Anda di halaman 1dari 2

Katanya Kaum Sarungan, Kok Gengsi Bersarung?

Sarung adalah termasuk jenis

pakaian yang sering di jumpai di

masyarakat, baik di kalangan masyararakat menengah kebawah maupun di


kalangan menengah keatas, karena kegunaanya yang begitu banyak. Sarung
sudah menjadi salah satu identitas dari seseorang yang sedang menuntut ilmu di
pesantren (santri) selain kopyah dan krudung (bagi santri putri). Santri selalu
memiliki identitas yang bisa mengeluarkan statement yang berbeda di kalangan
masyarakat

luas,

bahkan

bisa

di

katakan

aneh

dan

nyeleneh,

karena

kebiasaanya berbeda dengan masyarakat pada umumnya, justru seorang santri


memiliki ideologi yang sangat kuat ketika memakai busana yang satu ini. Ibarat
sebuah tanaman hias meski tumbuh di hutan belantara sekalipun, namun tetap
terlihat karena memilki ciri khas yang kuat dan hal itu sekaligus menjadi sebuah
harga diri dari santri tersebut.
Perlu di ketahui bahwa sebuah identitas seorang santri bukan hanya
terdapat dalam KTS (Kartu Tanda Santri), melainkan terdapat dalam busana yang
setiap harinya ia kenakan. Termasuk bersarung, berkerudung (bagi santri putri),
dan bersongkok (kopyah).

Selain itu, bisa dilihat dengan kepribadian yang

mencerminkan seorang santri, karena santri dikenal masyarakat luas sebagai


sosok yang berakhlak mulia, santun dalam bersikap dan bertindak serta tidak
urakan(seseorang yang tidak suka aturan sopan santun yang ketat).
Setiap pondok pesantren pastilah memiliki norma norma yang harus di
pegang erat oleh santrinya. Didalamnya terdapat aturan aturan yang di buat
untuk siapapun yang berada di lingkungan pesantren.

Baik itu untuk santri

maupun pengurus. Hal ini tidak lain bertujuan untuk memupuk kepatuhan dan
ketundukan terhadap segala sesuatu aturan, termasuk cara berpakaian. Sarung
dan kopyah, ketika di pondok pesantren putra adalah sesuatu yang di wajibkan.
Bahkan telah menjadi sebuah keharusan untuk dimilki dan dipakai oleh penghuni
pesantren. Namun sayangnya hal itu seakan tidak berlaku lagi ketika santri
hendak ataupun telah beranjak dari lingkungan pondok pesantren. Hal yang
sering di jumpai adalah lepasnya Mahkota santri pada dirinya, berganti dengan
pakain dengan stylish yang jauh dari norma pesantren. Apalagi kalau ketika saat
liburan, mungkin Sarkop (sarung & kopyah) hanya digunakan saat ketika Shalat
saja.

Bisa dikatakan beberapa penyebabnya adalah timbulnya rasa gengsi pada


diri santri itu sendiri. Anggapan mereka, mungkin tidak sesuai dengan kondisi
dan lingkunganya. Padahal itu adalah sebagian rasa ketidakpercayadirian santri
terhadap status kesantrianya selama ini. Bahkan ada yang menutup nutupi
kegengsianya dengan dalih untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Hal
tersebut menjadi ironi ketika telah banyak terjadi di kalangan santri.
Rasa gengsi sering kali melanda para santri ketika sudah berbaur
terhadap teman temannya yang tidak mengenyam pendidikan di pesantren.
Banyak diantara santri lebih mengikuti

fashion teman temanya, sedangkan

kebiasaan yang sudah dilakukan dan dibiasakan di pesantren hilang begitu saja.
Hal ini juga menandakan bahwa kurangnya percaya diri terhadap seluruh
aktifitas di pesantrennya, sehingga gampang mengikuti teman teman
sebayanya. Seumpama seorang santri punya keteguhan dan idiologi kesantrian
yang kuat, sudah tentu hal itu tidak akan terjadi meskipun dicap sebagai santri
kolot dan norak.

Itu lebih baik dari pada yang sok gaul tetapi tidak

mempunyai keteguhan jiwa yang kuat.


Dengan demikian apakah layak seorang yang ngakunya nyantri tapi
masih memiliki rasa gengsi yang amat? Disisi lain, mereka rela mengorbankan
jiwa kesantrianya hanya untuk trend busana dan memaksakan stylish. Bukankah
penanaman sifat Qonaah ( nerimo ing pandum) selalu di tekankan para kyai
kepada para santrinya? Semoga sifat gengsi itu hilang dari diri kita. (Bunny)

Anda mungkin juga menyukai