Anda di halaman 1dari 34

EARLY GOAL DIRECTED THERAPY

(EGDT) DALAM PENANGANAN SEPSIS


DAN SYOK SEPTIK PADA ANAK
Sepsis merupakan masalah kesehatan utama, yang
mempengaruhi jutaan manusia di seluruh dunia, dengan insidens
yang diperkirakan terus meningkat.1-6 Hingga saat ini, sepsis
masuk ke dalam 10 besar penyakit yang menjadi penyebab
kematian tertinggi di Amerika Serikat, dengan angka mortalitas
mencapai 215.000 kasus kematian tiap tahunnya. 6, 7 Pada populasi
anak, angka mortalitasnya di tahun 1995 berkisar 10,3% di antara
anak-anak yang dirawat di bangsal anak rumah sakit di Amerika
Serikat.8 Sekitar 30% kasus sepsis dapat mengalami perburukan
menjadi sepsis berat dan syok septik, dengan angka mortalitas
mencapai 84%.7, 9 Di Afrika, 50% kematian anak di rumah sakit
dapat terjadi dalam 24 jam pertama sejak anak masuk rumah
sakit, dan syok menjadi komplikasi pada banyak kasus di
antaranya.10
Dalam 10 tahun terakhir telah banyak didapatkan
perkembangan dalam tatalaksana sepsis, yaitu dalam hal
resusitasi cairan, terapi inotropik dan pemberian antibiotika.
Namun dalam penanganan sepsis terkini diketahui
bahwa waktu memegang peranan penting dan krusial. 3-6, 11-13 Early
Goal Directed Therapy (EGDT) merupakan penatalaksanaan
pasien dengan sepsis berat dan syok septik, yang bertujuan

memperbaiki penghantaran oksigen ke jaringan, dalam jangka


waktu tertentu.4, 5, 11
Telah diketahui bahwa perfusi jaringan yang buruk pada keadaan
sepsis berat dan syok septik menyebabkan terjadinya global
tissue hypoxia dan berbagai konsekuensi yang menyertainya, dan
hal tersebut berhubungan dengan tingginya angka mortalitas. 5, 1315

EGDT mulai berkembang di tahun 2001 setelah penelitian Rivers

dkk menemukan bahwa penatalaksanaan yang agresif dalam


jangka waktu 6 jam, dengan tujuan mencapai target-target
tertentu di unit gawat darurat pada pasien sepsis berat dan syok
septik ternyata berhasil mengurangi mortalitas hingga 16,5%
dibandingkan dengan kelompok yang mendapat terapi standar
dengan mortalitas mencapai 46,5%.

5, 6, 14-16

EGDT kini telah banyak

diterapkan di berbagai rumah sakit, sebagai bentuk


implementasi Surviving Sepsis Campaign.5, 17 Namun, dalam
pelaksanaannya, seringkali masih menemui kendala akibat
kurang mendukungnya sumber daya, sarana dan prasarana yang
tersedia.5, 14, 15 Agar EGDT dapat dilakukan dengan terorganisasi
maka klinisi harus memiliki pemahaman tentang patofisiologi
sepsis, teori yang mendasari EGDT, serta memiliki keterampilan
dan penguasaan prosedur medis dan teknis yang akan dilakukan
dalam penanganan pasien dengan sepsis berat dan syok
septik.15 Berikut ini akan dibahas mengenai teori yang mendasari
EGDT, prinsip EGDT, serta aplikasinya di rumah sakit.

Perkembangan EGDT
Awal mula berkembangnya tatalaksana kasus dengan
pendekatan goal oriented tampaknya didahului oleh penelitian
Shoemaker dkk di tahun 1988, yang berusaha memberikan kadar
oksigen di atas normal pada pasien post operatif, untuk
meningkatkan prognosis survival pasien tersebut. 14 Shoemaker
dkk menemukan bahwa kekurangan oksigen pada pasien bedah
sakit kritis menyebabkan terjadinya kegagalan multi-organ dan
berhubungan dengan meningkatnya mortalitas. Tindakan
resusitasi dengan target spesifik meningkatkan penghantaran
oksigen ke jaringan melalui kateter arteri pulmonalis berhasil
menurunkan mortalitas sebesar 38% menjadi 4%. 8, 13
Rivers dkk (2001) mempublikasikan penelitian mereka tentang
EGDT, yaitu pada 263 pasien dewasa yang didiagnosis sepsis
berat dan syok septik di unit gawat darurat. Pasien tersebut
mendapat resusitasi cairan kristaloid dan koloid untuk
mempertahankan tekanan vena sentral > 8 mmHg, pemberian
vasodilator dan vasopresor untuk mempertahankan mean arterial
pressure(MAP) antara 65-90 mmHg, transfusi PRC untuk
mempertahankan hematokrit > 30% pada pasien dengan saturasi
oksigen vena sentral < 70%, serta pemberian inotropik. Resusitasi
dini dilakukan dalam 6 jam pertama dan berhasil mengurangi
mortalitas selain juga berhasil mencegah terjadinya kegagalan

multiorgan.5, 14 Keberhasilan pendekatan tatalaksana pasien sepsis


berat dan syok septik dengan pendekatan EGDT yang dilaporkan
oleh Rivers dkk berupa menurunnya angka mortalitas hingga
16,5% dibandingkan dengan kelompok yang mendapat terapi
standar tanpa pendekatan EGDT dengan angka mortalitas
mencapai 46,5%.14
Penelitian Han dkk (2003) menemukan bahwa penatalaksanaan
syok septik yang dilakukan dalam waktu rata-rata 75 menit
berhubungan dengan keberhasilan survival pasien hingga 96%,
dan setiap tambahan waktu 1 jam keterlambatan penanganan
syok berhubungan dengan peningkatan risiko kematian 2 kali
lebih tinggi.19 Dari ilustrasi di atas dapat dilihat bahwa hal
mendasar yang menjadi fokus perhatian, adalah
perbedaan waktu dilakukannya tindakan.8 Namun kenyataannya,
pemasangan kateter arteri pulmonalis seperti dalam penelitian
Shoemaker untuk tujuan resusitasi tidak praktis dan sangat sulit
diaplikasikan di unit gawat darurat. Akibatnya, pasien dengan
diagnosis sepsis berat atau syok septik yang memerlukan
resusitasi cairan, sering dirujuk ke ICU untuk dilakukan
pemasangan kateter arteri pulmonalis sehingga berimbas pada
penundaan tindakan resusitasi. Pada prakteknya, justru
menyebabkan kegagalan dalam menurunkan mortalitas dan
morbiditas akibat sepsis berat dan syok septik. Kegagalan ini
dapat dijelaskan karena tindakan protokol resusitasi dilakukan
setelah terjadi hipoksia jaringan berat dan lama. 8, 13

Dari berbagai penelitian selanjutnya, didapatkan bahwa kunci


suksesnya penanganan sepsis yaitu dengan identifikasi dan
intervensi dini agresif berjenjang dengan target-target resusitasi
yang telah ditentukan dalam protokol penatalaksanaan di unit
gawat darurat atau di ruang perawatan intensif maupun nonintensif, yaitu dengan menerapkan EGDT. 20
Intervensi untuk meningkatkan curah jantung meliputi resusitasi
cairan untuk meningkatkanpreload, pemberian inotropik untuk
memperbaiki kontraktilitas jantung, serta pemberian vasopresor
(atau vasodilator) untuk optimalisasi afterload. Konten oksigen
arterial dapat ditingkatkan dengan transfusi Packed Red
Cell (PRC) dan meningkatkan SaO2 dengan terapi oksigen.8
Kerusakan multiorgan di tingkat seluler tampaknya dipengaruhi
oleh disfungsi dan kerusakan pada mitokondria. Disfungsi dan
kerusakan mitokondria pada sepsis terjadi akibat interaksi
patogen-inang, selain juga dipengaruhi patogenisitas
mikroorganisme. Mekanisme kerusakan mitokondria pada sepsis
dapat dilihat pada gambar 3. Syok yang berkepanjangan dan
hipoksia jaringan dapat menyebabkan disfungsi mitokondria. Pada
keadaan sepsis berat, aktivasi berbagai sel imunitas khususnya
neutrofil, serta hipoksia jaringan berkontribusi terhadap
terbentuknya ROS (Reactive Oxidant Specifics). ROS berkontribusi
terhadap kerusakan mitokondria, dan kejadian tersebut memicu
pembentukan ROS lebih banyak lagi, yang juga

menyebabkanprogramming kematian mitokondria. Kematian


mitokondria terjadi akibat penumpukan ROS yang memicu sinyal
untuk membuka pori-pori membran permeabilitas mitokondria
(Mitochondrial Permeability Transition, MPT), yang menyebabkan
edema matriks mitokondria, ruptur membran luar mitokondria,
serta aktivasi kaskade apoptosis. Namun, kadang tanpa melalui
fase MPT, kaskade apoptosis masih dapat dipicu akibat
pergerakan faktor pro-apoptosis melalui membran luar
mitokondria (Mitochondrial Outer Membrane Permeabilization,
MOMP).21, 22
Pada keadaan hipoksia jaringan berat akan disertai dengan
menurunnya cadangan ATP seluler, sehingga menyebabkan
gangguan integritas membran sel yang selanjutnya menimbulkan
edema (MPT) serta nekrosis sel. Berbeda dengan apoptosis,
nekrosis sel menginduksi respon inflamasi lokal dan sistemik,
sehingga memperberat keadaan.21, 22
Oleh karena itu, semakin jelas bahwa terapi secara dini yang
difokuskan terhadap stabilisasi hemodinamik untuk mencegah
terjadinya global tissue hypoxia dapat mencegah onset terjadinya
disfungsi multiorgan yang bertanggungjawab terhadap
meningkatnya angka mortalitas pasien dengan sepsis. 9
Implementasi EGDT dalam tatalaksana sepsis berat dan
syok septik pada anak

Implementasi EGDT di unit gawat darurat dan unit perawatan


intensif dalam tatalaksana sepsis berat dan syok septik pada bayi
dan anak diajukan dalam bentuk diagram alur berikut ini:

MAP, Mean Arterial Pressure; CVP, central venous pressure;


ScvO2, central venous O2 saturation; CI, Cardiac Index; PICCO,
pulse contour cardiac output; FATD, femoral arterial
thermodilution; ECMO, extracorporeal membrane oxygenation;
CRRT, continuous renal replacement therapy; IV, intravenous; IO,
intraosseus; IM, intramuscular
Gambar 4. Penatalaksanaan Syok Septik Pediatrik
Sumber: Brierley, 2009
Algoritme berbasis waktu ini dalam 1 jam pertama bertujuan
untuk mengembalikan dan mempertahankan denyut jantung ke
nilai normal, mencapai waktu pengisian kapiler < 2 detik, serta
menormalkan tekanan darah. Dukungan oksigenasi dan ventilasi

diberikan sesuai dengan indikasi. Target-target berikutnya


diharapkan tercapai dalam waktu 6 jam di unit perawatan
intensif.

23

1 Kerangka waktu: Nol sampai dengan 5 menit pertama


Dalam lima menit pertama, klinisi harus dapat mengidenfikasi
pasien dengan sepsis berat dan syok septik. Identifikasi dini
sangat berhubungan dengan menurunnya morbiditas dan
mortalitas kasus sepsis berat dan syok septik. 24 Dalam waktu lima
menit pertama ini pula secara simultan dilakukan manajeman
jalan nafas (airway) dan pernafasan (breathing), serta
pemasangan akses intravena (circulation).

1.1

Identifikasi dini pasien dengan sepsis berat dan

syok septik
Trias demam, takikardi, dan vasodilatasi umum ditemukan pada
anak dengan tanda-tanda infeksi. Syok septik harus menjadi
pertimbangan diagnosis bila trias di atas ditemukan, disertai
dengan perubahan status mental yang bermanifestasi sebagai
iritabilitas, bingung, mengantuk, hingga penurunan kesadaran
yang lebih dalam.23 Sepsis berat dan syok septik diketahui
berhubungan dengan hipoksia jaringan yang luas. Hipoksia pada
susunan saraf pusat akan menyebabkan gangguan berupa
penurunan kesadaran.25

Selain itu, klinisi juga harus dapat mengidentifikasi tanda-tanda


gangguan perfusi jaringan yang disebabkan oleh disfungsi
kardiovaskuler pada sepsis. Syok septik dibedakan ke dalam 2
jenis, yaitu warm shock dan cold shock. Warm shock ditandai
dengan curah jantung yang tinggi, kulit yang hangat dan kering,
serta bounding pulse. Sedangkan cold shock ditandai oleh curah
jantung yang rendah, kulit lembab dan dingin, serta nadi yang
lemah.25 Stadium awal syok septik dapat dikenali dengan
ditemukannya takikardia, bounding pulse, serta gangguan
kesadaran. Produksi urin kurang dari 1 mL/kgbb/jam. 23 Pada
stadium yang lebih lanjut, dapat ditemukan waktu pemanjangan
kapiler, dan pada stadium akhir ditandai dengan hipotensi. 19
1.2

Mempertahankan jalan nafas dan pemberian terapi

oksigen
Manajemen jalan nafas dan pernafasan dapat dilakukan dengan
mengacu pada Pediatric Advanced Life Support (PALS), di
antaranya dengan memposisikan kepala, serta pemberian terapi
oksigen.23
1.3

Memasang akses intravaskular

Penelitian yang dilakukan oleh Kanter dkk (1986) mendapatkan


bahwa usaha pemasangan akses intravena perifer pada pasien
anak dengan sakit kritis memerlukan waktu rata-rata 4 menit 30
detik, tercepat 40 detik.26 American Heart Association bersama

dengan American Academy of Pediatrics dalam PALS


merekomendasikan untuk situasi darurat, pemasangan akses
intravena harus terpasang dalam waktu 5 menit. Bila dalam
jangka waktu tersebut belum berhasil, maka dilakukan
pemasangan akses intraoseus.1 Setelah terpasang akses
intravena segera diambil sampel darah untuk pemeriksaan
penunjang.

2 Kerangka waktu: 5 sampai dengan 15 menit berikutnya


Pada segmen 5 menit hingga 15 menit berikut ini, dilakukan
resusitasi cairan hingga didapatkan perbaikan perfusi jaringan,
dengan pemantauan terhadap tanda-tanda overload cairan.
Secara simultan pula dilakukan koreksi kelainan metabolik seperti
hipoglikemi/hiperglikemi, serta koreksi kelainan elektrolit yang
mungkin ditemukan, dan pemberian antibiotik empiris spektrum
luas.
2.1

Resusitasi cairan pada sepsis berat dan syok

septik
2.1.1 Volume cairan resusitasi

Penelitian pendahuluan telah dilakukan pada hewan percobaan


dengan sepsis berat, didapatkan bahwa resusitasi cairan hingga
60 mL/kgbb ternyata berhasil memperbaiki curah jantung,
penghantaran oksigen serta stabilitas hemodinamik. 27 Dari
penelitian Han dkk (2003) pada pasien dengan sepsis berat dan
syok septik, didapatkan pula bahwa kelompok nonsurvivor menerima volume cairan resusitasi lebih sedikit (20
mL/kgbb) dan kecenderungan dilanjutkan dengan terapi
inotropik.19
Mengenai volume cairan resusitasi yang diberikan, Carcillo dkk
(1991) melaporkan penelitian mengenai resusitasi cairan pada
pasien pediatrik dengan syok septik yang diberikan dalam 1 jam
pertama, pemberian cairan resusitasi secara cepat dengan
volume di atas 40 mL/kgbb (rata-rata 69 + 19 mL/kgbb)
berhubungan dengan outcome (survival) yang lebih baik.
Pemberian cairan secara cepat juga tidak berhubungan dengan
kejadian Acute Respiratory Distress Syndrome(ARDS).27
Rekomendasi dari Surviving Sepsis Campaign 2008 yaitu
resusitasi cairan inisial diawali dengan pemberian cairan kristaloid
bolus 20 mL/kgbb selama 5-10 menit, dititrasi dengan
pemantauan klinis terhadap curah jantung, dalam hal ini meliputi
denyut jantung, produksi urin, waktu pengisian kapiler, dan
derajat kesadaran. Biasanya defisit cairan cukup besar sehingga
awal resusitasi memerlukan volume cairan 40-60

mL/kgbb,1 namun dapat mencapai hingga 200 mL/kgbb.


Pemantauan terhadap tanda-tanda overload cairan yaitu dengan
memperhatikan adanya onset baru hepatomegali, bertambahnya
usaha nafas pasien, ditemukannya rales pada pemeriksaan fisis
paru, atau bertambahnya berat badan lebih dari 10%. Untuk
mengatasinya dapat diberikan diuretik. Tindakan lain untuk
mengatasi overload cairan yaitu dengan dialisis peritoneal bila
didapatkan oliguria, atau continuous renal replacement therapy
(CRRT) bila diperlukan.1, 23
Untuk pemeriksaan secara bed-site, dari penelitian Pamba dan
Maitland (2004) didapatkan bahwa pemanjangan waktu pengisian
kapiler > 3 detik merupakan faktor prognostik perlunya resusitasi
cairan, sehingga cukup prediktif digunakan sebagai alat untuk
menilai adekuatnya terapi cairan yang diberikan pada pasien
dengan sepsis berat dan syok septik. 28

2.1.2Jenis cairan resusitasi


Pemilihan jenis cairan pada resusitasi sepsis berat dan syok septik
bersifat liberal. Secara umum, cairan isotonis cukup efektif, aman,
dan efektif dibandingkan dengan koloid, sehingga disarankan
sebagai cairan lini pertama pada resusitasi. 29 Penelitian di India
yang dilakukan oleh Upadhyay (2005) mendapatkan tidak adanya
perbedaan outcome pasien syok septik yang diresusitasi dengan

cairan kristaloid dibandingkan dengan koloid. 23 Namun hal yang


berlawanan didapatkan dari penelitian Schierhout dan Roberts,
bahwa resusitasi dengan cairan koloid dapat menyebabkan efek
samping berupa gangguan hemostasis. 30 Pada saat ini penelitian
klinis banyak dilakukan untuk mengetahui kegunaan penggunaan
cairan hipertonis dalam resusitasi sepsis berat dan syok septik. 1, 23

2.2

Koreksi hipoglikemia

Hipoglikemia dapat menyertai suatu sepsis dan menimbulkan


gangguan kesadaran. Keadaan ini dapat dikoreksi dengan
pemberian Dextrose-10% pada cairan rumatan dengan
kecepatan 8 mg/kg/menit pada neonatus, 5 mg/kgbb/menit pada
anak, dan 2 mg/kgbb/menit pada remaja. Bila disertai dengan
kegagalan fungsi hati, penderita mungkin membutuhkan
kecepatan infus glukosa yang lebih tinggi, dapat mencapai 16
mg/kgbb/menit. Hiperglikemia dapat pula menyertai keadaan
sepsis, yang didefinisikan sebagai kadar glukosa sewaktu > 140
mg/dL. Penatalaksanaan hiperglikemia dapat dengan
menggunakan cairan Dextrose-5% dan dapat dikombinasikan
dengan terapi insulin.16, 23 Direkomendasikan untuk
mempertahankan kadar glukosa > 80 dan <150 mg/dL.23 Insulin
reguler yang digunakan dalam bentuk bolus atau infus kontinu.
Dosis yang diberikan yaitu 0,025 U/kgbb/kali atau 0,025 0,1

U/kgbb/jam (2,5 U/kgbb dalam 50 mL Albumin 4% dengan


kecepatan 0,5 2 mL/jam); selanjutnya 1 U/10 gram dextrose. 31

2.3

Koreksi hipokalsemia

Kadar konsentrasi kalsium berbeda sesuai dengan usia, berkisar


8,5 10,5 mg/dL untuk kalsium total dan 4,0 5,0 g/dL ion kalsium
dalam darah. Hipokalsemia dapat menyebabkan gangguan
kontraktilitas dan irama jantung, selain juga menyebabkan
hipotensi serta kelainan neuromuskuler lainnya. Koreksi
hipokalsemia dapat diberikan peroral atau intravena. Pasien
dengan hipokalsemia simptomatik dapat diberikan bolus kalsium
glukonas 100-200 mg/kgbb dalam waktu 10-20 menit. Infus
kontinu kalsium glukonas sebagai alternatif diberikan dengan
dosis awal 10-30 mg/kgbb/jam, selanjutnya dititrasi sesuai
dengan hasil pengukuran serum kalsium selanjutnya. 32, 33
2.4

Pemberian terapi antibiotik

Terapi antibiotik merupakan terapi utama dalam sepsis (gambar


5), dengan penggunaan antibiotik empiris berspektrum luas di
awal terapi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian
antibiotik cepat dan sesuai berhasil menurunkan morbiditas dan
mortalitas pasien dengan sepsis. 12, 34, 35 Namun harus
dipertimbangkan juga bahwa penggunaan antibiotik spektrum

luas dapat menyebabkan peningkatan resistensi


mikroorganisme.12
Pemberian antibiotik tidak ditunda, dan faktor waktu memegang
peranan penting. Dari penelitian Houck dkk, pemberian
antibiotika dalam 4 jam pertama berhubungan dengan
menurunnya mortalitas hingga 6,8% sejak pasien datang ke
rumah sakit, dan menurunkan mortalitas hingga 11,6% dalam 30
hari perawatan, selain itu juga membantu mengurangi lama
perawatan di rumah sakit hingga 42%. Dalam SSC 2008,
direkomendasikan pemberian antibiotik dalam 1 jam pertama
setelah dilakukan pengambilan kultur.34 Durasi terapi antibiotik
yang dianjurkan yaitu 7-10 hari, dan kemudian disesuaikan
dengan hasil kultur. Namun pada pasien dengan neutropenia,
durasi terapi antibiotik dapat diperpanjang hingga 14 hari.
Keputusan untuk menghentikan pemberian antibiotik bergantung
pada penilaian klinis. Terapi kombinasi antimikroba dilaporkan
lebih baik dibandingkan dengan monoterapi, sebagaimana
dilaporkan dari penelitian Micek dkk.34 Terapi awal antibiotik
sangat kritis bagi pasien anak dengan sepsis, seperti halnya
pasien dewasa.1
3 Kerangka waktu: 15 menit sampai 60 menit berikutnya
Dalam waktu 15 menit pertama, ditentukan apakah suatu syok
septik responsif atau refrakter terhadap terapi cairan. Syok
dinyatakan refrakter terhadap cairan bila belum menunjukkan

perbaikan hemodinamika setelah mendapat terapi cairan hingga


40 mL/kgbb. Langkah selanjutnya pada pasien dengan syok septik
yang refrakter terhadap terapi cairan yaitu dengan secara
simultan melakukan pemasangan akses vena sentral, memulai
terapi inotropik dan vasopresor serta melakukan pemantauan
tekanan arterial.23
Namun berbeda dengan populasi dewasa, pemasangan akses
vena sentral pada anak menjadi suatu isu karena kesulitan dalam
pelaksanaannya. Pemasangan vena sentral pada pasien pediatrik
tidak familier, dalam prosedur pemasangannya yang cukup sulit
sehingga melampaui kerangka waktu (time-frame) yang
diharapkan pada EGDT khususnya di unit
emergensi.16 Penatalaksanaan dalam kerangka waktu 15 menit
hingga 60 menit berikutnya dijelaskan sebagai berikut:

3.1

Memulai pemberian inotropik dan vasopresor

Hipotensi yang menetap meskipun telah dilakukan resusitasi


cairan optimal merupakan ciri dari syok septik, yang terjadi akibat
gangguan kontraktilitas miokardium selain juga terdapat
gangguan pada resistensi vaskuler sistemik. Akibat gangguan di
atas, maka diperlukan pemberian vasopresor dan terapi inotropik
untuk memperbaiki tekanan darah serta mempertahankan
penghantaran oksigen ke jaringan.12 Dalam penatalaksanaan

sepsis, harus dilakukan usaha secepat mungkin untuk


mengembalikan hemodinamika. Oleh karena itu, vasopresor
diberikan segera setelah resusitasi cairan optimal diberikan. 35,
36

Pemberian vasoaktif direkomendasikan bila syok tidak teratasi

dengan resusitasi cairan sampai dengan 40 mL/kgbb. Jenis obat


yang digunakan yaitu katekolamin dan derivat sintetisnya,
meliputi dopamin, dobutamin, epinefrin, norepinefrin. 5, 35, 37
Dopamin disarankan sebagai pilihan terapi pertama untuk pasien
pediatrik dengan hipotensi yang refrakter terhadap resusitasi
cairan, atau pada keadaan cold shock.1 Dopamin dan norepinefrin
diketahui berfungsi meningkatkan tekanan darah dan curah
jantung. Dopamin lebih poten dibandingkan norepinefrin, dan
lebih sering menyebabkan takikardia.12 Pada dosis rendah,
dopamin menyebabkan vasodilatasi sirkulasi renal dan
mesenterika. Pada dosis 2-10 mikrogram/kgbb/menit, dopamin
memiliki efek inotropik positif dan kronotropik positif, sedangkan
pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan vasokonstriksi perifer.
Penelitian Levy dkk menemukan bahwa populasi pasien syok
septik yang resisten dengan terapi dopamin meningkatkan risiko
mortalitas.36 Bila syok refrakter terhadap terapi dopamin, maka
diberikan epinefrin.1 Epinefrin diberikan dengan dosis 0.05- 0.3
mcg/kgbb/menit.23
Pada keadaan warm shock, diberikan titrasi norepinefrin.
Norepinefrin pada dosis 1-20 mikrogram/menit baik untuk

meningkatkan MAP, resistensi vaskuler sistemik, penghantaran


oksigen jaringan.5, 37 Dobutamin dapat digunakan sebagai agen
inotropik pada pasien dengan curah jantung yang rendah,
diberikan dengan dosis 2,520 mikrogram/kgbb/menit. 5, 37
3.2

Mempertahankan jalan nafas

Dilakukan penilaian terhadap usaha nafas pasien dan komplians


paru. Keputusan untuk melakukan intubasi bergantung pada
penilaian klinis usaha nafas pasien, adanya hipoventilasi, atau
akibat penurunan kesadaran.23 Intubasi dipertimbangkan pada
pasien dengan syok refrakter disertai dengan tanda gagal nafas,
penurunan kesadaran, serta untuk pemantauan hemodinamik
invasif. Selain itu, ventilasi mekanik juga dapat membantu
mekanika sirkulasi. Diketahui bahwa sekitar 40% curah jantung
diperlukan untuk mendukung fungsi pernafasan, sehingga
ventilasi mekanik berguna untuk menurunkan beban kerja paruparu. Meningkatnya tekanan intratorakal juga berperan
menurunkan afterload ventrikel kiri, sehingga dapat membantu
pasien dengan curah jantung rendah dan resistensi vaskuler
perifer yang tinggi.23
Disarankan penggunaan ketamin dan atropin sebagai agen
sedasi-intubasi pada pasien dengan syok septik. Ketamin bekerja
dengan cara menghambat transkripsi factor-kappa B dan
mengurangi produksi Interleukin-6 di sistemik, namun
mempertahankan fungsi adrenal, sehingga mempertahankan

stabilitas fungsi kardiovaskuler.23 Ketamin untuk fungsi sedasi


diberikan dengan dosis 1-2 mg/kgbb i.v.31 Ketamin juga dapat
berfungsi sebagai infus analgesia dan atau sedasi untuk
mempertahankan stabilitas fungsi kardiovaskuler pada saat
dilakukan pemasangan ventilasi mekanik. 23
Pada pasien anak dengan gagal nafas dan memerlukan
ventilator, prinsip lung-protective therapyperlu diterapkan
sebagaimana pada pasien dewasa. Pasien dengan Acute Lung
Injury/Acute Respiratory Distress Syndrome ditargetkan
mendapat volume tidal 6 mL/kgbb dan plateau pressure < 30 cm
H2O, strategi permissive hypercapnia untuk
meminimalkan plateau pressuredan volume tidal. Positive End
Expiratory Pressure (PEEP) juga diterapkan untuk mencegah
kolaps alveolar di akhir ekspirasi. Posisi prone pada suatu
penelitian multisenter didapatkan berguna untuk memperbaiki
hipoksemia.1
4 Kerangka waktu: 6 jam berikutnya di Unit Perawatan
Intensif
Bila ditemukan keadaan syok yang resisten dengan terapi
katekolamin, maka penatalaksanaan selanjutnya yaitu dengan
pemberian hidrokortison. Hidrokortison diberikan pula pada anak
yang diduga atau terbukti disertai dengan insufisiensi adrenal.
Pasien berisiko mengalami insufisiensi adrenal yaitu anak dengan
syok septik, sebelumnya menerima terapi steroid untuk penyakit

kronis, dan anak dengan abnormalitas adrenal atau hipofisis. Bila


jelas faktor risikonya, maka disarankan pemberian hidrokortison
secara intermiten atau infus kontinu dengan dosis mulai 1-2
mg/kgbb/hari, dititrasi hingga 50 mg/kgbb/hari. 1
Keadaan insufisiensi adrenal ini dinyatakan bila kadar kortisol
basal < 18 g/dL kadar puncakACTH-stimulated cortisol < 18
g/dL. Pemberian hidrokortison jangka panjang (6 mg/kgbb/hari
selama 7 hari) telah dilaporkan pada pasien dewasa, namun pada
anak masih menjadi kontroversi. Penelitian berupa pemberian
hidrokortison intermiten dengan dosis 3 mg/kgbb/hari selama 7
hari pada bayi dengan syok septik resisten katekolamin
didapatkan bahwa kebutuhan pemberian terapi dopamin dapat
dikurangi, namun tidak memperbaiki angka mortalitas. Penelitian
multisenter di Eropa oleh CORTICUS (Corticosteroid Therapy of
Septic Shock) pada 499 pasien dengan syok septik,
membandingkan kelompok yang diberikan terapi hidrokortison
dosis rendah dan kelompok dengan plasebo selama 5 hari. Dari
penelitian ini didapatkan tidak ada perbedaan mortalitas di antara
kedua kelompok.4, 38
Penggunaan steroid juga berpotensi terhadap kejadian kandidiasis
diseminata.23 Kortikosteroid dapat bermanfaat pada stadium awal
dari sepsis. Sebagai alternatif bila tidak tersedia hidrokortison
maka dapat diberikan metilprednisolon 30 mg/kgbb/dosis
intravena atau deksametason 3 mg/kgbb/dosis intravena.

Pemberiannya dapat diulang 4 jam kemudian, namun bila tidak


memberikan respon maka pemberiannya dihentikan. 39 Namun
demikian, masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai
efikasi terapi kortikosteroid pada sepsis di populasi pediatrik. 1, 40
Anak dengan syok resisten katekolamin dapat memberikan
tampilan klinis curah jantung rendah/resistensi vaskuler sistemik
tinggi, curah jantung tinggi/resistensi vaskuler sistemik rendah,
atau curah jantung rendah dengan resistensi vaskuler sistemik
rendah. Oleh karena itu, pemantauan hemodinamik dapat
dilakukan dengan pemasangan kateter vena sentral, serta
monitoring kontinu tekanan arterial. Dilakukan pemantauan CVP
dengan target mencapai MAP-CVP dan ScvO2 > 70%. Untuk
mempertahankan saturasi tersebut juga dilakukan dengan
mempertahankan kadar Hb > 10 g/dL. Saturasi vena sentral
(ScvO2) akan memberikan informasi keseimbangan antara
kebutuhan dan pemenuhan oksigenasi di jaringan, 5, 11 yang
dilaporkan berhasil mengurangi mortalitas hingga 40%
dibandingkan pada pasien yang tidak dilakukan pemantauan
ScvO2. Flow ScvO2 juga bergunauntuk memperkirakan aliran darah
dari otak. Nilai > 40 mL/kgbb/menit berhubungan
dengan outcome neurologis yang lebih baik dan juga survival
pasien.23
Dengan pemasangan vena sentral, dapat dilakukan pemantauan
terhadap keberhasilan penatalaksanaan syok, khususnya pada

keadaan syok yang refrakter, yaitu karena titrasi cairan, inotropik,


dan vasopresor ataupun vasodilator dilakukan dengan
memerhatikan parameter-parameter di atas. 23
4.1Cold shock dengan tekanan darah normal
Pada keadaan cold shock, dilakukan titrasi cairan dan pemberian
epinefrin, untuk mencapai ScvO2> 70%, dengan mempertahankan
kadar hemoglobin > 10 g/dL. Bila kadar ScvO2 masih di bawah
70%, kemungkinan didapatkan syok dengan Cardiac Index yang
rendah, tekanan darah normal, dengan resistensi vaskuler
sistemik yang tinggi. Hal ini serupa dengan anak yang mengalami
syok kardiogenik, yang dalam penatalaksanaannya bertujuan
untuk mengurangi afterload untuk memperbaiki aliran darah
dengan berkurangnya afterload ventrikel, sehingga akan dapat
meningkatkan pengosongan ventrikel. Oleh karena
itu, nitroprusside atau nitrogliserin menjadi vasodilator lini
pertama pada syok resisten epinefrin dengan tekanan darah
normal. Vasodilator diberikan dengan sebelumnya
dilakukan loading cairan terlebih dahulu.23 Nitrogliserin pada dosis
10-60 g/menit dapat membantu
menurunkan afterload.5 Vasodilator yang termasuk di dalamnya
yaitu Milrinone, yang pemberiannya dipertimbangkan bila masih
didapatkan curah jantung yang rendah.23 Milrinone (Primacor)
diberikan dengan dosis 50 mcg/kg i.v. bolus selama 15 menit,

dilanjutkan dengan infus kontinu 0,5 0,75 mcg/kgbb/menit dan


dititrasi hingga tercapai efek yang diinginkan. 41
4.2 Cold shock dengan tekanan darah rendah
Pada keadaan ini didapatkan syok dengan Cardiac Index yang
rendah, tekanan darah yang rendah, serta resistensi vaskuler
perifer yangrendah pula. Untuk penatalaksanaan selanjutnya
yaitu dilakukan titrasi cairan dan epinefrin untuk meningkatkan
tekanan darah diastolik dan meningkatkan resistensi vaskuler
perifer. Bila tekanan darah yang adekuat sudah tercapai, maka
untuk memperbaiki Cardiac Index dan mencapai ScvO2 > 70%
dapat diberikan dobutamin, selain itu kadar Hb juga
dipertahankan > 10 g/dL. Bila pasien masih hipotensi,
pertimbangkan pemberian norepinefrin. Bila ScvO2 masih di
bawah 70%, pertimbangkan pemberian dobutamin, milrinone,
enoximone, atau levosimendan.23 Levosimendan bekerja dengan
cara meningkatkan sensitivitas kalsium dari aparatus kontraktil
miokardium, juga berfungsi seperti halnya type III PDE inhibitoractivity lain. Enoximone juga merupakan type III PDE
inhibitor yang lebih selektif dan menjaga cadangan c-AMP yang
diproduksi -1 aktivator reseptor sel miokardium, sehingga dapat
memperbaiki performa jantung dengan lebih sedikit efek
hipotensi.42
4.3Warm shock dengan tekanan darah rendah

Pada keadaan ini didapatkan syok dengan Cardiax Index tinggi,


dan resistensi perifer yang rendah. Maka penatalaksanaan
selanjutnya yaitu dengan pemberian titrasi cairan dan
norepinefrin, untuk mempertahankan ScvO2 > 70%. Bila masih
didapatkan hipotensi, pertimbangkan vasopresin, terlipresin, atau
angiotensin untuk memperbaiki tekanan darah; namun perlu
diperhatikan pula bahwa obat-obat vasokonstriktor di atas dapat
menyebabkan berkurangnya curah jantung, sehingga dalam
penggunaan obat tersebut direkomendasikan dengan
pemantauan curah jantung dan ScvO2. Bila ScvO2 masih di bawah
70% pertimbangkan untuk pemberian epinefrin dosis
rendah.23 Vasopresin (Vasopressin, Pitressin) diberikan dalam
infus kontinu mulai dari 0.5 mili-unit/kgbb/jam, dosis dinaikkan
tiap 30 menit sesuai kebutuhan hingga maksimal 10 miliunit/kgbb/jam (0.01 U/kgbb/jam).41
4.4

Syok resisten katekolamin yang persisten

Bila pasien masih belum responsif dengan terapi yang diberikan


di atas, maka dikatakan sebagai syok resisten katekolamin yang
persisten. Untuk itu perlu disingkirkan dan diperbaiki berbagai
keadaan yang berkontribusi terhadap syok refrakter terapi cairan
dan katekolamin, di antaranya yaitu adanya efusi perikardial,
pneumotoraks, peningkatan tekanan intraabdomen lebih dari 12
mmHg. Pertimbangkan pula kemungkinan adanya perdarahan,
keadaan imunosupresi, ketidaksesuaian kontrol pengendalian

infeksi (misalnya jenis dan dosis antibiotik yang diberikan belum


memadai). Pada saat ini, dipertimbangkan untuk memandu titrasi
cairan, inotropik, vasopresor, vasodilator dan terapi hormonal
dengan pemasangan akses arteri pulmonalis, PICCO (pulse
contour cardiac output), atau Femoral Arterial Thermodilution
(FATD) Cathether, dan atau ultrasonografi doppler untuk
memantau curah jantung. Kateter arteri pulmonalis dapat
mengukur tekanan penutupan arteri pulmonaris sehingga dapat
mengidentifikasi disfungsi ventrikel kiri, serta dapat digunakan
untuk menentukan kontribusi relatif fungsi ventrikel kanan dan
kiri. PICCO berguna untuk memperkirakan volume akhir diastolik
keseluruhan ruang jantung serta mengukur cairan paru
ekstravaskuler, sehingga dapat membantu penilaian
apakah preload sudah adekuat atau belum. Monitoring non-invasif
seperti penggunaan pulse oxymetri, saturasi oksigen vena perkutan, dan lainnya masih dalam tahap evaluasi. Tujuan terapi
pada saat ini yaitu mencapai dan mempertahankan Cardiac
Index 3.3 6 L/menit/m2.23
Extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) merupakan
salah satu alternatif terapi yang perlu dipertimbangkan, telah
dilakukan secara terbatas pada syok yang refrakter dan atau
keadaan gagal nafas yang tidak bisa ditangani dengan terapi
konvensional. ECMO telah dilakukan pada pasien dengan syok
septik, namun pengaruhnya sendiri masih belum jelas. Penelitian
yang menganalisis 12 pasien sepsis dengan ECMO, 8 orang di

antaranya bertahan hidup dan padafollow up rentang 4 bulan


hingga 4 tahun, didapatkan bahwa rata-rata setelah 1 tahun
mereka dapat menjalani kehidupan dengan normal. 1
4.5

Monitoring hemodinamik dan pencapaian target-

target terapeutik
Tujuan akhir resusitasi syok septik yaitu tercapainya normalisasi
denyut jantung, waktu pengisian kapiler < 2 detik, ekstremitas
yang hangat, produksi urin yang cukup
(> 1mL/kgbb/jam), skala kesadaran yang normal, serta
kadar glukosa dan kalsium yang normal. Tujuan akhir lainnya
yang juga digunakan pada populasi dewasa yaitu berkurangnya
kadar laktat serum serta defisit basa, ScvO 2 > 70% atau SvO2

> 65%, CVP 8-12 mmHg atau dengan metode lainnya untuk

menilai fungsi pengisian jantung, yaitu mencapai dan


mempertahankan Cardiac Index 3,3 6 L/menit/m2.23 Target
pencapaian ScvO2 > 70%, didukung pula dengan transfusi PRC
bila hematokrit kurang dari 30%, maupun dengan pemberian
inotropik. Untuk pemberian transfusi, sebuah penelitian
multisenter terandomisasi mendapatkan bahwa batas ambang
transfusi Hb 7 g/dL dibandingkan dengan ambang batas Hb 9,5
g/dL, ternyata memberikan outcome yang sama. Namun, dalam
rangka memperbaiki penghantaran oksigen ke jaringan, Hb
dipertahankan di atas 10 g/dL.

1, 23

Target-target di atas diharapkan tercapai dalam 6 jam sejak


pasien masuk unit gawat darurat maupun pada tempat
perawatan intensif, ternyata berhasil menurunkan morbiditas dan
mortalitas akibat sepsis, sepsis berat, dan syok septik. 5, 8, 35
Implementasi EGDT di Rumah Sakit
EGDT merepresentasikan penatalaksanaan kegawatdaruratan
yang terbukti memperbaiki prognosis pasien dengan sepsis berat
dan syok septik. Namun pelaksanaannya kadang masih belum
sesuai dengan protokol yang ada, dengan latar belakang
bervariasi.43 Pada saat ini, berbagai kendala yang ditemukan
dalam implementasi EGDT yaitu kurangnya pemahaman tentang
patofisiologi sepsis, teori yang mendasari EGDT, serta kurangnya
keterampilan maupun penguasaan prosedur medis dan teknis
yang dilakukan dalam penanganan pasien dengan sepsis berat
dan syok septik.15 Selain itu, model rumah sakit, sarana serta
prasarana yang ada juga berperan terhadap keberhasilan
implementasi EGDT. Agar implementasinya konsisten dan
terorganisir, diperlukan suatu model protokol yang disesuaikan
dengan sumber daya manusia, sarana dan prasarana penunjang
di rumah sakit tersebut. Implementasinya di rumah sakit
dikatakan dapat mereduksi biaya-biaya hingga 23,4%. Efektivitas
biaya ini dapat tercapai bila EGDT dilakukan mulai di unit gawat
darurat atau ruang perawatan intensif dengan respon tim yang
cepat.43

Untuk implementasi EGDT secara optimal, maka diperlukan


dukungan mutlak institusi dalam hal penyediaan sarana dan
prasarana. Klinisi juga diharapkan meningkatkan keterampilan
dalam prosedur tindakan yang diperlukan dalam implementasi
EGDT.

Penatalaksanaan Syok Kardiogenik

Syok Kardiogenik
( Penatalaksanaan Syok Kardiogenik )
Syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan fungsi pompa jantung yang
mengakibatkan curah jantung menjadi berkurang atau berhenti sama
sekali untuk memenuhi kebutuhan metabolisme. Syok kardiogenik
ditandai oleh gangguan fungsi ventrikel, yang mengakibatkan gangguan
berat pada perfusi jaringan dan penghantaran oksigen ke jaringan.
Kardio
Ventrikel kiri gagal bekerja sebagai pompa dan tidak mampu
menyediakan curah jantung yang memadai untuk mempertahankan
perfusi jaringan. Syok kardiogenik dapat didiagnosa dengan mengetahui
adanya tanda-tanda syok dan dijumpai adanya penyakit jantung, seperti
infark miokard yang luas, gangguan irama jantung, rasa nyeri daerah
torak, atau adanya emboli paru, tamponade jantung, kelainan katub atau
sekat jantung.
Masalah yang ada adalah kurangnya kemampuan jantung untuk
berkontraksi. Tujuan utama pengobatan adalah meningkatkan curah
jantung.
Etiologi Syok Kardiogenik
1. Gangguan kontraktilitas miokardium.
2. Disfungsi ventrikel kiri yang berat yang memicu terjadinya kongesti
paru dan/atau hipoperfusi iskemik.
3. Infark miokard akut ( AMI),
4. Komplikasi dari infark miokard akut, seperti: ruptur otot papillary,
ruptur septum, atau infark ventrikel kanan, dapat mempresipitasi
(menimbulkan/mempercepat) syok kardiogenik pada pasien dengan

infark-infark yang lebih kecil.


5. Valvular stenosis.
6. Myocarditis ( inflamasi miokardium, peradangan otot jantung).
7. Cardiomyopathy ( myocardiopathy, gangguan otot jantung yang tidak
diketahui penyebabnya ).
8. Acute mitral regurgitation.
9. Valvular heart disease.
10. Hypertrophic obstructive cardiomyopathy.
Patofisiologi Syok Kardiogenik
Tanda dan gejala syok kardiogenik mencerminkan sifat sirkulasi
patofisiologi gagal jantung. Kerusakan jantung mengakibatkan penurunan
curah jantung, yang pada gilirannya menurunkan tekanan darah arteri ke
organ-organ vital. Aliran darah ke arteri koroner berkurang, sehingga
asupan oksigen ke jantung menurun, yang pada gilirannya meningkatkan
iskemia dan penurunan lebih lanjut kemampuan jantung untuk
memompa, akhirnya terjadilah lingkaran setan.
Tanda klasik syok kardiogenik adalah tekanan darah rendah, nadi cepat
dan lemah, hipoksia otak yang termanifestasi dengan adanya konfusi dan
agitasi, penurunan haluaran urin, serta kulit yang dingin dan lembab.
Disritmia sering terjadi akibat penurunan oksigen ke jantung.seperti pada
gagal jantung, penggunaan kateter arteri pulmonal untuk mengukur
tekanan ventrikel kiri dan curah jantung sangat penting untuk mengkaji
beratnya masalah dan mengevaluasi penatalaksanaan yang telah
dilakukan. Peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri yang
berkelanjutan (LVEDP = Left Ventrikel End Diastolik Pressure)
menunjukkan bahwa jantung gagal untuk berfungsi sebagai pompa yang
efektif.
Menurut Mubin (2008), diagnosis syok kardiogenik adalah berdasarkan:
A. Keluhan Utama Syok Kardiogenik
1. Oliguri (urin < 20 mL/jam).
2. Mungkin ada hubungan dengan IMA (infark miokard akut).
3. Nyeri substernal seperti IMA.

B. Tanda Penting Syok Kardiogenik


1. Tensi turun < 80-90 mmHg.
2. Takipneu dan dalam.
3. Takikardi.
4. Nadi cepat, kecuali ada blok A-V.
5. Tanda-tanda bendungan paru: ronki basah di kedua basal paru.
6. Bunyi jantung sangat lemah, bunyi jantung III sering terdengar.
7. Sianosis.
8. Diaforesis (mandi keringat).
9. Ekstremitas dingin.
10. Perubahan mental.
Komplikasi Syok Kardiogenik
1. Cardiopulmonary arrest
2. Disritmi
3. Gagal multisistem organ
4. Stroke
5. Tromboemboli
Penatalaksanaan Medis Syok Kardiogenik :
1.
Patikan jalan nafas tetap adekuat, bila tidak sadar sebaiknya
dilakukan intubasi.
2.
Berikan oksigen 8 15 liter/menit dengan menggunakan masker
untuk mempertahankan PO2 70 120 mmHg
3.
Rasa nyeri akibat infark akut yang dapat memperbesar syok yang
ada harus diatasi dengan pemberian morfin.
4.
Koreksi hipoksia, gangguan elektrolit, dan keseimbangan asam basa
yang terjadi.
5.
Bila mungkin pasang CVP.
6.
Pemasangan kateter Swans Ganz untuk meneliti hemodinamik.
Medikamentosa :
1. Morfin sulfat 4-8 mg IV, bila nyeri.
2. Anti ansietas, bila cemas.
3. Digitalis, bila takiaritmi dan atrium fibrilasi.

4. Sulfas atropin, bila frekuensi jantung < 50x/menit.


5. Dopamin dan dobutamin (inotropik dan kronotropik), bila perfusi
jantung tidak adekuat.
Dosis dopamin 2-15 mikrogram/kg/m.
6. Dobutamin 2,5-10 mikrogram/kg/m: bila ada dapat juga diberikan
amrinon IV.
7. Norepinefrin 2-20 mikrogram/kg/m.
8. Diuretik/furosemid 40-80 mg untuk kongesti paru dan oksigenasi
jaringan.
9. Digitalis bila ada fibrilasi atrial atau takikardi supraventrikel.
Obat alternatif:
Menurut Dean AJ, Beaver KM (2007):
1. Emergent therapy
Terapi ini bertujuan untuk menstabilkan hemodinamik pasien dengan
oksigen, pengaturan jalan nafas (airway control), dan akses intravena.
Diperlukan usaha untuk memaksimalkan fungsi ventrikel kiri.
2. Volume expansion
Jika tidak ada tanda volume overload atau edema paru, volume expansion
dengan 100mL bolus dari normal saline setiap 3 menit sebaiknya dicoba;
hingga, baik perfusi yang cukup maupun terjadi kongesti paru. Pasien
dengan infark ventrikel kanan memerlukan peningkatan tekanan untuk
mempertahankan atau menjaga kardiak output.
3. Inotropic support
a. Pasien dengan hipotensi ringan (tekanan darah sistolik 80-90 mmHg)
dan kongesti pulmoner, untuk hasil terbaik dirawat dengan dobutamine
(2,5 mikrogram/kg berat badan/menit, pada interval 10 menit).
Dobutamine menyediakan dukungan inotropik saat permintaan oksigen
miokardium meningkat secara minimal.
b. Pasien dengan hipotensi berat (tekanan darah sistolik kurang dari 75-80
mmHg) sebaiknya dirawat dengan dopamine.
Pada dosis lebih besar dari 5,0 mikrogram/kg berat badan/menit,
stimulasi alfa-adrenergik secara bertahap meningkat, menyebabkan

vasokonstriksi perifer.
Pada dosis lebih besar dari 20 mikrogram/kg berat badan/menit,
dopamine meningkatkan ventricular irritability tanpa keuntungan
tambahan.
c. Kombinasi dopamine dan dobutamine merupakan strategi terapeutik
yang efektif untuk syok kardiogenik, meminimalkan berbagai efek
samping dopamine dosis tinggi yang tidak diinginkan dan menyediakan
bantuan/dukungan inotropik.
d. Jika dukungan tambahan untuk tekanan darah diperlukan, maka dapat
dicoba norepinephrine, yang berefek alfa-adrenergik yang lebih kuat.
Dosis awal : 0,5-1 mikrogram/menit.
4. Terapi reperfusi
Reperfusi miokardium iskemik merupakan terapi yang efektif untuk pasien
dengan infark miokard akut dan syok kardiogenik.
Kesimpulan
Berhasil tidaknya penanggulangan syok tergantung dari kemampuan
mengenal gejala-gejala syok, mengetahui, dan mengantisipasi penyebab
syok serta efektivitas dan efisiensi kerja kita pada saat-saat/menit-menit
pertama penderita mengalami syok.

Anda mungkin juga menyukai