Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Di seluruh dunia terdapat 34 juta orang terinfeksi HIV. Tahun 2011 terdapat 2.5 juta
kasus infeksi baru dan 1.7 juta kematian yang disebabkan oleh AIDS. Insidensi acquired
immune deficiency syndrome (AIDS) di Indonesia mencapai 55.799 jiwa.1 Sejak
dimulainya penggunaan terapi antiretroviral pada pertengahan tahun 1990, angka
kematian AIDS menurun drastis menyebabkan AIDS merupakan penyakit kronis.
Komplikasi sistem saraf pusat terjadi 39-70% pada pasien HIV. Etiologi kejang terbanyak
pada pasien HIV adalah encepalopathy, progressive multifocal leukoencephalopathy dan
toxoplasmosis. Pemberian kombinasi OAE diindikasikan pada 55% pasien yang
menggunakan ARV. Komplikasi neurologis terjadi pada 40% pasien dengan HIV, kejadian
insidens kejang pada pasien HIV mencapai 11%.2
Penggunaan obat anti epilepsi pada pasien dengan immunocompromised
memperlihatkan hal yang unik terkait dengan interaksi antara anti-retro virus (ARV) dan
obat anti epilepsi (OAE). Pemberian dan pemilihan obat anti epilepsi pada pasien dengan
immunocompromised perlu lebih berhati-hati, karena beberapa obat anti epilepsi
diperkirakan dapat menurunkan efektivitas dari obat anti retro virus sehingga
menyebabkan virologic failure demikian pula sebaliknya obat ARV yang menurunkan
efektivitas dari OAE dapat menyebabkan kejang tidak terkontrol. Selain itu, interaksi
yang kompleks antara obat ARV dengan OAE diperkirakan juga dapat meningkatkan
risiko toksisitas obat dalam darah. Saat ini belum ada pedoman terapi dalam tatalaksana
epilepsi pada pasien immunocompromised. Oleh karena itu, penulis ingin membahas
lebih lanjut tentang penggunaan OAE pada pasien immunocompromised.3

1.2.

Tujuan Studi Pustaka


1.2.1. Tujuan Umum
Mengetahui berbagai panduan pemberian obat anti epilepsi pada pasien
immunocompromised.
1.2.2. Tujuan Khusus
- Mengetahui berbagai panduan pemberian obat anti epilepsi pada pasien
-

immunocompromised.
Mengetahui berbagai interaksi pemberian obat anti epilepsi pada pasien
immunocompromised.
1

1.3.

Manfaat Studi Pustaka


1.3.1. Bidang Akademik
Hasil studi kepustakaan ini diharapkan dapat memajukan ilmu pengetahuan dan
menambah wawasan dengan menyajikan informasi mengenai pilihan terapi obat
anti epilepsi pada pasien dengan immunocompromised.
1.3.2. Pelayanan Masyarakat
Hasil studi kepustakaan ini diharapkan dapat menambah wawasan masyarakat
mengenai epilepsi pada pasien immunocompromised.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Epilepsi
2.1.1 Definisi Epilepsi
Epilepsi adalah sindroma klinis yang ditandai dengan dua atau lebih
bangkitan. Sebagian besar timbul tanpa provokasi akibat kelainan abnormal primer
di otak dan bukan sekunder oleh penyebab sistemik. Sedangkan, bangkitan epilepsi
adalah suatu manifestasi klinik yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang
abnormal dan berlebih. Aktivitas paroksismal abnormal ini umumnya timbul
intermiten dan self-limited. 3,4
2.1.2 Tatalaksana epilepsi
Pemilihan obat anti epilepsi (OAE) sangat tergantung pada bentuk
bangkitan. Penggunaan terapi tunggal dan dosis tunggal menjadi pilihan utama.
Kepatuhan pasien juga ditentukan oleh harga dan efek samping OAE yang timbul.4
Antikonvulsan Utama
1. Fenobarbital : dosis 2-4 mg/kgBB/hari
2. Phenitoin : 5-8 mg/kgBB/hari
3. Karbamasepin : 20 mg/kgBB/hari
4. Valproate : 30-80 mg/kgBB/hari
Keputusan pemberian pengobatan setelah bangkitan pertama dibagi dalam 3
kategori:
1. Definitely treat (pengobatan perlu dilakukan segera)
Bila terdapat lesi struktural, seperti :
a. Tumor otak
b. AVM
c. Infeksi : seperti abses, ensefalitis herpes
Tanpa lesi struktural :
3

a. Terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang tua)


b. EEG dengan gambaran epileptik yang jelas
c. Riwayat bangkitan simpomatik
d. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi SSP
e. Status epilepstikus
2. Possibly treat (kemungkinan harus dilakukan pengobatan)
Pada bangkitan yang tidak dicetuskan (diprovokasi) atau tanpa disertai faktor
resiko diatas
3. Probably not treat (walaupun pengobatan jangka pendek mungkin diperlukan)
a. Kecanduan alkohol
b. Ketergantungan obat obatan
c. Bangkitan dengan penyakit akut (demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemia)
d. Bangkitan segera setelah benturan di kepala
e. Sindroma epilepsi spesifik yang ringan, seperti kejang demam
f. Bangkitan yang diprovokasi oleh kurang tidur
2.2

Human Immunodeficiency Virus (HIV)

2.2.1 Definisi dan klasifikasi HIV


Human Immunodeficinecy Virus (HIV) adalah salah satu retrovirus dalam
famili Retroviridae dari genus Lentivirus, single-stranded virus, dengan kapsul,
dan

positive

sense

RNA

virus

yang

dapat

menyebabkan

Acquired

Immunodeficiency Syndrome (AIDS), yaitu suatu sindrom yang didapat (acquired)


akibat defisiensi sistem kekebalan tubuh.5,6 Mekanisme infeksi HIV dalam tubuh
host adalah menyerang sel limfosit T (CD4+), sehingga terjadi penurunan jumlah
CD4+.24 Selain itu juga terjadi peningkatan replikasi virus dan penyebaran virus
dalam darah (viremia) sehingga meningkatkan jumlah virus yang ada dalam darah
(viral load) yang memudahkan terjadinya infeksi oportunistik.
4

World Health Organization (WHO) mengelompokkan HIV/AIDS menjadi


empat stadium (I-IV) berdasarkan manifestasi klinisnya pada orang dewasa sebagai
berikut : 7,8
1. Infeksi Primer
Dimulai dari masuknya virus HIV ke dalam tubuh hingga muncul acute
retroviral syndrome, yaitu demam akut selama 2-4 minggu setelah terpapar disertai
terjadinya serokonversi dari HIV Ab-negatif ke HIV Ab-positif.
2. Stadium I (Asimptomatik)
Stadium ini disebut juga stadium asimptomatik dan biasa disertai dengan
general limfadenopati persisten, yaitu perbesaran kelenjar getah bening (KGB) tanpa
rasa sakit dengan ukuran > 1 cm di dua atau lebih daerah yang tidak terinfeksi selama
minimal tiga bulan atau lebih.
3. Stadium II (Mild)
Sistem kekebalan tubuh menurun sehingga mulai muncul berbagai manifestasi
klinis, seperti penurunan berat badan <10%, infeksi saluran napas berulang (sinusitis,
tonsilitis, otitis media, faringitis), herpes zoster, angular cheilitis, ulserasi oral
berulang, papular pruritus, seborrhoeic dermatitis, dan infeksi jamur pada kuku.
4. Stadium III (Advance)
Manifestasi klinis yang terjadi bertambah parah, ditandai dengan penurunan
berat >10%, diare kronis lebih dari satu bulan, demam persisten (>37.6 oC
intermiten atau konstan) selama lebih dari satu bulan, oral candidiasis persisten,
hairy leukoplakia, tuberkulosis, infeksi bakteri berat (pneumonia, empyema,
pyomycitis, infeksi tulang dan sendi, meningitis, bakteremia), necrotizing
ulcerative stomatitis akut, gingivitis, periodontitis, anemia (<8 g/dL), neutropenia
(<0.5 x 109 per liter), dan trombositopenia kronis (<50 x 109 per liter).
5. Stadium IV (Severe)
Stadium ini merupakan tahap terakhir dan terparah dari HIV/AIDS, dimana
dapat dijumpai wasting syndrome, pneumocystis pneumonia, bakterial pneumonia
berat berulang, herpes simplex kronis (orolabial, genital, anorektal selama lebih
dari satu bulan atau pada bagian organ lain), oesofageal candidiasis (candidiasis
trakea, bronkus, atau organ lain), tuberkulosis extrapulmoner, sarcoma Kaposi,
infeksi Citomegalovirus (retinitis atau infeksi organ lain), toxoplasmosis sistem
saraf pusat, HIV encephalopathy, crytococcosis extrapulmoner, termasuk
meningitis, disseminated non-tuberculous mycobacterial infection, multifokal
leukoencephalopathy progresif, dan crytosporidiosis kronis (dengan diare).
2.2.2 Tatalaksana HIV
5

Terapi anti-retro-virus (ARV) dimulai ketika jumlah CD4 pasien


<350sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya, atau semua pasien dengan TB
aktif, ibu hamil, dan koinfeksi dengan hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4. 9
Lini pertama : 2 NRTI + 1 NNRTI

Gambar 1. Cara kerja obat ARV pada replikasi virus


Terapi anti retro viral yang dibagi berdasarkan cara kerjanya:10
Entry Inhibitors : mencegah virus dalam mengikatkan diri ke reseptor di
permukaan luar sel saat virus mencoba masuk. Ketika ikatan virus dengan reseptor
gagal, HIV tidak dapat menginfeksi sel.
Fusion Inhibitors : mencegah virus untuk bergabung dengan membran sel, dan
mencegah HIV memasuki sel. Contoh: enfuvirtide
Reverse Transcriptase Inhibitors : mencegah proses reverse transkriptase,
mencegah enzim reverse transkriptase HIV untuk mengubah single stranded RNA
menjadi double stranded DNA.

1. Nucleoside/nucleotide RT inhibitors (NRTIs) menambahkan DNA yang salah


ketika virus sedang membuat rantai DNA sehingga menyebabkan sintesis DNA
HIV terputus-putus. Contoh: zidovudine, lamivudine
2. Non-nucleoside RT inhibitors (NNRTIs) mengikat enzim reverse transkriptase
sehingga menghalangi kemampuan perubahan HIV RNA menjadi HIV DNA.
Contoh: efavirenz, nevirapine
Integrase Inhibitors memblok enzim HIV integrase yang membuat virus
menyusun material genetik ke DNA sel yang terinfeksi. Contoh: raltegravir
Protease Inhibitors mencegah enzim protease HIV, yang berguna untuk memotong
rantai panjang protein HIV menjadi protein yang lebih kecil. Ketika protease tidak
bekerja dengan baik, partikel virus baru tidak dapat dibentuk. Contoh: lopinavir,
ritonavir
2.3 Terapi antiepilepsi pada pasien immunocompromised
2.3.1 Interaksi obat AED dan ARV
Interaksi dari ARV dan AED merupakan sesuatu yang
kompleks dan ekstensif. Secara umum, interaksi obat terjadi mulai dari tahap
absorpsi, tahap metabolisme oleh sitokrom P450 misalnya obat yang digunakan
dalam pengobatan HIV mayoritas dari obat-obat tersebut dimetabolisme di hati
melalui sitokrom P450, misalnya antara Rifampisin dengan PI atau NNRTI atau
antara PI dengan NNRTI), distribusi yang dipengaruhi oleh protein yang mengikat
obat. Hal yang paling berpengaruh pada interaksi obat anti epilepsi
dan obat anti retro virus adalah sistem enzim induksi sitokrom
P450. Beberapa generasi utama AED (fenitoin, carbamazepin,
fenobarbital, asam valproat) yang menginduksi enzim sitokrom
P450 dapat menurunkan dosis efektif dari non nucleoside reverse
transcriptase inhibitor (NNRTI) dan protease inhibitor (PI).10
Secara umum, AED yang ideal untuk populasi HIV adalah tidak
dimetabolisme di hati, interaksi obat-obat yang minimal dan memiliki efek
samping yang diinginkan. Penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan
enzyme induced anti epileptic drug (EI-AED) lebih berisiko menyebabkan
kegagalan virologi dibandingkan non EI-AED. Interaksi dari Penggunaan ARV
7

dapat menurunkan AED menyebabkan penurunan keefektivan dari


AED dalam kontrol kejang. Sebaliknya, penggunaan AED yang
menurunkan kadar ARV menyebabkan virologic failure yang
menyebabkan progresivitas dari penyakit dan resistensi terhadap
ARV. Meskipun demikian, di negara berkembang ketersediaan
obat non EI-AED masih jarang dan harganya relatif mahal. Namun
demikian, penelitian mengenai interaksi AED-ARV dan dosis
penyesuaian masih sangat minimal.11,12
2.3.3 Interaksi EI-AED dengan ARV
2.3.3.1 Fenitoin
Sebuah penelitian dengan 12 sample menyatakan bahwa fenitoin
menurunkan serum lopinavir dan ritonavir (PI) sebanyak 33% dan 28%.
Sehingga, pasien yang menerima fenitoin perlu menaikkan dosis lopinavir/
ritonavir sebanyak 50% untuk menjaga konsentrasi serum. Sedangkan interaksi
fenitoin setelah tiga kali pemberian dosis dengan nevirapine menyebabkan
berkurangnya waktu paruh dari 46 jam menjadi 27 jam, pada pemberian fenitoin
dosis tunggal tidak ada perubahan signifikan terhadap waktu paruh nevirapine
(NNRTI).11,12
2.3.3.2 Carbamazepine
Pada penelitian, pemberian efavirenz (NNRTI) dua minggu diikuti
pemberian carbamazepin 20 hari menyatakan carbamazepin menurunkan
konsentrasi efavirenz sebanyak 36%. Penelitian carbamazepin dengan nevirapine
menunjukkan waktu paruh nevirapine berkurang dari 52 jam menjadi 33 jam
dengan pemberian dosis tunggal carbamazepin. 11,12
2.3.3.3 Asam Valproat
Asam valproat tidak memiliki efek pada penggunaan efavirenz.
Sehingga

tidak

memerlukan

dosis

penyesuaian.

Tetapi

asam

valproat

meningkatkan dosis zidovudine sehingga dosis zidovudine perlu diturunkan untuk


menghindari toksisitas dalam darah.11,12
2.3.2 Interaksi non EI-AED dengan ARV
2.3.2.1 Levetiracetam
8

Levetiracetam adalah sebuah obat antiepilepsi dengan profil yang unik.


Levetiracetam memiliki indeks terapeutik yang tinggi dan efek anti epilepsi yang
potensial. Profil farmakokinetik levetiracetam mendekati karakteristik ideal yang
diharapkan dari obat antiepilepsi, dengan bioavailabilitas yang baik, kerja yang
cepat mencapai konsentrasi yang stabil, mengikat protein secara minimal, dan
metabolisme minimal. Jalur metabolisme utama levetiracetam tidak tergantung
pada sistem sitokrom P450 hati, dan levetiracetam tidak menghambat atau
menginduksi enzim hati sehingga tidak menghasilkan interaksi klinis yang
relevan. 66% dosis levetiracetam diekskresi dalam urin; 24% dimetabolisme
menjadi metabolit aktif yang terdeteksi dalam darah dan juga diekskresikan
dalam urin. Dosis levetiracetam harus disesuaikan dengan creatinin clearance
pada pasien dengan gangguan ginjal. Levetiracetam tidak terikat dengan protein,
sehingga tidak mempengaruhi obat lain yang terikat protein. Dengan demikian,
karena memiliki ikatan yang minimal dengan protein dan kurangnya metabolisme
di hati, risiko interaksi obat sangat rendah. Levetiracetam memiliki margin of
safety yang besar yang membedakannya dari obat antiepilepsi lainnya yang
tersedia saat ini. 3,13,14,15
2.3.2.2 Gabapentin
Gabapentin adalah obat antiepilepsi baru (AED) dengan profil
farmakokinetik menarik. Gabapentin tidak terikat pada protein plasma, tidak
menginduksi enzim hati dan tidak dimetabolisme. Gabapentin memiliki paruh 6-8
jam, dan diekskresi oleh ginjal. Gabapentin tidak memiliki interaksi obat-obat
yang signifikan bila diberikan dengan AED lain atau dengan kontrasepsi oral.
Gabapentin digunakan pada kejang parsial dan keang sekunder umum tonik
klonik. Mengantuk dan pusing sementara menjadi efek samping yang paling
sering. Meskipun mekanisme kerja gabapentin tidak sepenuhnya diketahui, tetapi
efek gabapentin secara klinis sudah diakui. Gabapentin adalah obat yang
direkomendasikan pada pasien dengan kejang onset parsial. 16
2.3.2.3 Pregabalin
Pregabalin merupakan obat anti epilepsi generasi baru dengan
mekanisme yang tidak diketahui, tetapi diperkirakan pregabalin merupakan
analog GABA yang mengikat kanal kalsium di CNS, dimetabolisme secara
9

minimal dan dieksresi oleh ginjal, penelitian menyatakan pregabalin tidak


memiliki interaksi yang signifikan dengan obat anti epilepsi lainnya maupun obat
anti virus. Efek samping obat pregabalin adalah pusing, somnolen (21-26%),
diplopia, tremor, dan mulut kering. Selain sebagai anti epilepsi, pregabalin dapat
juga digunakan sebagai obat neuropathy. 17,18
2.3.2.4 Lacosamide
Ketika diberikan secara oral pada orang sehat, lacosamide cepat diserap
dari saluran pencernaan. Memiliki bioavailabilitas oral hampir 100%. Lacosamide
sedikit mengikat protein, sehingga mengurangi potensi interaksi dengan obat lain.
Konsentrasi tertinggi lacosamide dalam plasma darah sekitar 1 sampai 4 jam
setelah pemberian oral. Lacosamide memiliki paruh sekitar 12-16 jam, yang tetap
tidak berubah jika pasien juga mengambil penginduksi enzim. obat ini diberikan
dua kali per hari dengan interval 12 jam. Lacosamide diekskresikan melalui
ginjal, dengan 95% dari obat dieliminasi dalam urin. Hanya 0,5% dari obat
tersebut tereliminasi dalam feses.19

10

Tabel II. Pilihan obat anti epilepsi untuk gangguan epilepsi pada HIV positif (3)

11

BAB III
KESIMPULAN
3.1.

Kesimpulan
Untuk memaksimalkan manfaat klinis dan meminimalkan potensi
toksisitas ARV, penting bagi dokter untuk mengenali interaksi obat - obat yang
signifikan. Pemberian OAE dapat diindikasikan pada 55% pengguna ARV. Untuk
menjaga konsentrasi serum, pasien yang menerima fenitoin memerlukan
peningkatan dosis lopinavir / ritonavir sebanyak 50%. Pasien yang menerima
asam valproat memerlukan pengurangan dosis zidovudine untuk menjaga
konsentrasi serum zidovudine. Pemberian asam valproat dan efavirenz tidak
memerlukan penyesuaian dosis efavirenz. Penggunaan EI-AED perlu dihindari
terutama pada pasien yang menggunakan PI dan NNRTI karena interaksinya
dapat menyebabkan virologic failure yang manifestasi klinisnya dapat
memperburuk perjalanan penyakit.

12

DAFTAR PUSTAKA

1.

Statistik

Kasus

HIV/AIDS

di

Indonesia

StatCurr.pdf.

http://spiritia.or.id/Stats/StatCurr.pdf
2.

Neurological Complications of HIV | Johns Hopkins Medicine Health Library


http://www.hopkinsmedicine.org/healthlibrary/conditions/nervous_system_disorders/ne
urological_complications_of_hiv_134,46/

3.

Siddiqi O, Birbeck GL. Safe Treatment of Seizures in the Setting of HIV/AIDS. Curr
Treat Options Neurol. 2013 Aug;15(4):52943.

4.

PERDOSSI. 2011. Standar Pelayanan Medik.

5.

Medscape.

Basic

Information

About

HIV

and

AIDS.

http://emedicine.medscape.com/article/211316-overview.
6. CDC. Basic information about HIV/AIDS. 2012. http://www.cdc.gov/hiv/topics/basic/.
7.

World Health Organization. WHO case definitions of HIV for surveillance and revised
clinical staging and immunological classification of HIV-related disease in adults and
children. Switzerland. 2007.

8. World Health Organization. Interim Clinical Staging of HIV/AIDS and HIV/AIDS Case
Definitions for Surveillance. Switzerland. 2005.
9.

Pedoman

Nasional

Pengobatan

Antiretroviral

(ART)

pedoman-art2011.pdf

http://spiritia.or.id/dokumen/pedoman-art2011.pdf
10. Antiretroviral Therapy for HIV Infection: Overview, Table of FDA-Approved Antivirals
and

Regimens,

Nucleoside

Reverse

Transcriptase

Inhibitors.

2015

Jun

http://emedicine.medscape.com/article/1533218-overview
11. Evidence-Based Guidelines: Use of Antiepileptic Drugs in Patients with HIV/AIDS.
NEJM J Watch http://www.jwatch.org/jn201201310000001/2012/01/31/evidence-basedguidelines-use-antiepileptic
12. Birbeck GL, French JA, Perucca E, Simpson DM, Fraimow H, George JM, et al.,
Quality Standards Subcommittee Of The American Academy Of Neurology, Ad Hoc
Task Force Of The Commission On Therapeutic Strategies Of The International League
13

Against Epilepsy. Antiepileptic drug selection for people with HIV/AIDS: evidencebased guidelines from the ILAE and AAN. Epilepsia. 2012 Jan;53(1):20714.
13. Patsalos PN. Pharmacokinetic profile of levetiracetam: toward ideal characteristics.
Pharmacol Ther. 2000 Feb;85(2):7785.
14. Ben-Menachem E. Levetiracetam: treatment in epilepsy. Expert Opin Pharmacother.
2003 Nov;4(11):207988.
15. Hovinga CA. Levetiracetam: a novel antiepileptic drug. Pharmacotherapy. 2001
Nov;21(11):137588.
16. Beydoun A, Uthman BM, Sackellares JC. Gabapentin: pharmacokinetics, efficacy, and
safety. Clin Neuropharmacol. 1995 Dec;18(6):46981.
17. Guay DRP. Pregabalin in neuropathic pain: a more pharmaceutically elegant
gabapentin? Am J Geriatr Pharmacother. 2005 Dec;3(4):27487.
18. Lyrica (pregabalin) dosing, indications, interactions, adverse effects, and more
http://reference.medscape.com/drug/lyrica-pregabalin-343368
19. Cawello W, Bkens H, Nickel B, Andreas J-O, Halabi A. Tolerability, pharmacokinetics,
and bioequivalence of the tablet and syrup formulations of lacosamide in plasma, saliva,
and urine: saliva as a surrogate of pharmacokinetics in the central compartment.
Epilepsia. 2013 Jan;54(1):818.

14

Anda mungkin juga menyukai