Anda di halaman 1dari 5

Ada 4 cara yang dapat kita lakukan untuk mengetes fungsi pendengaran

penderita, yaitu :
a. Tes bisik
b. Tes bisik modifikasi
c. Tes garputala
d. Pemeriksaan audiometri
Tes Fungsi Pendengaran
Pemeriksaan audiometri

Ketajaman pendengaran sering diukur dengan suatu audiometri. Alat ini


menghasilkan nada-nada murni dengan frekuensi melalui aerphon. Pada sestiap
frekuensi ditentukan intensitas ambang dan diplotkan pada sebuah grafik
sebagai prsentasi dari pendengaran normal. Hal ini menghasilkan pengukuran
obyektif derajat ketulian dan gambaran mengenai rentang nada yang paling
terpengaruh.
a. Definisi
Audiometri berasal dari kata audir dan metrios yang berarti mendengar dan
mengukur (uji pendengaran). Audiometri tidak saja dipergunakan untuk
mengukur ketajaman pendengaran, tetapi juga dapat dipergunakan untuk
menentukan lokalisasi kerusakan anatomis yang menimbulkan gangguan
pendengaran.
Audiometri adalah subuah alat yang digunakan untuk mengtahui level
pendengaran seseorang. Dengan bantuan sebuah alat yang disebut dengan
audiometri, maka derajat ketajaman pendengaran seseorang da[at dinilai. Tes
audiometri diperlukan bagi seseorang yang merasa memiliki gangguan
pendengeran atau seseorang yag akan bekerja pada suatu bidang yang
memerlukan ketajaman pendngaran.
Pemeriksaan audiometri memerlukan audiometri ruang kedap suara,
audiologis dan pasien yang kooperatif. Pemeriksaan standar yang dilakukan
adalah :
1) Audiometri nada murni
Suatu sisitem uji pendengaran dengan menggunakan alat listrik yang dapat
menghasilkan bunyi nada-nada murni dari berbagai frekuensi 250-500, 10002000, 4000-8000 dan dapat diatur intensitasnya dalam satuan (dB). Bunyi yang
dihasilkan disalurkan melalui telepon kepala dan vibrator tulang ketelinga orang
yang diperiksa pendengarannya. Masing-masing untuk menukur ketajaman
pendengaran melalui hntaran udara dan hantran tulang pada tingkat intensitas
nilai ambang, sehingga akan didapatkankurva hantaran tulang dan hantaran
udara. Dengan membaca audiogram ini kita dapat mengtahui jenis dan derajat
kurang pendengaran seseorang. Gambaran audiogram rata-rata sejumlah orang
yang berpendengaran normal dan berusia sekitar 20-29 tahun merupakan nilai
ambang baku pendengaran untuk nada muri.
Telinga manusia normal mampu mendengar suara dengan kisaran
frekwuensi 20-20.000 Hz. Frekwensi dari 500-2000 Hz yang paling penting untuk
memahami percakapan sehari-hari.
Tabel berikut memperlihatkan klasifikasi kehilangan pendengaran
Kehilangan
dalam Desibel

Klasifikasi

0-15

Pendengaran normal

>15-25

Kehilangan pendengaran kecil

>25-40

Kehilangan pendengaran ringan

>40-55

Kehilangan pendengaran sedang

>55-70

Kehilangan pendenngaran sedang sampai


berat

>70-90

Kehilangan pendengaran berat

>90

Kehilangan pendengaran berat sekali

Pemeriksaan ini menghasilkan grafik nilai ambang pendengaran psien pada


stimulus nada murni. Nilai ambang diukur dengan frekuensi yang berbeda-beda.
Secara kasar bahwa pendengaran yang normal grafik berada diatas. Grafiknya
terdiri dari skala decibel, suara dipresentasikan dengan aerphon (air kondution)
dan skala skull vibrator (bone conduction). Bila terjadi air bone gap maka
mengindikasikan adanya CHL. Turunnya nilai ambang pendengaran oleh bone
conduction menggambarkan SNHL.
2) Audiometri tutur
Audiometri tutur adalah system uji pendengaran yang menggunakan katakata terpilih yang telah dibakukan, dituturkan melalui suatu alat yang telah
dikaliberasi, untuk mrngukur beberapa aspek kemampuan pendengaran. Prinsip
audiometri tutur hampir sama dengan audiometri nada murni, hanya disni
sebagai alat uji pendengaran digunakan daftar kata terpuilih yang dituturkan
pada penderita. Kata-kata tersebut dapat dituturkan langsung oleh pemeriksa
melalui mikropon yang dihubungkan dengan audiometri tutur, kemudian
disalurkan melalui telepon kepala ke telinga yang diperiksa pendengarannya,
atau kata-kata rekam lebih dahulu pada piringan hitam atau pita rekaman,
kemudian baru diputar kembali dan disalurkan melalui audiometer tutur.
Penderita diminta untuk menirukan dengan jelas setip kata yang didengar, dan
apabila kata-kata yang didengar makin tidak jelas karena intensitasnya makin
dilemahkan, pendengar diminta untuk mnebaknya. Pemeriksa mencatata
presentase kata-kata yang ditirukan dengan benar dari tiap denah pada tiap
intensitas. Hasil ini dapat digambarkan pada suatu diagram yang absisnya
adalah intensitas suara kata-kata yang didengar, sedangkan ordinatnya adalah
presentasi kata-kata yanag diturunkan dengan benar. Dari audiogram tutur
dapat diketahui dua dimensi kemampuan pendengaran yaitu :
a) Kemampuan pendengaran dalam menangkap 50% dari sejumlah kata-kata yang
dituturkan pada suatu intensitas minimal dengan benar, yang lazimnya disebut
persepsi tutur atau NPT, dan dinyatakan dengan satuan de-sibel (dB).
b) Kemamuan maksimal perndengaran untuk mendiskriminasikan tiap satuan bunyi
(fonem) dalam kata-kata yang dituturkan yang dinyatakan dengan nilai
diskriminasi tutur atau NDT. Satuan pengukuran NDT itu adalah persentasi
maksimal kata-kata yang ditirukan dengan benar, sedangkan intensitas suara
barapa saja. Dengan demikian, berbeda dengan audiometri nada murni pada
audiometri tutur intensitas pengukuran pendengaran tidak saja pada tingkat nilai
ambang (NPT), tetapi juga jauh diatasnya.
Audiometri tutur pada prinsipnya pasien disuruh mendengar kata-kata
yang jelas artinya pada intensitas mana mulai terjadi gangguan sampai 50%
tidak dapat menirukan kata-kata dengan tepat.
Kriteria orang tuli :
Ringan masih bisa mendengar pada intensitas 20-40 dB
Sedang masih bisa mendengar pada intensitas 40-60 dB
Berat sudah tidak dapat mendengar pada intensitas 60-80 dB
Berat sekali tidak dapat mendengar pada intensitas >80 dB

Pada dasarnya tuli mengakibatkan gangguan komunikasi, apabila


seseorang masih memiliki sisa pendengaran diharapkan dengan bantuan alat
bantu dengar (ABD/hearing AID) suara yang ada diamplifikasi, dikeraskan oleh
ABD sehingga bisa terdengar. Prinsipnya semua tes pendengaran agar akurat
hasilnya, tetap harus pada ruang kedap suara minimal sunyi. Karena kita
memberikan tes paa frekuensi tertetu dengan intensitas lemah, kalau ada
gangguan suara pasti akan mengganggu penilaian. Pada audiometri tutur,
memng kata-kata tertentu dengan vocal dan konsonan tertentu yang dipaparkan
kependrita. Intensitas pad pemerriksaan audiomatri bisa dimulai dari 20 dB bila
tidak mendengar 40 dB dan seterusnya, bila mendengar intensitas bisa
diturunkan 0 dB, berarti pendengaran baik. Tes sebelum dilakukan audiometri
tentu saja perlu pemeriksaan telinga : apakah congok atau tidak (ada cairan
dalam telinga), apakah ada kotoran telinga (serumen), apakah ada lubang
gendang telinga, untuk menentukan penyabab kurang pendengaran.
b. Manfaat audiometri
1) Untuk kedokteran klinik, khususnya penyakit telinga
2) Untuk kedokteran klinik Kehakiman,tuntutan ganti rugi
3) Untuk kedokteran klinik Pencegahan, deteksi ktulian pada anak-anak
c. Tujuan
Ada empat tujuan (Davis, 1978) :
1) Mediagnostik penyakit telinga
2) Mengukur kemampuan pendengaran dalam menagkap percakpan sehari-hari,
atau dengan kata lain validitas sosial pendengaran : untuk tugas dan pekerjaan,
apakah butuh alat pembantu mendengar atau pndidikan khusus, ganti rugi
(misalnya dalam bidang kedokteran kehkiman dan asuransi).
3) Skrinig anak balita dan SD
4) Memonitor untuk pekerja-pekerja dinetpat bising.
1. Test Rinne
Tujuan melakukan tes Rinne adalah untuk membandingkan atara hantaran
tulang dengan hantaran udara pada satu telinga pasien.
Ada 2 macam tes rinne , yaitu :
a. Garputal 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya tegak
lurus pada planum mastoid pasien (belakang meatus akustikus eksternus).
Setelah pasien tidak mendengar bunyinya, segera garpu tala kita pindahkan
didepan meatus akustikus eksternus pasien. Tes Rinne positif jika pasien masih
dapat mendengarnya. Sebaliknya tes rinne negatif jika pasien tidak dapat
mendengarnya
b. Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya
secara tegak lurus pada planum mastoid pasien. Segera pindahkan garputala
didepan meatus akustikus eksternus. Kita menanyakan kepada pasien apakah
bunyi garputala didepan meatus akustikus eksternus lebih keras dari pada
dibelakang meatus skustikus eksternus (planum mastoid). Tes rinne positif jika
pasien mendengar didepan maetus akustikus eksternus lebih keras. Sebaliknya
tes rinne negatif jika pasien mendengar didepan meatus akustikus eksternus
lebih lemah atau lebih keras dibelakang.
Ada 3 interpretasi dari hasil tes rinne :
1) Normal : tes rinne positif
2) Tuli konduksi: tes rine negatif (getaran dapat didengar melalui tulang lebih lama)
3) Tuli persepsi, terdapat 3 kemungkinan :
a) Bila pada posisi II penderita masih mendengar bunyi getaran garpu tala.
b) Jika posisi II penderita ragu-ragu mendengar atau tidak (tes rinne: +/-)
c) Pseudo negatif: terjadi pada penderita telinga kanan tuli persepsi pada posisi I
yang mendengar justru telinga kiri yang normal sehingga mula-mula timbul.

Kesalahan pemeriksaan pada tes rinne dapat terjadi baik berasal dari
pemeriksa maupun pasien. Kesalah dari pemeriksa misalnya meletakkan
garputala tidak tegak lurus, tangkai garputala mengenai rambut pasien dan kaki
garputala mengenai aurikulum pasien. Juga bisa karena jaringan lemak planum
mastoid pasien tebal.
Kesalahan dari pasien misalnya pasien lambat memberikan isyarat bahwa ia
sudah tidak mendengar bunyi garputala saat kita menempatkan garputala di
planum mastoid pasien. Akibatnya getaran kedua kaki garputala sudah berhenti
saat kita memindahkan garputala kedepan meatus akustukus eksternus.
2. Test Weber
Tujuan kita melakukan tes weber adalah untuk membandingkan hantaran
tulang antara kedua telinga pasien. Cara kita melakukan tes weber yaitu:
membunyikan garputala 512 Hz lalu tangkainya kita letakkan tegak lurus pada
garis horizontal. Menurut pasien, telinga mana yang mendengar atau mendengar
lebih keras. Jika telinga pasien mendengar atau mendengar lebih keras 1 telinga
maka terjadi lateralisasi ke sisi telinga tersebut. Jika kedua pasien sama-sama
tidak mendengar atau sam-sama mendengaar maka berarti tidak ada
lateralisasi.
Getaran melalui tulang akan dialirkan ke segala arah oleh tengkorak,
sehingga akan terdengar diseluruh bagian kepala. Pada keadaan ptologis pada
MAE atau cavum timpani missal:otitis media purulenta pada telinga kanan. Juga
adanya cairan atau pus di dalam cavum timpani ini akan bergetar, biala ada
bunyi segala getaran akan didengarkan di sebelah kanan.
Interpretasi:
a. Bila pendengar mendengar lebih keras pada sisi di sebelah kanan disebut
lateralisai ke kanan, disebut normal bila antara sisi kanan dan kiri sama
kerasnya.
b. Pada lateralisai ke kanan terdapat kemungkinannya:
1) Tuli konduksi sebelah kanan, missal adanya ototis media disebelah kanan.
2) Tuli konduksi pada kedua telinga, tetapi gangguannya pada telinga kanan ebih
hebat.
3) Tuli persepsi sebelah kiri sebab hantaran ke sebelah kiri terganggu, maka di
dengar sebelah kanan.
4) Tuli persepsi pada kedua teling, tetapi sebelah kiri lebih hebaaaat dari pada
sebelah kanan.
5) Tuli persepsi telinga dan tuli konduksi sebelah kana jarang terdapat.
3. Test Swabach
Tujuan :
Membandingkan daya transport melalui tulang mastoid antara pemeriksa
(normal) dengan probandus.
Dasar :
Gelombang-gelombang dalam endolymphe dapat ditimbulkan oleh :
Getaran yang datang melalui udara. Getaran yang datang melalui tengkorak,
khususnya osteo temporale
Cara Kerja :
Penguji meletakkan pangkal garputala yang sudah digetarkan pada
puncak kepala probandus. Probandus akan mendengar suara garputala itu makin
lama makin melemah dan akhirnya tidak mendengar suara garputala lagi. Pada
saat garputala tidak mendengar suara garputala, maka penguji akan segera
memindahkan garputala itu, ke puncak kepala orang yang diketahui normal
ketajaman pendengarannya (pembanding). Bagi pembanding dua kemungkinan
dapat terjadi : akan mendengar suara, atau tidak mendengar suara.
Diposkan oleh Dede Nana Zohari di Wednesday, November 10, 2010

Anda mungkin juga menyukai