Anda di halaman 1dari 43

BAB I

LAPORAN KASUS
I.1 Identitas
Nama

: An. M. Munawir

Umur

: 15 tahun

Agama

: Islam

Suku bangsa

: Jawa

Pekerjaan

: Pelajar

Alamat

: Wates

Tanggal MRS

: 25 Juli 2015

Nomor RM

: 271825

I.2 Anamnesa :
Keluhan utama : Dada dan perut melepuh dan nyeri
RPS :
Tiga jam sebelum masuk rumah sakit pasien mengendarai motor sambil memeluk
botol bensin. Motor pasien jatuh sehingga dada, perut, paha dan telapak tangan kanan
pasien terkena tumpahan bensin yang kemudian tersulut api dari gesekan motor
dengan aspal. Pasien mengeluhkan adanya lepuh dan terasa nyeri pada bagian yang
terbakar.
RPD:
Alergi obat (-)
Asma (-)
Keluhan yang sama (-)
I.3 Pemeriksaan fisik
Kesadaran umum : compos mentis
GCS
: 15 (E4 M6 V5)
Airway
: tidak ada tanda-tanda hambatan jalan nafas. Sesak (-)
Breathing

: RR 22 x/menit, wheezing (-), ronki (-)

Circulation

: Tensi : 100/60 mmHg, Nadi : 112 x/menit,


perfusi baik (tangan hangat, merah, kering)

Suhu
: 36,0 C
Makan / minum (+)
Mual / muntah (-)
1

Berat Badan

: 35 kg

Status Lokalis
Inspeksi

: Terdapat luka bakar pada regio toraks anterior, abdomen, femoris anterior

dextra et sinistra, palmar dextra.


Kepala dan leher

:0%

Trunkus anterior

: 13 %

Trunkus posterior

:0%

Ekstremitas superior dextra

: 1 % (palmaris dextra)

Ekstremitas superior sinistra : 0 %


Ekstremitas inferior dextra

: 9 % (femoris anterior)

Ekstremitas inferior sinistra : 9 % (femoris anterior)


Genitalia

:1%+

Total

: 33 %

I.4 Pemeriksaan Penunjang :


Laboratorium:
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Creatinine
Ureum
Albumin
Clothing Time
Bleeding Time

13,7 mg/dl
42,8 %
2.390/l
299.000/ l
1,5 mg/dl
61 mg/dl
2,86 mg dl
13
2

N: 10-15 g/dl
N: 30-48%
N: 4.000-10.000/l
N: 150.000-400.000/ l
N: 0,9-1,3 mg/dl
N: 19- 44 mg/dl
N : 3,5 6,2 g/dl
N: 9-15
N: 1-3

I.5 Assesment
Combustio Grade II 33%
F. Planning

Inf. RL 80 tpm
Inj. Cefotaxime 2 x 1 gr
Inj. Ranitidine 2 x 50 mg
Inj. Ketorolac 3 x 30 mg drip
Rawat luka dengan silver sulfadiazine krim
Pro debridement di ruang operasi

G. Status Operasi
ASA II
H. Laporan Anestesi Pasien
a. Diagnosa pra bedah

: Combustio Grade II 33%

b. Diagnosa pasca bedah

: Combustio Grade II 33%

c. Jenis pembedahan

: Debridement

d. Jenis anestesi

: Anestesi umum (general anesthesia)

Premedikasi anestesi
-

Atropin sulfat 0,25 mg


Midazolam 2,5 mg
Fentanil 35 g
Atrakurium 20 mg

Induksi dan durante operasi


Induksi dengan menggunakan propofol IV kemudian pemeliharaan
anestesi dengan menggunakan kombinasi inhalasi sevoflurane, N 2O dan
oksigen. Durante operasi selama 1 jam dan diberikan cairan Ringer Laktat
sebanyak 500 ml. Urin output sebanyak 50 ml. Pada akhir operasi
diberikan 30 mg ketorolac dalam 500 ml RL.
Post operasi:
Setelah operasi pasien dibawa ke ruang bedah dengan status kesadaran
somnolen.Napas spontan, rhonki (-), wheezing (-). Circulation S1 dan S2
tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-).
Follow Up
Tanggal
Perjalanan penyakit
27.07.2015 S/ Luka tersiram bensin 2 hari yang
06.00 WIB lalu.
O/
TD : 100/70 mmHg

Pengobatan yang diberikan


IVFD RL 80 gtt/menit
Inj. Cefotaxime 2 x 1 gr
Inj. Ranitidine 2 x 50 mg
Inj. Ketorolac 3 x 30 mg drip
3

RR : 20 x/menit
N : 88 x/menit
T : 36,6oC
A/ Combustio grade II 33%
28.07.2015 S/ Nyeri pada luka
06.00 WIB
O/
TD : 100/60 mmHg
RR : 20 x/menit
N : 80 x/menit
T : 36,5oC
A/ Combustio grade II 33%
29.07.2015 S/ Nyeri pada luka
06.00 WIB
O/
TD : 100/60 mmHg
RR : 21 x/menit
N : 84 x/menit
T : 36,7oC

Burnazin cream
Rawatluka

IVFD RL 80 gtt/menit
Inj. Cefotaxime 2 x 1 gr
Inj. Ranitidine 2 x 50 mg
Inj. Ketorolac 3 x 30 mg drip
Burnazin cream
Rawatluka
Pro debridement
IVFD RL 80 gtt/menit
Inj. Cefotaxime 2 x 1 gr
Inj. Ranitidine 2 x 50 mg
Inj. Ketorolac 3 x 30 mg drip
Burnazin cream
Rawatluka
Pro debridement

A/ Combustio grade II 33%

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Luka Bakar
A.1 Definisi Luka Bakar
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan
kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi.
Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi
yang memerlukan penatalaksanaan khusus sejak awal (fase syok) sampai fase lanjut.
Luka bakar dapat disebabkan oleh paparan api, baik secara langsung maupun tidak
langsung, misal akibat tersiram air panas yang banyak terjadi pada kecelakaan rumah
tangga. Selain itu, pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik maupun bahan kimia juga
dapat menyebabkan luka bakar.
A.2Etiologi
Secara garis besar, penyebab terjadinya luka bakar dapat dibagi menjadi:
1. Paparan api
a. Flame: Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka, dan
menyebabkan cedera langsung ke jaringan tersebut. Api dapat membakar
pakaian terlebih dahulu baru mengenai tubuh. Serat alami memiliki
kecenderungan untuk terbakar, sedangkan serat sintetik cenderung meleleh
atau menyala dan menimbulkan cedera tambahan berupa cedera kontak.
b. Benda panas (kontak): Terjadi akibat kontak langsung dengan benda panas.
Luka bakar yang dihasilkan terbatas pada area tubuh yang mengalami
kontak. Contohnya antara lain adalah luka bakar akibat rokok dan alat-alat
seperti solder besi atau peralatan masak.
2. Scalds (air panas)
Terjadi akibat kontak dengan air panas. Semakin kental cairan dan semakin lama
waktu kontaknya, semakin besar kerusakan yang akan ditimbulkan. Luka yang
disengaja atau akibat kecelakaan dapat dibedakan berdasarkan pola luka bakarnya.
Pada kasus kecelakaan, luka umumnya menunjukkan pola percikan, yang satu
sama lain dipisahkan oleh kulit sehat. Sedangkan pada kasus yang disengaja, luka
5

umumnya melibatkan keseluruhan ekstremitas dalam pola sirkumferensial dengan


garis yang menandai permukaan cairan.
3. Uap panas
Terutama ditemukan di daerah industri atau akibat kecelakaan radiator mobil. Uap
panas menimbulkan cedera luas akibat kapasitas panas yang tinggi dari uap serta
dispersi oleh uap bertekanan tinggi. Apabila terjadi inhalasi, uap panas dapat
menyebabkan cedera hingga ke saluran napas distal di paru.
4. Gas panas
Inhalasi menyebabkan cedera thermal pada saluran nafas bagian atas dan oklusi
jalan nafas akibat edema.
5. Aliran listrik
Cedera timbul akibat aliran listrik yang lewat menembus jaringan tubuh.
Umumnya luka bakar mencapai kulit bagian dalam. Listrik yang menyebabkan
percikan api dan membakar pakaian dapat menyebabkan luka bakar tambahan.
6. Zat kimia (asam atau basa)
7. Radiasi
8. Sunburn sinar matahari, terapi radiasi.
A.3Epidemiologi
Dari laporan American Burn Association 2012 dikatakan bahwa angka morbiditas
96,1% lebih banyak terjadi pada wanita (69%). Berdasarkan tempat kejadian, 69 % di
rumah tangga dan 9% di tempat kerja, 7% di jalan raya, 5% di rekreasi atau olahraga
10% dan lain-lain.
A.4Klasifikasi Luka Bakar
Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tinggi suhu, lamanya pajanan suhu tinggi,
adekuasi resusitasi, dan adanya infeksi pada luka. Selain api yang langsung menjilat
tubuh, baju yang ikut terbakar juga memperdalam luka bakar. Bahan baju yang paling
aman adalah yang terbuat dari bulu domba (wol). Bahan sintetis seperti nilon dan
dakron, selain mudah terbakar juga mudah meleleh oleh suhu tinggi, lalu menjadi
lengket sehingga memperberat kedalaman luka bakar. Kedalaman luka bakar
dideskripsikan dalam derajat luka bakar, yaitu luka bakar derajat I, II, atau III:
Derajat I
Pajanan hanya merusak epidermis sehingga masih menyisakan banyak jaringan
untuk dapat melakukan regenerasi. Luka bakar derajat I biasanya sembuh dalam

5-7 hari dan dapat sembuh secara sempurna. Luka biasanya tampak sebagai
eritema dan timbul dengan keluhan nyeri dan atau hipersensitivitas lokal. Contoh
luka bakar derajat I adalah sunburn.

Gambar 1. Luka Bakar Grade 1

Derajat II
Lesi melibatkan epidermis dan mencapai kedalaman dermis namun masih terdapat
epitel vital yang bisa menjadi dasar regenerasi dan epitelisasi. Jaringan tersebut
misalnya sel epitel basal, kelenjar sebasea, kelenjar keringat, dan pangkal rambut.
Dengan adanya jaringan yang masih sehat tersebut, luka dapat sembuh dalam 23 minggu. Gambaran luka bakar berupa gelembung atau bula yang berisi cairan
eksudat dari pembuluh darah karena perubahan permeabilitas dindingnya, disertai
rasa nyeri. Apabila luka bakar derajat II yang dalam tidak ditangani dengan baik,
dapat timbul edema dan penurunan aliran darah di jaringan, sehingga cedera
berkembang menjadi full-thickness burn atau luka bakar derajat III.

Gambar 2. Luka Bakar Grade 2

Derajat III
Mengenai seluruh lapisan kulit, dari subkutis hingga mungkin organ atau jaringan
yang lebih dalam. Pada keadaan ini tidak tersisa jaringan epitel yang dapat
menjadi dasar regenerasi sel spontan, sehingga untuk menumbuhkan kembali
jaringan kulit harus dilakukan cangkok kulit. Gejala yang menyertai justru tanpa
nyeri maupun bula, karena pada dasarnya seluruh jaringan kulit yang memiliki
persarafan sudah tidak intak.
Gambar 3.

Luka Bakar

Grade 3

Gambar 4. Derajat

Luka Bakar

Berdasarkan

Kedalaman

Tabel 1. Klasifikasi
Berdasarkan

Luka Bakar
Kedalamannya

A.5 Patofisiologi
Akibat pertama luka bakar adalah syok hipovolemi dan neurogenik. Pembuluh
kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas meninggi. Sel darah yang
ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia. Meningkatnya
permeabilitas menyebabkan edema dan menimbulkan bula yang mengandung banyak
elektrolit. Hal itu menyebabkan berkurangnya volume cairan intravaskuler.
Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan akibat penguapan
yang berlebihan, masuknya cairan ke bula yang terbentuk pada luka bakar derajat II,
dan pengeluaran cairan dari keropeng luka bakar derajat III.
Mekanisme utama akibat luka listrik adalah sebagai berikut:
1. Energi listrik menyebabkan kerusakan jaringan langsung, mengubah potensial sel
membran istirahat, dan tetany memunculkan otot.
2. Konversi energi listrik menjadi energi panas, menyebabkan kerusakan jaringan
besar dan nekrosis coagulative.
3. Cedera mekanis dengan trauma langsung akibat jatuh atau kontraksi otot
kekerasan.
Faktor-faktor yang menentukan derajat cedera termasuk besarnya energi yang
disampaikan, resistensi dari jaringan yang kontak dengan arus listrik, jenis arus, jalur
arus, dan lamanya kontak. Efek sistemik dan kerusakan jaringan secara langsung
proporsional dengan besarnya arus yang. Jumlah arus (ampere) secara langsung

berhubungan dengan tegangan dan berbanding terbalik dengan perlawanan,


sebagaimana ditentukan oleh hukum Ohm (I = V / R, dimana I = arus, V = tegangan,
R = resistansi). Dari parameter yang dijelaskan oleh hukum Ohm, tegangan biasanya
dapat ditentukan dan digunakan untuk mengukur besarnya potensi pemaparan saat ini
dan besarnya cedera yang disebabkan.
Sengatan listrik diklasifikasikan sebagai tegangan tinggi (> 1000 volt) atau tegangan
rendah (<1000 volt). Sebagai aturan umum, tegangan tinggi dikaitkan dengan
morbiditas dan kematian yang lebih besar, meskipun cedera fatal dapat terjadi pada
tegangan rendah. Tubuh memiliki tahanan yang berbeda-beda. Secara umum,
jaringan dengan cairan yang tinggi dan mengandung banyak elektrolit mampu
mengkonduksi listrik lebih baik. Tulang memiliki tahanan paling tinggi. Sedangkan
jaringan saraf memiliki tahanan paling rendah, dan bersama-sama dengan pembuluh
darah, otot, dan selaput lender juga memiliki tahanan yang rendah terhadap listrik.
Kulit memberikan tahanan intermediate dan merupakan faktor yang paling penting
menghambat aliran arus. Kulit adalah resistor utama terhadap arus listrik, dan derajat
resistensi ditentukan oleh ketebalan dan kelembaban. Ini bervariasi dari 1000 ohm
untuk kulit tipis lembab untuk beberapa ribu ohm untuk kulit kapalan kering.
Jalur arus menentukan jaringan yang berisiko dan apa jenis cedera yang dihasilkan.
Arus listrik yang melewati kepala atau dada lebih mungkin menghasilkan luka fatal.
Arus transthoracic dapat menyebabkan aritmia fatal, kerusakan jantung langsung,
atau pernapasan. Transcranial arus dapat menyebabkan cedera otak langsung, kejang,
pernapasan, dan kelumpuhan.
Cedera electrothermal mengakibatkan edema jaringan. Meningkatnya permeabilitas
kapiler akibat terpajan suhu tinggi menyebabkan terjadinya perpindahan cairan yang
berasal dari jaringan interstisial yang mengawali terjadinya edema yang akan
menghasilkan sindrom kompartemen. Ekstremitas adalah struktur yang paling sering
terlibat

untuk

pengembangan

sindrom

kompartemen.Sindrom

kompartemen

merupakan suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan interstitial pada


kompartemen osteofasial yang tertutup. Sehingga mengakibatkan berkurangnya
perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan.

10

Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme kompensasi tubuh masih
bisa mengatasinya, tetapi bila lebih dari 20%, akan terjadi syok hipovolemik dengan
gejala yang khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat,
tekanan darah menurun dan produksi urin yang berkurang. Pembengkakan terjadi
pelan-pelan, maksimal terjadi setelah delapan jam. Pada kebakaran ruang tertutup
atau bila luka terjadi di wajah, dapat terjadi kerusakan mukosa jalan napas karena
gas, asap atau uap panas yang terisap. Edema laring yang ditimbulkannya dapat
menyebabkan hambatan jalan napas dengan gejala sesak napas, takipnea, stridor,
suara serak dan dahak berwarna gelap akibat jelaga.
Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi mobilisasi serta
penyerapan kembali cairan edema ke pembuluh darah. Ini ditandai dengan
meningkatnya diuresis.Luka bakar sering tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati,
yang merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah
infeksi. Infeksi ini sulit diatasi karena daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh kapiler
yang mengalami trombosis. Padahal, pembuluh ini membawa sistem pertahanan
tubuh atau antibiotik. Kuman penyebab infeksi pada luka bakar, selain berasal dari
dari kulit penderita sendiri, juga dari kontaminasi kuman saluran napas atas dan
kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit. Infeksi nosokomial ini biasanya
sangat berbahaya karena kumannya banyak yang sudah resisten terhadap berbagai
antibiotik.
Bila luka bakar dibiopsi dan eksudatnya dibiak, biasanya ditemukan kuman dan
terlihat invasi kuman tersebut ke jaringan sekelilingnya. Luka bakar demikian disebut
luka bakar septik. Bila penyebabnya kuman Gram positif, seperti stafilokokus atau
basil Gram negatif lainnya, dapat terjadi penyebaran kuman lewat darah (bakteremia)
yang dapat menimbulkan fokus infeksi di usus. Syok sepsis dan kematian dapat
terjadi karena toksin kuman yang menyebar di darah.
Bila penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat II dapat sembuh dengan
meninggalkan cacat berupa parut. Penyembuhan ini dimulai dari sisa elemen epitel
yang masih vital, misalnya sel kelenjar sebasea, sel basal, sel kelenjar keringat, atau
sel pangkal rambut. Luka bakar derajat II yang dalam mungkin meninggalkan parut
11

hipertrofik yang nyeri, gatal, kaku dan secara estetik jelek. Luka bakar derajat III
yang dibiarkan sembuh sendiri akan mengalami kontraktur. Bila terjadi di persendian,
fungsi sendi dapat berkurang atau hilang.
Pada luka bakar berat dapat ditemukan ileus paralitik. Pada fase akut, peristalsis usus
menurun atau berhenti karena syok, sedangkan pada fase mobilisasi, peristalsis dapat
menurun karena kekurangan ion kalium.Stres atau badan faali yang terjadi pada
penderita luka bakar berat dapat menyebabkan terjadinya tukak di mukosa lambung
atau duodenum dengan gejala yang sama dengan gejala tukak peptik. Kelainan ini
dikenal sebagai tukak Curling.
Inti dari permasalahan luka bakar adalah kerusakan endotel dan epitel akibat dan
cedera termis yang melepaskan mediator-mediator proinflamasi dan berkembang
menjadi

Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), kondisi ini hampir

selalu berlanjut dengan Mutli-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS). MODS


terjadi karena gangguan perfusi jaringan yang berkepanjangan akibat gangguan
sirkulasi makro menjadi berubah orientasi pada proses perbaikan perfusi (sirkulasi
mikro) sebagai end-point dari prosedur resusitasi.

12

Gambar 5. Perubahan Sistemik Akibat Luka Bakar


A.6 Fase Luka Bakar
Untuk mempermudah penanganan luka bakar maka dalam perjalanan penyakitnya
dibedakan dalam 3 fase :
1. Fase akut / fase syok / fase awal
Fase ini mulai dari saat kejadian sampai penderita mendapat perawatan di
IRD /Unit luka bakar.
Pada fase ini penderita luka bakar, seperti penderita trauma lainnya, akan
mengalami ancaman dan gangguan airway (jalan napas), breathing (mekanisme
bernafas) dan gangguan circulation(sirkulasi).
Pada fase ini dapat terjadi juga gangguan keseimbangan sirkulasi cairan dan
elektrolit akibat cedera termal/panas yang berdampak sistemik. Adanya syok
yang bersifat hipodinamik dapat berlanjut dengan keadaan hiperdinamik yang
masih berhubungan akibat problem instabilitas sirkulasi.
2. Fase Subakut
Fase ini berlangsung setelah fase syok berakhir atau dapat teratasi. Luka
yangterjadi dapat menyebabkan beberapa masalah yaitu :
a. Proses inflamasi atau infeksi.
b. Problem penutupan luka
c. Keadaan hipermetabolisme.
3. Fase Lanjut

13

Fase ini penderita sudah dinyatakan sembuh tetapi tetap dipantau melalui rawat
jalan. Problem yang muncul pada fase ini adalah penyulit berupa parut yang
hipertrofik, keloid, gangguan pigmentasi, deformitas dan timbulnya kontraktur.
A.7 Luas Luka Bakar
Luas luka bakar dinyatakan dalam persen terhadap luas seluruh tubuh. Ada beberapa
metode cepat untuk menentukan luas luka bakar, yaitu:
Estimasi luas luka bakar menggunakan luas permukaan palmar pasien. Luas
telapak tangan individu mewakili 1% luas permukaan tubuh. Luas luka bakar
hanya dihitung pada pasien dengan derajat luka II atau III.
Rumus 9 atau rule of nine untuk orang dewasa Pada dewasa digunakan rumus 9,
yaitu luas kepala dan leher, dada, punggung, pinggang dan bokong, ekstremitas
atas kanan, ekstremitas atas kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai dan kaki kanan,
serta tungkai dan kaki kiri masing-masing 9%. Sisanya 1% adalah daerah
genitalia.

Gambar 6. Perhitungan Luka Bakar Berdasarkan Rule of Nine

Metode Lund dan Browder


14

Metode yang diperkenalkan untuk kompensasi besarnya porsi massa tubuh di


kepala pada anak. Metode ini digunakan untuk estimasi besarnya luas permukaan
pada anak. Apabila tidak tersedia tabel tersebut, perkiraan luas permukaan tubuh
pada anak dapat menggunakan Rumus 9 dan disesuaikan dengan usia:
Pada anak di bawah usia 1 tahun: kepala 18% dan tiap tungkai 14%. Torso

o
o

dan lengan persentasenya sama dengan dewasa.


Untuk tiap pertambahan usia 1 tahun, tambahkan 0.5% untuk tiap tungkai
dan turunkan persentasi kepala sebesar 1% hingga tercapai nilai dewasa.

Tabel 1. Skor Lund dan Browder

A.8 Kriteria Berat Ringannya


1. Luka bakar berat (major burn)
15

a. Derajat II-III > 20 % pada pasien berusia di bawah 10 tahun atau di atas usia
50 tahun
b. Derajat II-III > 25 % pada kelompok usia selain disebutkan pada butir pertama
c. Luka bakar pada muka, telinga, tangan, kaki, dan perineum
d. Adanya cedera pada jalan nafas (cedera inhalasi) tanpa memperhitungkan luas
luka bakar
e. Luka bakar listrik tegangan tinggi
f. Disertai trauma lainnya
g. Pasien-pasien dengan resiko tinggi
2. Luka bakar sedang (moderate burn)
a. Luka bakar dengan luas 15 25 % pada dewasa, dengan luka bakar derajat III
kurang dari 10 %
b. Luka bakar dengan luas 10 20 % pada anak usia < 10 tahun atau dewasa >
40 tahun, dengan luka bakar derajat III kurang dari 10 %
c. Luka bakar dengan derajat III < 10 % pada anak maupun dewasa yang tidak
mengenai muka, tangan, kaki, dan perineum
3. Luka bakar ringan
a. Luka bakar dengan luas < 10 % pada dewasa
b. Luka bakar dengan luas < 10 % pada anak dan usia lanjut
c. Luka bakar dengan luas < 2 % pada segala usia (tidak mengenai muka, tangan,
kaki, dan perineum
Tabel 2. American Burn Association Burn Injury Severity Grading System

A.9. Penatalaksanaan
Primary Survey
16

Airway, yakni membebaskan jalan nafas agar pasien dapat tetap bernafas secara
normal
Breathing, mengecek kecepatan pernafasan yakni sekitar 20x/ menit
Circulation, melakukan palpasi pada nadi untuk mengecek pulsasi yang pada
orang normal berkisar antar 60 100x/ menit
Disability
o Periksa kesadaran.
o Periksa ukuran pupil.
Environment
o
Secara

Jaga pasien dalam keadaan hangat.


sistematik

dapat

dilakukan

6c

clothing,

cooling,

cleaning,

chemoprophylaxis, covering and comforting. Untuk pertolongan pertama dapat


dilakukan langkah clothing dan cooling, baru selanjutnya dilakukan pada fasilitas
kesehatan

Clothing : singkirkan semua pakaian yang panas atau terbakar. Bahan pakaian
yang menempel dan tak dapat dilepaskan maka dibiarkan untuk sampai pada
fase cleaning.

Cooling : Dinginkan daerah yang terkena luka bakar dengan menggunakan air
mengalir selama 20 menit, hindari hipotermia (penurunan suhu di bawah
normal, terutama pada anak dan orang tua). Cara ini efektif samapai dengan 3
jam setelah kejadian luka bakar Kompres dengan air dingin (air sering
diganti agar efektif tetap memberikan rasa dingin) sebagai analgesia
(penghilang rasa nyeri) untuk luka yang terlokalisasi Jangan pergunakan es
karena es menyebabkan pembuluh darah mengkerut (vasokonstriksi) sehingga
justru akan memperberat derajat luka dan risiko hipotermia Untuk luka bakar
karena zat kimia dan luka bakar di daerah mata, siram dengan air mengalir
yang banyak selama 15 menit atau lebih. Bila penyebab luka bakar berupa
bubuk, maka singkirkan terlebih dahulu dari kulit baru disiram air yang
mengalir.

17

Cleaning : pembersihan dilakukan dengan zat anastesi untuk mengurangi rasa


sakit. Dengan membuang jaringan yang sudah mati, proses penyembuhan akan
lebih cepat dan risiko infeksi berkurang.

Chemoprophylaxis : Pemberian krim silver sulvadiazin untuk penanganan


infeksi, dapat diberikan kecuali pada luka bakar superfisial. Tidak boleh
diberikan pada wajah, riwayat alergi sulfa, perempuan hamil, bayi baru lahir,
ibu menyususi dengan bayi kurang dari 2 bulan

Covering : penutupan luka bakar dengan kassa. Dilakukan sesuai dengan


derajat luka bakar. Luka bakar superfisial tidak perlu ditutup dengan kasa atau
bahan lainnya. Pembalutan luka (yang dilakukan setelah pendinginan)
bertujuan untuk mengurangi pengeluaran panas yang terjadi akibat hilangnya
lapisan kulit akibat luka bakar. Jangan berikan mentega, minyak, oli atau
larutan lainnya, menghambat penyembuhan dan meningkatkan risiko infeksi.

Comforting : dapat dilakukan pemberian pengurang rasa nyeri.

Tentukan luas luka bakar


Telah dibahas sebelumnya.
Resusitasi cairan
Resusitasi cairan diindikasikan bila luas luka bakar > 10% pada anak-anak atau >
15% pada dewasa. Tujuan resusitasi cairan pada syok luka bakar adalah:

Preservasi reperfusi yang adekuat dan seimbang diseluruh pembuluh


vaskuler regional sehingga tidak terjadi iskemia jaringan

Minimalisasi dan eliminasi pemberian cairan bebas yang tidak diperlukan.

Optimalisasi status volume dan komposisi intravaskuler untuk menjamin


survival seluruh sel

Minimalisasi respon inflamasi dan hipermetabolik dan mengupayakan


stabilisasi pasien secepat mungkin kembali ke kondisi fisiologis.

Formula yang sering digunakan untuk manajemen cairan pada luka bakar mayor
yaitu Parkland, modified Parkland, Brooke, modified Brooke, Evans dan Monafos
formula.

18

Parkland formula
1. 24 jam pertama: cairan Ringer Laktat (RL) 4 mL/kgBB untuk setiap 1%
permukaan tubuh yang terbakar pada dewasa dan 3 mL/kgBB untuk setiap 1%
permukaan tubuh yang terbakar pada anak. Cairan RL ditambahkan untuk
maintenance pada anak:
-

4 mL/kg BB/jam untuk anak dengan berat 0-10 kg

40 mL/jam + 2 mL/jam untuk anak dengan berat 10-20 kg

60 mL/jam + 1 mL/kg BB/jam untuk anak dengan berat 20 kg atau lebih.

Formula ini direkomendasikan tanpa koloid di 24 jam pertama.


2. 24 jam selanjutnya: koloid diberikan sebesar 20-60% dari kalkulasi volume
plasma. Tanpa kristaloid. Glukosa pada air ditambahkan untuk mempertahankan
output urin 0,5 1 mL/jam pada dewasa dan 1 mL/jam pada anak.
Tekanan darah kadang sulit diukur dan hasilnya kurang dapat dipercaya.
Pengukuran produksi urin tiap jam merupakan alat monitor yang baik untuk
menilai volume sirkulasi darah. Pemberian cairan cukup untuk dapat
mempertahankan produksi urin 1,0 mL/kgBB/jam pada anak-anak dengan berat
badan 30 kg atau kurang, dan 0,5-1 ml/kgBB/jam pada orang dewasa.
Resusitasi luka bakar yang ideal adalah mengembalikan volume plasma dengan
efektif tanpa efek samping. Kristaloid isotonic, cairan hipertonik, dan koloid
telah digunakan untuk tujuan ini, namun setiap cairan memiliki kelebihan dan
kekurangan. Tak satupun dari mereka ideal, dan tak ada yang lebih superior
dibanding yang lain.
1. Kristaloid isotonik
Kristaloid tersedia dan lebih murah dibanding alternative lain. Cairan RL,
cairan Hartmann (sebuah cairan yang mirip dengan RL) dan NaCl 0,9%
adalah cairan yang sering digunakan. Ada beberapa efek samping dari
kristaloid: pemberian volume NaCl 0,9%

yang besar memproduksi

hyperchloremic acidosis, RL meningkatkan aktivasi neutrofil setelah


resusitasi untuk hemoragik atau setelah infus tanpa hemoragik. RL
digunakan oleh sebagian besar rumah sakit mengandung campuran ini. Efek

19

samping lain yang telah didemonstrasikan yaitu kristaloid memiliki


pengaruh yang besar pada koagulasi.
2. Cairan hipertonik
Pentingnya ion Na di patofisiologi syok luka bakar telah ditekankan oleh
beberapa studi sebelumnya. Na masuk ke dalam sel shingga terjadi edema
sel dan hipo-osmolar intravascular volume cairan. Pemasangan infus cairan
hipertonik yang segera telah dibuktikan meningkatkan osmolaritas plasma
dan membatasi edema sel. Penggunaan cairan dengan konsentrasi 250
mEq/L, Moyer at al. mampu mendapatkan resusitasi fisologis yang efektif
dengan total volume yang rendah dibandingkan cairan isotonic pada 24 jam
pertama. Namun Huang et al. menemukan bahwa setelah 48 jam pasien
yang diterapi dengan cairan hipertonik atau RL memberikan hasil yang
sama. Mereka juga mendemonstrasikan bahwa resusitasi cairan hipertonik
berhubungan dengan peningkatan insidens gagal ginjal dan kematian. Saat
ini, resusitasi dengan cairan hipertonik menjadi pilihan menarik secara
fungsi fisiologis sesuai teorinya, tetapi memerlukan pemantauan ketat dan
resiko hipernatremi dan aggal ginjal menjadi perhatian utama.
3. Koloid
Kebocoran dan akumulasi protein plasma di luar komparemen vaskular
memberikan kontribusi pada pembentukan edema. Kebocoran kapiler bisa
bertahan hingga 24 jam setelah trauma bakar. Peneliti lain menemukan
ekstravasasi ekstravasasi albumin berhenti 8 jam setelah trauma bakar.
Koloid sebagai cairan hiperosmotik, digunakan untuk meningkatkan
osmolalitas intravascular dan menghentikan ekstravasasi kristaloid.
Resusitasi nutrisi
Pada pasien luka bakar, pemberian nutrisi secara enteral sebaiknya dilakukan sejak
dini dan pasien tidak perlu dipuasakan. Bila pasien tidak sadar, maka pemberian
nutrisi dapat melalui naso-gastric tube (NGT). Nutrisi yang diberikan sebaiknya
mengandung 10-15% protein, 50-60% karbohidrat dan 25-30% lemak. Pemberian
nutrisi sejak awal ini dapat meningkatkan fungsi kekebalan tubuh dan mencegah
terjadinya atrofi vili usus. Dengan demikian diharapkan pemberian nutrisi sejak
awal dapat membantu mencegah terjadinya SIRS dan MODS.
20

Perawatan luka bakar


Umumnya untuk menghilangkan rasa nyeri dari luka bakar digunakan morfin
dalam dosis kecil secara intravena (dosis dewasa awal : 0,1-0,2 mg/kg dan
maintenance 5-20 mg/70 kg setiap 4 jam, sedangkan dosis anak-anak 0,05-0,2
mg/kg setiap 4 jam). Tetapi ada juga yang menyatakan pemberian methadone (510 mg dosis dewasa) setiap 8 jam merupakan terapi penghilang nyeri kronik yang
bagus untuk semua pasien luka bakar dewasa. Jika pasien masih merasakan nyeri
walau dengan pemberian morfin atau methadone, dapat juga diberikan
benzodiazepine sebagai tambahan.
Terapi pembedahan pada luka bakar
1. Eksisi dini
Eksisi dini adalah tindakan pembuangan jaringan nekrosis dan debris
(debridement) yang dilakukan dalam waktu kurang dari 7 hari (biasanya hari
ke 5-7) pasca cedera termis. Dasar dari tindakan ini adalah:
a. Mengupayakan proses penyembuhan berlangsung lebih cepat. Dengan
dibuangnya jaringan nekrosis, debris dan eskar, proses inflamasi tidak akan
berlangsung lebih lama dan segera dilanjutkan proses fibroplasia. Pada
daerah sekitar luka bakar umumnya terjadi edema, hal ini akan
menghambat aliran darah dari arteri yang dapat mengakibatkan terjadinya
iskemi pada jaringan tersebut ataupun menghambat proses penyembuhan
dari luka tersebut. Dengan semakin lama waktu terlepasnya eskar, semakin
lama juga waktu yang diperlukan untuk penyembuhan.
b. Memutus rantai proses inflamasi yang dapat berlanjut menjadi komplikasi
komplikasi luka bakar (seperti SIRS). Hal ini didasarkan atas jaringan
nekrosis yang melepaskan burn toxic (lipid protein complex) yang
menginduksi dilepasnya mediator-mediator inflamasi.
c. Semakin lama penundaan tindakan eksisi, semakin banyaknya proses
angiogenesis yang terjadi dan vasodilatasi di sekitar luka. Hal ini
mengakibatkan banyaknya darah keluar saat dilakukan tindakan operasi.
Selain itu, penundaan eksisi akan meningkatkan resiko kolonisasi mikro

21

organisme patogen yang akan menghambat pemulihan graft dan juga eskar
yang melembut membuat tindakan eksisi semakin sulit.
Tindakan ini disertai anestesi baik lokal maupun general dan pemberian
cairan melalui infus. Tindakan ini digunakan untuk mengatasi kasus luka bakar
derajat II dalam dan derajat III. Tindakan ini diikuti tindakan hemostasis dan
juga skin grafting (dianjurkan split thickness skin grafting). Tindakan ini
juga tidak akan mengurangi mortalitas pada pasien luka bakar yang luas. Eksisi
dini diutamakan dilakukan pada daerah luka sekitar batang tubuh posterior.
Eksisi dini terdiri dari eksisi tangensial dan eksisi fasial.
2. Skin grafting
Skin grafting adalah metode penutupan luka sederhana. Tujuan dari metode ini
adalah:
a. Menghentikan evaporate heat loss
b. Mengupayakan agar proses penyembuhan terjadi sesuai dengan waktu
c. Melindungi jaringan yang terbuka
A.10.Prognosis
Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada dalam dan luasnya
permukaan luka bakar, dan penanganan sejak awal hingga penyembuhan. Selain itu
faktor letak daerah yang terbakar, usia dan keadaan kesehatan penderita juga turut
menentukan kecepatan penyembuhan.
Penyulit juga mempengaruhi prognosis pasien. Penyulit yang timbul pada luka bakar
antara lain gagal ginjal akut, edema paru, SIRS, infeksi dan sepsis, serta parut
hipertrofik dan kontraktur.
A.11.Komplikasi
Sistemic Inflammatory Response Syndrome

(SIRS), Multi-system Organ

Dysfunction Syndrome (MODS), dan Sepsis. SIRS adalah suatu bentuk respon
klinik yang bersifat sistemik terhadap berbagai stimulus klinik berat akibat infeksi
ataupun noninfeksi seperti trauma, luka bakar, reaksi autoimun, sirosis,
pankreatitis, dll. Respon ini merupakan dampak dari pelepasan mediator-mediator
inflamasi (proinflamasi) yang mulanya bersifat fisiologik dalam proses
22

penyembuhan luka, namun oleh karena pengaruh beberapa faktor predisposisi dan
faktor pencetus, respon ini berubah secara berlebihan (mengalami eksagregasi) dan
menyebabkan kerusakan pada organ-organ sistemik, menyebabkan disfungsi dan
berakhir dengan kegagalan organ terkena menjalankan fungsinya; MODS (Multisystem Organ Disfunction Syndrome) bahkan sampai kegagalan berbagai organ
(Multi-system Organ Failure/MOF).
Ada 5 hal yang bisa menjadi aktivator timbulnya SIRS, yaitu infection, injury,
inflamation, inadequate blood flow, dan ischemia-reperfusion injury. Kriteria
klinik yang digunakan, mengikuti hasil konsensus American College of Chest
phycisians dan the Society of Critical Care Medicine tahun 1991, yaitu bila
dijumpai 2 atau lebih menifestasi berikut selama beberapa hari, yaitu:
-

Hipertermia (suhu > 38C) atau hipotermia (suhu < 36C)

Takikardi (frekuensi nadi > 90x/menit)

Takipneu (frekuensi nafas > 20x/menit) atau tekanan parsial CO2 rendah
(PaCO2< 32 mmHg)

Leukositosis (jumlah lekosit > 12.000 sel/mm3), leukopeni (< 4000


sel/mm3) atau dijumpai > 10% netrofil dalam bentuk imatur (band).

Bila diperoleh bukti bahwa infeksi sebagai penyebab (dari hasil kultur
darah/bakteremia), maka SIRS disebut sebagai sepsis. SIRS akan selalu berkaitan
dengan MODS karena MODS merupakan akhir dari SIRS. Pada dasarnya MODS
adalah kumpulan gejala dengan adanya gangguan fungsi organ pada pasien akut
sedemikian rupa, sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi.
Bila ditelusuri lebih lanjut, SIRS sebagai suatu proses yang berkesinambungan
sehingga dapat dimengerti bahwa MODS menggambarkan kondisi lebih berat dan
merupakan bagian akhir dari spektrum keadaan yang berawal dari SIRS.
MODS merupakan bagian akhir dari spektrum klinis SIRS. Pada pasien luka bakar
dapat dijumpai secara kasar 30% kasus mengalami MODS. Ada 3 teori yang
menjelaskan timbulnya SIRS, MODS dan sepsis; yang mana ketiganya terjadi
secara simultan.

23

Teori pertama menyebutkan bahwa syok yang terjadi menyebabkan penurunan


penurunan sirkulasi di daerah splangnikus, perfusi ke jaringan usus terganggu
menyebabkan disrupsi mukosa saluran cerna. Disrupsi mukosa menyebakan fungsi
mukosa sebagai barrier berkurang/hilang, dan mempermudah terjadinya
translokasi bakteri. Bakteri yang mengalami translokasi umumnya flora normal
usus yang bersifat komensal, berubah menjadi oportunistik; khususnya akibat
perubahan suasana di dalam lumen usus (puasa, pemberian antasida dan beberapa
jenis antibiotika). Selain kehilangan fungsi sebagai barrier terhadap kuman, daya
imunitas juga berkurang (kulit, mukosa), sehingga mudah dirusak oleh toksin yang
berasal dari kuman (endo atau enterotoksin). Pada kondisi disrupsi, bila pasien
dipuasakan, maka proses degenerasi mukosa justru berlanjut menjadi atrofi
mukosa usus yang dapat memperberat keadaan.
Gangguan sirkulasi ke berbagai organ menyebabkan kondisi-kondisi yang memicu
SIRS. Gangguan sirkulasi serebral menyebabkan disfungsi karena gangguan
sistem autoregulasi serebral yang memberi dampak sistemik (ensefelopati).
Gangguan sirkulasi ke ginjal menyebabkan iskemi ginjal khususnya tubulus
berlanjut dengan Acute Tubular Necrosis (ATN) yang berakhir dengan gagal ginjal
(Acute Renal Failure/ARF). Gangguan sirkulasi perifer menyebabkan iskemi otototot dengan dampak pemecahan glikoprotein yang meningkatkan produksi Nitric
Oxide (NO); NO ini berperan sebagai modulator sepsis. Gangguan sirkulasi ke
kulit dan sitem integumen menyebabkan terutama gangguan sistim imun; karena
penurunan produksi limfosit dan penurunan fungsi barrier kulit.
Teori kedua menjelaskan pelepasan Lipid Protein Complex (LPC) yang
sebelumnya dikenal dengan burn toxin dari jaringan nekrosis akibat cedera termis.
LPC memiliki toksisitas ribuan kali di atas endotoksin dalam merangsang
pelepasan mediator pro-inflamasi; namun pelepasan LPC ini tidak ada
hubungannya dengan infeksi. Respon yang timbul mulanya bersifat lokal, terbatas
pada daerah cedera; kemudian berkembang menjadi suatu bentuk respon sistemik.
Teori ketiga menjelaskan kekacauan sistem metabolisme (hipometabolik pada fase
akut dilanjutkan hipermetabolik pada fase selanjutnya) yang menguras seluruh
24

modalitas tubuh khususnya sistim imunologi. Mediator-mediator pro-inflamasi


yang dilepas ke sirkulasi sebagai respon terhadap suatu cedera tidak hanya
menyerang benda asing atau toksin yang ada; tetapi juga menimbulkan kerusakan
pada jaringan organ sistemik. Kondisi ini dimungkinkan karena luka bakar
merupakan suatu bentuk trauma yang bersifat imunosupresif.
Komplikasi SIRS bervariasi tergantung etiologi. Komplikasi yang mungkin terjadi
pada SIRS adalah gagal napas, Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), dan
pneumonia nosokomial, gagal ginjal, perdarahan saluran cerna dan stres gastritis,
anemia, Trombosis vena dalam (Deep Vein Thrombosis/DVT), hiperglikemia, dan
Disseminated intravascular coagulation (DIC). Penatalaksanaan luka bakar
bersifat lebih agresif dan bertujuan mencegah perkembangan SIRS, MODS, dan
sepsis.
B. Terapi Cairan Perioperatif
B.1. Dasar-Dasar Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif
Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dan menjadi pegangan dalam
pemberian cairan perioperatif, yaitu:
1.

Kebutuhan normal cairan dan elektrolit harian


Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan 30-35 ml/kgBB/hari dan
elektrolit utama Na+ =1-2 mmol/kgBB/haridan K+ = 1 mmol/kgBB/hari.
Kebutuhan tersebut merupakan pengganti cairan yang hilang akibat
pembentukan urine, sekresi gastrointestinal, keringat (lewat kulit) dan
pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan insensible water losses. Cairan
yang hilang ini pada umumnya bersifat hipotonus (air lebih banyak

dibandingkan elektrolit).
2. Defisit cairan dan elektrolit pra bedah
Hal ini dapat timbul akibat dipuasakannya penderita terutama pada penderita
bedah elektif (sektar 6-12 jam), kehilangan cairan abnormal yang seringkali
menyertai penyakit bedahnya (perdarahan, muntah, diare, diuresis berlebihan,
translokasi cairan pada penderita dengan trauma), kemungkinan meningkatnya
insensible water loss akibat hiperventilasi, demam dan berkeringat banyak.
Sebaiknya kehilangan cairan pra bedah ini harus segera diganti sebelum
dilakukan pembedahan.
25

3. Kehilangan cairan saat pembedahan


a. Perdarahan
Secara teoritis perdarahan dapat diukur dari : botol penampung darah yang
disambung dengan pipa penghisap darah (suction pump) dengan cara
menimbang kasa yang digunakan sebelum dan setelah pembedahan. Kasa
yang penuh darah (ukuran 4x4 cm) mengandung 10 ml darah, sedangkan
tampon besar (laparatomy pads) dapat menyerap darah 100-10 ml.
Dalam prakteknya jumlah perdarahan selama pembedahan hanya bisa
ditentukan berdasarkan kepada taksiran (perlu pengalaman banyak) dan
keadaan klinis penderita yang kadang-kadang dibantu dengan pemeriksaan
kadar hemoglobin dan hematokrit berulang-ulang (serial). Pemeriksaan
kadar hemoglobin dan hematokrit lebih menunjukkan rasio plasma
terhadap eritrosit daripada jumlah perdarahan. Kesulitan penaksiran akan
bertambah bila pada luka operasi digunakan cairan pembilas (irigasi) dan
banyaknya darah yang mengenai kain penutup, meja operasi dan lantai
b.

kamar bedah.
Kehilangan cairan lainnya
Pada setiap pembedahan selalu terjadi kehilangan cairan yang lebih
menonjol dibandingkan perdarahan sebagai akibat adanya evaporasi dan
translokasi

cairan

internal.

Kehilangan

cairan

akibat

penguapan

(evaporasi) akan lebih banyak pada pembedahan dengan luka pembedahan


yang luas dan lama. Sedangkan perpindahan cairan atau lebih dikenal
istilah perpindahan ke ruang ketiga atau sequestrasi secara masif dapat
berakibat terjadi defisit cairan intravaskuler. Jaringan yang mengalami
trauma, inflamasi atau infeksi dapat mengakibatkan sequestrasi sejumlah
cairan interstitial dan perpindahan cairan ke ruangan serosa (ascites) atau
ke lumen usus. Akibatnya jumlah cairan ion fungsional dalam ruang
ekstraseluler meningkat. Pergeseran cairan yang terjadi tidak dapat dicegah
dengan cara membatasi cairan dan dapat merugikan secara fungsional
cairan dalam kompartemen ekstraseluler dan juga dapat merugikan
fungsional cairan dalam ruang ekstraseluler.
4. Gangguan fungsi ginjal
Trauma, pembedahan dan anestesia dapat mengakibatkan:
- Laju Filtrasi Glomerular (GFR = Glomerular Filtration Rate) menurun.
- Reabsorbsi Na+ di tubulus meningkat yang sebagian disebabkan oleh
meningkatnya kadar aldosteron.
26

Meningkatnya kadar hormon anti diuretik (ADH) menyebabkan terjadinya


retensi air dan reabsorpsi Na+ di duktus koligentes (collecting tubules)

meningkat.
Ginjal tidak

mampu

mengekskresikan

free

water

atau

untuk

menghasilkan urin hipotonis.

B.2 Pengganti defisit Pra bedah


1. Kebutuhan cairan normal
Pemenuhan kebutuhan

normal

cairan

adalah

untuk

menggantikan cairan yang normalnya keluar melalui ginjal,


saluran

cerna,

paru-paru

dan

keringat.

Rata

rata

kebutuhan cairan 30 40 mL/KgBB/24 jam. Bila pasien


tidak dapat minum, cairan diberikan melalui infus atau pipa
lambung.

Pemberian

cairan

dapat

dilakukan

dengan

perhitungan 2 ml/kg/jam. Dalam perhitungan pemberian


cairan selain dihitung pemberian cairan, juga dihitung
kebutuhan

elektrolit

terutama

natrium

dan

kalium.

Kebutuhan natrium harian yaitu 2-4 mEq/ kgBB/ hari


sedangkan kebutuhan kalium 1-2 mEq/kgBB/hari. Pada hari
pertama

dan

pemberian

kedua

kalium

pasca
kecuali

bedah
jika

tidak

hasil

diperlukan
laboratorium

menunjukkan hipokalemia.
2. Pengganti defisit puasa
Defisit cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi (puasa,
lavement) harus diperhitungkan dan sedapat mungkin segera diganti pada
masa pra-bedah sebelum induksi. Setelah dari sisa defisit yang masih ada
diberikan pada jam pertama pembedahan, sedangkan sisanya diberikan
pada jam kedua berikutnya. Kehilangan cairan di ruang ECF ini cukup
diganti dengan ciran hipotonis seperti garam fisiologis, Ringer Laktat dan
Dextrose. Pada penderita yang karena penyakitnya tidak mendapat nutrisi
yang cukup maka sebaiknya diberikan nutrisi enteral atau parenteral lebih
dini lagi.

Penderita dewasa yang dipuasakan karena akan mengalami

pembedahan (elektif) harus mendapatkan penggantian cairan sebanyak 2


27

ml/kgBB/jam lama puasa. Defisit karena perdarahan atau kehilangan


cairan (hipovolemik, dehidrasi) yang seringkali menyertai penyulit
bedahnya harus segera diganti dengan melakukan resusitasi cairan atau
rehidrasi sebelum induksi anestesi.
3. Terapi cairan intra operatif
Gangguan cairan pada kasus bedah umumnya menyangkut
kompartemen ekstra sel sehingga jenis cairan yang dipilih
untuk terapi harus merupai komposisi cairan ekstra sel.
Cairan pengganti juga harus disesuaikan dengan komposisi
cairan tubuh yang hilang selama perawatan. Selama
pembedahan,

pemberian

cairan

didasarkan

pada

(1)

jumlah cairan untuk menggantikan darah yang keluar yaitu


cairan NaCl 0.9% atau ringer laktat sebanyak lebih kurang
3 kali jumlah perdarahan, (2) perkiraan defisit cairan yang
belum sepenuhnya terkoreksi misalnya (misalnya defisit
cairan 5 liter, diberikan resusitasi cairan awal 3 liter dan
kekurangan 2 liter dibagi menjadi: 1 liter diberikan dalam 8
jam sedangkan 1 liter sisanya diberikan dalam 16 jam), (3)
cairan rumatan selama pembedahan bergantung pada jenis
operasinya, berkisar antara 2,5 mL/kg/jam (untuk operasi
pada superfisial) hingga 15 mL/kg/jam (untuk operasi
pembukaan rongga abdomen).
Jumlah penggantian cairan selama pembedahan dihitung berdasarkan
kebutuhan dasar ditambah dengan kehilangan cairan akibat pembedahan
(perdarahan, translokasi cairan dan penguapan atau evaporasi). Jenis cairan
yang diberikan tergantung kepada prosedur pembedahannya dan jumlah
darah yang hilang.
a. Pembedahan yang tergolong kecil dan tidak terlalu traumatis misalnya
bedah mata (ekstrasi, katarak) cukup hanya diberikan cairan rumatan
saja selama pembedahan.
b. Pembedahan dengan trauma ringan misalnya: appendektomi dapat
diberikan cairan sebanyak 2-4 ml/kgBB/jam untuk pengganti akibat
trauma pembedahan. Tindakan bedah meliputi appendektomi, repair
tendon dan timpanoplasti.
28

c. Pembedahan dengan trauma sedang diberikan cairan sebanyak 4-6


ml/kgBB/jam. Pembedahan sedang merupakan pembedahan dengan
durasi kurang dari 3 jam dan pemberian anestesi dengan pipa
endotrakeal atau total intravena. Tindakan bedah yang termasuk
golongan ini adalah histerektomi dan hernia inguinal.
d. Pembedahan dengan trauma berat diberikan cairan sebanyak 6-8
ml/kgBB/jam. Pembedahan berat merupakan pembedahan dengan
durasi lebih dari 3 jam dengan perdarahan lebih dari 10% estimated
blood volume (EBV). Pembedahan ini meliputi bedah saraf,
laparotomi, bedah thoraks dan kardiovaskuler.
4. Penggantian darah yang hilang
Perdarahan kurang dari 10% EBV (EBV = Estimated Blood Volume =
taksiran volume darah) digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali
lipat dari volume darah yang hilang. Perdarahan lebih dari 10% dapat
digantikan dengan menggunakan cairan koloid. Kehilangan darah sampai
sekitar 20% EBV akan menimbulkan gejala hipotensi, takikardi dan
penurunan tekanan vena sentral. Kompensasi tubuh ini akan menurun
pada seseorang yang akan mengalami pembiusan (anestesi) sehingga
gejala-gejala tersebut seringkali tidak begitu tampak karena depresi
komponen vasoaktif. Perdarahan lebih dari 20% perlu digantikan dengan
darah.
Tabel 3. Perkiraan volume darah

Walaupun volume cairan intravaskuler dapat dipertahankan dengan larutan


kristaloid, pemberian transfusi darah tetap harus menjadi bahan
pertimbangan berdasarkan:

29

a.

Keadaan umum penderita (kadar Hb dan hematokrit) sebelum

b.
c.
d.
e.
f.

pembedahan
Jumlah/penaksiran perdarahan yang terjadi
Sumber perdarahan yang telah teratasi atau belum.
Keadaan hemodinamik (tensi dan nadi)
Jumlah cairan kristaloid dan koloid yang telah diberikan
Kalau mungkin hasil serial pemeriksaan kadar hemoglobin dan

g.

hematokrit.
Usia penderita

Sebagai patokan kasar dalam pemberian transfusi darah:


a. 1 unit sel darah merah (PRC = Packed Red Cell) dapat menaikkan
kadar hemoglobin sebesar 1gr% dan hematokrit 2-3% pada dewasa.
b. Transfusi 10 cc/kgBB sel darah merah dapat menaikkan kadar
hemoglobin 3gr% Monitor organ-organ vital dan diuresis, berikan
cairan secukupnya sehingga diuresis 1 ml/kgBB/jam.

B.3 Terapi Cairan dan Elektrolit Pasca Bedah


Terapi cairan pasca bedah ditujukan terutama pada hal-hal di bawah ini:
1.

Pemenuhan

kebutuhan dasar/harian

air, elektrolit

dan kalori/nutrisi.

Kebutuhan air untuk penderita di daerah tropis dalam keadaan basal sekitar
50 ml/kgBB/24 jam. Pada hari pertama pasca bedah tidak dianjurkan
pemberian kalium karena adanya pelepasan kalium dari sel/jaringan yang
rusak, proses katabolisme dan transfusi darah. Akibat stress pembedahan,
akan dilepaskan aldosteron dan ADH yang cenderung menimbulkan retensi
air dan natrium.

Oleh sebab itu, pada 2-3 hari pasca bedah tidak perlu

pemberian natrium. Penderita dengan keadaan umum baik dan trauma


pembedahan minimum, pemberian karbohidrat 100-150 mg/hari cukup
memadai untuk memenuhi kebutuhan kalori dan dapat menekan pemecahan
protein sampai 50% kadar albumin harus dipertahankan melebihi 3,5 gr%.
Penggantian cairan pasca bedah cukup dengan cairan hipotonis dan bila perlu

30

larutan garam isotonis. Terapi cairan ini berlangsung sampai penderita dapat
2.

minum dan makan.


Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah:
a. Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 15% setiap kenaikan
1C suhu tubuh
b. Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung atau muntah.
c. Penderita dengan hiperventilasi atau pernapasan melalui trakeostomi dan

3.

humidifikasi.
Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama pembedahan
yang belum selesai. Bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gr%, sebaiknya

4.

diberikan transfusi darah untuk memperbaiki daya angkut oksigen.


Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan
tersebut. Monitoring organ-organ vital dilanjutkan secara seksama meliputi
tekanan darah, frekuensi nadi, diuresis, tingkat kesadaran, diameter pupil,
jalan nafas, frekuensi nafas, suhu tubuh dan warna kulit.

B.4 Pilihan Jenis Cairan


1. Cairan Kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES = CEF).
Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia dengan mudah di
setiap pusat kesehatan, tidak perlu dilakukan cross match, tidak menimbulkan
alergi atau syok anafilaktik, penyimpanan sederhana dan dapat disimpan lama.
Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid)
ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk mengatasi defisit
volume intravaskuler. Waktu paruh cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar
20-30 menit. Heugman et al (1972) mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah
sedikit larutan kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul edema
perifer dan paru serta berakibat terganggunya oksigenasi jaringan dan edema
jaringan luka, apabila seseorang mendapat infus 1 liter NaCl 0,9%. Penelitian
Mills dkk (1967) di medan perang Vietnam turut memperkuat penelitan yang
dilakukan oleh Heugman, yaitu pemberian sejumlah cairan kristaloid dapat
mengakibatkan timbulnya edema paru berat.
Larutan ringer laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak digunakan
untuk resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan susunan yang hampir

31

menyerupai cairan intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan tersebut


akan mengalami metabolisme dihati menjadi bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya
yang sering digunakan adalah nacl 0,9%, tetapi bila diberikan berlebih dapat
mengakibatkan asidosis hiperkloremik (delutional hyperchloremic acidosis) dan
menurunnya kadar bikarbonat plasma akibat peningkatan klorida karena perbedaan
sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid akan lebih banyak menyebar ke
ruang interstitiel dibandingkan dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih
untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitial. Selain itu, pemberian cairan
kristaloid berlebihan juga dapat menyebabkan edema otak dan meningkatnya
tekanan intra cranial.

Tabel 4. Komposisi Cairan Kristaloid

2. Cairan Koloid
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut plasma
substitute atau plasma expander. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan
yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang
menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6 jam)
dalam ruang intravaskuler. Oleh karena itu koloid sering digunakan untuk
resusitasi cairan secara cepat terutama pada syok hipovolemik/hermorhagik atau
pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang banyak
(misal luka bakar).
32

Tabel 5. Jenis Cairan Koloid

Tabel 5. Keuntungan dan Kerugian Jenis Cairan

Advantages

Disadvantages

Kristalloid
Inexpensive
Promotes urinary flow
(intravascular volume)
Fluid of choice for initial
resuscitation of
trauma/hemorrhage.
Expands intravascular
volume
(1/4 volume given retained
intravascularly)
Restores third space losses
Dillutes colloid osmotic
pressure
Promotes peripheral edema
Higher incidence of
pulmonary
edema

Koloid
More sustained intravascullar increase
(1/3 still intravascullar at 24 hr)
Maintain plasma colloid oncotic
pressure.
Requires smaller volume for equal
effect
Less peripheral edema (more fluid
remains intravascullar)
May lower intracranial pressure

Expensive
May produce coagulopathy (dextrans
and helastarch)
With capilary leak may potentiate
fluid loss to the interstitium
Impairs subsequent cross matching of

33

Requires large volume


Effects are transient

bool (dextrans)
Dilutes cloting factors and platelets
Platelets adhesiveness (absorption
onto platelet membrane receptor)
Potential blocking of renal tubules and
reticuloendhotelial cells in the liver.
Possible anaphylactoid reaction with
dextrans.

BAB III
ANALISA KASUS
1.

Bagaimana terapi cairan perioperatif pada pasien ini?


Pemberian cairan selama operasi disesuaikan dengan kebutuhan cairan pasien
meliputi kebutuhan cairan maintenance, pengganti puasa dan stress operasi.
Perhitungan kebutuhan cairan maintenance adalah:
a. Dewasa
Kebutuhan cairan (ml/jam) = 2 x berat badan (kg)
b. Anak

34

Kebutuhan cairan (ml/jam) = 4 x BB (untuk 10 kg pertama) + 2 x BB


(untuk 10 kg kedua) + 1 x BB (untuk tiap kg di atas 20 kg)
Perhitungan kebutuhan cairan pengganti puasa adalah jumlah jam puasa x cairan
maintenance. Cairan pengganti puasa akan diberikan dalam tiga jam dengan rincian
50% diberikan pada jam pertama operasi, 25% diberikan pada jam kedua operasi dan
25% diberikan pada jam ketiga operasi.
Perhitungan kebutuhan cairan akibat stress operasi dibagi menjadi tiga berdasarkan
jenis operasi yang dilakukan (operasi kecil, sedang dan besar). Operasi kecil
membutuhkan cairan 2-4 ml/kg/jam, operasi sedang membutuhkan cairan 4-6
ml/kg/jam dan operasi besar membutuhkan cairan 6-8 ml/kg/jam.
Pada prinsipnya kecepatan pemberian cairan selama pembedahan adalah menjamin
tekanan darah stabil tanpa menggunakan obat vasokonstriktor, dengan produksi urin
mencapai 0,5-1 ml/kg/jam. Perdarahan: bila kurang dari 10% dari jumlah darah,
cukup diganti dengan cairan kristaloid, namun bila lebih dari 10% maka
dipertimbangkan untuk diganti dengan cairan koloid, jika lebih dari 20% maka perlu
diganti dengan darah.
Pasien dalam kasus adalah pasien anak usia 15 tahun yang memiliki berat badan 33
kg dengan diagnosa combustion grade II 33%. Pasien berpuasa selama 6 jam sebelum
pembedahan

debridement

sehingga

perhitungan

kebutuhan

cairan

selama

pembedahan adalah sebagai berikut:


Maintenance

: (4 x 10) + (2 x 10) + (1 x 15) = 75 ml/jam

Pengganti puasa : 6 x 75 = 450 ml


Stres operasi

: 4 x 35 = 140 ml/jam

Kebutuhan cairan jam I adalah


= 50% cairan pengganti puasa + cairan maintenance + cairan stress operasi
= 50% x 450 ml + 75 ml + 140 ml
= 225 ml + 75 ml + 140 ml
= 440 ml
35

Kebutuhan cairan jam II/III adalah


= 25% cairan pengganti puasa + cairan maintenance + cairan stress operasi
= 25% x 450 ml + 75 ml + 140 ml
= 112 ml + 75 ml + 140 ml
= 327 ml
Pada pasien ini dilakukan operasi selama 1 jam dan diberikan cairan sebanyak 500 ml
sehingga disimpulkan bahwa pemberian cairan pada pasien ini kurang tepat akibat
pemberian cairan yang berlebih. Urin yang dihasilkan pasien selama operasi yaitu
50 ml. Urin output normal adalah 1 ml/kg/jam.
2.

Bagaimana persiapan pra anestesi pada pasien ini?


Anestesi meliputi 5 tahapan yaitu persiapan pra anestesi, premedikasi, induksi
anestesi, monitoring anestesi dan monitoring pasca anestesi. Evaluasi pra anestesi
bertujuan untuk :
Mengetahui status fisik pasien praoperatif
Mengetahui dan menganalisis jenis operasi
Memilih jenis dan teknik anastesi yang sesuai
Meramalkan penyulit yang mungkin akan terjadi selama operasi dan atau

pasca bedah
Mempersiapkan obat/alat guna untuk menanggulangi penyulit yang
diramalkan.

Pra anestesi meliputi tindakan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang,


penentuan klasifikasi status fisik dan pemilihan tekhnik serta obat anestesi yang
sesuai.
Anamnesis meliputi identitas pasien, riwayat penyakit yang pernah diderita,
riwayat operasi dan tindakan anestesi sebelumnya, riwayat obat-obatan yang
sedang dan telah digunakan, dan kebiasaan buruk (merokok atau alkohol).
Pemeriksaan fisik meliputi penilaian terhadap tinggi badan, berat badan, suhu
badan, keadaan umum, kesadaran, tanda-tanda anemia, tekanan darah, nadi, pola
dan frekuensi pernafasan. Pemeriksaan fisik dirangkum dalam pola ABCD, yaitu
Airway, Breathing, Circulation dan Disability.
36

Pemeriksaan penunjang meliputi darah rutin, urin rutin, kimia darah, dan beberapa
penunjang lain sesuai kebutuhan.
Perencanaan anestesi meliputi memutuskan tekhnik anestesi dan obat yang akan
digunakan. Pemilihan ini disesuaikan pada rencana pembedahan dan keadaan
pasien.
Menentukan prognosis berdasarkan klasifikasi status fisik ASA.
Pada pasien telah dilakukan evaluasi pra anastesi dan didapatkan keluhan lepuh pada
dada, perut dan telapak tangan yang disebabkan oleh luka bakar yang terjadi 3 jam
sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengeluhkan terasa nyeri pada bagian yang
terbakar. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum compos mentis, GCS 15
(E4 M6 V5), Airway tidak ada tanda-tanda hambatan jalan nafas. Sesak (-), Breathing
RR 22 x/menit, wheezing (-), ronki (-), Circulation Tensi : 100/60 mmHg, Nadi : 112
x/menit, perfusibaik (tanganhangat, merah, kering). Dari hasil pemeriksaan pada
regio toraks anterior, abdomen, femoris anterior dextra et sinistra, palmar dextra.
Didapatkan luka bakar grade II 33 % (Trunkus anterior 13 %, ekstremitas superior
dextra 1 % (palmaris dextra), ekstremitas inferior dextra 9 %, ekstremitas inferior
sinistra 9 % dan genitalia1 %).
Dari hasil pemerikaan laboratorium didapatkan peningkatan ureum 61 mg/dl,
creatinin 1,5 mg/dl, penurunan albumin 2,86 mg/dl, pemeriksaan clothing dan
bleeding time dalam batas normal. Berdasarkan hasil pemeriksaan disimpulkan pasien
termasuk dalam ASA II (Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik
ringan sam pai sedang). Hal ini didasarkan pada kondisi pasien yang terjadi
hipoalbumin dan peningkatan ureum dan kreatinin.
Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan kadar elektrolit serum. Hal ini kurang
tepat karena pada luka bakar terjadi peningkatan permeabilitas vaskuler yang
menyebabkan elektrolit dan cairan keluar dari intravaskuler sehingga terjadi
ketidakseimbangan elektrolit. Selain itu, kadar elektrolit penting diperiksa untuk
koreksi sebelum operasi dilakukan karena kadar kalium berlebih atau hiperkalemia
dapat menyebabkan kejang, khususnya bila obat muscle relaxant yang digunakan
adalah golongan depolarizing muscle relaxant seperti suksinilkolin yang semakin
meningkatkan kadar kalium ekstraseluler.

37

Hipoalbumin merupakan keadaan yang terjadi pada pasien luka bakar. Meskipun luas
luka bakar < 10% terjadi perubahan metabolik. Luka bakar akan menyebabkan respon
hipermetabolik dan hiperkatabolik yang berhubungan dengan luas dan dalamnya
kerusakan. Luka bakar >20% akan menyebabkan kehilangan dari cairan ekstraseluler
dan dapat menyebabkan shock karena terjadi peningkatan permeabilitas yang akan
diikuti dengan ekstravasasi cairan (plasma protein dan elektrolit) dari intravaskular ke
jaringan interstisial dan mengakibatkan terjadinya hipovolemik intravaskular dan
edema interstisial. Keseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik terganggu sehingga
sirkulasi ke bagian distal terhambat yang akhirnya menyebabkan gangguan perfusi sel
atau jaringan atau organ (syok). Hipoalbumin akan menyebabkan komplikasi berupa
edema, gangguan penyembuhan luka dan peningkatan resiko sepsis.
Pada pasien juga terjadi peningkatan ureum dan creatinin yang mengarahkan terdapat
gangguan pada ginjal. Pada luka bakar selain terjadi hipoalbumin dapat juga terjadi
gagal ginjal akut. Proses ini dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu gangguan
filtrasi dan disfungsi tubulus. Gangguan filteasi disebabkan penurunan kardiak output
yang biasanya disebabkan oleh kehilangan cairan yang akan biasanya terjadi pada
terhambat atau resusitasi cairan yang tidak mencukupi. Kondisi gagal ginjal akut akan
menyebabkan disfungsi organ multipel.
3.

Bagaimana pemilihan jenis anestesi pada pasien ini?


Pada pasien sudah tepat dilakukan general anastesi. Hal ini dikarenakan operasi yang
dilakukan memerlukan relaksasi lapangan operasi yang optimal. Pada general
anestesi harus dicapai trias anastesi berupa hipnotik, anestesi dan relaksasi. Sebelum
pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya adalah dilakukan premedikasi yaitu
pemberian obat sebelum induksi anestesi diberi dengan tujuan untuk melancarkan
induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya :
a. Meredakan kecemasan dan ketakutan
b. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
c. Mengurangi mual dan muntah pasca bedah
d. Mengurangi isi cairan lambung
e. Membuat amnesia
f. Memperlancar induksi anestesi
g. Meminimalkan jumlah obat anestesi
h. Mengurangi reflek yang membahayakan

38

Premedikasi yang diberikan pada pasien adalah atropin sulfat sebagai antikolinergik
untuk menghindari vagal reflek dan mengurangi sekresi air liur yang berlebihan.
Disamping itu efek lainnya adalah melemaskan tonus otot polos organ-organ dan
menurunkan spasme gastrointestinal. Dosis sulfas atropin adalah 0,005-0,01
mg/kgBB. Sehingga dosis yang dibutuhkan dengan berat badan pasien 35 kg adalah
0,175-0,35 mg. Pada pasien diberikan juga midazolam diberikan sebagai anxiolysis,
sedasi dan amnesia anterograde. Dibandingkan dengan diazepam, midazolam bekerja
cepat karena transformasi metabolitnya cepat dan lama kerjanya singkat. Pada pasien
orang tua dengan perubahan organik otak atau gangguan fungsi jantung dan
pernafasan, dosis harus ditentukan secara hati-hati. Efek obat timbul dalam 2 menit
setelah penyuntikan. Dosis penggunaan midazolam adalah 0,07-0,10 mg/kgBB.
Sehingga pada pasien dibutuhkan 2,45-3,5 mg. Selain itu pada pasien diberikan
fentanil sebagai analgesik. Dosis fentanil adalah 1-2g/kgBB sehingga pada pasien
dibutuhkan 35-70 g. Pasien ini diberikan atrakuirum yang merupakan agen muscle
relaxant non-depolarisasi. Dosis intubasi atrakurium adalah 0,5-0,6 mg/kg dan dosis
rumatan atrakurium adalah 0,1 mg/kg. Durasi kerja atrakurium selama 20-45 menit.
Pada pasien ini diperlukan 17,5 mg.
Salah satu respon obat yang terganggu pada pasien luka bakar adalah respon terhadap
agen penghambat neuromuskuler. Cedera luka bakar menyebabkan proliferasi
reseptor asetilkolin nikotinik extrajunctional sehingga mengakibatkan peningkatan
resistensi terhadap nondepolarizing muscle relaxant dan peningkatan sensitivitas
depolarizing muscle relaxant (seperti suksinilkolin). Pemberian suksinilkolin
sebaiknya dalam 24 jam pertama karena bila diberikan setelah lebih dari 24 jam
setelah cedera luka bakar dapat menyebabkan respon hiperkalemi letal yang akan
bertahan minimal 18 bulan. Resistensi nondepolarizing muscle relaxant terjadi dalam
minggu pertama cedera dan bertahan hingga satu tahun.Pasien luka bakar mungkin
memerlukan dosis 2 hingga 5 kali lebih besar dibandingkan pasien non-luka bakar.
Pada pasien ini dosis pemberian muscle relaxant atrakurium kurang tepat yaitu hanya
20 mg yang berada dalam rentang dosis normal. Seharusnya pada pasien luka bakar
diberikan dosis atrakurium 2-5 kali lebih besar dari dosis normal karena terjadi
peningkatan resistensi respon obat non-depolarizing muscle relaxant.

39

Pada pasien induksi menggunakan propofolatau di-iso profil fenol yang merupakan
obat anestesi intravenayang memiliki efek hipnotik murni tanpa efek analgesik
maupun relaksasi otot. Dosis sebesar 2-2,5 mg/kgBB, sehingga dosis yang
dibutuhkan adalah 70 - 87,5 mg. Agen induksi yang dapat digunakan adalah propofol,
thiopental, dan ketamin. Propofol dan thiopental harus diberikan secara hati-hati
dengan menggunakan dosis minimal terkait dengan depresi napas dan jantung.
Pilihan utama obat induksi general anesthesia adalah ketamin karena memiliki
banyak keuntungan. Ketamin cocok untuk pasien hipovolemi terkait dengan efek
simpatomimetik yang menyebabkan peningkatan tekanan darah dan denyut jantung.
Peningkatan resistensi vaskular bermanfaat selama operasi luka bakar karena dapat
mengurangi kehilangan panas dan darah dari kulit yang terluka. Ketamin juga
memiliki efek anestesi disosiatif dan analgesi yang poten. Namun, ketamin
meningkatkan aliran darah otak dan tekanan darah sistemik sehingga harus dihindari
pada pasien cedera kepala tertutup dan cedera tembus mata.
Pemasangan ETT merupakan standar perawatan untuk dewasa dan juga berguna
untuk bayi dan anak yang menjalani operasi luka bakar. Intubasi berguna pada pasien
anak dengan cedera luka bakar berat yang membutuhkan tekanan ventilasi yang
tinggi terkait dengan penurunan komplians paru akibat cedera inhalasi atau resusitasi
cairan dalam jumlah besar.
Pemberian anestesi maintenance durante operatif berupa campuran gas N2O dan O2
dan sevofluran. Gas N2O atau gas gelak memiliki efek analgesi dan tidak memiliki
efek hipnotik. Efek analgesinya relatif lemah akibat kombinasi dengan oksigen. Gas
N2O memiliki kelarutan 15 kali lebih besar dalam plasma dibandingkan dengan
oksigen dan mampu berdifusi ke dalam semua rongga dalam tubuh sehingga dapat
menimbulkan hipoksia-difusi apabila diberikan tanpa oksigen sehingga setiap
pemberian N2O harus disertai dengan O2. Kombinasi N2O dengan O2 diberikan
dengan perbandingan adalah 70 : 30 (untuk pasien normal), 60 : 40 (untuk pasien
yang memerlukan tunjangan oksigen lebih banyak) atau 50 : 50 (untuk pasien yang
berisiko tinggi).
Sevoflurane merupakan obat anestesi umum inhalasi derivat eter dengan kelarutan
dalam darah yang lebih rendah dari halotan, enfluran dan isofluran.Rendahnya
kelarutan serta tidak adanya bau yang menyengat menyebabkan induksi inhalasi

40

berjalan dengan cepat dan mulus, juga kelarutan dalam darah yang rendah
menyebabkan pemulihan berjalan dengan cepat. Dosis yang dibutuhkan untuk
maintenanceantara 0,5 3,00 % dalam O2 dan N2O.
Cedera luka bakar sangat nyeri terkait dengan cedera jaringan langsung dan
hiperalgesia yang dimediasi inflamasi. Stimulasi nyeri ujung saraf oleh mediator
inflamasi (seperti bradikinin dan histamin) dan neurotransmiter (seperti glutamat dan
substansi P) mempengaruhi mekanisme nyeri sentral dan perifer. Analgesi yang
adekuat diperlukan untuk menghindari keluaran fisiologis dan psikologis yang buruk.
Pemberian opioid oral tetap merupakan terapi pilihan untuk manajemen nyeri pada
prosedur operasi luka bakar.
Pemberian analgesi pada pasien dalam kasus kurang tepat karena hanya diberikan
ketorolac yang merupakan golongan obat antiinflamasi nonsteroid. Seharusnya
diberikan obat golongan opioid sebagai analgesi pascabedah pada pasien luka bakar.
Dapat diberikan opioid berupa morfin sulfat per oral dengan dosis 0,2-0,5 mg/kg tiap
4-6 jam sehingga pada pasien ini dapat diberikan 7 mg tiap 6 jam.

41

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

1. Pemberian cairan pada pasien ini kurang tepat karena pemberian cairan berlebih
dapat menyebabkan komplikasi seperti edema paru. Pemberian cairan seharusnya
disesuaikan dengan perhitungan kebutuhan cairan meliputi cairan maintenance,
pengganti puasa dan stres operasi.
2. Pemeriksaan kadar elektrolit seharusnya dilakukan sebelum operasi agar dapat
dilakukan koreksi bila diperlukan karena pada luka bakar terjadi peningkatan
permeabilitas vaskular yang menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit.
3. Pemberian dosis muscle relaxant yaitu atracurium pada pasien ini kurang tepat,
seharusnya dosis atracurium diberikan 2-5 kali lebih besar dibandingkan dosis
normal.
4. Pemberian ketorolac (analgesik golongan non steroid) kurang tepat, seharusnya
diberikan analgesik golongan opioid berupa morfin sulfat peroral dengan dosis 0,2
0,5 mg/kgBB tiap 4-6 jam.

42

DAFTAR PUSTAKA
1. Aguayo-Becerra OA, Torres-Garibay C, Macias-Amezcua MD, et al. Serum
albumin level as a risk factor for mortality in burn patients. Clinics.
2013;68(7):940-5.
2. Beasley W, Aston SJ, Bartlett SP, Gurtner GC, Spear SL. Grabb and Smith Plastics
Surgery 6 thedition. 2007. Philadelphia: Lippincott William & Willkin. Pp 512-29.
3. Beauchcamp, Evers, Mattox. Sabiston Text Book of Surgery. Philadelphia:
Elseiver Saunders. 2012. Pp. 521-47.
4. Bhananker SM, Cullen BF. Burns. In: Fleisher LA, ed. Anesthesia and Uncommon
Diseases; 2012. Pp. 520.
5. Bishop S, Maguire S. Anaesthesia and Intensive Care for Major Burns. Continuing
Education in Anaesthesia Critical Care & Pain. 2012:1-5.
6. Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR et al. Schwartz`s Principle of Surgery
Tenth Edition. 2015. Philadelphia: McGraw Hill. Pp 1820-21.
7. Emara SS, Alzaylai AA. Renal Failure in Burn Patients: A Review. Annals of Burn
and Fire Disaster. 2013;26(1):12-15.
8. Fenlon S, Nene S. Burns in Children. Critical Care & Pain. 2007;7(3):76-80.
9. Harbin KR, Norris T. Anesthetic Management of Patients with Major Burn Injury.
AANA Journal. 2012;80(6):430-9.
10. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2001. Hlm. 68.
11. Lund CC, Browder NC. The estimation of areas of burns. Surg GynecolObstet.
1944; 79: 352.
12. Mangku G, Senapathgi TGA. Ilmu Anestesia dan Reanimasi. 2010. Hlm. 23-86.
13. Torpy JM, General Anestesia. J. American Medical Association. 2011;305(10):
1050.

43

Anda mungkin juga menyukai