Anda di halaman 1dari 11

ABSTRAK

Pemphigus Vulgaris (PV) adalah penyakit autoimun intraepithelial blister yang


terdapat di kulit dan membrane mukosa. Mukosa oral adalah tempat tersering
yang didapati pada pasien dengan PV, dan lesi di oral mungkin menjadi tanda
pertama dari sebuah penyakit pada kebanyakan pasien. Pada beberapa
pasien, lesi di oral disertai dengan lesi yang ada di kulit. Lesi di oral adalah
lesi awal pada PV, tetapi, sering dianggap sulit didiagnosis karena lesi oral
awal mungkin tidak spesifik, manifestasinya sebagai erosi yang superfisial
atau ulserasi, dan jarang didapati dengan pembentukan bula yang utuh. Lesi
dapat terjadi dimana saja pada mukosa mulut termasuk gusi, namun
deskuamasi gingiva kurang umum dengan PV disbanding penyakit
mukokutaneus lainnya seperti pemphigoid atau lichen planus. Tulisan ini
menjelaskan kasus dari pasien yang memiliki riwayat satu tahun merasa nyeri
pada gingiva yang akhirnya didiagnosis sebagai pemphigus vulgaris

PENDAHULUAN
Pemphigus Vulgaris (PV) adalah keadaan autoimun intra-epithelial
blistering yang bisa terjadi di kulit dan membran mukosa. Pemphigus Vulgaris
mempunyai karakteristik

ditemukannya akantolisis di epitel. Penyakit ini

dapat terjadi pada jenis kelamin pria maupun wanita dan lebih sering terjadi
pada pasien paruh baya dan lanjut usia. Terapi kortikosteroid yang sistemik
berkaitan dengan perbaikan kondisi yang nyata; namun komplikasi terapi
medis ini harus tetap menjadi perhatian.
Membran mukosa mulut adalah tempat yang sering terkena pada
pasien PV, kebanyakan pasien datang dengan lesi oral sebagai tanda
pertama dari PV. Lesi ini bisa terjadi dimanapun di mukosa mulut, mukosa
bukal adalah tempat tersering yang terkena, lalu di mukosa palatal, lingual
dan labial. Gingiva adalah tempat yang umum terkena dampak dari penyakit
ini, dan gingivitis deskuamatif (DG) adalah manifestasi umum dari penyakit
ini.
Pada banyak pasien PV, lesi oral diikuti dengan perkembangan lesi di
kulit. Apabila PV dikenali pada tahap awal, maka terapi awal dapat mencegah
keprogesifan penyakit di kulit nantinya. Lesi oral awal PV, bagaimanapun
sering dianggap sulit untuk di diagnosis, karena lesi oral awal mungkin relatif
tidak spesifik, manifestasinya berupa superficial erosi atau ulserasi dan jarang
berbentuk bulla utuh. Diagnostik yang terlambat lebih dari 6 bulan adalah
keadaan umum dijumpai pada pasien dengan PV. Rata-rata interval dari
onset awal penyakit untuk konfirmasi diagnosis PV biasanya

setelah 6

sampai 8 bulan atau 27,2 minggu.


Tulisan ini akan mendeskripsikan kasus pada pasien dengan riwayat
selama satu tahun nyeri pada gingiva yang akhirnya di diagnosis sebagai
pemphigus vulgaris.

LAPORAN KASUS
Seorang wanita berumur 46 tahun dirujuk ke Nihon Uneversity School
of Dentistry di Rumah Sakit Matsudo dengan keluhan satu tahun merasa sakit
pada gingivanya. Pasien ini mengeluhkan gingivanya mengelupas ketika dia
menyikat gigi. Awalnya dia sudah menjalani perawatan periodontal, seperti
scalling dan mengikuti instruksi menyikat gigi dari dokter gigi. Namun tidak
ada perbaikan dari gejala penyakitnya. Terdapat lesi oral yang terus menerus
berulang terjadi remisi dan eksaserbasi. Diagnosis oral kandidiasis sudah
dikesampingkan oleh otologist.
Pemeriksaan oral mengungkapkan terdapat local erosi di marginal
gingiva gigi no 7 dan 8 (Figure 1). Tanda Nikolsky menunjukan reaksi positif,
dan epitelnya mudah terkelupas dengan menggores ringan permukaan
gingiva (figure 2). Tidak dijumpai lesi di kulit atau extraoral, serta riwayat
medis tidak ada kelainan yang bermakna. Diagnosis bandingnya adalah PV,
mucuos membrane pemphigoid, dan lichen planus erosive. Smear sitology
dilakukan sebelum melakukan specimen biopsy. Pemeriksaan sitologi smear
dilakukan pada gingiva labial dengan menggunakan Cytobrush (Medscand
Medical AB, Malmo, Sweden). Sediaan sitologi didapatkan sel yang
akantolisis (figure 3). Sel-sel ini memungkinkan diagnosis dugaan PV.
Sebuah sediaan biopsi gingiva diperoleh dari lokasi perilesional dan diajukan
untuk pemeriksaan histopatologi rutin dan Direct Immunofluorescence (DIF)
test. Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan sel achantholysis diatas
lapisan sel basal (figure 4). DIF dilakukan dengan menggunakan konjugasi
untuk IgG, IgA, IgM, C3, dan Fibrinogen dan terdapat deposisi dari IgG dan
C3 diantara sel epitel (Figure 5). Diagnosis definitif PV dibuatkan
berdasarkan temuan klinis dan histopatologi. Pada pasien ini walau hanya
membutuhkan 2 minggu dari kunjungan pertamanya ke rumah sakit sampai
didapatkan diagnosisnya adalah PV, namun satu tahun telah tertunda sejak
onset awal lesi sampai ditegakkannya diagnosis definitif
Terapi kortikosteroid topical (0.1% triamcinolone acetonide) diberikan
untuk pengobatan lesi gingiva. Cetakan perseorangan digunakan untuk

meletakkan kortikosteroid topical. Lesi berkurang secara signifikan selama


empat minggu dengan terapi kortikosteroid topical.

(Figure 1) : pemeriksaan awal


mengungkapkan sebuah patchy
erythematous labial gingiva disekitar gigi
no 7 dan 8

(Figure 3) : smear sitology pada gingiva


yang terkena yang menggambarkan
koleksi sel Tzank Acantholytic

DISKUSI

(Figure 2) : dilakukan pemeriksaan palpasi


pada periaodontal yang menimbulkan
desquamasi dari gingiva disekitar gigi no.
27

(Figure 4) : pemeriksaan histopatologi dari


gingiva. Acantholysis suprabasial dekat
ujung dari dua jaringan yang berdekatan.

(Figure 5) : Direct Immunofluorescensce


dari deposit IgG. Deposit igG ditemukan
diantara sel epithelial.

Deskuamasi Gingiva (DG) adalah manifestasi

dari gingiva

yang

mempunyai karakteristik deskuamasi epitel gingiva, kemerahan kronik


ulserasi, dan atau adanya formasi blister. Menurut Nisengard and Levine
tanda standar untuk menegakkan diagnosis klinis dari DG adalah :
1.
2.
3.
4.

Eritema gingiva yang bukan berasal dari plak


Deskuamasi gingiva
Intraoral lain dan terkadang lesiextraoral
Merasa sakit ketika makan, terutama yang berbumbu tajam.

Telah dilaporkan pada kebanyakan kasus DG yang timbul akibat beberapa


mukokutaneus.
Mucous membrane pemphigoid dan lichen planus erosive adalah
penyebab terseringnya DG, kurang lebih sekitar 48,9% dan 23.6% pada
kasus DG. PV adalah penyebab terakhir dari kasus DG (2.3%). 2 Pemeriksaan
histopatologic dan test DIF perlu dibuat untuk membuat diagnosis yang
definitif penyakit yang menjadi penyebab DG. Karena pemphigus vulgaris
dapat berpotensi menjadi keadaan yang fatal,

mengenal lesi deskuamasi

gingiva, walaupun jarang tetapi sangatlah penting untuk diagnosis pasti,


terapi tepat waktu, dan tindak lanjut. Pada pasien ini butuh sekitar satu tahun
sampai diagnosis definitf PV yang dibuat di rumah sakit kami setelah
kemunculan gejala oral pertamanya. Selama periode ini, pasien telah
mengunjungi klinik gigi, klinik THT, dan sebuah klinik penyakit dalam, tetapi
diagnosis definif PV tidak ditemukan di salah satu klini tersebut. Alasan untuk
diagnosis yang terlambat ini karena PV pada pasien ini hanya terbatas pada
gingiva dan secara klinis gejalanya sangat ringan dan gejala yang terjadi
sering berulang remisi dan mengalami eksaserbasi.
PV adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan acantholysis pada
epitel. Antigen utama dalam PV adalah desmoglein (Dsg) 3, adalah sebuah
konstituen protein dari desmosome. Kebanyakan pasien dengan PV memiliki
sirukulasi IgG autoantibodi yg melawan Dsg3, autoantibodi ini berikatan
dengan Dsg3 di sel membrane eptiel dan mungkin menimbukan akantolisi.
Sel akantolitis sering ditemukan dalam blister intraepithelial. Sel-sel ini

menunjukkan perubahan degeneratif, berbentuk bulat, inti hiperkromatik yang


membengkak dengan halo perinuklear yang jelas dalam sitoplasma. Sel
akantolitik dapat dikonfirmasi dalam smear sitologi yang diperoleh dari
pengelupasan mukosa mulut. Coscia-Porazzi et al menunjukkan bahwa
akantolitik (Tzanck) sel dikenal di 37 dari 40 pasien PV dan dilaporkan studi
sitomorfologik adalah metode yang sangat berguna untuk melakukan deteksi
pada kasus yang suspect oral PV. Dalam laporan ini, kami mengenali adanya
sel akantolitis di smear sitologi, yang memungkinkan diagnosis presumtif PV
ditegakkan. Namun, tetap perlu dilakukan biopsi munculnya sel akantolitik
saja tidak memungkinkan sebuah diagnosis definitf, tetapi hanya memungkin
diagnosis presumtif dari sebuah PV.
Hal ini karena sel-sel akantolitik juga dapat muncul pada beberapa
penyakit lain seperti impetigo, dariers disease, transient acan-tholytic
dermatosis, infeksi virus dan karsinoma. Untuk diagnosis definitive dari PV,
kriteria berikut ini harus dipenuhi : 3
1. Adanya lesi klinis yang tepat
2. Konfirmasi acantholysis di specimen biopsy
3. Konfirmasi autoantibodi dalam jaringan atau serum, atau keduanya.
Dalam kasus ini diagnosis definitf PV dibuat berdasarkan penilaian umum
temuan sebagai berikut :
1. Fenomena nikolsky positif
2. Adanya acantholysis di biopsy specimen
3. Menemukan endapan antibody antara sel-sel epitel dengan uji DIF.

TINJAUAN PUSTAKA
Pemphigus merupakan suatu kelompok penyakit autoimun yang
berpotensi menimbulkan kematian, dengan karakteristik berupa bula atau
blister pada kulit dan mukosa. Pemphigus vulgaris adalah varian yang paling
umum (80% dari kasus pemphigus) dengan karakteristik adanya sirkulasi
autoantibodi Immunoglobulin-G (Ig-G) terhadap desmoglein-1(Dsg-1) atau
desmoglein-3 (Dsg-3) yang menyebabkan akantolisis atau hilangnya adhesi
intersel.4 Gambaran klinis pemphigus vulgaris berupa ulserasi yang multiple
pada mukosa oral dan dapat pula berupa lepuhan kulit yang kronis. Hampir
pada semua kasus dijumpai lesi oral, dimana sekitar 60% kasus pemphigus
vulgaris didahului dengan terjadinya lesi oral yang kemudian diikuti dengan
lesi kulit.

Biasanya lesi kulit akan terjadi setelah timbul lesi oral sekitar 6

bulan (99% kasus) sampai 1 tahun.

Pemphigus vulgatis memiliki karakteristik adanya deposit autoantibodi


Ig-G

terhadap

glikoprotein

desmosome,

desmiglein-1

(Dsg-1)

dan

desmoglein-3 (Dsg-3) pada permukaan keratinosit yang menjadi pelekat antar


epitel. Adanya sirkulasi antibody Ig-G akan menyebabkan gangguan pada
perlekatan antar sel sehingga terjadilah blister atau bula. Pemhigus vulgaris
dapat terjadi pada wanita maupun laki-laki, namun wanita lebih dominan
dengan rasio 2,5 : 1. 6 Angka kejadian pemphigus vulgaris adalah satu kasus
per sejuta populasi, namun meningkat pada keturunan Yahudi, Timur Tengah,
serta Asia Selatan. Hal ini kemungkinan terkait erat dengan genetic dan ras.

Beberapa faktor dinyatakan berkontribusi pada keadaan pemphigus


vulgaris yaitu makanan, obat-obatan (Captopril, penicilamine, rifampisin,
diklofenak, dan ACE Inhibitor lainnya), keganasan, estrogen, serta infeksi
virus herpes dan pemakaian pestisida.

Gambaran klinis pemphigus vulgaris terkadang tidak spesifik, pada


tahap awal biasanya terjadi lesi permukaan oral yang terkadang dapat
didiagnosis dengan penyakit lainnya.

Terkadang pasien didiagnosis SAR

(apthous like ulcer), Eritema Multiforme, erosive lichen planus, mucuos

membrane pemphigoid. Oleh karena itu diagnosis pasti dari pemphigus


vulgaris harus ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya.
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis dari pemphigus
vulgaris berupa pemeriksaan histopatologi, sitology, direct immunofluorence.
Hasil dari pemeriksaan histopatologi pada pasien pemphigus vulgaris
ditemukan sel acantholytic pada sel epitel. Hasil temuan dari smear sitology
juga ditemukan sel acantholytic pada pasien pemphigus vulgaris. Hasil direct
immunofluorence ditemukan adanya deposisi dari autoantibody Ig-G.
Acantholytic terjadi akibat reaksi autoimun yan merusak struktur desmosome
(jembatan intraseluler) yang menyebabkan blister serta ditemukannya sel
keratinosit bulat (Tzanck Cell).7
Menurut Fellner & Sapadin,8 terdapat 2 tahap terapi pemphigus
vulgaris, pertama adalah fase loading yaitu untuk mengontrol penyakit, kedua
adalah fase maintenance yang terdiri dari konsolidasi dan terapi tapering.
Terapi utama pemphigus vulgaris adalah kortikosteroid yang digunakan
sendiri atau kombinasi dengan imunosupresan.

Tujuan terapi adalah

menekan sirkulasi autoantibodi sehingga tidak terjadi akantolisis, atau


hilangnya perlekatan antara suprabasal dengan lapisan dibawahnya.
Pemberian dosis awal tergantung keparahan dalamanya lesi. Pemakaian
prednisone sistemik direkomendasikan 0.5-2 mg/kg berat badan.

Pemberian

Triamconolone Acetonide diaplikasikan untuk deskuamatif gingiviyis.


Kortikosteroid sistemik dapat memberikan efek samping terapi
sehingga untuk meminimalkannya dikombinasi dengan terapi adjuvant.
Adjuvant yang paling sering digunakan adalah imunosupresan seperti
Azathioprine dan cyclophosphamide. Efek samping terapi yang dapat terjadi
seperti kandiasis. Sehingga untuk menghindari kandidiasis maka diberikan
antifungal seperti nystatin oral suspension. Infeksi candida dapat terjadi
karena pemakaian kortikosteroid dan imunosupresan dapat meningkatkan
terjadinya neutropenia dan menekan system imun seluler.

Selain itu pada pasien pemphigus vulgaris perlu dilakukan control plak
dan scalling secara rutin untuk mencegah progresivitas dari penyakit dan
kelainan periodontal lainnya.

KESIMPULAN
Laporan ini menggambarkan kasus seorang pasien yang memiliki
riwayat gingiva yang nyeri selama satu tahun dengan erosi intractable, yang
akhirnya didiagnosa memiliki pemphigus vulgaris. Meskipun PV adalah
penyakit intraepithelial blister, formasi

bulla utuh pada gingiva ini jarang

terjadi dan merupakan manifestasi yang tidak spesiifik. Oleh karena itu,
diagnosis PV sering ditegakkan terlambat. Gejala klinis, histopatologi, dan
pemeriksaan imunologi harus dilakukan untuk mendapatkan diagnosis definitif
dari PV. Pada pasien dengan PV yang memiliki lesi terbatas pada rongga
mulut, harus segera di followup, dan harus dirujuk ke spesialis segera ketika
ada gejala extraoral.

DAFTAR PUSTAKA
1. H. Endo, T. D. Rees, W. W. Hallmon et al., Disease progression from
mucosal to mucocutaneous involvement in a patient with desquamative
gingivitis

associated

with

pemphigus

vulgaris,

Journal

of

Periodontology, vol. 79, no. 2, pp. 369375, 2008.


2. R. J. Nisengard and R. S. Rogers III, The treatment of desquamative
gingival lesions, Journal of Periodontology, vol. 58, no. 3, pp. 167
172, 1987.
3. D. Mimouni, C. H. Nousari, D. L. Cummins, D. J. Kouba, M. David, and
G. J. Anhalt, Differences and similarities among expert opinions on the
diagnosis and treatment of pemphigus vulgaris, Journal of the
American Academy of Dermatology, vol. 49, no. 6, pp. 10591062, 200
4. Greenberg MS, Glick M, Ship JA. Burkets oral medicine. 11th ed.
Ontorio: BC Decker Inc; 2008: p. 62- 6.
5. Black M, Mignogna MD, Scully C. Mucosal disease series, number II:
Pemphigus vulgaris. Oral Disease 2005; 11: 119-30.
6. Davatchi CC, Valikhani M, Daneshpazhooh M, Esmaili N, Balighi K,
Hallaji Z, Barzegari M, Akhiani M, Ghodsi Z, Mortazavi H, and Naraghi
Z. Pemphigus: analysis of 1209 cases. International Journal of
Dermatology 2005; 44: 470-76.
7. Darling MR, Daley T. Blistering mucocutaneous disease of the oral
mucosa-A review: Part 2.Pemphigus vulgaris. J Can Dent Assoc 2006;
72(1): 63-6.
8. Lagha NB, Poulesquen V, Roujeau JC, Alantar A, Maman L.
Pemphigus vulgaris: A case-based update. J Can Dent Assoc 2005;
71(9): 667-72.

Anda mungkin juga menyukai