Anda di halaman 1dari 27

4

BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Propolis
a. Deskripsi
Kata propolis berasal dari bahasa Yunani, yakni pro bermakna
sebelum dan polis berarti kota. Secara umum propolis dapat diartikan
sebelum sampai kota. Kota dalam kehidupan lebah madu adalah sarang
(Hoesada et al., 2007). Istilah ini diberikan untuk menggambarkan
kegunaan propolis sebagai zat pelindung di pintu masuk sarang, baik
terhadap invasi serangga lain maupun terhadap cuaca sehingga kota
lebah madu selalu dalam kondisi steril berkat propolis (Suranto, 2010).
Propolis dapat ditemukan dengan mudah di pintu-pintu masuk
sarang lebah madu dan di seluruh tepian sarang lebah yang biasanya
tersimpan dalam pola zig-zag. Pola ini memungkinkan penyimpanan
propolis lebih efektif sehingga dapat digunakan untuk mengisi celah,
menutupi jalan masuk sarang, atau dicairkan kembali jika harus
digunakan di tempat lain di dalam sarang (Suranto, 2010). Topracki
(2005) menjelaskan bahwa lebah madu menggunakan propolis untuk
pertahanan sarang, mengkilatkan bagian dalam sarang, dan menjaga
suhu lingkungan. Gambar 1 menjelaskan propolis digunakan oleh
lebah madu untuk mengurangi ukuran pintu masuk sarang.

Gambar 1. Lebah Madu Menggunakan Propolis untuk Mengurangi Ukuran


Pintu Masuk Sarang (Krell, 1996).

Propolis merupakan substrat getah (resin) yang bersifat lengket


seperti lem sehingga disebut sebagai bee glue (Hoesada et al., 2007).
Propolis dihasilkan lebah madu dengan cara mengumpulkan resin dari
berbagai macam tumbuhan, khususnya dari bunga dan kuncup daun,
kemudian resin ini dicampur dengan bee wax (lilin lebah) dan berbagai
enzim yang terdapat pada saliva lebah sehingga menjadi resin yang
berbeda dari resin asalnya (Krell, 1996).
b. Karakteristik
Propolis berwarna kuning terang sampai cokelat kemerahan,
tergantung pada sumber resin atau tumbuhannya (Suranto, 2010).
Bahkan propolis yang transparan telah dilaporkan oleh Coggshall dan
Morse dalam Krell (1996). Namun, dari sekian banyak warna propolis,
warna cokelat gelap adalah paling sering dijumpai. Menurut Toprakci
(2005), propolis bersifat pekat, bergetah, berwarna cokelat kehitaman,
mempunyai bau yang khas, dan terasa pahit.
Propolis mempunyai aroma wangi dan sangat lengket pada
suhu sarang, saat baru dibentuk (Suranto, 2010). Pada suhu 250-450C
propolis adalah zat yang lembut, lentur, dan sangat lengket. Di bawah
suhu 150C dan terutama ketika beku, propolis menjadi keras dan rapuh.
Di atas suhu 450C akan semakin lengket dan bergetah. Sementara itu

pada suhu 600-700C propolis akan mencair, tetapi untuk beberapa


sampel propolis titik leleh dapat mencapai suhu 1000C (Krell, 1996).
c. Kandungan Kimia
Propolis mempunyai kandungan kimia bervariasi tergantung
kondisi geografis dan ekosistem yang ada (Kosalec et al., 2004). Pada
tahun 1990 peneliti Oxford telah menemukan sekitar 150 jenis
mikroelemen di dalam propolis (Suranto, 2010). Tabel 1 menjelaskan
mengenai kandungan kimia propolis.
Tabel 1. Kandungan Kimia Propolis
Kelas Komponen

Jumlah

Resin

45-55 %

Lilin dan asam


lemak
Minyak esensial
Protein

25-53 %

Senyawa organik
lain dan mineral

10 %
5%
5%

Grup Komponen
Flavonoid, asam fenolat (kafeik, asam
ferulik), dan esternya
Sebagian besar dari lilin lebah dan
beberapa dari tanaman
Senyawa volatil
Protein kemungkinan berasal dari
pollen dan amino bebas
14 macam mineral yang paling
terkenal adalah Fe dan Zn. Senyawa
organik lain seperti: keton, laktan,
kuinon, asam benzoat dan esternya,
vitamin, dan gula
(Sumber : Krell, 1996)

1) Flavonoid dan Senyawa Fenol


Krell (1996) menyatakan bahwa kandungan propolis
berfungsi untuk memperbaiki kondisi patologi dari bagian tubuh
yang sakit, bekerja sebagai antioksidan dan antibiotik serta
meningkatkan sistem imunitas baik humoral maupun seluler
karena

mengandung

flavonoid

tinggi.

Flavonoid

adalah

sekelompok besar senyawa polifenol tanaman (Winarsi, 2007).


Menurut Kosalec et al. (2004), kandungan flavonoid dan senyawa
fenol yang tinggi di dalam propolis berfungsi sebagai antibakteri,
antivirus, antijamur, antioksidan, dan antiperadangan serta
meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Menurut Wade (2005),
flavonoid merupakan antioksidan dan antibiotik yang berfungsi
menguatkan dan mengantisipasi kerusakan pada pembuluh darah
serta bahan aktif antiperadangan dan antivirus.
Flavonoid diketahui dapat menghambat oksidasi lipid dan
pembentukan lipid peroksida melalui mekanisme penangkapan
radikal bebas dan metal chelation (flavonoid dapat mengikat Cu2+
suatu logam yang dapat menginduksi terjadinya oksidasi lipid),
(Hegazi dan El-Hady, 2007). Radikal bebas adalah atom atau
molekul aktif yang memiliki elektron tidak berpasangan (unpaired
electron), (Priyanto, 2009). Elektron yang tidak berpasangan dalam
senyawa radikal memiliki kecenderungan untuk mencari pasangan.
Umumnya, senyawa yang diserang adalah senyawa ikatan kovalen
makromolekul, seperti lipid, protein, maupun DNA (Priyanto,
2009; Winarsi, 2007).
Penelitian Ichikawa et al. (2002) dan Kumazawa et al.
(2004)

membuktikan

bahwa

kemampuan

propolis

sebagai

antioksidan dapat menangkap radikal hidroksil (OH) dan


superoksida (O2) kemudian menetralkan radikal bebas tersebut

sehingga keutuhan struktur sel dan jaringan serta membran lipid


terjaga. Ramirez et al. dalam Bankova (2000) menambahkan
bahwa propolis berperan sebagai antioksidan karena mengandung
kafeik dan asam ferulik beserta esternya.
2) Lilin
Lilin yang terkandung di dalam propolis sebagian besar
merupakan derivat dari lilin lebah (bee wax). Namun, tidak sedikit
lilin yang berasal langsung dari tanaman. Lilin lebah umumnya
mengandung ikatan ester, asam lemak, dan rantai alkohol
hidrokarbon (Suranto, 2010).
3) Minyak Esensial
Ragam minyak esensial dalam propolis tergantung jenis
bunga yang menjadi sumbernya. Minyak esensial propolis bersifat
volatil (mudah menguap) dan memiliki aroma yang khas
(Krell, 1996). Petri dalam Suranto (2010) menjelaskan bahwa
minyak esensial dalam propolis berperan sebagai antibakteri dan
antijamur.
4) Pollen
Persentase pollen yang terkandung dalam propolis sekitar
5 %. Pollen menjadi penyumbang kadar protein dalam propolis.
Dari semua asam amino yang terdapat dalam propolis, arginin dan
prolin tergolong yang terbanyak, sekitar 45,8 % (Suranto, 2010).
Jenis asam amino lainnya adalah triptofan, metionin, lisin,
fenilalanin, leusin, isoleusin, valin, tirosin, alanin, treonin, histidin,
serin, asam glutamat, dan asam aspartat (Hoesada et al., 2007).

5) Mineral
Jenis mineral yang ditemukan dalam propolis berjumlah
sekitar 14 jenis. Zat besi (Fe) dan seng (Zn) adalah kandungan
mineral terbanyak (Suranto, 2010). Kedua zat ini dibutuhkan dalam
membentuk

sistem

pertahanan

tubuh.

Enzim

superoksida

dismutase (SOD), salah satu dari antioksidan endogenus,


memerlukan bantuan mineral seperti mangan (Mn), seng (Zn), zat
besi (Fe), dan tembaga (Cu) agar bisa bekerja (Winarsi, 2007).
Antioksidan endogenus (primer) adalah suatu senyawa yang dapat
memberikan atom hidrogen secara cepat kepada senyawa radikal
sehingga segera terbentuk senyawa yang lebih stabil (Priyanto,
2009; Winarsi, 2007). Mineral zat besi (Fe) selain sebagai kofaktor
SOD juga berperan sebagai kofaktor antioksidan endogenus
katalase (Winarsi, 2007). Kofaktor merupakan suatu elemen yang
dengannya suatu faktor lain harus bersatu untuk dapat berfungsi
(Hartanto et al., 2000). Jenis mineral lainnya adalah emas (Au),
perak (Ag), caesium (Cs), merkuri (Hg), timbal (Pb), kalsium (Ca),
magnesium (Mg), kalium (K), natrium (Na), mangan (Mn),
tembaga (Cu), fosfor (P), kobalt (Co), sulfur (S), alumunium (Al),
fluor (F), dan selenium (Se), (Hoesada et al., 2007; Suranto, 2010).
Selenium (Se) merupakan mineral yang dibutuhkan tubuh untuk
pengaktifan

antioksidan

(GSH-Px), (Winarsi, 2007).


6) Senyawa Organik

endogenus

glutation

peroksidase

10

Selain kaya akan asam amino dan mineral, propolis juga


mengandung beberapa komponen senyawa organik, seperti keton,
lakton, quinon, steroid, asam benzoat dan esternya, vitamin (B1,
B2, B6, C, E, dan A), dan gula (Krell, 1996; Suranto, 2010).
Vitamin C, E, dan A dapat berperan sebagai antioksidan nonenzimatis, suatu antioksidan eksogenus (sekunder) yang berperan
menghambat Reactive Oxygen Species (ROS) dengan cara
pengkelatan metal atau dirusak pembentukannya (Priyanto, 2009;
Winarsi, 2007).

2. Ginjal
a. Fisiologi
Ginjal merupakan organ penting dalam mempertahankan
homeostasis dengan cara mengatur konsentrasi konstituen plasma,
terutama elektrolit dan air, dan dengan mengeliminasi semua zat sisa
metabolisme (kecuali CO2 yang dikeluarkan oleh paru-paru) dan
senyawa asing (Gartner dan Hiatt 2007; Wilson, 2006). Zat sisa
metabolisme tubuh yang dieliminasi ginjal, di antaranya urea, asam
urat, dan kreatinin, sedangkan senyawa asing yang dieliminasi ginjal
adalah toksin, metabolit obat-obatan, zat penambah pada makanan,
pestisida, dan bahan-bahan eksogen non-nutrisi lainnya yang berhasil
masuk ke dalam tubuh (Sherwood, 2001). Selain itu, ginjal juga
berperan dalam fungsi hormonal, mensekresikan eritropoietin dan

11

renin, dan fungsi metabolisme, mengubah vitamin D menjadi bentuk


aktifnya (Young dan Heath, 2002).
b. Anatomi
Ginjal merupakan organ besar, berjumlah sepasang, berwarna
kemerahan,

berbentuk

seperti

kacang,

dan

terletak

dalam

retroperitoneum pada dinding posterior abdomen. Ginjal memiliki


berat 130-150 gram dengan ukuran panjang sekitar 11 cm, lebar sekitar
4-5 cm, dan tebal sekitar 3 cm. Posisi hati menyebabkan letak ginjal
kanan berada sekitar 1-2 cm lebih rendah dibandingkan ginjal kiri
(Gartner dan Hiatt, 2007). Kutub atas ginjal kanan terletak setinggi iga
kedua belas, sedangkan kutub atas ginjal kiri terletak setinggi iga
kesebelas (Wilson, 2006). Permukaan ginjal halus dan terdapat di
dalam suatu kapsul yang dikelilingi oleh lemak perinefrik dan fasia
Gerota (Chandrasoma dan Clive, 2005). Ginjal juga memiliki sisi
medial cekung dan permukaan lateral yang cembung. Sisi medial yang
cekung, hilum, merupakan tempat masuknya saraf, keluar dan
masuknya pembuluh darah (arteri renalis dan vena renalis) dan
pembuluh limfe, serta keluarnya ureter (Mescher, 2010; Sherwood,
2001).
c. Histologi
Setiap ginjal dibagi dalam korteks di bagian luar yang tercat
gelap dan medula di bagian dalam yang tercat lebih terang (Pakurar
dan Bigbee, 2004). Korteks ginjal terdiri dari pars konvulata dan pars
radiata. Pars konvulata tersusun dari korpuskuli ginjal dan tubuli yang

12

membentuk labirin kortikal. Pars radiata tersusun dari bagian-bagian


lurus (segmen lurus tubulus proksimal dan segmen lurus tubulus distal)
dari nefron dan duktus kolektivus. Massa jaringan korteks yang
mengelilingi setiap piramid medula membentuk sebuah lobus renalis,
dan setiap berkas medula merupakan pusat dari lobulus renalis.
Jaringan korteks juga terdapat di antara piramid medula, yang disebut
kolumna Bertini (Gartner dan Hiatt, 2007). Gambar 2 menjelaskan
struktur histologis ginjal.

Gambar 2. Struktur Histologis Ginjal (Mescher, 2010)

Medula ginjal terdiri atas 10-18 struktur berbentuk kerucut atau


piramid yang disebut piramid medula. Setiap berkas medula terdiri atas

13

satu atau lebih duktus kolektivus bersama bagian lurus beberapa


nefron (Junqueira et al., 2005).
1) Nefron
Nefron adalah unit fungsional ginjal. Setiap ginjal
mempunyai sekitar satu juta nefron yang pada dasarnya
mempunyai struktur dan fungsi yang sama. Setiap nefron terdiri
dari kapsula Bowman yang mengitari rumbai kapiler glomerulus,
tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle, dan tubulus
kontortus distal (Wilson, 2006).

2) Korpuskulum Ginjal

Korpuskulum ginjal terdiri atas kapsula epitel berdinding


ganda yang disebut kapsula Bowman dan kapiler glomerulus yang
berada di dalamnya. Lapisan kapsula Bowman bagian luar
(parietal) terdiri atas epitel selapis pipih dan lapisan dalam (viseral)
terdiri atas epitel dari sel-sel podosit yang melekat erat pada
kapiler-kapiler glomerulus. Di antara kedua lapisan kapsula
Bowman terdapat celah sempit disebut ruangan Bowman atau
ruang urinarius. Fungsi ruangan ini adalah menampung cairan hasil
penyaringan melalui dinding kapiler glomerulus dan lapisan viseral
kapsula Bowman (Junqueira et al., 2005; Steven dan Lowe, 2005).
Korpuskulum ginjal memiliki dua kutub yaitu kutub
vaskuler dan kutub uriner. Kutub vaskuler merupakan tempat

14

masuk dan keluarnya arteriol aferen dan eferen glomerulus dan


sekaligus sebagai tempat peralihan kapsula Bowman parietal
melipat menjadi viseral. (Gartner dan Hiatt, 2007). Kutub uriner
merupakan transisi dari ruangan Bowman menuju lumen tubulus
kontortus proksimal dan juga tempat terjadinya perubahan dari
epitel selapis pipih (parietal) kapsula Bowman menjadi kuboid atau
silindris di tubulus kontortus proksimal (Steven dan Lowe, 2005).
Selama perkembangan embrional, epitel lapisan viseral
kapsula Bowman sangat dimodifikasi. Sel-sel lapisan viseral ini
disebut dengan podosit. Podosit melekat erat pada kapiler
glomerulus dengan cara membentuk tonjolan-tonjolan protoplasma
primer (prosesus primer). Dari setiap cabang prosesus primer
menjulurkan lagi prosesus sekunder atau pedikel yang melekat erat
pada membran basal kapiler glomerulus. Pedikel yang berdekatan
saling bersilangan dan di antaranya terdapat celah-celah sempit
yang disebut celah filtrasi. Celah-celah ini berhubungan dengan
ruangan yang lebih besar yang terbentuk di antara prosesusprosesus primer yang disebut ruang subpodosit yang akhirnya
masuk ke dalam ruangan Bowman (Junqueira et al., 2005).
3) Glomerulus
Glomerulus merupakan struktur yang dibentuk oleh
beberapa berkas anastomosis kapiler yang berasal dari cabangcabang arteriol aferen. Komponen jaringan ikat pada arteriol aferen

15

tidak masuk ke dalam kapsula Bowman dan secara normal sel-sel


jaringan ikat digantikan oleh tipe sel khusus, yaitu sel-sel
mesangial. Ada dua kelompok sel mesangial, yaitu sel mesangial
ekstraglomerular yang terletak pada kutub vaskuler dan sel
mesangial intraglomerular mirip perisit yang terletak di dalam
korpuskulum ginjal (Gartner dan Hiatt, 2007). Sekelompok sel
khusus yaitu sel jukstaglomerularis (modifikasi otot polos arteriol
aferen), makula densa, dan sel mesangial ekstraglomerular
membentuk bangunan penting disebut aparatus jukstaglomerulus.
Bangunan ini terletak dekat dengan kutub vaskuler glomerulus
yang

berperan

penting

dalam

mengontrol

volume

cairan

ekstraseluler dan tekanan darah, serta mengatur pelepasan renin


(Guyton dan Hall, 2007; Wilson, 2006).
Peran glomerulus dalam sistema uropoetika adalah
memfiltrasi plasma darah. Filtrat glomerulus mempunyai susunan
kimia sama seperti plasma darah tetapi hanya sedikit mengandung
protein karena protein tidak dapat menembus barier filtrasi ginjal.
Filtrat glomerulus mengalir ke tubulus kontortus proksimal untuk
memulai proses reabsorbsi dan sekresi (Guyton dan Hall, 2007).
4) Tubulus Kontortus Proksimal
Tubulus kontortus proksimal berawal dari kutub uriner
korpuskulum ginjal. Saluran ini berjalan berliku-liku dan bagian
akhir berjalan lurus melewati pars radiata korteks untuk

16

melanjutkan diri menjadi lengkung Henle. Sebagai segmen nefron


yang terpanjang dan terlebar, tubulus ini memenuhi hampir
sebagian besar korteks dan dalam sediaan sering terpotong
melintang atau serong (Young dan Heath, 2002). Sel-sel dalam
tubulus kontortus proksimal berbentuk kuboid simpleks dengan
batas-batas sel yang tidak tegas akibat interdigitasi antara membran
sel yang bersebelahan. Sitoplasma sangat asidofilik bergranula, inti
bulat dan besar, serta berkromatin padat. Puncak sel yang
menghadap ke lumen tubulus mempunyai mikrovili panjang
disebut brush border (Steven dan Lowe, 2005).
Tubulus proksimal ginjal berfungsi dalam mekanisme
reabsorbsi dan sekresi. Dalam keadaan normal, semua glukosa dan
67 % natrium dan klorida direabsrobsi melalui proses aktif yang
memerlukan energi. Air berdifusi secara pasif mengikuti gradien
osmotik. Bila jumlah glukosa dalam filtrat glomerulus berlebihan
dan melampaui batas ambang reabsorbsi tubulus proksimal, maka
akan dikeluarkan bersama-sama urine, misalnya pada penderita
diabetes melitus (Sherwood, 2001; Ward, 2009). Tubulus kontortus
proksimal juga mereabsorbsi aktif asam-asam amino, asam
askorbat, dan protein dalam filtrat glomerulus (Ward, 2009). Proses
sekresi yang terpenting pada tubulus kontortus proksimal adalah
sekresi H+, K+, dan ion-ion organik (Sherwood, 2001).

17

Sel-sel tubulus kontortus proksimal mempunyai tandatanda sel yang bermetabolisme tinggi, mempunyai banyak
mitokondria untuk menyokong proses transpor aktif yang sangat
cepat dan cukup tepat (Guyton dan Hall, 2007). Tubulus kontortus
proksimal adalah lokasi yang paling sering mengalami kerusakan
akibat toksikan. Hal ini terjadi karena tubulus kontortus proksimal
merupakan tempat pertama yang dilalui oleh toksikan. Selain itu,
sebelum obat dan metabolitnya diekskresikan melalui urine,
terlebih dahulu akan dikonsentrasikan dalam sel tubulus kontortus
proksimal ginjal sehingga kadar toksik pada tubulus kontortus
proksimal meningkat (Wilson, 2006). Sitokrom P450 (C-P450) di
ginjal

yang

berperan

dalam

pembentukan

N-asetyl-p-

benzoquinoneimine (NAPQI), metabolit toksik dari parasetamol


yang dapat memacu timbulnya nefrotoksisitas, sebagian besar
terdapat di tubulus kontortus proksimal (Mycek et al., 2001).
5) Lengkung Henle
Lengkung Henle adalah stuktur berbentuk huruf U terdiri
atas segmen tebal desenden, dengan struktur mirip tubulus
kontortus proksimal, kecuali brush border di sini kurang
berkembang; segmen tipis desenden; segmen tipis asenden; dan
segmen tebal asenden, yang strukturnya mirip dengan tubulus
kontortus distal. Peralihan antara segmen tebal ke segmen tipis
biasanya terjadi secara mendadak melalui pergantian sel-sel kuboid

18

atau kolumner rendah menjadi sel pipih (Steven dan Lowe, 2005).
Segmen tebal distal asenden menuju korteks dan menghampiri
kutub vaskuler glomerulus asalnya, tepatnya di antara arteriol
eferen dan eferen. Sel-sel tubulus di tempat ini tersusun lebih rapat
dan lebih tinggi dari pada sekitarnya, dinamakan makula densa.
Kemudian tubulus melanjutkan diri menjadi tubulus kontortus
distal (Junqueira et al., 2005).
Proses pemekatan filtrat akan terjadi selama melewati
lengkung Henle. Hal dikarenakan lengkung Henle menimbulkan
gradien hipertonis dalam medula yang akan berpengaruh terhadap
konsentrasi urine pada waktu melewati tubulus kolektivus. Bagian
desenden lengkung Henle sangat permiabel terhadap air, Na+, dan
Cl-. Karena interstisial medulla hipertonis terhadap filtrat,
akibatnya Na+ dan Cl- masuk sedangkan air akan keluar
meninggalkan filtrat. Bagian asenden lengkung Henle tidak
permiabel terhadap air dan secara aktif mentransport Na+ dan Cl- ke
dalam cairan interstisial sehingga tubulus ini sangat berperan
dalam mempertahankan cairan interstisial medula yang hipertonis.
Akibat hilangnya Na+ dan Cl- yang tidak diikuti keluarnya air,
maka filtrat yang mencapai tubulus kontortus distal bersifat
hipotonis (Guyton dan Hall, 2007; Ward, 2009).
6) Tubulus Kontortus Distal

19

Nefron melanjutkan diri menjadi tubulus kontortus distal


setelah melewati makula densa. Tubulus kontortus distal berjalan
berliku-liku dan berada di dalam korteks berdampingan dengan
tubulus kontortus proksimal. Tubulus ini berakhir di dekat pars
radiata, bermuara ke dalam duktus kolektivus. Sel-selnya
berbentuk kuboid dengan sitoplasma jernih, intinya bulat terletak
di sentral. Pada permukaan epitelnya terdapat mikrovili pendek
tetapi tidak membentuk brush border. Tubulus distal lebih pendek
daripada tubulus kontortus proksimal sehingga pada irisan tampak
lebih sedikit, dengan diameter lebih sempit. Pada umumnya selselnya tercat kurang kuat dibanding dengan tubulus proksimal
(Steven dan Lowe, 2005; Sherwood, 2001).
Di dalam tubulus kontortus distal terjadi pertukaran ion,
bila terdapat aldosteron, Na+ diresorbsi dan ion K+ diekskresi.
Tubulus ini juga mengekskresi H+ dan NH4+ (amonium) ke dalam
urine.

Mekanisme

di

sini

penting

untuk

mengendalikan

keseimbangan asam basa darah. Tubulus kontortus distal bersamasama dengan tubulus kolektivus sangat permiabel terhadap air bila
terdapat hormon antidiuretik (ADH), (Guyton dan Hall, 2007;
Sherwood, 2001; Ward, 2009).
7) Tubulus kolektivus
Tubulus kolektivus atau duktus ekskretorius tidak termasuk
bagian nefron karena secara embriologis keduanya berbeda.

20

Tubulus ini berjalan di dalam pars radiata korteks menuju medula.


Di bagian medula agak ke tengah, beberapa duktus bersatu
membentuk duktus yang lebih besar dan bermuara di apeks
piramid, yaitu duktus papilaris Bellini. Tempat muara dari duktusduktus papilaris sangat banyak dan diameternya cukup besar
sehingga menyerupai saringan disebut cribrosa area. Tubulus
kolektivus menyalurkan urine dari nefron ke pelvis renalis dengan
mengabsorbsi air akibat pengaruh hormon antidiuretik (ADH),
(Gartner dan Hiatt, 2007; Steven dan Lowe, 2005).

3. Parasetamol
a. Farmakodinamik
Parasetamol (asetaminofen) adalah metabolit aktif dari
fenasetin yang memiliki efek antipiretik kuat (Wilmana dan Gan, 2007;
Furst dan Munster, 2002). Mekanisme kerja sentral dari efek
antipiretik ditimbulkan oleh gugus aminobenzen (Wilmana dan Gan,
2007). Obat ini adalah penghambat prostaglandin yang lemah pada
jaringan perifer sehingga tidak memiliki efek antiinflamasi yang
signifikan (Furst dan Munster, 2002).
b. Farmakokinetik
Parasetamol diabsorbsi cepat dan sempurna melalui saluran
cerna. Metabolisme lintas pertama yang bermakna terjadi pada sel

21

lumen usus dan sel hepar (Mycek et al., 2001). Konsentrasi tertinggi
dalam plasma dicapai dalam waktu setengah jam dan masa paruh
plasma antara 1-3 jam. Di dalam plasma, sebanyak 25 % parasetamol
terikat protein plasma. Parasetamol dimetabolisme melalui 3 jalur
yaitu glukuronidasi, sulfatasi, dan oksidasi oleh sitokrom P450 (C-P450),
(Mycek et al., 2001; Priyanto, 2009). Di dalam hati, 80 % dikonjugasi
dengan asam glukuronat menjadi bentuk glukuronida dan sebagian
kecil lainnya dengan asam sulfat menjadi metabolit sulfat yang secara
farmakologis tidak aktif (Furst dan Munster, 2002; Wilmana dan Gan,
2007). Ketika jalur glukuronidasi dan sulfasi ini tidak dapat digunakan
lagi disebabkan asupan parasetamol jauh melebihi dosis terapi, maka
parasetamol berlebih ini akan dimetabolisme melalui jalur C-P450.
Konjugasi melalui jalur C-P450 akan menghasilkan N-asetyl-pbenzoquinoneimine

(NAPQI). NAPQI adalah metabolit minor

parasetamol yang sangat elektrofilik, reaktif, dan toksik terhadap hati


dan ginjal (Burke et al., 2006; Olson, 2007).
Pada keadaan normal, senyawa NAPQI ini akan dieliminasi
melalui konjugasi dengan glutation (GSH) yang berikatan dengan
gugus sulfhidril dan kemudian dimetabolisme lebih lanjut menjadi
asam merkapturat, bersifat non-toksik, yang selanjutnya diekskresikan
ke dalam urine. Pada kondisi overdosis, kadar GSH dalam sel hati
maupun GSH dalam sel-sel lainnya, seperti sel ginjal, sel otot, sel
jantung, sel darah merah, dan lain sebagainya akan menjadi sangat

22

berkurang (Winarsi, 2007). Keadaan demikian akan mengakibatkan


kerentanan sel-sel tersebut mengalami cedera oleh adanya oksidan dan
akhirnya NAPQI akan memiliki peluang untuk berikatan secara
kovalen dengan makromolekul sel seperti lipid, protein, dan DNA
(Burke et al., 2006). Reaksi antara NAPQI dengan makromolekul akan
memacu terbentuknya Reactive Oxygen Species (ROS). Selain itu,
NAPQI dapat menginisiasi terjadinya peroksidasi lipid (degradasi
oksidatif lipid). Peroksidasi lipid merupakan bagian dari proses atau
reaksi berantai (chain reactions) terbentuknya radikal bebas baru
berupa lipid peroksida (asam lemak radikal). Baik ROS maupun lipid
peroksida dapat menciptakan kondisi stres oksidatif, suatu kondisi
tingginya kadar radikal bebas dalam tubuh dan rendahnya sistem
biologis tubuh (antioksidan) untuk menetralisir radikal bebas tersebut
sehingga menyebabkan kerusakan sel dan jaringan yang luas
(Rubin et al., 2005; Winarsi, 2007).
Akumulasi NAPQI menyebabkan deplesi GSH yang secara
tidak langsung dapat menimbulkan terjadinya stres oksidatif akibat
penurunan proteksi dari antioksidan endogen, yang juga dapat
menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid (Maser et al., 2002). Produk
paling akhir

dari peroksidasi lipid di dalam tubuh adalah

malondialdehid (MDA) yang dapat menyebabkan kematian sel akibat


proses oksidasi berlebihan dalam membran sel. Tingginya kadar
radikal bebas dalam tubuh dapat ditunjukkan oleh rendahnya aktivitas

23

enzim antioksidan dan tingginya kadar MDA dalam plasma (Mayes,


2008; Winarsi, 2007). Selain itu, reaksi pembentukan NAPQI akibat
detoksifikasi oleh C-P450 memacu terbentuknya radikal bebas
superoksida (O2) yang dapat dinetralisir oleh superoksida dismutase
(SOD) menjadi hidrogen peroksida (H2O2), suatu ROS yang tidak
begitu berbahaya (Sukandar, 2006). Namun, adanya logam transisi
seperti Cu dan Fe akan terbentuk radikal hidroksil (OH) yang sangat
berbahaya dan dapat menghancurkan struktur sel, melalui reaksi
Haber-Weiss dan Fenton (Winarsi, 2007).
Reaksi Fenton

: Fe2+ + H2O2
Cu2+ + H2O2

Reaksi Haber-Weiss

: O2

+ H2O2

Fe3+ + OH + OHCu3+ + OH + OHCu2+

O2

+ OH + OH-

Gambar 3 di bawah ini menjelaskan tentang metabolisme


parasetamol.

24

Gambar 3. Skema Metabolisme Parasetamol (Mycek et al., 2001)

c. Indikasi
Indikasi pemberian parasetamol adalah sebagai analgesik dan
antipiretik. Nyeri akut dan demam dapat diatasi dengan 325-500 mg
empat kali sehari dan secara proporsional dikurangi untuk anak-anak
(Furst dan Ulrich, 2007).
d. Efek Samping
Parasetamol merupakan salah satu obat yang paling sering
menyebabkan kematian akibat keracunan (self poisoning),(Neal,
2006). Efek samping paling serius dari kelebihan dosis akut
parasetamol adalah nekrosis hati dan ginjal yang fatal (Priyanto, 2009;
Wilmana dan Gan, 2007). Sekitar 10 % pasien keracunan yang tidak
mendapatkan pengobatan yang spesifik akan berkembang menjadi
kerusakan hati yang hebat dan 10-20 % akhirnya meninggal karena
kegagalan fungsi hati. Kegagalan ginjal akut juga terjadi pada
beberapa pasien (Burke et al., 2006; Ghosh et al., 2010). Lethal Dose50 (LD-50) mencit adalah 6,76 mg/20 gram BB mencit (Wishart dan
Knox, 2006). Penelitian Mitic-Zlatkovic dan Stefanovic (1999) pada
hewan coba menunjukkan bahwa ketika parasetamol memenuhi ginjal,
parasetamol

akan

dioksidasi

melalui

menyebabkan kerusakan tubulus ginjal.

C-P450

sehingga

dapat

25

4. Mikroskopis Kerusakan Ginjal Setelah Pemberian Parasetamol Dosis


Toksik
Nefrotoksisitas akibat overdosis parasetamol dapat menginduksi
stres retikulum endoplasma pada glomerulus ginjal, yang menyebabkan
stres oksidatif dan inflamasi pada sel-sel podosit serta mesangial
glomerulus (Inagi, 2009). Singh et al. (2006) menjelaskan bahwa senyawa
ROS, yang merupakan hasil reaksi antara NAPQI (metabolit minor
parasetamol) dengan makromolekul, juga dapat menyebabkan kerusakan
glomerulus yang diawali dengan infiltrasi leukosit. Menurut Lorz et al.
(2005), keracunan parasetamol dapat menyatukan beberapa jalur
molekuler apoptosis, yang berarti dapat meningkatkan aktivitas apoptosis.
Apoptosis adalah jalur bunuh diri sel atau kematian sel terprogram
bukan pembunuhan sel yang terjadi pada kematian sel nekrotik
(Mitchell dan Cotran, 2007).
Selain

menyebabkan

kerusakan

glomerulus,

nefrotoksisitas

parasetamol dapat mengakibatkan terjadinya nekrosis segmen-segmen


pendek tubulus, terutama pada tubulus proksimal, dengan membrana
basalis tubuli umumnya masih baik dan secara klinik terjadi supresi akut
fungsi ginjal (Burke et al., 2006; Cotran et al., 2007). Nekrosis adalah
kematian sel dan jaringan pada tubuh yang hidup. Pada nekrosis
perubahan tampak nyata pada nukleus (Wilson, 2006). Perubahan
morfologik nukleus pada nekrosis menurut Mitchell dan Cotran (2007)

26

dan Wilson (2006) terdapat 3 pola, yang semuanya disebabkan oleh


pemecahan nonspesifik DNA, di antaranya:
a.

Piknosis, ditandai dengan melisutnya nukleus dan peningkatan


basofilia kromatin (berwarna gelap), kemudian DNA berkondensasi
menjadi massa yang melisut padat.

b.

Karioreksis, ditandai dengan nukleus yang hancur dan membentuk


fragmen-fragmen materi kromatin yang tersebar di dalam sel, yang
selanjutnya dalam 1-2 hari inti dalam sel yang mati benar-benar
menghilang.

c.

Kariolisis, ditandai dengan nukleus mati dan hilang yang disebabkan


oleh aktivitas DNAse sehingga basofilia kromatin memudar (tidak
dapat diwarnai lagi).

Gambar 4. Perubahan Morfologik Nukleus pada Nekrosis. A. Normal;


B. Piknosis; C. Karioreksis; D. Kariolisis (Wilson, 2006)

Gambaran histologis jaringan ginjal nekrosis yang bertahan selama


seminggu akan mulai tampak regenerasi epitel dalam bentuk lapisan epitel
kuboid rendah serta aktivitas mitotik di sel epitel tubulus yang tersisa.
Regenerasi ini bersifat total dan sempurna, kecuali pada membran basal
yang rusak (Cotran et al., 2007).

27

5. Mekanisme Perlindungan Propolis terhadap Kerusakan Ginjal akibat


Induksi Parasetamol
Kandungan utama propolis yang berperan dalam mencegah
kerusakan ginjal akibat pemberian parasetamol dosis toksik adalah
antioksidan. Antioksidan yang dimiliki propolis antara lain vitamin A, C,
E, Zn, Cu, Fe, Mn, Se (Krell, 1996; Suranto, 2010), flavonoid dan
senyawa fenol (Kosalec et al., 2004), kafeik dan asam ferulik beserta
esternya (Ramirez et al. dalam Bankova, 2000). Antioksidan ini mampu
memberikan elektron kepada molekul radikal bebas dan memutuskan
reaksi berantai (chain reaction) dari radikal bebas sehingga dapat
mencegah terjadinya stres oksidatif (Almatsier, 2002; Winarsi, 2007).
Flavonoid dan vitamin E secara khusus menghambat peroksidasi
lipid oleh radikal bebas yang dibentuk dari persenyawaan NAPQI melalui
mekanisme penangkapan radikal bebas dan metal chelation (Almatsier,
2002; Hegazi dan El-Hady, 2007). Selain itu, vitamin E dapat
mempertahankan integritas membran sel dengan menghambat aktivitas
nitrit oxide (NO) endotel dan menghambat adhesi leukosit pada sel yang
mengalami kerusakan. Inhibisi aktivitas NO juga diperankan vitamin C,
selain itu vitamin C juga merupakan penyetabil keberadaan vitamin E.
Vitamin C dapat meregenerasi radikal vitamin E menjadi vitamin E
kembali (Almatsier, 2002; Sukandar, 2006). Senyawa fenol, kafeik, asam
ferulik beserta esternya, dan vitamin A bermanfaat dalam menghambat
radikal bebas (Shetty et al., 2000).

28

Aktivitas antioksidan mineral berpengaruh sebagai kofaktor enzim


antioksidan endogenus. Baik Zn, Cu, Fe, maupun Mn merupakan kofaktor
aktivasi superoksida dismutase (SOD) yang dapat menghambat ROS, hasil
persenyawaan NAPQI. Selain sebagai kofaktor SOD, Fe juga sebagai
kofaktor enzim katalase (Winarsi, 2007). Selenium merupakan satusatunya unsur yang dapat mengaktivasi glutation peroksidase (GSH-Px)
yang penting untuk mencegah kerusakan ginjal akibat adanya stres
oksidatif dan Tumor Growth Factor- (TGF-). GSH-Px bersama glutation
reduktase (GR) dan NADPH merupakan bagian dari siklus redoks
glutation yang berperan penting dalam mempertahankan kadar glutation
(GSH) sehingga kadar GSH untuk berkonjugasi dengan NAPQI dapat
efektif (Singh et al., 2006; Winarsi, 2007).

29

B. Kerangka Pemikiran

Propolis

Parasetamol dosis
toksik
Bioaktivasi
C-P450

Vit. A, Fenol, Kafeik,


Asam firulik beserta
esternya, Asam amino
esensial

Se

Vit. C

Peningkatan
Lipid NAPQI
(elektrofilik)
peroksida

Cu-Zn
Mn

Vit. E

Fe

Flavonoid

Deplesi
glutation

Meningkatkan
Total
Antioxidant
Ikatan kovalen dengan
Status (TAS)
makromolekul
(nukleofilik)

Aktivasi
katalase
Aktivasi
GSH-Px

Reactive
Oxygen
Species (ROS)

Aktivasi
Aktivasi SOD
nitrit oxide
(NO) dan
adhesi
Konjugasi
leukosit
glutation
Keterangan:
: memacu
: menghambat
: mengandung antioksidan

Kerusakan
makromolekul

Stres oksidatif
Kerusakan Sel Ginjal

Nekrosis sel epitel tubulus


proksimal ginjal
Variabel luar yang tidak terkendali: kondisi
psikologis dan keadaan awal ginjal

Gambar 5. Skema Kerangka Pemikiran

30

C. Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah:
1. Pemberian propolis dapat mencegah kerusakan sel ginjal mencit (Mus
musculus) yang diinduksi parasetamol.
2. Peningkatan dosis propolis dapat meningkatkan daya proteksi terhadap
kerusakan sel ginjal mencit (Mus musculus) yang diinduksi parasetamol.

Anda mungkin juga menyukai