A l f a
Q r
003
Catatan-catatan kecil ini sekadar untuk bahan perenungan.
Siapa pun berhak tetap pada keyakinannya.
Pendapat dan --atau-- pemahaman dalam catatan-catatan kecil ini
tidak perlu diikuti jika tidak berkenan.
Untuk menghindari kesalahpahaman atau kesalahan pemahaman,
catatan-catatan kecil ini sebaiknya dibaca dengan tenang.
Y A N G P E R LU D I S A D A R I
Meyakini agama
Ijtihad
Menegakkan kebajikan
Menghormati perbedaan
Bisnis
Bank
Kesewenang-wenangan yang punya uang
Hal yang perlu ditelaah
Ketidakjujuran dalam menilai
Yang perlu disadari
Muslim dan lingkungan sosialnya
Sistem pemerintahan
Jabatan dan keyakinan agama
Membatasi kewenangan
Menolak demokrasi ala Barat
Demokrasi modern
Komunis, facis, dan paham radikal
Pelaksanaan yang Islami
Pelaksanaan hukum agama
Evaluasi kasus
Ketidakjujuran kapitalis Barat
Jihad
Hindari kekerasan
Ekspansi pengaruh
Batasan toleransi
Menyatukan jamiah-jamiah
03
04
08
10
12
14
16
19
22
24
26
28
30
31
32
34
38
41
43
46
50
52
54
56
58
60
H AR AP A N & R E A L I T A
M EYAKINI
AGAM A
Y A N G P E R LU D I S A D A R I
I JTIHA D
Ijtihad umumnya didefinisikan sebagai usaha keras memaksimalkan
kemampuan akal pikiran, dalam mengambil satu keputusan (dari beberapa
kemungkinan pemahaman). Ijtihad ulama bisa dimaksudkan sebagai menetapkan fatwa hukum atas suatu perkara yang kepastian hukumnya tidak
ditemukan dengan tegas di dalam Quran dan sunnah Nabi Saw.
Yang namanya buah pikir manusia, walau pakar sekalipun, tentu saja
sering membuahkan hasil pemahaman yang berbeda. Di antara pendapat
yang tidak sama, adalah adanya ulama yang berpendirian bahwa ijtihad itu
sendiri sudah tertutup; maksudnya, muslim sekarang cukup mengikuti
dengan memilih di antara pendapat yang sudah ada. Sementara ulama
lainnya berkeyakinan bahwa pintu ijtihad selalu terbuka; sebab banyak
perkara baru, sesuai perkembangan zaman, yang memerlukan penjelasan
hukumnya. Pencangkokan jantung, bayi tabung, asuransi jiwa, adalah
masalah-masalah baru yang tidak dialami ulama baheula. Padahal hukum
halal haramnya tidak dipahami oleh kita yang hanya muslim awam biasa.
Tentu saja, akan sangat utama jika fatwa tentang satu masalah datang
dari pakar yang benar-benar memahami perkara yang dihadapinya. Misalnya fatwa yang menyangkut tentang kedokteran, akan lebih baik bila datang dari pakar yang juga bergerak di bidang kedokteran. Begitu pun dalam
masalah asuransi dan bank, pakar agama yang ahli ekonomi tentunya akan
lebih memahami persoalannya sebelum berfatwa. Namun, pemahaman tiap
orang tetap saja bisa berbeda. 1 Selain karena referensi yang dipakai tidak
sama, bisa juga dikarenakan adanya hal baru yang ikut menunjang untuk
dilakukannya penafsiran lain yang baru pula. Yang jelas, penafsiran yang
mengada-ada tidaklah diperkenankan. Lagi pula sebuah penafsiran baru,
tidak boleh begitu saja mencampakkan penafsiran ulama terdahulu. 2
Begitu pula ijtihad tidak dapat menghapus ketentuan hukum syareat
yang sudah jelas dan tegas ada di dalam Quran. Seperti potong tangan
untuk pencuri; Bagian waris anak laki-laki yang dua bagian; Kebolehan
untuk berpoligami; Haramnya makan babi; Haramnya riba.
1
Dulu, ada fikih hasil ijtihad ulama yang melarang --secara mutlak haram-- foto,
gambar, nyanyian, catur, atau wanita bekerja keluar rumah. Sekarang, fikih serupa
itu dikesampingkan orang. Jadi, fikih itu harus pada tempatnya. Jangan berlebihan.
2
Mufasirin baheula ada yang mengartikan kulli syai dengan makna kebanyakannya (umumnya), sehingga ayat 49 surat Adz Dzaariyat diartikan kebanyakan
Kami ciptakan berpasang-pasangan Sekarang, ada pakar yang mengartikan
sesuai makna zahirnya segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan..
yakni diartikan semuanya berpasangan; ada betina ada jantan. Ternyata penakwilan lama lebih sesuai dengan fakta ilmu pengetahuan. Amuba contohnya, ia tak
memerlukan pasangan untuk berkembang biak, tapi cukup membelah diri. Hidra
sejenis hewan kecil di air, berbiak dengan menumbuhkan cabang di tubuhnya yang
kemudian memisahkan diri. Tetumbuhan pun ada yang seperti itu.
H AR AP A N & R E A L I T A
Ada yang menilai kisah ini diceritakan Luqman kepada anaknya untuk diambil
hikmahnya. Tapi ada juga yang menganggap sebagai kisah Luqman dan anaknya.
Y A N G P E R LU D I S A D A R I
H AR AP A N & R E A L I T A
Y A N G P E R LU D I S A D A R I
M ENEGAKKAN K EBAJIKA N
Hukum Islam memang tegas, tapi sebenarnya juga luwes. Tegas
artinya tidak pilih bulu, luwes artinya tidak asal menghukum. Maknanya,
ada pertimbangan-pertimbangan tertentu yang adil dan bijak sebelum sebuah hukum dijatuhkan.
Nabi Saw pernah menekankan, sekiranya putri beliau (Fatimah ra)
mencuri, maka beliau tidak akan segan-segan untuk memotong tangan
putrinya itu. Namun terhadap orang lain yang mencuri, dalam suasana
perang, Nabi pernah melarang dijatuhkannya hukum potong tangan;
dengan tidak bermaksud menghapus hukumnya secara umum.
Ini menunjukkan pelaksanaan hukum dalam Islam, selama tidak
menyimpang dari tujuan utama syareat yaitu mencari ridha Allah sematamata, bisa disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Hanya saja keringanan
hukum itu sama sekali tidak dibolehkan karena pertimbangan nepotisme
atau pertalian kekerabatan. Artinya, hukum itu tetap harus tegas dilaksanakan tanpa pilih bulu. Pertimbangan keringanan semata-mata karena situasi
dan kondisi yang melatar belakangi terjadinya kejahatan tersebut.
Contohnya, jika muslim yang miskin mencuri karena terdesak oleh
kebutuhan keluarga, maka yang sebenarnya lebih pantas disalahkan adalah
lingkungannya; terutama para tokoh agama dan orang kaya di komunitas
tersebut yang tidak peka terhadap masalah kemiskinan. Jadi amat wajar
jika si pencuri tersebut diberi keringanan hukuman. Lain halnya jika di kemudian hari ia mencuri lagi, memotong kedua belah tangannya pun sudah
sepantasnya dilaksanakan.
Realitanya, khalifah Umar bin Khaththab ra pernah mengasingkan
seorang peminum khamar sebagai hukuman; namun ketika kemudian orang
tersebut pindah menganut agama lain, Umar tidak lagi mengasingkan peminum khamar sebagai hukuman. Di sini jelas, setiap pelaksanaan hukum
dalam Islam hendaknya tidak mengabaikan manfaat dan mudharat yang
akan terjadi dari dampak hukuman itu sendiri. Selain menjunjung tinggi
kebenaran, keadilan dan kejujuran, hukum Islam tak terlepas dari mengutamakan kemaslahatan dan menghindari kemudharatan bagi orang banyak.
Karenanya, dalam pelaksanaan hukum yang berkaitan dengan kasus
kejahatan antar manusia, dibolehkan adanya pertimbangan kemaslahatan
oleh seorang hakim yang betul-betul bijak. Namun dalam masalah ritus
ibadat tak boleh ada perobahan, melainkan harus ada contohnya dari Nabi.
Yang pasti, dalam Islam, jatuhnya sebuah keputusan hakim harus
berpihak pada kebenaran yang diridhai Allah. Harus mengutamakan kejujuran yang selaras dengan rasa keadilan; bukan sekadar harus sesuai
dengan undang-undang atau hukum yang tertulis. Sebab, hakim --termasuk
juga para jaksa dan pengacara-- yang melahirkan jatuhnya hukuman yang
tidak berpihak kepada kebenaran yang diridhai Allah, akan berhadapan
dengan balasan hukum Allah yang lebih dahsyat di akhirat.
8
H AR AP A N & R E A L I T A
Y A N G P E R LU D I S A D A R I
M ENGHORMATI
PERBEDAA N
Ada orang yang berpaham bahwa bersentuhan dengan orang lain itu
membatalkan wudhu.
Seorang Muslim yang toleran akan menyikapi hal itu justru dengan
rasa hormat kepada orang tersebut, karena orang itu berpegang kepada nash
Quran surat Al-Maaidah sesuai bunyi zahirnya ayat yang membatalkan
wudhu. Sementara sebagian Muslim lainnya menganggap menyentuh
(lams) sebagai hubungan intim (bersetubuh, jima) suami dengan istrinya.
Sikap hormat kita seharusnya juga berlaku untuk masalah-masalah
lainnya, selama perkara itu tetap berpegang kepada dalil dari Quran atau
sunnah. Walau, dikarenakan perbedaan interpretasi serta kemampuan penalaran tiap orang berlainan, penerjemahan ke dalam pemahamannya menjadi
tidak sama. Dari sebab itu, kita harus memaklumi orang yang berpegang
pada kejelasan zahir kalimat dalam ayat 31 surat An-Nuur, yang memahami ayat tersebut sebagai perintah kepada perempuan untuk menutup
dada. Mereka mengaitkan sebab turunnya ayat ini dengan masalah perhiasan, terutama menyangkut gelang di kaki yang dihukumkan sebagai
makruh yang amat sangat; dan bukan masalah rambut.
Mereka tidak melihat adanya perintah yang tegas (to the point)
dalam Quran yang memerintahkan menutup rambut hingga tidak kelihatan
sama sekali, walau hanya satu baris kalimat pun. Suatu hal yang berbeda
dengan larangan minum khamr atau berjudi, atau perintah salat dan saum,
yang selain jelas dan tegas tapi juga diulang-ulang. Padahal mustahil Allah
Subhanahu wa Taala lupa mengharamkan suatu perkara secara tegas dan
jelas, sementara dalam mengharamkan perkara lainnya diulang-ulang.
Lagipula ada hadis yang melarang wanita muslim memakai rambut
tambahan. Logikanya, tak perlu ada hadis semacam itu jika memang tidak
ada wanita yang memakai sanggul. Dan logikanya pula, tak ada gunanya
wanita memakai sanggul jika rambut tak boleh kelihatan. Jelas, keberadaan
hadis itu menunjukkan adanya wanita muslim yang kelihatan rambutnya.
Larangan memakai rambut palsu itu makruh yang amat sangat.
Memang ada hadis yang meriwayatkan Nabi Saw menunjuk muka
dan tangan saat ditanya tentang bagian tubuh wanita yang boleh kelihatan.
Namun, kalau kata menyentuh boleh ditafsirkan sebagai hubungan badan
suami dengan istrinya, apa menunjuk wajah tidak boleh dimaksudkan sebagai menunjuk kepala; dan menunjuk tangan diartikan sebagai anggota
badan selain tubuh? Bukankah yang mengatakan menunjuk wajah itu perawi hadis; bagaimana jika si perawi hadis mengatakan menunjuk hidung?
Apa hanya hidung saja yang boleh kelihatan? Padahal untuk menunjukkan
kepala, seseorang bisa saja menunjuk ke arah mata atau hidung.
Yang jelas, memakai jilbab seperti yang biasa dipakai wanita Islam,
karena lebih menjaga kehormatan seorang Muslimah, lebih utama untuk
dilaksanakan.
10
H AR AP A N & R E A L I T A
11
Y A N G P E R LU D I S A D A R I
B ISNI S
Sistem bagi hasil adalah sistem yang idealis. Sistem ini akan berjalan mulus sesuai teori, hanya jika si pemberi modal dan yang diberi
modal adalah muslim yang benar-benar ikhlas. Masalahnya, mencari
orang-orang yang ikhlas dalam perkara yang menyangkut bisnis duniawi di
masa sekarang adalah sulit, baik si pemberi maupun yang diberi modal.
Dalam banyak realita, hampir tidak ada --atau memang tidak ada-- si
pemberi modal yang ikhlas bila usaha itu bangkrut dan modalnya tidak
kembali atau menjadi berkurang; kecil sekali kemungkinannya kalau orang
ini tidak menggerutu. Begitu juga, hampir tidak ada --atau memang tidak
ada-- orang yang diberi modal, yang merasa sudah bekerja keras setengah
mati, ikhlas memberikan setengah dari keuntungannya kepada si pemberi
modal yang biasanya ongkang-ongkang menunggu keuntungan.
Sesuai kodratnya sebagai manusia, orang yang diberi modal akan
memilih untuk memberi keuntungan yang lebih sedikit kepada si pemberi
modal. Dalam hal ini wajar orang tersebut cenderung meminjam kepada
bank, dengan persentase bunga yang lebih kecil, daripada harus membagi
separuh keuntungan dengan cara bagi hasil.
Dalam kenyataan praktek, sering dijumpai dua orang yang bekerja
sama dalam suatu perusahaan berakhir dengan perpecahan, terkadang
malah dengan permusuhan. Lantas, apakah sistem bagi hasil ini suatu hal
yang salah? Jelas tidak. Bagi hasil adalah sistem terbaik selama orangorang yang terlibat di dalamnya adalah muslim-muslim yang ikhlas, yang
lebih mengutamakan pahala akhirat ketimbang keuntungan duniawi.
Hakekatnya, selama disandarkan kepada keridhaan Allah sematamata --ada keuntungan pada kedua pihak, dilaksanakan dengan kejujuran,
ditegakkan di atas keadilan hukum-- semua usaha bisnis termasuk asuransi
adalah boleh. Realitanya, kebanyakan orang mau berbisnis bagi hasil bila
ada kemungkinan keuntungan pada usaha itu, dan bukan karena ikhlas
demi Allah semata-mata. Ini, bagi kebanyakan manusia, kodrat yang wajar.
Contoh kasus: Si A, orang soleh yang merasa beragamanya hebat,
menawarkan bisnis bagi hasil kepada si B yang prospek bisnisnya bagus. Si
B secara halus menolak dan menganjurkan kepada si A untuk menawarkan
bisnis bagi hasilnya kepada si C yang lebih memerlukan modal. Si A ternyata tidak bersedia berbisnis bagi hasil dengan si C, sebab walau si C
orangnya jujur, prospek bisnisnya dinilai tidak menguntungkan!
Kalau sudah begitu, apa betul tawaran bisnis bagi hasilnya itu ikhlas
karena Allah? Maaf, kalau ada yang menilai perilaku Muslim seperti ini
sebagai munafik, maka akan terlalu banyak Muslim hipokrit saat ini.
Barangkali, termasuk diri kita sendiri.
Jadi, yang penting bukan hanya bicara dan berteori. Sebab setiap
orang bisa berteori masalah bisnis bagi hasil, bisa bicara masalah kejujuran
dan berbuat baik, tapi tidak ada artinya jika tidak dipraktekkan.
12
H AR AP A N & R E A L I T A
13
Y A N G P E R LU D I S A D A R I
B AN K
Bank adalah institusi keuangan yang bersifat duniawi. Bank memerlukan pengelola yang mustahil tidak digaji. Bank wajar mencari keuntungan, seperti juga wajar memberi keuntungan bagi penyimpan uang di
bank. Sebab mencari orang yang ikhlas untuk menyimpan uang di bank
begitu saja, di zaman sekarang adalah sulit. Saat ini, selain memudahkan
orang yang membutuhkan modal, bank berfungsi memudahkan transaksi
bisnis internasional. Bank tidak sekadar alat simpan pinjam.
Dalam prakteknya, karena harus mengembalikan pinjaman, orang
yang diberi modal oleh bank --kecuali yang niatnya memang tidak baik-terpacu untuk berusaha dengan sungguh-sungguh. Dampak positifnya, ia
akan mengembangkan kreativitas demi kemajuan usahanya. Realitanya,
usahawan Muslim yang maju tak terlepas dari bekerja sama dengan bank.
Kalaupun ada yang tidak pernah berhubungan dengan bank, itu adalah
pengecualian yang jumlahnya kecil. Jika usahanya bangkrut, bank wajar
menuntut kembali pinjaman yang pernah diberikan. Jelas, di sini seorang
Muslim diuji dalam menegakkan akhlak Islami; artinya, sudah selayaknya
seorang Muslim membayar hutangnya di dunia.
Anehnya, ada orang yang mengharamkan bank, tapi menggunakan
jasa bank dalam mengirimkan uangnya ke luar negeri. Seharusnya, jika
konsekwen, ia mengantarkan sendiri uang itu. Atau mungkin tidak tahu,
bahwa memberi keuntungan kepada perusahaan yang dianggap haram
merupakan sikap yang munafik. Sama anehnya dengan orang yang melarang bekerja sama dengan nonmuslim; tapi pakai arloji, kaca mata, tivi,
dan komputernya --malah sajadahnya-- bikinan kafir. Padahal, hakekatnya,
dengan menggunakan barang buatan kafir itu sama dengan memberi keuntungan, secara tak langsung, kepada kafir itu sendiri.
Tentu saja masalah ini tidak usah diperdebatkan atau diperpanjang,
sebab yang namanya alasan selalu bisa dicari-cari. Kodrat manusia biasa,
yang umumnya mau menang sendiri, memang begitu. Yang jelas, untuk
zaman ini, mustahil ada kedinamisan bisnis tanpa adanya bank. Sama
mustahilnya jika ada lembaga penyedia sumber modal yang pengelolanya
tidak digaji. Dan mustahil pengelolanya atau pegawainya digaji, jika lembaga itu tidak punya sumber keuntungan.
Memang, mungkin saja mendirikan lembaga penyedia sumber modal
yang dikelola yayasan keagamaan. Hanya saja, jangan sekadar teori di atas
kertas. Sebab orang lain, di belakang kita (agar kita tak tersinggung), akan
menertawakan kita. Terlebih jika lembaga itu hanya sekadar ganti nama.
Jika dalam prakteknya tetap mengambil keuntungan, maka keberadaannya
tidak berguna. Apalagi jika bunga yang ditariknya malah lebih besar.
Yang pasti, sistem bunga-berbunga yang mencekik merupakan riba
yang haram; dan dipastikan membawa musibah dan kehancuran bagi
semua pelakunya. Sistem bunga-berbunga membuat yang diberi pinjaman
terlilit kesulitan; dan yang memberi pinjaman menjadi tidak berkah.
14
H AR AP A N & R E A L I T A
15
Y A N G P E R LU D I S A D A R I
K E S EW E NA N G- W EN AN G AN YA N G PU NY A UA N G
Si Jahil menjual barang kepada si A secara kredit dua kali bayar.
Dengan cicilan sebesar 1500 rupiah perbulan, maka total harga barang tersebut adalah 3000 rupiah. Si A kemudian langsung menjual lagi barang
tersebut kepada isteri si Jahil, secara kontan, dengan harga 2000 rupiah.
Kalau diperhatikan selintas, perkara jual beli di atas merupakan hal
yang wajar. Sebab bolak-balik membuka dalil agama, tidak akan ditemukan pengharaman transaksi jual beli ini. Begitu pun tidak akan ditemukan
pengharamannya, jika istri si Jahil kemudian memberikan lagi barang itu
kepada suaminya; untuk nanti dikreditkan kembali kepada orang lainnya.
Dalam kasus di atas, pada hakekatnya si Jahil menjadikan dirinya
sebagai makhluk yang tak tahu berterimakasih kepada Allah Swt. Jasmani
dan akalnya yang sehat tidak digunakan untuk hal-hal yang diridhaiNya.
Keunggulannya berpikir justru dimanfaatkan untuk mencurangi sesamanya.
Pada puncaknya malah untuk mengelabui Tuhannya. Si Jahil berusaha
menghindar dari hukum riba yang diharamkan Allah. Ia mengabaikan
akhlak Islami: Kebenaran, keadilan dan kejujuran.
Bila dikaji dengan cermat, pada kasus tersebut si Jahil hakekatnya
memberi pinjaman, melalui istrinya, kepada si A sebesar 2000 rupiah. Dan
menerima pendapatan sebesar 3000 rupiah. Jadi memperoleh keuntungan
sebesar 1000 rupiah, atau limapuluh persen sebagai bunga pinjaman.
Hikmah dari kasus di atas: Kebenaran, keadilan dan kejujuran, lebih
utama dari bentuk aturan hukum yang zahir. Sebab zahir suatu peraturan
hukum bisa saja berpihak pada orang yang sesungguhnya salah. Sementara
keadilan dan kejujuran sudah pasti, karena sudah semestinya, berpihak
kepada yang betul-betul benar. Karenanya, aturan hukum fikih --yang
hakekatnya, dalam hal ini, disahkan dan ditentukan oleh ijtihad manusia-boleh dikesampingkan jika bertentangan dengan keadilan dan kejujuran
dalam pandangan agama (pada hakekat syareat yang sesungguhnya).
Hukum dari kredit gaya si Jahil di atas, secara zahir hukum fikih
memang halal; tapi secara hakekat syareat adalah haram. Masalahnya sekarang, apa yang disebut riba itu yang sebenarnya? Apa yang disebut riba
itu sekadar bentuk zahir, yaitu membungakan uang yang dipinjamkan. Atau
yang dimaksud dengan riba itu dari sifatnya, yaitu kesewenang-wenangan
pemilik uang --terlepas bagaimana pun caranya-- terhadap orang yang
membutuhkan uang?
Bagi Muslim yang ikhlas, tanpa perlu berdebat panjang lebar dengan
argumentasi dalil, akan menemukan jawaban yang tidak berbelit-belit:
Tujuan pengharaman riba yang sebenarnya jelas untuk menghindarkan
kesewenang-wenangan para pemilik uang, yang mengambil kesempatan
mengeruk keuntungan di atas penderitaan orang lain.
Yang pasti, karena sifatnya yang saling memakan, siapapun yang
mendewakan kapitalisme ia akan dilahap kapitalisme orang (negara) lain.
16
H AR AP A N & R E A L I T A
17
Y A N G P E R LU D I S A D A R I
18
H AR AP A N & R E A L I T A
H AL
Diakui atau tidak --tapi biasanya kita lebih sering untuk tidak mau
mengakui-- terkadang kita cenderung emosional (cepat marah, mudah
tersinggung) bila ada orang yang mengeritik membuka kekurangan kita.
Satu kebiasaan yang sebenarnya borok yang sudah menahun. Biasanya,
sebelum memahami lebih dalam kritikan orang itu, kita langsung menggebrak meja; dan bukannya introspeksi. Menganggap orang lain buta dan
tuli, sementara kita sendiri menutup mata pada kenyataan.
Sesungguhnya ada perkara-perkara fikih, yang tentu saja berkaitan
dengan syareat agama, yang pantas dan perlu adanya penelaahan dengan
hati yang tenang. Terlebih dalam perkara-perkara yang dalam kenyataannya menyebabkan umat Islam tertinggal jauh, baik di bidang teknologi
maupun dalam kesejahteraan ekonominya. Malah dalam hal-hal yang tampak sepele sekalipun; seperti olahraga dan efisiensi birokrasi.
Selama puluhan tahun terakhir ini, tidak sedikit Muslim yang berjuang mengharap tegaknya syareat Islam dengan paripurna. Tapi jangankan
merambah keluar dari negerinya, semangat ini di negerinya sendiri, baik di
Arab maupun bukan, sulit berhasil untuk ditegakkan. Penyebabnya adalah
strategi yang dikedepankan, kalau tidak bisa dibilang menakutkan, tidak
menarik bagi kebanyakan orang untuk mendukungnya. Padahal, realitanya,
tidak ada satu perjuangan pun yang berhasil tanpa partisipasi yang tulus
dari orang banyak. Memang komitmen mereka terhadap Islam tidak disangsikan, tapi mereka tidak mampu beradaptasi dengan realita; tidak bisa
menyesuaikan diri dengan perobahan situasi dan kondisi.
Secara langsung atau tidak, kemunafikan, kejumudan dan perselisihan di antara tokoh-tokoh muslim turut menimbulkan akibat negatip,
berupa lahirnya sosok-sosok sekular diktatoris di negara yang justru penduduknya mayoritas muslim. Seperti juga munculnya diktator militeris,
lebih disebabkan kebobrokan moral dan mental para politisi sipil; yang
berlanjut pada ketidakmampuan menegakkan demokrasi.
Realitanya, melahirkan tokoh muslim yang berakhlak mulia sekaligus memiliki kepemimpinan yang hebat, dan bukan hanya piawai dalam
berpidato dan berwacana, amatlah sulit. Faktanya, tidak sedikit negara
berpenduduk mayoritas muslim merupakan negara miskin dengan sistem
pemerintahan yang menjurus ke arah firaunisme, yang menjadikan musyawarah sekadar gambar tempel. Biasanya, kalau bukan hasil perebutan
kekuasaan dengan makar atau kekerasan, para firaun ini berkuasa melalui
pemilihan umum yang curang atau cara yang direkayasa. Dan seperti di
negara komunis atau facis, kalau tidak mati sekarat karena penyakit, para
thogut ini pun mengakhiri kekuasaannya dengan buruk pula: digulingkan.
Kalaupun ada negara berpenduduk mayoritas muslim yang kaya,
biasanya karena memiliki sumber alam yang berlimpah --yang kalau
dikelola orang lain, bukan mustahil menghasilkan yang lebih banyak dan
lebih bermanfaat-- dan bukan karena kehebatan sistem ekonominya.
19
Y A N G P E R LU D I S A D A R I
Mustahil muncul gerakan makar Vladimir Lenin di Rusia atau Kemal Ataturk
di Turki bila pemerintahan di kedua negara tersebut tidak bermasalah.
20
H AR AP A N & R E A L I T A
21
Y A N G P E R LU D I S A D A R I
K ETIDAK
Salahsatu di antara kelemahan manusia yang paling menonjol adalah kebiasaannya berpikiran negatip, termasuk ketidakjujurannya dalam
menilai suatu perkara. Sikap dan pandangannya terhadap satu persoalan
sering tidak luput dari sikap memihak kepada suatu kepentingan yang
menguntungkan dirinya. Artinya, untuk dua persoalan yang mempunyai
bobot dan kriteria yang sama, ia akan memberikan pendapat yang berbeda.
Contoh perilaku ketidakjujuran seperti itu bisa dilihat dari kasus kehidupan duniawi sehari-hari. Seorang Indonesia, yang tinggal di Indonesia,
sangat gembira bahwa warganegara Suriname asal Indonesia tidak melupakan budaya Indonesianya; tapi ia keberatan jika warganegara Indonesia
asal Cina melestarikan adat budaya Cinanya.
Padahal kalau kita berharap orang Cina yang tinggal di Indonesia
untuk melupakan budaya Cinanya, maka kita pun seharusnya menganjurkan orang asal Indonesia yang tinggal di negara lain untuk melupakan
budaya Indonesianya. Dengan kata lain, kalau kita berharap orang Indonesia yang tinggal di negara lain untuk tetap memelihara budaya Indonesianya, maka kita pun seharusnya membiarkan warga negara Indonesia
keturunan asing untuk tetap memelihara tradisinya.
Yang jelas, dalam Islam, manusia dinilai karena ketakwaannya --satu
ungkapan yang lebih sering diucapkan ketimbang dihayati, apalagi dilaksanakan-- dan bukan karena ia asal Sunda, asal Cina, ataupun asal Aceh.
Muka bumi ini kepunyaan Allah, siapa pun berhak mendiaminya selama ia
juga mau merawatnya. Artinya, orang Indonesia berhak tinggal di Australia, seperti juga orang Australia berhak tinggal di Indonesia.
Hendaknya diingat, sikap rasis atau melakukan diskriminasi berdasar
etnis atau ras, amat sangat dicela dalam Islam.
Dari mana pun asalnya dan apapun agamanya, tiap orang punya
hak tinggal di suatu daerah atau negeri, selama ia mematuhi hukum dan
aturan di tempat itu; serta menghormati adat istiadat orang-orang yang
sudah terlebih dahulu ada di sana. Artinya, setiap pendatang seharusnya
bisa menitipkan diri dan tahu diri. Jadi wajar saja, jika pendatang ditolak
atau diusir oleh penduduk setempat, jika ia tidak tahu diri.
Realitanya, perilaku ketidakjujuran juga tampak pada sikap kita dalam masalah Bosnia, Palestina, Afghanistan dan Kurdistan.
Kita mendukung Bosnia untuk melepaskan diri dari Serbia. Kita pun
mendukung Palestina untuk lepas dari penindasan Israel; padahal tidak
semua orang Palestina adalah muslim (misalnya tokoh Palestina bergaris
keras, George Habbash, selain nonmuslim ia pun seorang marxis).
Kita pun turut berteriak tatkala Mujahidin Afghanistan menghadapi
orang-orangnya Babrak Karmal atau Najibullah dukungan Soviet. Tapi
ketika Soviet ditendang keluar Afghanistan, kita diam saja melihat Mujahidin saling berebut kekuasaan dan saling bunuh di antara sesama mereka.
22
H AR AP A N & R E A L I T A
Saladin, Sultan Islam yang sangat dihormati keksatriaannya oleh orang Kristen.
Sikap Saladin terhadap musuh yang ditawannya, merupakan cerminan sikap Islami
yang sesungguhnya; bijak dan tak sewenang-wenang.
23
Y A N G P E R LU D I S A D A R I
Y ANG
PERLU DISADAR I
24
H AR AP A N & R E A L I T A
25
Y A N G P E R LU D I S A D A R I
26
H AR AP A N & R E A L I T A
27
Y A N G P E R LU D I S A D A R I
S ISTEM
PEMERINTAHA N
H AR AP A N & R E A L I T A
29
Y A N G P E R LU D I S A D A R I
30
H AR AP A N & R E A L I T A
M EMBATASI KEWENANGA N
Di negara mana pun, yang diinginkan setiap warga negara yang
normal adalah rasa aman dan damai, baik lahir maupun batin. Bebas dari
rasa takut untuk mengemukakan pendapat, sama seperti jauhnya dari rasa
takut dirampok penjahat atau diperas pejabat; terlindungi oleh hukum, baik
ketika di perjalanan maupun ketika berjualan. Tak satu pun warganegara
biasa yang waras pikirannya menginginkan peperangan atau anarkisme.
Yang diharapkan adalah sebuah negara yang bisa memberi kesejahteraan
dengan langgeng. Sebuah negara yang makmur dan damai; bukan negara
yang kocar-kacir, kacau dan miskin.
Untuk mewujudkan harapan memiliki negara yang makmur sejahtera
tersebut, jelas diperlukan pemerintahan yang berjalan baik. Pemerintahan
yang selain hukumnya baik, juga dipimpin oleh orang yang bijak. Orang
yang suka memperpanjang masalah remeh-temeh bisa jadi melontarkan
pertanyaan: Bagaimana kalau orang bijak itu dungu. Apa pantas diangkat
jadi pemimpin pemerintahan? Jawaban untuk orang-orang seperti ini
mestinya: Apa orang yang memilih pemimpin pemerintahan itu orangorang pandir, sehingga orang bodoh diangkat?
Ciri dari negeri-negeri yang kebanyakan tokoh-tokohnya suka memperpanjang masalah tetek-bengek, dan bukannya memecahkan masalah
penting, adalah negeri yang amburadul. Negeri yang anggota parlemennya
piawai bikin aturan, yang pintar merancang dan menghias undang-undang,
tapi manfaat dalam praktek nol besar. Negeri yang para wakil rakyatnya
pandai merangkai kalimat yang menakjubkan di kolom-kolom surat kabar,
yang lihai dalam berargumentasi, tapi perilakunya amoral dan korup. Yang
para politikusnya suka membesar-besarkan masalah remeh-temeh, tapi tak
becus mengurus perkara yang benar-benar sangat mendesak.
Jelas, orang yang akan diangkat jadi kepala pemerintahan mestinya
tahu soal pemerintahan, walau minim sekalipun. Agar pemerintahannya
berjalan baik, orang bijak bisa mengambil orang lain yang ahli untuk membantunya. Sebaliknya, seorang pemimpin yang sekadar jago berpidato dan
berpolitik, bisa saja menggunakan keahliannya tersebut untuk kepentingannya, dan bukan untuk kebaikan rakyatnya. Jelas, pemerintahan yang baik
biasanya dipimpin oleh orang yang bijak. Masalahnya, bagaimana kita
yakin ia akan tetap bijak? Padahal sifat baik-buruk itu relatif, sebab tak ada
jaminan orang baik akan tetap baik.
Jika lubang kuncinya jelas, anak kuncinya juga jelas. Agar seseorang
tetap bijak dalam memimpin pemerintahan, ia harus dibatasi kewenangannya oleh undang-undang yang dibuat parlemen. Undang-undang yang tidak
bisa dihapus oleh kepala pemerintahan maupun kepala negara.
Harap dicatat, sebuah parlemen yang diisi wakil-wakil rakyat yang
jujur dan adil, juga ramah dan murah hati, lebih berharga daripada sebuah
parlemen yang dipenuhi intrik dan basa-basi protokoler yang kaku; yang
dihuni badut-badut yang egois, yang serakah dan tidak jujur.
31
Y A N G P E R LU D I S A D A R I
M ENOLAK DEMOKRASI
ALA BARA T
H AR AP A N & R E A L I T A
Khalifah yang teramat soleh selain khalifah yang empat: Abu Bakar bin Abi
Quhafah, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib
Radhiyallahu Anhum.
33
Y A N G P E R LU D I S A D A R I
D EMOKRASI
MODER N
Ada yang menolak tatkala diberi ascorbic acid, tapi mau menerima
vitamin C. Itu terjadi karena orang tersebut tidak tahu bahwa kedua obat itu
sebenarnya sama. Seperti juga phenobarbital yang adalah nama lain
luminal; atau nama lain aneurin dan thiamin untuk vitamin B1. Begitu pun
amidozon dan pyramidon sebenarnya adalah obat yang sama. Sementara
paracetamol atau acetaminophen adalah nama generik untuk obat bermerek Biogesic. Tapi paracetamol beda dan bukan phenacetin, walau
kedua-duanya biasa dipakai untuk penghilang rasa sakit.
Tergantung pabriknya, walau kegunaannya untuk penyakit yang
sama, bahan dan bentuk serta merek obat memang kadang berbeda. Begitu
pun dengan obat untuk penyakit sistem pemerintahan, yaitu demokrasi.
Yang salah satunya merupakan produk unggulan: Demokrasi Modern.
Demokrasi Modern, istilah yang mengerikan untuk yang wawasannya kering, dan haram bagi pemimpin yang lagi mabuk kekuasaan,
hakekatnya merupakan refleksi dari keinginan rakyat yang mendambakan
kebebasan berpendapat yang lebih baik. Sistem demokrasi modern ini lebih
sering disebut sebagai demokrasi ala Barat, kata generik untuk demokrasi
kapitalis atau demokrasi liberal. Kenyataannya, demokrasi serupa ini hanya
mungkin dipraktekkan, selain oleh masyarakat yang taraf pendidikannya
merata, hanya oleh masyarakat yang moralitasnya bersih.
Kebebasan bermusyawarah
Ciri utama demokrasi modern adalah orang lain memberi kebebasan
berpendapat kepada kita, yang juga memberikan kebebasan berpendapat
kepada orang lain. Kita toleran kepada orang lain, yang juga toleran kepada
kita. Artinya, setiap orang berhak memperoleh (hak) kemerdekaan yang
seluas-luasnya, sepanjang kebebasan yang dimilikinya tidak melanggar
hukum, tidak mengganggu atau merugikan (hak) kebebasan orang lain.
Sistem demokrasi modern --seperti juga sistem jenjang pendidikan,
sistem ekonomi, sistem teknologi, ataupun strategi perang-- bukanlah
produk suatu agama. Tapi hasil dari pengembangan bertahap satu sistem
sosialisasi masyarakat, yang beradaptasi secara alamiah dengan kepentingan dan situasi kondisi sosial lingkungannya.
Biasanya, demokrasi modern tidak terkait dengan suatu agama. Oleh
sebab itu, tuntutan agar kepala pemerintahan memiliki moral yang baik,
tidaklah mempunyai tolok ukur yang pasti. Karenanya, salah satu cara
untuk mencegah kebobrokan pemerintah, adalah penerapan pembatasan
wewenang dan masa jabatan yang diatur undang-undang.
Yang pasti, sistem demokrasi modern hanya sekadar mengajarkan
bahwa sebuah pemerintahan semestinya dijalankan dengan kebebasan
bermusyawarah; dan bukan menentukan tata-tertibnya bermusyawarah.
Sebab situasi dan kondisi yang berbeda di setiap negara memungkinkan
adanya modifikasi cara musyawarahnya maupun sistem birokrasinya.
34
H AR AP A N & R E A L I T A
35
Y A N G P E R LU D I S A D A R I
36
H AR AP A N & R E A L I T A
37
Y A N G P E R LU D I S A D A R I
K OMUNIS, FACIS,
Semuanya setali tiga uang, artinya sama saja. Sistem pemerintahannya otoriter, menutup hak berbicara bagi orang atau kelompok lain yang
berbeda pendapat dengan pemerintah. Membasmi orang yang berbeda pendapat adalah hal lumrah dalam sistem para diktator. Sistem Machiavelli 7
amat dominan di sini. Sikap kultus individu atau penghormatan yang berlebihan kepada pemimpin, yang memasung kebebasan akal warganegaranya,
merupakan salah satu ciri khas dalam sistem totaliter ini.
Kesejahteraan memang bisa saja didapat semua rakyat --artinya
cukup sandang, pangan, dan tempat tinggal-- namun perlindungan hukum
atau rasa aman dalam mengemukakan pendapat atau hak asasi biasanya
diabaikan. Parahnya, dan ini yang lebih sering terjadi, selain kesejahteraan
rakyat tak tercapai, rasa aman bagi warganegaranya hanya sekadar impian.
Itu dimungkinkan karena adanya peraturan atau undang-undang yang
membuka kesewenang-wenangan pimpinan pemerintahan, sementara
peraturan yang membatasi kesewenang-wenangan itu tidak ada.
Ciri khas orang komunis adalah menuntut hak hidup bila partai lain
berkuasa, tapi tak mau memberi hak hidup kepada partai lain bila mereka
berkuasa. Kalaupun memberi hak hidup, itu hanya sekadar basa-basi demokrasi. Mereka pun suka berdalih membebaskan buruh dari perbudakan
majikan, namun dalam prakteknya menjerumuskan buruh pada penindasan
yang justru lebih busuk oleh penguasa atau pemerintah.
Para pemimpin pemerintahannya punya kebiasaan menyalahtempatkan dalil-dalil etika moralitas untuk kepentingannya. Sikap hormat kepada
yang lebih tua diartikan rakyat tidak layak mengungkit kejelekan pimpinan
pemerintahan. Sikap sabar dan tawakal dicekokkan kepada rakyat miskin
agar tidak macam-macam melihat para pemimpin bergelimang harta.
Malah, jahat dan liciknya sosok komunis ini, mereka justru sengaja
menciptakan atau membuat rakyat yang bodoh, yang pendidikannya
kurang, menjadi miskin. Sebab kemiskinan dan kebodohan merupakan
pijakan utama bagi mereka untuk mendirikan kekuasaan.
Cara komunis serupa itu biasanya ditiru oleh para diktatoris dan
kaum radikal, walau mereka menyebut dirinya bukan komunis.
7
Niccolo Machiavelli, filsuf politik Italia abad ke enambelas. Hendaknya dimaklumi, kajian Machiavelli adalah politik dan cara meraih kekuasaan, bukan agama
atau moralitas. Sesuai realitanya, Machiavelli bukanlah seorang yang sok suci, ia
jujur dalam mengemukakan keberengsekan manusia. Tidak sedikit orang yang
menuduh Machiavelli amoral justru mempraktekkan ajarannya. Salah satu ajaran
Machiavelli adalah menyingkirkan orang pandai yang dianggap saingan, walau
teman dekat sekalipun; Kenyataannya, tidak perlu menutupi realita, jauh sebelum
Machiavelli dilahirkan, praktek seperti ini pernah dilakukan Muawiyah bin Abu
Sufyan (semoga Allah memaafkannya) dengan menyingkirkan sahabat dekatnya
yaitu Abdurrahman bin Khalid bin Walid.
38
H AR AP A N & R E A L I T A
39
Y A N G P E R LU D I S A D A R I
Friedrich Engels, sekondan Karl Marx, adalah anak pengusaha Jerman yang kaya
raya, yang memiliki pabrik di Inggris pada abad ke 19. Kecenderungannya untuk
berpihak kepada buruh, murni bukan karena ia memiliki suatu kepentingan dalam
mencari materi. Ia mungkin melihat ketidakadilan sosial yang diakibatkan kapitalisme maupun agama di lingkungannya. Sayangnya, ia menemukan dan memilih
ajaran yang dalam kenyataannya justru berdampak lebih buruk.
40
H AR AP A N & R E A L I T A
P ELAKSANAAN
YANG ISLAM I
Dalam Islam, negara dan agama tak bisa dipisahkan. Artinya, berdirinya sebuah negara mestilah melahirkan masyarakat yang berakhlak yang
diridhai Allah; masyarakat yang saling menghormati, yang mendapat perlindungan hukum yang adil, yang terhindar dari kesewenang-wenangan
penguasa. Sebuah negara yang makmur di bawah naungan ampunan Allah.
Karenanya, mendirikan sebuah khilafah Islam yang dipimpin figur
yang soleh, yang berakhlak tinggi, merupakan keutamaan. Yang jadi
masalah, pemimpin yang serupa ini sangat sulit didapat. Kalaupun ada,
katakanlah pemimpin ini seorang ulama terkenal, apakah ulama-ulama
lainnya akan mendukung? Bukankah ulama-ulama yang ada itu pada
kenyataannya sering memberi teladan buruk, seperti saling menjelekkan?
Apakah ulama yang tak sepaham itu akan dibui, seperti yang terjadi dalam
sejarah daulah Islam di masa lalu?
Memang, idealis itu tidak dilarang, tapi juga harus realistis.
Bagaimana mungkin sebuah negara Islami akan berdiri, jika orangorang yang mau mendirikannya orang yang perilakunya emosional dan
menakutkan? Kalau yang namanya saja negara Islam, itu mungkin. Tapi
yang islami seperti di masa Nabi, apa bisa? Anggap saja negara yang betulbetul Islami jadi kenyataan; namun jika pemimpinnya wafat, apa bisa
dijamin penggantinya tidak bakal seperti Yasid bin Muawiyah atau Al
Mutashim? 9 Apa maksud didirikannya negara yang islami tersebut hanya
untuk satu-dua generasi saja, dan kemudian hancur lagi?
Semestinya disadari, memelihara rumah itu lebih sulit daripada
mendirikannya. Karenanya, agar tidak cepat roboh, pondasi yang betulbetul kuat semestinya dibangun lebih dahulu; dan bukan asal jadi, apalagi
jika bahan-bahannya berupa rongsokan yang berkarat dan keropos.
Hanya pemerhati yang teliti yang akan mengevaluasi sebab-sebab
dari keberhasilan atau kegagalan sebuah teori. Ia tak akan memaksakan
suatu teori --betapa bagusnya pun teori itu-- jika dalam realitanya teori
tersebut tidak bisa dipraktekkan. Atau hanya akan berhasil untuk waktu
yang sesaat atau terbatas. Yang jelas, tak ada kewajiban mendirikan negara
Islam yang sekadar menempelkan atribut keagamaan; yang sekadar kedok
untuk menghalalkan kesewenang-wenangan seorang pemimpin.
9
Yasid bin Muawiyah bukan saja bertanggung jawab atas wafatnya cucu Rasulullah Saw, Husein bin Ali (semoga rahmat Allah senantiasa terlimpah ruahkan
kepada beliau), tapi juga atas penjarahan pasukannya ke Madinah. Sementara sikap
kejam Al Mutashim terhadap Imam Ahmad bin Hanbal (semoga rahmat Allah
terlimpah pula kepada beliau) tidak bisa dibenarkan. Walau begitu, sebagai muslim
yang berkeyakinan bahwa musuh utama kita adalah iblis laknatullah, dan bukan
manusia (yang hanya karena memiliki kekurangan, bisa dipengaruhi setan
terkutuk), sewajarnyalah kita mohonkan ampunan kepada Allah Swt. Masalah
timbangannya, kita serahkan kepada Allah Yang Mahaadil, Maha Pengampun.
41
Y A N G P E R LU D I S A D A R I
42
H AR AP A N & R E A L I T A
Di dalam Al Quran surat An Nur ayat 2, hukuman maksimal bagi pezina cukup
dengan dera seratus kali, tanpa memandang yang sudah kawin maupun belum.
Hukuman rajam (dilempari batu sampai mati) bagi pezina yang sudah kawin,
memang hanya ada di dalam hadits Nabi Saw. Yang bisa jadi diambil dari hukum
Allah sebelum surat An Nur tersebut diturunkan, seperti yang diperintahkan Musa
di dalam Taurat (lihat Injil Johanes, pasal 8 ayat 5). Tapi dalam situasi zina merajalela, juga saat kejahatan dengan kekerasan dan penggunaan narkotika sudah jadi
kebiasaan, hukuman mati lebih efektif untuk diterapkan oleh negara.
43
Y A N G P E R LU D I S A D A R I
44
H AR AP A N & R E A L I T A
45
Y A N G P E R LU D I S A D A R I
E VALUASI
KASU S
46
H AR AP A N & R E A L I T A
Afghanistan
Para pejuang Afghan yang muslim, berhasil mengusir Soviet yang
komunis. Namun, walau sama-sama Muslim, faksi-faksi Mujahidin tidak
bisa bersatu padu. Pemerintahan, dari orang-orang yang mengaku muslim,
jatuh bangun. Para pemimpinnya saling gebuk. Satu ciri ketidakmampuan
untuk bermusyawarah; yang artinya sama saja dengan sebuah pengakuan
bahwa syura tidak bisa dipraktekkan. Padahal jika semua golongan berlaku
jujur dan adil, mustahil muncul tindakan anarkis atau kekerasan.
Realitanya, hukum (yang islami?) yang melindungi rakyat, jauh dari
harapan. Hukum yang ada justru jadi alat penguasa untuk memaksakan
kehendak dan membungkam sikap kritis. Ekonomi (yang islami?) kacau
balau, tidak ada moderenisasi. Rakyat hidup dalam ketidak tenteraman.
Rakyat menderita. Yang disalahkan, sudah pasti, pihak asing.
Jika hukum Allah dijalankan dengan benar, artinya kejujuran dan
keadilan hukum ditegakkan, maka hukum akan berfungsi sebagai pelindung dan bukan sebagai hantu yang menakutkan. Sebaliknya jika kejujuran
dan keadilan tidak diterapkan, hukum akan tampak sebagai ancaman. Dan
itulah yang terjadi di Afghanistan pasca komunis. Penjahat memang pantas
mendapat hukuman, tapi oknum polisi atau penegak hukum yang jahat
harus mendapat hukuman yang lebih berat. Negara yang dikelola orangorang yang tidak jujur dan tidak adil, akan hancur. Negara yang dikelola
orang-orang yang mengaku muslim tapi tidak jujur dan tidak adil, akan
lebih hancur lebur. Lebih celaka dan lebih sengsara.
Allah --pasti-- melihat perilaku orang Afghanistan ini.
Di dunia, Allah memberikan balasan kepada siapa pun yang berlaku
tidak jujur dan tidak adil. Apalagi jika dia (mengaku) muslim.
Cina
Dahulu, di bawah sistem komunis ortodok, Republik Rakyat Cina
miskin dan terbelakang. Sekarang, dengan melihat realita bahwa sistem
ekonomi komunis telah gagal, tanpa perlu malu mereka berganti cara.
Para pemimpin Cina mengambil dua keuntungan, memadukan keunggulan ekonomi kapitalis yang penuh inovasi dengan disiplin kepatuhan
buruh gaya komunis. Dan berkat tegaknya hukum, didasari dengan kejujuran dan keadilan para pengelola negaranya, kemajuan ekonomi Cina dan
kesejahteraan rakyatnya, pasca Mao Tse Tung, sungguh mencengangkan.
Allah --pasti-- melihat perilaku orang Cina ini.
Di dunia, dan dalam masalah keduniawian, Allah memberikan balasan kebaikan kepada siapa pun yang menegakkan hukum dengan jujur dan
adil. Walau dia seorang atheis yang tidak percaya agama sekalipun.
Seandainya rakyat dan para pemimpin Cina yang jujur dan adil ini
muslim, barokah Allah pasti terlimpah ruahkan kepada negara ini. Sebaliknya, jika mereka kembali menanggalkan kejujuran dan keadilan, mereka
pun --pasti-- akan dikembalikan pada kehancuran.
47
Y A N G P E R LU D I S A D A R I
48
H AR AP A N & R E A L I T A
49
Y A N G P E R LU D I S A D A R I
H AR AP A N & R E A L I T A
51
Y A N G P E R LU D I S A D A R I
J IHA D
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua
orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu hendak
memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? (Quran, Yunus [10]:99)
H AR AP A N & R E A L I T A
53
Y A N G P E R LU D I S A D A R I
H INDARI
KEKERASA N
54
H AR AP A N & R E A L I T A
55
Y A N G P E R LU D I S A D A R I
E KSPANSI
PENGARU H
H AR AP A N & R E A L I T A
Kenyataan sejarah
Semua golongan --bangsa, agama, atau politik-- tak perlu menyangkal adanya tindakan keliru atau kejam di luar batas perikemanusiaan yang
pernah dilakukan warganya. Sebab perbuatan kejam mungkin saja dilakukan seseorang ketika orang itu sudah tidak bisa mengontrol dirinya; dan
hal itu biasanya terjadi saat adanya permusuhan. Hanya saja menuding
umat lain sebagai kejam atau teroris, tapi melupakan perbuatan kejam yang
dilakukan oleh golongannya sendiri, adalah hal yang tidak jujur.
Mengontrol diri pada realitanya adalah hal yang tidak mudah dilakukan. Karenanya, jika seorang manusia tak mampu mengontrol dirinya
merupakan satu hal yang wajar. Hanya tuntunan agama yang diterapkan
dengan benar, yang memungkinkan seseorang dapat mengontrol dirinya.
Sayangnya, di agama manapun, penerapan yang sungguh-sungguh hanya
sekadar teori yang jarang atau malah tak pernah dipraktekkan.
Faktanya, dalam perjalanan panjang sejarah manusia, kita temukan
kasus-kasus di luar batas perikemanusiaan yang dilakukan baik oleh orang
yang mengaku beragama maupun tidak. Contohnya, pembantaian suku
Indian di Amerika di abad sembilanbelas, membuktikan adanya kekerasan
yang dilakukan oleh warga kulit putih yang beragama Nasrani; Kamp
konsentrasi Auswitz adalah contoh kekejaman Nazi Jerman yang beragama
Nasrani terhadap etnis Yahudi; Kebrutalan Khmer Merah di Kamboja, atau
pembuangan ke Siberia yang dilakukan rezim Stalin, adalah contoh kekejaman komunis yang atheis terhadap bangsanya sendiri.
Begitu pun, pengejaran terhadap para ilmuwan (yang dinilai menentang dogma gereja) oleh para pemuka agama Nasrani di masa lalu. Atau
penjarahan terhadap penduduk Madinah oleh pasukan Yasid bin Muawiyah, padahal hanya bertenggang waktu lima dekade sejak Nabi Saw wafat.
Atau saling ngebom di Irlandia Utara --padahal masih satu keturunan-merupakan contoh kekejaman orang-orang yang mengaku beragama.
Tuduhan tak jujur
Amat tak jujur jika seorang muslim menjatuhkan tuduhan perbuatan
kejam hanya ditujukan pada golongan lain. Realitanya, di antara kita --atau
oknum di golongan kita-- ada yang pernah berbuat kejam.
Sebaliknya, amat tidak jujur menuding Islam sebagai agama yang
disebarkan dengan pedang; sambil menutupi kenyataan yang dilakukan
Charlemagne (raja Frank di awal abad kesembilan Masehi; kerajaan yang
wilayahnya mencakup Swiss, Perancis, Belgia, dan Belanda sekarang)
yang memaksa orang Saxon memeluk agama Kristen dengan pedang.
Jadi, perbuatan kekerasan bisa dilakukan oleh siapa pun. Dan jangan
menyalahkan agama atau ajarannya.
Y A N G P E R LU D I S A D A R I
B ATASAN
TOLERANS I
Masalah toleransi dan tidak toleran, ada kalanya tidak bisa dilihat
hanya dari sudut pandang sepihak; karena sesuatu yang dianggap tidak
toleran mungkin saja ada sebab-sebabnya bagi orang yang melakukannya.
Toleransi adalah sifat seorang muslim. Artinya, setiap Muslim wajib
harus berusaha berbuat baik kepada orang lain; termasuk menghormati
nabi, agama, dan keyakinan orang lain tersebut. Tapi pelecehan terhadap
Nabi Muhammad Saw adalah di luar koridor toleransi. Siapapun yang
melakukan penghinaan terhadap Nabi Saw, harus siap menanggung akibatnya; termasuk resiko untuk dibunuh atau dihukum mati.
Begitupun memberi penghargaan kepada orang yang menghina Nabi
Saw, sama dengan memancing kemarahan semua Muslim. Siapa pun
pelakunya harus siap menanggung resiko kekerasan yang diakibatkan akumulasi kekecewaan umat Islam yang merasa dilecehkan. Mesti dicamkan,
kekerasan lahir tatkala ketidakpuasan mencapai puncaknya. Anarkisme
sering meledak dikarenakan merasa tidak diperhatikan, merasa terusmenerus disepelekan. Dengan kata lain, mustahil ada kemarahan jika tak
ada sebab-sebabnya. Karenanya, jangan memancing kemarahan.
Hal di atas merupakan peringatan yang perlu dimaklumi oleh semua
orang, muslim maupun nonmuslim. Artinya, jika tidak ingin dihantam oleh
seorang Muslim, maka ia jangan mengusik akidah seorang Muslim.
Meletakkan toleransi pada proporsinya
Islam adalah agama yang mengajarkan manusia untuk menjadi orang
yang paling toleran kepada keyakinan orang lain, tapi bukan berarti diam
jika sudah menyangkut perkara akidah. Seorang Muslim paling moderat
sekalipun --paling santun dan paling lembut sekalipun-- bisa berobah
menjadi muslim yang paling keras bila sudah menyangkut masalah akidah;
bila Islam dilecehkan, bila Nabi Saw dinistakan. Artinya, dalam masalah
akidah --bahwa Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam merupakan nabi
utusan Allah yang terakhir-- tidak boleh ada tawar-menawar.
Dalam keyakinan seorang yang benar-benar Muslim, Islam merupakan agama terakhir yang dikaruniakan Allah kepada manusia. Dari sebab
itu, setiap muslim wajib menolak kehadiran seseorang yang mengakungaku sebagai nabi atau rasul Allah.
Sebagai Muslim, kita meyakini bahwa harta maupun keluarga kita
semata-mata titipan Allah. Artinya, rumah maupun isteri kita bukan milik
kita secara mutlak. Namun itu tidak berarti orang lain boleh masuk seenaknya ke rumah kita atau boleh begitu saja membawa isteri kita.
Begitu pun dalam masalah toleransi; kita boleh memiliki prinsip
untuk bertoleransi kepada orang lain. Tapi dalam perkara akidah jelas tak
boleh ada toleransi, sebab akidah bukan barang dagangan yang bisa
ditawar-tawar. Karenanya, perkara pelecehan atau keberadaan nabi terakhir
bukanlah masalah toleransi tapi sudah menyangkut masalah akidah.
58
H AR AP A N & R E A L I T A
Seorang Muslim terlebih seorang mualaf yang baru masuk Islam dilarang
menghina nabi atau dewa agama orang lain atau agama yang dianut sebelumnya.
Sebab, dalam masalah peribadatan, untukmu agamamu untukku agamaku. Sebaliknya harus dimaklumi, siapapun yang menghina Nabi Muhammad Saw harus
siap menghadapi resiko kekerasan yang akan menimpanya.
59
Y A N G P E R LU D I S A D A R I
M ENYATUKAN JAMIAH-JAMIA H
Betapa pun dalamnya seseorang berenang dalam lautan agama, di
negara manapun dan di agama manapun, ada setetes kodrat manusiawinya
yang sulit dihilangkan; yaitu keinginan untuk dijadikan pemimpin.
Untuk memenuhi kecondongan serupa itu, maka sebuah jamiah yang
besar sebaiknya merupakan gabungan (afiliasi) dari jamiah-jamiah kecil
yang otonom. Yaitu jamiah kecil yang memiliki kebebasan mengatur
sendiri manajemennya. Yang bebas memilih ketuanya secara demokratis,
tanpa perlu restu atau intervensi dari atas. Sehingga kesempatan untuk jadi
pemimpin, walau cuma dalam lingkup yang kecil, bisa tersalurkan.
Lagi pula, dalam prakteknya, jamiah kecil lebih mudah berkomunikasi dengan lingkungannya; lebih mengetahui apa yang diperlukan dan
tidak dibutuhkan jamaahnya. Jamiah kecil lebih efektif dan efisien dalam
mengelola kegiatannya, seperti sekolah atau rumah sakit; sebab tidak
terkait dan terikat dengan birokrasi dari atas yang berbelit-belit. Begitu pun
zakat atau infaq bisa ditampung lewat jamiah kecil ini, walau pemanfaatannya bisa dilakukan bersama dalam afiliasi jamiah-jamiah.
Alangkah indahnya, jika afiliasi jamiah kecil ini bersatu lagi dalam
aliansi Muslim yang lebih besar. Dan aliansi Muslim ini kemudian bergabung lagi dalam satu-satunya Majelis Permusyawaratan Muslim di negara
tersebut; yang menjembatani kebutuhan umat dengan kepentingan negara.
Hanya orang-orang ikhlas yang berpribadi mulia, yang semata-mata
mengharap ridha Allah, yang bisa membangun Majelis Permusyawaratan
Muslim serupa itu di sebuah negara. Andai betul bisa begitu, karena melihat Islam yang demokratis, toleran, adil dan jujur, Islam bisa diterima di
negara (sekular) mana pun tanpa perlu keradikalan. Sayangnya, pada
banyak kenyataan, dalam menyamakan visi dan misi, menyatukan tujuh
tokoh agama lebih sulit ketimbang menyatukan tujuh puluh penjahat.
Jabatan merupakan sarana untuk berbuat kebajikan
Jabatan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan kepada
Allah. Jadi, satu hal yang wajar jika Muslim yang tawadhu justru berusaha
menghindar dari jabatan tersebut. Kalaupun ia terpaksa jadi pemimpin, itu
semata-mata karena ia tidak bisa mengelak dari tugas yang dipercayakan
Allah kepadanya. Karenanya, dalam bernegara atau berjamiah, muslim
yang berakhlak mulia justru akan mensuport muslim lainnya untuk menjadi
pemimpin. Dan bukannya saling sikut atau saling menjatuhkan.
Jelas, dalam Islam, pemimpin itu bukan mencalonkan diri; tapi dicalonkan, alias dipaksa oleh umat. Karenanya, seorang tokoh muslim sejati
justru akan bergembira jika tokoh lain yang terpilih jadi pemimpin.
Bagi seorang muslim, jabatan dan kekuasaan adalah sarana dan
bukan tujuan. Jabatan dan kekuasaan adalah sarana untuk berbuat kebajikan. Realitanya, muslim yang hidupnya berantakan adalah muslim yang
menjadikan jabatan dan kekuasaan hanya sebagai tujuan.
60