Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN
Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang ditandai dengan penurunan
komponen selular pada darah tepi yang diakibatkan oleh kegagalan produksi di sumsum tulang.
Pada keadaan ini jumlah sel-sel darah yang diproduksi tidak memadai. Penderita mengalami
pansitopenia, yaitu keadaan dimana terjadi kekurangan jumlah sel darah merah, sel darah putih,
dan trombosit.1,2,3
Konsep mengenai anemia aplastik pertama kali diperkenalkan pada tahun 1988 oleh Paul
Ehrlich. Ia melaporkan seorang wanita muda yang pucat dan panas dengan ulserasi gusi,
menorrhagia, anemia berat dan leukopenia. Sewaktu dilakukan autopsi ditemukan tidak ada
sumsum tulang yang aktif, dan Ehrlich kemudian menghubungkannya dengan adanya penekanan
pada fungsi sumsum tulang. Pada tahun 1904, Chauffard memperkenalkan istilah anemia
aplastik.1,2,4
Insidensi anemia aplastik bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2 sampai 6 kasus
persejuta penduduk pertahun.2 Insidensi anemia aplastik diperkirakan lebih sering terjadi
dinegara Timur dibanding negara Barat. Peningkatan insiden mungkin berhubungan dengan
faktor lingkungan seperti peningkatan paparan terhadap bahan kimia toksik dibandingkan faktor
genetik. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya peningkatan insiden pada penduduk Asia yang
tinggal di Amerika. Penelitian yang dilakukan di Thailand menunjukkan peningkatan paparan
dengan pestisida sebagai etiologi yang tersering.3,5
Ketersediaan obat-obat yang dapat diperjualbelikan dengan bebas merupakan salah satu
faktor resiko peningkatan insiden. Obat-obat seperti kloramfenikol terbukti dapat mensupresi
sumsum tulang dan mengakibatkan aplasia sumsum tulang dan mengakibatkan aplasia sumsum
tulang sehingga diperkirakan menjadi penyebab tingginya insiden.6
Diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan berdasarkan gejala subjektif, gejala objektif,
pemeriksaan darah serta pemeriksaan sumsum tulang. Gejala subjektif dan objektif merupakan
manifestasi pansitopenia yang terjadi. Namun, gejala dapat bervariasi dan tergantung dari sel
mana yang mengalami depresi paling berat. Diagnosa pasti anemia aplastik adalah berdasarkan
pemeriksaan darah dan pemeriksaan sumsum tulang. Penegakkan diagnosa secara dini sangatlah

penting sebab semakin dini penyakit ini didiagnosis kemungkinan sembuh secara spontan atau
parsial semakin besar.6,7
Hampir semua kasus anemia aplastik berkembang ke kematian bila tidak dilakukan
pengobatan. Angka kelangsungan hidup tergantung seberapa berat penyakit saat didiagnosis, dan
bagaimana respon tubuh terhadap pengobatan.8 Semakin berat hipoplasia yang terjadi maka
prognosis akan semakin jelek. Dengan transplantasi tulang kelangsungan hidup 15 tahun dapat
mencapai 69% sedangkan dengan pengobatan imunosupresif mencapai 38%.9
Mengingat kasus anemia aplastik ini memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang
cukup tinggi dan pentingnya diagnosis lebih dini diharapkan tinjauan pustaka ini dapat menjadi
salah satu sumber referensi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Anemia Aplastik
Anemia aplastik adalah suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang ditandai dengan
pansitopenia perifer dan hipoplasia sumsum tulang. 4 Pada anemia aplastik terjadi penurunan
produksi sel darah dari sumsum tulang sehingga menyebabkan retikulositopenia, anemia,
granulositopenia, monositopenia dan trombositopenia.9 Istilah anemia aplastik sering juga
digunakan untuk menjelaskan anemia refrakter atau bahkan pansitopenia oleh sebab apapun.
Sinonim lain yang sering digunakan antara lain hipositemia progressif, anemia aregeneratif,
aleukia hemoragika, panmyeloptisis, anemia hipoplastik dan anemia paralitik toksik.1
2.2 Epidemiologi
Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2
sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun.2 Analisis retrospektif di Amerika Serikat
memperkirakan insiden anemia aplastik berkisar antara 2 sampai 5 kasus persejuta penduduk
pertahun.9 The Internasional Aplastic Anemia and Agranulocytosis Study dan French Study
memperkirakan ada 2 kasus persejuta orang pertahun. 2,9 Frekuensi tertinggi anemia aplastik
terjadi pada orang berusia 15 sampai 25 tahun; peringkat kedua terjadi pada usia 65 sampai 69
tahun. Anemia aplastik lebih sering terjadi di Timur Jauh, dimana insiden kira-kira 7 kasus
persejuta penduduk di Cina, 4 kasus persejuta penduduk di Thailand dan 5 kasus persejuta
penduduk di Malaysia. Penjelasan kenapa insiden di Asia Timur lebih besar daripada di negara
Barat belum jelas.9 Peningkatan insiden ini diperkirakan berhubungan dengan faktor lingkungan
seperti peningkatan paparan dengan bahan kimia toksik, dibandingkan dengan faktor genetik.
Hal ini terbukti dengan tidak ditemukan peningkatan insiden pada orang Asia yang tinggal di
Amerika.5
2.3 Klasifikasi Anemia Aplastik
Anemia aplastik umumnya diklasifikasikan sebagai berikut :
3

Klasifikasi menurut kausa2 :

A.
1.

Idiopatik : bila kausanya tidak diketahui; ditemukan pada kira-kira 50% kasus.

2.

Sekunder : bila kausanya diketahui.

3.

Konstitusional : adanya kelainan DNA yang dapat diturunkan, misalnya anemia


Fanconi

B.

Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan atau prognosis (lihat tabel 1).

Tabel 1. Klasifikasi anemia aplastik berdasarkan tingkat keparahan.3,9,10


Anemia aplastik berat

- Seluraritas sumsum tulang <25% atau 25-50%


dengan <30% sel hematopoietik residu, dan
- Dua dari tiga kriteria berikut :

Anemia aplastik sangat berat

netrofil < 0,5x109/l

trombosit <20x109 /l

retikulosit < 20x109 /l

Sama seperti anemia aplastik berat kecuali


netrofil <0,2x109/l

Anemia aplastik bukan berat

Pasien yang tidak memenuhi kriteria anemia


aplastik berat atau sangat berat; dengan sumsum
tulang yang hiposelular dan memenuhi dua dari
tiga kriteria berikut :
-

netrofil < 1,5x109/l

trombosit < 100x109/l

hemoglobin <10 g/dl

2.4 Etiologi Anemia Aplastik


Anemia aplastik sering diakibatkan oleh radiasi dan paparan bahan kimia. Akan tetapi,
kebanyakan pasien penyebabnya adalah idiopatik, yang berarti penyebabnya tidak diketahui. 4,11
Anemia aplastik dapat juga terkait dengan infeksi virus dan dengan penyakit lain (Tabel 2).

Tabel 2. Klasifikasi Etiologi Anemia aplastik.6,12


Anemia Aplastik yang Didapat (Acquired Aplastic Anemia)
Anemia aplastik sekunder
Radiasi
Bahan-bahan kimia dan obat-obatan
Efek regular
Bahan-bahan sitotoksik
Benzene
Reaksi Idiosinkratik
Kloramfenikol
NSAID
Anti epileptik
Emas
Bahan-bahan kimia dan obat-obat lainya
Virus
Virus Epstein-Barr (mononukleosis infeksiosa)
Virus Hepatitis (hepatitis non-A, non-B, non-C, non-G)
Parvovirus (krisis aplastik sementara, pure red cell aplasia)
Human immunodeficiency virus (sindroma immunodefisiensi yang didapat)
Penyakit-penyakit Imun
Eosinofilik fasciitis
Hipoimunoglobulinemia
Timoma dan carcinoma timus
Penyakit graft-versus-host pada imunodefisiensi
Paroksismal nokturnal hemoglobinuria
Kehamilan
5

Idiopathic aplastic anemia


Anemia Aplatik yang diturunkan (Inherited Aplastic Anemia)
Anemia Fanconi
Diskeratosis kongenita
Sindrom Shwachman-Diamond
Disgenesis reticular
Amegakariositik trombositopenia
Anemia aplastik familial
Preleukemia (monosomi 7, dan lain-lain.)
Sindroma nonhematologi (Down, Dubowitz, Seckel)
2.4.1 Radiasi
Aplasia sumsum tulang merupakan akibat akut yang utama dari radiasi dimana stem sel
dan progenitor sel rusak. Radiasi dapat merusak DNA dimana jaringan-jaringan dengan mitosis
yang aktif seperti jaringan hematopoiesis sangat sensitif. 4,12 Bila stem sel hematopoiesis yang
terkena maka terjadi anemia aplastik. Radiasi dapat berpengaruh pula pada stroma sumsum
tulang dan menyebabkan fibrosis.2
Efek radiasi terhadap sumsum tulang tergantung dari jenis radiasi, dosis dan luasnya
paparan sumsum tulang terhadap radiasi. Radiasi berenergi tinggi dapat digunakan sebagai terapi
dengan dosis tinggi tanpa tanda-tanda kerusakan sumsum tulang asalkan lapangan penyinaran
tidak mengenai sebagian besar sumsum tulang. Pada pasien yang menerima radiasi seluruh tubuh
efek radiasi tergantung dari dosis yang diterima. Efek pada sumsum tulang akan sedikit pada
dosis kurang dari 1 Sv (ekuivalen dengan 1 Gy atau 100 rads untuk sinar X). Jumlah sel darah
dapat berkurang secara reversibel pada dosis radiasi antara 1 dan 2,5 Sv (100 dan 250 rads).
Kehilangan stem sel yang ireversibel terjadi pada dosis radiasi yang lebih tinggi. Bahkan pasien
dapat meninggal disebabkan kerusakan sumsum tulang pada dosis radiasi 5 sampai 10 Sv kecuali
pasien menerima transplantasi sumsum tulang. Paparan jangka panjang dosis rendah radiasi
eksterna juga dapat menyebabkan anemia aplastik.13
2.4.2 Bahan-bahan Kimia
Bahan kimia seperti benzene dan derivat benzene berhubungan dengan anemia aplastik
dan akut myelositik leukemia (AML). Beberapa bahan kimia yang lain seperti insektisida dan
6

logam berat juga berhubungan dengan anemia yang berhubungan dengan kerusakan sumsum
tulang dan pansitopenia.13
2.4.3 Obat-obatan
Anemia aplastik dapat terjadi atas dasar hipersensitivitas atau dosis obat berlebihan.
Praktis semua obat dapat menyebabkan anemia aplastik pada seseorang dengan predisposisi
genetik. Yang sering menyebabkan anemia aplastik adalah kloramfenikol. Obat-obatan lain yang
juga sering dilaporkan adalah fenilbutazon, senyawa sulfur, emas, dan antikonvulsan, obatobatan sitotoksik misalnya mieleran atau nitrosourea.2
Tabel 3. Obat-obatan yang menyebabkan Anemia Aplastik9
Kategori

Resiko Tinggi

Resiko

Resiko Rendah

Menengah
Analgesik

Fenasetin,

aspirin,

salisilamide
Anti aritmia

Kuinidin, tokainid

Anti artritis

Garam Emas

Kolkisin

Anti konvulsan

Karbamazepin,

Etosuksimid, Fenasemid,

hidantoin,

primidon, trimethadion,

felbamat

sodium valproate

Anti histamin

Klorfeniramin,
pirilamin, tripelennamin

Anti hipertensi
Anti inflamasi

Captopril, methyldopa
Penisillamin,

Diklofenak,

ibuprofen,

fenilbutazon,

indometasin, naproxen,

oksifenbutazon

sulindac

Kloramfenikol

Dapsone,

metisillin,

penisilin,

streptomisin,

Anti mikroba
Anti bakteri

-lactam antibiotik
Anti fungal
Anti protozoa

Amfoterisin, flusitosin
Kuinakrine
7

Klorokuin,

mepakrin,

Kategori

Resiko Tinggi

Resiko

Resiko Rendah

Menengah
pirimetamin
Obat Anti neoplasma
Alkylating

Busulfan,

agen

cyclophosphamide,
melphalan,

nitrogen

mustard
Anti metabolit Fluorourasil,
mercaptopurine,
methotrexate
Antibiotik

Daunorubisin,

Sitotoksik

doxorubisin,
mitoxantrone

Anti platelet

Tiklopidin

Anti tiroid

Karbimazol, metimazol,
metiltiourasil, potassium
perklorat, propiltiourasil,
sodium thiosianat

Sedative

dan

Klordiazepoxide,

tranquilizer

Klorpromazine

(dan

fenothiazin yang lain),


lithium,

meprobamate,

metiprilon
Sulfonamid dan turunannya
Anti bakteri
Diuretik

Numerous sulfonamides
Acetazolamide

Klorothiazide,
furosemide

Hipoglikemik

Klorpropamide,
tolbutamide

Lain-lain

Allopurinol, interferon,
pentoxifylline
8

Catatan : Obat dengan dosis tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum tulang disebut resiko
tinggi. Obat dengan 30 kasus dilaporkan menyebabkan anemia aplastik merupakan resiko
menengah dan selainnya yang lebih jarang merupakan resiko rendah.
2.4.4 Infeksi
Anemia aplastik dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti virus hepatitis, virus EpsteinBarr, HIV dan rubella. Virus hepatitis merupakan penyebab yang paling sering. Pansitopenia
berat dapat timbul satu sampai dua bulan setelah terinfeksi hepatitis. Walaupun anemia aplastik
jarang diakibatkan hepatitis akan tetapi terdapat hubungan antara hepatitis seronegatif fulminan
dengan anemia aplastik.. Parvovirus B19 dapat menyebabkan krisis aplasia sementara pada
penderita anemia hemolitik kongenital (sickle cell anemia, sferositosis herediter, dan lain-lain).
Pada pasien yang imunokompromise dimana gagal memproduksi neutralizing antibodi terhadap
Parvovirus suatu bentuk kronis red cell aplasia dapat terjadi.8,12,13
Infeksi virus biasanya berhubungan dengan supresi minimal pada sumsum tulang,
biasanya terlihat neutropenia dan sedikit jarang trombositopenia. Virus dapat menyebabkan
kerusakan sumsum tulang secara langsung yaitu dengan infeksi dan sitolisis sel hematopoiesis
atau secara tidak langsung melalui induksi imun sekunder, inisiasi proses autoimun yang
menyebabkan pengurangan stem sel dan progenitor sel atau destruksi jaringan stroma
penunjang.4

2.4.5 Faktor Genetik


Kelompok ini sering dinamakan anemia aplastik konstitusional dan sebagian dari
padanya diturukan menurut hukum mendell, contohnya anemia Fanconi. Anemia Fanconi
merupakan kelainan autosomal resesif yang ditandai oleh hipoplasia sumsung tulang disertai
pigmentasi coklat dikulit, hipoplasia ibu jari atau radius, mikrosefali, retardasi mental dan
seksual, kelainan ginjal dan limpa.2
9

2.4.7 Anemia Aplastik pada Keadaan/Penyakit Lain


1. Pada leukemia limfoblastik akut kadang-kdang ditemukan pansitopenia dengan hipoplasia
sumsum tulang.2
2. Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH).
Penyakit ini dapat bermanifestasi berupa anemia aplastik. Hemolisis disertai pansitopenia
mengkin termasuk kelainan PNH.2
3. Kehamilan
Kasus kehamilan dengan anemia aplastik telah pernah dilaporkan, tetapi hubungan antara dua
kondisi ini tidak jelas. Pada beberapa pasien, kehamilan mengeksaserbasi anemia aplastik
yang telah ada dimana kondisi tersebut akan membaik lagi setelah melahirkan. Pada kasus
yang lain, aplasia terjadi selama kehamilan dengan kejadian yang berulang pada kehamilankehamilan berikutnya.9
2.5 Patogenesis11
Setidaknya ada tiga mekanisme terjadinya anemia aplastik. Anemia aplastik yang
diturunkan

(inherited

aplastic

anemia),

terutama

anemia

Fanconi

disebabkan

oleh

ketidakstabilan DNA. Beberapa bentuk anemia aplastik yang didapatkan (acquired aplastic
anemia) disebabkan kerusakan langsung stem sel oleh agen toksik, misalnya radiasi. Patogenesis
dari kebanyakan anemia aplastik yang didapatkan melibatkan reaksi autoimun terhadap stem sel.
Anemia Fanconi barangkali merupakan bentuk inherited anemia aplastik yang paling
sering karena bentuk inherited yang lain merupakan penyakit yang langka. Kromosom pada
penderita anemia Fanconi sensitif (mudah sekali) mengalami perubahan DNA akibat obat-obat
tertentu. Sebagai akibatnya, pasien dengan anemia Fanconi memiliki resiko tinggi terjadi aplasia,
myelodysplastic sindrom (MDS) dan akut myelogenous leukemia (AML). Kerusakan DNA juga
mengaktifkan suatu kompleks yang terdiri dari protein Fanconi A, C, G dan F. Hal ini
menyebabkan perubahan pada protein FANCD2. Protein ini dapat berinteraksi, contohnya
dengan gen BRCA1 (gen yang terkait dengan kanker payudara). Mekanisme bagaimana
berkembangnya anemia Fanconi menjadi anemia aplastik dari sensitifitas mutagen dan kerusakan
DNA masih belum diketahui dengan pasti.

10

Kerusakan oleh agen toksik secara langsung terhadap stem sel dapat disebabkan oleh
paparan radiasi, kemoterapi sitotoksik atau benzene. Agen-agen ini dapat menyebabkan rantai
DNA putus sehingga menyebabkan inhibisi sintesis DNA dan RNA.
Kehancuran hematopoiesis stem sel yang dimediasi sistem imun mungkin merupakan
mekanisme utama patofisiologi anemia aplastik. Walaupun mekanismenya belum diketahui
benar, tampaknya T limfosit sitotoksik berperan dalam menghambat proliferasi stem sel dan
mencetuskan kematian stem sel. Pembunuhan langsung terhadap stem sel telah dihipotesa
terjadi melalui interaksi antara Fas ligand yang terekspresi pada sel T dan Fas (CD95) yang ada
pada stem sel, yang kemudian terjadi perangsangan kematian sel terprogram (apoptosis).
2.6 Gejala dan Pemeriksaan Fisis Anemia Aplastik
Pada anemia aplastik terdapat pansitopenia sehingga keluhan dan gejala yang timbul
adalah akibat dari pansitopenia tersebut. Hipoplasia eritropoietik akan menimbulkan anemia
dimana timbul gejala-gejala anemia antara lain lemah, dyspnoe deffort, palpitasi cordis,
takikardi, pucat dan lain-lain. Pengurangan elemen lekopoisis menyebabkan granulositopenia
yang akan menyebabkan penderita menjadi peka terhadap infeksi sehingga mengakibatkan
keluhan dan gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat sistemik. Trombositopenia tentu
dapat mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir atau pendarahan di organ-organ. 7 Pada
kebanyakan pasien, gejala awal dari anemia aplastik yang sering dikeluhkan adalah anemia atau
pendarahan, walaupun demam atau infeksi kadang-kadang juga dikeluhkan.1
Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan rutin Keluhan
yang dapat ditemukan sangat bervariasi (Tabel 4). Pada tabel 4 terlihat bahwa pendarahan, lemah
badan dan pusing merupakan keluhan yang paling sering dikemukakan.

Tabel 4. Keluhan Pasien Anemia Apalastik (n=70)2


Jenis Keluhan
Pendarahan

%
83

Lemah badan

80

Pusing

69
11

Jantung berdebar

36

Demam

33

Nafsu

makan 29

berkurang

26

Pucat

23

Sesak nafas

19

Penglihatan kabur

13

Telinga berdengung
Pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada tabel 5 terlihat
bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan pendarahan ditemukan pada
lebih dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali, yang sebabnya bermacam-macam ditemukan
pada sebagian kecil pasien sedangkan splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun.
Adanya splenomegali dan limfadenopati justru meragukan diagnosis.2
Tabel 5. Pemeriksaan Fisis pada Pasien Anemia Aplastik2
Jenis Pemeriksaan Fisik
Pucat

%
100

Pendarahan

63

Kulit

34

Gusi

26

Retina

20

Hidung

Saluran cerna

Vagina

Demam

16

Hepatomegali

Splenomegali
0
2.7 Pemeriksaan Penunjang
2.7.1 Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan Darah
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Anemia yang terjadi
bersifat normokrom normositer, tidak disertai dengan tanda-tanda regenerasi. Adanya eritrosit
12

muda atau leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia aplastik. Kadang-kadang
pula dapat ditemukan makrositosis, anisositosis, dan poikilositosis.2
Jumlah granulosit ditemukan rendah. Pemeriksaan hitung jenis sel darah putih
menunjukkan penurunan jumlah neutrofil dan monosit. Limfositosis relatif terdapat pada lebih
dari 75% kasus. Jumlah neutrofil kurang dari 500/mm 3 dan trombosit kurang dari 20.000/mm3
menandakan anemia aplastik berat. Jumlah neutrofil kurang dari 200/mm3 menandakan anemia
aplastik sangat berat.2,9
Jumlah trombosit berkurang secara kuantitias sedang secara kualitas normal. Perubahan
kualitatif morfologi yang signifikan dari eritrosit, leukosit atau trombosit bukan merupakan
gambaran klasik anemia aplastik yang didapat (acquired aplastic anemia). Pada beberapa
keadaan, pada mulanya hanya produksi satu jenis sel yang berkurang sehingga diagnosisnya
menjadi red sel aplasia atau amegakariositik trombositopenia. Pada pasien seperti ini, lini
produksi sel darah lain juga akan berkurang dalam beberapa hari sampai beberapa minggu
sehingga diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan.9
Laju endap darah biasanya meningkat. Waktu pendarahan biasanya memanjang dan
begitu juga dengan waktu pembekuan akibat adanya trombositopenia. Hemoglobin F meningkat
pada anemia aplastik anak dan mungkin ditemukan pada anemia aplastik konstitusional.2
Plasma darah biasanya mengandung

growth factor hematopoiesis, termasuk

erittropoietin, trombopoietin, dan faktor yang menstimulasi koloni myeloid. Kadar Fe serum
biasanya meningkat dan klirens Fe memanjang dengan penurunan inkorporasi Fe ke eritrosit
yang bersirkulasi.9

b. Pemeriksaan sumsum tulang


Aspirasi sumsum tulang biasanya mengandung sejumlah spikula dengan daerah yang
kosong, dipenuhi lemak dan relatif sedikit sel hematopoiesis. Limfosit, sel plasma, makrofag dan
sel mast mungkin menyolok dan hal ini lebih menunjukkan kekurangan sel-sel yang lain
daripada menunjukkan peningkatan elemen-elemen ini. Pada kebanyakan kasus gambaran
partikel yang ditemukan sewaktu aspirasi adalah hiposelular. Pada beberapa keadaan, beberapa
spikula dapat ditemukan normoseluler atau bahkan hiperseluler, akan tetapi megakariosit
rendah.9
13

Biopsi sumsum tulang dilakukan untuk penilaian selularitas baik secara kualitatif maupun
kuantitatif. Semua spesimen anemia aplastik ditemukan gambaran hiposelular. Aspirasi dapat
memberikan kesan hiposelular akibat kesalahan teknis (misalnya terdilusi dengan darah perifer),
atau dapat terlihat hiperseluler karena area fokal residual hematopoiesis sehingga aspirasi
sumsum tulang ulangan dan biopsi dianjurkan untuk mengklarifikasi diagnosis.9,12
Suatu spesimen biopsi dianggap hiposeluler jika ditemukan kurang dari 30% sel pada
individu berumur kurang dari 60 tahun atau jika kurang dari 20% pada individu yang berumur
lebih dari 60 tahun.8
International Aplastic Study Group mendefinisikan anemia aplastik berat bila selularitas
sumsum tulang kurang dari 25% atau kurang dari 50% dengan kurang dari 30% sel
hematopoiesis terlihat pada sumsum tulang.9
2.7.2 Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologis umumnya tidak dibutuhkan untuk menegakkan diagnosa anemia
aplastik. Survei skletelal khusunya berguna untuk sindrom kegagalan sumsum tulang yang
diturunkan, karena banyak diantaranya memperlihatkan abnormalitas skeletal. Pada pemeriksaan
MRI (Magnetic Resonance Imaging) memberikan gambaran yang khas yaitu ketidakhadiran
elemen seluler dan digantikan oleh jaringan lemak.

2.8 Diagnosa3,9,10
Diagnosa pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan darah dan dan pemeriksaan sumsum
tulang. Pada anemia aplastik ditemukan pansitopenia disertai sumsum tulang yang miskin
selularitas dan kaya akan sel lemak sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Pansitopenia
dan hiposelularitas sumsum tulang tersebut dapat bervariasi sehingga membuat derajat anemia
aplastik (lihat tabel 1).
2.9 Diagnosa Banding
14

Diagnosis banding anemia yaitu dengan setiap kelainan yang ditandai dengan
pansitopenia perifer. Beberapa penyebab pansitopenia terlihat pada tabel 6.
Table 6 Penyebab Pansitopenia14
Kelainan sumsum tulang
Anemia aplastik
Myelodisplasia
Leukemia akut
Myelofibrosis
Penyakit Infiltratif: limfoma, myeloma, carcinoma, hairy cell leukemia
Anemia megaloblastik
Kelainan bukan sumsum tulang
Hipersplenisme
Sistemik lupus eritematosus
Infeksi: tuberculosis, AIDS, leishmaniasis, brucellosis
Kelainan yang paling sering mirip dengan anemia aplastik berat yaitu sindrom
myelodisplastik dimana kurang lebih 5 sampai 10 persen kasus sindroma myelodisplasia tampak
hipoplasia sumsum tulang. Beberapa ciri dapat membedakan anemia aplastik dengan sindrom
myelodisplastik yaitu pada myelodisplasia terdapat morfologi film darah yang abnormal
(misalnya poikilositosis, granulosit dengan anomali pseudo-Pelger- Het), prekursor eritroid
sumsum tulang pada myelodisplasia menunjukkan gambaran disformik serta sideroblast yang
patologis lebih sering ditemukan pada myelodisplasia daripada anemia aplastik. Selain itu,
prekursor granulosit dapat berkurang atau terlihat granulasi abnormal dan megakariosit dapat
menunjukkan lobulasi nukleus abnormal (misalnya mikromegakariosit unilobuler).9
Kelainan seperti leukemia akut dapat dibedakan dengan anemia aplastik yaitu dengan
adanya morfologi abnormal atau peningkatan dari sel blast atau dengan adanya sitogenetik
abnormal pada sel sumsum tulang. Leukemia akut juga biasanya disertai limfadenopati,
hepatosplenomegali, dan hipertrofi gusi.7,14
Hairy cell leukemia sering salah diagnosa dengan anemia aplastik. Hairy cell leukemia
dapat dibedakan dengan anemia aplastik dengan adanya splenomegali dan sel limfoid abnormal
pada biopsi sumsum tulang.14
15

Pansitopenia dengan normoselular sumsum tulang biasanya disebabkan oleh sistemik


lupus eritematosus (SLE), infeksi atau hipersplenisme. Selularitas sumsum tulang yang
normoselular jelas membedakannya dengan anemia aplastik.
2.10 Penatalaksanaan
Anemia berat, pendarahan akibat trombositopenia dan infeksi akibat granulositopenia dan
monositopenia memerlukan tatalaksana untuk menghilangkan kondisi yang potensial
mengancam nyawa ini dan untuk memperbaiki keadaan pasien (lihat tabel 7).9
Tabel 7. Manajemen Awal Anemia Aplastik9

Menghentikan semua obat-obat atau penggunaan agen kimia yang diduga menjadi penyebab
anemia aplastik.

Anemia : transfusi PRC bila terdapat anemia berat sesuai yang dibutuhkan.

Pendarahan hebat akibat trombositopenia : transfusi trombosit sesuai yang dibutuhkan.

Tindakan pencegahan terhadap infeksi bila terdapat neutropenia berat.

Infeksi : kultur mikroorganisme, antibiotik spektrum luas bila organisme spesifik tidak dapat
diidentifikasi, G-CSF pada kasus yang menakutkan; bila berat badan kurang dan infeksi ada
(misalnya oleh bakteri gram negatif dan jamur) pertimbangkan transfusi granulosit dari
donor yang belum mendapat terapi G-CSF.

Assessment untuk transplantasi stem sel allogenik : pemeriksaan histocompatibilitas pasien,


orang tua dan saudara kandung pasien.

Pengobatan spesifik aplasia sumsum tulang terdiri dari tiga pilihan yaitu transplantasi
stem sel allogenik, kombinasi terapi imunosupresif (ATG, siklosporin dan metilprednisolon) atau
pemberian dosis tinggi siklofosfamid.9 Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi
imunosupresi atau transplantasi sumsum tulang. Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya donor
saudara yang cocok (matched sibling donor), faktor-faktor resiko seperti infeksi aktif atau beban
16

transfusi harus dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien paling baik mendapat terapi
imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang. Pasien yang lebih muda umumnya mentoleransi
transplantasi sumsum tulang lebih baik dan sedikit mengalamai GVHD (Graft Versus Host
Disease). Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai komorbiditas biasanya ditawarkan terapi
imunosupresif. Suatu algoritme terapi dapat dipakai untuk panduan penatalaksanaan anemia
aplastik.15

Gambar 1. Algoritme penatalaksanaan pasien anemia aplastik berat.15


a.

Pengobatan Suportif15
Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa packed red cells

sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien dengan penyakit
kardiovaskular.

Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari 20.000/mm3. Transfusi


trombosit diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar trombosit dibawah 20.000/mm 3 sebagai
profilaksis. Pada mulanya diberikan trombosit donor acak. Transfusi trombosit konsentrat
berulang dapat menyebabkan pembentukan zat anti terhadap trombosit donor. Bila terjadi
sensitisasi, donor diganti dengan yang cocok HLA-nya (orang tua atau saudara kandung).
Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih kontroversial dan tidak dianjurkan
karena efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup leukosit yang
ditransfusikan sangat pendek.
b.

Terapi Imunosupresif

17

Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalah antithymocyte globulin (ATG)


atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CSA). ATG atau ALG diindikasikan
pada15 :
-

Anemia aplastik bukan berat

Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok

Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun dan pada saat pengobatan tidak
terdapat infeksi atau pendarahan atau dengan granulosit lebih dari 200/mm3
Mekanisme kerja ATG atau ALG belum diketahui dengan pasti dan mungkin melalui

koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal dan stimulasi langsung atau
tidak langsung terhadap hemopoiesis.15
Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG dapat terjadi reaksi alergi ringan
sampai berat sehingga selalu diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid. 15 Siklosporin juga
diberikan dan proses bekerjanya dengan menghambat aktivasi dan proliferasi preurosir limfosit
sitotoksik.15 Sebuah protokol pemberian ATG dapat dlihat pada tabel 8.11

Tabel 8. Protokol Pemberian ATG pada anemia aplastik11


Dosis test ATG :
ATG 1:1000 diencerkan dengan saline 0,1 cc disuntikan intradermal pada lengan
dengan saline kontrol 0,1 cc disuntikkan intradermal pada lengan sebelahnya.
Bila tidak ada reaksi anafilaksis, ATG dapat diberikan.
Premedikasi untuk ATG (diberikan 30 menit sebelum ATG) :
Asetaminofen 650 mg peroral
Difenhidrahim 50 mg p.o atau intravena perbolus
Hidrokortison 50 mg intravena perbolus
Terapi ATG :
18

ATG 40 g/kg dalam 1000 cc NS selama 8-12 jam perhari untuk 4 hari
Obat-obat yang diberikan serentak dengan ATG :
Prednison 100 mg/mm2 peroral 4 kali sehari dimulai bersamaan dengan ATG dan
dilanjutkan selama 10-14 hari; kemudian bila tidak terjadi serum sickness,
tapering dosis setiap 2 minggu.
Siklosporin 5mg/kg/hari peroral diberikan 2 kali sehari sampai respon maksimal
kemudian di turunkan 1 mg/kg atau lebih lambat. Pasien usia 50 tahun atau
lebih mendapatkan dosis siklosporin 4mg/kg. Dosis juga harus diturunkan
bila terdapat kerusakan fungsi ginjal atau peningkatan enzim hati.
Metilprednisolon juga dapat digunakan sebagai ganti predinison. Kombinasi ATG,
siklosporin dan metilprednisolon memberikan angka remisi sebesar 70% pada anemia aplastik
berat. Kombinasi ATG dan metilprednisolon memiliki angka remisi sebesar 46%.15
Pemberian dosis tinggi siklofosfamid juga merupakan bentuk terapi imunosupresif.
Pernyataan ini didasarkan karena stem sel hematopoiesis memliki kadar aldehid dehidrogenase
yang tinggi dan relatif resisten terhadap siklofosfamid. Dengan dasar tersebut, siklofosfamid
dalam hal ini lebih bersifat imunosupresif daripada myelotoksis. Namun, peran obat ini sebagai
terapi lini pertama tidak jelas sebab toksisitasnya mungkin berlebihan yang melebihi dari pada
kombinasi ATG dan siklosporin.9 Pemberian dosis tinggi siklofosfamid sering disarankan untuk
imunosupresif yang mencegah relaps. Namun, hal ini belum dikonfirmasi. Sampai kini, studistudi dengan siklofosfamid memberikan lama respon leih dari 1 tahun. Sebaliknya, 75% respon
terhadap ATG adalah dalam 3 bulan pertama dan relaps dapat terjadi dalam 1 tahun setelah terapi
ATG.15
c.

Terapi penyelamatan (Salvage theraphies)


Terapi ini antara lain meliputi siklus imunosupresi berulang, pemberian faktor-faktor

pertumbuhan hematopoietik dan pemberian steroid anabolik.15


Pasien yang refrakter dengan pengobatan ATG pertama dapat berespon terhadap siklus
imunosupresi ATG ulangan. Pada sebuah penelitian, pasien yang refrakter ATG kuda tercapai
dengan siklus kedua ATG kelinci.15

19

Pemberian faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik

seperti Granulocyte-Colony

Stimulating Factor (G-CSF) bermanfaat untuk meningkatkan neutrofil akan tetapi neutropenia
berat akibat anemia aplastik biasanya refrakter. Peningkatan neutrofil oleh stimulating faktor ini
juga tidak bertahan lama. Faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik tidak boleh dipakai sebagai
satu-satunya modalitas terapi anemia aplastik. Kombinasi G-CSF dengan terapi imunosupresif
telah digunakan untuk terapi penyelamatan pada kasus-kasus yang refrakter dan pemberiannya
yang lama telah dikaitkan dengan pemulihan hitung darah pada beberapa pasien.11,15
Steroid anabolik seperti androgen dapat merangsang produksi eritropoietin dan sel-sel
induk sumsum tulang. Androgen terbukti bermanfaat untuk anemia aplastk ringan dan pada
anemia aplastik berat biasanya tidak bermanfaat. Androgen digunakan sebagai terapi
penyelamatan untuk pasien yang refrakter terapi imunosupresif.9,15
d.

Transplantasi sumsum tulang


Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama pada pasien anemia aplastik berat

berusia muda yang memiliki saudara dengan kecocokan HLA. Akan tetapi, transplantasi sumsum
tulang allogenik tersedia hanya pada sebagan kecil pasien (hanya sekitar 30% pasien yang
mempunyai saudara dengan kecocokan HLA). Batas usia untuk transplantasi sumsum tulang
sebagai terapi primer belum dipastikan, namun pasien yang berusia 35-35 tahun lebih baik bila
mendapatkan terapi imunosupresif karena makin meningkatnya umur, makin meningkat pula
kejadian dan beratnya reaksi penolakan sumsum tulang donor (Graft Versus Host
Disesase/GVHD).15 Pasien dengan usia > 40 tahun terbukti memiliki respon yang lebih jelek
dibandingkan pasien yang berusia muda.9,10

20

Gambar 2. Kelangsungan hidup pada pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang dari
donor saudara dengan HLA yang cocok hubungannya dengan umur.10
Pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang memiliki survival yang lebih baik
daripada pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif. 10 Pasien dengan umur kurang dari 50
tahun yang gagal dengan terapi imunosupresif (ATG) maka pemberian transplantasi sumsum
tulang dapat dipertimbangkan.15 Akan tetapi survival pasien yang menerima transplanasi sumsum
tulang namun telah mendapatkan terapi imunosupresif lebih jelek daripada pasien yang belum
mendapatkan terapi imunosupresif sama sekali.9,10
Pada pasien yang mendapat terapi imunosupresif sering kali diperlukan transfusi selama
beberapa bulan. Transfusi komponen darah tersebut sedapat mungkin diambil dari donor yang
bukan potensial sebagai donor sumsum tulang. Hal ini diperlukan untuk mencegah reaksi
penolakan cangkokan (graft rejection) karena antibodi yang terbentuk akibat tansfusi.15
Kriteria respon terapi menurut kelompok European Marrow Transplantation (EBMT)
adalah sebagai berikut15 :
- Remisi komplit : bebas transfusi, granulosit sekurang-kurangnya 2000/mm 3 dan trombosit
sekurang-kurangnya 100.000/mm3.
- Remisi sebagian : tidak tergantung pada transfusi, granulosit dibawah 2000/mm 3 dan trombosit
dibawah 100.000/mm3.
- Refrakter : tidak ada perbaikan.
21

2.11 Prognosis9
Prognosis berhubungan dengan jumlah absolut netrofil dan trombosit. Jumlah absolut
netrofil lebih bernilai prognostik daripada yang lain. Jumlah netrofil kurang dari 500/l
(0,5x109/liter) dipertimbangkan sebagai anemia aplastik berat dan jumlah netrofil kurang dari
200/l (0,2x109/liter) dikaitkan dengan respon buruk terhadap imunoterapi dan prognosis yang
jelek bila transplantasi sumsum tulang allogenik tidak tersedia. Anak-anak memiliki respon yang
lebih baik daripada orang dewasa. Anemia aplastik konstitusional merespon sementara terhadap
androgen dan glukokortikoid akan tetapi biasanya fatal kecuali pasien mendapatkan transplantasi
sumsum tulang.
Transplantasi sumsum tulang bersifat kuratif pada sekitar 80% pasien yang berusia
kurang dari 20 tahun, sekitar 70% pada pasien yang berusia 20-40 tahun dan sekitar 50% pada
pasien berusia lebih dari 40 tahun. Celakanya, sebanyak 40% pasien yang bertahan karena
mendapatkan transplantasi sumsum tulang akan menderita gangguan akibat GVHD kronik dan
resiko mendapatkan kanker sekitar 11% pada pasien usia tua atau setelah mendapatkan terapi
siklosporin sebelum transplantasi stem sel. Hasil yang terbaik didapatkan pada pasien yang
belum mendapatkan terapi imunosupresif sebelum transplantasi, belum mendapatkan dan belum
tersensitisasi dengan produk sel darah serta tidak mendapatkan iradiasi dalam hal conditioning
untuk transplantasi.
Sekitar 70% pasien memiliki perbaikan yang bermakna dengan terapi kombinasi
imunosupresif (ATG dengan siklosporin). Walaupun beberapa pasien setelah terapi memiliki
jumlah sel darah yang normal, banyak yang kemudian mendapatkan anemia sedang atau
trombositopenia. Penyakit ini juga akan berkembang dalam 10 tahun menjadi proxysmal
nokturnal hemoglobinuria, sindrom myelodisplastik atau akut myelogenous leukimia pada 40%
pasien yang pada mulanya memiliki respon terhadap imunosupresif. Pada 168 pasien yang
mendapatkan transplantasi sumsum tulang, hanya sekitar 69% yang bertahan selama 15 tahun
dan pada 227 pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif, hanya 38% yang bertahan dalam
15 tahun.
Pengobatan dengan dosis tinggi siklofosfamid menghasilkan hasil awal yang sama
dengan kombinasi ATG dan siklosporin. Namun, siklofosfamid memiliki toksisitas yang lebih

22

besar dan perbaikan hematologis yang lebih lambat walaupun memiliki remisi yang lebih
bertahan lama.

BAB III
KESIMPULAN
Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang disebabkan oleh kegagalan produksi
di sumsum tulang sehingga mengakibatkan penurunan komponen selular pada darah tepi yaitu
berupa keadaan pansitopenia (kekurangan jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan
trombosit).
Anemia aplastik merupakan penyakit yang jarang ditemukan. Insidensinya bervariasi di
seluruh dunia yaitu berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun. Frekuensi
tertinggi insidensi anemia aplastik adalah pada usia muda.
Anemia aplastik dapat disebabkan oleh bahan kimia, obat-obatan, virus, dan terkait
dengan penyakit-penyakit yang lain. Anemia aplastik juga ada yang ditururunkan seperti anemia
Fanconi. Akan tetapi, kebanyakan kasus anemia aplastik merupakan idiopatik.
Tanda dan gejala klinis anemia aplastik merupakan manifestasi dari pansitopenia yang
terjadi. Hipoplasia eritropoietik akan menimbulkan gejala-gejala anemia antara lain lemah,
dyspnoe deffort, palpitasi cordis, takikardi, pucat dan lain-lain. Pengurangan elemen lekopoisis
(granulositopenia)

menyebabkan

penderita

menjadi

peka

terhadap

infeksi

sehingga

mengakibatkan keluhan dan gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat sistemik.
Trombositopenia dapat mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir atau pendarahan di
organ-organ. Gejala yang paling menonjol tergantung dari sel mana yang mengalami depresi
paling berat.
Pansitopenia perifer adalah kelainan hematologis yang utama untuk anemia aplastik.
Anemia bersifat normokrom normositer dan tidak disertai tanda-tanda regenerasi. Leukopenia
berupa grnaulositopenia. Trombosit kuantitas berkurang sedang secara kualitatif normal.
Sumsum tulang akan mengandung banyak sel lemak dan menganduk sedikit sekali sel-sel
hemopoisis. Tidak terlihat penambahan sel primitif.

23

Anemia aplastik bukan berat memiliki sumsum tulang yang hiposelular dan dua dari tiga
kriteria (netrofil < 1,5x109/l, trombosit < 100x109/l, hemoglobin <10 g/dl). Anemia aplastik berat
memiliki seluraritas sumsum tulang <25% atau 25-50% dengan <30% sel hematopoietik residu,
dan dua dari tiga kriteria (netrofil < 0,5x10 9/l, trombosit <20x109 /l, retikulosit < 20x109 /l).
Anemia aplastik sangat berat sama seperti anemia aplastik berat kecuali netrofil <0,2x109/l.
Pengobatan anemia aplastik dapat bersifat suportif yaitu dengan transfusi PRC dan
trombosit. Penggunaan obat-obat atau agen kimia yang diduga menjadi penyebab anemia
aplastik harus dihentikan. Pemberian antibiotik bila terjadi infeksi juga harus dilakukan untuk
memperbaiki keadaan umum pasien. Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi terapi
imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang. Pasien yang lebih muda umumnya mentoleransi
transplantasi sumsum tulang lebih baik dan sedikit mengalamai GVHD (Graft Versus Host
Disease). Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai komorbiditas biasanya ditawarkan terapi
imunosupresif.
Prognosis dipengaruhi banyak hal, antara lain derajat anemia aplastik, usia pasien, ada
tidaknya donor dengan HLA yang cocok untuk transplantasi sumsum tulang allogenik serta
apakah pasien telah mendapatkan terapi imunosupresif sebelum tranplantasi sumsum tulang.

24

BAB IV
LAPORAN KASUS
I.

II.

IDENTITAS PENDERITA
Nama

: MM

Umur

: 37 Tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Suku

: Bali

Agama

: Hindu

Pendidikan

: S1

Status Perkawinan

: Belum menikah

Pekerjaan

: Pegawai Swasta

Alamat

: Handil 5 Muara Kartanegara, Tenggarong, Bali

Tanggal MRS

: 27 Juli 2015

Tanggal Pemeriksaan

: 9 Agustus 2015

No RM

: 14054625

ANAMNESIS
Keluhan Utama
Perdarahan pada gusi
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan utama perdarahan pada gusi. Keluhan tersebut sudah
dirasakan pasien sejak dua hari sebelum masuk rumah sakit. Perdarahan pada gusi
diketahui saat pasien mengeluarkan air liur. Saat pasien mengeluarkan air liur terlihat air
25

liur bercampur dengan darah segar berwarna merah dengan volume kurang lebih 10 ml
setiap kali perdarahan terjadi. Perdarahan pada gusi ini dirasakan sangat berat oleh pasien,
karena sangat mengganggu aktifitas, sehingga membuat pasien datang berobat ke
poliklinik. Perdarahan pada gusi ini dirasakan hilang timbul, kurang lebih muncul tiga
sampai lima kali dalam sehari. Dikatakan tidak ada hal atau aktifitas yang memperberat dan
memperingan keluhan ini. Dua hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit, perdarahan
dirasakan sangat banyak, namun makin lama makin berkurang dan membaik hingga saat
ini.
Pasien juga mengeluhkan sering pusing dan badan terasa lemas sejak kurang lebih
satu tahun yang lalu. Lemas dirasakan seperti tidak bertenaga. Lemas dikatakan dirasakan
di seluruh tubuh, dengan intensitas sedang hingga berat. Pusing dirasakan oleh pasien
seperti mau jatuh, dengan intensitas sedang hingga berat. Keluhan ini membuat pasien
menjadi tidak dapat beraktivitas dan sulit untuk berdiri. Keluhan pusing dan lemas ini
dikatakan muncul ketika pasien merasa kelelahan dalam bekerja. Keluhan ini dikatakan
berlangsung sepanjang hari, dan tidak membaik walaupun dengan istirahat. Keluhan pusing
dan lemas ini sudah sering dirasakan pasien sejak satu tahun yang lalu, dengan frekuensi
hilang timbul. Sampai saat ini pasien mengaku masih sering mengalami keluhan tersebut.
Pasien juga mengeluh deman 3 hari SMRS namun demam tidak dirasakan terlalu tinggi.
Keluhan lain seperti mual, muntah, sesak napas, berdebar, nyeri dada, sakit kepala,
gangguan haid, dan penurunan berat badan disangkal oleh pasien. Pasien juga mengaku
akhir-akhir ini sering mengalami penurunan nafsu makan. Menstruasi normal, buang air
kecil ataupun buang air besar pasien dalam batas normal.
Riwayat Penyakit Dahulu Dan Pengobatan
Pasien mengaku kurang lebih sudah sembilan kali dirawat di rumah sakit karena
keluhan yang sama, dan telah terdiagnosis dengan anemia aplastik sejak satu tahun yang
lalu. Riwayat perdarahan pada retina kurang lebih enam bulan yang lalu, dan sudah
mendapat terapi oleh dokter spesialis mata. Riwayat tekanan darah tinggi, kencing manis,
penyakit jantung, penyakit ginjal, dan asma disangkal oleh pasien.
Riwayat Penyakit Keluarga

26

Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan seperti yang dialami oleh
pasien Riwayat tekanan darah tinggi, kencing manis, penyakit jantung, penyakit ginjal, dan
asma pada keluarga disangkal oleh pasien.

Riwayat Pribadi Dan Sosial


Pasien belum menikah. Pasien merupakan seorang pegawai swasta dan sehari-hari
bekerja di kantor. Kebiasaan merokok dan minum alkohol disangkal oleh pasien. Pola
makan pasien normal 3 kali sehari. Pasien mengaku jarang berolah raga.
III. PEMERIKSAAN FISIK (09/08/2015)
Tanda-Tanda Vital
Keadaan umum

: Sakit sedang

Kesadaran

: Compos mentis

GCS

: E4V5M6

Tekanan Darah

: 110/70 mmHg

Nadi

: 80 kali / menit

Respirasi

: 16 kali / menit

Suhu axila

: 36.5 0 Celcius

VAS

: 0 cm

BB

: 60 kg

TB

: 160 cm

BMI

: 23,43 kg/m2

Pemeriksaan Umum
Mata

: anemis +/+, ikterus -/-, reflek pupil +/+ isokor, edema palpebra -/-

THT

: Telinga

: sekret -/-

Hidung

: sekret (-), mukosa nasalis intak/intak

Bibir

: Stomatitis angularis (-), ulkus (-)


27

Leher

Lidah

: Atrofi papila lidah (-), buffy tongue (-)

Tenggorokan

: Tonsil T1/T1, faring hiperemis (-)

: JVP PR + 0 cmH2O, pembesaran kelenjar (-), kaku kuduk (-)

Thorax : Simetris (+), retraksi (-)


Cor :
Inspeksi

: ictus cordis tidak terlihat

Palpasi

: ictus cordis teraba di MCL (S)

Perkusi

: Batas Atas : ICS II


Batas kanan: PSL (D)
Batas kiri : MCL (S)

Auskultasi

: S1S2 tunggal, regular, murmur (-)

Pulmo :
Inspeksi

: Simetris statis dan dinamis

Palpasi

: Vocal fremitus N/N

Perkusi

: Sonor/sonor

Auskultasi

: Vesikuler +/+, Ronki -/-, Wheezing -/+/+

-/-

-/-

+/+

-/-

-/-

Abdomen :
Inspeksi

: Distensi (-)

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

Palpasi

: Hepar/lien tidak teraba, Ballotement (-/-)

Perkusi

: Shifting dullness (-), nyeri ketok CVA (-)

Ekstremitas :
Hangat +/+, edema - / - , Kuku sendok (-)
+/+

-/-

28

IV.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Darah Lengkap (30/7/2015)
Parameter

Hasil

Unit

Nilai Rujukan

Keterangan

WBC

1,83

x103/L

4,10 11,00

Rendah

%NE

42,2

47,00 80,00

Rendah

%LY

45,7

13,00 40,00

Tinggi

%MO

7,6

2,00 11,00

Normal

%EO

0,7

0,00 5,00

Normal

%BA

0,1

0,00 2,00

Normal

%LUC

3,7

0,00-4,00

Normal

#NE

0,77

x103/L

2,50 7,50

Rendah

#LY

0,84

x103/L

1,00 4,00

Rendah

#MO

0,14

x103/L

0,10 1,20

Normal

#EO

0,01

x103/L

0,00 0,50

Normal

#BA

x103/L

0,00 0,10

Normal

#LUC

0,07

x103/L

0,00-0,40

Normal

x106/L

4,0-5,2

Rendah

RBC

2,62

HGB

7,4

g/dL

13,50 17,50

Rendah

HCT

21,4

36,00 46,00

Rendah

MCV

81,8

fL

80,00 100,00

Normal

29

MCH

28,3

Pg

26,00 34,00

Normal

MCHC

34,6

g/dL

31,00 36,00

Normal

CHCM

36,7

g/dL

30,00-37,00

Normal

RDW

17,1

11,60 14,80

Tinggi

HDW

5,09

g/dL

2,20-6,80

Normal

PLT

12

x103/L

140,00 440,00

Rendah

MPV

8,0

fL

6,80 10,00

Normal

Darah Lengkap (04/08/2015)


Parameter

Hasil

Unit

Nilai Rujukan

Keterangan

WBC

2,04

x103/L

4,10 11,00

Rendah

%NE

39.0

47,00 80,00

Rendah

%LY

49,4

13,00 40,00

Tinggi

%MO

7,3

2,00 11,00

Normal

%EO

1,2

0,00 5,00

Normal

%BA

0,1

0,00 2,00

Normal

%LUC

3,1

0,00-4,00

Normal

#NE

0,79

x103/L

2,50 7,50

Rendah

#LY

1,01

x103/L

1,00 4,00

Normal

#MO

0,15

x103/L

0,10 1,20

Normal

#EO

0,02

x103/L

0,00 0,50

Normal

#BA

x103/L

0,00 0,10

Normal

#LUC

0,06

x103/L

0,00-0,40

Normal

RBC

4,05

x106/L

4,0-5,2

Normal

HGB

11,1

g/dL

13,50 17,50

Rendah

HCT

32,1

36,00 46,00

Rendah

MCV

79,1

fL

80,00 100,00

Rendah

30

MCH

27,5

Pg

26,00 34,00

Normal

MCHC

34,8

g/dL

31,00 36,00

Normal

CHCM

36,3

g/dL

30,00-37,00

Normal

RDW

15,5

11,60 14,80

Tinggi

HDW

4,82

g/dL

2,20-6,80

Normal

PLT

10

x103/L

140,00 440,00

Rendah

MPV

7,2

fL

6,80 10,00

Normal

Darah Lengkap (11/8/2015)


Parameter

Hasil

Unit

Nilai Rujukan

Keterangan

WBC

2,01

x103/L

4,10 11,00

Rendah

%NE

59,9

47,00 80,00

Normal

%LY

31,4

13,00 40,00

Normal

%MO

4,8

2,00 11,00

Normal

%EO

0,8

0,00 5,00

Normal

%BA

0,2

0,00 2,00

Normal

%LUC

2,8

0,00-4,00

Normal

#NE

1,2

x103/L

2,50 7,50

Rendah

#LY

0,63

x103/L

1,00 4,00

Rendah

#MO

0,10

x103/L

0,10 1,20

Normal

#EO

0,02

x103/L

0,00 0,50

Normal

#BA

x103/L

0,00 0,10

Normal

#LUC

0,06

x103/L

0,00-0,40

Normal

RBC

4,03

x106/L

4,0-5,2

Normal

HGB

11,0

g/dL

13,50 17,50

Rendah

HCT

33,7

36,00 46,00

Rendah

31

MCV

83,5

fL

80,00 100,00

Normal

MCH

27,5

Pg

26,00 34,00

Normal

MCHC

32,6

g/dL

31,00 36,00

Normal

CHCM

30,3

g/dL

30,00-37,00

Normal

RDW

14,6

11,60 14,80

Tinggi

g/dL

2,20-6,80

Normal

HDW

3,85

PLT

x103/L

140,00 440,00

Rendah

MPV

7,9

fL

6,80 10,00

Normal

B. Kimia Klinik (01/08/2015)


Parameter

Hasil

Unit

Nilai Rujukan

Keterangan

SGOT

74,6

U/L

11,00-33,00

Tinggi

SGPT

101,6

U/L

11,00-50,00

Tinggi

Bun

11

mg/dL

8,00-23,00

Normal

Kreatinin

0,6

mg/dL

0,50-0,90

Normal

Cholesterol

116

g/dL

140-199

Rendah

total
HDL

41

mg/dL

40-65

Normal

LDL

60

mg/dL

0-100

Normal

Trigliserida

87

mg/dL

0-150

Normal

Glukosa Acak

105

mg/dL

70-140

Normal

C. Immunologi (01/08/2015)
Parameter

Hasil

Unit

Nilai Rujukan

Keterangan

Ferritin

>2000

ng/mL

13-150

Tinggi

32

D. Foto Rontgen
Toraks PA (29-07-2015)

Interpretasi:
Cor

: besar dan bentuk normal

Pulmo : Tak tampak infiltrat atau nodul. Corakan bronkovaskular normal.


Sinus pleura kanan dan kiri tajam
33

Diaphragma kanan dan kiri normal


Tulang-tulang tak tampak kelainan
Kesan : Cor dan pulmo tak tampak kelainan
V.

DIAGNOSIS KERJA
Anemia Aplastik

VI.

Gum Bleeding (membaik)


Pansitopenia
Iron overload disorder

PLANNING
a) Perencanaan Terapi
-

Diet bebas TKTP

IVFD NaCl 0,9% 20 tpm

Total bed rest

Transfusi PRC stop kerana Hb > 10 mg/dl

Transfusi TC sampai dengan PLT = 20.103

Imuran 2x50mg PO

Deferasirox 1x1500 mg PO

b) Perencanaan Diagnostik
-

Pungsi bone marrow kalau perlu

c) Monitoring

VII.

Keluhan dan vital sign

Keseimbangan cairan

Cek DL kembali

Tanda-tanda pendarahan masif

PROGNOSIS
Vitally

: dubious ad bonam

Functionally

: dubious ad bonam

Sanationum

: dubious ad bonam
34

BAB V
PEMBAHASAN
Anemia aplastik merupakan anemia yang disertai oleh pansitopenia pada darah tepi yang
disebabkan oleh kelainan primer pada sumsum tulang dalam bentuk aplasia atau hipoplasia tanpa
adanya infiltrasi, supresi atau pendesakan sumsum tulang. Penyebab penyakit anemia aplastik
sebagian besar adalah idiopatik (50-70 %). Beberapa penyebab lain yang sering dikaitkan dengan
anemia aplastik adalah toksisitas langsung dan penyebab yang diperantarai oleh imunitas seluler.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pada pasien
perempuan, MM, 37 tahun, belum menikah, suku Bali, dapat ditegakkan diagnosis penyakit
anemia aplastik.
Anamnesis
Manifestasi klinis pada pasien dengan anemia aplastik dapat berupa:

Sindrom anemia :
-

Sistem kardiovaskuler : rasa lesu, cepat lelah, palpitasi, sesak napas intoleransi terhadap
aktivitas fisik, angina pectoris hingga gejala payah jantung.

Susunan syaraf : sakit kepala, pusing, telingga mendenging, mata berkunang kunang
terutama pada waktu perubahan posisi dari posisi jongkok ke posisi berdiri, iritabel,
lesu dan perasaan dingin pada ekstremitas.

35

Sistem pencernaan : anoreksia, mual dan muntah, flaturensi, perut kembung, enek di
hulu hati, diare atau obstipasi.

Sistem urogeniatal: gangguan haid dan libido menurun.

Epitel dan kulit : kelihatan pucat, kulit tidak elastis atau kurang cerah, rambut tipis dan
kekuning kuningan.

Gejala perdarahan : ptekie, ekimosis, epistaksis, perdarahan subkonjungtiva, perdarahan


gusi, hematemesis/melenaatau menorhagia pada wanita. Perdarahan organ dalam lebih
jarang dijumpai, namun jika terjadi perdarahan otak sering bersifat fatal.

Tanda-tanda infeksi : ulserasi mulut atau tenggorokan, selulitis leher, febris, sepsis atau
syok septik.

Melalui anamnesis terhadap pasien, ditemukan beberapa gejala-gejala klinis seperti berikut:

Sindrom Anemia, yaitu


o Keluhan lemas pada seluruh tubuh terus menerus sepanjang hari yang dirasakan
sejak 1 tahun sebelum masuk rumah sakit. Keluhan lemas ini sudah sering dirasakan
pasien dengan intensitas sedang hingga berat.
o Pasien juga mengeluh mengalami pusing sejak 1 tahun sebelum masuk rumah sakit.
Pusing dirasakan terus menerus sepanjang hari dan timbul bersamaan dengan
keluhan lemas. Pusing juga dirasakan hilang timbul dan sampai saat ini pasien masih
mengaku mengalami keluhan tersebut.

Tanda-tanda infeksi :
o Pasien juga mengatakan mengalami demam sejak 3 hari yang lalu dan demam
dikatakan tidak terlalu tinggi.

Gejala perdarahan :
o Adanya keluhan gusi berdarah yang pernah dirasakan pasien sejak 2 hari SMRS

Keluhan yang sama sudah mulai dirasakan oleh pasien sejak 1 tahun yang lalu dan sudah
didiagnosis anemia aplastik. Pasien telah berobat ke RS Sanglah dan telah mendapatkan
pengobatan anemia aplastik sejak 1.

Riwayat pendarahn pada retina kurang lebih 6 bulan yang lalu dan sudah mendapat terapi
oleh dokter spesialis mata.

36

Pemeriksaan Fisik
Dari tampilan fisik secara umum, pasien terlihat lemas dan tidak bertenaga. Dari tanda
vital didapatkan semuanya dalam batas normal. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya
konjunctiva mata yang pucat dan kulit tidak elastis atau kurang cerah. Dari gejala-gejala tersebut
di atas, dapat dicurigai adanya keadaan anemia.

Diagnostik
Kriteria diagnosis anemia aplastik berdasarkan International Agranulocytosisand Aplastic
Anemia Study Group (IAASG) adalah:
1. Satu dari tiga sebagai berikut :

Hb <10 g/dl atau Hct < 30%

Trombosit < 50x109/L

Leukosit < 3,5x109 /L

2. Retikulosit <30x109/L
3. Gambaran sumsum tulang :

Penurunan selularitas dengan hilangnya atau menurunnya semua sel hematopoeitik


atau selularitas normal oleh hiperplasiaeritroid fokal dengan deplesi seri granulosit
dan megakariosit.

Tidak adanya fobrosis yang bermakna atau infiltrasi neoplastik

4. Pansitopenia karena obat sitostakita atau radiasi terapeutik harus dieksklusi


Berdasarkan derajat pansitopenia darah tepi, anemia aplastik juga dapat diklasifikasikan menjadi
tidak berat, berat atau sangat berat. Resiko mortalitas dan morbiditas berkorelasi dengan derajat
keparahan sitopenia. Semakin berat derajat sitopenia tersebut, maka prognosis penyakit semakin
buruk. Sebagian besar kasus kematian pada anemia aplastik disebabkan oleh infeksi jamur,
sepsis bakterial atau pendarahan.
37

Tabel 2. Klasifikasi Anemia Aplastik


Anemia Aplastik Berat

Selularitas sumsum tulang

< 25 %, atau selularitas < 50% dengan


<30% sel sel hematopoetik

Sitopenia : sedikitnya 2 dari 3

Granulosit < 0,5x109/L

seri sel darah


Anemia Aplastik Sangat Berat

Trombosit < 20x109/L


Corrected reticulocite < 1%
Sama seperti di atas kecuali hitung

Anemia Aplastik Tidak Berat

neutrofil < 200/L


Sumsum tulang

hiposeluler

namun

sitopenia tidak memenuhi kriteria berat


Pada pasien didiagnosis dengan anemia aplastik, karena didapatkan beberapa kriteria yang sesuai
dengan IAASG (berdasarkan pemeriksaan darah lengkap tanggal 30 Juli 2015) :

Hb 7,40 g/dl atau Hct 21,4% (< 30%)

Trombosit 12,00 (< 50x109/L)

Leukosit 1,83 (< 3,5x109 /L)

Pasien telah didiagnosis anemia aplastik sejak 1 tahun yang lalu

Penatalaksanaan
Secara garis besar terapi untuk anemia aplastik terdiri atas :
38

1. Terapi kausal
Terapi kausal adalah usaha untuk menghilangkan agen penyebab. Tetapi sering hal ini
sulit dilakukan karena etiologinya yang tidak jelas atau penyebabnya yang tidak dapat
dikoreksi.
2. Terapi suportif
Terapi ini adalah untuk mengatasi akibat pansitopenia.
a. Untuk mengatasi infeksi antara lain :

Higiene mulut

Identifikasi sumber infeksi serta pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat.
Sebelum ada hasil tes sensitivitas, antibiotik yang biasa diberikan adalah
ampisilin, gentamisin, atau sefalosporin generasi ketiga.

Tranfusi granulosit konsentrat diberikan pada sepsis berat kuman gram negatif,
dengan neutropenia berat yang tidak memberikan respon pada antibiotika
adekuat.

b. Untuk mengatasi anemia

Tranfusi PRC (packet red cell) jika Hb < 8 g/dl atau ada tanda payah jantung
atau anemia yang sangat simtomatik. Koreksi sampai Hb 9-10 g/dl, tidak perlu
sampai Hb normal, karena akan menekan eritropoiesis internal.

c. Untuk mengatasi perdarahan

Tranfusi konsentrat trombosit jika terdapat perdarahan mayor atau trombosit <
20.000/mm3. Pemberian trombosit berulang dapat menurunkan efektivitas
trombosit karena timbulnya antibodi antitrombosit. Kortikosteroid dapat
mengurangi perdarahan kulit.

3. Terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang


Beberapa tindakan di bawah ini diharapkan dapat merangsang pertumbuhan sumsum
tulang :

Anabolik steroid : oksimetolon atau atanozol. Efek terapi diharapkan muncul dalam
6-12 minggu.

39

Kortikosteroid dosis rendah sampai menengah : prednison 40-100 mg/hr, jika dalam 4
minggu tidak ada perbaikan maka pemakaiannya harus dihentikan karena efek
sampingnya cukup serius.

GM-CSF atau G-CSF dapat diberikan untuk meningkatkan jumlah netrofil.

4. Terapi definitif
Terapi definitif adalah terapi yang dapat memberikan kesembuhan jangka panjang. Terapi
tersebut terdiri atas dua macam pilihan :
a. Terapi imunosupresif

Pemberian anti lymphocyte globuline : anti lymphocyte globulin (ALG) atau


anti thymocyte globuline (ATG). Pemberian ALG merupakan pilihan utama
untuk pasien yang berusia di atas 40 tahun.

Pemberian methylprednisolon dosis tinggi

b. Transplantasi sumsum tulang.


Transplantasi sumsum tulang merupakan terapi definitif yang memberikan harapan
kesembuhan, tetapi biayanya sangat mahal, memerlukan peralatan yang canggih,
serta adanya kesulitan tersendiri dalam mencari donor yang kompatibel.
Transplantasi sumsum tulang yaitu :

Merupakan pilihan untuk pasien usia < 40 tahun

Diberikan siklosporin A untuk mengatasi GvHD (graft versus host disease)


memberikan kesembuhan jangka panjang pada 60-70% kasus

Pada pasien ini, dilakukan penatalaksanaan, berupa :


Rawat inap (MRS) dan tirah baring total
Perawatan di RS pada pasien anemia aplastik dilakukan karena pasien dengan kondisi
sangat lemas dan mengalami pusing. Keadaan ini memberat ketika pasien melakukan
aktivitas. Oleh karena itu, pasien diharapkan untuk melakukan tirah baring total untuk
memperbaiki keadaan umum pasien dan mendapatkan perawatan yang lebih intensif di
RS. Selain itu, pasien mengalami pansitopenia, di mana kadar Hb 7,40 g/dl sehingga
40

memerlukan transfusi PRC, dan trombosit 12,00 x 10 9 g/dl sehingga perlu transfusi
trombosit pada pasien dengan target < 20,000 mm
NaCl 0,9% 20 tetes per menit
Pemilihan IVFD NaCl 0,9% 20 tetes/menit untuk memenuhi kebutuhan cairan sehingga
dapat mempertahankan kebutuhan nutrisi. Di mana kebutuhan cairan pada pasien sebesar
2300 cc.
Diet TKTP
Pada pasien anemia aplastik ini memerlukan diet tinggi kalori tinggi protein karena
diperlukan untuk memperbaiki keadaan umum pasien karena pasien mengeluh sangat
lemas. Asupan energi disesuaikan antara kalori yang masuk dan kalori yang dibutuhkan.
Jumlah asupan kalori yang diharapkan sebanyak 35 kkal/kgBB/hari dan asupan protein
1,2 2 gram/ kgBB/ hari.

Transfusi Darah
Indikasi transfusi darah dan komponen-konponennya adalah :
1. Anemia pada perdarahan akut setelah didahului penggantian volume dengan cairan.
2. Anemia kronis jika Hb tidak dapat ditingkatkan dengan cara lain.
3. Gangguan pembekuan darah karena defisiensi komponen.
4. Plasma loss atau hipoalbuminemia jika tidak dapat lagi diberikan plasma subtitute
atau larutan albumin.
Dalam pedoman WHO (Sibinga, 1995) disebutkan :
1. Transfusi tidak boleh diberikan tanpa indikasi kuat.
2. Transfusi hanya diberikan berupa komponen darah pengganti yang hilang/kurang.
Berdasarkan pada tujuan di atas, maka saat ini transfusi darah cenderung memakai
komponen darah disesuaikan dengan kebutuhan. Misalnya kebutuhan akan sel darah
merah, granulosit, trombosit dan plasma darah yang mengandung protein dan faktorfaktor pembekuan. Diperlukan pedoman dalam pemberian komponen-komponen darah
41

untuk pasien yang memerlukannya, sehingga efek samping transfusi dapat diturunkan
seminimal mungkin.
o Transfusi PRC 2 kolf perhari s/d Hb 10 g/dL
Pemberian satu unit PRC akan meningkatkan hematokrit 3-7%. Indikasi pemberian
PRC adalah
a. Penderita dengan kehilangan darah >20% dari volume darah dan volume darah
yang hilang lebih dari 1000 ml. Misalnya volume darah yang hilang selama
masa perioperatif baik pada operasi darurat maupun elektif, ataupun
disebabkan oleh trauma.
b. Hemoglobin <10 gr/dl dengan darah autolog.
c. Hemoglobin <12 gr/dl dan tergantung pada ventilator
d. Penderita yang tergantung transfusi PRC secara teratur seperti seperti pada
talasemia berat, anemia aplastik dan anemia sideroblastik, gagal sumsum
tulang karena leukemia, pengobatan sitotoksik, atau infiltrat keganasan
e. Transfusi sel darah merah hampir selalu diindikasikan pada kadar Hemoglobin
(Hb) <8 g/dl, terutama pada anemia akut. Transfusi dapat ditunda jika pasien
asimptomatik dan/atau penyakitnya memiliki terapi spesifik lain, maka batas
kadar Hb yang lebih rendah dapat diterima.
f. Transfusi sel darah merah dapat dilakukan pada kadar Hb 7-10 g/dl apabila
ditemukan hipoksia atau hipoksemia yang bermakna secara klinis dan
laboratorium.
g. Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hb 10 g/dl, kecuali bila ada indikasi
tertentu, misalnya penyakit yang membutuhkan kapasitas transport oksigen
lebih tinggi (contoh: penyakit paru obstruktif kronik berat dan penyakit jantung
iskemik berat).
h. Transfusi pada neonatus dengan gejala hipoksia dilakukan pada kadar Hb 11
g/dL; bila tidak ada gejala batas ini dapat diturunkan hingga 7 g/dL (seperti
pada anemia bayi prematur). Jika terdapat penyakit jantung atau paru atau yang

42

sedang membutuhkan suplementasi oksigen batas untuk memberi transfusi


adalah Hb 13 g/dL.
Tranfusi PRC (packet red cell) diberikan pada pasien ini karena Hb < 8 g/dl dengan
anemia yang sangat simtomatik. Pasien memiliki Hb awal 7,40 g/dl sehingga
diperlukan transfusi PRC untuk memperbaiki oksigenasi jaringan dan alat-alat tubuh.
Koreksi sampai Hb 10 g/dl, tidak perlu sampai Hb normal karena akan menekan
eritropoiesis internal.
o Transfusi trombosit s/d plt 20.000 dan perdarahan berhenti
Transfusi trombosit diperlukan dengan indikasi berupa :
a. Pada kasus perdarahan yang disebabkan oleh kekurangan trombosit
(trombositopenia).
b. Setiap perdarahan spontan atau suatu operasi besar dengan jumlah
trombositnya

kurang

dari

50.000/mm3

misalnya

perdarahan

pada

trombocytopenic purpura, leukemia, anemia aplastik, demam berdarah, DIC


dan aplasia sumsum tulang karena pemberian sitostatika terhadap tumor ganas.

c. Gagal sumsum tulang yang disebabkan oleh penyakit atau pengobatan


mielotoksik.
d. Kelainan fungsi trombosit, yaitu berupa kelainan fungsi trombosit yang
diturunkan seperti pada penyakit Glanzmann, sindrom Bernard-Soulier, dan
defisiensi tempat penyimpanan trombosit. Penderita defek fungsi trombosit
yang didapat, sekunder terhadap mieloma, paraproteinemia dan uremia.
e. Purpura trombositopenia autoimun, walaupun kemungkinan tidak efektif
karena trombosit yang ditransfusikan hancur oleh autoantibodi yang sirkulasi.
Transfusi konsentrat trombosit pada kasus ini karena terdapat jumlah trombosit <
50.000/mm3. Pada pasien ditemukan trombosit 12.000/mm3 dengan pendarahan
spontan pada gusi sehingga diperlukan transfusi trombosit pada pasien.
43

Immuran 2 x 50mg (po)


Obat ini digunakan untuk mengubati penyakit autoimmun. Bertindak sebagai obat
penekan autoimmun.
Diferasirox 1 x 1500mg (po)
Digunakan untuk menyingkirkan kelebihan besi di dalam tubuh pada pasien yang sering
menerima transfusi darah dalam kuantiti yang besar.
Penunjang Diagnosis :
-

Pungsi bone marrow


Sebuah proses pemeriksaan sumsung tulang untuk periksa jika tedapat sel sel kanker.
Pemeriksaan ini juga dilakukan jika segala cara telah dilakukan seperti pemberian obat
dan pemeriksaan darah tidak menunjukkan efek kebaikan pada pasien.

Monitoring :
Monitoring terhadap keluhan, vital sign dan pemeriksaan DL secara serial dilakukan untuk
memantau kondisi pasien dan melihat efektivitas dari pengobatan yang dilakukan.

BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
1. William DM. Pancytopenia, aplastic anemia, and pure red cell aplasia. In: Lee GR, Foerster
J, et al (eds). Wintrobes Clinical Hematology 9th ed. Philadelpia-London: Lee& Febiger,
1993;911-43.
2. Salonder H. Anemia aplastik. In: Suyono S, Waspadji S, et al (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta. Balai Penerbit FKUI, 2001;501-8.
3. Bakshi

S.

Aplastic

Anemia.

Available

http://www.emedicine.com/med/ topic162.htm

44

in

URL:

HYPERLINK

4. Young NS, Maciejewski J. Aplastic anemia. In: Hoffman. Hematology : Basic Principles and
Practice 3rd ed. Churcil Livingstone, 2000;153-68.
5. Niazzi M, Rafiq F. The Incidence of Underlying Pathology in Pancytopenia. Available in
URL: HYPERLINK http://www.jpmi.org/org_detail.asp
6. Supandiman I. Pedoman Diagnosis dan Terapi Hematologi Onkologi Medik 2003. Jakarta.
Q-communication, 1997;6.
7. Supandiman I. Hematologi Klinik Edisi kedua. Jakarta: PT Alumni, 1997;95-101
8. Young NS, Maciejewski J. The Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia. Available in
URL: HYPERLINK http://content.nejm.org/cgi/content/fill/336/19/
9. Shadduck RK. Aplastic anemia. In: Lichtman MA, Beutler E, et al (eds). William
Hematology 7th ed. New York : McGraw Hill Medical; 2007.
10. Smith EC, Marsh JC. Acquired aplastic anaemia, other acquired bone marrow failure
disorders and dyserythropoiesis. In: Hoffbrand AV, Catovsky D, et al (eds). Post Graduate
Haematology 5th edition. USA: Blackwell Publishing, 2005;190-206.
11. Paquette R, Munker R. Aplastic Anemias. In: Munker R, Hiller E, et al (eds). Modern
Hematology Biology and Clinical Management 2 nd ed. New Jersey: Humana Press, 2007 ;
207-16.
12.

Young NS. Aplastic anemia, myelodysplasia, and related bone marrow failure syndromes. In:
Kasper DL, Fauci AS, et al (eds). Harrisons Principle of Internal Medicine. 16th ed. New
York: McGraw Hill, 2007:617-25.

13. Hillman RS, Ault KA, Rinder HM. Hematology in Clinical Practice 4 th ed. New York: Lange
McGraw Hill, 2005.
14. Linker CA. Aplastic anemia. In: McPhee SJ, Papadakis MA, et al (eds). Current Medical
Diagnosis and Treatment. New York: Lange McGraw Hill, 2007;510-11.
15. Solander H. Anemia aplastik In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al (eds). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FK UI, 2006;637-43.

45

Anda mungkin juga menyukai