Anda di halaman 1dari 60

CATATAN-CATATAN KECIL

DARI DAN BAGI ORANG AWAM BIASA

HARAPAN & REALITA

YANG PERLU DISADARI

A l f a

Q r

003
Catatan-catatan kecil ini sekadar untuk bahan perenungan.
Siapa pun berhak tetap pada keyakinannya.
Pendapat dan --atau-- pemahaman dalam catatan-catatan kecil ini
tidak perlu diikuti jika tidak berkenan.
Untuk menghindari kesalahpahaman atau kesalahan pemahaman,
catatan-catatan kecil ini sebaiknya dibaca dengan tenang.

Y A N G P E R LU D I S A D A R I

Meyakini agama
Ijtihad
Menegakkan kebajikan
Menghormati perbedaan
Bisnis
Bank
Kesewenang-wenangan yang punya uang
Hal yang perlu ditelaah
Ketidakjujuran dalam menilai
Yang perlu disadari
Muslim dan lingkungan sosialnya
Sistem pemerintahan
Jabatan dan keyakinan agama
Membatasi kewenangan
Menolak demokrasi ala Barat
Demokrasi modern
Komunis, facis, dan paham radikal
Pelaksanaan yang Islami
Pelaksanaan hukum agama
Evaluasi kasus
Ketidakjujuran kapitalis Barat
Jihad
Hindari kekerasan
Ekspansi pengaruh
Batasan toleransi
Menyatukan jamiah-jamiah

03
04
08
10
12
14
16
19
22
24
26
28
30
31
32
34
38
41
43
46
50
52
54
56
58
60

Membaca itu mudah; tapi menyimak, memahami, dan mengambil


manfaat dari yang dibaca itu lebih penting.
Jangan menipu dengan kamuflase agama. Jangan tukar pahala
akhirat yang kekal dengan harta duniawi yang akan jadi rongsokan.
Allah Maha Pengampun. Setiap orang pernah salah. Yang penting,
mulai sekarang, marilah melangkah di jalan yang benar.
Sebelum menilai orang lain, nilai dulu diri sendiri. Siapa kita ini?
Boleh diprint dan difotocopy - 40241

H AR AP A N & R E A L I T A

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.


Semoga rahmat Allah senantiasa dilimpahkan kepada
Nabi Muhammad beserta keluarganya,
dan umatnya yang setia sampai akhir zaman.

M EYAKINI

AGAM A

Dalam realita, ada orang yang mengalami peristiwa aneh kemudian


menjadikannya sebagai pembenaran terhadap agama yang dianutnya.
Padahal kebenaran suatu agama tidak bisa ditentukan hanya oleh perkara
aneh yang pernah kita alami. Sebab perkara aneh dapat dialami oleh siapa
saja, baik beragama maupun tidak.
Sebagai contoh, ada seorang muslim yang menderita penyakit yang
parah, akhirnya sembuh oleh seorang nonmuslim; dan karena ia menganggapnya mukjizat, iapun jadi penganut agama nonmuslim itu. Sebaliknya,
ada kasus yang sama terjadi pada nonmuslim, yang justru sembuh setelah
berobat kepada seorang muslim (padahal cara pengobatannya tidak sesuai
dengan tuntunan Islam); dan ia pun kemudian memeluk Islam.
Kasus-kasus mirip yang serupa dengan di atas banyak terjadi, walau
masalahnya berbeda-beda. Seperti kasus yang berkaitan dengan kemajuan
usaha. Atau kasus sudah lama tak punya keturunan, akhirnya punya anak
juga setelah berkonsultasi dengan kiai atau pendeta. Padahal Nabi Zakaria
As pun baru mempunyai anak ketika sudah berusia lanjut.
Dari hal-hal di atas, jelas sekali, dalam masalah keduniawian segala
sesuatu itu bisa diselesaikan dengan bantuan orang lain yang berbeda
agamanya. Dengan kata lain, keberhasilan itu bukan semata-mata karena
mukjizat; keberhasilan bukan tanda kebenaran ajaran sebuah agama.
Dalam realita, ada orang di Barat yang keluar dari agamanya dan
pindah menganut kepercayaan lain semata-mata karena pengalaman mistis,
dan bukan karena hasil menelaah kebenaran agama tersebut. Karenanya,
mempelajari dan mengetahui mana agama yang benar amatlah penting.
Sesungguhnyalah, Islam tidak menyukai penerimaan pemahaman
tanpa reserve; menerimanya tanpa menelusuri ajarannya lebih dulu dengan
seksama. Artinya, seseorang menjadi Muslim semestinya karena meyakini
kebenaran ajaran Islam, dan bukan sekadar ikut-ikutan orang lain. Bukan
karena mukjizat atau hal-hal yang aneh; sebab tuntunan Islam ditujukan
untuk orang yang berakal pikiran, dan memanfaatkan akal pikirannya.
Catatan:
 Masih lebih beruntung orang yang pernah melakukan kesalahan, tapi
menyadarinya dan kemudian menjadi orang yang baik; ketimbang orang
baik yang terperosok pada keburukan. Karenanya, jangan terbelenggu
dengan kesalahan di masa lalu. Belum terlambat untuk memulai dengan hal
yang baru, dengan menjadi Muslim yang berusaha berbuat kebajikan.

Y A N G P E R LU D I S A D A R I

I JTIHA D
Ijtihad umumnya didefinisikan sebagai usaha keras memaksimalkan
kemampuan akal pikiran, dalam mengambil satu keputusan (dari beberapa
kemungkinan pemahaman). Ijtihad ulama bisa dimaksudkan sebagai menetapkan fatwa hukum atas suatu perkara yang kepastian hukumnya tidak
ditemukan dengan tegas di dalam Quran dan sunnah Nabi Saw.
Yang namanya buah pikir manusia, walau pakar sekalipun, tentu saja
sering membuahkan hasil pemahaman yang berbeda. Di antara pendapat
yang tidak sama, adalah adanya ulama yang berpendirian bahwa ijtihad itu
sendiri sudah tertutup; maksudnya, muslim sekarang cukup mengikuti
dengan memilih di antara pendapat yang sudah ada. Sementara ulama
lainnya berkeyakinan bahwa pintu ijtihad selalu terbuka; sebab banyak
perkara baru, sesuai perkembangan zaman, yang memerlukan penjelasan
hukumnya. Pencangkokan jantung, bayi tabung, asuransi jiwa, adalah
masalah-masalah baru yang tidak dialami ulama baheula. Padahal hukum
halal haramnya tidak dipahami oleh kita yang hanya muslim awam biasa.
Tentu saja, akan sangat utama jika fatwa tentang satu masalah datang
dari pakar yang benar-benar memahami perkara yang dihadapinya. Misalnya fatwa yang menyangkut tentang kedokteran, akan lebih baik bila datang dari pakar yang juga bergerak di bidang kedokteran. Begitu pun dalam
masalah asuransi dan bank, pakar agama yang ahli ekonomi tentunya akan
lebih memahami persoalannya sebelum berfatwa. Namun, pemahaman tiap
orang tetap saja bisa berbeda. 1 Selain karena referensi yang dipakai tidak
sama, bisa juga dikarenakan adanya hal baru yang ikut menunjang untuk
dilakukannya penafsiran lain yang baru pula. Yang jelas, penafsiran yang
mengada-ada tidaklah diperkenankan. Lagi pula sebuah penafsiran baru,
tidak boleh begitu saja mencampakkan penafsiran ulama terdahulu. 2
Begitu pula ijtihad tidak dapat menghapus ketentuan hukum syareat
yang sudah jelas dan tegas ada di dalam Quran. Seperti potong tangan
untuk pencuri; Bagian waris anak laki-laki yang dua bagian; Kebolehan
untuk berpoligami; Haramnya makan babi; Haramnya riba.
1

Dulu, ada fikih hasil ijtihad ulama yang melarang --secara mutlak haram-- foto,
gambar, nyanyian, catur, atau wanita bekerja keluar rumah. Sekarang, fikih serupa
itu dikesampingkan orang. Jadi, fikih itu harus pada tempatnya. Jangan berlebihan.
2
Mufasirin baheula ada yang mengartikan kulli syai dengan makna kebanyakannya (umumnya), sehingga ayat 49 surat Adz Dzaariyat diartikan kebanyakan
Kami ciptakan berpasang-pasangan Sekarang, ada pakar yang mengartikan
sesuai makna zahirnya segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan..
yakni diartikan semuanya berpasangan; ada betina ada jantan. Ternyata penakwilan lama lebih sesuai dengan fakta ilmu pengetahuan. Amuba contohnya, ia tak
memerlukan pasangan untuk berkembang biak, tapi cukup membelah diri. Hidra
sejenis hewan kecil di air, berbiak dengan menumbuhkan cabang di tubuhnya yang
kemudian memisahkan diri. Tetumbuhan pun ada yang seperti itu.

H AR AP A N & R E A L I T A

Ijtihad muslim awam


Sering kita temukan pengertian-pengertian yang sama, menggunakan istilah yang berbeda. Atau istilah yang sama, sering dirumuskan atau
didefinisikan dengan pengertian yang berlainan. Hal itu wajar saja, sebab
tidak ada keharusan semua pemikir mesti memiliki kesamaan pendapat.
Namun, kalau kita perhatikan, antara satu definisi dengan definisi lainnya
tidaklah terlalu berjauhan artinya. Terkecuali bagi orang yang mempunyai
kepentingan tertentu, definisi yang dikemukakannya malah bisa bertolak
belakang dengan yang dipahami orang lainnya.
Rumusan yang mudah dipahami Muslim awam, tanpa menyimpang
dari hakekatnya, ijtihad adalah usaha maksimal seseorang dalam mengambil satu keputusan ketika memilih salah satu dari beberapa pemahaman
para ulama pada sebuah perkara. Contohnya, jika seorang Muslim berkeyakinan pendapat Kiai X lebih baik daripada pendapat Kiai Y, karena ditunjang dalil yang lebih bisa dipertanggungjawabkan, dan kemudian ia ikuti
pemahaman Kiai X tersebut, maka pada hakekatnya ia telah berijtihad.
Ijtihad, dalam pengertian seperti di atas, merupakan suatu keharusan
bagi setiap Muslim yang diberi akal yang sehat. Artinya, sebelum melaksanakan satu fatwa seorang ulama, tiap Muslim seharusnya mengkaji dulu
pendapat tersebut. Baik melalui perbandingan dengan pendapat ulama lainnya, maupun dengan pendapat yang terlebih dahulu ada pada dirinya.
Sikon serba-salah
Walau untuk dirinya sendiri orang cenderung pada kebaikan; tapi
dalam menilai orang lain, seseorang justru lebih condong untuk melihat
kekurangannya. Seperti kisah si Fulan, anaknya, dan keledai tuanya. 3
Ketika keduanya berjalan kaki sambil menuntun keledainya, orang
menertawakannya sebagai orang-orang bodoh; Ketika si anak naik keledai
dan ayahnya yang menuntun, orang mencela si anak sebagai tidak tahu diri;
Ketika si ayah yang naik keledai dan anaknya yang menuntun, orang
mencela si ayah karena tega membiarkan anaknya berjalan kaki; Ketika si
ayah dan si anak bersama-sama naik keledai, orang mencela mereka sebagai orang yang tak punya rasa kemanusiaan. Semuanya serba-salah.
Realitanya, manusia sering berada dalam kondisi atau situasi serbasalah. Contohnya, dengan pertimbangan takut menyinggung perasaan, ada
kalanya kita tak bisa berlaku jujur; kita tak bisa berterus-terang mengemukakan sifat-sifat buruk atau kebodohan orang yang sedang kita hadapi.
Dijelaskan, takut ia marah; tidak dikemukakan, dianggapnya kita membiarkannya terperosok pada keburukan.
Begitu pun tatkala hendak mengikuti pendapat para pakar, kita
sering berada dalam situasi serba-salah. Terkadang, dengan melihat alasannya, kita merasa ijtihad para pakar yang berbeda itu semuanya benar.
3

Ada yang menilai kisah ini diceritakan Luqman kepada anaknya untuk diambil
hikmahnya. Tapi ada juga yang menganggap sebagai kisah Luqman dan anaknya.

Y A N G P E R LU D I S A D A R I

Mengikuti pendapat orang lain


Dalam kenyataannya, kalau kita hanya dihadapkan pada dua pilihan,
untuk memilih ajaran yang akan membawa kita ke surga atau ke neraka,
dengan mudah kita akan memilih ajaran yang akan membawa ke surga.
Namun dalam kenyataannya pula, dalam hal ajaran yang akan membawa
kita ke surga pun (yaitu Islam), kita masih dihadapkan kepada beberapa
pilihan fatwa para ulama yang berbeda pendapatnya.
Contohnya dalam masalah zakat profesi (seperti dokter) atau zakat
pada harta inventaris perniagaan (seperti kendaraan atau rumah tempat kita
berjualan), kita temukan pendapat yang mewajibkan dan yang tidak. Yang
masing-masing mengemukakan alasan yang sama kuat, yang membuat
kita muslim awam sulit untuk menentukan pilihannya.
Pakar agama yang berpendapat tidak wajib, berargumentasi dengan
tak adanya dalil yang tegas (to the point) dalam Al Quran yang memerintahkan wajibnya zakat profesi atau zakat inventaris perniagaan tersebut.
Malah dalam hadits yang lemah sekalipun. Yang tidak menjelaskan nisab,
waktu dan besarnya zakat yang harus dikeluarkan. Mereka berpegang pada
keyakinan bahwa semua perintah itu datangnya dari Allah; dan manusia
tidak berhak menetapkan suatu syariat di sisiNya tanpa izinNya.
Sedangkan pakar agama yang mewajibkan zakat, berdalih dengan
keumuman perintah yang menyatakan bahwa pada setiap [kelebihan] harta
yang kita punyai ada hak bagian orang lain di dalamnya; padahal yang
namanya hak orang lain, wajib untuk dikeluarkan. Sedangkan sebutan untuk setiap harta yang wajib dikeluarkan adalah zakat; sebab ada hadis yang
menerangkan bahwa selain zakat tak ada harta yang wajib kita keluarkan.
Dari hal-hal di atas, maka kita meyakini, pada akhirnya, kemaha
bijaksanaan Allah Subhanahu wa Taala jugalah yang akan jadi pertimbanganNya dalam mengampuni kesalahan kita --dan tentu saja kesalahan
orang lain-- tatkala berijtihad memilih pendapat yang [dianggap] benar.
Kecenderungan menolak
Tidak sedikit orang condong untuk kena tipu; mudah terperangkap
oleh rayuan orang lain yang disampaikan dengan cara halus dan menarik.
Sebaliknya, orang juga condong untuk menolak nasihat atau ijtihad orang
lain, jika orang yang menasihati itu dinilai tidak ada apa-apanya.
Realitanya, adakalanya kita salah dalam memilih orang untuk dimintai nasihatnya. Padahal saran yang tidak tepat bukannya menyelesaikan
masalah tapi menambah masalah. Biasanya kita lebih mau menerima saran
dari orang lain, ketimbang menerima nasihat dari orang yang dekat dengan
kita. Karenanya, menjadi satu hal yang tidak aneh, jika nasihat kita pun
lebih didengarkan oleh orang lain ketimbang didengarkan oleh kerabat kita.
Sama tidak anehnya dengan dokter yang bisa menyembuhkan anak orang
lain, tapi tak bisa menyembuhkan anaknya sendiri.
Realitanya, setingkat nabi pun (semisal Nuh, Ibrahim, Luth As) tak
mampu mengajak semua anggota keluarganya untuk beriman. Apalagi kita.

H AR AP A N & R E A L I T A

Ijtihad memungkinkan hukum (fikih) jadi berbeda


Syareat adalah dasar pokok hukum Islam; sumber utamanya Quran
dan Sunnah. Fikih adalah ketetapan hukum yang merupakan hasil ijtihad
manusia atas syareat. Oleh karena merupakan hasil ijtihad ulama, kadang
dijumpai ketetapan hukum fikih yang berbeda dari satu ulama dengan
ulama lainnya untuk suatu perkara yang sama. Realitanya, penafsiran atau
penawilan Quran dan sunnah Nabi Saw hakekatnya merupakan hasil
ijtihad. Begitu pun ijma (kesepakatan), istihsan (pertimbangan), dan qiyas
(penganalogian) para ulama, hakekatnya hasil ijtihad manusia.
Mesti diingat, karena banyak syarat bagi seorang pakar dalam berijtihad sebelum mengeluarkan pendapat, maka bagi kita muslim yang
awam cukuplah dengan mengkaji pendapat pakar-pakar agama yang sudah
ada, dan tinggal memilihnya (mengikutinya, ittiba). Tentunya sesudah
mengkajinya sungguh-sungguh. Yang pasti, ijtihad selalu terbuka untuk
perkara yang ketentuan hukumnya tidak secara tegas ditekankan di dalam
Quran. Sebab mustahil Allah Subhanahu wa Taala lupa untuk mewajibkan atau mengharamkan sesuatu secara tegas dan jelas.
Yang jelas, seorang petani biasa yang cerdas, walau tidak dilarang,
tidak akan bersusah payah mencoba-coba cara bertani yang belum pasti. Ia
akan memilih di antara beberapa cara bertani yang sudah ada, yaitu cara
bertani yang [dianggap] paling baik. Begitupun dalam perkara ijtihad.
Menghormati pemahaman orang lain
Kita harus beriman dikarenakan ketulusikhlasan hati kita; dan bukan
karena dipaksa oleh orang lain. Begitu pula orang lain, ia seharusnya menjadi seorang Muslim dikarenakan keikhlasan dan kesadarannya. Dan bukan
karena dipaksa. Karenanya, walau kita merasa benar, kita sama sekali tidak
boleh memaksakan pemahaman atau hasil ijtihad kita kepada orang lain.
Sebab, kalau kita tidak mau dipaksa oleh orang lain, maka orang lain pun
jelas tidak mau dipaksa oleh kita.
Realitanya, apapun kelompok atau mazhab yang kita ikuti, kadang
oleh kelompok lainnya kita ini dinilai sebagai kelompok yang salah; sebagai kelompok yang akan masuk ke dalam neraka. Artinya, kita tidak akan
masuk surga jika ketentuan mesti sama sekali terbebas dari kesalahan
pemahaman sebagai satu syarat mutlak (untuk masuk surga). Padahal kita
yakin Allah itu pasti Mahatahu dan Maha Pengampun. Mengetahui kemampuan kita, dan memaafkan kesalahan kita yang tidak disengaja.
Yang jelas, orang yang senantiasa berpikir positip akan menghormati
hasil ijtihad orang lain yang berbeda atau malah yang berlawanan dengan
pemahamannya, karena menyadari bahwa kemampuan akal atau sudut
pandang memungkinkan terjadinya ketidaksamaan itu. Malah pendapat
yang sama pun, bisa saja bertitik tolak dari alasan yang berbeda.
Yang pasti, setiap orang harus siap mempertanggungjawabkan pemahaman atau ijtihadnya di hadapan Allah kelak. Karena, hakekatnya,
ijtihad kita itulah yang dimintai pertanggungjawaban.

Y A N G P E R LU D I S A D A R I

M ENEGAKKAN K EBAJIKA N
Hukum Islam memang tegas, tapi sebenarnya juga luwes. Tegas
artinya tidak pilih bulu, luwes artinya tidak asal menghukum. Maknanya,
ada pertimbangan-pertimbangan tertentu yang adil dan bijak sebelum sebuah hukum dijatuhkan.
Nabi Saw pernah menekankan, sekiranya putri beliau (Fatimah ra)
mencuri, maka beliau tidak akan segan-segan untuk memotong tangan
putrinya itu. Namun terhadap orang lain yang mencuri, dalam suasana
perang, Nabi pernah melarang dijatuhkannya hukum potong tangan;
dengan tidak bermaksud menghapus hukumnya secara umum.
Ini menunjukkan pelaksanaan hukum dalam Islam, selama tidak
menyimpang dari tujuan utama syareat yaitu mencari ridha Allah sematamata, bisa disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Hanya saja keringanan
hukum itu sama sekali tidak dibolehkan karena pertimbangan nepotisme
atau pertalian kekerabatan. Artinya, hukum itu tetap harus tegas dilaksanakan tanpa pilih bulu. Pertimbangan keringanan semata-mata karena situasi
dan kondisi yang melatar belakangi terjadinya kejahatan tersebut.
Contohnya, jika muslim yang miskin mencuri karena terdesak oleh
kebutuhan keluarga, maka yang sebenarnya lebih pantas disalahkan adalah
lingkungannya; terutama para tokoh agama dan orang kaya di komunitas
tersebut yang tidak peka terhadap masalah kemiskinan. Jadi amat wajar
jika si pencuri tersebut diberi keringanan hukuman. Lain halnya jika di kemudian hari ia mencuri lagi, memotong kedua belah tangannya pun sudah
sepantasnya dilaksanakan.
Realitanya, khalifah Umar bin Khaththab ra pernah mengasingkan
seorang peminum khamar sebagai hukuman; namun ketika kemudian orang
tersebut pindah menganut agama lain, Umar tidak lagi mengasingkan peminum khamar sebagai hukuman. Di sini jelas, setiap pelaksanaan hukum
dalam Islam hendaknya tidak mengabaikan manfaat dan mudharat yang
akan terjadi dari dampak hukuman itu sendiri. Selain menjunjung tinggi
kebenaran, keadilan dan kejujuran, hukum Islam tak terlepas dari mengutamakan kemaslahatan dan menghindari kemudharatan bagi orang banyak.
Karenanya, dalam pelaksanaan hukum yang berkaitan dengan kasus
kejahatan antar manusia, dibolehkan adanya pertimbangan kemaslahatan
oleh seorang hakim yang betul-betul bijak. Namun dalam masalah ritus
ibadat tak boleh ada perobahan, melainkan harus ada contohnya dari Nabi.
Yang pasti, dalam Islam, jatuhnya sebuah keputusan hakim harus
berpihak pada kebenaran yang diridhai Allah. Harus mengutamakan kejujuran yang selaras dengan rasa keadilan; bukan sekadar harus sesuai
dengan undang-undang atau hukum yang tertulis. Sebab, hakim --termasuk
juga para jaksa dan pengacara-- yang melahirkan jatuhnya hukuman yang
tidak berpihak kepada kebenaran yang diridhai Allah, akan berhadapan
dengan balasan hukum Allah yang lebih dahsyat di akhirat.
8

H AR AP A N & R E A L I T A

Memberi pelajaran kebajikan sejak masa kanak-kanak


Sesuai dengan yang pertama diperintahkan dalam tuntunan Islam,
yaitu membaca atau menuntut ilmu, semua kegiatan yang dilakukan
seorang manusia harus berawal dari belajar. Orang yang terlambat belajar,
ia akan tertinggal oleh orang lainnya. Yang tidak mau belajar, ia akan tersisihkan; ia akan keluar dari norma-norma yang berlaku di lingkungannya.
Itu sebabnya mendidik anak, malah dibolehkan dengan sedikit
kekerasan, menjadi suatu keharusan bagi setiap orangtua muslim. Memberi
pelajaran tata krama, bisa membedakan hal yang baik dan buruk, merupakan satu hal yang amat penting untuk diterapkan sejak dini. Memberi
pelajaran yang bermanfaat sejak masa kanak-kanak akan menjadi bekal
bagi masa depan seorang manusia, sebab pembelajaran adalah pondasi dari
semua yang akan dijalani dan dialami seorang manusia.
Faktanya, tak sedikit orang yang di masa mudanya berperilaku buruk
kepada anak yang lain, di masa tuanya hidupnya terpuruk. Sementara anak
yang jadi korban keburukannya justru jadi orang yang berhasil. Dari sebab
itu, orangtua serta guru di sekolah wajib mengingatkan anak-anak muslim
untuk menjadi anak yang berakhlak baik; untuk menjadi anak yang tidak
emosional, yang tidak merugikan temannya. Sebab, jika si anak dibiarkan
memiliki sifat buruk, yang bisa diprediksikan dari kehidupan di masa tuanya hanyalah keburukan-keburukan juga.
Kebajikan membuat suasana menjadi aman dan damai
Amat wajar jika orang yang memiliki perilaku yang positip --seperti
loyal, bertanggungjawab, penolong, setia, dan santun-- akan disukai orang
lain. Sayangnya, dalam prakteknya, untuk menjadi seorang yang berakhlak
mulia --penolong yang tulus, yang berempati kepada orang yang kesulitan,
rendah hati, jujur dan bijak-- amatlah sulit. Namun, kalaupun tidak
menjadi orang yang sarat dengan nilai plus, paling tidak kita jangan jadi
orang yang merugikan orang lain. Memang, sama sekali terluput dari
berbuat dosa adalah hal yang tidak mungkin; tapi berusaha menghindar
dari berbuat keburukan bukanlah hal yang mustahil.
Realitanya, selain motivasi untuk bisa sukses dan bisa bahagia, motivasi paling utama saat ini yang mesti ditumbuhkan, dan semestinya ada
pada seorang anak manusia, adalah motivasi untuk tidak berbuat jahat.
Motivasi untuk tidak curang; motivasi untuk tidak berbuat kekerasan.
Sebab, realitanya, kejahatan dan kekerasanlah yang membuat kehidupan di
lingkungan kita ini menjadi tidak aman dan tidak tenteram. Dari sebab itu,
dalam Islam, pelaku kejahatan haruslah dihukum berat, sehingga orang lain
yang belum berbuat kejahatan berpikir dua kali sebelum berbuat jahat.
Jelas, andai setiap orang mampu membangun kebajikan dan mau
membuang sifat-sifat buruknya, maka semua orang, apapun etnis atau
agamanya, bisa hidup bersama dalam suasana damai. Karenanya, seorang
Muslim harus berusaha jadi warganegara yang bermanfaat; jadi orang baik
yang tidak mengganggu tetangga dan lingkungannya.

Y A N G P E R LU D I S A D A R I

M ENGHORMATI

PERBEDAA N

Ada orang yang berpaham bahwa bersentuhan dengan orang lain itu
membatalkan wudhu.
Seorang Muslim yang toleran akan menyikapi hal itu justru dengan
rasa hormat kepada orang tersebut, karena orang itu berpegang kepada nash
Quran surat Al-Maaidah sesuai bunyi zahirnya ayat yang membatalkan
wudhu. Sementara sebagian Muslim lainnya menganggap menyentuh
(lams) sebagai hubungan intim (bersetubuh, jima) suami dengan istrinya.
Sikap hormat kita seharusnya juga berlaku untuk masalah-masalah
lainnya, selama perkara itu tetap berpegang kepada dalil dari Quran atau
sunnah. Walau, dikarenakan perbedaan interpretasi serta kemampuan penalaran tiap orang berlainan, penerjemahan ke dalam pemahamannya menjadi
tidak sama. Dari sebab itu, kita harus memaklumi orang yang berpegang
pada kejelasan zahir kalimat dalam ayat 31 surat An-Nuur, yang memahami ayat tersebut sebagai perintah kepada perempuan untuk menutup
dada. Mereka mengaitkan sebab turunnya ayat ini dengan masalah perhiasan, terutama menyangkut gelang di kaki yang dihukumkan sebagai
makruh yang amat sangat; dan bukan masalah rambut.
Mereka tidak melihat adanya perintah yang tegas (to the point)
dalam Quran yang memerintahkan menutup rambut hingga tidak kelihatan
sama sekali, walau hanya satu baris kalimat pun. Suatu hal yang berbeda
dengan larangan minum khamr atau berjudi, atau perintah salat dan saum,
yang selain jelas dan tegas tapi juga diulang-ulang. Padahal mustahil Allah
Subhanahu wa Taala lupa mengharamkan suatu perkara secara tegas dan
jelas, sementara dalam mengharamkan perkara lainnya diulang-ulang.
Lagipula ada hadis yang melarang wanita muslim memakai rambut
tambahan. Logikanya, tak perlu ada hadis semacam itu jika memang tidak
ada wanita yang memakai sanggul. Dan logikanya pula, tak ada gunanya
wanita memakai sanggul jika rambut tak boleh kelihatan. Jelas, keberadaan
hadis itu menunjukkan adanya wanita muslim yang kelihatan rambutnya.
Larangan memakai rambut palsu itu makruh yang amat sangat.
Memang ada hadis yang meriwayatkan Nabi Saw menunjuk muka
dan tangan saat ditanya tentang bagian tubuh wanita yang boleh kelihatan.
Namun, kalau kata menyentuh boleh ditafsirkan sebagai hubungan badan
suami dengan istrinya, apa menunjuk wajah tidak boleh dimaksudkan sebagai menunjuk kepala; dan menunjuk tangan diartikan sebagai anggota
badan selain tubuh? Bukankah yang mengatakan menunjuk wajah itu perawi hadis; bagaimana jika si perawi hadis mengatakan menunjuk hidung?
Apa hanya hidung saja yang boleh kelihatan? Padahal untuk menunjukkan
kepala, seseorang bisa saja menunjuk ke arah mata atau hidung.
Yang jelas, memakai jilbab seperti yang biasa dipakai wanita Islam,
karena lebih menjaga kehormatan seorang Muslimah, lebih utama untuk
dilaksanakan.
10

H AR AP A N & R E A L I T A

Pemahaman agama, tanggung jawab masing-masing


Banyak orang kafir yang bertemu tuntunan Islam tapi tak mau memeluknya. Itu karena mereka melihat ajaran Islam tampak memberatkan;
padahal sebenarnya tidak. Yang membuatnya jadi memberatkan adalah
fikih yang tidak benar; yang merupakan hasil ijtihad sebagian orang.
Di agama lain, cara berdoa itu tidak berat. Dalam keadaan dekil
sekalipun orang bisa berdoa. Jelas sekali, agama orang lain itu tidak memberatkan. Di agama kita, walau sudah bersuci, jika ada sedikit saja yang tak
sempurna, langsung ditolak amalnya. Yang jadi pertanyaan, apa Tuhan itu
banyak? Apa Tuhan mereka berbeda dengan Tuhan kita? Kalau Tuhan itu
satu, mengapa Tuhan itu kepada mereka tampaknya begitu kasih, sementara kepada kita Tuhan itu memberatkan?
Jelas, Penguasa alam semesta itu hanya ada satu. Artinya, Tuhan kita
adalah Tuhan mereka juga. Jelas, ajaran yang memberatkan itu bukan
tuntunan Allah, tapi pemahaman sebagian orang; sebab tuntunan Islam
mustahil memberatkan. Karenanya, seorang Muslim tidak perlu mencela
Muslim lain yang berpaham bahwa hukum berjilbab --ataupun pada beberapa perkara lain-- sekadar keutamaan dan bukan satu kemestian.
Tentu saja, siapa pun akan setuju bahwa memakai jilbab, seperti
yang biasa terlihat dan dipakai wanita Islam, lebih menjaga kehormatan seorang Muslimah. Namun kita tetap harus menghormati pemahaman orang
lain yang beralasan kepada zahirnya dan asbab nuzulnya ayat tersebut.
Untuk masalah jilbab ini, hendaknya dikembalikan kepada satu hal:
bahwa tanggung jawab seseorang kepada Tuhannya, ditanggung oleh yang
bersangkutan sesuai kadar akal dan kadar ilmunya. Sudah sepantasnya
yang tidak berjilbab menaruh hormat kepada Muslimah yang berjilbab. Sebaliknya, yang memakai jilbab menghormati keyakinan mereka yang tidak
berjilbab selama auratnya tertutup dan kehormatannya terjaga.
Jelas, dalam memahami satu perkara, seorang Muslim bisa salah.
Namun manusia berbuat kesalahan pasti ada sebabnya; kalau sebabnya bisa
dimaklumi atau dimaafkan, pasti Allah akan memaafkan orang tersebut.
Sebab, selain Maha Pemaaf, Allah itu pasti Mahatahu dan Mahaadil.
Penyampaian harus lembut
Selama berpegang teguh pada keyakinan masing-masing, perbedaan
pendapat mustahil dihilangkan. Di hadapan Allah kelak, masing-masing
orang harus mempertanggungjawabkan dan mengemukakan alasan untuk
setiap yang diyakininya. Karenanya, jangan sampai perbedaan pendapat
mengakibatkan pertengkaran, apalagi perpecahan.
Mesti dicamkan, untuk memotong kuku di jari kita, sebaiknya menggunakan gunting kuku; dan bukan gergaji.
Memang, kebenaran dan kesucian ajaran agama semestinya diperjuangkan tanpa kenal lelah. Namun penyampaiannya haruslah lembut dan
benar, jangan menipu hanya karena sekadar ingin banyak pengikut.

11

Y A N G P E R LU D I S A D A R I

B ISNI S
Sistem bagi hasil adalah sistem yang idealis. Sistem ini akan berjalan mulus sesuai teori, hanya jika si pemberi modal dan yang diberi
modal adalah muslim yang benar-benar ikhlas. Masalahnya, mencari
orang-orang yang ikhlas dalam perkara yang menyangkut bisnis duniawi di
masa sekarang adalah sulit, baik si pemberi maupun yang diberi modal.
Dalam banyak realita, hampir tidak ada --atau memang tidak ada-- si
pemberi modal yang ikhlas bila usaha itu bangkrut dan modalnya tidak
kembali atau menjadi berkurang; kecil sekali kemungkinannya kalau orang
ini tidak menggerutu. Begitu juga, hampir tidak ada --atau memang tidak
ada-- orang yang diberi modal, yang merasa sudah bekerja keras setengah
mati, ikhlas memberikan setengah dari keuntungannya kepada si pemberi
modal yang biasanya ongkang-ongkang menunggu keuntungan.
Sesuai kodratnya sebagai manusia, orang yang diberi modal akan
memilih untuk memberi keuntungan yang lebih sedikit kepada si pemberi
modal. Dalam hal ini wajar orang tersebut cenderung meminjam kepada
bank, dengan persentase bunga yang lebih kecil, daripada harus membagi
separuh keuntungan dengan cara bagi hasil.
Dalam kenyataan praktek, sering dijumpai dua orang yang bekerja
sama dalam suatu perusahaan berakhir dengan perpecahan, terkadang
malah dengan permusuhan. Lantas, apakah sistem bagi hasil ini suatu hal
yang salah? Jelas tidak. Bagi hasil adalah sistem terbaik selama orangorang yang terlibat di dalamnya adalah muslim-muslim yang ikhlas, yang
lebih mengutamakan pahala akhirat ketimbang keuntungan duniawi.
Hakekatnya, selama disandarkan kepada keridhaan Allah sematamata --ada keuntungan pada kedua pihak, dilaksanakan dengan kejujuran,
ditegakkan di atas keadilan hukum-- semua usaha bisnis termasuk asuransi
adalah boleh. Realitanya, kebanyakan orang mau berbisnis bagi hasil bila
ada kemungkinan keuntungan pada usaha itu, dan bukan karena ikhlas
demi Allah semata-mata. Ini, bagi kebanyakan manusia, kodrat yang wajar.
Contoh kasus: Si A, orang soleh yang merasa beragamanya hebat,
menawarkan bisnis bagi hasil kepada si B yang prospek bisnisnya bagus. Si
B secara halus menolak dan menganjurkan kepada si A untuk menawarkan
bisnis bagi hasilnya kepada si C yang lebih memerlukan modal. Si A ternyata tidak bersedia berbisnis bagi hasil dengan si C, sebab walau si C
orangnya jujur, prospek bisnisnya dinilai tidak menguntungkan!
Kalau sudah begitu, apa betul tawaran bisnis bagi hasilnya itu ikhlas
karena Allah? Maaf, kalau ada yang menilai perilaku Muslim seperti ini
sebagai munafik, maka akan terlalu banyak Muslim hipokrit saat ini.
Barangkali, termasuk diri kita sendiri.
Jadi, yang penting bukan hanya bicara dan berteori. Sebab setiap
orang bisa berteori masalah bisnis bagi hasil, bisa bicara masalah kejujuran
dan berbuat baik, tapi tidak ada artinya jika tidak dipraktekkan.
12

H AR AP A N & R E A L I T A

Hindari bisnis yang spekulatif


Patungan dalam bisnis bisa direalisasikan dengan menanam saham.
Namun penanaman saham yang cenderung kepada spekulasi harus dihindari. Sebab sistem ekonomi yang mendorong orang untuk mencari
keuntungan dalam usaha yang spekulatif, tidak akan membuat para pelakunya meraih ketenteraman batin.
Sistem ekonomi yang islami seharusnya mendorong orang untuk
berusaha secara produktif, usaha yang menghasilkan produk. Sebab ekonomi yang produktif akan membuat orang berbisnis dengan kegiatan yang
nyata. Dan bukan dengan duduk-duduk menunggu keuntungan yang
sifatnya spekulatif. Karenanya, bisnis bagi hasil yang islami adalah bisnis
produktif yang melibatkan semua pemegang sahamnya dalam aktivitas
bisnis perusahaan tersebut. Dan bukan sekadar jadi penonton.
Bisnis yang berkah
Selain dikelola oleh orang yang terampil dan profesional di bidangnya, perusahaan yang membawa berkah adalah perusahaan yang para
buruhnya bekerja dengan jujur dan pemiliknya berlaku adil. Yang buruh
maupun majikannya melaksanakan hak dan kewajibannya dengan benar.
Karenanya, ketika mendirikan perusahaan, niat Muslim yang ikhlas bukan
semata-mata untuk mencari keuntungan tapi karena ingin berbagi rezeki
dengan buruhnya; sebab, di antara kebahagiaan yang bisa dirasakan seorang Muslim adalah ketika ia bisa berbuat kebajikan kepada orang lain.
Seorang Muslim yang ikhlas akan memperlakukan buruhnya sebagai
partner yang setara; yang sama-sama saling membutuhkan dan saling
menguntungkan. Sebaliknya, sebagai buruh, seorang Muslim menjadikan
majikan atau perusahaannya sebagai bagian dari keluarganya. Ia loyal,
jujur, setia dan bertanggung jawab. Ia patuh bukan semata-mata sebagai
kewajiban seorang buruh, tapi sebagai kewajiban seorang muslim.
Seorang Muslim yang tidak puas sebagai buruh di sebuah perusahaan, ia akan keluar dari perusahaan tersebut secara baik-baik; dan mencari
pekerjaan lain yang dinilai lebih baik. Ia tak akan melakukan protes dengan
cara anarkis, yang tak sesuai tuntunan yang islami. Sebab, seorang Muslim
sejati akan mengutamakan otak dan ilmunya; bukan otot dan dengkulnya.
Realitanya, jika kita punya keahlian atau kelebihan, kita akan dibutuhkan orang lain. Karenanya, jika atasan atau majikan kita butuh --atau
tergantung-- kepada kita, kita tak perlu takut dipecat majikan. Dari sebab
itu, kita harus punya keahlian atau kelebihan. Dan keahlian atau kelebihan
serupa itu hanya mungkin dimiliki bila kita membiasakan diri untuk tekun
menuntut ilmu; bukan hanya mimpi rezeki turun dari langit begitu saja.
Yang jelas, pegawai yang atheis pasti malas dan tidak jujur dalam
bekerja; sebab ia berpikir, walau rajin atau tidak, ia akan digaji sama. Pegawai yang Muslim, pasti rajin dan jujur; sebab ia percaya Allah pasti
melihat kerajinan dan kejujurannya. Dan Allah pasti akan memberikan
rezekiNya yang lebih besar dengan cara dan dari jalan yang lain.

13

Y A N G P E R LU D I S A D A R I

B AN K
Bank adalah institusi keuangan yang bersifat duniawi. Bank memerlukan pengelola yang mustahil tidak digaji. Bank wajar mencari keuntungan, seperti juga wajar memberi keuntungan bagi penyimpan uang di
bank. Sebab mencari orang yang ikhlas untuk menyimpan uang di bank
begitu saja, di zaman sekarang adalah sulit. Saat ini, selain memudahkan
orang yang membutuhkan modal, bank berfungsi memudahkan transaksi
bisnis internasional. Bank tidak sekadar alat simpan pinjam.
Dalam prakteknya, karena harus mengembalikan pinjaman, orang
yang diberi modal oleh bank --kecuali yang niatnya memang tidak baik-terpacu untuk berusaha dengan sungguh-sungguh. Dampak positifnya, ia
akan mengembangkan kreativitas demi kemajuan usahanya. Realitanya,
usahawan Muslim yang maju tak terlepas dari bekerja sama dengan bank.
Kalaupun ada yang tidak pernah berhubungan dengan bank, itu adalah
pengecualian yang jumlahnya kecil. Jika usahanya bangkrut, bank wajar
menuntut kembali pinjaman yang pernah diberikan. Jelas, di sini seorang
Muslim diuji dalam menegakkan akhlak Islami; artinya, sudah selayaknya
seorang Muslim membayar hutangnya di dunia.
Anehnya, ada orang yang mengharamkan bank, tapi menggunakan
jasa bank dalam mengirimkan uangnya ke luar negeri. Seharusnya, jika
konsekwen, ia mengantarkan sendiri uang itu. Atau mungkin tidak tahu,
bahwa memberi keuntungan kepada perusahaan yang dianggap haram
merupakan sikap yang munafik. Sama anehnya dengan orang yang melarang bekerja sama dengan nonmuslim; tapi pakai arloji, kaca mata, tivi,
dan komputernya --malah sajadahnya-- bikinan kafir. Padahal, hakekatnya,
dengan menggunakan barang buatan kafir itu sama dengan memberi keuntungan, secara tak langsung, kepada kafir itu sendiri.
Tentu saja masalah ini tidak usah diperdebatkan atau diperpanjang,
sebab yang namanya alasan selalu bisa dicari-cari. Kodrat manusia biasa,
yang umumnya mau menang sendiri, memang begitu. Yang jelas, untuk
zaman ini, mustahil ada kedinamisan bisnis tanpa adanya bank. Sama
mustahilnya jika ada lembaga penyedia sumber modal yang pengelolanya
tidak digaji. Dan mustahil pengelolanya atau pegawainya digaji, jika lembaga itu tidak punya sumber keuntungan.
Memang, mungkin saja mendirikan lembaga penyedia sumber modal
yang dikelola yayasan keagamaan. Hanya saja, jangan sekadar teori di atas
kertas. Sebab orang lain, di belakang kita (agar kita tak tersinggung), akan
menertawakan kita. Terlebih jika lembaga itu hanya sekadar ganti nama.
Jika dalam prakteknya tetap mengambil keuntungan, maka keberadaannya
tidak berguna. Apalagi jika bunga yang ditariknya malah lebih besar.
Yang pasti, sistem bunga-berbunga yang mencekik merupakan riba
yang haram; dan dipastikan membawa musibah dan kehancuran bagi
semua pelakunya. Sistem bunga-berbunga membuat yang diberi pinjaman
terlilit kesulitan; dan yang memberi pinjaman menjadi tidak berkah.
14

H AR AP A N & R E A L I T A

Fikih dalam berekonomi harus sesuai realita


Di Barat, seorang nonmuslim yang memiliki ide bisnis, tapi tidak
punya modal, mengajukan proposal ke bank. Bank mengkaji prospeknya,
dan memberi pinjaman lunak dengan bunga lebih ringan dan tenggang
waktu bebas bunga. Usaha si nonmuslim menjadi industri milyaran dollar;
bank dan perusahaan serta buruh sama-sama diuntungkan.
Di belahan bumi yang lain, seorang muslim yang punya ide bisnis
luar biasa, tidak pergi ke bank; sebab berdasar pemahaman fikih ulama
yang diikutinya, ia menilainya haram. Ia juga tak mau berbisnis bagi hasil,
karena kodrat manusiawinya tidak ikhlas berbagi dua dalam keuntungan.
Anehnya, tanpa melihat situasi dan kondisi sebenarnya yang menyebabkannya, banyak orang mengeritik muslim sebagai tidak mau maju seperti
orang di Barat. Padahal penyebabnya jelas, yaitu aturan fikih (hasil ijtihad
ulama) yang salah, bukan syareat agamanya yang salah.
Kenyataannya, hukum fikih bisa berbeda atau berobah, tergantung
ijtihad yang memahaminya. Artinya, hukum fikih hasil ijtihad manusia
belum tentu sesuai dengan hukum syareat yang sebenarnya. Hukum syareat
yang sebenarnya mustahil berobah-robah, sebab mustahil Allah tidak tahu
situasi masa depan. Yang haram menurut syareat, akan tetap haram sampai
akhir zaman; begitu pula yang hukumnya wajib, mubah, atau makruh.
Mesti diperhatikan, sebagus apa pun suatu teori menjadi tidak ada
manfaatnya jika tak dapat dilaksanakan dalam praktek nyata. Karenanya,
aturan fikih yang sangat menyulitkan umat, apalagi yang tidak dapat
dipraktekkan dalam realita kehidupan, harus diwaspadai sebagai aturan
yang bertentangan dengan aturan syareat yang sebenarnya. Sebab mustahil
syareat Allah tidak bersesuaian dengan kodrat kemampuan manusia.
Realitanya, ekonomi yang berjalan baik adalah ekonomi yang perputaran uangnya secara dinamis merata di semua lapisan masyarakatnya.
Artinya, kegiatan berekonomi yang baik sudah seharusnya menyentuh
sampai ke masyarakat paling bawah. Sehingga setiap orang bisa merobah
kehidupan ekonominya menjadi lebih baik; dan bukannya makin terpuruk.
Dari sebab itu, pemberian pinjaman permodalan --dengan bunga dan
aturan yang tidak memberatkan-- harus menyentuh masyarakat bawah ini;
sehingga permodalan itu tidak berputar hanya disekitar orang-orang yang
sudah kaya saja. Yang jelas, bagi seorang Muslim, modal serupa itu saja
tidak cukup; selain kemampuan finansial, Muslim harus menyertai usaha
bisnisnya dengan kejujuran dan keadilan. Sebab memiliki modal bukan
berarti kita boleh berlaku sewenang-wenang merugikan orang lain.
Contohnya, pada saat barang berkurang padahal dibutuhkan, amat
wajar harga barang menjadi naik. Tapi menyengaja membuat pasokan
berkurang --misalnya dengan menyabotase pengiriman barang di tengah
perjalanan-- hanya pantas dilakukan pebisnis yang tidak bermoral. Dan
mustahil dilakukan pebisnis Muslim yang berakhlak mulia, yang senantiasa
mengharap pahala dan ridha Allah.

15

Y A N G P E R LU D I S A D A R I

K E S EW E NA N G- W EN AN G AN YA N G PU NY A UA N G
Si Jahil menjual barang kepada si A secara kredit dua kali bayar.
Dengan cicilan sebesar 1500 rupiah perbulan, maka total harga barang tersebut adalah 3000 rupiah. Si A kemudian langsung menjual lagi barang
tersebut kepada isteri si Jahil, secara kontan, dengan harga 2000 rupiah.
Kalau diperhatikan selintas, perkara jual beli di atas merupakan hal
yang wajar. Sebab bolak-balik membuka dalil agama, tidak akan ditemukan pengharaman transaksi jual beli ini. Begitu pun tidak akan ditemukan
pengharamannya, jika istri si Jahil kemudian memberikan lagi barang itu
kepada suaminya; untuk nanti dikreditkan kembali kepada orang lainnya.
Dalam kasus di atas, pada hakekatnya si Jahil menjadikan dirinya
sebagai makhluk yang tak tahu berterimakasih kepada Allah Swt. Jasmani
dan akalnya yang sehat tidak digunakan untuk hal-hal yang diridhaiNya.
Keunggulannya berpikir justru dimanfaatkan untuk mencurangi sesamanya.
Pada puncaknya malah untuk mengelabui Tuhannya. Si Jahil berusaha
menghindar dari hukum riba yang diharamkan Allah. Ia mengabaikan
akhlak Islami: Kebenaran, keadilan dan kejujuran.
Bila dikaji dengan cermat, pada kasus tersebut si Jahil hakekatnya
memberi pinjaman, melalui istrinya, kepada si A sebesar 2000 rupiah. Dan
menerima pendapatan sebesar 3000 rupiah. Jadi memperoleh keuntungan
sebesar 1000 rupiah, atau limapuluh persen sebagai bunga pinjaman.
Hikmah dari kasus di atas: Kebenaran, keadilan dan kejujuran, lebih
utama dari bentuk aturan hukum yang zahir. Sebab zahir suatu peraturan
hukum bisa saja berpihak pada orang yang sesungguhnya salah. Sementara
keadilan dan kejujuran sudah pasti, karena sudah semestinya, berpihak
kepada yang betul-betul benar. Karenanya, aturan hukum fikih --yang
hakekatnya, dalam hal ini, disahkan dan ditentukan oleh ijtihad manusia-boleh dikesampingkan jika bertentangan dengan keadilan dan kejujuran
dalam pandangan agama (pada hakekat syareat yang sesungguhnya).
Hukum dari kredit gaya si Jahil di atas, secara zahir hukum fikih
memang halal; tapi secara hakekat syareat adalah haram. Masalahnya sekarang, apa yang disebut riba itu yang sebenarnya? Apa yang disebut riba
itu sekadar bentuk zahir, yaitu membungakan uang yang dipinjamkan. Atau
yang dimaksud dengan riba itu dari sifatnya, yaitu kesewenang-wenangan
pemilik uang --terlepas bagaimana pun caranya-- terhadap orang yang
membutuhkan uang?
Bagi Muslim yang ikhlas, tanpa perlu berdebat panjang lebar dengan
argumentasi dalil, akan menemukan jawaban yang tidak berbelit-belit:
Tujuan pengharaman riba yang sebenarnya jelas untuk menghindarkan
kesewenang-wenangan para pemilik uang, yang mengambil kesempatan
mengeruk keuntungan di atas penderitaan orang lain.
Yang pasti, karena sifatnya yang saling memakan, siapapun yang
mendewakan kapitalisme ia akan dilahap kapitalisme orang (negara) lain.
16

H AR AP A N & R E A L I T A

Antara kebutuhan keluarga dan modal dagang


Ada dua kemungkinan seseorang meminjam uang: Pertama, untuk
mempertahankan hidup keluarga; seperti untuk membeli makanan pokok.
Kedua, untuk modal berdagang.
Bukan mustahil kasus-kasus riba yang terlarang itu berkaitan dengan
pinjaman uang karena kebutuhan keluarga; dan bukan pinjaman untuk modal usaha. Sebab dalam ayat Quran yang menyangkut masalah riba, pada
kalimatnya menyabit juga masalah zakat dan sedekah. Ini jelas ada kaitan
dengan masalah orang miskin yang membutuhkan bantuan.
Karenanya, kepada si peminjam yang kesulitan hidup, lebih utama
kita menyedekahkan sisa hutang yang ia tidak dapat membayarnya. Jadi
pantas sekali, jika Islam memasukkan orang yang punya hutang --tapi
bukan hutang konglomerat yang milyaran-- ke dalam kelompok yang mendapat bagian zakat. Sebaliknya, jika sebagai orang yang menerima bantuan
pinjaman modal, satu hal yang wajar bila kita memberi keuntungan pula
kepada orang yang membuat kita mendapat keuntungan.
Realitanya, dalam situasi normal, bunga bank berkisar sekitar dua
persen per bulan. Diandaikan kita memerlukan modal, mana yang kita
pilih: Meminjam kepada bank dengan bunga dua persen perbulan, atau melakukan cara jual-beli gaya si Jahil yang hakekatnya kita membayar uang
kelebihan duapuluh lima persen per bulan? Memang, ijtihad bukan berarti
pembenaran terhadap semua realita yang ada. Tetapi bersembunyi dari
realita pun, apalagi jika di sana memang ada keburukan, bukanlah sikap
yang diajarkan agama kita. Bersembunyi dari realita sama dengan berenang
dalam mimpi. Karenanya, mau melihat kepada kenyataan, adalah suatu hal
yang mutlak dipraktekkan bila kita ingin keluar dari keterbelakangan.
Diakui atau tidak, selama ini kita sering rancu dalam menempatkan
atau membedakan antara sistem dan tujuan. Contohnya, tujuan berperang
dalam Islam jelas berbeda dengan yang bukan Islam, namun sistem
berperang bisa saja mengadopsi dari golongan yang bukan Islam. Seperti
pembuatan parit pada perang Khandaq di masa Nabi Saw.
Undang-undang perlindungan konsumen dan antimonopoli di Barat
(termasuk pengawasan terhadap bank, agar bank tidak seenaknya memungut bunga), hakekatnya pencegahan terjadinya kesewenang-wenangan
pemilik uang. Satu hal yang selaras dengan tujuan pengharaman riba, tanpa
menafikan kodrat manusia untuk mendapat keuntungan.
Yang jelas, mengutang hanya enak pada saat awal meminjamnya.
Tapi amat menyiksa pada saat ditagihnya. Apalagi jika yang meminjamkannya memperdaya dengan ketentuan yang menjebak, dengan persyaratan
yang sebenarnya licik; yang merugikan. Dari sebab itu, sebelum melakukan
transaksi peminjaman, perhatikan persyaratannya dengan seksama. Baca
dan pahami ketentuan-ketentuannya dengan teliti; jangan sampai terbujuk
rayuan beracun, jangan sampai terjebak sistem bunga-berbunga.
Yang terbaik, usahakan jangan mengutang.

17

Y A N G P E R LU D I S A D A R I

Jangan mengelabui Allah


Allah Yang Maha Melihat tidak sekadar memantau bentuk zahir
sebuah amalan, sesuatu yang di balik itu (berupa hakekat, sifat sebenarnya)
Allah lebih mengetahui. Karenanya, setiap amal seorang Muslim semestinya didasarkan kepada niat ibadah mengharap keridhaan Allah.
Mengelabui atau menyiasati Allah Subhanahu wa Taala dengan
menghindar dari hukumNya secara zahir, tapi dalam sifat atau hakekat
adalah identik sama, harus dijauhi seorang Muslim.
Yang halal dan yang haram telah jelas, namun sebagian besar umat
manusia tak mengetahui bahwa di antara keduanya terdapat syubhat
(yang meragukan). Siapa pun yang meninggalkannya, ia telah menyelamatkan agamanya dan kehormatannya. (HR. Bukhari)
Penghapusan hakekat riba, yaitu kesewenang-wenangan yang punya
modal, adalah lebih utama ketimbang sebatas melihat bentuk zahirnya.
Terlebih, seorang muslim mustahil menari di atas penderitaan orang lain;
sebab kapitalisme yang sewenang-wenang bukanlah tuntunan Islam.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu. (Quran, An Nisaa [4]:29)
Bukan mustahil, balasan dosa perilaku licik bin batil dalam perniagaan sama besarnya dengan dosa bunuh diri; yaitu neraka.
Semestinya diingat pesan Nabi Saw, Allah tak menerima iman tanpa amal perbuatan, dan tidak pula menerima amal perbuatan tanpa iman.
Sesuaikan dengan kemampuan
Semahal apa pun sebuah barang tak ada salahnya kita membelinya
jika kita memang menyukainya dan kita punya uang. Tapi semurah apa pun
sebuah barang, usahakan jangan sampai kita mendapatkannya dengan berutang. Kecuali amat terpaksa, usahakan jangan mengutang; terlebih untuk
sesuatu yang sama sekali tidak sangat penting. Hendaknya diingat,
kepuasan yang semu hanya akan menyenangkan kita sementara waktu; tapi
akan membuat kita susah untuk waktu yang jauh lebih lama.
Dalam bercita-cita wajar melihat ke atas, mencontoh orang-orang
yang sukses. Namun dalam memenuhi kebutuhan kita sehari-hari, sudah
seharusnya menyesuaikan diri dengan kemampuan yang ada. Dan bukan
sebaliknya; tidak optimal dalam berusaha tapi cara hidup malah sok kaya.
Padahal, mesti dicamkan, orang paling kaya yang sesungguhnya adalah orang yang tidak punya utang. Sebab, walau perutnya keroncongan, ia
bisa tidur nyenyak karena tidak dikejar-kejar kewajiban membayar utang.
Yang jelas, nikmatilah apa yang bisa kita nikmati; jangan memaksakan ingin menikmati apa yang tak bisa kita nikmati.

18

H AR AP A N & R E A L I T A

H AL

YANG PERLU DITELAA H

Diakui atau tidak --tapi biasanya kita lebih sering untuk tidak mau
mengakui-- terkadang kita cenderung emosional (cepat marah, mudah
tersinggung) bila ada orang yang mengeritik membuka kekurangan kita.
Satu kebiasaan yang sebenarnya borok yang sudah menahun. Biasanya,
sebelum memahami lebih dalam kritikan orang itu, kita langsung menggebrak meja; dan bukannya introspeksi. Menganggap orang lain buta dan
tuli, sementara kita sendiri menutup mata pada kenyataan.
Sesungguhnya ada perkara-perkara fikih, yang tentu saja berkaitan
dengan syareat agama, yang pantas dan perlu adanya penelaahan dengan
hati yang tenang. Terlebih dalam perkara-perkara yang dalam kenyataannya menyebabkan umat Islam tertinggal jauh, baik di bidang teknologi
maupun dalam kesejahteraan ekonominya. Malah dalam hal-hal yang tampak sepele sekalipun; seperti olahraga dan efisiensi birokrasi.
Selama puluhan tahun terakhir ini, tidak sedikit Muslim yang berjuang mengharap tegaknya syareat Islam dengan paripurna. Tapi jangankan
merambah keluar dari negerinya, semangat ini di negerinya sendiri, baik di
Arab maupun bukan, sulit berhasil untuk ditegakkan. Penyebabnya adalah
strategi yang dikedepankan, kalau tidak bisa dibilang menakutkan, tidak
menarik bagi kebanyakan orang untuk mendukungnya. Padahal, realitanya,
tidak ada satu perjuangan pun yang berhasil tanpa partisipasi yang tulus
dari orang banyak. Memang komitmen mereka terhadap Islam tidak disangsikan, tapi mereka tidak mampu beradaptasi dengan realita; tidak bisa
menyesuaikan diri dengan perobahan situasi dan kondisi.
Secara langsung atau tidak, kemunafikan, kejumudan dan perselisihan di antara tokoh-tokoh muslim turut menimbulkan akibat negatip,
berupa lahirnya sosok-sosok sekular diktatoris di negara yang justru penduduknya mayoritas muslim. Seperti juga munculnya diktator militeris,
lebih disebabkan kebobrokan moral dan mental para politisi sipil; yang
berlanjut pada ketidakmampuan menegakkan demokrasi.
Realitanya, melahirkan tokoh muslim yang berakhlak mulia sekaligus memiliki kepemimpinan yang hebat, dan bukan hanya piawai dalam
berpidato dan berwacana, amatlah sulit. Faktanya, tidak sedikit negara
berpenduduk mayoritas muslim merupakan negara miskin dengan sistem
pemerintahan yang menjurus ke arah firaunisme, yang menjadikan musyawarah sekadar gambar tempel. Biasanya, kalau bukan hasil perebutan
kekuasaan dengan makar atau kekerasan, para firaun ini berkuasa melalui
pemilihan umum yang curang atau cara yang direkayasa. Dan seperti di
negara komunis atau facis, kalau tidak mati sekarat karena penyakit, para
thogut ini pun mengakhiri kekuasaannya dengan buruk pula: digulingkan.
Kalaupun ada negara berpenduduk mayoritas muslim yang kaya,
biasanya karena memiliki sumber alam yang berlimpah --yang kalau
dikelola orang lain, bukan mustahil menghasilkan yang lebih banyak dan
lebih bermanfaat-- dan bukan karena kehebatan sistem ekonominya.
19

Y A N G P E R LU D I S A D A R I

Ketimpangan sosial penyebab keruntuhan


Seorang Muslim bisa disebut berlaku adil jika ia bisa memenuhi tuntutan keadilan dari orang yang menuntut keadilan. Dengan catatan, tuntutan
keadilan itu harus sesuai dengan kebenaran yang diridhai Allah.
Karenanya, sebuah pemerintahan belum disebut berlaku adil jika
belum mampu memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya untuk hidup layak.
Jika belum mampu mensejahterakan rakyatnya dengan papan maupun
kesehatan dalam batas yang wajar, dalam batas minimal yang manusiawi.
Harap dicamkan oleh para pengelola negara, di antara penyebab runtuhnya sebuah kekuasaan adalah ketika negara membebani dan memungut
pajak dari rakyatnya hanya untuk mensejahterakan sebagian kecil pengelola negaranya; dan bukan untuk kesejahteraan rakyat jelata umumnya.
Jadi, ketika pemerintah tidak amanah, berlaku tidak adil dan tidak jujur,
hakekatnya sedang memancing sebuah perilaku anarkis dari rakyatnya.
Realitanya, kebanyakan lahirnya gerakan radikal dan pemberontakan
sering dipicu oleh ketimpangan sosial yang tidak berkeadilan. Lebih sering
disebabkan akumulasi kekecewaan yang berlarut-larut; lebih disebabkan
oleh ketidakpekaan para pejabat dan aparat negaranya. Contohnya, kejatuhan Tsar Nicholas dari kekaisaran Rusia ataupun runtuhnya kekhilafahan
Turki Usmani (Ottoman) menunjukkan adanya ketidakpedulian dan ketidakbecusan para pengelola negaranya --terlepas apapun agama yang
dianut-- dan jangan menyalahkan pihak atau sebab lain. 4
Perusahaan negara
Jangan mimpi membuat perusahaan yang dikelola negara bisa lebih
unggul dari perusahaan swasta, jika fasilitas dan modalnya sama. Mendirikan perusahaan negara semacam ini tidak lebih dari sekadar memberi
peluang kepada seseorang untuk berbuat jahat, seperti korupsi, kolusi dan
nepotisme. Terkecuali jika manajernya betul-betul berakhlak.
Sayangnya --atau sialnya?-- dalam realita sulit mencari manajer yang
paripurna. Yang sering dijumpai adalah manajer yang memang pintar tapi
tidak berakhlak. Atau memang berakhlak, tapi bukan ahlinya. Akibatnya,
perusahaan pun kocar-kacir. Yang lebih jelek lagi, sudah bukan ahlinya
ditambah --walau merasa berakhlak karena mengaku beragama-- tidak
berakhlak. Akibatnya, jangankan perusahaan, malah negara sekalipun:
Hancur lebur!
Perlu dicatat, seseorang akan lebih serius mengelola perusahaan miliknya sendiri ketimbang mengurus perusahaan milik negara. Walau, tentu
saja, untuk perusahaan yang memiliki nilai strategis yang vital, yang
menyangkut hajat hidup rakyat banyak --agar tidak dimonopoli negara
asing-- bisa saja negara ikut terlibat di dalamnya. Baik sebagai pemegang
saham mau pun sebagai pengawas.
4

Mustahil muncul gerakan makar Vladimir Lenin di Rusia atau Kemal Ataturk
di Turki bila pemerintahan di kedua negara tersebut tidak bermasalah.

20

H AR AP A N & R E A L I T A

Yang salah, sistemnya atau manusianya?


Satu hal yang perlu diwaspadai, ketika kita gagal dalam bernegara
atau sebuah perjuangan, bukan mustahil ada cara atau sistem kita yang
salah; yang membuat ridha Allah Swt tidak berpihak pada cara kita itu.
Realitanya, saat ini, sistem pendidikan --baik pendidikan keduniawian maupun keagamaan-- kurang menghasilkan seperti yang diharapkan.
Sistem pendidikan keduniawian hanya menghasilkan sedikit sekali
muslim yang benar-benar memiliki keahlian dalam bidangnya. Sementara
pendidikan keagamaan, selain tak mampu menghapus kebodohan muslim
yang tetap percaya pada takhayul, hanya sedikit sekali menghasilkan orang
yang benar-benar menghayati kejujuran dan keadilan.
Dalam kenyataannya, disebabkan nepotisme dan ketidakberesan
birokrasi, tidak sedikit orang yang bodoh dan berakhlak buruk justru bisa
duduk di lembaga perwakilan rakyat atau dalam jabatan-jabatan di instansi
pemerintah. Padahal mesti diingat, salah satu kunci utama keberhasilan
bernegara adalah ditegakkannya kebenaran, kejujuran dan keadilan hukum,
mulai dari atas sampai ke bawah dengan merata.
Jadi jelas, sebagus apa pun suatu teori atau sistem, akhirnya terpulang kepada kemampuan dan akhlak manusia pelaksananya juga.
Setiap orang menginginkan kehidupan lebih baik
Dalam beberapa abad terakhir ini hampir tidak ada, atau memang
tidak ada, penemuan-penemuan teknologi yang bisa dibanggakan yang
dihasilkan seorang Muslim yang bermanfaat bagi umat manusia. Dalam
bidang ekonomi pun orang Islam hanya bergelut dalam bidang jual-beli,
paling banter jadi distributor atau penyalur, dan bukan pemilik pabrik.
Memang tidak jadi masalah siapa penemu teknologi; yang lebih
utama tentunya bisa menikmati hasil teknologi itu sendiri. Ibarat orang
kaya yang menikmati tinggal di gedung mewah, tentunya ia tak perlu membangun sendiri gedungnya; biarlah orang lain (buruh-buruh bangunan)
yang membangunnya. Yang menyedihkan, kalau umat Islam tidak bisa ikut
menikmati hasil teknologi itu; dan hanya sekadar jadi penonton yang
hokcay, bengong sambil keluar air liurnya. Sebab tidak terpungkiri, betapa
pun apatisnya atau jumudnya seorang manusia, kodrat manusiawinya
senantiasa menginginkan kehidupan yang lebih baik dari yang sedang
dijalaninya. Amat wajar, di zaman yang penuh dengan godaan ini, bila
kebanyakan manusia mengharap kehidupan yang lebih menyenangkan.
Banyak sebenarnya perkara-perkara untuk direnungkan, tapi untuk
sementara coba renungkan dan telaah dengan benar hal-hal di atas. Jangan
sampai orang lain menilai kita --orang Islam-- hanya bisa berteori tanpa
praktek. Terlebih jangan sampai mereka, di belakang kita, justru menertawakan kita sebagai orang-orang munafik yang sok soleh.
Hanya kajian yang obyektif, yang jujur, yang benar-benar memahami realita yang ada, yang memungkinkan kita tahu kesalahan kita.

21

Y A N G P E R LU D I S A D A R I

K ETIDAK

JUJURAN DALAM MENILA I

Salahsatu di antara kelemahan manusia yang paling menonjol adalah kebiasaannya berpikiran negatip, termasuk ketidakjujurannya dalam
menilai suatu perkara. Sikap dan pandangannya terhadap satu persoalan
sering tidak luput dari sikap memihak kepada suatu kepentingan yang
menguntungkan dirinya. Artinya, untuk dua persoalan yang mempunyai
bobot dan kriteria yang sama, ia akan memberikan pendapat yang berbeda.
Contoh perilaku ketidakjujuran seperti itu bisa dilihat dari kasus kehidupan duniawi sehari-hari. Seorang Indonesia, yang tinggal di Indonesia,
sangat gembira bahwa warganegara Suriname asal Indonesia tidak melupakan budaya Indonesianya; tapi ia keberatan jika warganegara Indonesia
asal Cina melestarikan adat budaya Cinanya.
Padahal kalau kita berharap orang Cina yang tinggal di Indonesia
untuk melupakan budaya Cinanya, maka kita pun seharusnya menganjurkan orang asal Indonesia yang tinggal di negara lain untuk melupakan
budaya Indonesianya. Dengan kata lain, kalau kita berharap orang Indonesia yang tinggal di negara lain untuk tetap memelihara budaya Indonesianya, maka kita pun seharusnya membiarkan warga negara Indonesia
keturunan asing untuk tetap memelihara tradisinya.
Yang jelas, dalam Islam, manusia dinilai karena ketakwaannya --satu
ungkapan yang lebih sering diucapkan ketimbang dihayati, apalagi dilaksanakan-- dan bukan karena ia asal Sunda, asal Cina, ataupun asal Aceh.
Muka bumi ini kepunyaan Allah, siapa pun berhak mendiaminya selama ia
juga mau merawatnya. Artinya, orang Indonesia berhak tinggal di Australia, seperti juga orang Australia berhak tinggal di Indonesia.
Hendaknya diingat, sikap rasis atau melakukan diskriminasi berdasar
etnis atau ras, amat sangat dicela dalam Islam.
Dari mana pun asalnya dan apapun agamanya, tiap orang punya
hak tinggal di suatu daerah atau negeri, selama ia mematuhi hukum dan
aturan di tempat itu; serta menghormati adat istiadat orang-orang yang
sudah terlebih dahulu ada di sana. Artinya, setiap pendatang seharusnya
bisa menitipkan diri dan tahu diri. Jadi wajar saja, jika pendatang ditolak
atau diusir oleh penduduk setempat, jika ia tidak tahu diri.
Realitanya, perilaku ketidakjujuran juga tampak pada sikap kita dalam masalah Bosnia, Palestina, Afghanistan dan Kurdistan.
Kita mendukung Bosnia untuk melepaskan diri dari Serbia. Kita pun
mendukung Palestina untuk lepas dari penindasan Israel; padahal tidak
semua orang Palestina adalah muslim (misalnya tokoh Palestina bergaris
keras, George Habbash, selain nonmuslim ia pun seorang marxis).
Kita pun turut berteriak tatkala Mujahidin Afghanistan menghadapi
orang-orangnya Babrak Karmal atau Najibullah dukungan Soviet. Tapi
ketika Soviet ditendang keluar Afghanistan, kita diam saja melihat Mujahidin saling berebut kekuasaan dan saling bunuh di antara sesama mereka.
22

H AR AP A N & R E A L I T A

Anehnya, kita pura-pura tidak tahu atau pura-pura tidak melihat


orang-orang Kurdi yang memperjuangkan berdirinya negara Kurdistan.
Seakan-akan kita lupa bahwa Sultan Saladin 5 --Shalahuddin Al Ayyubi
(semoga rahmat Allah senantiasa tercurah kepada beliau), sultan yang
benar-benar Islami, pahlawan dan pelindung Jerusalem, yang mengalahkan
lawannya dengan cara yang amat sangat ksatria-- adalah seorang Kurdi.
Begitu pun dalam masalah kekerasan yang menimpa orang-orang
sipil yang tak berdosa, kita sering tidak terluput dari ketidakjujuran alasan.
Jika alasannya untuk memperjuangkan hak dan kemerdekaan, apa orang
Kurdi tidak boleh merdeka lepas dari Irak, Iran atau Turki? Apa orang
Kurdi dibenarkan melakukan teror dengan mengebom sasaran sipil?
Jika orang Kurdi meledakan bom di alun-alun Bagdad, Teheran, atau
Ankara --dan anak serta istri kita mati jadi korban di sana-- apa orang yang
melakukan tindakan itu disebut pahlawan hanya karena ia seorang muslim?
Seharusnya kita jujur, siapa pun pelakunya (kita atau orang lain), tindakan
pengeboman terhadap sasaran sipil adalah perbuatan teroris yang amat
pengecut. Terlebih Islam mencela pembunuhan terhadap anak-anak, wanita
dan orang-orang yang sudah tua, dalam sebuah peperangan sekalipun.
Harap diingat, di akhirat orang tidak ditanya berasal dari negara
mana; sebab di akhirat tidak ada negara Amerika, Rusia, Cina, Palestina,
Israel, Basque, Moro, Kurdi, Tamil, Tibet, Kashmir, maupun Pasundan.
Realitanya, saat ini, mendirikan negara baru tidak menjamin tegaknya
keadilan buat rakyat miskin kebanyakan. Artinya, buat apa mendirikan
negara baru yang hanya memuaskan orang-orang yang gila kekuasaan,
orang-orang yang sok suci tapi sebenarnya lebih jahat dan tidak jujur.
Memang, merealisasikan mimpi itu tidak dilarang. Tapi, mesti diingat, tidak semua mimpi bisa dan harus jadi realita. Lagi pula, buat apa
sebuah mimpi jadi realita jika hanya menyenangkan kita, tapi melahirkan
penderitaan buat rakyat banyak. Realitanya, ketika terjadi peperangan,
yang menderita dan menjadi korban justru rakyat jelata biasa yang tidak
tahu apa-apa. Karenanya, ketika rakyat jadi korban, yang seharusnya disalahkan bukan hanya musuh, tapi juga para pemimpin kita yang arogan;
yang tidak tahu diri, yang emosional, yang sok suci dan sok jago.
Anehnya, kita sering mengingatkan untuk bersolidaritas terhadap
muslim yang teraniaya di negara lain; tapi terhadap sesama muslim di
negeri sendiri kita saling sikut. Padahal sebelum mengurusi muslim di negara lain seharusnya kita lebih dulu akur dengan sesama muslim di negeri
sendiri. Jelas, nuansa kepentingan kelompok lebih dominan ketimbang
demi kemaslahatan yang mensejahterakan semua Muslim. Begitu pula
yang namanya teror lebih terkait pada fanatisme golongan yang membabibuta daripada menegakkan kebenaran tuntunan Islam.
5

Saladin, Sultan Islam yang sangat dihormati keksatriaannya oleh orang Kristen.
Sikap Saladin terhadap musuh yang ditawannya, merupakan cerminan sikap Islami
yang sesungguhnya; bijak dan tak sewenang-wenang.

23

Y A N G P E R LU D I S A D A R I

Y ANG

PERLU DISADAR I

Seorang manusia boleh saja mengarang teori yang muluk-muluk,


atau berslogan dengan kata-kata yang puitis. Begitu pula sebuah negara
bisa saja mencantumkan aturan-aturan bagus, yang diuntai pernak pernik
kata-kata yang indah di undang-undang dasar negaranya. Namun apa pun
teori atau sistem itu, baik menyangkut ekonomi maupun birokrasi pemerintahan, sama sekali tak akan berhasil alias cuma omong kosong besar,
jika tidak didukung oleh salah satu dari dua hal di bawah ini.
1) Tegaknya akhlak (mental dan moral) manusia ksatria yang lurus,
yang benar-benar jujur dan adil.
2) Tegaknya hukum yang tegas yang tidak pandang bulu, yang benarbenar jujur dan adil.
Jika salah satu dari dua komponen di atas ikut mendukung, maka
sistem bernegara yang bersangkutan kemungkinan bisa berhasil. Apalagi
jika kedua hal tersebut ikut mendukung.
Hanya negara yang mampu menegakkan salah satu hal itu --akhlak
atau hukum; artinya, manusianya yang bertabiat baik atau hukumnya yang
berjalan dengan baik-- yang kemungkinan akan berhasil pemerintahannya.
Padahal jelas bagi kita semua, kedua hal itu (tegaknya akhlak dan tegaknya
hukum) hanya mudah dibuat teorinya, tapi sangat sulit untuk dipraktekkannya. Penyebabnya juga amat jelas: karena kita --kebanyakannya atau
semuanya, tetapi tidak termasuk Anda-- terjerat dengan kemunafikan.
Yang membuat perilaku kita sering tidak sinkron dengan ucapan.
Jadi, kalau negeri tempat kita tinggal morat-marit atau amburadul,
adalah karena ketidakberesan dan kesalahan diri kita sendiri. Dalam skop
kecil sama dengan jamiah (organisasi, partai) kita. Bila jamiah kita kocarkacir dan acakkadut, itu karena kesalahan dan ketidakmampuan kita. Tidak
perlu menyalahkan orang lain, atau negara lain, atau paham lain. Jangan
mencari kambing hitam. Jangan menyalahkan penjajah; tanya diri sendiri
kenapa bisa dijajah? Jangan menyalahkan yang mengadu domba, salahkan
diri sendiri kenapa bisa dan mau diadu domba?
Realitanya, sebagus apa pun suatu teori (kajian, telaah sistem), walau
sesuai dengan kebenaran, menjadi tak ada manfaatnya bila tak bisa dilaksanakan dalam praktek nyata. Jadi, jika ada negara yang pemerintahannya
kacau balau, itu berarti banyak pengelola negaranya yang tidak berakhlak,
yang pelaksanaan hukumnya tidak berjalan dengan jujur dan adil; dan
bukan karena teorinya yang tidak bagus. Sebaliknya, sesederhana apa pun
suatu sistem, jika para pelaksananya berakhlak dan hukum ditegakkan, bisa
saja pemerintahannya berhasil.
Karenanya, seperti juga penjelasan yang harus disertai dengan bukti
yang nyata, maka teori itupun seharusnya ditindaklanjuti dengan praktek.
Sebab, kita baru bisa tahu dan bisa membedakan tikus dengan tupai, jika
sudah melihatnya; dan bukan hanya dengan sekadar penjelasan.

24

H AR AP A N & R E A L I T A

Suka berbeda dalam menilai sesuatu


Realitanya, perilaku ketidakjujuran dalam menilai itu tidak hanya
diperlihatkan orang yang keber-agama-annya kurang, tapi juga oleh mereka
yang menganggap dirinya sebagai tokoh panutan dalam beragama. Suatu
sikap munafik yang tak kelihatan, yang dilakukan justru oleh orang yang
dari bibirnya sering keluar hujatan untuk orang-orang munafik.
Cobalah kita tanya pendapatnya tentang gempa bumi yang terjadi.
Kadang ada dua jawaban berbeda yang akan kita dengar dari beliau; satu
gempa bumi yang merupakan ujian, satu lagi gempa bumi yang merupakan
kutukan Tuhan. Tergantung kepada siapa gempa bumi itu menimpa!
Yang jelas, salah satu sebab dari ketidakmampuan kita untuk mengajak orang lain adalah karena kita terbiasa berperilaku yang tak selaras
dengan ucapan kita. Karenanya, satu keharusan bagi kita untuk mencari
tahu, mengapa fatwa atau ajakan kita tidak digubris orang banyak.
Semestinya disadari, yang menilai kita --apakah kita ini orang mulia
atau bukan, cecurut atau bukan-- adalah orang lain, bukan diri kita sendiri.
Tapi yang lebih tahu tentang kita --apakah kita ini cecurut atau bukan-adalah Allah, bukan orang lain.
Rasulullah Saw mengingatkan: Akan datang sesudahku, pemimpin
(penguasa) yang memerintahmu. Di atas mimbar mereka memberi
petunjuk dan ajaran dengan bijaksana; Tetapi bila telah turun
mimbar, mereka melakukan tipu daya (licik) dan pencurian (korup).
Hati mereka lebih busuk dari bangkai. (HR. Ath Thabrani)
Pada kenyataannya, tidak sedikit tokoh Muslim yang pandai bicara
tentang zuhud (hidup sederhana) hanya saat belum punya jabatan, hanya
selagi belum punya kesempatan untuk korupsi. Dengan kata lain, hidup
zuhud para khalifah Muslim hanya tinggal sekadar dongeng; dan bukan
suatu kenyataan yang bisa dipraktekkan. Karenanya, amat wajar jika rakyat
biasa tidak menaruh kepercayaan kepada tokoh Muslim manapun.
Catatan:
 Kita menuduh orang lain memakai standar ganda, sementara kita
sendiri memakai dua penilaian untuk perkara-perkara serupa. Kita menuduh orang lain tidak jujur, sementara kita sendiri tidak jujur.
 Undang-undang atau hukum apa pun namanya, dan di negara mana
pun, jika tidak dilaksanakan dengan tegas, tidak dilandasi kejujuran dan
keadilan, hanya akan tinggal merupakan sebuah teori saja.
 Kejujuran sejarah biasanya baru dituliskan setelah para pelaku sejarah itu sendiri sudah meninggal dunia. Semestinya diingat, bagaimanapun
cara wafatnya, orang mulia mewariskan nama yang harum. Cecurut, saat
mati, meninggalkan bangkai bau yang lebih busuk ketimbang sampah.
 Apabila penguasa (aparat negara) yang memerintah umat Islam
mati dalam keadaan merugikan mereka (rakyatnya), Allah mengharamkan surga untuknya. (HR. Bukhari)

25

Y A N G P E R LU D I S A D A R I

M USLIM DAN LINGKUNGAN SOSIALNY A


Ada dua hukum, yang suka atau tidak suka, harus dihadapi setiap
individu muslim. Pertama, hukum yang berlaku dalam lingkungannya
setempat (komunitas atau negara), yang ketetapan undang-undangnya dibuat berdasar persetujuan mayoritas penduduk setempat; Kedua, hukum
yang berlaku dalam agama yang dianutnya.
Untuk itu, seorang Muslim harus bisa menyesuaikan diri dengan
hukum yang berlaku di tempat ia tinggal. Artinya, selama hukum tersebut
tidak bertentangan dengan tuntunan Islam, ia harus berusaha untuk mematuhinya. Malah boleh mengambil manfaat dari hukum negara tersebut bila
berdampak kebaikan. Jika ada hukum setempat yang bertentangan dengan
tuntunan Islam, seorang Muslim harus berusaha untuk merobahnya. Hanya
saja caranya juga harus cara yang baik. Cara yang justru tidak melanggar
hukum itu sendiri. Artinya, perobahan hukum itu harus berdasar kehendak
mayoritas. Jika aturan hukum yang buruk itu tetap dikehendaki mayoritas
penduduk setempat, seorang Muslim harus menerima realitanya.
Jika tidak, lebih baik ia pindah ke tempat atau negara lain. Atau ia
tetap tinggal di tempat itu, tapi tidak ikut melibatkan diri dalam keburukan
tersebut. Sebab, dalam Islam, berbuat kebaikan dan mencegah kemunkaran bukan saja harus dengan cara yang baik, tapi juga harus menghasilkan
yang baik. Mencegah kemunkaran tapi membuahkan keburukan yang lebih
parah, apalagi caranya juga cara yang munkar, bukanlah tuntunan Islam.
Oleh karenanya, agar hukum yang buruk itu bisa dirobah oleh mayoritas
penduduk setempat, yang paling utama adalah lebih dahulu mengupayakan
mayoritas penduduk setempat menjadi Muslim (yang baik).
Tatacara duniawi di lingkungan kita
Setiap perkara yang tidak diatur agama dan sepanjang tidak disandarkan kepada balasan pahala dari sesuatu yang gaib, jadi cuma basa-basi
formalitas kemasyarakatan, dikategorikan sebagai perkara duniawi; dan
kita dibolehkan untuk mengikutinya atau melakukannya.
Contohnya, sikap hormat murid dengan menganggukkan kepala
kepada gurunya, atau cara menghormat prajurit dengan mengangkat tangan
kepada atasannya; semua perbuatan ini sama sekali tak ada balasan pahala.
Begitu pun menghormati bendera, selama hanya dianggap sebagai lambang
dan bukan sebagai tuhan, dibolehkan. Seorang warga negara Irak atau Iran
berhak marah jika melihat bendera negaranya dibakar orang lain, walau
bendera itu cuma selembar kain yang tak ada artinya.
Karena itu, gambar bulan bintang --walau sama sekali tidak dikenal
sebagai lambang Islam di masa Nabi-- selama tidak dianggap sakti, boleh
digunakan sebagai lambang atau bendera. Lambang atau simbol pengenal,
hanyalah perkara duniawi. Begitu juga KTP, Surat Nikah, atau Akte
Kelahiran; hanyalah tatacara duniawi. Termasuk perkara duniawi adalah
memperingati hari kemerdekaan, hari ibu, ataupun hari pahlawan.

26

H AR AP A N & R E A L I T A

Mematuhi hukum di lingkungan kita


Minuman keras, walau dibolehkan oleh negara, hukum Islam mengharamkannya untuk diminum oleh seorang muslim. Karenanya, walau
nonmuslim dibolehkan minum khamer tersebut, Muslim yang taat kepada
aturan agamanya dipastikan tidak akan meminumnya.
Lain halnya dengan narkotika; narkotika tidak ditemukan larangan
haramnya dalam Islam. Dalam situasi tertentu, sebagai obat, narkotika
boleh dipakai seorang muslim. Realitanya, ketika perang, penggunaan
morphin sebagai penghilang rasa sakit bagi perajurit yang terluka merupakan suatu yang umum. Tapi, dalam kehidupan sehari-hari, seorang
muslim harus menjauhi narkotika dengan mematuhi hukum negara; karena
hukum negara tersebut berakibat baik bagi seorang muslim. Malah, pelarangan oleh negara terhadap narkotika untuk digunakan secara bebas,
dengan sanksi hukum yang sangat berat, amatlah penting.
Realitanya, merasa amat menyesal setelah melakukan kesalahan
merupakan satu kebiasaan. Karenanya, jauhi ego mau menang sendiri,
usahakan berpikir jernih sebelum melakukan suatu perbuatan. Usahakan
menghindari perilaku yang melawan hukum di tempat kita tinggal. Sebab
perbuatan melanggar hukum, sekecil apapun, selain merugikan orang lain,
juga akan membuat kita dan keluarga kita terperangkap dalam ketidak
tenteraman dan masalah yang berkepanjangan.
Keamanan lingkungan merupakan kewajiban pemerintah
Dalam kehidupan bermasyarakat, orang jahat --walau dia muslim-wajib dibasmi. Sebaliknya, walau dia kafir atau atheis sekalipun, jika dia
tidak merugikan orang lain maka wajib bagi negara untuk melindunginya.
Mesti diingat, salah satu kondisi yang mendukung seorang manusia untuk
merasa tenteram adalah jika lingkungannya aman, terbebas dari kejahatan.
Karenanya, semua bentuk kejahatan yang meresahkan harus dibasmi.
Memang, orang yang berbuat keburukan wajar diberi kesempatan
untuk insyaf, pantas diberi peluang untuk menyadari kesalahannya. Tapi
kesempatan itu ada batasannya dan bukan terus-terusan dimaafkan. Artinya, orang jahat layak mendapat kesempatan kedua, atau paling tidak
ketiga, tapi tak layak diberi kesempatan keempat atau kelima. Sebab, pada
kebanyakan realita, tidak sedikit orang berhenti melakukan kejahatan bukan karena kesadaran tapi karena sudah tidak mampu berbuat jahat.
Yang jelas, membuat lingkungan yang aman merupakan kewajiban
pemerintah. Orang yang tak mau berhenti berbuat jahat, yang menimbulkan
keresahan di masyarakat, wajib dibasmi oleh negara. Sedangkan pemerintahan yang tidak bisa menjamin keamanan dan ketenteraman rakyatnya,
pemerintahan tersebut tak patut didukung.
Realitanya, di negara mana pun, yang namanya kejahatan pasti ada.
Hanya saja ada negara yang mampu menegakkan hukumnya dengan tegas,
dan ada juga pemerintahan yang tidak becus menegakkan hukumnya; yang
para pemimpinnya hanya pandai berteori dan berpidato.

27

Y A N G P E R LU D I S A D A R I

S ISTEM

PEMERINTAHA N

Sunnah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam terdiri dari dua kategori.


Pertama, sunnah yang berkaitan dengan penyampaian risalah.
Artinya, contoh Nabi tersebut sangat utama untuk diikuti. Kedua, sunnah
yang tidak berkaitan dengan penyampaian risalah. Artinya, contoh Nabi
tersebut bila tidak diikuti tidak apa-apa.
Kalau kita kaji dengan hati yang ikhlas, maka akhlak islami yang
tinggi yang harus dimiliki seorang pemimpin merupakan sunnah yang
berkaitan dengan penyampaian risalah. Sedangkan sistem atau aturan tatatertib bermusyawarah dalam pemerintahan, bisa dikategorikan sebagai
sunnah yang tidak berkaitan dengan penyampaian risalah.
Karenanya, berlainan dengan syareat atau aturan agama yang tidak
boleh ada perobahan karena sudah sempurna, tatacara musyawarah maupun
administrasi pemerintahan dimungkinkan untuk mengikuti situasi dan
kondisi yang berkembang di lingkungannya. Realitanya, belajar dari pengalaman, segala sesuatu itu akan berkembang lebih baik dari yang sebelumnya. Begitu pula sistem atau cara bermusyawarah, tiap kekurangannya
digantikan dengan yang lebih baik. Lagi pula, sistem musyawarah di lingkungan kecil (desa), kebutuhan dan manfaatnya belum tentu sama dengan
sistem pemerintahan di lingkungan yang lebih luas (negara).
Dalam lingkungan kecil, parlemen sama sekali tidak diperlukan;
musyawarah bisa dilakukan kapan saja di antara tokoh-tokoh masyarakat
yang tidak dipilih langsung oleh masyarakat, tapi diakui legitimasinya.
Lain halnya dalam lingkungan yang luas, keberadaan sebuah parlemen
yang dipilih rakyat sangat dibutuhkan. Sebab, dalam sebuah negara, kebutuhan HAM di tiap-tiap daerah amat beragam; termasuk yang mewakili
golongan profesi, yang kepentingannya jelas berlainan.
Tentu saja hak bermusyawarah seutamanya diberikan kepada orang
yang menghargai demokrasi; orang yang tidak menghargai demokrasi tidak
layak diajak bermusyawarah. Seperti juga tidak perlu berbicara masalah
prikemanusiaan dengan orang yang sama sekali tak punya prikemanusiaan.
Sama tidak pantasnya dengan menuntut orang lain untuk bertoleransi kepada kita, bila kita sendiri tidak mau bertoleransi kepada orang lain. Yang
jelas, kalau demokrasi tidak diberlakukan dalam negara atau organisasi,
maka setiap orang bisa seenaknya mengklaim sebagai pemimpin.
Sesungguhnyalah, sistem khilafah (pemerintahan Islam) seperti apa
pun --republik atau monarkhi, presidentil atau parlementer-- tak perlu
dijadikan patokan keharusan. Yang penting pelaksananya memiliki akhlak
Islami; memiliki kejujuran dan rasa tanggungjawab.
Realitanya, mempelajari sejarah adalah hal yang mudah, belajar dari
sejarah itu yang sulit. Betapa banyak pemimpin yang tadinya baik kemudian lupa sejarah, akhirnya tergusur dengan cara yang hina. Kursi kekuasaannya telah menyulap akhlak mulianya menjadi lupa daratan.
28

H AR AP A N & R E A L I T A

Sistem musyawarah sesuai situasi


Sesuai situasinya, yang berupa lingkungan jamaah yang masih kecil,
sistem musyawarah pemerintahan --biasa disebut syura-- di masa Nabi Saw
juga masih sangat sederhana. Musyawarah dilakukan di antara Nabi dan
para sahabat yang dianggap sebagai tokoh. Kriteria tokoh tidak didasarkan
kepada hasil pemilihan umum, tapi pada komitmennya kepada Islam.
Sistem musyawarah pemerintahan di masa Nabi berjalan mulus;
karena Nabi adalah pemimpin yang memiliki akhlak yang sempurna, yang
mendahulukan kepentingan orang banyak daripada kepentingan kelompok.
Yang mustahil lepas dari kebenaran, kejujuran dan keadilan. Begitu pun
sistem musyawarah setelah Nabi wafat, yang dilaksanakan khalifah yang
empat, masih berjalan mulus. Sebab, walau tidak sesempurna Nabi, para
pemimpinnya masih memiliki akhlak yang tinggi. Siapa pun yang hatinya
ikhlas, akan melihat bahwa kunci sukses sistem musyawarah pemerintahan
Islam adalah akhlak yang tinggi, betapa pun sederhananya sistem tersebut.
Tentu saja, disebabkan atmosfir lingkungan yang berbeda dan
berobah setiap saat, maka sistem musyawarah pemerintahan moderen tidak
akan sama persis dengan syura di masa Nabi. Kesamaannya hanyalah,
bahwa sebuah keputusan merupakan hasil musyawarah.
Yang penting bukan sekadar sistemnya
Apapun sistem pemerintahannnya, hanya negara yang mampu menegakkan kejujuran dan keadilan yang bisa menciptakan kemakmuran untuk
rakyatnya; yang bisa memberi kesejahteraan dan memberi rasa aman.
Faktanya, ketidakjujuran dan ketidakadilan yang merajalela di semua
lapisan masyarakat adalah penyebab utama hancurnya sebuah negara.
Karenanya, jika ingin menyelamatkan negara dari kehancuran, harus ada
orang yang mampu menghancurkan ketidakjujuran dan ketidakadilan yang
merajalela tersebut. Harus ada pemimpin yang berani menindak semua
orang, terutama aparat negara, yang tidak jujur dan tidak adil. Harus ada
pemimpin yang mampu memotivasi semua rakyatnya untuk membiasakan
diri berdiri di atas kebenaran, untuk berlaku jujur dan adil.
Realitanya, kita hanya bisa melihat keburukan yang dilakukan orang
lain tapi kita sendiri tidak berlaku jujur dan adil. Kita sering tidak merasa
melakukan perbuatan yang merugikan orang lain. Kita sering merasa tidak
pernah mengambil hak orang lain. Padahal Allah mustahil tidur. Karenanya, kalau negeri tempat kita tinggal suatu saat hancur lebur, hakekatnya
karena andil buruk kita juga.
Catatan:
 Hak azasi manusia harus ditempatkan sesuai proporsinya. Artinya,
tuntutan HAM itu tidak boleh mengganggu dan merugikan orang lain di sekitarnya. Contohnya, wanita berbikini wajar berada di tempat renang atau
di tepi pantai; tapi belum tentu wajar jika berada di sekolah. Apa dianggap
melanggar HAM jika ada yang melarang wanita berbikini di sinagog?

29

Y A N G P E R LU D I S A D A R I

K EYAKINAN AGAMA DAN JABATA N


Seorang Muslim yang jadi politikus atau negarawan harus bisa meletakkan keyakinan prinsipnya pada tempat yang tepat.
Sebagai negarawan, walau tidak setuju dengan pendapat orang lain,
ia harus menghormati orang lain yang ingin merobah aturan-aturan yang
ada di negaranya. Tapi sebagai Muslim, ia harus menolak adanya keinginan dari orang lain yang akan merobah akidah agamanya; tanpa ada tapi
atau alasan apapun. Sebab aturan negara dan akidah agama adalah dua hal
yang berbeda. Artinya, dalam perkara yang bukan agama, seorang muslim
harus berusaha untuk bertoleransi dengan pemahaman orang lain yang
berbeda. Dalam perkara yang berkaitan dengan agamanya, tak bisa tidak,
seorang muslim tidak boleh mentolerir orang yang ingin merobah akidah
Islam. Sebab, setiap muslim wajib menjaga kesucian akidah agamanya.
Keyakinan bahwa Allah Swt adalah satu-satunya Tuhan yang wajib
disembah, dan keyakinan bahwa Nabi Muhammad Saw adalah nabi yang
terakhir yang diutus Allah, merupakan akidah seorang muslim yang tak
bisa ditawar. Buat seorang muslim, urusan keimanan orang lain yang
bukan muslim (atau tidak beragama sekalipun) merupakan urusan orang itu
sendiri; dan seorang muslim harus toleran terhadap apa yang diyakini
orang tersebut. Tapi jika orang tersebut, walau mengaku muslim sekalipun,
hendak merusak akidah agama Islam maka ia wajib dibasmi.
Dari hal di atas, seorang manusia --terserah apapun agamanya atau
atheis sekalipun-- harus memaklumi mengapa ada saatnya seorang muslim
tampak tidak toleran. Karenanya, jangan mencoba-coba mengganggu
akidah seorang Muslim. Sebab akibatnya bisa fatal; bisa diamuk.
Jabatan dalam birokrasi
Jabatan birokrasi pemerintahan, selain harus dijabat oleh orang yang
memiliki moralitas, harus oleh orang yang ahli di bidangnya. Bukan
semata-mata karena orang yang satu partai atau satu keyakinan agama.
Memang, jabatan pimpinan sebuah kementerian boleh saja jabatan
politis. Tapi jabatan struktural di bawahnya semestinya merupakan jabatan
profesi. Artinya, berdasar pengalaman karir di bidangnya. Lagi pula, ketika
seseorang duduk dalam sebuah jabatan, seharusnya ia mengutamakan kepentingan rakyat; dan bukan kepentingan partai atau golongannya. Ia
seharusnya melayani rakyat; dan bukan dilayani.
Yang jelas, tidak ada gunanya kita duduk dalam sebuah jabatan, jika
hanya akan mempertontonkan ketidakbecusan dan keserakahan kita; yang
menelanjangi kemunafikan kita. Karenanya, jika tidak ingin dicemooh,
semestinyalah kita jadi pengelola negara yang jujur dan adil. Bukan yang
lebih mendahulukan menuntut hak ketimbang menunaikan kewajiban.
Yang pasti, pegawai atau aparat negara yang mempersulit keperluan
rakyat, yang memeras dan menyengsarakan rakyat, karena tidak amanah,
tempatnya yang layak di akhirat adalah di neraka. Renungkan.

30

H AR AP A N & R E A L I T A

M EMBATASI KEWENANGA N
Di negara mana pun, yang diinginkan setiap warga negara yang
normal adalah rasa aman dan damai, baik lahir maupun batin. Bebas dari
rasa takut untuk mengemukakan pendapat, sama seperti jauhnya dari rasa
takut dirampok penjahat atau diperas pejabat; terlindungi oleh hukum, baik
ketika di perjalanan maupun ketika berjualan. Tak satu pun warganegara
biasa yang waras pikirannya menginginkan peperangan atau anarkisme.
Yang diharapkan adalah sebuah negara yang bisa memberi kesejahteraan
dengan langgeng. Sebuah negara yang makmur dan damai; bukan negara
yang kocar-kacir, kacau dan miskin.
Untuk mewujudkan harapan memiliki negara yang makmur sejahtera
tersebut, jelas diperlukan pemerintahan yang berjalan baik. Pemerintahan
yang selain hukumnya baik, juga dipimpin oleh orang yang bijak. Orang
yang suka memperpanjang masalah remeh-temeh bisa jadi melontarkan
pertanyaan: Bagaimana kalau orang bijak itu dungu. Apa pantas diangkat
jadi pemimpin pemerintahan? Jawaban untuk orang-orang seperti ini
mestinya: Apa orang yang memilih pemimpin pemerintahan itu orangorang pandir, sehingga orang bodoh diangkat?
Ciri dari negeri-negeri yang kebanyakan tokoh-tokohnya suka memperpanjang masalah tetek-bengek, dan bukannya memecahkan masalah
penting, adalah negeri yang amburadul. Negeri yang anggota parlemennya
piawai bikin aturan, yang pintar merancang dan menghias undang-undang,
tapi manfaat dalam praktek nol besar. Negeri yang para wakil rakyatnya
pandai merangkai kalimat yang menakjubkan di kolom-kolom surat kabar,
yang lihai dalam berargumentasi, tapi perilakunya amoral dan korup. Yang
para politikusnya suka membesar-besarkan masalah remeh-temeh, tapi tak
becus mengurus perkara yang benar-benar sangat mendesak.
Jelas, orang yang akan diangkat jadi kepala pemerintahan mestinya
tahu soal pemerintahan, walau minim sekalipun. Agar pemerintahannya
berjalan baik, orang bijak bisa mengambil orang lain yang ahli untuk membantunya. Sebaliknya, seorang pemimpin yang sekadar jago berpidato dan
berpolitik, bisa saja menggunakan keahliannya tersebut untuk kepentingannya, dan bukan untuk kebaikan rakyatnya. Jelas, pemerintahan yang baik
biasanya dipimpin oleh orang yang bijak. Masalahnya, bagaimana kita
yakin ia akan tetap bijak? Padahal sifat baik-buruk itu relatif, sebab tak ada
jaminan orang baik akan tetap baik.
Jika lubang kuncinya jelas, anak kuncinya juga jelas. Agar seseorang
tetap bijak dalam memimpin pemerintahan, ia harus dibatasi kewenangannya oleh undang-undang yang dibuat parlemen. Undang-undang yang tidak
bisa dihapus oleh kepala pemerintahan maupun kepala negara.
Harap dicatat, sebuah parlemen yang diisi wakil-wakil rakyat yang
jujur dan adil, juga ramah dan murah hati, lebih berharga daripada sebuah
parlemen yang dipenuhi intrik dan basa-basi protokoler yang kaku; yang
dihuni badut-badut yang egois, yang serakah dan tidak jujur.
31

Y A N G P E R LU D I S A D A R I

M ENOLAK DEMOKRASI

ALA BARA T

Berbeda dengan hukum Islam yang mengatur hubungan atas-bawah


(vertikal, antara manusia dengan Allah), sekaligus hubungan kiri-kanan
(horizontal, antara manusia dengan lingkungannya di dunia), hukum negara
yang dibuat manusia, biasanya hanya mengatur kehidupan antar manusia di
dunia saja. Akibatnya, suka atau tidak suka, ada kalanya seorang Muslim
menjumpai peraturan yang sebenarnya bagus dalam bernegara, tapi dinilai
bertentangan dengan aturan syareat Islam.
Dalam banyak kenyataan, rasa gengsi buta --sesuatu yang wajar
dimiliki manusia, tapi jarang ada orang yang mau mengakuinya-- sering
menyebabkan kita menolak pemahaman orang lain yang benar. Rasa malu,
kita dudukkan pada tempat yang salah. Dampaknya, kita tidak mau menerima sesuatu yang sebenarnya berfaedah.
Realitanya, hanya dikarenakan ada beberapa hal yang tak berkenan,
banyak perkara kita tolak tanpa pertimbangan yang matang. Rasionalitas
kita tercampuradukkan dengan argumentasi kefanatikan buta, sehingga sesuatunya menjadi tidak jelas.
Akibatnya, kita tak bisa lagi menempatkan boleh-tidak, benar-salah,
dan baik-buruk secara obyektif. Seperti juga kerancuan kita dalam mencampuradukkan antara sistem dan tujuan, disebabkan ketidakmampuan kita
dalam mendudukkan masing-masing jenisnya pada proporsinya. Kalau
sudah begitu, apa bedanya kita dengan masyarakat jahiliyah, yang menolak
sebelum mengkaji lebih dalam.
Kita memang melihat ada sisi hitam dari demokrasi ala Barat, tapi
kita juga tidak boleh menutup mata akan sisi baiknya. Dalam beragama
kita memang tak boleh mengambil aturan sebagian-sebagian, tapi sistem
atau cara berdemokrasi tidak ditentukan secara mutlak oleh agama. Karenanya, kita boleh mengambil sepotong dan membuang yang sepotong lagi.
Tak ada jeleknya kita memungut potongan yang merupakan sisi baiknya.
Namun biasanya kita malu berbuat begitu, karena kita menganggap
demokrasi sebagai produk non-Islam. Padahal cara berdemokrasi sudah
dilaksanakan Islam pada masa Nabi Saw dengan apa yang disebut syura,
yaitu musyawarah cara Islam yang melahirkan kepemimpinan yang dipilih.
Yang jelas, tindakan otoriter seorang pemimpin merupakan perbuatan tercela; sebab prinsip bermusyawarah atau berdemokrasi hukumnya
wajib dijalankan oleh para pemimpin Muslim.
..dan (bagi) orang-orang yang mematuhi seruan Tuhan dan melaksanakan solat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah antara mereka.. (Quran, Asy Syura [42]:38)
Anehnya, saat ini ada Muslim yang lebih senang berada di bawah
pemerintahan diktator, atau yang berperilaku seperti thogut, daripada berada di bawah pemerintahan yang mempraktekkan demokrasi, hanya karena
anggapan bahwa demokrasi merupakan produk non-Islam.
32

H AR AP A N & R E A L I T A

Lebih banyak berteori ketimbang mengaplikasikan


Boleh dikata, sejak berakhirnya Kekhalifahan Umar bin Abdul Azis
Ra 6 sampai dengan penghujung abad ke duapuluh ini, kita terbiasa
menyaksikan pemimpin-pemimpin yang beragama Islam --baik di partai
maupun di pemerintahan, baik di negara yang mengklaim negara Islam
maupun bukan-- saling jegal dengan tanpa malu mengatasnamakan Islam.
Dengan isu-isu kebobrokan moral generasi muda Barat, para pemimpin Muslim ini menumbuhkan sikap anti demokrasi ala Barat; tapi
menutup-nutupi sistem kepemimpinannya yang demokratis. Jelas, semua
ini dilakukan agar kursi mereka di pemerintahan, di parlemen atau di partai
tidak diganggu gugat. Sementara rakyatnya, yang mayoritas muslim,
menjadi setara dengan bebek-bebek yang siap digiring ke mana saja.
Tanpa sadar, para politikus muslim sudah terdidik untuk mengucapkan Pandai-pandailah memilah dan memilih, demi kepentingan si
pembicara dan bukan untuk kepentingan si pendengar (rakyat).
Tak sedikit Muslim, termasuk diri kita barangkali, lebih sering berpikiran negatip ketimbang positip. Lebih pintar berbicara manis dan pandai
memberi petuah, tapi perilaku kita jauh dari teladan. Realitanya, orang
hanya menghormati di depan kita, tapi menghujat di belakang kita. Orang
tersenyum menyenangkan kita, dan menertawakan di sebaliknya.
Pola pikir kita menjadi mandul, karena disibukkan dengan perkara
remeh-temeh, termasuk kebiasaan membikin istilah yang berbeda-beda
padahal hakekatnya itu-itu juga. Kenyataannya, kita lebih pintar berslogan
daripada membuktikannya, lebih pandai berteori ketimbang mengaplikasikannya, mengutamakan retorika padahal yang lebih penting implementasinya. Kita piawai membahas syura dan demokrasi sampai kepada hal-hal
yang tetek-bengek; tapi hakekat kedua-duanya, yaitu kebebasan berpendapat dan saling menghormati, jauh panggang dari api dalam prakteknya.
Padahal hakekat dari sebuah usaha adalah meraih hasil akhir dari
usaha itu, bukan sekadar sistem dari pekerjaannya itu sendiri. Yang penting, caranya harus halal. Bukan menghalalkan segala cara.
Catatan:
 Hanya yang mampu beradaptasi dengan keadaan --apa pun bentuknya; manusia, organisasi, atau sistem-- yang bisa bertahan hidup. Semestinya diingat, di dunia ini, segala sesuatu bisa saja berobah. Yang tidak bisa
berobah adalah adanya perobahan itu sendiri.
 Kebencian kepada demokrasi biasanya timbul dikarenakan kebanyakan rakyat di negara serupa itu sudah terbiasa terkungkung oleh sikap
pengkultusan kepada figur pemimpin.
6

Khalifah yang teramat soleh selain khalifah yang empat: Abu Bakar bin Abi
Quhafah, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib
Radhiyallahu Anhum.

33

Y A N G P E R LU D I S A D A R I

D EMOKRASI

MODER N

Ada yang menolak tatkala diberi ascorbic acid, tapi mau menerima
vitamin C. Itu terjadi karena orang tersebut tidak tahu bahwa kedua obat itu
sebenarnya sama. Seperti juga phenobarbital yang adalah nama lain
luminal; atau nama lain aneurin dan thiamin untuk vitamin B1. Begitu pun
amidozon dan pyramidon sebenarnya adalah obat yang sama. Sementara
paracetamol atau acetaminophen adalah nama generik untuk obat bermerek Biogesic. Tapi paracetamol beda dan bukan phenacetin, walau
kedua-duanya biasa dipakai untuk penghilang rasa sakit.
Tergantung pabriknya, walau kegunaannya untuk penyakit yang
sama, bahan dan bentuk serta merek obat memang kadang berbeda. Begitu
pun dengan obat untuk penyakit sistem pemerintahan, yaitu demokrasi.
Yang salah satunya merupakan produk unggulan: Demokrasi Modern.
Demokrasi Modern, istilah yang mengerikan untuk yang wawasannya kering, dan haram bagi pemimpin yang lagi mabuk kekuasaan,
hakekatnya merupakan refleksi dari keinginan rakyat yang mendambakan
kebebasan berpendapat yang lebih baik. Sistem demokrasi modern ini lebih
sering disebut sebagai demokrasi ala Barat, kata generik untuk demokrasi
kapitalis atau demokrasi liberal. Kenyataannya, demokrasi serupa ini hanya
mungkin dipraktekkan, selain oleh masyarakat yang taraf pendidikannya
merata, hanya oleh masyarakat yang moralitasnya bersih.
Kebebasan bermusyawarah
Ciri utama demokrasi modern adalah orang lain memberi kebebasan
berpendapat kepada kita, yang juga memberikan kebebasan berpendapat
kepada orang lain. Kita toleran kepada orang lain, yang juga toleran kepada
kita. Artinya, setiap orang berhak memperoleh (hak) kemerdekaan yang
seluas-luasnya, sepanjang kebebasan yang dimilikinya tidak melanggar
hukum, tidak mengganggu atau merugikan (hak) kebebasan orang lain.
Sistem demokrasi modern --seperti juga sistem jenjang pendidikan,
sistem ekonomi, sistem teknologi, ataupun strategi perang-- bukanlah
produk suatu agama. Tapi hasil dari pengembangan bertahap satu sistem
sosialisasi masyarakat, yang beradaptasi secara alamiah dengan kepentingan dan situasi kondisi sosial lingkungannya.
Biasanya, demokrasi modern tidak terkait dengan suatu agama. Oleh
sebab itu, tuntutan agar kepala pemerintahan memiliki moral yang baik,
tidaklah mempunyai tolok ukur yang pasti. Karenanya, salah satu cara
untuk mencegah kebobrokan pemerintah, adalah penerapan pembatasan
wewenang dan masa jabatan yang diatur undang-undang.
Yang pasti, sistem demokrasi modern hanya sekadar mengajarkan
bahwa sebuah pemerintahan semestinya dijalankan dengan kebebasan
bermusyawarah; dan bukan menentukan tata-tertibnya bermusyawarah.
Sebab situasi dan kondisi yang berbeda di setiap negara memungkinkan
adanya modifikasi cara musyawarahnya maupun sistem birokrasinya.

34

H AR AP A N & R E A L I T A

Demokrasi dan prakteknya


Di mata orang yang anti, demokrasi liberal biasanya didefinisikan
sebagai: Kebebasan majikan untuk memperbudak buruh, kebebasan pemerintah untuk mengekang hak warganegara, kebebasan politikus untuk
mencurangi rakyat. Pada kenyataannya, seperti yang dipraktekkan di
negara-negara yang merasakan manfaatnya demokrasi liberal, biasa didefinisikan sebagai: Kebebasan buruh untuk keluar dari keculasan majikan,
kebebasan rakyat untuk melawan kecurangan penguasa, kebebasan warga
negara biasa untuk membongkar kebejatan para politikus.
Terlepas dari definisi-definisi di atas, mereka yang dikarunia logika
dan nurani yang bersih, justru akan berusaha menerapkan hal-hal yang bisa
bermanfaat, dan menyingkirkan hal-hal yang akan merugikan masyarakat.
Sebaliknya, bagi yang di hatinya sudah mengakar penyakit egois, lebih
suka mengungkit-ungkit sisi gelapnya. Seakan-akan sisi jelek ini tak bisa
dihilangkan. Sementara sisi baiknya justru ditutup-tutupi.
Realitanya, walau sering dipersepsikan sebagai demokrasi kapitalis,
sistem demokrasi ini dalam prakteknya di negara Barat justru melindungi
rakyat dari kesewenang-wenangan monopoli perusahaan besar. Satu hal
yang malah terjadi sebaliknya di negara yang berkaok-kaok anti kapitalis.
Moralitas, kejujuran dan keadilan, sangat penting
Apa pun namanya suatu paham musyawarah --demokrasi Islam,
demokrasi terpimpin, demokrasi sosialis, demokrasi rakyat, ataupun demokrasi Barat-- tidak akan ada manfaatnya bagi rakyat banyak jika hanya
sekadar nama, jika para pelaksananya tetap saja tidak berakhlak.
Realitanya, kehancuran sistem demokrasi --atau sistem apapun-lebih disebabkan oleh tidak ditegakkannya kejujuran dan keadilan; dan
bukan karena ketidakbagusan sistemnya. Oleh karenanya, akhlak mulia
merupakan syarat utama yang harus dimiliki oleh para pemimpin Muslim,
terlepas pemerintahannya mau disebut negara Islam atau tidak. Sebaliknya,
percuma saja diembel-embeli sebutan negara Islam atau negara madani,
bila para jaksa dan hakim di negara tersebut tetap saja para munafikun.
Realitanya, kejujuran dan keadilan yang sebenar-benarnya hanya
bisa ditegakkan oleh orang yang jujur dan adil. Sementara, bagi orang yang
terbiasa berperilaku tidak jujur dan tidak adil, sebuah keputusan hakim
yang jujur dan adil akan tetap saja dinilai sebagai tidak jujur dan tidak adil.
Padahal jelas, moralitas yang bersih --yang mengutamakan kebenaran, keadilan dan kejujuran-- yang mengarahkan seorang Muslim kepada
keberuntungan dan kebahagiaan yang sebenar-benarnya, merupakan salah
satu pondasi utama ajaran Islam. Sayangnya, akhlak mulia lebih sering
hanya ada dalam teori; dan amat jarang ada dalam praktek nyata.
Yang pasti, Allah pasti mengetahui yang mana pemimpim Muslim
yang benar-benar berpegang pada kebenaran dan kebaikan, yang benarbenar berpihak pada keadilan dan kejujuran; dan yang mana pemimpin
yang tidak amanah, yang munafikun.

35

Y A N G P E R LU D I S A D A R I

Kekurangan (keburukan) demokrasi modern


Kebebasan yang salah kaprah melahirkan film takhayul yang dikaitkan dengan agama tapi sebenarnya bertentangan dengan tuntunan agama;
malah melecehkan dan merusak tuntunan agama yang sebenarnya. Melahirkan film-film setan yang malah mempermainkan ajaran agama. Pembuat
film ini, yang sok agamis, hanya mencari keuntungan materi tanpa memperhitungkan dampaknya buat orang awam kebanyakan.
Kebebasan pers yang keluar jalur tuntunan agama, berekses beredarnya media pornografi yang merusak moral masyarakat. Kebebasan
berkreasi yang kebablasan menghasilkan film, koran, dan majalah yang
mengeksploitir sex dan kekerasan secara berlebihan.
Tuntutan kebebasan yang terlalu luar biasa --yang jadi simbol dan
dibanggakan nonmuslim-- walau telah dipagari oleh aturan hukum sekalipun, pada kenyataannya menjadi bumerang yang merugikan. Kecanduan
narkoba, minuman keras dan perjudian, selain berakibat pada meningkatnya tindak kriminal juga pada kehancuran tatanan berkeluarga.
Paham hedonisme (bersenang-senang) tanpa koridor --yang jadi
kebanggaan nonmuslim-- justru menimbulkan kebobrokan moral generasi
muda yang amat sangat luar biasa. Melahirkan kumpul kebo, prostitusi,
aborsi, dan sipilis. Yang pada akhirnya justru berujung pada penderitaan
dan keterpurukan; pada sebuah kebahagiaan yang semu.
Kelebihan (kebaikan) demokrasi modern
Adanya pemisahan tiga kekuasaan dengan tegas dan jelas: Pembuat
undang-undang (legislatif); Pelaksana pemerintahan (eksekutif); Penegak
hukum (yudikatif).
Diterapkannya undang-undang yang membatasi masa jabatan dan
kekuasaan kepala pemerintahan, sehingga jalannya pemerintahan terkontrol
oleh wakil-wakil rakyat di parlemen.
Kontrol massmedia menumbuhkan keberanian dan kepercayaan diri
pada setiap warganegara untuk menuntut adanya persamaan hak dalam
perlindungan atau keadilan hukum. Lagi pula, penegakkan hukum yang
tegas, menimbulkan rasa aman dan terlindungi pada semua warga negara.
Menumbuhkan sikap mawas diri, sikap tahu diri dan rasa malu pada
setiap warganegara, terlebih pada aparat negaranya. Sehingga keinginan
untuk berbuat jahat bisa diminimalisir. Satu sikap yang dituntut agama
tanpa gembar-gembor dalil atau dogma keagamaan.
Adanya kebebasan massmedia memungkinkan diungkapnya segala
jenis kecurangan, termasuk kebobrokan pribadi-pribadi. Sehingga tiap
orang yang punya ambisi untuk duduk di pemerintahan atau di parlemen
mengontrol dirinya sendiri, agar tidak tersungkur berbuat salah. Alangkah
hebatnya jika kontrol pers semacam ini dilakukan massmedia yang islami,
yang tidak sekadar menabur isu atau menebar fitnah.

36

H AR AP A N & R E A L I T A

Mendukung pemimpin yang adil dan jujur lebih utama


Pemimpin di sebuah negara --terlepas paham atau sistemnya-- layak
didukung bila dalam realitanya bisa memberikan kesejahteraan kepada
rakyat banyak. Bisa menegakkan keadilan dan kejujuran, bisa memberikan
rasa aman dan damai. Sebab, pada hakekatnya, paham demokrasi maupun
kediktatoran hanyalah alat. Tak ada artinya sistem demokrasi jika tak bisa
menegakkan keadilan dan kejujuran; jika menyebabkan perpecahan dan
kesengsaraan. Hanya saja jika mampu menegakkan kejujuran dan keadilan,
paham demokrasi lebih utama untuk dijalankan.
Jadi, inti utama masalahnya adalah kemampuan untuk menegakkan
keadilan dan kejujuran. Karenanya, pemimpin bertangan besi yang dengan
tegas mampu menegakkan keadilan dan kejujuran jauh lebih layak didukung ketimbang pemimpin yang lemah, yang membiarkan korupsi merajalela; yang tak mampu memberantas ketidakjujuran dan ketidakadilan.
Yang jelas, jangan mendukung pemimpin yang emosional dan tidak
jujur --walau kelihatannya soleh-- yang cenderung kepada menebar kekerasan. Pemimpin serupa ini hanya akan mengorbankan pengikutnya.
Sementara ia bisa ngacir dan berleha-leha di tempat persembunyiannya.
Invasi pemikiran
Bahaya invasi pemikiran memang mesti diwaspadai. Namun tak
sedikit orang yang pandai berbicara tentang bahaya invasi pemikiran,
kemudian menutup mata dalam memilah mana yang benar dan mana yang
salah, mana yang positip dan mana yang negatip. Tanpa sadar pola pikirnya
sendiri telah terintervensi oleh pemahaman bahwa semua yang berasal dari
luar, yang berbeda dengan yang dianutnya, adalah salah dan buruk.
Realitanya, bersikap egois (arogan dan emosional), sering lahir dari
kondisi psikologis orang yang terpinggirkan; orang yang jiwanya tertekan.
Yang berusaha menutup-nutupi kelemahan atau kekecewaannya. Yang
melakukan protes karena ada yang gagal dalam kehidupannya, dan bukan
karena murni membela kebenaran.
Catatan:
 Muslim yang berakhlak mulia akan selalu berusaha untuk tidak melakukan tindakan anarkis atau kekerasan. Tindakan serupa itu biasanya
muncul ketika orang lebih mengedepankan sifat emosional daripada keluhuran budi pekerti; lebih mengutamakan otot ketimbang otak.
 Untuk membedakan orang yang emosional dengan yang tidak,
sebenarnya mudah. Orang yang tidak emosional, ketika dibilang emosional, cuma tersenyum. Orang yang emosional, ketika dibilang emosional
--kalau tidak marah-- pura-pura tersenyum.
 Setiap Muslim wajib patuh dan setia terhadap pemerintah, disukai
atau tidak disukainya, kecuali bila dia diperintah melakukan maksiat. Jika
dia diperintah melakukan maksiat, dia tidak perlu patuh dan setia. (HR.
Muslim)

37

Y A N G P E R LU D I S A D A R I

K OMUNIS, FACIS,

DAN PAHAM RADIKA L

Semuanya setali tiga uang, artinya sama saja. Sistem pemerintahannya otoriter, menutup hak berbicara bagi orang atau kelompok lain yang
berbeda pendapat dengan pemerintah. Membasmi orang yang berbeda pendapat adalah hal lumrah dalam sistem para diktator. Sistem Machiavelli 7
amat dominan di sini. Sikap kultus individu atau penghormatan yang berlebihan kepada pemimpin, yang memasung kebebasan akal warganegaranya,
merupakan salah satu ciri khas dalam sistem totaliter ini.
Kesejahteraan memang bisa saja didapat semua rakyat --artinya
cukup sandang, pangan, dan tempat tinggal-- namun perlindungan hukum
atau rasa aman dalam mengemukakan pendapat atau hak asasi biasanya
diabaikan. Parahnya, dan ini yang lebih sering terjadi, selain kesejahteraan
rakyat tak tercapai, rasa aman bagi warganegaranya hanya sekadar impian.
Itu dimungkinkan karena adanya peraturan atau undang-undang yang
membuka kesewenang-wenangan pimpinan pemerintahan, sementara
peraturan yang membatasi kesewenang-wenangan itu tidak ada.
Ciri khas orang komunis adalah menuntut hak hidup bila partai lain
berkuasa, tapi tak mau memberi hak hidup kepada partai lain bila mereka
berkuasa. Kalaupun memberi hak hidup, itu hanya sekadar basa-basi demokrasi. Mereka pun suka berdalih membebaskan buruh dari perbudakan
majikan, namun dalam prakteknya menjerumuskan buruh pada penindasan
yang justru lebih busuk oleh penguasa atau pemerintah.
Para pemimpin pemerintahannya punya kebiasaan menyalahtempatkan dalil-dalil etika moralitas untuk kepentingannya. Sikap hormat kepada
yang lebih tua diartikan rakyat tidak layak mengungkit kejelekan pimpinan
pemerintahan. Sikap sabar dan tawakal dicekokkan kepada rakyat miskin
agar tidak macam-macam melihat para pemimpin bergelimang harta.
Malah, jahat dan liciknya sosok komunis ini, mereka justru sengaja
menciptakan atau membuat rakyat yang bodoh, yang pendidikannya
kurang, menjadi miskin. Sebab kemiskinan dan kebodohan merupakan
pijakan utama bagi mereka untuk mendirikan kekuasaan.
Cara komunis serupa itu biasanya ditiru oleh para diktatoris dan
kaum radikal, walau mereka menyebut dirinya bukan komunis.
7

Niccolo Machiavelli, filsuf politik Italia abad ke enambelas. Hendaknya dimaklumi, kajian Machiavelli adalah politik dan cara meraih kekuasaan, bukan agama
atau moralitas. Sesuai realitanya, Machiavelli bukanlah seorang yang sok suci, ia
jujur dalam mengemukakan keberengsekan manusia. Tidak sedikit orang yang
menuduh Machiavelli amoral justru mempraktekkan ajarannya. Salah satu ajaran
Machiavelli adalah menyingkirkan orang pandai yang dianggap saingan, walau
teman dekat sekalipun; Kenyataannya, tidak perlu menutupi realita, jauh sebelum
Machiavelli dilahirkan, praktek seperti ini pernah dilakukan Muawiyah bin Abu
Sufyan (semoga Allah memaafkannya) dengan menyingkirkan sahabat dekatnya
yaitu Abdurrahman bin Khalid bin Walid.

38

H AR AP A N & R E A L I T A

Pengikut kelompok radikal, orang yang labil


Boleh saja orang radikal berkata: Saya masuk gerakan ini karena
idealisme. Karena melihat ketidakadilan di masyarakat. Niatnya memang
bagus. Hanya saja, apakah masuk partai radikal itu satu-satunya alternatif?
Apakah niatnya cuma itu? Apa tidak ada maksud lain?
Dalam realitanya, tak sedikit orang yang menjadi pengikut partai
atau kelompok radikal adalah orang yang frustasi dan depresi. Orang-orang
yang gagal dalam persaingan secara jantan. Yang gagal dalam berusaha
secara ksatria, yang gagal dalam ekonomi, yang gagal dalam pendidikan.
Malah yang gagal dalam hal yang sepele, hal remeh temeh. Yang lebih
dilatarbelakangi oleh kekecewaan dan rasa iri kepada orang lain.
Sebagai kompensasi, orang-orang yang tersisihkan ini menutupi kekecewaan atau kegagalannya dengan masuk menjadi antek gerakan radikal.
Bersedia jadi budak untuk menyembunyikan muka badaknya, dan yang
lebih memalukan: sekadar demi isi perutnya. Padahal mesti diingat, siapa
bermain pedang, ia harus siap untuk tersayat; orang yang masuk gerakan
radikal, satu saat harus siap pula untuk digebuk.
Tapi mengapa olahraga di negara facis atau komunis bisa hebat?
Salah satu ciri sifat manusia waras di muka bumi ini semuanya sama: menginginkan kehidupan yang lebih baik dari yang sedang dilakoni.
Sedangkan cara yang aman di negara facis atau komunis untuk bisa memiliki kelebihan materi, selain jadi penjilat, ya jadi olahragawan.
Paham sama rata sama rasa, paham para pemimpi
Tidak ada satu paham pun yang melawan kodrat manusia (yaitu hak
untuk mendapatkan kebebasan berpendapat dan hak memiliki kekayaan
materi), akan bisa bertahan hidup.
Keinginan untuk membatasi hak milik perorangan ini, hanya lahir
pada orang yang di hatinya ada benih rasa iri dengki. Seorang yang betulbetul Muslim, hanya akan tersenyum melihat orang lain sekaya apa pun
atau setinggi apa pun pangkatnya. Seorang Muslim yang ingin kaya raya,
akan berusaha bekerja keras. Dan bukan memelihara iri dengki.
Paham sama-rata sama-rasa, hanyalah paham para pemimpi dan
penipu. Allah membedakan dan melebihkan sebagian orang atas sebagian
yang lainnya (baik dalam jasmani, materi, ilmu, atau pangkat), agar tiap
manusia bisa mengambil manfaat dari manusia lainnya. Ibarat supir taksi
dan penumpangnya, masing-masing saling membutuhkan.
Dalam realita, kaya dan miskin (seperti juga cantik dan jelek, sukses
dan gagal, sehat dan sakit), mustahil dihilangkan. Orang kaya bisa jatuh
menjadi miskin; sebaliknya, jika ulet dan mau berusaha, orang miskin bisa
menjadi kaya. Artinya, kaya dan miskin mustahil dihapuskan.
Di zaman modern ini, hanya orang yang teramat sangat bodoh saja
yang masih memiliki paham sama rata sama rasa. Hanya orang yang teramat picik yang bisa tertipu dan mau ditipu paham yang ekstrim.

39

Y A N G P E R LU D I S A D A R I

Islam sesuai kodrat manusia


Adalah kodrat manusiawi untuk memiliki kekayaan yang lebih
banyak daripada yang dipunyai orang lain. Memiliki kekayaan sebanyak
apa pun tak ada larangannya dalam Islam, asal cara mendapatkannya mesti
halal. Islam hanya mengingatkan kepada orang yang diberi kesempatan
jadi kaya, bahwa ada hak (bagian) orang miskin pada kekayaan tersebut.
Allahu Akbar, betapa mulianya agama ini.
Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, Andai manusia
telah mempunyai harta sebanyak dua lembah, mereka masih ingin
mendapatkan satu lembah lagi. Tidak ada yang dapat mengisi perutnya sampai penuh, melainkan hanya tanah (kematian). Dan Allah
menerima tobat orang yang tobat kepadaNya. (HR. Muslim)
Teorinya, komunis hendak membangun masyarakat tanpa kelas
(buruh dan majikan). Namun prakteknya melahirkan kelas baru (bawahan
dan penguasa), yang ternyata lebih menindas dan lebih tidak adil.
Dalam Islam, adanya orang miskin dan orang kaya --seperti juga
adanya musibah dan anugerah, adanya penderitaan dan kebahagiaan-merupakan realita ujian. Dalam keadaan seperti apa pun, miskin atau kaya,
menderita atau bahagia, seorang Muslim yang ikhlas hanya akan menganggapnya sebagai ujian untuk mendapatkan kenikmatan surga di akhirat.
Yang pasti, merampok orang kaya untuk dibagikan kepada orang
miskin hanya dilakukan oleh Robinhood; dan itu bukan tuntunan Islam.
Menghapus atheisme
Untuk menghapus atheisme, selain dengan pelajaran agama yang
benar, harus dengan memberi contoh berperilaku beragama yang benar;
bukan dengan membunuhi orang atheis. Seperti juga dengan menghapus
kemiskinan, kita harus mengajarkan ilmu kepada orang miskin untuk rajin
berusaha; bukan dengan membunuhi orang miskin.
Yang jelas, bagaimana mungkin orang atheis mau beragama, jika
orang beragama itu sendiri kehidupannya tidak lebih baik dari orang atheis.
Catatan:
 Seandainya Engels 8 berkenalan dengan ajaran Islam yang benar, ia
akan menjadi seorang muslim dan mustahil jadi seorang komunis.
 Menjadi apa pun --jadi pemimpin atau jadi rakyat biasa, jadi majikan
atau jadi buruh-- tidaklah penting. Yang penting, tidaklah zalim. Tapi yang
lebih penting, dengan menjadi apa pun, bisa hidup tenang dan tenteram.
8

Friedrich Engels, sekondan Karl Marx, adalah anak pengusaha Jerman yang kaya
raya, yang memiliki pabrik di Inggris pada abad ke 19. Kecenderungannya untuk
berpihak kepada buruh, murni bukan karena ia memiliki suatu kepentingan dalam
mencari materi. Ia mungkin melihat ketidakadilan sosial yang diakibatkan kapitalisme maupun agama di lingkungannya. Sayangnya, ia menemukan dan memilih
ajaran yang dalam kenyataannya justru berdampak lebih buruk.

40

H AR AP A N & R E A L I T A

P ELAKSANAAN

YANG ISLAM I

Dalam Islam, negara dan agama tak bisa dipisahkan. Artinya, berdirinya sebuah negara mestilah melahirkan masyarakat yang berakhlak yang
diridhai Allah; masyarakat yang saling menghormati, yang mendapat perlindungan hukum yang adil, yang terhindar dari kesewenang-wenangan
penguasa. Sebuah negara yang makmur di bawah naungan ampunan Allah.
Karenanya, mendirikan sebuah khilafah Islam yang dipimpin figur
yang soleh, yang berakhlak tinggi, merupakan keutamaan. Yang jadi
masalah, pemimpin yang serupa ini sangat sulit didapat. Kalaupun ada,
katakanlah pemimpin ini seorang ulama terkenal, apakah ulama-ulama
lainnya akan mendukung? Bukankah ulama-ulama yang ada itu pada
kenyataannya sering memberi teladan buruk, seperti saling menjelekkan?
Apakah ulama yang tak sepaham itu akan dibui, seperti yang terjadi dalam
sejarah daulah Islam di masa lalu?
Memang, idealis itu tidak dilarang, tapi juga harus realistis.
Bagaimana mungkin sebuah negara Islami akan berdiri, jika orangorang yang mau mendirikannya orang yang perilakunya emosional dan
menakutkan? Kalau yang namanya saja negara Islam, itu mungkin. Tapi
yang islami seperti di masa Nabi, apa bisa? Anggap saja negara yang betulbetul Islami jadi kenyataan; namun jika pemimpinnya wafat, apa bisa
dijamin penggantinya tidak bakal seperti Yasid bin Muawiyah atau Al
Mutashim? 9 Apa maksud didirikannya negara yang islami tersebut hanya
untuk satu-dua generasi saja, dan kemudian hancur lagi?
Semestinya disadari, memelihara rumah itu lebih sulit daripada
mendirikannya. Karenanya, agar tidak cepat roboh, pondasi yang betulbetul kuat semestinya dibangun lebih dahulu; dan bukan asal jadi, apalagi
jika bahan-bahannya berupa rongsokan yang berkarat dan keropos.
Hanya pemerhati yang teliti yang akan mengevaluasi sebab-sebab
dari keberhasilan atau kegagalan sebuah teori. Ia tak akan memaksakan
suatu teori --betapa bagusnya pun teori itu-- jika dalam realitanya teori
tersebut tidak bisa dipraktekkan. Atau hanya akan berhasil untuk waktu
yang sesaat atau terbatas. Yang jelas, tak ada kewajiban mendirikan negara
Islam yang sekadar menempelkan atribut keagamaan; yang sekadar kedok
untuk menghalalkan kesewenang-wenangan seorang pemimpin.
9

Yasid bin Muawiyah bukan saja bertanggung jawab atas wafatnya cucu Rasulullah Saw, Husein bin Ali (semoga rahmat Allah senantiasa terlimpah ruahkan
kepada beliau), tapi juga atas penjarahan pasukannya ke Madinah. Sementara sikap
kejam Al Mutashim terhadap Imam Ahmad bin Hanbal (semoga rahmat Allah
terlimpah pula kepada beliau) tidak bisa dibenarkan. Walau begitu, sebagai muslim
yang berkeyakinan bahwa musuh utama kita adalah iblis laknatullah, dan bukan
manusia (yang hanya karena memiliki kekurangan, bisa dipengaruhi setan
terkutuk), sewajarnyalah kita mohonkan ampunan kepada Allah Swt. Masalah
timbangannya, kita serahkan kepada Allah Yang Mahaadil, Maha Pengampun.

41

Y A N G P E R LU D I S A D A R I

Hukum yang tegas melahirkan masyarakat berakhlak


Satu keutamaan untuk membangun khilafah yang betul-betul islami;
yang memberi rasa aman dan ketenteraman bagi semua warganya. Yang
membuka lapangan kerja yang halal seluas-luasnya, sehingga tidak ada
pekerjaan haram yang dilakukan seseorang dengan alasan mencari nafkah.
Sesungguhnyalah, melahirkan masyarakat yang berpribadi mulia,
merupakan suatu kewajiban yang disyariatkan agama Allah yang tak bisa
ditawar. Karena itu, hukum Islam yang menyangkut tindak kejahatan di
masyarakat bersifat keras. Sehingga rasa aman di masyarakat bisa terjamin.
Sebaliknya, keinginan untuk berbuat jahat pun bisa dicegah.
Dalam sebuah negara yang masyarakatnya betul-betul islami, seseorang yang berjalan seorang diri --baik muslim maupun bukan-- tidak akan
merasa khawatir dianiaya apalagi dirampok orang lain; walau di tengah
jalan yang sepi dan di tengah malam buta sekalipun. Karenanya, hanya
orang-orang yang di hatinya berakar sifat jahat saja, termasuk walau ia
mengaku muslim, yang tidak suka diberlakukannya hukum Islam.
Daulah yang islami
Kalau yang disebut kekalifahan Islam itu hanya mengurus masalah
agama Islam, seperti Vatikan yang hanya mengurus umat Katolik, rasanya
itu masih mungkin direalisasikan. Tapi kalau kekalifahan sudah mengurus
kepada perkara yang lebih lebar, seperti perkara-perkara yang ditangani
negara di zaman moderen ini, amat sangat sulit untuk dipraktekkan. Sebab
negara mana nanti yang akan dijadikan pusat kekalifahan Islam itu? Dan
yang jadi kalifahnya siapa? Kalau kalifahnya orang India, apa orang Turki
setuju? Jika kalifahnya orang Turki, apa orang Arab mau? Bila kalifahnya
orang Arab, apa orang Persia tidak keberatan?
Realitanya, jangankan dalam skop yang besar, dalam lingkup yang
kecil saja --dalam masalah menentukan kepemimpinan-- kita ini masih
suka saling gebuk. Dalam masalah beda pemahaman saja kita saling jotos.
Apa kalau kalifahnya orang Syiah, orang Sunni setuju? Atau sebaliknya,
jika kalifahnya orang Sunni, apa orang Syiah ikhlas?
Mimpi itu boleh --karena tidak dilarang-- tapi berpikir realistis itu
kewajiban bagi semua muslim. Jadi, tidak perlu ada kekalifahan dalam
bentuk negara adikuasa, yang penting semua Muslim bisa akur; bisa saling
menghormati pemahamannya. Bisa hidup damai.
Realitanya, di sebuah negara yang semua penduduknya muslim pun,
kaum muslimin sulit untuk bisa bersatu padu. Artinya, kepentingan partai
dan kelompok tetap saja tak bisa dihilangkan; apalagi yang berbeda negara.
Karenanya, yang disebut daulah yang islami itu cukup sebagai negara yang
melaksanakan syareat Islam bagi pemeluk Islam. Jadi, jika negara Perancis
melaksanakan hukum Islam bagi umat Islam, itu sudah cukup.
Yang jelas, siapa pun yang mengelabui manusia dengan mendirikan
kerajaan Allah, atau kerajaan Islam, tapi dalam prakteknya adalah kerajaan
para manusia, pasti akan hancur dengan sendirinya.

42

H AR AP A N & R E A L I T A

P ELAKSANAAN HUKUM AGAM A


Tidak ada ruginya bagi sebuah negara memberi hak kepada semua
agama untuk melaksanakan hukum agama kepada pemeluknya, atau yang
berkaitan dengan pemeluknya.
Beberapa contoh bila negara Perancis menerapkan hukum Islam bagi
Muslim, atau yang berkaitan dengan seorang Muslim:
Muslim yang mencuri harta milik Muslim maupun nonmuslim,
hukumannya potong tangan. Di sini jelas harta nonmuslim terlindungi dari
kemungkinan dicuri atau dikorupsi oleh seorang Muslim.
Nonmuslim yang mencuri harta milik nonmuslim, hukumannya
sesuai hukum negara. Nonmuslim yang mencuri harta Muslim, hukumannya potong tangan; karena berkaitan dengan orang Islam yang dicuri
barangnya.
Muslim yang membunuh nonmuslim maupun Muslim, dijatuhi
hukuman mati sesuai hukum Islam.
Nonmuslim yang membunuh nonmuslim, dijatuhi hukum negara.
Nonmuslim yang membunuh Muslim dijatuhi hukuman mati, sebab
berkaitan dengan orang Islam yang dibunuhnya. Tapi bisa juga dibebaskan
dari hukuman, bila keluarga Muslim yang dibunuh itu memaafkannya.
Jelas, tidak sedikit pun nonmuslim dirugikan di sini.
Muslim yang memperkosa atau menzinahi wanita muslim maupun
nonmuslim, dijatuhi hukuman mati. 10 Jelas, wanita nonmuslim terlindungi
dari perkosaan oleh seorang pria Muslim.
Nonmuslim yang memperkosa wanita nonmuslim, hukumannya
sesuai hukum negara. Nonmuslim yang memperkosa wanita Muslim, hukumannya hukuman mati; sebab berkaitan dengan wanita Muslim yang
dizinahinya. Di sini, para istri nonmuslim tak perlu khawatir atau cemburu
pada wanita Muslim, sebab suami mereka harus berpikir dua kali sebelum
berzinah dengan wanita yang beragama Islam.
Wanita Muslim maupun nonmuslim yang berzina dengan laki-laki
Muslim walau atas dasar suka sama suka, tetap dihukum secara Islam. Di
sini, suami dari wanita nonmuslim boleh merasa tenang, karena isterinya
tidak akan berzina dengan pria Muslim.
10

Di dalam Al Quran surat An Nur ayat 2, hukuman maksimal bagi pezina cukup
dengan dera seratus kali, tanpa memandang yang sudah kawin maupun belum.
Hukuman rajam (dilempari batu sampai mati) bagi pezina yang sudah kawin,
memang hanya ada di dalam hadits Nabi Saw. Yang bisa jadi diambil dari hukum
Allah sebelum surat An Nur tersebut diturunkan, seperti yang diperintahkan Musa
di dalam Taurat (lihat Injil Johanes, pasal 8 ayat 5). Tapi dalam situasi zina merajalela, juga saat kejahatan dengan kekerasan dan penggunaan narkotika sudah jadi
kebiasaan, hukuman mati lebih efektif untuk diterapkan oleh negara.

43

Y A N G P E R LU D I S A D A R I

Wanita Muslim maupun nonmuslim yang diperkosa, dibebaskan dari


tuntutan berzinah. Dan berhak menuntut pemerkosanya, baik dengan hukum Islam ataupun hukum negara.
Wanita atau laki-laki Muslim yang jadi pelacur adalah pelaku zina
yang mesti dihukum mati secara hukum Islam. Wanita atau laki-laki nonmuslim yang jadi pelacur tidak perlu dilarang.
Islam tidak melarang nonmuslim untuk minum bir atau bermain judi.
Karenanya, jika mayoritas rakyat menghendaki, hukum negara tidak perlu
melarang penjualan bir dan permainan judi bagi nonmuslim di Perancis.
Jelas, Islam mencegah Muslim jatuh pada keburukan, tapi tidak melarang
dan tidak mengurusi masalahnya nonmuslim.
Minuman keras, perjudian, dan pelacuran tidak perlu dilarang bagi
nonmuslim. Adalah hak seorang nonmuslim untuk menikmati kesukaannya. Hanya saja negara pun berhak mengatur perniagaannya; misalnya
dengan membatasi penjualannya hanya di hotel, restoran, atau lokasi tertentu dengan aturan perizinan yang ketat.
Pembagian harta warisan nonmuslim diatur berdasar hukum negara;
pembagian warisan Muslim diatur menurut hukum Islam. Perkara yang
adil, Muslim tidak menerima warisan dari nonmuslim, nonmuslim tidak
menerima warisan dari Muslim. Namun, seorang Muslim boleh memberi
maupun menerima hadiah kepada dan dari nonmuslim.
Nonmuslim hanya dipungut pajak oleh negara. Muslim, selain wajib
membayar pajak kepada negara, punya kewajiban membayar zakat hak
orang miskin, yang bisa disalurkan melalui organisasi Muslim yang disukainya. Apa negara Perancis dirugikan? Jelas, tidak.
Hal-hal di atas hanyalah sedikit contoh bila hukum Islam diberlakukan di Perancis, untuk diterapkan bagi Muslim dan yang berkaitan dengan
seorang Muslim. Jelas, Islam adalah agama yang penuh toleransi kepada
kepercayaan lain; namun tegas jika menyangkut hukum bagi penganutnya.
Anehnya, bila hukum Islam akan diberlakukan bagi Muslim atau
yang berkaitan dengan Muslim, kebanyakan orang-orang Islam di Perancis
--semoga prasangka ini salah-- justru akan menolaknya. Sebab, kalau
dilihat dari kacamata kebebasan, hukum Islam tersebut menguntungkan
nonmuslim. Namun, kalau dilihat dengan hati yang ikhlas, kita akan menemukan faedah yang amat jelas; yaitu mencegah Muslim melakukan
kerusakan, baik kepada dirinya sendiri maupun kepada orang lain.
Semestinya kita harus siap menerima hukuman sesuai aturan agama
kita. Begitu pula, semestinya kita siap menerima resiko dengan mematuhi
hukum pemerintah di negara manapun kita tinggal. Artinya, selama tidak
bertentangan dengan keyakinan agamanya, orang Islam --seperti juga yang
menganut agama apa pun, di negara mana pun-- wajib mematuhi hukum
negara di mana ia tinggal. Wajib menjadi warganegara yang taat.
Yang jelas, salah satu penyebab hidup seseorang tidak tenteram adalah karena ia melakukan yang tidak benar; yang melanggar hukum.

44

H AR AP A N & R E A L I T A

Kekhawatiran disebabkan kesalahan pemahaman


Seperti juga hukum Kristen yang hanya berlaku untuk umat Kristen
atau yang berkaitan dengan orang Kristen, hukum Islam hanya berlaku
untuk umat Islam atau yang berkaitan dengan orang Islam. Sebab, andai
hukum Kristen diberlakukan di Perancis, larangan bercerai hanya berlaku
buat orang Kristen; dan tidak bisa dipaksakan kepada orang yang bukan
Kristen. Begitupun hukum Islam, jelas hanya boleh diberlakukan kepada
umat Islam atau yang berkaitan dengan orang Islam.
Jadi, kekhawatiran nonmuslim atas diberlakukannya syareat Islam
sama sekali tak beralasan. Sama tak beralasannya kekhawatiran seorang
Muslim jika hukum Kristen diberlakukan. Sebab masing-masing memiliki
koridor yang harus dihormati dan disepakati semua warganegara. Artinya,
hukum sebuah agama tidak bisa dan tidak boleh begitu saja diberlakukan
kepada umat agama lain tanpa ada alasan yang jelas.
Patut diketahui, hukum Islam sangat mengutamakan keadilan; tanpa
bukti dan saksi yang kuat, hakim tak bisa menjatuhkan hukuman begitu
saja. Lagi pula, Islam menilai lebih baik hakim salah menjatuhkan hukum
dengan melepaskan orang yang [sebenarnya] salah; daripada salah menjatuhkan hukum kepada orang yang [sebenarnya] tidak salah. Sebab hakim
yang sewenang-wenang, yang tidak memiliki akhlak yang mulia, akan berhadapan dengan balasan hukum Allah yang lebih dahsyat di akhirat.
Hukum antar penganut agama
Ada hadis yang mengisahkan Nabi Saw menyuruh orang Yahudi
untuk memutuskan perkara di antara mereka sesuai hukum yang ada di
dalam Taurat. Ini menunjukkan hukum agama berlaku hanya bagi penganutnya atau yang berkaitan dengan penganutnya.
Karena itu, di sebuah negara, hukum agama bisa diberlakukan antar
penganut agama secara luwes. Contohnya, jika dalam agama Majusi orang
yang mencuri hukumannya penggal kepala, maka muslim yang mencuri
barang milik orang Majusi mestilah dipenggal kepalanya. Sebaliknya jika
orang Majusi mencuri barang seorang Muslim, maka hukumannya cukup
potong tangan. Atau bisa juga penggal kepala sesuai agama Majusi.
Begitu pun jika seseorang mencuri barang milik perusahaan patungan Muslim dan Majusi, maka hukum Islam atau hukum Majusi bisa diberlakukan. Artinya, si pencuri bisa hanya dipotong tangan (sesuai hukum
Islam) atau dipenggal kepalanya (sesuai hukum Majusi).
Hanya saja pelaksanaan penghukuman dalam Islam harus dilakukan
oleh sebuah institusi atau sebuah pemerintahan, baik berupa negara atau
sebuah komunitas yang punya kedaulatan hukum di suatu daerah; atau
sebuah lembaga (semacam majelis ulama) yang diakui keberadaannya oleh
pemerintahan di tempat itu, dan disetujui mayoritas umat Islam setempat.
Pelaksanaan penghukuman dalam Islam tidak boleh dilakukan oleh
perorangan atau sekelompok kecil individu (yang tak punya otoritas hukum
di tempat itu), sebab bisa menimbulkan anarki.

45

Y A N G P E R LU D I S A D A R I

E VALUASI

KASU S

Satu hal yang sering terabaikan dalam meraih sebuah keberhasilan


duniawi, ekonomi maupun politik atau bernegara, adalah kemampuan
untuk membaca realita; kemampuan untuk menganalisa atau mengevaluasi
situasi dan kondisi lapangan secara obyektif.
Menjadi seorang manajer evaluasi, yang bisa memahami situasi dan
kondisi lapangan yang sebenarnya, jauh lebih penting ketimbang sekadar
menjadi seorang pakar. Dalam banyak kenyataan, seorang pakar sering
tidak terlepas dari perilaku subyektif dalam melihat realita. Padahal, untuk
memiliki kemampuan mengevaluasi situasi dan kondisi yang sesungguhnya, seorang pelaksana harus mau melihat dan menerima realita; bukan
hanya terkungkung teori, apalagi jika teori itu tak bisa dipraktekkan.
Negara adidaya
Pengalaman sejarah menunjukkan, bahwa sikap sok gagah yang
dimiliki sebuah negara adikuasa adalah satu hal yang wajar.
Jika sebuah negara hanya merupakan sebuah negara kecil, apalagi
termasuk negara terbelakang, negara tersebut harus tahu diri. Artinya,
negara kecil harus memaklumi sikap atau tindakan sebuah negara adidaya
tersebut. Sebab, tidak usah munafik, jika negara kecil itu pun jadi negara
adikuasa, bukan mustahil ia akan berbuat hal yang serupa.
Daripada mengomeli negara adikuasa, lebih baik berusaha agar jadi
negara adidaya pula. Kalau tak mampu jadi negara besar, salah sendiri.
Vietnam
Vietcong yang komunis berhasil mengusir Amerika Serikat yang
kapitalis. Vietnam Utara dan Selatan bersatu, melaksanakan rekonsiliasi
yang menghapus perbedaan, mengakhiri permusuhan.
Sistem pemerintahannya adalah kediktatoran kolektif, yang untungnya terdiri dari orang-orang yang bijak dan tahu diri. Walau demokrasi
hanya semu, tapi hukum berjalan dengan jujur dan adil. Yang salah dihukum tanpa pilih bulu, yang tidak berbuat kejahatan merasa terlindungi.
Dengan membuka diri terhadap masuknya modal asing, secara
bertahap ekonomi Vietnam yang komunis mulai melangkah ke arah moderenisasi. Modal asing (yang diharamkan komunisme) dibiarkan masuk,
tanpa perlu merasa malu, jika memang bisa mensejahterakan rakyat.
Secara ksatria mereka mau membaca realita, mau berkaca pada
kenyataan, bahwa sistem ekonomi komunis telah gagal. Mereka tidak
menyalahkan orang lain atau pihak asing. Mereka introspeksi.
Allah --pasti-- melihat perilaku orang Vietnam ini.
Di dunia, dan dalam masalah keduniawian, Allah memberikan balasan kepada siapa pun yang berlaku jujur dan adil. Walau dia bukan seorang
Muslim. Sebaliknya, biar dia Muslim yang senang pakai gamis dan peci
putih, jika dia tak berlaku jujur dan adil, dia akan hancur.

46

H AR AP A N & R E A L I T A

Afghanistan
Para pejuang Afghan yang muslim, berhasil mengusir Soviet yang
komunis. Namun, walau sama-sama Muslim, faksi-faksi Mujahidin tidak
bisa bersatu padu. Pemerintahan, dari orang-orang yang mengaku muslim,
jatuh bangun. Para pemimpinnya saling gebuk. Satu ciri ketidakmampuan
untuk bermusyawarah; yang artinya sama saja dengan sebuah pengakuan
bahwa syura tidak bisa dipraktekkan. Padahal jika semua golongan berlaku
jujur dan adil, mustahil muncul tindakan anarkis atau kekerasan.
Realitanya, hukum (yang islami?) yang melindungi rakyat, jauh dari
harapan. Hukum yang ada justru jadi alat penguasa untuk memaksakan
kehendak dan membungkam sikap kritis. Ekonomi (yang islami?) kacau
balau, tidak ada moderenisasi. Rakyat hidup dalam ketidak tenteraman.
Rakyat menderita. Yang disalahkan, sudah pasti, pihak asing.
Jika hukum Allah dijalankan dengan benar, artinya kejujuran dan
keadilan hukum ditegakkan, maka hukum akan berfungsi sebagai pelindung dan bukan sebagai hantu yang menakutkan. Sebaliknya jika kejujuran
dan keadilan tidak diterapkan, hukum akan tampak sebagai ancaman. Dan
itulah yang terjadi di Afghanistan pasca komunis. Penjahat memang pantas
mendapat hukuman, tapi oknum polisi atau penegak hukum yang jahat
harus mendapat hukuman yang lebih berat. Negara yang dikelola orangorang yang tidak jujur dan tidak adil, akan hancur. Negara yang dikelola
orang-orang yang mengaku muslim tapi tidak jujur dan tidak adil, akan
lebih hancur lebur. Lebih celaka dan lebih sengsara.
Allah --pasti-- melihat perilaku orang Afghanistan ini.
Di dunia, Allah memberikan balasan kepada siapa pun yang berlaku
tidak jujur dan tidak adil. Apalagi jika dia (mengaku) muslim.
Cina
Dahulu, di bawah sistem komunis ortodok, Republik Rakyat Cina
miskin dan terbelakang. Sekarang, dengan melihat realita bahwa sistem
ekonomi komunis telah gagal, tanpa perlu malu mereka berganti cara.
Para pemimpin Cina mengambil dua keuntungan, memadukan keunggulan ekonomi kapitalis yang penuh inovasi dengan disiplin kepatuhan
buruh gaya komunis. Dan berkat tegaknya hukum, didasari dengan kejujuran dan keadilan para pengelola negaranya, kemajuan ekonomi Cina dan
kesejahteraan rakyatnya, pasca Mao Tse Tung, sungguh mencengangkan.
Allah --pasti-- melihat perilaku orang Cina ini.
Di dunia, dan dalam masalah keduniawian, Allah memberikan balasan kebaikan kepada siapa pun yang menegakkan hukum dengan jujur dan
adil. Walau dia seorang atheis yang tidak percaya agama sekalipun.
Seandainya rakyat dan para pemimpin Cina yang jujur dan adil ini
muslim, barokah Allah pasti terlimpah ruahkan kepada negara ini. Sebaliknya, jika mereka kembali menanggalkan kejujuran dan keadilan, mereka
pun --pasti-- akan dikembalikan pada kehancuran.

47

Y A N G P E R LU D I S A D A R I

Palestina dan Israel


Adanya bangsa Palestina dan bangsa Israel adalah suatu realita.
Selama tak bisa disatukan dalam sebuah negara, keberadaan sebuah negara
Palestina dan sebuah negara Israel yang terpisah, jelas tidak terhindarkan.
Keinginan untuk menghapus salah satunya, hanya akan melahirkan
permusuhan yang tiada akhir. Siapa pun yang membela salah satunya, akan
jadi musuh dari yang membela yang lainnya. Dan, suka atau tidak suka,
harus siap untuk ikut memikul akibatnya!
Satu hal yang harus kita waspadai adalah akumulasi kekecewaan
yang dialami orang lain, atau negara lain, yang diakibatkan perbuatan kita.
Ibarat langkah blunder dalam permainan catur, sebuah keputusan yang
tidak bijak harus dibayar amat sangat mahal. Sikap kita yang tidak bijak,
yang meremehkan kejujuran dan keadilan, bisa menimbulkan kejengkelan
yang berujung pada kebencian orang lain kepada kita. Akumulasi dari
kebencian yang bertumpuk inilah yang memunculkan tindakan kekerasan.
Ibarat memendam bara dalam sekam, satu saat ia bisa menjadi api besar
yang bukan hanya membakar tapi menghanguskan.
Sikap berat sebelah yang memihak Israel secara berlebihan, akan
menimbulkan kejengkelan dan kekecewaan pada pihak yang membela
Palestina. Yang berlanjut pada tindak kekerasan yang tiada akhir. Sebaliknya, sikap yang tidak mau menerima realita akan keberadaan negara
Israel, mustahil pula akan melahirkan perdamaian. Padahal, jika terjadi
perang atau tindak kekerasan, yang paling merasakan penderitaan dan
kerugian adalah rakyat jelata biasa, bukan para pemimpin.
Oleh karenanya, bagi rakyat biasa, di mana saja, jangan sampai salah
mencari pemimpin. Pilihlah pemimpin yang lembut, yang bijak. Yang tidak
memaksakan suatu harapan di luar kemampuan yang ada. Jangan mencari
pemimpin yang radikal, yang mengorbankan kita rakyat biasa. Sementara
para pemimpin itu bisa menyelamatkan diri kabur ke luar negeri.
Perlu dicatat, masalah Israel dengan Palestina adalah masalah kedaulatan, dan bukan semata-mata masalah agama. Faktanya, tidak semua
orang Israel beragama Yahudi dan tidak semua orang Palestina beragama
Islam. Seharusnya, mereka bisa menyelesaikan masalahnya sendiri dengan
damai. Dan orang lain --negara lain, bangsa lain-- harus bisa menahan diri
untuk tak mudah terlibat dengan konflik orang Israel dengan Palestina.
Realitanya, saat ini, hidup damai antara Israel dan Palestina termasuk
salah satu kunci dari perdamain dunia secara global. Karenanya, jika tak
mau damai, sampai limaribu limaratus tahun ke depan pun, konflik Israel
dengan Palestina akan terus merajut musibah dan kesengsaraan.
Sesungguhnyalah, hanya orang bodoh yang memungkiri realita.
Allah --pasti-- melihat perilaku orang Israel dan Palestina ini.
Di dunia, dan dalam masalah keduniawian, Allah membiarkan musibah menimpa siapa pun yang berlaku tidak jujur dan tidak adil. Siapa pun
manusianya; apa pun agamanya.

48

H AR AP A N & R E A L I T A

Jika tak beradab, rasakan sendiri akibatnya


Di negara yang beradab, aparat negara berusaha mencegah terjadinya kesalahan yang dilakukan warganya; di negara yang tidak beradab,
aparat negara menjebak dan mencari-cari kesalahan. Di negara yang
beradab, peraturan dibuat untuk memudahkan dan mensejahterakan rakyat;
di negara yang tidak beradab, peraturan dibuat untuk mempersulit dan
mengambil keuntungan dari rakyat.
Yang jelas, tak ada barokah bagi sebuah negara yang tidak beradab;
yang mengenyampingkan kebenaran, yang melalaikan keadilan, yang tidak
menegakkan hukum secara jujur. Buktinya? Ada negara di benua Atlantis,
yang morat-marit dan acakkadut, karena semua penghuninya tidak mau
introspeksi atas kemunafikan dan kemaksiatannya. Yang mengenyampingkan akhlak mulia, yang tidak mau belajar dari pengalaman sejarah. Yang
para pengelola negaranya (baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif)
meraih jabatan dengan cara yang tidak benar, yang tidak sesuai etika yang
jujur dan adil. Yang duduknya dalam jabatan bukan karena kecerdasan
ilmunya; melainkan karena motivasi keserakahan dan isi perut.
Padahal, ciri dari pemerintahan yang beradab adalah pemerintahan
yang para pengelola negaranya meraih jabatan dengan cara yang benar,
yang sesuai aturan main yang jujur dan adil. Yang para pengelola negaranya memiliki moralitas yang benar-benar bersih. Yang duduknya dalam
jabatan tersebut benar-benar karena dan sesuai kecerdasan ilmunya.
Hakekatnya, ketika rakyat di suatu negeri menjadi rakyat yang menderita, yang salah adalah rakyatnya itu juga. Sebab mereka telah keliru
memilih para pemimpinnya. Karenanya, amat pantas jika rakyat di negara
lain menertawakan rakyat di negara serupa itu, dan mensyukuri penderitaannya. Amat pantas jika para pelaksana pemerintahan di negara tetangga,
menertawakan para pengelola pemerintahan di negara bobrok serupa itu.
Catatan:
 Kasus perkosaan tenaga kerja wanita yang muslim oleh majikannya
di negara muslim, menunjukkan bahwa perilaku bejat bisa dilakukan oleh
bangsa mana pun. Karenanya, kita tidak boleh menghukum suatu bangsa
karena perbuatan segelintir orang. Artinya, di dunia ini, tak ada satu etnis
pun boleh dianggap sebagai bangsa yang suci; sebaliknya, tak boleh menuduh etnis lain sebagai bangsa yang ditakdirkan jahat.
 Strategi komandan yang hebat bisa memenangkan pertempuran
hanya dengan bantuan perajurit yang minim dan biasa-biasa saja. Sebaliknya, perajurit yang terampil tidak ada artinya jika dipimpin komandan
yang bodoh. Dari sebab itu, dalam perkara apapun, sebuah strategi yang
jitu lebih utama untuk dipraktekkan ketimbang bersikap emosional. Mesti
diingat, harimau yang marah lebih mudah masuk perangkap.
 Yang menang belum tentu yang kuat. Dengan kata lain, jika cerdik,
yang lemah (yang sedikit) bisa saja mengalahkan yang kuat. Jadi, jika kita
terus-terusan kalah, itu dikarenakan kita sok jago tapi bodoh.

49

Y A N G P E R LU D I S A D A R I

K ETIDAKJUJURAN KAPITALIS BARA T


Ketidak jujuran demi kepentingan sendiri bukan hanya dilakukan
oleh individu perorangan. Sebuah negara, walau pemerintahannya menjunjung demokrasi sekalipun, kadang melakukan ketidakjujuran dalam
bersikap. Realitanya, kebijaksanaan luar negeri sebuah negara sering terkait demi kepentingan nasionalnya; apalagi jika negara tersebut merupakan
negara adikuasa. Ini menunjukkan, sikap munafik atau perilaku standar
ganda bisa dilakukan siapa saja, termasuk oleh negara yang mengklaim
kampiun demokrasi sekalipun.
Di abad keduapuluh dan menjelang abad keduapuluhsatu sekarang,
kepentingan Barat --khususnya kelompok negara-negara yang berakar pada
kolonialis Inggeris-- amat jelas berpengaruh pada percaturan politik dunia.
Dan suka atau tak suka, perilaku ketidakjujuran Barat tersebut jelas tampak
di setiap gejolak politik di berbagai belahan dunia.
Pengamat sejarah pasti tahu sikap Mahatma Gandhi, pejuang kemerdekaan India yang anti kekerasan. Tapi di tahun 1935, gelar tokoh perdamaian diberikan justru kepada Carl von Ossietzky, seorang wartawan
Jerman yang tidak terkenal, hanya dikarenakan Ossietzky menentang kekuasaan Nazi Jerman. Jelas sekali, itu bisa terjadi karena yang ditentang
Gandhi adalah kolonialis Inggris dan bukan Adolf Hitler. Karenanya tidak
aneh, jika hadiah nobel perdamaian (dan kesusasteraan?) hanya akan
diberikan kepada orang-orang yang dinilai tidak merugikan kapitalis Barat;
hanya akan dihadiahkan kepada orang-orang yang menentang pemerintahan atau kelompok yang dinilai membahayakan kepentingan Barat.
Realitanya, jika sudah berbicara kepentingan politik sebuah negara
adikuasa, maka berbicara menjunjung tinggi demokrasi hanyalah omong
kosong. Buktinya, saat ini, satu golongan yang memenangkan pemilihan
umum secara demokratis di sebuah negara, jika dinilai akan merugikan
kepentingan Barat, dipastikan akan digulingkan. Sebaliknya, sebuah pemerintahan yang tidak demokratis, jika dinilai menguntungkan kapitalisme
Barat, dipastikan akan didukung Amerika Serikat dan sekutunya.
Dengan jelas Barat mendukung Muslim Bosnia, tapi menilai Muslim
Moro sebagai teroris. Itu terjadi karena negara Yugoslavia yang kuat dinilai
akan merugikan Barat; sebaliknya pemerintahan di Philipina dinilai pro
Barat, walau Marcos seorang diktator. Jelas, dalam perpolitikan kapitalis di
dunia, sesungguhnya agama dan demokrasi dianggap tak ada artinya. Contohnya, muslim yang menentang pemerintah Rusia dan orang Tibet yang
menentang pemerintah Cina dipastikan akan didukung Barat. Tapi militan
Basque dan IRA, walau beragama Katolik, akan dinilai sebagai teroris.
Jadi, demokrasi (yang sesungguhnya) di sebuah negara hanya akan
tegak jika tak ada kepentingan negara lain yang mempengaruhi demokrasi
itu sendiri. Artinya, demokrasi di sebuah negara akan tegak jika para pelaku demokrasi dan orang-orang di negara itu sendiri tidak menggadaikan
dirinya untuk kepentingan negara lain. Tidak jadi budak negara lain.
50

H AR AP A N & R E A L I T A

Tak sesuai nilai-nilai ajarannya


Atribut dan perilaku itu seharusnya menjadi satu kesatuan yang tak
terpisahkan. Artinya, orang yang menonjolkan atribut ideologinya seharusnya memiliki perilaku yang sesuai dengan ajaran ideologinya. Tapi,
realitanya, banyak orang yang menyimpang dari ideologinya.
Contohnya, Muslim yang terkungkung khurafat; orang Kristen yang
bercerai; orang komunis yang membolehkan modal asing. Begitu juga, para
politikus Amerika --yang berkaok-kaok sebagai kampiun demokrasi-- yang
tidak mau menerima kemenangan sebuah partai Islam di Aljazair dalam
sebuah pemilu yang demokratis, jelas telah melanggar nilai demokrasi itu
sendiri. Atau penggulingan Presiden Alende di Chili oleh Jenderal Pinochet
yang didukung CIA, jelas menunjukkan bahwa kepentingan politik negara
adikuasa lebih diutamakan ketimbang demokrasi dan hak asasi manusia.
Faktanya, para politikus Amerika berusaha memecah-belah negara
lain menjadi negara-negara boneka yang lemah. Mereka pasti mendukung
gerakan separatis di negara lain dengan alasan hak asasi manusia, jika
kelompok separatis itu dinilai menguntungkan kaum kapitalis Barat; sebaliknya, akan dicap sebagai teroris jika dinilai merugikan kepentingan Barat.
Mereka membenarkan Abraham Lincoln yang menjaga keutuhan Amerika;
tapi akan menuduh Rusia dan Cina sebagai melanggar HAM jika Rusia dan
Cina mempertahankan keutuhan negaranya dari separatisme. Karenanya,
rakyat Amerika hendaknya sadar, kebencian kepada Amerika disebabkan
kemunafikan para politikusnya; dan bukan kepada demokrasinya.
Yang jelas, negara yang berdaulat tidak perlu takut kepada negara
yang sok adikuasa. Artinya, setiap negara berhak menjaga keutuhan teritorialnya. Kalaupun terjadi kekerasan dan pelanggaran HAM, itu resiko
yang harus ditanggung oleh siapa pun yang melakukan separatisme.
Hati-hati dengan jebakan rekayasa
Gerakan muslim di Thailand dan di Pilipina --tapi dalam porsi kecil
dan lemah-- tetap akan dipertahankan keberadaannya oleh kapitalis Barat;
sebab dengan adanya gerakan itu, kedua negara tersebut tergantung pada
bantuan kapitalis Barat. Demikian juga nasionalisme Kurdi yang lemah
tetap akan dipertahankan; tapi sebuah negara Kurdi yang berdiri sendiri
mustahil untuk didukung, sebab kelak bisa jadi duri bagi Barat.
Dari sebab itu, dalam masalah perpolitikan --yang mengabaikan
kejujuran-- amat sulit untuk bisa membedakan mana peristiwa yang
direkayasa dan yang bukan. Bukan mustahil, pihak-pihak yang tidak
menyukai Islam justru menyengaja mendorong kelompok muslim yang
bodoh untuk melakukan kekerasan dan terorisme. Sebab, selain menimbulkan citra yang buruk tentang Islam, negara yang jadi korban teroris
diharapkan akan bersimpati kepada pihak yang tidak suka Islam ini.
Karena itu, setiap Muslim --di negara manapun-- harus mematuhi
aturan hukum di negara tempat ia tinggal. Harus jadi orang baik dan membawa kebaikan; bukan jadi kriminal. Dan jangan terjebak jadi kriminal.

51

Y A N G P E R LU D I S A D A R I

J IHA D
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua
orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu hendak
memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? (Quran, Yunus [10]:99)

Ayat Allah di atas mengingatkan kita: Tidak boleh ada kebencian


seorang Muslim kepada seseorang yang tidak mau memeluk Islam. Sebab
perkara ketidakberimanan seseorang kepada Allah adalah urusan orang itu
sendiri yang akan --dan harus serta pasti-- dipertanggungjawabkannya
kepada Allah SWT. Bukan dengan kita dan bukan urusan kita.
Kita memang wajib berusaha mengajak atau menyampaikan, namun
tak dituntut untuk berhasil. Sebab seseorang harus menjadi Muslim --yang
taat, yang baik dan yang benar-- terutama karena sebenar-benarnya kesadaran orang tersebut. Bukan karena bujukan, apalagi tipuan atau paksaan.
Jihad, dalam pengertian perjuangan untuk tetap menegakkan risalah agama, adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Namun sistem atau cara
pelaksanaan tidaklah terikat, artinya bisa disesuaikan dengan situasi dan
kondisi. Hanya saja, selain kemampuan, tujuan yang jelas dan landasan
kebenaran, tidak boleh diabaikan. Jihad bukan berarti ngamuk dan ngawur.
Dalam realita, ada orang yang merasa berjuang memuliakan agama,
tapi tanpa sadar mengenyampingkan nilai-nilai luhur ajaran agama itu
sendiri. Perjuangannya lebih diwarnai dendam dan kebencian kepada orang
lain yang tidak sama pemahaman agamanya. Lebih buruk lagi, jika perjuangannya itu lebih diakibatkan karena perbedaan kultur, ras atau etnis;
lebih disebabkan karena irihati melihat kelebihan umat agama lain.
Karenanya, janganlah mengambil ayat yang berkaitan dengan jihad
hanya sepotong-sepotong. Semestinya setiap ayat dihubungkan dengan
ayat lainnya, dan terutama dengan kenyataan praktek yang dilaksanakan
Nabi Saw. Contohnya ayat yang mengharuskan membunuh orang-orang
musyrikin. Jika ayat ini diambil sepotong, berarti setiap musyrikin harus
dibunuh. Padahal maksud dibunuh di sini adalah di saat perang.
Dalam kenyataan sejarah Nabi, saat Makkah ditundukkan, tidak
terjadi pembantaian terhadap musyrikin Makkah. Seandainya perintah
bunuh itu diberlakukan begitu saja kepada semua musyrikin Makkah saat
itu, maka kita sekarang tidak akan mengenal adanya kekhalifahan Umayyah maupun Abbasiyyah. Sebab cikal bakal para pendiri kekhalifahan
tersebut, pada saat Makkah ditundukkan, masih orang-orang musyrikin.
Begitu pula banyak periwayat hadis yang sampai kepada kita, termasuk
ahli tafsirnya, kakek-nenek moyangnya pada saat itu juga masih musyrikin.
Jadi, kewajiban jihad bukanlah kewajiban membunuh manusia.
Semestinya selalu diingat, orang yang akal pikirannya waras akan
lebih tertarik untuk mengikuti orang yang membagi-bagikan roti atau keju,
ketimbang mengikuti orang yang membawa-bawa golok atau clurit.
52

H AR AP A N & R E A L I T A

Jihad bukan berarti kekerasan


Memang jihad paling utama, atau jihad kabir, adalah jihad menegakkan tuntunan Allah kepada semua manusia; tapi makna jihad bukan
semata-mata harus berperang. Realitanya, ayat-ayat jihad sudah ada dalam
Al Quran yang diturunkan di Makkah; namun, walau umat Islam pada saat
itu ditindas dan diperlakukan dengan kejam, Nabi tidak memerintahkan
untuk berperang pada saat itu. Jadi, arti jihad yang sebenarnya adalah keteguhan dalam berjuang. Dan bukan kekerasan; bukan peperangan.
Karenanya, selain harus bisa membedakan mana yang mesti diprioritaskan dan mana yang tidak, kita harus bisa meletakkan segala sesuatu itu
pada tempatnya, serta yang sesuai dengan situasi dan kondisinya. Artinya,
kita baru pantas berjihad menggunakan pedang ketika Islam hendak dihancurkan dengan pedang pula. Lagi pula, perlu diingat, kebanyakan ayat yang
memerintahkan berperang memakai kata qital dan bukan jihad.
Di zaman modern ini, saat sarana komunikasi lebih efektif (dan lebih
menghindari pertumpahan darah, dan orang-orang batil pun menggunakan
sarana ini untuk menghancurkan Islam), maka kewajiban kita pula memaksimalkan manfaat sarana komunikasi ini. Artinya, kelembutan dalam
menyampaikan syiar agama dengan fakta dan argumentasi lewat sarana
komunikasi, lebih utama ketimbang dengan kekerasan. Perjuangan menegakkan kebenaran tak perlu lagi dengan pedang dan amunisi.
Saat ini kebencian hanya pantas dimiliki oleh orang yang diperbudak
politik dan dikungkung hawa nafsu meraih ketenaran. Sudah saatnya
agama tidak lagi dijadikan alasan untuk menimbulkan kekerasan. Sudah
saatnya, fakta dan argumentasi menggantikan adu fisik dan pertumpahan
darah. Yang kalah, bukan yang mati tertusuk; tapi yang terbelenggu hawa
nafsu. Yang menang adalah yang terbuka pintu lubuk hatinya.
Memaafkan dan mengajak dengan benar
Muslim harus bisa membedakan perang yang memerangi agama
Islam, dan perang yang sekadar melibatkan orang yang beragama Islam.
Realitanya, kebanyakan konflik di beberapa negara hanyalah perang yang
melibatkan orang Islam, dan bukan memerangi agama. Kebanyakan
konflik hanyalah untuk kepentingan kelompok --golongan, etnis, atau
bangsa-- dan bukan untuk kepentingan atau kemuliaan Allah.
Muslim --saat ini dan di negara manapun-- harus mengembalikan
cara berpikirnya seperti Muslim yang dicontohkan Nabi, yang berperilaku
positif: damai, pemaaf, toleran, terbuka, jujur, dan adil. Muslim yang bisa
hidup berdampingan dengan orang lain yang berbeda keyakinan.
Muslim, selama orang lain tidak berbuat aniaya kepada kita, justru
harus mengasihani dan memaafkan ketidakberimanan orang lain itu.
Katakanlah kepada orang-orang yang beriman hendaklah mereka
memaafkan orang-orang yang tidak takut kepada hari-hari Allah,
karena Dia (Allah) akan membalas sesuatu kaum terhadap apa yang
telah mereka kerjakan. (Quran, Al Jaatsiyah [45]:14)

53

Y A N G P E R LU D I S A D A R I

H INDARI

KEKERASA N

Kita harus memperkenalkan Islam secara baik-baik. Artinya, kita


mengajak orang lain dengan cara yang benar dan lembut. Bukan dengan
menebar kecemasan yang berdampak kesalahpahaman terhadap Islam.
Pantas diingat, tatkala diturunkan ayat-ayat yang melaknat kaum
musyrikin, kebanyakan orang Makkah bukanlah muslim. Namun ketika
Makkah ditundukkan, tak ada pertumpahan darah di sana. Tak ada dendam
atau kebencian Nabi kepada orang-orang Makkah yang telah memusuhi
dan mengusir umat Islam dengan segala kekejamannya. Tidak ada pemaksaan menjadi muslim. Tidak ada laknat. Yang ada justru pengampunan.
Sikap Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang berjiwa besar ini, yang sebenarnya sunah untuk diikuti, diabaikan banyak orang yang mengaku
Muslim; yang merasa paling Islam jika bertindak radikal.
Perlu diketahui, ayat-ayat pedang (ayat saif) yang berkaitan dengan
perang, kebanyakan diturunkan saat Nabi diperangi musyrikin Arab Qurais
yang dipimpin oleh Abu Sufyan (ayah Ummu Habibah ra, salah seorang
istri Rasulullah Saw). Artinya, peperangan yang dilakukan di masa Nabi
lebih banyak berupa perang menghadapi kaum musyrikin Arab Quraisy;
dan bukan perang menghadapi orang Yahudi atau Nasrani.
Sesungguhnya nilai-nilai Islam itu penuh dengan nilai-nilai kebajikan, lembut dan penuh kasih. Dari sebab itu, kita tidak boleh membenci
orang yang membenci Islam sekalipun. Dengan kata lain, jangan membalas
kebencian dengan kebencian, jangan membalas kesalahan orang lain
dengan kesalahan pula. Sebab, selama mereka masih hidup, mereka masih
diberi kesempatan untuk menyadari kekeliruannya. Malah, siapa yang tahu,
mereka bisa saja menjadi Muslim yang lebih baik dari diri kita.
Yang jelas, orang membayar dengan apa yang dimilikinya. Orang
yang hanya memiliki kebaikan, akan membayar apapun dengan kebaikan.
Dan Muslim yang berakhlak mulia pasti memiliki banyak kebaikan.
Ada penilaian yang sesuai situasi tertentu
Di tahun 1945 amat wajar bila orang Inggris menilai orang Jerman
sebagai iblis yang harus dibasmi. Namun di tahun 1954, penilaian serupa
itu merupakan satu hal yang tak layak. Artinya, tidak semua ucapan atau
penilaian itu harus berlaku selama-lamanya. Ucapan atau penilaian kita itu,
ada juga dan ada kalanya, harus disesuaikan dengan situasi dan kondisinya.
Jelas, tidak semua penilaian buruk kepada satu etnis atau golongan
itu harus berlaku umum sepanjang masa; dan tidaklah pantas menyamaratakan semua orang di etnis tersebut sebagai orang yang buruk.
Begitu juga dengan ayat Quran; walau berlaku sampai kiamat tiba,
dalam pelaksanaannya sesuai situasi dan kondisi. Jadi, kebencian itu tak
boleh berlaku umum kepada etnisnya; tapi kebencian itu harus kepada
perilakunya yang buruk. Sebab mustahil Allah menentukan satu etnis semuanya dilahirkan sebagai orang-orang yang dipastikan durhaka.

54

H AR AP A N & R E A L I T A

Hindari kekerasan, utamakan kelembutan


Manusia sering menghindar dari pengungkapan realita, bila realita
itu tidak menyenangkan bagi golongannya; padahal bersembunyi dari
kenyataan merupakan sebuah kebodohan yang memalukan. Realitanya,
satu hal yang tidak perlu disembunyikan atau ditutup-tutupi, ada di antara
para Sahabat Nabi yang wafat dengan cara terbunuh atau dibunuh oleh
sesama muslim. Pertanyaannya, mengapa hal itu bisa terjadi di antara
orang-orang yang sepatutnya meneladani perilaku mulia Nabi Saw?
Jelas, kedekatan kepada Nabi Saw tidak menjamin manusia terhindar
dari godaan si iblis laknatullah; tidak menjamin permusuhan jadi hilang.
Hanya saja, tanpa perlu mengungkit-ungkit apa dan mengapanya, tanpa
perlu berpolemik yang menghabiskan energi yang sia-sia, tanpa perlu
mencari-cari alasan atau saling menyalahkan, semua yang telah terjadi di
antara para sahabat Nabi tersebut sudah selayaknya dijadikan pelajaran
bagi kita, bahwa kebiasaan untuk bertengkar sudah saatnya dihentikan.
Selama pemahamannya tidak keluar dari akidah Islam, biarkan setiap
muslim bertanggung jawab kepada Allah dengan keyakinannya. Sudah
saatnya kepentingan politik pribadi, atau nafsu meraih kekuasaan dan
ketenaran, tidak dikamuflase dengan mengatasnamakan agama.
Seharusnya, ketika timbul silang pendapat atau perbedaan paham,
langkah terbaik yang diambil adalah menghindari kekerasan; sebab masalah benar dan salah hanya bisa ditemukan di saat suasana tenang, ketika
pikiran tidak sedang dikendalikan dendam. Lagi pula, amat aneh memaksa
orang lain harus masuk surga dengan menimbulkan kekerasan. Semestinya
diingat, jika setiap masalah hanya bisa dituntaskan dengan kekerasan, maka
agama tidak perlu ada di dunia ini. Sebab cara atau strategi berperang bisa
dilakukan siapa saja, baik beragama maupun tidak.
Kisah tentang pasukan Nabi Sulaiman As --yang boleh membunuh
manusia, tapi tidak boleh membunuh semut-- jelas menunjukkan bahwa
kekerasan dibolehkan untuk membasmi manusia yang merugikan orang
lain; tapi tidak boleh digunakan kepada yang tidak merugikan, termasuk
kepada hewan sekalipun. Artinya, kekerasan yang dilakukan harus ada
alasan yang tidak bertentangan dengan tuntunan Allah Swt. Sebab Islam
mengajarkan manusia untuk bisa meletakkan segala sesuatu itu pada tempatnya, bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang dihadapinya.
Contohnya, Islam mengajarkan untuk menghindari kekerasan; tapi
ketika musyrikin Qurais Makah tetap saja memburu umat Islam hingga ke
Madinah, maka menghadapinya dalam sebuah peperangan menjadi suatu
kewajiban mutlak bagi seorang Muslim. Namun, amat salah jika ada yang
beranggapan bahwa umat Islam yang menginginkan peperangan, apalagi
yang memulai peperangan. Hijrahnya Rasulullah Saw ke Madinah, menunjukkan bahwa Islam senantiasa berusaha menghindari pertumpahan darah.
Semestinya diingat, mengalahkan dengan pedang bukan berarti menyelesaikan permusuhan. Hanya tuntunan yang lembut, yang benar, yang
bisa mengakhiri kebencian.

55

Y A N G P E R LU D I S A D A R I

E KSPANSI

PENGARU H

Rasa kebanggaan (merasa superior) bisa berpengaruh dan berakibat


pada munculnya ekspansi pelebaran kekuasaan.
Tak dapat disanggah, sebagai tali pengikat kebersamaan, Islam turut
dan amat berperan dalam kebangkitan bersama suku-suku Arab di abad ke
tujuh masehi; yang berdampak tumbuhnya rasa bangga atau superioritas.
Namun ekspansi kekuasaan yang kemudian terjadi, lebih merupakan satu
hal yang lumrah untuk dilakukan oleh suatu bangsa yang menemukan rasa
superioritas, ketimbang dinilai sebagai ekspansi Islam semata-mata.
Contoh rasa superioritas yang berdampak ekspansi pengaruh, yang
dilakukan berbagai bangsa, bisa ditemukan sepanjang sejarah. Seperti
Yunani, Romawi, Mongol, ataupun negara-negara kolonialis Eropah.
Dari hal di atas, kita bisa menarik pelajaran bahwa ekspansi kekuasaan pernah dilakukan oleh berbagai bangsa atau golongan di dunia ini.
Jadi, ekspansi kekuasaan setelah atau pada masa khalifah yang empat lebih
bersifat sebagai ekspansi yang disebabkan satu perasaan superior ketimbang dinilai sebagai ekspansi Islam. Sebab Islam tak pernah dan tak akan
pernah menganjurkan peperangan; kecuali, selain mencegah kemungkaran,
disebabkan pertimbangan strategi dalam melindungi diri.
Contohnya, pengusiran suku Yahudi dari Madinah (dikarenakan melakukan pengkhianatan bekerja sama dengan Quraisy Arab Mekkah) dan
peperangan semasa Nabi Saw, semata-mata karena situasi dan kondisi
darurat perang mengharuskan strateginya begitu. Satu hal yang dalam posisi serupa itu bukan mustahil juga akan dilakukan golongan lain.
Sebagai misal, kasus yang diberlakukan kepada keturunan Jepang di
Amerika Serikat pada saat Perang Dunia kedua. Keturunan Jepang itu
bukan saja diawasi gerak-geriknya, tapi juga diasingkan dengan memasukkannya ke dalam kamp penampungan khusus. Jelas, tindakan pemerintah
Amerika Serikat ini bukan disebabkan karena rasisme tapi semata-mata
antisipasi dalam melindungi keamanan negara. Bahwa cara dan pelaksanaannya berbeda, itu disebabkan karena situasinya juga berbeda.
Patut diketahui, tidak semua orang Arab beragama Islam; ada juga
yang tetap menganut agama Nasrani. Ini menunjukkan, sejak dahulu pun,
Islam menjamin kebebasan beragama. Karenanya, keberadaan gereja di
negara yang mayoritas penduduknya Muslim adalah satu hal yang lumrah.
Ini berbeda dengan negara di Eropah --di masa lalu-- yang mayoritas penduduknya Nasrani, keberadaan sebuah masjid bisa menimbulkan alergi.
Realitanya, satu hal yang tak pernah terjadi dalam sejarah agama
manapun, bangsa penjajah justru berpindah keyakinan dengan memeluk
agama yang dianut oleh rakyat yang dijajahnya. Di abad keduabelas, orang
Mongol justru memeluk Islam. Begitupun, Islam dianut di Indonesia tanpa
kehadiran satu orang pun serdadu Arab. Maknanya jelas, Islam hadir bukan
disebabkan kolonialisme.
56

H AR AP A N & R E A L I T A

Kenyataan sejarah
Semua golongan --bangsa, agama, atau politik-- tak perlu menyangkal adanya tindakan keliru atau kejam di luar batas perikemanusiaan yang
pernah dilakukan warganya. Sebab perbuatan kejam mungkin saja dilakukan seseorang ketika orang itu sudah tidak bisa mengontrol dirinya; dan
hal itu biasanya terjadi saat adanya permusuhan. Hanya saja menuding
umat lain sebagai kejam atau teroris, tapi melupakan perbuatan kejam yang
dilakukan oleh golongannya sendiri, adalah hal yang tidak jujur.
Mengontrol diri pada realitanya adalah hal yang tidak mudah dilakukan. Karenanya, jika seorang manusia tak mampu mengontrol dirinya
merupakan satu hal yang wajar. Hanya tuntunan agama yang diterapkan
dengan benar, yang memungkinkan seseorang dapat mengontrol dirinya.
Sayangnya, di agama manapun, penerapan yang sungguh-sungguh hanya
sekadar teori yang jarang atau malah tak pernah dipraktekkan.
Faktanya, dalam perjalanan panjang sejarah manusia, kita temukan
kasus-kasus di luar batas perikemanusiaan yang dilakukan baik oleh orang
yang mengaku beragama maupun tidak. Contohnya, pembantaian suku
Indian di Amerika di abad sembilanbelas, membuktikan adanya kekerasan
yang dilakukan oleh warga kulit putih yang beragama Nasrani; Kamp
konsentrasi Auswitz adalah contoh kekejaman Nazi Jerman yang beragama
Nasrani terhadap etnis Yahudi; Kebrutalan Khmer Merah di Kamboja, atau
pembuangan ke Siberia yang dilakukan rezim Stalin, adalah contoh kekejaman komunis yang atheis terhadap bangsanya sendiri.
Begitu pun, pengejaran terhadap para ilmuwan (yang dinilai menentang dogma gereja) oleh para pemuka agama Nasrani di masa lalu. Atau
penjarahan terhadap penduduk Madinah oleh pasukan Yasid bin Muawiyah, padahal hanya bertenggang waktu lima dekade sejak Nabi Saw wafat.
Atau saling ngebom di Irlandia Utara --padahal masih satu keturunan-merupakan contoh kekejaman orang-orang yang mengaku beragama.
Tuduhan tak jujur
Amat tak jujur jika seorang muslim menjatuhkan tuduhan perbuatan
kejam hanya ditujukan pada golongan lain. Realitanya, di antara kita --atau
oknum di golongan kita-- ada yang pernah berbuat kejam.
Sebaliknya, amat tidak jujur menuding Islam sebagai agama yang
disebarkan dengan pedang; sambil menutupi kenyataan yang dilakukan
Charlemagne (raja Frank di awal abad kesembilan Masehi; kerajaan yang
wilayahnya mencakup Swiss, Perancis, Belgia, dan Belanda sekarang)
yang memaksa orang Saxon memeluk agama Kristen dengan pedang.
Jadi, perbuatan kekerasan bisa dilakukan oleh siapa pun. Dan jangan
menyalahkan agama atau ajarannya.

Barang siapa berjuang untuk [tetap] menegakkan kalimat Allah


(Islam), maka ia berjuang karena Allah.
(HR. Bukhari)
57

Y A N G P E R LU D I S A D A R I

B ATASAN

TOLERANS I

Masalah toleransi dan tidak toleran, ada kalanya tidak bisa dilihat
hanya dari sudut pandang sepihak; karena sesuatu yang dianggap tidak
toleran mungkin saja ada sebab-sebabnya bagi orang yang melakukannya.
Toleransi adalah sifat seorang muslim. Artinya, setiap Muslim wajib
harus berusaha berbuat baik kepada orang lain; termasuk menghormati
nabi, agama, dan keyakinan orang lain tersebut. Tapi pelecehan terhadap
Nabi Muhammad Saw adalah di luar koridor toleransi. Siapapun yang
melakukan penghinaan terhadap Nabi Saw, harus siap menanggung akibatnya; termasuk resiko untuk dibunuh atau dihukum mati.
Begitupun memberi penghargaan kepada orang yang menghina Nabi
Saw, sama dengan memancing kemarahan semua Muslim. Siapa pun
pelakunya harus siap menanggung resiko kekerasan yang diakibatkan akumulasi kekecewaan umat Islam yang merasa dilecehkan. Mesti dicamkan,
kekerasan lahir tatkala ketidakpuasan mencapai puncaknya. Anarkisme
sering meledak dikarenakan merasa tidak diperhatikan, merasa terusmenerus disepelekan. Dengan kata lain, mustahil ada kemarahan jika tak
ada sebab-sebabnya. Karenanya, jangan memancing kemarahan.
Hal di atas merupakan peringatan yang perlu dimaklumi oleh semua
orang, muslim maupun nonmuslim. Artinya, jika tidak ingin dihantam oleh
seorang Muslim, maka ia jangan mengusik akidah seorang Muslim.
Meletakkan toleransi pada proporsinya
Islam adalah agama yang mengajarkan manusia untuk menjadi orang
yang paling toleran kepada keyakinan orang lain, tapi bukan berarti diam
jika sudah menyangkut perkara akidah. Seorang Muslim paling moderat
sekalipun --paling santun dan paling lembut sekalipun-- bisa berobah
menjadi muslim yang paling keras bila sudah menyangkut masalah akidah;
bila Islam dilecehkan, bila Nabi Saw dinistakan. Artinya, dalam masalah
akidah --bahwa Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam merupakan nabi
utusan Allah yang terakhir-- tidak boleh ada tawar-menawar.
Dalam keyakinan seorang yang benar-benar Muslim, Islam merupakan agama terakhir yang dikaruniakan Allah kepada manusia. Dari sebab
itu, setiap muslim wajib menolak kehadiran seseorang yang mengakungaku sebagai nabi atau rasul Allah.
Sebagai Muslim, kita meyakini bahwa harta maupun keluarga kita
semata-mata titipan Allah. Artinya, rumah maupun isteri kita bukan milik
kita secara mutlak. Namun itu tidak berarti orang lain boleh masuk seenaknya ke rumah kita atau boleh begitu saja membawa isteri kita.
Begitu pun dalam masalah toleransi; kita boleh memiliki prinsip
untuk bertoleransi kepada orang lain. Tapi dalam perkara akidah jelas tak
boleh ada toleransi, sebab akidah bukan barang dagangan yang bisa
ditawar-tawar. Karenanya, perkara pelecehan atau keberadaan nabi terakhir
bukanlah masalah toleransi tapi sudah menyangkut masalah akidah.

58

H AR AP A N & R E A L I T A

Resiko bagi yang mengaku nabi


Tak jarang mimpi seseorang itu berkaitan dengan obsesi, keinginan
atau cita-cita orang tersebut. Seorang yang senang mengayuh sepeda dan
terobsesi jadi pembalap, bukan mustahil mimpi jadi juara Tour de France.
Orang yang mengidolakan seorang bintang film, ada kemungkinan mimpi
bertemu dengan aktor film tersebut, atau malah mimpi jadi istrinya si aktor.
Begitu pula, orang yang sangat berkeinginan mengajak orang lain ke
arah kebajikan, tidak mustahil mimpi bertemu para nabi, atau malah sering
mimpi mendapat wahyu, dan merasa menjadi nabi itu sendiri. Karenanya,
sebuah mimpi tidak boleh diklaim sebagai suatu pembenaran, sebab sebuah
mimpi bisa saja berkaitan dengan obsesi; dan obsesi bukanlah realita.
Harap dicamkan, selain sangat jahat, si iblis jahanam terkutuk itu juga amat
pintar dalam menipu manusia. Sesuatu yang dikira ilham atau wahyu, bisa
saja berasal dari si iblis laknatullah.
Saat ini, siapapun yang mengaku-ngaku nabi utusan Allah harus siap
menghadapi resiko untuk dibunuh. Sebab, untuk menjaga kesucian agama
Allah, setiap nabi palsu harus dibasmi. Karena tak terbayangkan apa
jadinya agama Allah ini jika setiap orang mempunyai hak untuk mengakungaku sebagai rasul. Realitanya, semua orang yang mengaku nabi hanyalah
para penipu yang terobsesi; ia bukan hanya merugikan dirinya di hadapan
Allah, tapi juga merugikan orang lain yang disesatkannya.
Patut dicatat, harus dibedakan antara kebebasan beragama dengan
penodaan agama. Seorang muslim tidak akan peduli jika orang tersebut
mengaku nabi utusan dewa Ahuramazda, atau mengaku nabi dari agama
selain Islam. Seorang muslim baru akan bertindak tegas jika orang tersebut
mengaku-ngaku nabi dari agama Islam. Sebab, bagi seorang muslim, nabi
terakhir yang diutus Allah Swt adalah Muhammad Saw.
Jelas, toleransi itu penting, tapi menjaga kesucian Allah dan risalah
Nya jauh lebih penting. Sebab, jika tidak, akan banyak muslim yang tidak
tahu apa-apa bakal terjerumus ke neraka. Jadi, jika tak mau bertobat, lebih
baik membunuh seorang penipu yang mengaku nabi, ketimbang banyak
muslim dibuat tersesat. Lagi pula, berbeda dengan agama lain, Islam merupakan satu-satunya agama yang mewajibkan umatnya untuk menjaga
kemurnian akidahnya, kitab sucinya, maupun ritus ibadatnya. 11
Realitanya, tidak sedikit orang yang iri dengki kepada Islam dan tuntunannya, berusaha mendorong orang-orang bodoh untuk mengaku-ngaku
sebagai nabi utusan Allah. Karenanya, setiap muslim harus waspada terhadap skenario orang-orang yang iri dengki tersebut; waspada terhadap
orang yang ingin memecah belah umat Islam dan merusak akidahnya.
11

Seorang Muslim terlebih seorang mualaf yang baru masuk Islam dilarang
menghina nabi atau dewa agama orang lain atau agama yang dianut sebelumnya.
Sebab, dalam masalah peribadatan, untukmu agamamu untukku agamaku. Sebaliknya harus dimaklumi, siapapun yang menghina Nabi Muhammad Saw harus
siap menghadapi resiko kekerasan yang akan menimpanya.

59

Y A N G P E R LU D I S A D A R I

M ENYATUKAN JAMIAH-JAMIA H
Betapa pun dalamnya seseorang berenang dalam lautan agama, di
negara manapun dan di agama manapun, ada setetes kodrat manusiawinya
yang sulit dihilangkan; yaitu keinginan untuk dijadikan pemimpin.
Untuk memenuhi kecondongan serupa itu, maka sebuah jamiah yang
besar sebaiknya merupakan gabungan (afiliasi) dari jamiah-jamiah kecil
yang otonom. Yaitu jamiah kecil yang memiliki kebebasan mengatur
sendiri manajemennya. Yang bebas memilih ketuanya secara demokratis,
tanpa perlu restu atau intervensi dari atas. Sehingga kesempatan untuk jadi
pemimpin, walau cuma dalam lingkup yang kecil, bisa tersalurkan.
Lagi pula, dalam prakteknya, jamiah kecil lebih mudah berkomunikasi dengan lingkungannya; lebih mengetahui apa yang diperlukan dan
tidak dibutuhkan jamaahnya. Jamiah kecil lebih efektif dan efisien dalam
mengelola kegiatannya, seperti sekolah atau rumah sakit; sebab tidak
terkait dan terikat dengan birokrasi dari atas yang berbelit-belit. Begitu pun
zakat atau infaq bisa ditampung lewat jamiah kecil ini, walau pemanfaatannya bisa dilakukan bersama dalam afiliasi jamiah-jamiah.
Alangkah indahnya, jika afiliasi jamiah kecil ini bersatu lagi dalam
aliansi Muslim yang lebih besar. Dan aliansi Muslim ini kemudian bergabung lagi dalam satu-satunya Majelis Permusyawaratan Muslim di negara
tersebut; yang menjembatani kebutuhan umat dengan kepentingan negara.
Hanya orang-orang ikhlas yang berpribadi mulia, yang semata-mata
mengharap ridha Allah, yang bisa membangun Majelis Permusyawaratan
Muslim serupa itu di sebuah negara. Andai betul bisa begitu, karena melihat Islam yang demokratis, toleran, adil dan jujur, Islam bisa diterima di
negara (sekular) mana pun tanpa perlu keradikalan. Sayangnya, pada
banyak kenyataan, dalam menyamakan visi dan misi, menyatukan tujuh
tokoh agama lebih sulit ketimbang menyatukan tujuh puluh penjahat.
Jabatan merupakan sarana untuk berbuat kebajikan
Jabatan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan kepada
Allah. Jadi, satu hal yang wajar jika Muslim yang tawadhu justru berusaha
menghindar dari jabatan tersebut. Kalaupun ia terpaksa jadi pemimpin, itu
semata-mata karena ia tidak bisa mengelak dari tugas yang dipercayakan
Allah kepadanya. Karenanya, dalam bernegara atau berjamiah, muslim
yang berakhlak mulia justru akan mensuport muslim lainnya untuk menjadi
pemimpin. Dan bukannya saling sikut atau saling menjatuhkan.
Jelas, dalam Islam, pemimpin itu bukan mencalonkan diri; tapi dicalonkan, alias dipaksa oleh umat. Karenanya, seorang tokoh muslim sejati
justru akan bergembira jika tokoh lain yang terpilih jadi pemimpin.
Bagi seorang muslim, jabatan dan kekuasaan adalah sarana dan
bukan tujuan. Jabatan dan kekuasaan adalah sarana untuk berbuat kebajikan. Realitanya, muslim yang hidupnya berantakan adalah muslim yang
menjadikan jabatan dan kekuasaan hanya sebagai tujuan.

60

Anda mungkin juga menyukai