Anda di halaman 1dari 5

EKSPERIMEN MEDIS UNIT 731 JEPANG

Eksperimen medis yang dilakukan dengan kejam oleh tentara Jepang terhadap
tawanan perang dan penduduk sipil selama perang dunia ke II, bersumber dari perintah
rahasia Mikato pada tahun 1936, atau Kaisar Jepang, Hirohito (People's Daily Online, 12
Agustus 2005). Unit yang terbesar dan terkenal dengan kekejamannya dalam melakukan
eksperimen ini dinamakan Unit 731, yang terletak di Pingfang sebuah daerah sekitar 20 km
dari Harbin di Heilungjiang, Manchuria. Pada masa puncaknya 5000 orang Jepang seperti
tentara, dokter, ahli biologi, kimia , pharmasi dan ilmuwan lainnya berkerja di Pingfang ini.
Unit 731 ini, disamarkan dengan nama unit perjernihan air (waterpurification unit),
yang merupakan bagian dari unit tentara Jepang di Manchuria atau disebut Kwantung Army
diatas lahan seluas 32 km2 yang dilengkapi fasilitas seperti halnya kota kecil yang berdiri
sendiri . Tujuan dari Unit 731 ini adalah untuk mengadakan penelitian dan pengembangan
teknologi senjata Biologi dan Kimia.
Pingfang juga disebut sebagai Holocaust Tiongkok, dimana sekitar 3000- 10.000
tawanan perang, penduduk sipil, wanita, anak-anak dan bahkan bayi dijadikan kelinci
percobaan (guinea pigs) oleh Unit 731 tentara Jepang, diantaranya juga tawanan Rusia,
Korea, Mongolia dan tentara sekutu lainnya, tetapi sebagian besar dan mayoritas, terutama
penduduk sipilnya dan wanita adalah orang Tiongkok.
Unit 731 ini didirikan dan dipimpin oleh Letnan Jenderal Dr. Ishii Shiro, seorang
doktor mikrobiologi yang memperdalam senjata Biologi dan Kimia (Biological and Chemical
Warfare). Ishii Shiro ini dapat disamakan juga dengan Dr. Josef Mengele dari Nazi Jerman..
Josef Mengele ini (dijulukin Angel of Death) adalah dokter Nazi Jerman dari satuan unit elit
militer SS yang melakukan eksperimen medis dengan kejam terhadap para tahanan hiduphidup di kamp konsentrasi Auschwitz pada waktu perang dunia ke II.
Di Pingfang ini dikembangbiakkan dan diproduksi segala jenis penyakit menular dan
mematikan seperti anthrax, typhus, typhoid, dysentri, cholera, smallpox (cacar), bubonic
plague (pes atau "Black Death"), syphillis dan pathogen lainnya serta pembawa penyakitnya
seperti tikus dan insekt (lalat). Selain itu dilakukan kekejaman eksperimen medis dan
percobaan senjata biologi terhadap para tahanan seperti sbb:
Vivisection, para tahanan yang telah diberikan bakteri pathogen, dibedah tubuhnya
hidup-hidup, tanpa anesthesi untuk melihat bagaimana bakteri itu berkerja dan bereaksi
terhadap organ tubuh, korbannya termasuk wanita hamil, anak kecil dan bayi Tangan atau

kaki korban diamputasi dengan gergaji hidup-hidup, untuk mengetahui proses perdarahan dan
kadang-kadang dijahit lagi dengan lengan atau kaki yang lain yang dipotong juga.. Darah
binatang juga dieksperimen diinjeksikan kedalam pembuluh darah korban. Tahanan
dimasukkan kedalam ruangan bertekanan tinggi hingga organ tubuhnya pecah. Tubuh korban
dibekukan (frostbite) untuk menguji ketahanan dan reaksi tubuh terhadap suhu rendah.
Beberapa tahanan diberikan sinar radiasi X-ray pada hatinya yang berdosis tinggi dan
mematikan. Udara dijeksikan kedalam pembuluh darah untuk membuat simulasi serangan
jantung (stroke).
Selain eksperimen medis horor ini, Jepang juga melakukan eksperimen dengan
persenjataan perang (weapon testing) seperti, alat penyembur api (flame thrower) yang
disemburkan ke tubuh korban.
Unit-unit seperti ini, yang disebut juga "Death Factory" dibangun di kota-kota lainnya
seperti di Changchun, Peking, Nanjing dan Guangzhou, dan bahkan di Singapura, tetapi tidak
sebesar dan selengkap di Pingfang (World's largest and most comprehensive biological
warfare programme). Unit ini memiliki 60 cabang dengan 10.000 personil.
Pada tahun 1938, Jepang sudah memulai menggunakan senjata Biologi (Biology atau Germ
Warfare) untuk memerangi Tiongkok. Lebih dari 20 propinsi, terutama di Zhejiang, Jiangxi
dan Hunan yang paling menderita menjadi sasarannya. Menurut laporan resmi pemerintah
Tiongkok diperkirakan selama peperangan itu sekitar 270.000 orang menjadi korban senjata
Biologi, atau lebih besar daripada korban pembantaian Nanjing.
Banyak sungai-sungai, sumber air minum, sumur dan sawah-sawah dicemarkan dan
diracuni oleh Jepang dengan bakteri patogen ini. Salah satu teknik penyebarannya adalah
dengan menginjeksikan bakteri penyakit ke Tikus dan ditularkan ke sejumlah lalat atau
insekt, lalu ditaruh kedalam sebuah wadah porselin yang berfungsi sebagai bom yang akan
pecah jika dilepaskan kedarat oleh pesawat, seperti yang pernah terjadi di Quzhou, Zhejiang,
dimana sekitar 50.000 penduduk menjadi korbannya (Justin McCurry, Guardian Unlimited.
October, 2004).
Ketika perang mendekati akhir, bangunan-bangunan Unit 731 di Pingfang ini dibakar
dan dihancurkan oleh Jepang, untuk menghapus jejak kejahatan perangnya.Tetapi karena
bangunannya berjumlah banyak dan kokoh, maka tidak semuanya dapat dihancurkan.
Sekarang sisa bangunannya masih berdiri disana dan dipelihara sebagai monumen kebrutalan
dan kebiadaban agresor Jepang. Penjahat-penjahatnya banyak yang kabur melarikan diri ke
Jepang dan sebagian dapat ditawan oleh Soviet (12 orang) dan diadili disana (Khabarovsk).

Selama ini hampir tidak ada penjahat perang penting dari Unit 731 yang diajukan ke
pengadilan untuk mempertanggung jawabkan kejahatn perangnya, seperti Dr. Ishii Shiro yang
disebut juga sebagai bapak pengembangan senjata biologi Jepang (Japanese biological
weapons programme) yang hidup dengan tenang sampai ajalnya di Jepang pada tahun 1959,
diusia 67 tahun.
Dr. Masaji Kitano yang pernah menjabat sebagai komandan Unit 731 ini, tak pernah
dituntut ke pengadilan penjahat perang Tokyo, dan dikemudian harinya bahkan mendirikan
serta memiliki salah satu perusahan pharmasi terbesar di Jepang "Green Cross Corp" (Midori
Juji) pada tahun 1950, dan terakhir pada tahun 2001 merger menjadi Mitsubishi Pharma
Corporation
Dan orang yang paling bertanggung jawab atas pelaksanaan perangbiologi di
Tiongkok adalah Jenderal Yasuji Okamura (1884-1966). Okamura mendapat perintah rahasia
dari Hirohito (kaisar Jepang ) untuk menggunakan senjata biologi dalam berperang dengan
Tiongkok, (pelanggaran terhadap Geneva Convention 1925) yang memakan korban jiwa
besar itu.
Diperkirakan sebanyak 2,7 juta penduduk Tiongkok terbunuh selama operasi Sanko
Sasusen ini. Okamura sendiri tidak pernah diseret kemuka pengadilan di Tokyo (Tokyo War
Crimes Tribunal) sebagai penjahat perang, bahkan ironisnya dipakai oleh Chiang Kai Shek
sebagai penasihat militernya Kuomintang, sesudah perang (Yasuji Okamura, Wikipedia).
Banyak bekas tentara, ilmuwan dan karyawan Jepang yang melakukan percobaan senjata
biologi atas manusia di Unit 731 dibelakang harinya diketahui menjadi politikus, pengajar,
dokter atau pengusaha yang sukses karirnya di Jepang pasca perang dunia ke- II, seperti Prof.
Toda Shozo (President, Kanazawa University), Prof. Kimura Yasushi (President, Nagoya City
University of Medicine), Asahina Masajiro (National Institute of health), Prof. Ogata Tomio
(Tokyo University, Faculty of Medicine) dll. (Unit 731 testimony, Hal Gold).
Penjahat-penjahat perang ini tak pernah diseret ke pengadilan Tokyo karena adanya
konspirasi dan "perjanjian rahasia" antara penjahat perang tersebut dengan Amerika yaitu
Jenderal MacArthur (julukannya "super emperor of Japan) yang ketika itu menjabat sebagai
komandan tentara pendudukan sekutu di Jepang, setelah penaklukkan. Isi dari perjanjian
rahasia ini adalah bahwa penjahat-penjahat perang Jepang tersebut dijanjikan tidak akan
diajukan ke pengadilan dan dilindungi serta diberikan imunitas hukum (bahkan diberikan
uang) oleh Amerika dengan imbalannya bahwa hasil eksperimen medis terhadap manusia dan
pengembangan senjata biologi dari Unit 731 ini harus diserahkan ke pihak Amerika, "
Immunity from prosecution for war crimes in return for experimental data"(Tien Ei Wu, A

Preliminary Review of Studies of Japanese Biological Warfare and Unit 731 in the United
States).
Amerika menganggap bahwa kepentingan nasional Amerika untuk mengembangkan
senjata biologi ini lebih berharga nilainya daripada korbannya dan Amerika juga ingin
mencegah bahwa hasil eksperimen Unit 731 ini jatuh ketangan Soviet yang ketika itu sudah
dimulai perang dingin. Selain itu percobaan senjata biologi ini tak dapat dilakukan lagi
terhadap manusia hidup-hidup kecuali monyet, tikus atau binatang lainnya dan ketika Soviet
meminta Dr. Ishii Shiro untuk diserahkan (ekstradisi) ke pengadilan Soviet, ditolak dan dicap
permintaan Soviet ini oleh MacArthur sebagai propaganda komunis.
Pada tahun 2005, seorang ahli sejarah Jepang, Pof. Keiichi Tsuneishidari Universitas
Kanagawa, menemukan dua buah dokumen penting tentang Unit 731 di U.S. National
Archives, dalam bentuk memorandum yang menyebutkan tentang perjanjian rahasia yang
dibuat antara mantan pimpinan Unit 731 dengan pihak Amerika Serikat pada tahun 1947 (The
United States and the Japanese Mengeles, Christopher Reed, July 2006).
Hasil eksperimen dan dokumen medis Unit 731 ini dibawa dan disimpan di Fort
Detrick, Maryland (pusat instalasi Biological Warfare Amerika), sampai kini ribuan laporanlaporan medis, slide, dan potongan organ-organ tubuh (preserved organs) dari Unit 731 itu
disimpan di Fort Detrick ini (Unit 731 Testimony, Hal Gold). Pada perang Korea di tahun
1950, Amerika juga dituduh mempergunakan senjata biologi dengan menggunakan bom
bakteri yang mirip dan pernah dikembangkan oleh Dr. Ishii Shiro untuk memerangi tentara
Korea Utara dan sukarelawan Tiongkok, bahkan beberapa tawanan tentara Korea Utara juga
pernah dijadikan kelinci percobaan dengan menggunakan senjata bakteri (Tien Wei Wu).
Pada tahun 2002, 180 orang anggauta keluarga yang menjadi korban senjata biologi
Jepang menuntut pemerintahan Jepang untuk mendapatkan ganti rugi dan permintaan maaf
terhadap keluarga korban, tetapi tuntutannya ditolak oleh pengadilan Tokyo. Pemerintah
Jepang tetap menyangkalnya dan tidak mau menyatakan permohonan maaf dan memikul
tanggung jawab atas kekejaman yang dilakukannya terhadap para korban ini.
Sikap pemerintah Jepang yang tidak merasa berdosa ini dapat dilihat dengan
penulisan buku sejarahnya yang tetap tidak mau mengakui adanya pembantaian dan
pemerkosaan di Nanjing (1937) oleh tentara Jepang atau kekejaman perang biologi yang
dilakukan dengan Unit 731- nya. Selain itu mantan perdana menteri Jepang Junichiro
Koizumi juga tetap mengunjungi kuil Yasukuni sewaktu masih berkuasa yaitu kuil yang
merupakan simbol dari militerisme dan sayap kanan Jepang dan tempat pemujaan arwah
penjahat perang kelas A.

Penyangkalan Jepang atas lembaran gelap sejarah masa lalunya ini akan tetap
membebani hubungan dengan negara-negara Asia lainnya yang telah menjadi korban
agresornya, terutama Tiongkok dan Korea, dan ini akan diwarisi kepada generasi-generasi
penerusnya.
Sampai kini memang ada beberapa pribadi-pribadi yang menyatakan rasa penyesalan
atas kebrutalan tentara Jepang dimasa lalunya, tetapi hanya terbatas pada ucapan dimulut saja
(lip service) dan belum merupakan pernyataan minta maaf resmi dan formal dari pemerintah
Jepang serta pemberian ganti rugi (kompensasi) terhadap para korbannya seperti korban
pembunuhan dan pemerkosaan massal di Nanjing, eksperimen medis dan senjata biologi serta
korban para wanita Asia yang dipaksakan menjadi wanita penghibur tentara Jepang atau
disebut "comfort women", hal yang berbeda dengan yang dilakukan oleh pemerintah Jerman
Barat pada waktu jaman kanselir Willy Brandt.
Banyak generasi muda Jepang tidak mengetahui atas kebrutalan dankekejaman tentara
Jepang (wartime atrocities) yang dilakukan pada masa perang dunia ke-II yang lalu, mereka
bahkan lebih banyak melihat dirinya sebagai bangsa yang menjadi korban peperangan itu
sendiri. Hal ini terjadi karena distorsi informasi dan penyangkalan sejarah (revisionis sejarah)
yang ditanamkan oleh pemerintah Jepang yang condong nasionalistik dan kanan. Maka itu
beberapa negara masih menolak keinginan Jepang untuk menjadi anggauta tetap dewan
keamanan di PBB, karena Jepang dianggap tidak mau ikut bertanggung jawab atas sejarah
masa lalunya yang gelap

Anda mungkin juga menyukai