LAPORAN KASUS
I.1 Identitas
Nama
: An. M. Munawir
Umur
: 15 tahun
Agama
: Islam
Suku bangsa
: Jawa
Pekerjaan
: Pelajar
Alamat
: Wates
Tanggal MRS
: 25 Juli 2015
Nomor RM
: 271825
I.2 Anamnesa :
Keluhan utama : Dada dan perut melepuh dan nyeri
RPS :
Tiga jam sebelum masuk rumah sakit pasien mengendarai motor sambil memeluk
botol bensin. Motor pasien jatuh sehingga dada, perut, paha dan telapak tangan kanan
pasien terkena tumpahan bensin yang kemudian tersulut api dari gesekan motor
dengan aspal. Pasien mengeluhkan adanya lepuh dan terasa nyeri pada bagian yang
terbakar.
RPD:
Alergi obat (-)
Asma (-)
Keluhan yang sama (-)
I.3 Pemeriksaan fisik
Kesadaran umum : compos mentis
GCS
: 15 (E4 M6 V5)
Airway
: tidak ada tanda-tanda hambatan jalan nafas. Sesak (-)
Breathing
Circulation
Suhu
: 36,0 C
Makan / minum (+)
Mual / muntah (-)
1
Berat Badan
: 35 kg
Status Lokalis
Inspeksi
: Terdapat luka bakar pada regio toraks anterior, abdomen, femoris anterior
:0%
Trunkus anterior
: 13 %
Trunkus posterior
:0%
: 1 % (palmaris dextra)
: 9 % (femoris anterior)
:1%+
Total
: 33 %
13,7 mg/dl
42,8 %
2.390/l
299.000/ l
1,5 mg/dl
61 mg/dl
2,86 mg dl
13
2
N: 10-15 g/dl
N: 30-48%
N: 4.000-10.000/l
N: 150.000-400.000/ l
N: 0,9-1,3 mg/dl
N: 19- 44 mg/dl
N : 3,5 6,2 g/dl
N: 9-15
N: 1-3
I.5 Assesment
Combustio Grade II 33%
F. Planning
Inf. RL 80 tpm
Inj. Cefotaxime 2 x 1 gr
Inj. Ranitidine 2 x 50 mg
Inj. Ketorolac 3 x 30 mg drip
Rawat luka dengan silver sulfadiazine krim
Pro debridement di ruang operasi
G. Status Operasi
ASA II
H. Laporan Anestesi Pasien
a. Diagnosa pra bedah
c. Jenis pembedahan
: Debridement
d. Jenis anestesi
Premedikasi anestesi
-
RR : 20 x/menit
N : 88 x/menit
T : 36,6oC
A/ Combustio grade II 33%
28.07.2015 S/ Nyeri pada luka
06.00 WIB
O/
TD : 100/60 mmHg
RR : 20 x/menit
N : 80 x/menit
T : 36,5oC
A/ Combustio grade II 33%
29.07.2015 S/ Nyeri pada luka
06.00 WIB
O/
TD : 100/60 mmHg
RR : 21 x/menit
N : 84 x/menit
T : 36,7oC
Burnazin cream
Rawatluka
IVFD RL 80 gtt/menit
Inj. Cefotaxime 2 x 1 gr
Inj. Ranitidine 2 x 50 mg
Inj. Ketorolac 3 x 30 mg drip
Burnazin cream
Rawatluka
Pro debridement
IVFD RL 80 gtt/menit
Inj. Cefotaxime 2 x 1 gr
Inj. Ranitidine 2 x 50 mg
Inj. Ketorolac 3 x 30 mg drip
Burnazin cream
Rawatluka
Pro debridement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Luka Bakar
A.1 Definisi Luka Bakar
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan
kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi.
Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi
yang memerlukan penatalaksanaan khusus sejak awal (fase syok) sampai fase lanjut.
Luka bakar dapat disebabkan oleh paparan api, baik secara langsung maupun tidak
langsung, misal akibat tersiram air panas yang banyak terjadi pada kecelakaan rumah
tangga. Selain itu, pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik maupun bahan kimia juga
dapat menyebabkan luka bakar.
A.2Etiologi
Secara garis besar, penyebab terjadinya luka bakar dapat dibagi menjadi:
1. Paparan api
a. Flame: Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka, dan
menyebabkan cedera langsung ke jaringan tersebut. Api dapat membakar
pakaian terlebih dahulu baru mengenai tubuh. Serat alami memiliki
kecenderungan untuk terbakar, sedangkan serat sintetik cenderung meleleh
atau menyala dan menimbulkan cedera tambahan berupa cedera kontak.
b. Benda panas (kontak): Terjadi akibat kontak langsung dengan benda panas.
Luka bakar yang dihasilkan terbatas pada area tubuh yang mengalami
kontak. Contohnya antara lain adalah luka bakar akibat rokok dan alat-alat
seperti solder besi atau peralatan masak.
2. Scalds (air panas)
Terjadi akibat kontak dengan air panas. Semakin kental cairan dan semakin lama
waktu kontaknya, semakin besar kerusakan yang akan ditimbulkan. Luka yang
disengaja atau akibat kecelakaan dapat dibedakan berdasarkan pola luka bakarnya.
Pada kasus kecelakaan, luka umumnya menunjukkan pola percikan, yang satu
sama lain dipisahkan oleh kulit sehat. Sedangkan pada kasus yang disengaja, luka
5
5-7 hari dan dapat sembuh secara sempurna. Luka biasanya tampak sebagai
eritema dan timbul dengan keluhan nyeri dan atau hipersensitivitas lokal. Contoh
luka bakar derajat I adalah sunburn.
Derajat II
Lesi melibatkan epidermis dan mencapai kedalaman dermis namun masih terdapat
epitel vital yang bisa menjadi dasar regenerasi dan epitelisasi. Jaringan tersebut
misalnya sel epitel basal, kelenjar sebasea, kelenjar keringat, dan pangkal rambut.
Dengan adanya jaringan yang masih sehat tersebut, luka dapat sembuh dalam 23 minggu. Gambaran luka bakar berupa gelembung atau bula yang berisi cairan
eksudat dari pembuluh darah karena perubahan permeabilitas dindingnya, disertai
rasa nyeri. Apabila luka bakar derajat II yang dalam tidak ditangani dengan baik,
dapat timbul edema dan penurunan aliran darah di jaringan, sehingga cedera
berkembang menjadi full-thickness burn atau luka bakar derajat III.
Derajat III
Mengenai seluruh lapisan kulit, dari subkutis hingga mungkin organ atau jaringan
yang lebih dalam. Pada keadaan ini tidak tersisa jaringan epitel yang dapat
menjadi dasar regenerasi sel spontan, sehingga untuk menumbuhkan kembali
jaringan kulit harus dilakukan cangkok kulit. Gejala yang menyertai justru tanpa
nyeri maupun bula, karena pada dasarnya seluruh jaringan kulit yang memiliki
persarafan sudah tidak intak.
Gambar 3.
Luka Bakar
Grade 3
Gambar 4. Derajat
Luka Bakar
Berdasarkan
Kedalaman
Tabel 1. Klasifikasi
Berdasarkan
Luka Bakar
Kedalamannya
A.5 Patofisiologi
Akibat pertama luka bakar adalah syok hipovolemi dan neurogenik. Pembuluh
kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas meninggi. Sel darah yang
ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia. Meningkatnya
permeabilitas menyebabkan edema dan menimbulkan bula yang mengandung banyak
elektrolit. Hal itu menyebabkan berkurangnya volume cairan intravaskuler.
Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan akibat penguapan
yang berlebihan, masuknya cairan ke bula yang terbentuk pada luka bakar derajat II,
dan pengeluaran cairan dari keropeng luka bakar derajat III.
Mekanisme utama akibat luka listrik adalah sebagai berikut:
1. Energi listrik menyebabkan kerusakan jaringan langsung, mengubah potensial sel
membran istirahat, dan tetany memunculkan otot.
2. Konversi energi listrik menjadi energi panas, menyebabkan kerusakan jaringan
besar dan nekrosis coagulative.
3. Cedera mekanis dengan trauma langsung akibat jatuh atau kontraksi otot
kekerasan.
Faktor-faktor yang menentukan derajat cedera termasuk besarnya energi yang
disampaikan, resistensi dari jaringan yang kontak dengan arus listrik, jenis arus, jalur
arus, dan lamanya kontak. Efek sistemik dan kerusakan jaringan secara langsung
proporsional dengan besarnya arus yang. Jumlah arus (ampere) secara langsung
untuk
pengembangan
sindrom
kompartemen.Sindrom
kompartemen
10
Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme kompensasi tubuh masih
bisa mengatasinya, tetapi bila lebih dari 20%, akan terjadi syok hipovolemik dengan
gejala yang khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat,
tekanan darah menurun dan produksi urin yang berkurang. Pembengkakan terjadi
pelan-pelan, maksimal terjadi setelah delapan jam. Pada kebakaran ruang tertutup
atau bila luka terjadi di wajah, dapat terjadi kerusakan mukosa jalan napas karena
gas, asap atau uap panas yang terisap. Edema laring yang ditimbulkannya dapat
menyebabkan hambatan jalan napas dengan gejala sesak napas, takipnea, stridor,
suara serak dan dahak berwarna gelap akibat jelaga.
Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi mobilisasi serta
penyerapan kembali cairan edema ke pembuluh darah. Ini ditandai dengan
meningkatnya diuresis.Luka bakar sering tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati,
yang merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah
infeksi. Infeksi ini sulit diatasi karena daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh kapiler
yang mengalami trombosis. Padahal, pembuluh ini membawa sistem pertahanan
tubuh atau antibiotik. Kuman penyebab infeksi pada luka bakar, selain berasal dari
dari kulit penderita sendiri, juga dari kontaminasi kuman saluran napas atas dan
kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit. Infeksi nosokomial ini biasanya
sangat berbahaya karena kumannya banyak yang sudah resisten terhadap berbagai
antibiotik.
Bila luka bakar dibiopsi dan eksudatnya dibiak, biasanya ditemukan kuman dan
terlihat invasi kuman tersebut ke jaringan sekelilingnya. Luka bakar demikian disebut
luka bakar septik. Bila penyebabnya kuman Gram positif, seperti stafilokokus atau
basil Gram negatif lainnya, dapat terjadi penyebaran kuman lewat darah (bakteremia)
yang dapat menimbulkan fokus infeksi di usus. Syok sepsis dan kematian dapat
terjadi karena toksin kuman yang menyebar di darah.
Bila penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat II dapat sembuh dengan
meninggalkan cacat berupa parut. Penyembuhan ini dimulai dari sisa elemen epitel
yang masih vital, misalnya sel kelenjar sebasea, sel basal, sel kelenjar keringat, atau
sel pangkal rambut. Luka bakar derajat II yang dalam mungkin meninggalkan parut
11
hipertrofik yang nyeri, gatal, kaku dan secara estetik jelek. Luka bakar derajat III
yang dibiarkan sembuh sendiri akan mengalami kontraktur. Bila terjadi di persendian,
fungsi sendi dapat berkurang atau hilang.
Pada luka bakar berat dapat ditemukan ileus paralitik. Pada fase akut, peristalsis usus
menurun atau berhenti karena syok, sedangkan pada fase mobilisasi, peristalsis dapat
menurun karena kekurangan ion kalium.Stres atau badan faali yang terjadi pada
penderita luka bakar berat dapat menyebabkan terjadinya tukak di mukosa lambung
atau duodenum dengan gejala yang sama dengan gejala tukak peptik. Kelainan ini
dikenal sebagai tukak Curling.
Inti dari permasalahan luka bakar adalah kerusakan endotel dan epitel akibat dan
cedera termis yang melepaskan mediator-mediator proinflamasi dan berkembang
menjadi
12
13
Fase ini penderita sudah dinyatakan sembuh tetapi tetap dipantau melalui rawat
jalan. Problem yang muncul pada fase ini adalah penyulit berupa parut yang
hipertrofik, keloid, gangguan pigmentasi, deformitas dan timbulnya kontraktur.
A.7 Luas Luka Bakar
Luas luka bakar dinyatakan dalam persen terhadap luas seluruh tubuh. Ada beberapa
metode cepat untuk menentukan luas luka bakar, yaitu:
Estimasi luas luka bakar menggunakan luas permukaan palmar pasien. Luas
telapak tangan individu mewakili 1% luas permukaan tubuh. Luas luka bakar
hanya dihitung pada pasien dengan derajat luka II atau III.
Rumus 9 atau rule of nine untuk orang dewasa Pada dewasa digunakan rumus 9,
yaitu luas kepala dan leher, dada, punggung, pinggang dan bokong, ekstremitas
atas kanan, ekstremitas atas kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai dan kaki kanan,
serta tungkai dan kaki kiri masing-masing 9%. Sisanya 1% adalah daerah
genitalia.
o
o
a. Derajat II-III > 20 % pada pasien berusia di bawah 10 tahun atau di atas usia
50 tahun
b. Derajat II-III > 25 % pada kelompok usia selain disebutkan pada butir pertama
c. Luka bakar pada muka, telinga, tangan, kaki, dan perineum
d. Adanya cedera pada jalan nafas (cedera inhalasi) tanpa memperhitungkan luas
luka bakar
e. Luka bakar listrik tegangan tinggi
f. Disertai trauma lainnya
g. Pasien-pasien dengan resiko tinggi
2. Luka bakar sedang (moderate burn)
a. Luka bakar dengan luas 15 25 % pada dewasa, dengan luka bakar derajat III
kurang dari 10 %
b. Luka bakar dengan luas 10 20 % pada anak usia < 10 tahun atau dewasa >
40 tahun, dengan luka bakar derajat III kurang dari 10 %
c. Luka bakar dengan derajat III < 10 % pada anak maupun dewasa yang tidak
mengenai muka, tangan, kaki, dan perineum
3. Luka bakar ringan
a. Luka bakar dengan luas < 10 % pada dewasa
b. Luka bakar dengan luas < 10 % pada anak dan usia lanjut
c. Luka bakar dengan luas < 2 % pada segala usia (tidak mengenai muka, tangan,
kaki, dan perineum
Tabel 2. American Burn Association Burn Injury Severity Grading System
A.9. Penatalaksanaan
Primary Survey
16
Airway, yakni membebaskan jalan nafas agar pasien dapat tetap bernafas secara
normal
Breathing, mengecek kecepatan pernafasan yakni sekitar 20x/ menit
Circulation, melakukan palpasi pada nadi untuk mengecek pulsasi yang pada
orang normal berkisar antar 60 100x/ menit
Disability
o Periksa kesadaran.
o Periksa ukuran pupil.
Environment
o
Secara
dapat
dilakukan
6c
clothing,
cooling,
cleaning,
Clothing : singkirkan semua pakaian yang panas atau terbakar. Bahan pakaian
yang menempel dan tak dapat dilepaskan maka dibiarkan untuk sampai pada
fase cleaning.
Cooling : Dinginkan daerah yang terkena luka bakar dengan menggunakan air
mengalir selama 20 menit, hindari hipotermia (penurunan suhu di bawah
normal, terutama pada anak dan orang tua). Cara ini efektif samapai dengan 3
jam setelah kejadian luka bakar Kompres dengan air dingin (air sering
diganti agar efektif tetap memberikan rasa dingin) sebagai analgesia
(penghilang rasa nyeri) untuk luka yang terlokalisasi Jangan pergunakan es
karena es menyebabkan pembuluh darah mengkerut (vasokonstriksi) sehingga
justru akan memperberat derajat luka dan risiko hipotermia Untuk luka bakar
karena zat kimia dan luka bakar di daerah mata, siram dengan air mengalir
yang banyak selama 15 menit atau lebih. Bila penyebab luka bakar berupa
bubuk, maka singkirkan terlebih dahulu dari kulit baru disiram air yang
mengalir.
17
Formula yang sering digunakan untuk manajemen cairan pada luka bakar mayor
yaitu Parkland, modified Parkland, Brooke, modified Brooke, Evans dan Monafos
formula.
18
Parkland formula
1. 24 jam pertama: cairan Ringer Laktat (RL) 4 mL/kgBB untuk setiap 1%
permukaan tubuh yang terbakar pada dewasa dan 3 mL/kgBB untuk setiap 1%
permukaan tubuh yang terbakar pada anak. Cairan RL ditambahkan untuk
maintenance pada anak:
-
19
21
organisme patogen yang akan menghambat pemulihan graft dan juga eskar
yang melembut membuat tindakan eksisi semakin sulit.
Tindakan ini disertai anestesi baik lokal maupun general dan pemberian
cairan melalui infus. Tindakan ini digunakan untuk mengatasi kasus luka bakar
derajat II dalam dan derajat III. Tindakan ini diikuti tindakan hemostasis dan
juga skin grafting (dianjurkan split thickness skin grafting). Tindakan ini
juga tidak akan mengurangi mortalitas pada pasien luka bakar yang luas. Eksisi
dini diutamakan dilakukan pada daerah luka sekitar batang tubuh posterior.
Eksisi dini terdiri dari eksisi tangensial dan eksisi fasial.
2. Skin grafting
Skin grafting adalah metode penutupan luka sederhana. Tujuan dari metode ini
adalah:
a. Menghentikan evaporate heat loss
b. Mengupayakan agar proses penyembuhan terjadi sesuai dengan waktu
c. Melindungi jaringan yang terbuka
A.10.Prognosis
Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada dalam dan luasnya
permukaan luka bakar, dan penanganan sejak awal hingga penyembuhan. Selain itu
faktor letak daerah yang terbakar, usia dan keadaan kesehatan penderita juga turut
menentukan kecepatan penyembuhan.
Penyulit juga mempengaruhi prognosis pasien. Penyulit yang timbul pada luka bakar
antara lain gagal ginjal akut, edema paru, SIRS, infeksi dan sepsis, serta parut
hipertrofik dan kontraktur.
A.11.Komplikasi
Sistemic Inflammatory Response Syndrome
Dysfunction Syndrome (MODS), dan Sepsis. SIRS adalah suatu bentuk respon
klinik yang bersifat sistemik terhadap berbagai stimulus klinik berat akibat infeksi
ataupun noninfeksi seperti trauma, luka bakar, reaksi autoimun, sirosis,
pankreatitis, dll. Respon ini merupakan dampak dari pelepasan mediator-mediator
inflamasi (proinflamasi) yang mulanya bersifat fisiologik dalam proses
22
penyembuhan luka, namun oleh karena pengaruh beberapa faktor predisposisi dan
faktor pencetus, respon ini berubah secara berlebihan (mengalami eksagregasi) dan
menyebabkan kerusakan pada organ-organ sistemik, menyebabkan disfungsi dan
berakhir dengan kegagalan organ terkena menjalankan fungsinya; MODS (Multisystem Organ Disfunction Syndrome) bahkan sampai kegagalan berbagai organ
(Multi-system Organ Failure/MOF).
Ada 5 hal yang bisa menjadi aktivator timbulnya SIRS, yaitu infection, injury,
inflamation, inadequate blood flow, dan ischemia-reperfusion injury. Kriteria
klinik yang digunakan, mengikuti hasil konsensus American College of Chest
phycisians dan the Society of Critical Care Medicine tahun 1991, yaitu bila
dijumpai 2 atau lebih menifestasi berikut selama beberapa hari, yaitu:
-
Takipneu (frekuensi nafas > 20x/menit) atau tekanan parsial CO2 rendah
(PaCO2< 32 mmHg)
Bila diperoleh bukti bahwa infeksi sebagai penyebab (dari hasil kultur
darah/bakteremia), maka SIRS disebut sebagai sepsis. SIRS akan selalu berkaitan
dengan MODS karena MODS merupakan akhir dari SIRS. Pada dasarnya MODS
adalah kumpulan gejala dengan adanya gangguan fungsi organ pada pasien akut
sedemikian rupa, sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi.
Bila ditelusuri lebih lanjut, SIRS sebagai suatu proses yang berkesinambungan
sehingga dapat dimengerti bahwa MODS menggambarkan kondisi lebih berat dan
merupakan bagian akhir dari spektrum keadaan yang berawal dari SIRS.
MODS merupakan bagian akhir dari spektrum klinis SIRS. Pada pasien luka bakar
dapat dijumpai secara kasar 30% kasus mengalami MODS. Ada 3 teori yang
menjelaskan timbulnya SIRS, MODS dan sepsis; yang mana ketiganya terjadi
secara simultan.
23
dibandingkan elektrolit).
2. Defisit cairan dan elektrolit pra bedah
Hal ini dapat timbul akibat dipuasakannya penderita terutama pada penderita
bedah elektif (sektar 6-12 jam), kehilangan cairan abnormal yang seringkali
menyertai penyakit bedahnya (perdarahan, muntah, diare, diuresis berlebihan,
translokasi cairan pada penderita dengan trauma), kemungkinan meningkatnya
insensible water loss akibat hiperventilasi, demam dan berkeringat banyak.
Sebaiknya kehilangan cairan pra bedah ini harus segera diganti sebelum
dilakukan pembedahan.
25
kamar bedah.
Kehilangan cairan lainnya
Pada setiap pembedahan selalu terjadi kehilangan cairan yang lebih
menonjol dibandingkan perdarahan sebagai akibat adanya evaporasi dan
translokasi
cairan
internal.
Kehilangan
cairan
akibat
penguapan
meningkat.
Ginjal tidak
mampu
mengekskresikan
free
water
atau
untuk
normal
cairan
adalah
untuk
cerna,
paru-paru
dan
keringat.
Rata
rata
Pemberian
cairan
dapat
dilakukan
dengan
elektrolit
terutama
natrium
dan
kalium.
dan
pemberian
kedua
kalium
pasca
kecuali
bedah
jika
tidak
hasil
diperlukan
laboratorium
menunjukkan hipokalemia.
2. Pengganti defisit puasa
Defisit cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi (puasa,
lavement) harus diperhitungkan dan sedapat mungkin segera diganti pada
masa pra-bedah sebelum induksi. Setelah dari sisa defisit yang masih ada
diberikan pada jam pertama pembedahan, sedangkan sisanya diberikan
pada jam kedua berikutnya. Kehilangan cairan di ruang ECF ini cukup
diganti dengan ciran hipotonis seperti garam fisiologis, Ringer Laktat dan
Dextrose. Pada penderita yang karena penyakitnya tidak mendapat nutrisi
yang cukup maka sebaiknya diberikan nutrisi enteral atau parenteral lebih
dini lagi.
pemberian
cairan
didasarkan
pada
(1)
29
a.
b.
c.
d.
e.
f.
pembedahan
Jumlah/penaksiran perdarahan yang terjadi
Sumber perdarahan yang telah teratasi atau belum.
Keadaan hemodinamik (tensi dan nadi)
Jumlah cairan kristaloid dan koloid yang telah diberikan
Kalau mungkin hasil serial pemeriksaan kadar hemoglobin dan
g.
hematokrit.
Usia penderita
Pemenuhan
kebutuhan dasar/harian
air, elektrolit
dan kalori/nutrisi.
Kebutuhan air untuk penderita di daerah tropis dalam keadaan basal sekitar
50 ml/kgBB/24 jam. Pada hari pertama pasca bedah tidak dianjurkan
pemberian kalium karena adanya pelepasan kalium dari sel/jaringan yang
rusak, proses katabolisme dan transfusi darah. Akibat stress pembedahan,
akan dilepaskan aldosteron dan ADH yang cenderung menimbulkan retensi
air dan natrium.
Oleh sebab itu, pada 2-3 hari pasca bedah tidak perlu
30
larutan garam isotonis. Terapi cairan ini berlangsung sampai penderita dapat
2.
3.
humidifikasi.
Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama pembedahan
yang belum selesai. Bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gr%, sebaiknya
4.
31
2. Cairan Koloid
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut plasma
substitute atau plasma expander. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan
yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang
menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6 jam)
dalam ruang intravaskuler. Oleh karena itu koloid sering digunakan untuk
resusitasi cairan secara cepat terutama pada syok hipovolemik/hermorhagik atau
pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang banyak
(misal luka bakar).
32
Advantages
Disadvantages
Kristalloid
Inexpensive
Promotes urinary flow
(intravascular volume)
Fluid of choice for initial
resuscitation of
trauma/hemorrhage.
Expands intravascular
volume
(1/4 volume given retained
intravascularly)
Restores third space losses
Dillutes colloid osmotic
pressure
Promotes peripheral edema
Higher incidence of
pulmonary
edema
Koloid
More sustained intravascullar increase
(1/3 still intravascullar at 24 hr)
Maintain plasma colloid oncotic
pressure.
Requires smaller volume for equal
effect
Less peripheral edema (more fluid
remains intravascullar)
May lower intracranial pressure
Expensive
May produce coagulopathy (dextrans
and helastarch)
With capilary leak may potentiate
fluid loss to the interstitium
Impairs subsequent cross matching of
33
bool (dextrans)
Dilutes cloting factors and platelets
Platelets adhesiveness (absorption
onto platelet membrane receptor)
Potential blocking of renal tubules and
reticuloendhotelial cells in the liver.
Possible anaphylactoid reaction with
dextrans.
BAB III
ANALISA KASUS
1.
34
debridement
sehingga
perhitungan
kebutuhan
cairan
selama
: 4 x 35 = 140 ml/jam
pasca bedah
Mempersiapkan obat/alat guna untuk menanggulangi penyulit yang
diramalkan.
Pemeriksaan penunjang meliputi darah rutin, urin rutin, kimia darah, dan beberapa
penunjang lain sesuai kebutuhan.
Perencanaan anestesi meliputi memutuskan tekhnik anestesi dan obat yang akan
digunakan. Pemilihan ini disesuaikan pada rencana pembedahan dan keadaan
pasien.
Menentukan prognosis berdasarkan klasifikasi status fisik ASA.
Pada pasien telah dilakukan evaluasi pra anastesi dan didapatkan keluhan lepuh pada
dada, perut dan telapak tangan yang disebabkan oleh luka bakar yang terjadi 3 jam
sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengeluhkan terasa nyeri pada bagian yang
terbakar. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum compos mentis, GCS 15
(E4 M6 V5), Airway tidak ada tanda-tanda hambatan jalan nafas. Sesak (-), Breathing
RR 22 x/menit, wheezing (-), ronki (-), Circulation Tensi : 100/60 mmHg, Nadi : 112
x/menit, perfusibaik (tanganhangat, merah, kering). Dari hasil pemeriksaan pada
regio toraks anterior, abdomen, femoris anterior dextra et sinistra, palmar dextra.
Didapatkan luka bakar grade II 33 % (Trunkus anterior 13 %, ekstremitas superior
dextra 1 % (palmaris dextra), ekstremitas inferior dextra 9 %, ekstremitas inferior
sinistra 9 % dan genitalia1 %).
Dari hasil pemerikaan laboratorium didapatkan peningkatan ureum 61 mg/dl,
creatinin 1,5 mg/dl, penurunan albumin 2,86 mg/dl, pemeriksaan clothing dan
bleeding time dalam batas normal. Berdasarkan hasil pemeriksaan disimpulkan pasien
termasuk dalam ASA II (Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik
ringan sam pai sedang). Hal ini didasarkan pada kondisi pasien yang terjadi
hipoalbumin dan peningkatan ureum dan kreatinin.
Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan kadar elektrolit serum. Hal ini kurang
tepat karena pada luka bakar terjadi peningkatan permeabilitas vaskuler yang
menyebabkan elektrolit dan cairan keluar dari intravaskuler sehingga terjadi
ketidakseimbangan elektrolit. Selain itu, kadar elektrolit penting diperiksa untuk
koreksi sebelum operasi dilakukan karena kadar kalium berlebih atau hiperkalemia
dapat menyebabkan kejang, khususnya bila obat muscle relaxant yang digunakan
adalah golongan depolarizing muscle relaxant seperti suksinilkolin yang semakin
meningkatkan kadar kalium ekstraseluler.
37
Hipoalbumin merupakan keadaan yang terjadi pada pasien luka bakar. Meskipun luas
luka bakar < 10% terjadi perubahan metabolik. Luka bakar akan menyebabkan respon
hipermetabolik dan hiperkatabolik yang berhubungan dengan luas dan dalamnya
kerusakan. Luka bakar >20% akan menyebabkan kehilangan dari cairan ekstraseluler
dan dapat menyebabkan shock karena terjadi peningkatan permeabilitas yang akan
diikuti dengan ekstravasasi cairan (plasma protein dan elektrolit) dari intravaskular ke
jaringan interstisial dan mengakibatkan terjadinya hipovolemik intravaskular dan
edema interstisial. Keseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik terganggu sehingga
sirkulasi ke bagian distal terhambat yang akhirnya menyebabkan gangguan perfusi sel
atau jaringan atau organ (syok). Hipoalbumin akan menyebabkan komplikasi berupa
edema, gangguan penyembuhan luka dan peningkatan resiko sepsis.
Pada pasien juga terjadi peningkatan ureum dan creatinin yang mengarahkan terdapat
gangguan pada ginjal. Pada luka bakar selain terjadi hipoalbumin dapat juga terjadi
gagal ginjal akut. Proses ini dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu gangguan
filtrasi dan disfungsi tubulus. Gangguan filteasi disebabkan penurunan kardiak output
yang biasanya disebabkan oleh kehilangan cairan yang akan biasanya terjadi pada
terhambat atau resusitasi cairan yang tidak mencukupi. Kondisi gagal ginjal akut akan
menyebabkan disfungsi organ multipel.
3.
38
Premedikasi yang diberikan pada pasien adalah atropin sulfat sebagai antikolinergik
untuk menghindari vagal reflek dan mengurangi sekresi air liur yang berlebihan.
Disamping itu efek lainnya adalah melemaskan tonus otot polos organ-organ dan
menurunkan spasme gastrointestinal. Dosis sulfas atropin adalah 0,005-0,01
mg/kgBB. Sehingga dosis yang dibutuhkan dengan berat badan pasien 35 kg adalah
0,175-0,35 mg. Pada pasien diberikan juga midazolam diberikan sebagai anxiolysis,
sedasi dan amnesia anterograde. Dibandingkan dengan diazepam, midazolam bekerja
cepat karena transformasi metabolitnya cepat dan lama kerjanya singkat. Pada pasien
orang tua dengan perubahan organik otak atau gangguan fungsi jantung dan
pernafasan, dosis harus ditentukan secara hati-hati. Efek obat timbul dalam 2 menit
setelah penyuntikan. Dosis penggunaan midazolam adalah 0,07-0,10 mg/kgBB.
Sehingga pada pasien dibutuhkan 2,45-3,5 mg. Selain itu pada pasien diberikan
fentanil sebagai analgesik. Dosis fentanil adalah 1-2g/kgBB sehingga pada pasien
dibutuhkan 35-70 g. Pasien ini diberikan atrakuirum yang merupakan agen muscle
relaxant non-depolarisasi. Dosis intubasi atrakurium adalah 0,5-0,6 mg/kg dan dosis
rumatan atrakurium adalah 0,1 mg/kg. Durasi kerja atrakurium selama 20-45 menit.
Pada pasien ini diperlukan 17,5 mg.
Salah satu respon obat yang terganggu pada pasien luka bakar adalah respon terhadap
agen penghambat neuromuskuler. Cedera luka bakar menyebabkan proliferasi
reseptor asetilkolin nikotinik extrajunctional sehingga mengakibatkan peningkatan
resistensi terhadap nondepolarizing muscle relaxant dan peningkatan sensitivitas
depolarizing muscle relaxant (seperti suksinilkolin). Pemberian suksinilkolin
sebaiknya dalam 24 jam pertama karena bila diberikan setelah lebih dari 24 jam
setelah cedera luka bakar dapat menyebabkan respon hiperkalemi letal yang akan
bertahan minimal 18 bulan. Resistensi nondepolarizing muscle relaxant terjadi dalam
minggu pertama cedera dan bertahan hingga satu tahun.Pasien luka bakar mungkin
memerlukan dosis 2 hingga 5 kali lebih besar dibandingkan pasien non-luka bakar.
Pada pasien ini dosis pemberian muscle relaxant atrakurium kurang tepat yaitu hanya
20 mg yang berada dalam rentang dosis normal. Seharusnya pada pasien luka bakar
diberikan dosis atrakurium 2-5 kali lebih besar dari dosis normal karena terjadi
peningkatan resistensi respon obat non-depolarizing muscle relaxant.
39
Pada pasien induksi menggunakan propofolatau di-iso profil fenol yang merupakan
obat anestesi intravenayang memiliki efek hipnotik murni tanpa efek analgesik
maupun relaksasi otot. Dosis sebesar 2-2,5 mg/kgBB, sehingga dosis yang
dibutuhkan adalah 70 - 87,5 mg. Agen induksi yang dapat digunakan adalah propofol,
thiopental, dan ketamin. Propofol dan thiopental harus diberikan secara hati-hati
dengan menggunakan dosis minimal terkait dengan depresi napas dan jantung.
Pilihan utama obat induksi general anesthesia adalah ketamin karena memiliki
banyak keuntungan. Ketamin cocok untuk pasien hipovolemi terkait dengan efek
simpatomimetik yang menyebabkan peningkatan tekanan darah dan denyut jantung.
Peningkatan resistensi vaskular bermanfaat selama operasi luka bakar karena dapat
mengurangi kehilangan panas dan darah dari kulit yang terluka. Ketamin juga
memiliki efek anestesi disosiatif dan analgesi yang poten. Namun, ketamin
meningkatkan aliran darah otak dan tekanan darah sistemik sehingga harus dihindari
pada pasien cedera kepala tertutup dan cedera tembus mata.
Pemasangan ETT merupakan standar perawatan untuk dewasa dan juga berguna
untuk bayi dan anak yang menjalani operasi luka bakar. Intubasi berguna pada pasien
anak dengan cedera luka bakar berat yang membutuhkan tekanan ventilasi yang
tinggi terkait dengan penurunan komplians paru akibat cedera inhalasi atau resusitasi
cairan dalam jumlah besar.
Pemberian anestesi maintenance durante operatif berupa campuran gas N2O dan O2
dan sevofluran. Gas N2O atau gas gelak memiliki efek analgesi dan tidak memiliki
efek hipnotik. Efek analgesinya relatif lemah akibat kombinasi dengan oksigen. Gas
N2O memiliki kelarutan 15 kali lebih besar dalam plasma dibandingkan dengan
oksigen dan mampu berdifusi ke dalam semua rongga dalam tubuh sehingga dapat
menimbulkan hipoksia-difusi apabila diberikan tanpa oksigen sehingga setiap
pemberian N2O harus disertai dengan O2. Kombinasi N2O dengan O2 diberikan
dengan perbandingan adalah 70 : 30 (untuk pasien normal), 60 : 40 (untuk pasien
yang memerlukan tunjangan oksigen lebih banyak) atau 50 : 50 (untuk pasien yang
berisiko tinggi).
Sevoflurane merupakan obat anestesi umum inhalasi derivat eter dengan kelarutan
dalam darah yang lebih rendah dari halotan, enfluran dan isofluran.Rendahnya
kelarutan serta tidak adanya bau yang menyengat menyebabkan induksi inhalasi
40
berjalan dengan cepat dan mulus, juga kelarutan dalam darah yang rendah
menyebabkan pemulihan berjalan dengan cepat. Dosis yang dibutuhkan untuk
maintenanceantara 0,5 3,00 % dalam O2 dan N2O.
Cedera luka bakar sangat nyeri terkait dengan cedera jaringan langsung dan
hiperalgesia yang dimediasi inflamasi. Stimulasi nyeri ujung saraf oleh mediator
inflamasi (seperti bradikinin dan histamin) dan neurotransmiter (seperti glutamat dan
substansi P) mempengaruhi mekanisme nyeri sentral dan perifer. Analgesi yang
adekuat diperlukan untuk menghindari keluaran fisiologis dan psikologis yang buruk.
Pemberian opioid oral tetap merupakan terapi pilihan untuk manajemen nyeri pada
prosedur operasi luka bakar.
Pemberian analgesi pada pasien dalam kasus kurang tepat karena hanya diberikan
ketorolac yang merupakan golongan obat antiinflamasi nonsteroid. Seharusnya
diberikan obat golongan opioid sebagai analgesi pascabedah pada pasien luka bakar.
Dapat diberikan opioid berupa morfin sulfat per oral dengan dosis 0,2-0,5 mg/kg tiap
4-6 jam sehingga pada pasien ini dapat diberikan 7 mg tiap 6 jam.
41
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Pemberian cairan pada pasien ini kurang tepat karena pemberian cairan berlebih
dapat menyebabkan komplikasi seperti edema paru. Pemberian cairan seharusnya
disesuaikan dengan perhitungan kebutuhan cairan meliputi cairan maintenance,
pengganti puasa dan stres operasi.
2. Pemeriksaan kadar elektrolit seharusnya dilakukan sebelum operasi agar dapat
dilakukan koreksi bila diperlukan karena pada luka bakar terjadi peningkatan
permeabilitas vaskular yang menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit.
3. Pemberian dosis muscle relaxant yaitu atracurium pada pasien ini kurang tepat,
seharusnya dosis atracurium diberikan 2-5 kali lebih besar dibandingkan dosis
normal.
4. Pemberian ketorolac (analgesik golongan non steroid) kurang tepat, seharusnya
diberikan analgesik golongan opioid berupa morfin sulfat peroral dengan dosis 0,2
0,5 mg/kgBB tiap 4-6 jam.
42
DAFTAR PUSTAKA
1. Aguayo-Becerra OA, Torres-Garibay C, Macias-Amezcua MD, et al. Serum
albumin level as a risk factor for mortality in burn patients. Clinics.
2013;68(7):940-5.
2. Beasley W, Aston SJ, Bartlett SP, Gurtner GC, Spear SL. Grabb and Smith Plastics
Surgery 6 thedition. 2007. Philadelphia: Lippincott William & Willkin. Pp 512-29.
3. Beauchcamp, Evers, Mattox. Sabiston Text Book of Surgery. Philadelphia:
Elseiver Saunders. 2012. Pp. 521-47.
4. Bhananker SM, Cullen BF. Burns. In: Fleisher LA, ed. Anesthesia and Uncommon
Diseases; 2012. Pp. 520.
5. Bishop S, Maguire S. Anaesthesia and Intensive Care for Major Burns. Continuing
Education in Anaesthesia Critical Care & Pain. 2012:1-5.
6. Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR et al. Schwartz`s Principle of Surgery
Tenth Edition. 2015. Philadelphia: McGraw Hill. Pp 1820-21.
7. Emara SS, Alzaylai AA. Renal Failure in Burn Patients: A Review. Annals of Burn
and Fire Disaster. 2013;26(1):12-15.
8. Fenlon S, Nene S. Burns in Children. Critical Care & Pain. 2007;7(3):76-80.
9. Harbin KR, Norris T. Anesthetic Management of Patients with Major Burn Injury.
AANA Journal. 2012;80(6):430-9.
10. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2001. Hlm. 68.
11. Lund CC, Browder NC. The estimation of areas of burns. Surg GynecolObstet.
1944; 79: 352.
12. Mangku G, Senapathgi TGA. Ilmu Anestesia dan Reanimasi. 2010. Hlm. 23-86.
13. Torpy JM, General Anestesia. J. American Medical Association. 2011;305(10):
1050.
43