Semester II 2014/2015
Judul
KARAKTERISASI ELEKTROKIMIA UNTUK MOLTEN
CARBONATE FUEL CELL (MCFC)
Kelompok B1.1314.K.03
Ivan Rene Soejatmiko
(13011052)
Valerius Vandru Hartanto (13011057)
Pembimbing
Dr. Hary Devianto
Dr. Dwiwahju Sasongko
LEMBAR PENGESAHAN
TK4093 PENELITIAN TEKNIK KIMIA II
Semester II 2014/2015
KARAKTERISASI ELEKTROKIMIA UNTUK MOLTEN
CARBONATE FUEL CELL (MCFC)
Kelompok B1.1314.K.03
Ivan Rene Soejatmiko
Valerius Vandru Hartanto
(13011052)
(13011057)
Catatan Pembimbing
(Pembimbing 2)
SURAT PERNYATAAN
TK4092 PENELITIAN TEKNIK KIMIA I
Semester II Tahun 2014/2015
: B1.1314.K.03
(13011052)
(13011057)
Tanda tangan
Tanda tangan
3B1.1314.K.03
5B1.1314.K.03
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya sehingga
laporan penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Laporan penelitian ini disusun
memenuhi salah satu syarat kelulusan dari Program Studi Teknik Kimia Institut
Teknologi Bandung. Penulis juga hendak mengucapkan terima kasih kepada para pihak
yang telah membantu dalam penyusunan laporan penelitian ini, yaitu:
1. Dr. Hary Devianto dan Dr. Dwiwahju Sasongko selaku dosen pembimbing yang
telah memberikan dorongan baik moral maupun materi selama proses
penyusunan dan penulisan laporam penelitian ini.
2. Dr. Isdiriayani Nurdin, Dr. Ardiyan Harimawan dan Dr. Pramujo Widiatmoko
yang telah memberikan ilmu, saran serta arahan kepada penulis selama proses
penulisan proposal penelitian ini berlangsung.
3. Dr. Yogi Wibisono Budhi selaku koordinator mata kuliah TK 4093 Penelitian
Teknologi Kimia II atas bimbingannnya dalam penulisan proposal penelitian.
4. Keluarga dan teman teman yang telah mendukung penulis dalam penyelesaian
laporan ini.
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak agar
penulisan laporan penelitian selanjutnya dapat lebih baik. Penulis juga berharap laporan
ini dapat memberikan manfaat dan menambah wawasan mengenai sumber alternatif
energi terbarukan yang ramah lingkungan.
DAFTAR ISI
Halaman
II
Lembar Pengesahan
Surat Pernyataan
Abstrak
Abstract
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar
Pendahuluan
i
ii
iii
iv
v
vi
ix
x
1
1.3 Tujuan
5
7
2.1.1
10
2.1.2
12
2.1.3
12
2.1.4
13
2.1.5
13
2.2 Biomassa
14
2.3 Gasifikasi
15
2.3.1
2.3.2
2.3.3
Definisi Gasifikasi
Proses Gasifikasi
Produk Gasifikasi
15
16
17
18
18
19
20
20
22
24
III
Rencana Penelitian
24
27
3.1 Metodologi
27
3.2 Percobaan
28
3.2.1
3.2.2
3.2.3
3.2.4
28
Bahan
Alat
Prosedur
Variasi
28
32
33
3.3.1
34
34
Electron Microscopy)
3.3.2
nalisis
Karakteristik
A
Fisik
Anoda
dengan
XRD
Diffraction)
3.3.3
nalisis Karakteristik Kimia Anoda
3.3.4
IV
35
(X-Ray
A
35
35
37
4.1 Tahap Awal Pembuatan Anoda Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC)
37
37
41
42
46
47
48
51
54
57
5.1 Kesimpulan
57
5.2 Saran
Daftar Pustaka
57
59
Daftar Simbol
Lampiran A PROSEDUR OPERASI ALAT PERCOBAAN DAN MSDS
Lampiran B HAZARD AND OPERABILITY (HAZOP) ALAT
Lampiran C
Lampiran D
PERCOBAAN
INSTRUKSI KERJA
JOB SAFETY ANALYSIS
63
65
69
71
73
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1
9B1.1314.K.03
Tabel 2.2
Tabel 2.3
Tabel 2.4
Tabel 3.1
Tabel 4.1
Tabel 4.2
Tabel 4.3
Tabel 4.4
Tabel 4.5
operasi
Tumbuhan penghasil energi di Indonesia
Komposisi produk hasil gasifikasi
Penelitian terkait mengenai MCFC yang telah dilakukan
Variasi penelitian
Komposisi air yang harus ditambahkan pada sampel anoda
Massa jenis komponen
Hasil uji porositas sampel anoda
Hasil pengukuran hambatan internal menggunakan ohm meter
Hubungan konduktivitas elektrik dengan tebal lapisan NiO
15
17
24
34
39
40
46
55
56
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1
Gambar 2.1
Gambar 2.2
Gambar 2.3
Indonesia
Skema fuel cell
Prinsip operasi dari MCFC
Diagram alir pembuatan anoda dengan menggunakan
7
11
19
Gambar 2.4
19
21
Gambar 2.6
22
Gambar 2.7
23
Gambar 3.1
27
Gambar 3.2
29
30
30
Gambar 3.5
Oven
31
Gambar 3.6
Furnace
32
Gambar 3.7
35
Gambar 4.1
38
tampak atas; (b) < 8 tetes tampak samping; (c) >8 tetes
tampak atas; (d) >8 tetes tampak samping
Gambar 4.2
39
B1.1314.K.03
11
41
Gambar 4.4
43
44
44
setelah sintering.
Gambar 4.7
45
Gambar 4.8
48
perbesaran 10000x
Gambar 4.9
49
50
Gambar 4.11
50
Gambar 4.12
51
4oC/menit
Gambar 4.13
52
Gambar 4.14
53
B1.1314.K.03
13
BAB I
PENDAHULUAN
1B1.1314.K.03
Gambar 1.1. Grafik perbandingan produksi dan konsumsi minyak harian Indonesia
(Sumber : BP Statistical Review of World Energy 2011)
Di antara sekian banyak sumber energi alternatif terbarukan, fuel cell merupakan
sumber energi yang paling menjanjikan sebagai substitusi bahan bakar fosil. Fuel cell
merupakan bahan bakar hidrogen (BBH) yang bersifat ecoenergy karena hasil dari
reaksinya merupakan air dan energi listrik serta panas. Fuel cell bekerja dengan
memanfaatkan zat dari luar seperti hidrogen dan oksigen. Hidrogen dihasilkan melalui
proses tertentu dan disimpan sedangkan oksigen berasal dari udara. Hidrogen ketika
dicampur dengan oksigen akan terjadi reaksi pembentukan air yang membebaskan
energi. Energi tersebut dikonversi menjadi listrik hingga mendekati 100% dan sisanya
adalah panas.
Hidrogen adalah unsur paling melimpah dengan persentase kira-kira 75% dari total
massa unsur alam semesta. Senyawa hidrogen relatif langka dan jarang dijumpai secara
alami di bumi dan biasanya dihasilkan secara industri dari berbagai senyawa lain seperti
hidrokarbon, contonya metana (Muliawati, 2008). Hidrogen dapat diperoleh dari proses
tertentu seperti elektrolisis air, namun hal tersebut akan menambah biaya operasional
karena harus menambah unit lain sebagai penghasil hidrogen. Hidrogen secara industri
dihasilkan dari proses gasifikasi bahan bakar fosil namun hasil gasifikasi bahan bakar
fosil akan mencemari lingkungan karena menghasilkan gas CO x, NOx, dan SOx.
Alternatif lain untuk memperoleh hidrogen yang digunakan untuk fuel cell adalah dari
pemanfaatan kembali gas sintesis hasil gasifikasi biomassa sehingga meningkatkan
efisiensi keseluruhan proses industri.
Salah satu jenis fuel cell yang potensial untuk dikembangkan yaitu Molten Carbonate
Fuel Cell (MCFC) yang termasuk fuel cell bertemperatur tinggi yang beroperasi pada
suhu 600 650oC. MCFC pertama kali dikembangkan oleh ilmuwan dari Belanda G. H.
J. Broers dan J. A. A. Ketelaar pada akhir tahun 1950an karena mereka menemukan
adanya keterbatasan pada fuel cell jenis lain. Pada tahun 1960 mereka menemukan
melaporkan bahwa mereka membuat sel yang dapat aktif selama 6 bulan dengan
campuran lithium-, natrium- dan atau kalium karbonat. Pada pertengahan tahun 1960,
the US Armys Mobility Equipment Research and Development Center (MERDC) di Ft.
Belvoir menguji beberapa molten carbonate sel yang dibuat oleh Texas Instruments.
Rentang ukurannya dari 100 W sampai 1000 W keluaran dan dirancang untuk
menjalankan combat gasoline menggunakan alat pendukung untuk mengekstraksi
hidrogen. MCFC memiliki berbagai keunggulan diantaranya tidak membutuhkan
material mahal seperti Platinum (Pt) karena dapat digantikan dengan Nikel (Ni) yang
jauh lebih ekonomis, dapat menggunakan gas sintesis hasil gasifikasi biomassa serta
dapat menghasilkan efisiensi hingga 80% apabila didukung dengan siklus cogeneration.
Penggunaan Molten Carbonate Fuel Cell sudah mulai diaplikasikan sejak awal tahun
1990an di Jepang. MCFC dapat menghasllkan daya sebesar 1000 Watt dan dapat
berlangsung selama 10000 jam. Sudah 10 industri di Jepang yang menggunakan MCFC
sebagai sumber listrik. Pada tahun 1997 di Miramar Marine Corps Air Station, San
Diego dipasang 250 kW MCFC dan Southern Co. bekerja sama dengan Mercedes Bens
(US) mendirikan 250 kW pabrik MCFC di Mercedes New Museum and Visitor Center
di Tuscaloosa, Alabama,
Ancol Project merupakan salah satu aplikasi pengembangan MCFC di Indonesia
dengan skala 300 kW. Proyek ini melibatkan kerja sama dengan POSCO Power pada
akhir tahun 2012. POSCO Power akan menggabungkan modul fuel cell dengan sumber
3B1.1314.K.03
tenaga lokal dan memasang pembangkit listrik berbasis fuel cell di Ancol, Jakarta.
Keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan pembangkit listrik berbasis MCFC
adalah ramah lingkungan, efisien dan dapat diandalkan. POSCO Power akan memulai
proyek dengan skala mega watt (MW) di Asia Tenggara, mulai dari Indonesia kemudian
Thailand, Malaysia dan Singapura (Aldous, 2011).
berbahaya. Jika ditinjau dari segi ekonomi, metode ini cenderung membutuhkan waktu
yang panjang dan biaya yang tinggi sehingga metode ini tergolong tidak ekonomis.
Untuk menjawab permasalahan di atas, dilakukan pengembangan metode dry casting
yang menggunakan teknologi sederhana dan lebih murah untuk membuat anoda MCFC
yang memiliki rasio logam nikel-krom yang optimum sehingga proses pembuatannya
dapat lebih terjangkau dan ramah lingkungan serta penggunaan bahan baku logam nonmulia sebagai elektroda MCFC.
1.3. Tujuan
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengkarakterisasi reaksi elektrokimia Molten
Carbonate Fuel Cell (MCFC) yang dibuat menggunakan bahan logam non-mulia.
Tujuan khusus penelitian ini adalah mengkarakterisasi anoda MCFC yang dibuat
dengan menggunakan metode dry casting untuk memperoleh rasio nikel-krom dengan
binder dan suhu sintering yang optimum untuk menghasilkan anoda yang baik.
1.4.RuangLingkup
Percobaan dilakukan pada tekanan ruang, 1 atm dan temperatur operasi 650 oC dengan
melakukan variasi rasio massa logam terhadap massa binder serta temperatur sintering
anoda MCFC. Anoda MCFC yang digunakan merupakan campuran logam Ni dengan
logam Cr dengan komposisi 90% Ni dan 10% Cr. Karakterisasi fisik anoda MCFC
menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM), X-Ray Diffraction (XRD) dan
ASTM C373-88 sedangkan karakterisasi elektrokimia anoda MCFC dengan cara
mengukur hambatan internal anoda. Karakteristik anoda hasil sintesis akan
dibandingkan dengan anoda standar yang diperoleh dari Institusi Riset Ilmu
Pengetahuan Korea.
5B1.1314.K.03
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tabel 2.1. Klasifikasi fuel cell berdasarkan jenis elektrolit dan temperatur operasi.
(Suhada, 2001)
Temperatur
Jenis
Elektrolit
Karakteristik
Penggunaan
Operasi (oC)
Alkaline (AFC) Kalilauge
60 120
Efisiensi energi Pesawat luar
(KOH)
tinggi,
memiliki angkasa,
kepekaan
60 100
terhadap CO2
Kerapatan energi Kendaraan,
Polymer
Polymer
Exchange
electrolyte
tinggi,
Membrane
(H+)
kepekaan
(PEM)
kendaraan
memiliki stasiun
pembangkit
Phosphoric
Phosphor
Acid (H+)
160 200
100ppm)
Efisiensi
energi Stasiun
terbatas,
(PAFC)
pea pembangkit
Molten
Carbonate
Carbonate
pembangkit
(CO32-)
energi
Fuel
Cell
500 650
1.5% v/v)
Rentan korosi
Molten
(MCFC)
listrik,
stasiun
pembangkit
Solid
Oxyde
Fuel
Cell
(SOFC)
Lapisan
800 1000
Efisiensi
energi panas
sistem Pembangkit
Keramik
(O2-)
operasi
diturunkan
panas,
perlu penggabung
stasiun
pembangkit
dengan turbin
gas
Secara umum, jenis elektrolit yang terdapat dalam fuel cell akan menentukan jenis sel
bahan bakar, jenis reaksi elektrokimia yang terjadi didalamnya, jenis katalis yang
9B1.1314.K.03
digunakan, jenis bahan bakar yang diperlukan serta rentang temperatur kerja fuel cell
(Chris dan Scott, 2003).
Katoda :
energi
listrik
dalam
pesawat.
Union
Carbide
Corp.
(UCC)
mengembangkan AFC untuk perjalanan luar angkasa sejak akhir 1950 hingga awal
1970. UCC menggunakan karbon sebagai elektrodanya dan cairan kaustik sebagai
elektrolitnya dengan nikel sebagai current collector.
Reaksi yang terjadi di AFC adalah :
Anoda :
Katoda :
Anoda:
Katoda:
makhluk hidup yang ada di permukaan bumi, dimana sumber dari segala energi dalam
biomassa berasal dari matahari. Biomassa mengandung energi tersimpan yang
jumlahnya cukup banyak. Biomassa dimanfaatkan sebagai sumber bahan bakar nabati
(biofuel), dan dari bahan bakar nabati dapat dikembangkan lagi menjadi biokerosen
(minyak tanah), biodiesel, dan bioetanol. Biomassa adalah satu satunya sumber energi
terbarukan yang dapat diubah menjadi bahan bakar cair (biofuel) yang dapat digunakan
sebagai bahan bakar kendaraan bermotor. Jenis biofuel yang banyak dikenal adalah
biodiesel, biogas, dan bioetanol.
Indonesia mempunyai potensi biomassa yang besar yang dapat menghasilkan biofuel
karena sumber daya hayati yang dimiliki baik di darat maupun di perairan. Menurut
penelitian ada beberapa biomassa yang dapat dimemiliki potensi menjadi bahan bakar
alternatif, yaitu :
1. Kelapa sawit, jarak pagar, sirsak, srikaya, dan kapuk sebagai sumber bahan
bakar pengganti solar (minyak diesel).
2. Tebu, jagung, sagu, singkokng, ubi jalar, dan ubi-ubian yang lain sebagai sumber
bahan bakar pengganti premium.
3. Azolla dan alga memiliki potensi sebagai sumber bahan bakar pengganti minyak
tanah dan minyak bakar untuk penerbangan.
Beberapa tumbuhan yang memiliki potensi sebagai penghasil energi di Indonesia
disajikan dalam Tabel 2.2.
Selain dapat diolah menjadi biofuel, biomassa dapat digasifikasi. Gasifikasi merupakan
proses yang mengubah biomassa padat menjadi gas sintesis atau gas alam yang mudah
terbakar dengan menggunakan uap panas. Proses gasifikasi dapat mengubah hampir
semua bahan organic padat menjadi gas bakar bersih atau netral. Gas hasil gasifikasi
dapat digunakan sebagai pembangkit listrik, sumber energi, maupun sebagai pamanas.
Gas yang dihasilkan pada gasifikasi biomassa disebut dengan gas sintesis yang dominan
dengan gas H2, CO, dan CH4. Bahan bakar yang umumnya digunakan untuk gasifikasi
adalah bahan bakar padat seperti batubara.
Tabel 2.2. Tumbuhan penghasil energi di Indonesia. (Sumber: Business Week edisi 15
Maret 2006)
Jenis Tumbuhan
3.600-4.000
33.900-37.700
2.100-2.800
19.800-26.400
1.800-2.700
17.000-25.500
2.450
16.000
1.200-2.000
11.300-18.900
1.020
6.600
2.3. Gasifikasi
Rangkaian proses ini terjadi dalam beberapa reaksi selama proses gasifikasi, reaksireaksi tersebut adalah (Higman dan Burgt, 2008):
1. 2C + O2 2CO
2. C + O2 CO2
3. C + CO2 2CO (Boudouard reaction)
4. CO + H2O CO2 + H2 (shift reaction)
5. C + H2O CO + H2 (water gas reaction)
6. C + 2H2 CH4
7. 2H2 + O2 2H2O
8. CO + 2H2 CH3OH
9. CO + 3H2 CH4 + H2O (reaksi metanasi)
10. CO2 + 4H2 CH4 + 2H2O
11. C + 2H2O 2H2 + CO2
12. 2C + H2 C2H2
13. CH4 + 2H2O CO2 + 4H2 (steam methane reforming reaction)
Proses gasifikasi secara garis besar terdiri dari empat tahap, yaitu pengeringan, pirolisis,
pembakaran atau oksidasi, dan reduksi (Capart dkk., 1980). Gasifikasi dilakukan dalam
tahapan yang terpisah hingga dapat menyalakan api dan mempertahankan gas yang
mudah terbakar dalam bentuk gas lalu mengalirkan dalam gasifier pada temperatur
tertentu yang berbeda pada masing-masing tahapan. Proses pengeringan, pirolisis, dan
reduksi bersifat endotermik, sedangkan proses oksidasi bersifat eksotermik.
Proses gasifikasi dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu small industrial-scale
gasifier, entrained flow gasifiers, fluidised bed gasifiers, dan sistem gabungan (hybrid).
Pemilihan reaktor gasifikasi didasari oleh beberapa faktor seperti kondisi umpan dan
kondisi reaksi. Hasil keluaran dari reaktor gasifikasi berupa gas panas.
Umpan
H2
CO
CO2
H2O
CH4
C2+
Tar
H2S
O2
NH3
N2
H2/CO
Panas
pembakaran
(MMBtu/ft3)
Jenis Gasifier
BFB
Bervariasi
5-16
13-27
12-40
<18
3-11
<3
<0,11
~0
<0,2
0
13-56
0,2-1,6
CFB
Bervariasi
7-20
9-22
11-16
10-14
<9
<4
<1
~0
0
0
46-52
0,6-1,0
MCTI
Biomassa (kayu)
14,9
46,5
14,6
0
17,8
6,2
0
0
0
0,3
120-389
120-224
538
Produk
gasifikasi
terdapat
dalam
fasa, yaitu
padat,
cair, dan
gas.
Produk
padat
berupa arang, produk cair berupa minyak dan tar, dan produk utama berupa gas yang
mengandung karbon monoksida, karbon dioksida, hidrogen, metana, dan sedikit
hidrokarbon lainnya, jika digunakan udara sebagai oksidator maka juga akan terdapat
nitogen dan air.
Produk gas dari gasifikasi dapat berupa gas dengan kandungan energi tinggi, sedang,
dan rendah. Gas dengan kandungan energi tinggi mengandung metana murni, gas
dengan kandungan energi rendah sebagian besar mengandung karbon monoksida dan
hidrogen, dan gas dengan kandungan energi rendah mengandung sekitar 50% gas
nitrogen, dengan jumlah bahan bakar seperti hidrogen dan karbon monoksida yang lebih
sedikit, serta mengandung karbon dioksida dan metana. Komposisi produk hasil
gasifikasi disajikan dalam Tabel 2.3.
luas permukaan yang luas. Serbuk keramik mentah dan agen pendisspersi didispersikan
dalam larutan dan dicampur dengan sistem binder organik. Selama proses pengeringan
cairan pendispersi akan menguap saat ketebalan tape berkurang. Tape casting
merupakan salah satu teknologi pembuatan elektroda pada fuel cell bertemperatur
tinggi. Kelebihan dari metode tape casting adalah
lembaran keramik yang memiliki permukaan yang luas dengan baik. Tujuan metode
bertemperatur tinggi adalah membuat lembar elektroda berdimensi tertentu yang
memberikan unjuk kerja optimal (Jingtao dkk., 2010).
Pembuatan elektroda dengan metode tape casting dilakukan dengan mencampurkan
bahan organic dan binder lalu digiling dengan ball milling untuk mendapat karakteristik
campuran yang baik. Tape casting dilakukan pada temperatur 35 oC. Lembaran
elektroda disusun dengan arah yang berbeda kemudian dilapisi elektrolit dan ditekan
pada tekanan 35 kN pada temperatur 70 oC. Kemudian hasilnya dikeringkan pada
temperatur 100 oC selama 24 jam. Diagram alir pembuatan anoda dari campuran Ni
dengan menggunakan metode tape casting ditunjukkan pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3. Diagram alir pembuatan anoda dengan menggunakan metode tape casting.
(Mingoo dkk., 2012)
Gambar 2.4. Diagram alir pembuatan anoda dengan menggunakan metode dry casting.
(Mingoo dkk., 2012)
2.5. Karakterisasi Anoda Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC)
Karakterisasi anoda pada MCFC dapat dilakukan dengan dua metode yaitu fisik dan
kimia. Karakterisasi fisik pada anoda bertujuan untuk mengetahui sifat fisik anoda
seperti komposisi material, porositas dan struktur mikronya sedangkan karakterisasi
kimia pada anoda bertujuan untuk melihat kelakuan reaksi kimia dalam anoda.
Karakterisasi fisik dapat dilakukan dengan menggunakan metode Scanning Electron
Microscopy (SEM), X-Ray Diffraction serta uji porositas dengan menggunakan standar
B1.1314.K.03
19
American Society for Testing and Material (ASTM). Karakterisasi secara kimia dapat
dilakukan dengan menggunakan ohm meter.
Elektron yang digunakan sebagai pemindai akan dipercepat dengan memberikan beda
potensial. Untuk memusatkan arus elektron yang memilik sudut yang cukup besar
digunakan lensa elektromagnetik. Elektron yang terfokuskan ini akan mengenai seluruh
permukaan sampel, lalu sampel akan menghasilkan elektron baru yang akan diterima
oleh detektor dan dikirim ke monitor.
B1.1314.K.03
21
Sinar X dapat digunakan untuk tujuan pemeriksaan yang tidak merusak objek yang
diteliti baik itu berupa material maupun manusia. Sinar X dapat menghasilkan pola
difraksi tertentu yang dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif pada
material. Saat suatu material dikenai sinar X, maka intensitas sinar yang ditransmisikan
lebih rendah dibandingkan intensitas sinar yang datang. Hal ini disebabkan karena
adanya penyerapan oleh material dan juga penghamburan oleh atom-atom yang
terkandung dalam material tersebut. Berkas sinar X yang dihamburkan ada yang saling
menghilangkan karena fasanya sama sedangkan berkas sinar X yang saling menguatkan
disebut dengan difraksi. Teknik X-Ray Diffraction digunakan untuk mengidentifikasi
fasa kristalin dalam material dengan menentukan parameter struktur kisi dan untuk
mendapatkan ukuran partikel.
Gambar 2.6. Difraksi sinar X oleh lapisan atom pada material. (Sumber:
http://www.spec2000.net/09-xrd.htm)
Difraksi sinar X terjadi pada hamburan elastis foton-foton sinar X oleh atom dalam
sebuah kisi periodik. Hamburan monokromatis sinar X dalam fasa tersebut memberikan
interferensi yang saling menguatkan (konstruktif). Persamaan Bragg merupakan
persamaan dasar yang digunakan dalam metode XRD, yaitu:
n = 2d sin
(2.1)
Berdasarkan persamaan Bragg, apabila sinar X dijatuhkan pada sampel material, maka
lapisan pada material tersebut akan membiaskan sinar X yang panjang gelombangnya
sama dengan jarak antar kisi dalam kristal tersebut. Sinar yang dibiaskan ditangkap oleh
detektor yang kemudian dibaca sebagai puncak difraksi. Semakin banyak lapisan pada
material, makin kuat intensitas pembiasan yang dihasilkan. XRD terdiri dari tiga unit
utama yaitu tabung sinar X, tempat objek yang ingin diteliti dan detektor sinar X.
B1.1314.K.03
23
(W 3 W 1)
(W 3 W 2)
(2.2)
Nasution,
R., 2013
Feng dkk.,
2010
Tabel 2.4. Penelitian terkait mengenai MCFC yang telah dilakukan (lanjutan).
Penulis
Kesamaan terkait
Hasil dan kesimpulan
Iaquaniello
dan
Mangiapane
, 2006
Yunsung
dkk., 2006
Tomasi
dkk., 2006
B1.1314.K.03
25
Penggunaan
campuran
logam Ni sebagai anoda
MCFC
Tabel 2.4. Penelitian terkait mengenai MCFC yang telah dilakukan (lanjutan).
Penulis
Kesamaan terkait
Hasil dan kesimpulan
Donolo dkk.,
2005
Morita dkk.,
2004
BAB III
RENCANA PENELITIAN
3.1. Metodologi
Secara garis besar, penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yaitu:
1. Tinjauan pustaka
2. Penentuan variasi penelitian
3. Persiapan alat dan bahan
4. Pembuatan anoda
5. Karakterisasi fisik dan kimia anoda
6. Pembuatan laporan
Diagram alir pelaksanaan metodologi penelitian yang akan dilakukan disajikan pada
Gambar 3.1.
B1.1314.K.03
27
3.2.1. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah:
1. Serbuk campuran logam Ni dan logam Cr
Anoda yang digunakan dalam penelitian dibuat dengan menggunakan campuran logam
Ni dan Cr dengan perbandingan 90% Ni dan 10% Cr dengan ukuran 3-5 mikron.
2. Binder
Binder digunakan untuk memperkuat ikatan antar campuran logam Ni dan Cr. Binder
yang digunakan dalam penelitian adalah polyvinyl alcohol (PVA).
3.2.2. Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah:
1. Cetakan dry casting
Cetakan dry casting yang digunakan merupakan silinder berbahan dasar logam yang
berlubang pada bagian tengahnya. Desain cetakan dry casting dapat dilihat pada
Gambar 3.2. dan 3.3.
B1.1314.K.03
29
Gambar 3.2. Alat dry casting: 1. alat penekan (a. tampak atas, b. tampak depan, dan c,
tampak bawah), 2. tempat bahan (a. tampak atas dan b. tampak depan), 3.
alas (a. tampak atas, b. tampak depan, dan c, tampak bawah).
Ball mill merupakan alat penghalus yang biasa digunakan untuk menghaluskan suatu
material menjadi bentuk bubuk (powder). Dalam percobaan, ball mill digunakan untuk
membuat ukuran serbuk campuran logam (alloy) yang digunakan untuk anoda dengan
binder menjadi homogen dan tercampur secara merata. Prinsip kerja dari ball mill
disajikan dalam Gambar 3.4.
Gambar
3.4.
Prinsip
kerja
ball
mill.
http://www.ilpi.com/inorganic/glassware /ballmill.html)
(Sumber:
Ball mill yang digunakan dalam percobaan terbuat dari silinder plastik tertutup pada
kedua ujungnya dengan diameter 10 cm dan panjang 20 cm. Di dalam ball mill terdapat
bola pejal yang terbuat dari baja atau keramik. Ball mill bekerja dengan silinder luar
yang berputar dan menyebabkan bola-bola didalam silinder dan material didalamnya
ikut bergerak dan terjadi kontak satu sama lain. Akibat perbedaan ukuran dan kekuatan
yang berbeda relatif besar antara bola pejal dan serbuk logam serta binder, maka bola
pejal dengan kekuatan dan ukuran lebih besar akan menghancurkan serbuk logam dan
binder
yang
terdapat
didalamnya.
Rotasi
silinder
mengakibatkan
terjadinya
B1.1314.K.03
31
Gambar 3.5.
7. Ohm meter
Hazard and Operability (HAZOP) alat percobaan dapat dilihat pada Lampiran B.
3.2.3. Prosedur
1. Pembuatan Anoda
Pembuatan anoda MCFC dilakukan dengan menggunakan metode dry casting.
Pertama-tama alat dan bahan untuk pembuatan anoda disiapkan kemudian bahan dasar
untuk pembuatan anoda yang berupa serbuk logam nikel-krom dan binder dicampur
pada komposisi tertentu sesuai dengan porositas dan kekuatan mekanik yang ingin
dicapai. Setelah itu, serbuk nikel-krom dimasukkan dalam ball mill dan digerus hingga
homogen selama satu jam. Anoda yang dihasilkan pada tahap ini diharapkan memiliki
porositas sebesar 60% dengan galat 5%. Hasil pengadukan dikeringkan dalam oven
selama 24 jam pada suhu 120oC. Campuran serbuk yang sudah dikeringkan, ditatar pada
cetakan dry casting kemudian ditekan pada tekanan 60 kN/m2. Hasil cetakan yang telah
ditekan dipanaskan untuk sintering pada suhu 650oC hingga 900oC dan tekanan
atmosfer. Gas nitrogen dialirkan pada furnace secara kontinyu untuk mencegah
terjadinya oksidasi.
2. Karakterisasi Fisik Anoda
Hasil anoda yang telah dibuat dan berukuran diameter 3 cm dan tebal 0.7 mm diuji
karakteristiknya sehingga dapat dikatakan layak sebagai anoda MCFC baik secara fisik
maupun kimia. Karakterisasi fisik yang digunakan adalah metode SEM, XRD dan
ASTM C373-88 untuk menguji porositas, struktur kristal, serta pengujian kekuatan fisik
beban tarik. Pengujian dilakukan pada anoda yang diperoleh dari hasil penelitian
maupun anoda standar sebagai acuan, kemudian hasil pengujian keduanya
dibandingkan. Apabila secara fisik anoda yang diperoleh dari hasil penelitian sama atau
mirip dengan karakteristik anoda standa, maka anoda hasil penelitian diuji lebih lanjut
secara elektrokimia.
B1.1314.K.03
33
3. Karakterisasi Elektrokimia
Pengujian elektrokimia anoda dilakukan dengan mengukur hambatan internal yang
dihasilkan oleh anoda yang difabrikasi tersebut. Pengukuran hambatan internal
dilakukan menggunakan ohm meter. Ohm meter dihubungkan ke anoda tersebut
kemudian hasil yang terbaca pada ohm meter merupakan hambatan internal anoda.
Langkah-langkah percobaan dapat dilihat pada Lampiran C sedangkan prosedur
keselamatan kerja dapat dilihat pada Lampiran A dan C.
3.2.4. Variasi
Variabel variabel yang akan divariasikan dalam penelitian ini adalah rasio massa
logam campuran terhadap binder dan temperatur sintering. Tabel 3.1. merepresentasikan
variasi dari variabel yang akan dilakukan pada penelitian ini.
3.3.
Interpretasi Data
Metode analisis data yang digunakan adalah analisis karakter fisik dan kimia serta sifat
mekanik anoda. Karakterisasi dilakukan dengan SEM (Scanner Electron Microscopy),
ASTM C373-88, XRD (X-Ray Diffraction), dan EIS (Electrochemical impedance
Spectroscopy).
Microscopy)
SEM digunakan untuk mengamati struktur mikro dari anoda yang dibuat. Dengan
menggunakan SEM dapat diketahui pororsitas dan dioptimasi. Hasil porositas yang
diperoleh kemudian dibandingkan dengan porositas hasil perhitungan.
Perhitungan porositas menggunakan metode ASTM C373-88 dengan air sebagai basis.
Perhitungan dilakukan berdasarkan penentuan berbagai satuan massa terhadap setiap
anoda yang dihasilkan. Pemilihan anoda yang baik didasarkan atas nilai porositas anoda
komersial standar yang digunakan sebagai acuan.
Gambar 3.7. merupakan contoh anoda MCFC Ni-10%wt Cr yang diproses sintering
dengan perlakuan berbeda.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Tahap Awal Pembuatan Anoda Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC)
Anoda MCFC terdiri dari campuran logam nikel (Ni) dan kromium (Cr) dengan
perbandingan massa 9:1. Agar logam logam tersebut dapat bercampur, maka
digunakan binder berupa polyvinylalcohol (PVA) sesuai dengan variasi percobaan.
Logam logam dan binder dicampur dengan menggunakan ball mill selama 8 jam
dengan kecepatan putar 100 rpm yang bertujuan untuk membuat campuran homogen.
Setelah itu, campuran tersebut ditekan dengan menggunakan hydraullic pressing
machine dengan tekanan 60 kPa. Proses penekanan tersebut bertujuan untuk
membentuk anoda dalam bentuk piringan berdiameter 5 cm dengan tebal 2.5 mm.
PVA merupakan binder yang dapat mengikat logam logam nikel dan kromium dalam
campuran agar terbentuk anoda yang berupa piringan agar dapat diproses lebih lanjut
yaitu proses sintering. Namun, PVA dapat aktif sebagai binder apabila PVA berinteraksi
dengan air dalam jumlah tertentu. Dalam percobaan terdapat variasi PVA dalam
B1.1314.K.03
37
campuran logam nikel kromium sehingga jumlah air yang dibutuhkan untuk setiap
variasi tidak sama.
2.5 mm
5 cm
(a)
(b)
2.5 mm
5 cm
(c)
(d)
Gambar 4.1. Struktur anoda 1:1 dengan penambahan air (a) < 8 tetes tampak atas; (b)
< 8 tetes tampak samping; (c) >8 tetes tampak atas; (d) >8 tetes tampak
samping.
2.5 mm
5 cm
(a)
(b)
Gambar 4.2. Struktur anoda 1:1 dengan penambahan air optimum 8 tetes (a) tampak
atas; (b) tampak samping.
Hasil percobaan yang telah dilakukan untuk mengetahui jumlah optimum penambahan
air ke dalam campuran logam binder untuk mendapatkan struktur piringan anoda yang
sempurna direpresentasikan dalam Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Komposisi air yang harus ditambahkan pada sampel anoda.
Rasio logam : binder
1:1
2:1
4:1
B1.1314.K.03
39
8:1
0.40 (8 tetes)
Berdasarkan data pada Tabel 4.1, dapat dilihat bahwa jumlah air yang perlu
ditambahkan membentuk tren yang tidak beraturan. Padahal, seharusnya semakin
banyak PVA maka air yang dibutuhkan semakin banyak untuk mengaktifkan PVA
tersebut sebagai binder. Hubungan PVA dengan air akan mempengaruhi viskositas
larutan PVA tersebut dimana semakin tinggi konsentrasi larutan maka viskositas akan
semakin tinggi (Tao, 2003). Oleh karena itu, diperlukan penambahan jumlah air yang
sesuai sehingga larutan PVA tidak terkonsentrasi di dalam sampel tersebut. Untuk
sampel dengan jumlah PVA yang sedikit, meskipun PVA sudah tidak terkonsentrasi
dalam sampel, namun apabila sebatas melihat pada interaksi antara PVA dengan air,
maka sampel anoda masih belum dapat mempertahankan bentuknya meskipun telah
ditekan dengan tekanan yang sudah sesuai. Hal tersebut diakibatkan oleh kurangnya
kandungan PVA dalam sampel sehingga PVA yang aktif sebagai binder tidak dapat
mengikat logam logam yang terkandung secara menyeluruh. Oleh karena itu,
penambahan air diperlukan untuk membuat slurry pada logam logam yang tidak
terikat oleh binder PVA sampai menjadi slurry yang homogen (Palilla, 1986) sehingga
dapat ditekan dan dapat mempertahankan bentuknya sebagai pellet anoda.
Dari Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan massa pada setiap variasi
campuran logam binder untuk memperoleh anoda dengan diameter 5 cm dan tebal 2.5
mm. Hal tersebut dikarenakan setiap campuran memiliki perbedaan massa jenis.
Semakin tinggi massa jenis, maka untuk mencapai volume yang sama dibutuhkan massa
yang lebih besar sesuai dengan persamaan (4.1).
=
Keterangan:
m
V
m = massa (gr)
V = volume (cm3)
Tabel 4.2 menunjukkan massa jenis tiap komponen dalam campuran.
Tabel 4.2. Massa jenis komponen.
((4.1))
Komponen
Nikel
Kromium
PVA
Massa jenis nikel dan kromium lebih tinggi dibandingkan dengan PVA, maka untuk
memperoleh ketebalan yang seragam, campuran dengan kandungan logam yang lebih
besar akan membutuhkan massa yang lebih besar pula.
5 cm
(a)
B1.1314.K.03
41
5 cm
(b)
5 cm
(c)
5 cm
(d)
Gambar 4.3. Struktur permukaan anoda dengan rasio logam:binder (a) 1:1 ; (b) 2:1 ; (c)
4:1 ; (d) 8:1.
Dari Gambar 4.3 dapat dilihat bahwa struktur permukaan paling mendekati sempurna
adalah anoda dengan rasio logam:binder 1:1. Semakin sedikit kandungan PVA dalam
anoda, secara kualitatif dapat dilihat bahwa struktur permukaan anoda semakin tidak
stabil atau rentan hancur dan tidak dapat menerima tekanan dari luar. Tekanan
maksimum yang dapat ditahan pada anoda tersebut terdapat pada anoda 1:1 yang setara
dengan rata rata kekuatan genggaman tangan laki laki dengan usia 20 sampai
dengan 29 yaitu 47 kg/cm2 dengan standar deviasi 9.7 (Gill, dkk., 2014). Namun
struktur permukaan anoda belum tentu mempengaruhi kinerja dari anoda MCFC
tersebut karena anoda tersebut masih diproses melalui tahap sintering yang diharapkan
setelah proses sintering berlangsung, struktur permukaan anoda dapat menjadi lebih
baik.
Berdasarkan Gambar 4.3, hal lain yang dapat diamati adalah perbedaan warna yang
terdapat pada masing masing anoda. Terlihat bahwa semakin sedikit kandungan PVA
dalam sampel anoda maka sampel tersebut akan berwarna semakin gelap (kehitaman)
sebaliknya semakin banyak kandungan PVA dalam sampel maka sampel akan berwarna
lebih terang (keabuan). Hal tersebut menandakan semakin gelap sampel anoda maka
kandungan logam di dalamnya semakin banyak karena warna dasar logam Ni dan Cr
yang berwarna gelap sedangkan PVA berwarna putih.
Gambar 4.4. Variasi penurunan % massa PVA pada percobaan TGA dengan laju
pemanasan 10oC/menit (Moldoveanu, 2005).
Proses sintering anoda dilakukan dengan laju pemanasan 4oC/menit. Laju pemanasan
ditetapkan untuk mencegah kerusakan sampel anoda. Laju pemanasan yang terlalu besar
akan mengakibatkan pemuaian pada serbuk logam Ni dan Cr atau binder yang tidak
homogen pada anoda selama proses sintering. Persebaran serbuk logam dan binder
yang tidak merata juga dapat mengakibatkan kerusakan sampel anoda selama proses
B1.1314.K.03
43
5 cm
(a)
5 cm
(b)
Gambar 4.5. Anoda hasil sintering pada temperatur 700oC (a) sebelum sintering;
(b) setelah sintering.
5 cm
(a)
5 cm
(b)
Gambar 4.6. Anoda hasil sintering pada 700oC (a) sebelum sintering ; (b) setelah
sintering.
Berdasarkan Gambar 4.5 (b) dan 4.6 (b) terlihat bahwa laju alir nitrogen memegang
peranan penting dalam proses sintering anoda. Gambar 4.5 merupakan anoda yang di
sintering dengan menggunakan laju alir nitrogen sebesar 50 ccm sedangkan Gambar 4.6
merupakan anoda yang di sintering menggunakan laju alir nitrogen sebesar 400 ccm.
Pada Gambar 4.5 (b) dan 4.6 (b) menunjukkan adanya perbedaan pada struktur
permukaan anoda setelah di sintering dimana pada Gambar 4.5 (b) struktur permukaan
anoda terlihat rapuh dan berwarna kehijauan yang menunjukkan adanya oksida pada
sampel anoda tersebut sedangkan pada Gambar 4.6 (b) struktur permukaan anoda
terlihat berwarna keabuan yang menunjukkan proses sintering telah terjadi tanpa diikuti
adanya proses oksidasi pada logam tersebut. Laju nitrogen yang lebih besar akan lebih
mampu untuk mengisi ruang furnace tersebut dan oksigen yang semula masih tertinggal
dalam furnace dapat terbawa keluar bersamaan dengan gas nitrogen yang dialiri. Laju
nitrogen yang semakin besar akan mengakibatkan penurunan konsentrasi oksigen dalam
furnace. Perhitungan konsentrasi oksigen dalam furnace dilakukan dengan asumsi
komposisi gas nitrogen 99.995% dan kandungan oksigen di udara 21% sedangkan
sisanya nitrogen. Volume furnace 33 x 28 x 18 cm. Dengan menggunakan komposisi
tersebut, diperoleh konsentrasi oksigen pada laju alir 50 ccm 17.79% sedangkan pada
laju alir 400 ccm 8.6%. Untuk memastikan bahwa sistem di dalam furnace tersebut
inert maka ruang anoda dalam furnace tersebut diperkecil dengan membangun ruang
dari susunan kiln furnace yang ditunjukkan pada Gambar 4.7.
B1.1314.K.03
45
Logam:bin
der
1:1
2:1
1:1
Porositas
(%)
66.41
64.04
65.12
800
900
2:1
4:1
8:1
1:1
2:1
4:1
8:1
1:1
2:1
4:1
8:1
64.19
63.52
62.78
57.12
56.90
55.40
53.51
50.64
46.44
43.59
42.72
Berdasarkan Tabel 4.3, semakin tinggi komposisi binder maka porositas akan semakin
tinggi. Hal tersebut dikarenakan PVA yang terkandung dalam campuran akan teruapkan
secara keseluruhan dan rongga yang semula mengandung PVA akan membentuk pori
pada anoda. Selain itu, semakin tinggi temperatur sintering maka porositas akan
semakin kecil, hal tersebut dikarenakan semakin banyaknya senyawa oksida yang akan
terbentuk khususnya pada permukaan anoda sehingga dapat menutupi pori yang
terdapat pada permukaan anoda tersebut dan mengurangi persen porositas dari anoda
tersebut. Dari hasil uji porositas, terdapat 9 sampel yang porositasnya memenuhi kriteria
anoda konvensional yaitu:
-
Sampel anoda yang di sintering pada 650oC dengan komposisi logam:binder 1:1
Sampel anoda yang di sintering pada 650oC dengan komposisi logam:binder 2:1
Sampel anoda yang di sintering pada 700oC dengan komposisi logam:binder 1:1
Sampel anoda yang di sintering pada 700oC dengan komposisi logam:binder 2:1
Sampel anoda yang di sintering pada 700oC dengan komposisi logam:binder 4:1
Sampel anoda yang di sintering pada 700oC dengan komposisi logam:binder 8:1
Sampel anoda yang di sintering pada 800oC dengan komposisi logam:binder 1:1
Sampel anoda yang di sintering pada 800oC dengan komposisi logam:binder 2:1
Sampel anoda yang di sintering pada 800oC dengan komposisi logam:binder 4:1
Sampel yang kemudian akan dianalisis lebih lanjut adalah anoda dengan komposisi
logam:binder 1:1 pada 650oC, 700oC dan 900oC. Hal tersebut dikarenakan anoda dengan
komposisi logam:binder 2:1 tidak memiliki kekuatan mekanik yang cukup besar untuk
mempertahankan bentuknya setelah proses sintering selesai dilakukan. Pemilihan anoda
dengan komposisi logam:binder 1:1 yang di sintering pada suhu 900oC adalah anoda
tersebut memiliki struktur mekanik yang baik bila diamati secara kualitatif dan dapat
B1.1314.K.03
47
hasil analisis dapat digunakan sebagai pembanding apabila dilakukan proses sintering
pada suhu tinggi (>700oC).
Gambar 4.8. Hasil analisis SEM pada anoda konvensional dengan perbesaran 10000x.
(Sempurna 2014)
(a)
(b)
(c)
Gambar 4.9. Hasil analisis SEM anoda pada perbesaran 10000x dengan perbandingan
alloy:binder 1:1 pada temperatur (a) 650oC; (b) 700oC; (c) 900oC.
Berdasarkan Gambar 4.9, uji SEM menunjukkan terjadinya necking pada butir butir
logam yang terkandung dalam sampel anoda yang artinya proses sintering berlangsung.
B1.1314.K.03
49
Secara teoritis, peristiwa necking akan meningkatan mechanical strength dari anoda
(Graham dkk., 1997) namun yang dijumpai pada percobaan justru sebaliknya. Hal
tersebut dikarenakan senyawa oksida yang terbentuk akan menurunkan mechanical
strength pada anoda dan semakin tinggi temperatur akan menyebabkan senyawa oksida
yang terbentuk semakin banyak apabila sistem tidak inert. Adanya peristiwa necking
pada sampel anoda menunjukkan kemiripan dengan anoda konvensional, namun
perbedaannya terdapat pada struktur morfologinya. Gambar 4.8 menunjukkan butir
butir halus dengan sedikit butir kasar sedangkan pada Gambar 4.9 menunjukkan
dominannya butir kasar pada sampel anoda. Hal tersebut menandakan bahwa
permukaan sampel anoda ditutupi oleh senyawa oksida yang terbentuk selama proses
sintering berlangsung. Butir halus tersebut menunjukkan logam sedangkan butir kasar
menunjukkan senyawa oksida. Hal tersebut dapat dibuktikkan pada Gambar 4.10 dan
Gambar 4.11 yang menunjukkan perbedaan struktur morfologi logam murni dengan
logam oksida yang dianalisis menggunakan SEM.
Gambar 4.11. Hasil analisis SEM serbuk nikel oksida (Dongmok dkk., 2009)
Semakin tinggi temperatur sintering, maka berdasarkan analisis SEM pada Gambar 4.9,
semakin banyak oksida yang terbentuk. Hal ini dikarenakan jumlah oksigen pada 900oC
akan lebih tinggi dibandingkan dengan 650oC sesuai dengan persamaan gas ideal
dimana volume gas sebanding dengan temperatur. Semakin tinggi temperatur maka
volume gas akan semakin tinggi sehingga semakin banyak oksigen yang terkandung dan
dapat menyebabkan reaksi oksidasi terjadi antara gas oksigen tersebut dan sampel
anoda.
Berdasarkan Gambar 4.9, dapat dilihat juga persebaran pori yang tidak merata pada
permukaan anoda dimana terdapat pori yang berukuran lebih besar dibandingkan pori
lainnya. Hal tersebut dapat dikarenakan PVA yang tersebar secara tidak merata ataupun
terdapat pori yang tertutup senyawa oksida yang terbentuk akibat terjadinya
overlapping dimana senyawa nikel sudah mulai teroksidasi menjadi senyawa nikel
oksida sedangkan kandungan PVA masih belum terdekomposisi. Overlapping tersebut
terjadi mulai dari temperatur 300oC, Gambar 4.12, dimana nikel mulai teroksidasi
sedangkan PVA baru terdekomposisi 45%. Pori pori yang semakin kecil dapat dilihat
pada Gambar 4.9 (c) yaitu pada anoda yang disintering pada suhu 900oC karena
senyawa oksida yang semakin banyak terbentuk dan menutupi pori sampel anoda.
B1.1314.K.03
51
Gambar 4.12. Kurva termogravimetri serbuk nikel pada laju pemanasan 4 oC/menit
dengan udara (Kang dkk., 2013).
Intensitas (%)
120.00%
100.00%
80.00%
Intensitas
60.00%
40.00%
20.00%
0.00%
10
20
30
40
50
60
70
NiO
80
Ni
90
Cr
60
70
80
90
(a)
120.00%
100.00%
80.00%
Intensitas
60.00%
40.00%
20.00%
0.00%
0
10
20
30
40
Sudut (2)
(b)
B1.1314.K.03
53
50
NiO
120.00%
100.00%
80.00%
Intensitas
60.00%
40.00%
20.00%
0.00%
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Sudut (2)
NiO
Cr2O3
(c)
Gambar 4.14. Hasil XRD sampel anoda pada suhu sintering (a) 650oC; (b) 700oC;
(c) 900oC.
Senyawa Nikel akan muncul pada sudut difraksi 44.58o, 51.93o dan 76.43o (JCPDS, No.
01-1260) sedangkan Kromium akan muncul pada sudut difraksi 44.60o, 64.68o dan
82.35o (JCPDS, No. 01-1261). Berdasarkan Gambar 4.10, ternyata sampel anoda masih
teroksidasi. Hal tersebut ditunjukkan dari puncak puncak yang terbentuk pada hasil
analisa XRD. 3 puncak yang utama menunjukkan bukan senyawa Nikel maupun
Kromium melainkan senyawa Oksida yang dominan Nikel Oksida (NiO) maupun Krom
Oksida (Cr2O3) pada seluruh permukaan sampel. Adanya senyawa oksida tersebut pada
anoda akan mengakibatkan berkurangnya sisi aktif anoda dan berakibat pada tahanan
internal yang semakin besar karena senyawa oksida bersifat isolator. Oleh karena itu,
anoda tersebut masih belum memenuhi standar anoda konvensional yang bebas dari
senyawa oksida. Nikel oksida akan muncul pada sudut difraksi 37.20 o, 43.20o, 62.87o,
75.20o, 79.38o (JCPDS, No. 04-0835) sedangkan kromium oksida (Cr2O3) muncul pada
sudut difraksi 24.48o, 36.18o, 33.58o, 41.46o, 50.20o, 54.83o, 63.42o, 65.08o (JCPDS, No.
38-1479).
Dari ketiga variasi sampel anoda tersebut dapat dilihat bahwa puncak yang
menunjukkan senyawa Nikel dan Krom lebih banyak muncul pada sampel anoda yang
di sintering pada suhu 650oC dengan perbandingan logam:binder 1:1 namun intensitas
nya tidak sebesar dibandingkan senyawa Nikel dan Krom murni sedangkan yang paling
sedikit pada suhu 900oC. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur
sintering maka senyawa oksida yang terbentuk akan semakin banyak karena temperatur
oksidasi senyawa nikel berada pada 300oC dan menyebabkan sampel anoda terpapar
pada temperatur diatas temperatur oksidasi nikel pada saat menuju 900 oC lebih lama
dibandingkan 650oC dengan laju pemanasan dan holding time yang sama. Selain itu,
kromium mulai teroksidasi pada temperature 800oC (Lillerud dan Kofstaf, 1980)
sehingga pada temperatur lebih tinggi akan terbentuk senyawa kromium oksida (Cr 2O3)
sehingga akan lebih banyak senyawa oksida yang menutupi permukaan sampel anoda
yang di-sintering pada temperatur 900oC.
Tahanan (ohm)
Anoda Standar
1.77 0.057
9.5 3.4
22.9 2.5
Tidak terukur
dalam logam akan memperoleh energi dan mulai berosilasi. Osilasi ion ini akan
bertabrakan
dengan
elektron
yang
bergerak
menghantarkan
listrik
sehingga
ohm.m sedangkan untuk campuran nikel krom secara umum memiliki resistivity 1.1 x
10-6 hingga 1.5 x 10-6 ohm.m (Faughn dan Serway, 2003). Resistivity adalah ukuran
yang digunakan untuk melihat seberapa kuat suatu material dapat menghantarkan arus
listrik. Semakin kecil resistivity maka suatu material akan semakin dapat
menghantarkan listrik. Berdasarkan nilai yang diperoleh, hasil resistivity anoda yang
difabrikasi menunjukkan nilai yang jauh lebih besar dibandingkan campuran nikel krom
secara umum. Oleh karena itu, sebelum anoda tersebut digunakan untuk menghantarkan
listrik, perlu diadakannya proses reduksi anoda oleh gas H2 yang bertujuan untuk
mereduksi senyawa oksida yang terdapat pada permukaan anoda sehingga dapat
mengurangi hambatan internal dan dapat digunakan untuk menghantarkan listrik.
Proses reduksi anoda akan mengurangi kandungan NiO yang terkandung di dalam
sampel anoda. Berdasarkan Osuwa dan Onyejiuwa (2013), semakin tipis lapisan NiO
maka konduktivitas elektrik akan semakin meningkat. Osuwa dan Onyejiuwa (2013)
juga menyatakan, pengurangan lapisan NiO sebesar 0.2 m akan meningkatkan
konduktivitas elektrik sebanyak 20%. Tabel 4.5 menunjukkan hasil percobaan yang
dilakukan oleh Osuwa dan Onyejiuwa (2013).
Tabel 4.5 Hubungan konduktivitas elektrik dengan tebal lapisan NiO (Osuwa dan
Onyejiuwa, 2013)
Tebal lapisan NiO (m)
1.40
1.20
0.80
0.75
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, kesimpulan yang diperoleh yaitu rasio
optimum antara logam campuran Nikel dan Krom dengan binder adalah 1:1 sedangkan
temperatur sintering yang optimum untuk dapat menghasilkan anoda molten carbonate
fuel cell adalah 650oC dengan nilai porositas 66.41%, nilai hambatan internal 9.5
3.4 ohm dan nilai resistivitas berada dalam rentang 7.2 x 10 -4 sampai dengan 1.6 x 10-3
ohm.m.
5.2. Saran
B1.1314.K.03
57
Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya
adalah:
1. Sebaiknya media yang digunakan untuk melakukan proses sintering di purge
terlebih dahulu pada waktu yang relatif lama dan sesuai dengan dimensi media
tersebut untuk memastikan tidak ada kandungan oksigen yang tertinggal sehingga
proses oksidasi pada logam dapat diminimalisir.
2. Diperlukan adanya uji pada rangkaian fuel cell untuk melihat apakah anoda yang
difabrikasi benar benar dapat menghasilkan listrik atau tidak sehingga dapat
dilihat performansi dari anoda yang dibuat.
3. Diperlukan uji menggunakan gas sintesis dan dibandingkan efisiensinya apabila
menggunakan gas H2 dan CO2 murni sebagai bahan bakar pada fuel cell.
DAFTAR PUSTAKA
Aldous, J., POSCO power installs fuel cell in Indonesia. Fuel Cell Power, 2011.
American Standard for Testing and Material (ASTM), www.astm.org (diakses pada
tanggal 23 Maret 2014, pk. 14.42 WIB)
Birnbaum, U.; Haines, M.; Hake, J.Fr.; Linssen, J., Reduction of greenhouse gas
emission through fuel cell combined heat and power application: 17th world
hydrogen energy conference, Brisbane, Australia, 2008.
Beomjoo, K.; Dohyung, K.; Junghyun, L.; Seungwon, K.; dan Heechun, L., The
operation results of a 125 kW molten carbonate fuel cell system. KEPCO
Research Institute, Daejeon 305- 760, Republic of Korea. 2011.
Capart, R.; Fagbemi, L.; Gelus, M., An experimental study of wood pyrolysis: a basis
for predicting the gas product from the framatome process, International
Congress on Renewable Energy Sources (1986), Madrid-Spanyol.
Ciferno, J. P.; Marano, J. J., Benchmarking biomass gasification technologies for fuels,
chemicals and hydrogen production, U.S. Department of Energy National Energy
Technology Laboratory, 2002.
Crain, E.R., Crains Petrophysical Handbook, http://www.spec2000.net/09-xrd.htm
(diakses pada tanggal 23 Maret 2014, pk. 10.38 WIB)
Chris, R.; Scott, S., Introduction to Fuel Cell Technology, Department of Aerospace
and Mechanical Engineering, University of Notre Dame, Notre Dame, 2003.
Dhanaraj, P.V.; Rajesh, N.P., Studies on growth, crystal structure and characterization
B1.1314.K.03
59
of
novel
organic
nicotinium
trifluoroacetate
single
crystals,
http://www.intechopen.com/books/ doi:10.5772/53795. (diakses pada tanggal 10
April 2014, pk. 15.06 WIB)
Dokyol, L.; Dohwon, J.; Insung, L.; Kyungrae, B.; Heechun, L., Simplified cost
effective sintering processes for creep resistance Ni-10wt.%Cr MCFC anodes,
METALS AND MATERIALS International, 9(6) (2003), 605-611.
Dongmok, L; Wooyeon, K.; Jeshin, P.; Wonbaek, K; Injin, S., Mechanical properties
and consolidation of a nanocrystalline Al2O3 reinforced Ni compositefrom
mechanically synthesized powders by rapid sintering, Journal of Ceramic
Processing Research 10(4) (2009), 529-533.
EG&G Technical Service, Inc, Fuel cell handbook 7th edition, U.S. Department of
Energy, West Virginia, 2004.
ESDM, Migas. Tiap hari, Indonesia rogoh US$ 100 juta untuk impor minyakdan
BBM Kamis, 13 Februari 2014. http://www.migas.esdm.go.id/wap /?op=
Berita&id=3520 (diakses pada 21 Februari 2014, pk. 08.23 WIB)
Faughn, J. S.; Serway, A. S., College physics Pacific Grove, CA: Thomson Learning
Inc., 2003.
Feng, Y.; Si-yi, L.; Zhi-quan, H.; Bo, X.; Gong, C., Hydrogen-rich gas production by
steam gasification of char from biomass fast pyrolysis in a fixed-bed reactor:
Influence of temperature and steamon hydrogen yield and syngas composition,
Bioresource Technology, 101 (2010), 5633-5637.
Ferguson, J.D.; Spencer, J.A.; Berube, G.M.; Jordan, J.D., Particle atomic layer
deposition, Advanced Packaging The International Magazine for Electronic
Packaging Applications, January/February ed. 32-37, 2007.
Gill, T. K.; Massy-Westropp, N. M.; Taylor, A. W.; Bohannon, R. W.; Hill, C. L., Hand
grip strength: age and gender stratified normative data in a population-based
study, BMC Research Notes, doi: 10.1186/1756-0500-4-127, 2014.
Graham, A. H.; Cimino, T. M.; Rawlings, A. J.; Rutz, H. G., The effect of nickel
content, sintering temperature and density on the properties of a warm compacted
0.85 w/0 molybdenum prealloy, International Conference on Powder Metallurgy
& Particulate Materials, Chicago-Amerika Serikat, 1997.
Higman C.; Burgt, M., Gasification, 2nd edition, Elsevier Inc., United Kingdom,
2008.
Jingtao, M.; Ge B.; Xiuping, L.; Changseng, D., Preparation and electrochemical
performance of hydrogen electrode and electrolyte for SOFC by tape casting and
lamination, China: State Key Laboratory of New Ceramics and Fine Processing,
Institute of New and Nuclear Energy Technology, Tsinghua University, Beijing,
2010.
Kang, S, L.; Jo, G.; Lee, K., Effect of passication on the sintering behavior of
submicron nickel powder compacts for MLCC application, Journal of Korean
Powder Metallurgy Institute 20(6), 405-410, 2013.
Laughlin, D. E.; Hono, K., Physical metallurgy, 5th edition, Elsevier, Amsterdam, The
Netherlands, 2014.
Lillerud, K. P.; Kofstaf, P., On high temperature oxidation of chromium, Journal of
Electrochem. Soc. 127(11) (1980), 2397 2410.
Mingoo, K.; Shinae, S.; Seongcheol, J.; Inhwan, O.; Jonghee, H.; Shungpil, Y.;
Sunghyun, K.; Seonggeun, O., Fabrication of electrolyte-impregnated cathode
by dry casting method for molten carbonate fuel cells, Korean Journal Chemical
Engineering 29(7) (2012), 876-885
Muliawati, N., Hidrogen sebagai Sel Bahan Bakar : Sumber Energi Masa Depan,
2008.
Moldoveanu, S.C., Analytical pyrolysis of synthetic organic polymers vol. 25,
Elsevier B.V., The Netherlands, 2005.
Nasution, R., Karakterisasi elektrokimia berdasarkan spektroskopi impedansi melalui
pendekatan equivalent circuit pada molten carbonate fuel cell (MCFC), Tesis
Magister, Institut Teknologi Bandung, 2013.
Osuwa, J. C.; Onyejiuwa, G. I., Structural and electrical properties of annealed nickel
oxide (NiO) thin films prepared by chemical bath deposition, Journal of Ovonic
Research 9(1), 9-15, 2013.
Palilla, F. C., Process for the preparation of homogenous metal oxide varistors, US
Patent 4575440 A, 1986.
Pusat Data dan Informasi Pertanian, Departemen Pertanian Republik Indonesia,
http://deptan.go.id (diakses pada 22 Februari 2014, pk. 23.11 WIB)
Scribner Associates, Electrochemical Impedance Spectroscopy (EIS): a powerful and
cost-effective tool for fuel cell diagnostics, North California, 2010.
Sempurna, F. I., Pengaruh komposisi gas produk gasifikasi terhadap kinerja dan daya
tahan molten carbonate fuel cell (MCFC). Tesis Magister, Institut Teknologi
Bandung, 2014.
Suhada, H., Fuel cell sebagai penghasil energi abad 21, Jurnal Teknik Mesin 3(2)
(2001) 92-100.
Tao, J., Effect of molecular weight and solution concentration on electrospinning of
PVA Tesis Magister, Worcester Polytechnic Institute, 2003.
Yunsung, K.; Junheok, L.; Haisoo, C., Creep Mechanism of Porous MCFC Ni Anodes
Strengthened by Ni3Al, American Institute of Chemical Engineers (AIChE)
Journal 52 (2006), 359-365.
U.S. Department of Energy, Fuel Cell Technologies Program, www.eere.energy. gov/
hydrogenandfuelcells/tech_validation/, 2012. (diakses pada 20 Februari 2014, pk.
19.10 WIB)
U.S. Department of Energy, How Fuel Cell Works?, www.fueleconomy.gov/
feg/fcv_PEM, 2012. (diakses pada 20 Februari 2014, pk. 21.00 WIB)
Williams, M. C.; Krist, K.; Garland, N., Fuel cell seminar 2009, The Electrochemical
Society, New Jersey, USA, 2010.
Zhang, J.; Liu, H.; Sun, X.; Zhang, L.; Liu, R., Electrochemical technologies for
energy storage and conversion, Wiley-VCH Verlag & Co, KGaA, Weinheim,
Germany, 2012.
B1.1314.K.03
61
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28DAFTAR SIMBOL
m
n
W1
W2
W3
V
V
: massa [kg]
: bilangan bulat 1,2,3,.... [-]
: massa kering [kg]
: massa spesimen di dalam air [kg]
: massa spesimen jenuh air [kg]
: tegangan [Volt]
: volume [m3]
Greek
B1.1314.K.03
63
LAMPIRAN A
PROSEDUR OPERASI ALAT PERCOBAAN DAN MSDS
Judul Penelitian
Nama Mahasiswa
Dosen Pembimbing
N
Baha
o
1
n
Serbu
k
nikel
(Ni)
B1.1314.K.03
65
Tidak mudah
terbakar
Tidak mudah
meledak
Tidak reaktif
Tidak berbau
Berwujud
serbuk (padat)
Bersifat
racun, berbahaya
terhirup, terkena
mata, atau terkena
kulit
Tindakan Penanggulangan
Selalu pastikan sistem
ventilasi memadai dan jangan
sampai terihirup
Hindari kontak dengan kulit,
mata, dan pakaian
Selalu cuci tangan setelah
penanganan
Simpan bahan pada tempat
yang sejuk, kering, sirkulasi udara
baik, dan tertutup
Serbu
k
krom
(Cr)
PVA
O2
Titik leleh:
1900 oC
Specific
gravity: 7,14
Berwujud
padatan
Specific
gravity: 1,19 1,31
Titik leleh:
200 oC
Berwujud
padatan
Oksidator
Kontak
dengan bahan
bakar dapat
menimbulkan
kebakaran
Kontak
Stabil
Tidak berasa
Terbakar
pada temperatur
tinggi
Tidak
berbau
Tidak
berwarna
Berwujud
gas
H2
Reduktor
Mudah
terbakar
Mudah
meledak
Tidak
berwarna
Tidak
berbau
Specific
gravity: 0,0696
Penanggulangan
Segera tutup keran regulator tabung gas
dan buka ventilasi udara sebesarbesarnya, jangan sampai ada sumber api
di sekitarnya
Padamkan api bila memungkinkan, tutup
jendela laboratorium, matikan listrik,
segera evakuasi diri dari laboratorium
Angkat tabung gas dan kembalikan ke
posisi
semula,
lakukan
pertolongan
pertama,
apabila
diperlukan
segera
memeriksakan diri ke rumah sakit
Buka mata dan alirkan air secara kontinu
selama minimal 15 menit, bawa ke rumah
sakit
terdekat.
Penolong
harus
Iritasi kulit
Sarung tangan
Jaslab
B1.1314.K.03
67
Masker
Goggle
Pasca Percobaan
Dinginkan oven dan furnace secara bertahap
Tutup valve tabung gas
Putuskan sambungan listrik pada semua peralatan yang menggunakan listrik
Persiapan Bahan
Penyiapan bahan
Run berjalan
Hati-hati
men
Hindari komponen oven/
furnacesaat
yang
pa
Hindari tekanan tabung gas terlalu tinggi
Hindari menyentuh bahan yang panas sec
Hindari kebocoran gas N2
Ketua
Satuan
Tugas Dosen Pembimbing I,
Keselamatan Kerja,
LAMPIRAN B
HAZARD AND OPERABILITY (HAZOP) ALAT
PERCOBAAN
Judul Penelitian
Nama Mahasiswa
Dosen Pembimbing
No.
Guide
Word+Parameter
B1.1314.K.03
69
Konsekuensi
Safeguard
Ada
kebocoran
pada
sambungan
gas atau
penyumbata
n di dalam
pipa atau
selongsong
tubular
furnace
More furnace Temperatur
temperature
yang
terbaca
pada
peralatan
terlalu tinggi
Occupational Gas beracun
safety
Bekerja pada
tekanan tinggi
Potensi kebakaran
apabila ada
pemicu api dan
kontak dengan
oksigen
Akumulasi
tekanan di
dalam pipa yang
menyebabkan
over pressure
Regulator,
flowmeter
rotameter
Kerusakan
pada
peralatan akibat
temperatur yang
terlalu tinggi
Temperatur
indicator
Pengecekan
temperatur
berkala
secara konvensional
Keracunan
Menyebabkan luka
bakar
Penggunaan alat
pelindung diri
Operational
safety
Terpeleset,
tertimpa tabung
gas
Penggunaan
alat-alat yang
kokoh
Menjaga kebersihan
dan peletakan
peralatan dan bahan
dengan rapi
No H2 Flow
Bekerja
dengan tidak
rapi dan
hati-hati
Ketua
Satuan
Tugas Dosen Pembimbing I,
Keselamatan Kerja,
atau
Peletakan tabung
hidrogen di dekat
jendela dan jauh dari
tabung oksigen
Memasang pressure
indicator
B1.1314.K.03
71
LAMPIRAN C
INSTRUKSI KERJA
Judul Penelitian
Nama Mahasiswa
Dosen Pembimbing
1. Siapkan peralatan berupa ball mill dan wadah cetakan dry casting
2. Sambungkan oven ke sumber tegangan 220 V dan set temperatur
oven
3. Timbang serbuk nikel dan krom sesuai dengan rasio yang
ditentukan
4. Campur serbuk nikel dan serbuk krom dalam ball mill kemudian
lakukan penggerusan
5. Ambil keseluruhan serbuk dari ball mill lalu letakan di wadah
cetakan keramik dan ratakan dengan menekan dengan tekanan 60
kN/m2
6. Ambil cetakan dari dalam oven dan diletakan pada furnace
7. Sambungkan furnace ke sumber listrik dan set temperatur dengan
variasi tertentu lalu alirkan gas nitrogen
8. Turunkan temperatur furnace secara perlahan hingga mencapai
temperatur ruang
9. Ambil sampel anoda dari furnace
10. Setiap potongan diambil citranya dengan SEM
11. Setiap potongan dihitung porositasnya dengan metoda ASTM
C373 88 dimulai dengan menimbang berat anoda dan catat
sebagai W1
12. Ikat anoda dengan benang dengan hati-hati namun kuat lalu
celupkan ke dalam air, diamkan dalam air hingga tidak ada udara
keluar
13. Timbang wadah air dengan anoda di dasar wadah tersebut,
catat berat tertera sebagai p1
14. Pada saat wadah air di atas timbangan, angkat anoda dengan
menarik tali, catat berat tertera saat anoda tepat akan keluar
sebagai p2
15. Keluarkan anoda dan biarkan air menetes secukupnya lalu catat
berat wadah air tanpa anoda yang tertera sebagai p3
16. Timbang anoda basah dan catat sebagai p4
17. Keringkan kembali anoda di dalam oven selama 24 jam
18. Persiapkan peralatan uji hambatan internal
19. Anoda yang sudah kering dan didinginkan di pasang ke ohm
meter dan dilakukan pengukuran hambatan internal
B1.1314.K.03
73
LAMPIRAN D
JOB SAFETY ANALYSIS
Judul Penelitian
Nama Mahasiswa
Dosen Pembimbing
Identifikasi Bahaya
Sambungan selang gas
oksigen/hidrogen yang terlepas
Furnace yang panas
Adanya debu saat bekerja dengan
serbuk-serbuk bahan mentah
katoda
Paparan panas dari oven atau
furnance
Paparan ke tekanan tinggi
Keteraturan alat
Mitigasi Resiko
Naikkan
tekanan
aliran
secara
perlahan dan bertahap
Gunakan sepatu tertutup dan sarung
tangan
Gunakan masker selama percobaan
Gunakan sarung tangan dan jaga jarak
dengan alat yang sedang beroperasi
Jangan berdiri terlalu dekat dengan
selang bertekanan
Pastikan
alat-alat
berada
pada
tempatnya sebelum memulai kegiatan
Ketua
Satuan
Tugas Dosen Pembimbing I,
Keselamatan Kerja,
B1.1314.K.03
75