Trauma otogen akibat penggunaan suara yang berlebihan (vocal abuse) misalnya akibat
berteriak, menjerit keras, atau bernyanyi dengan suara keras.
Patofisiologi
Trauma dapat menyebabkan edem dan hematoma plika ariepiglotika dan ventrikularis
oleh karena jaringan submukosa di daerah ini mudah membengkak. Selain itu Mukosa faring
dan laring mudah robek kemudian diikuti terbentuknya emfisema subkutis di daerah leher
22
yang
akan
menyebabkan
infeksi
sekunder.
Tulang rawan laring dan persendiannya dapat mengalami fraktur dan dislokasi.
Gejala klinik
Stridor, suara serak, emfisema subkutis, krepitasi kulit, hemoptisis,disafgia.
Penatalaksanaan
Luka terbuka : asfiksia ------penanganan segera
Adanya gelembung udara pada daerah luka
Tujuan : perbaiki saluran nafas dan mencegah aspirasi darah ke paru
Trakeostomi dengan kanul trakea
eksplorasi : jahit mukosa dan tulangrawan yang robek
Antibiotik utk mencegah tetanus
Luka tertutup : fraktur & dislokasi tulang rawan, laserasi mukosa laring
Konservatif : istirahat suara, humidifikasi, kortikosteroid
Indikasi untuk melakukan eksplorasi ialah: sumbatan jalan napas yang memerlukan
trakeostomi, emfisema subkutis progresif, laserasi mukosaluas, tulang krikoid terbuka, paralisis
bilateral terbuka. Eksplorasi dengan insisi kulit horisontal , untuk mereposisi tulang rawan atau
sendi yang mengalami fraktur atau dislokasi, menjahit mukosa yangrobek dan menutup tulang
rawan yang terbuka.
Komplikasi
Dapat terjadi apabila penatalaksanaannya kurang tepat dan cepat. Komplikasi yangdapat
timbul antara lain:
Terbentuknya jaringan parut disekitar luka dan terjadinya stenosis laring
Paralisis nervus rekuren
Infeksi luka dengan akibat terjadinya perikondritis, jaringan parut, dan stenosislaring dan
trakea.
23
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Telinga adalah organ penginderaaan berfungsi ganda dan kompleks pendengaran dan
keseimbangan. Indera pendengaran berperan penting pada partisipasi seseorang dalam aktifitas
kehidupan sehari-hari, sangat penting untuk perkembangan normal dan pemeliharaan bicara dan
kemampuan berkomunikasi dengan orang lain melalui bicara tergantung pada kemampuan
mendengar. Gawat darurat telinga adalah suatu keadaan yang menyebabkan terjadinya
penurunan pendengaran bahkan kehilangan pendengaran yang disebabkan oleh beberapa factor
diantaranya trauma tumpul seperti kecelakaan lalu lintas dan infeksi baik dalam waktu akut
maupun kronis.
Hidung dan tenggorokan merupakan organ yang berfungsi dalam penciuman dan pernafasan.
Kegawatdaruratan pada hidung dan tenggorokan dapat berupa adanya obstruksi saluran nafas
atas (tumor, truma laring, epitaksis). Adanya sumbatan pada hidung dan tengorokan dapat
menyebabkan berkurangnya absorpsi O2 dalam tubuh sehingga timbul hipoksemia yang akan
menyebabkan peningkatan
peningkatan resistensi
Vascular
Pulmonar, peningkatan
aktivitas
adrenal, peningkatan
aktivitas Cerebral Cortical. Kekurangan O2 lebih dari 3 menit dapat menyebabkan kerusakan
sel-sel otak dan terjadi nekrosis sehingga pasien dapat jatuh dalam keadaan koma dan berakhir
dengan kematian.
24
DAFTAR PUSTAKA
Mangunkosumo E, Wardani R. 2007. Perdarahan Hidung dan Gangguan Penghidu.Dalam :
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan Kepala dan Leher Edisi 6. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta.
Shumrick KA, Sheft SA. 1991. Deep Neck Infections In : Paparella Otolaryngology, Head and
neck. Vol III. Ed. 3.Philadelphia.
Cicameli GR dan Grillone GA.1998. Inferior Pole Peritonsillar Abcess. Otolaryngology
Headneck Surgery.
Goldenberg D, Golz dan Joachims HZ. 1997. Retrofaringeal Abcess a Clinical Review. J.
Laryngol Otol.
Adams Gl, Boies LR, Paparella MM. Trecheostomy.1989. In : Adams GC, Boies LR, Higer PA.
Fundamentals of Otolaryngology. Ed. 6. Philadelphia, WB Saunders Co.
Hadiwikarta A, Rusmarjono, Soepardi EA. Buku Ajar Ilmu kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorokan, Kepala dan Leher Edisi 6. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
Darraw DH, Holinger LD. Foreign Bodies of The larynx, Trachea and Bronchi. In :Bluestrone
CD, Stool SE, Kenna MA, ads. Pediatric Otolaryngology, Vol. 2. Philadelphia, Pa. WB.
Saunders.
Munir M, hadiwikarta A, Hutauruk SM. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorokan, Kepala dan Leher Edisi 6. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
25