MAKALAH
NEUROSISTISERKOSIS
Disusun oleh:
Taranprit Kaur A/P Malkit Singh
110100493
Supervisor Makalah:
dr. Iskandar Nst, Sp.S, FINS
DEPARTEMEN NEUROLOGI
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN..................................................................................3
1.1
Latar Belakang...............................................................................3
1.2
Tujuan.............................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA........................................................................4
2.1
Definisi Neurosistiserkosis.............................................................4
2.2
Epidemiologi..................................................................................4
2.3
Etiologi...........................................................................................4
2.4
Patofisiologi....................................................................................5
2.5
Manifestasi klinis...........................................................................6
2.6
Diagnosis....................................... .8
2.7
Penatalaksanaan..............................................................................9
2.8
Prognosis... .10
2.9
Pencegahan.....10
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Neurosistisirkosis merupakan salah satu bentuk penyakit yang disebabkan oleh infeksi
parasit, yaitu cacing pita. Neurosistisirkosis merupakan penyakit infeksi parasit pada sistem
saraf yang disebabkan oleh larva cacing pita Taenia Solium dan paling banyak menyebabkan
epilepsi di negara-negara berkembang.1
Sebelum diperkenalkan tehnik diagnostik neuroimaging sebagian kasus didiagnosa
dengan adanya nodul subkutan, adanya kalsifikasi diotak atau jaringan pada foto polos dan
dengan pembedahan pada kasus-kasus peningkatan tekanan intrakranial. Di Amerika Tengah
dan Selatan, sebagian Afrika dan Timur Tengah neurosistiserkosis menjadi penyebab utama
epilepsi dan gangguan neurologis lain. Karena adanya migrasi dari daerah endemik ini ,
sekarang neurosistiserkosis ada di negara-negara yang sebelumnya tidak dikenal 2
Infestasi ke sistim saraf dengan larva cacing pita Taenia Solium terjadi dengan
memakan makanan yang terkontami nasi dengan telur cacing pita. 3 Jarang terjadi manifestasi
secara autoinfeksi lewat anal oral atau kembalinya proglotid karena gerakan peristaltik ke
dalam lambung.4 Gejalagejala neurosistiserkosis biasanya akibat dari respon inflamasi host
setelah parasit mati dan manifestasi klinik yang timbul bermacam-macam.5
1.2 Tujuan
Makalah ini dilakukan untuk mempelajari tentang apa itu neurosistiserkosis, manifestasi
klinis neurosistiserkosis, dan pencegahan terjadinya neurosistiserkosis. Makalah ini juga
dikerjakan untuk memenuhi syarat program pendidikan dokter dari Departmen Neurologi
Rumah Umum Sakit Haji Adam Malik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Definisi
Neurosistisirkosis merupakan salah satu bentuk penyakit yang disebabkan oleh infeksi
parasit, yaitu cacing pita. Neurosistisirkosis merupakan penyakit infeksi parasit pada sistem
saraf yang disebabkan oleh larva cacing pita Taenia Solium dan paling banyak menyebabkan
epilepsi di negara-negara berkembang.2
2.2.
Epidemiologi
Distribusi geografis sistiserkosis sangat luas terutama pada wilayah yang sering
mengkonsumsi daging babi seperti : Meksiko, Amerika Tengah, Amerika Selatan, Indiadan
Afrika Sub Sahara. Di Meksiko ditemukan pada orang dewasa yang kejang setengahnya
merupakan akibat dari neurosistiserkosis. Keadaan serupa juga ditemui di India, China dan
Afrika bahwa parasit otak disebabkan oleh neurosistiserkosis.6
Indonesia memiliki keragaman penduduk dengan mayoritas penduduk muslim dan
tidak mengkonsumsi daging babi, Namun ada beberapa wilayah seperti Bali dan Papua yang
mengkonsumsi daging babi. Kejadian luar biasa kejang di Papua terjadi pada awal 1970-an
dan kejang tersebut disebabkan oleh sistiserkosis. Kejadian serupa juga dilaporkan terjadi di
Papua Nugini dan sampai sekarang masih menjadi daerah endemik.7
2.3.
Etiologi
Stadium larva dari Taenia solium
Klasifikasi
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Cestoda
Ordo
: Cyclophyllidae
Genus : Taenia
Spesies : Taenia solium
Taenia solium berukuran 2-4 meter kadang sampai 8 meter.Anatominya sama
dengan Taenia saginata terdiri dari skoleks,leher,dan strobila yang terdiri dari 800-1000 ruas
proglotid.Setiap proglotid berisi 30.000-50.000 telur.
Gambar 2.1.
2.4.
Patofisiologi
Cacing dewasa hidup di dalam tubuh manusia pada usus halus. Cacing dewasa
melepaskan segmen gravid paling ujung yang akan pecah di dalam usus sehingga telur cacing
dapat dijumpai pada feses penderita. Apabila telur cacing yang matur mengkontaminasi
tanaman rumput atau pun peternakan dan termakan oleh ternak seperti babi, telur akan pecah
di dalam usus hospes perantara dan mengakibatkan lepasnya onkosfer. Dengan bantuan kait,
onkosfer menembus dinding usus, masuk ke dalam aliran darah, lalu menyebar ke organorgan tubuh babi, terutama otot lidah, leher, otot jantung, dan otot gerak . Dalam waktu 60-70
hari pasca infeks, onkosfer berubah menjadi larva sistiserkus yang infeksius.8
Manusia terinfeksi dengan cara makan daging babi mentah atau kurang masak, yang
mengandung larva sistiserkus (Ideham dan Pusarawati, 2007; Wandra et al., 2007; Tolan,
2011). Di dalam usus manusia, skoleks akan mengadakan eksvaginasi dan melekatkan diri
dengan alat isapnya pada dinding usus, lalu tumbuh menjadi cacing dewasa dan kemudian
membentuk strobila. Dalam waktu 5-12 minggu atau 3 bulan, cacing Taenia solium menjadi
dewasa
dan
mampu
memproduksi
telur.
Seekor
cacingTaenia
solium dapat
Manusia juga dapat menjadi hospes perantara untuk Taenia solium (sistiserkorsis).Hal
ini dapat terjadi apabila manusia termakan telur dari cacing tersebut dari hasil ekskresi
manusia. Teori lainnya adalah autoinfeksi. Namun, teori ini belum dibuktikan. Jika terdapat
cacing pita dewasa pada usus, peristaltik yang berlawanan pada gravidproglotid akan
menyebabkan proglotid bergerak secara retrograd dari usus ke lambung. Telur hanya dapat
menetas apabila terpapar dengan sekresi gaster diikuti dengan sekresi usus sehingga setelah
terjadi peristaltik yang bersifat retrograd, onkosfer akan menetas dan menembus dinding
usus, mengikuti aliran kelenjar getah bening atau aliran darah.Larva selanjutnya akan
bermigrasi ke jaringan subkutan, otot, organ viseral, dan sistem saraf pusat dan membentuk
sistiserkus. Sistiserkosis dapat terjadi pada berbagai organ dan gejala yang timbul tergantung
dari lokasi sistiserkus. Proglotid dari Taenia soliumkurang aktif dibandingkan dengan Taenia
saginata sehingga kemungkinan untuk ditemukan pada lokasi yang tidak seharusnya lebih
jarang.11
Gambar 2.2
2.5.
Manifestasi Klinis
Sistiserkus pada kebanyakan organ biasanya tidak atau sedikit menimbulkan reaksi
jaringan. Suatu penelitian post mortem menyebutkan bahwa 80% dari seluruh kasus
sistiserkosis asimptomatik. Akan tetapi, kista yang telah mati pada sistem saraf pusat dapat
menimbulkan respon jaringan yang berat. Infeksi pada otak (sistiserkosis serebri) dapat
menimbulkan gejala yang berat, akibat dari efek massa dan inflamasi yang disebabkan oleh
degenerasi sistiserkus dan pelepasan antigen. Sistiserkus dapat juga menginfeksi sumsum
tulang belakang, otot, jaringan subkutan, dan mata.12
Diagnosis
1.
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
- Teraba benjolan / nodul sub kutan atau intra muskular satu atau lebih
- Kelainan neurologis
3.
Pemeriksaan penunjang
pemeriksaan foto kepala (untuk kista yang sudah mengalami kalsifikasi) dan lebih baik
lagi pemeriksaan
-
yang berukuran 0,5-2 cm dan pada pemeriksaan laboratorium ditemukan antibody spesifik
anti sistiserkal menggunakan teknik Westernblot atau Immunobolt.
-
kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor atau 1 kriteria mayor ditambah 1 kriteria minor dan
1 kriteria epidemiologi, atau 3 kriteria minor ditambah 1 kriteria epidemiologi.5
2.7.
Penatalaksanaan
Pada neurosistiserkosis Parenkim pengobatan yang dianjurkan adalah albendazol (15
mg/kgBB/hari secara oral selama 7 hari atau lebih). Bertujuan untuk meringankan kejang dan
menghancurkan
seluruh
kista
diberikan
bersamaan
dengan
Deksametason
(0,1
mg/kgBB/hari) minimal selama 1 minggu pertama terapi. Pilihan lain adalah Praziquantel (25
mg/kgBB/hari 3 kali sehari, oral, dengan interval 2 jam) atau dosis standar (50-100
mg/kgBB/hari selama 15 hari).2,13
Pada neurosistiserkosis subaraknoid dosis optimal dan durasi terapi belum ada.
Penggunaan Albendazol (15 mg/kgBB/hari selama 4 minggu) menunjukan hasil yang baik
namun perlu pengulangan yang berulang. Untuk anti radang dapat digunakan prednisone (60
mg/hari selama 10 hari) dan tapering off 5 mg/hari selama 5 hari.2,13
Pada
komplikasi
serebrovaskular
belum
ditemukan
adanya
standar
Prognosis
Prognosa pasien ini baik pasien pulang setelah kejang terkontrol dan dianjurkan
untuk kontrol ke poliklinik neurologi. Saat ini prognosa mengalami peningkatan
setelah adanya terapi albendazol dan prazikuantel.13
2.9.
Pencegahan
10
BAB III
KESIMPULAN
Neurosistisirkosis merupakan salah satu bentuk penyakit yang disebabkan oleh infeksi
parasit, yaitu cacing pita. Neurosistisirkosis merupakan penyakit infeksi parasit pada sistem
saraf yang disebabkan oleh larva cacing pita Taenia Solium dan paling banyak menyebabkan
epilepsi di negara-negara berkembang.2
11
Distribusi geografis sistiserkosis sangat luas terutama pada wilayah yang sering
mengkonsumsi daging babi seperti : Meksiko, Amerika Tengah, Amerika Selatan, India dan
Afrika Sub Sahara. Di Meksiko ditemukan pada orang dewasa yang kejang setengahnya
merupakan akibat dari neurosistiserkosis. Keadaan serupa juga ditemui di India, China dan
Afrika bahwa parasit otak disebabkan oleh neurosistiserkosis. 1,7 Di Indonesia Papua dan Bali
masih menjadi daerah endemic.8,9
Gejala yang paling sering adalah sakit kepala kronik dan kejang atau epilepsi (7090%). Gejala lainnya yang mungkin timbul adalah peningkatan tekanan intrakranial,
hidrosefalus, tanda neurologis fokal, perubahan status mental, mual, muntah, vertigo, ataxia,
bingung, gangguan perilaku, dan demensia progresif, dan sakit kepala kronik. Sedangkan
apabila neurosistiserkosis menyerang sumsum tulang belakang dapat menyebabkan
kompresi, transverse myelitis, dan meningitis. Namun kasus ini jarang.2,13,14
Diagnosa disebut suatu definitif atau absolut apabila mempunyai 2 kriteria mayor ditambah
1 kriteria minor dan 1 kriteri epidemiologi. Probable suatu neurositiserkosis adalah adanya 1
kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor atau 1 kriteria mayor ditambah 1 kriteria minor dan
1 kriteria epidemiologi, atau 3 kriteria minor ditambah 1 kriteria epidemiologi.5,13
DAFTAR PUSTAKA
1.
Sutanto,Inge dkk. 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran Edisi Keempat, Jakarta : Balai
Penerbit FKUI
2.
Garchia HH, Evans CAW,Nash TE, Takayanagui OM, White AC, Botero D, et al. Current
Consensus Guideline for Threatment of Neurocysticercosis. Cilin Microbiology Rev 2002
October, 15(4):747-56
12
3.
Adam RD, Victor M, Ropper AH. Principles of Neurology. 7th ed. New York: McGrawHill; 2001.
4.
Sagar SM, McGuire D. Infectious Diseases. In: Samuel MA (editor). Manual of Neurologic
therapeutic.6th ed. Philadelphia: Lippincot William & Wilkin; 1999. p.212-3.
5.
6.
Pal DK, Carpio A, Sander JWAS. Neurocysticercosis and Epilepsy in developing Countries.
J.Neurol Neurosurg Psychiatry 2000; 68: p.137- 43.
7.
8.
9.
Wandra T,Subahar R,Simanjuntak GM. Resurgence of case of epileptic seizures and burn
associated with cycticercosis in Assologaima, Jayawijaya, Irian Jaya, Indonesia,1991-5.Trans
Roy Soc Trop Med Hyg 2000;94:46-50
10. Soedarto. 2008. Parasitologi Klinik. Surabaya: Airlangga University Press; 19-26.
11. Tolan,
R.W.
2011.
Taenia
Infection.
Available
from:
[Accessed
May
2014].http://emedicine.medscape.com/article/999727-overview#a0104
12. Wandra T., Margono, S.S., Gafar, M.S., Saragih, J.M., Sutisna, P., Dharmawan, N.S., et al.,
2007. Taeniasis/Cysticercosis in Indonesia 1996-2006. Southeast Asian J Trop Med Public
Health 38 (1): 140-143.
13. Wiria, A.E., 2008. Sistiserkosis. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran edisi ke- 4. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 86-89
14. Center for Food Security and Public Healt (CFSPH), 2005. Taenia Infections Available
from: http://www.ivis.org/advances/Disease_Factsheets/taenia.pdf [Accessed 01 May 2014]
15. Gonzales
AE,Gauci
CG,Barber
D.Vaccination
of
pigs
to
control
human