Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
CEDERA KEPALA
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Praktik Keperawatan Gawat Darurat
Dosen Pembimbing :
Wahyu Hidayati, M.Kep, Sp. KMB
Disusun oleh :
(G2B009001)
A. Pengertian
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung
atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan Luka di kulit kepala,
fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringa otak itu sendiri,
serta mengakibatkan gangguan neurologis. (Ayu, 2010)
Menurut lokasi trauma, cedera kepala dapat dibagi menjadi trauma kulit
kepala, tengkorak dan otak. Cedera kepala yang paling sering terjadi dan
menyebabkan penyakit neurologhik yag cukup serius diakibatkan oleh kecelakaan di
jalan raya. Risiko utama pasien dengan cedera kepala adalah kerusakan otak akibat
perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan
memnyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. (Smeltzer dan Bare, 2002).
Cedera kulit kepala menyebabkan infeksi intrakranial. Trauma di bagian ini
dapat menyebabkan abrasi, kontusio, laserasi atau avulsi. Suntikan prokain melalui
subkutan dapat membuat luka menjadi mudah dibersihkan dan diobati. Daerah luka
diirigasi
untuk
mengeluarkan
benda
asing
dan
meminimalisir
masuknya
Konkusi
Muntah
Kejang
Anatomi otak
Sumber : brainfunctionz.com/brain-anatomy-pictures/
Sumber : www.ahliwasir.com/image-upload/detail_brain_layers.jpg
B. Etiologi
1. Trauma tajam
Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah yang menyebabkan robeknya otak.
Misalnya tertembak peluru atau benda tajam
2. Trauma tumpul
Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya
3. Cedera akselerasi
Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh pukulan maupun
yang bukan pukulan.
4. Kontak benturan. Biasanya terjadi karena suatu benturan atau tertabrak suatu
obyek.
5. Kecelakaan lalu lintas
6. Jatuh
7. Kecelakaan kerja
8. Serangan yang disebabkan karena olahraga
9. Perkelahian
(Smeltzer, Bare, 2002 & Long, 1996)
C. Patofisiologi
Cedera kepala yang terjadi waktu benturan, memungkinkan terjadinya memar
pada permukaan otak, laserasi cedera robekan, hemoragi, akibatnya akan terjadi
kemampuan autoregulasi cerebral yang menyebabkan hiperemia. Peningkatan salah
satu otak akan menyebabkan jaringan otak tidak dapat membesar karena tidak ada
aliran cairan otak dan sirkulasi dalam otak, sehingga lesi akan mendorong jaringan
otak. Bila tekanan terus meningkat akibatnya tekanan dalam ruang kranium juga akan
meningkat. Maka terjadilah penurunan aliran darah dalam otak dan perfusi jaringan
yang tidak adekuat, sehingga terjadi masalah perubahan perfusi serebral. Perfusi yang
tidak adekuat dapat menimbulkan vasodilatasi dan edema otak. Edema akan menekan
jaringan saraf sehingga terjadi peningkatan tekanan intrakranial (Price, 2005).
Dampak edema jaringan otak terhadap sistem tubuh lain, antara lain :
1. Sistem Kardiovaskuler
Trauma kepala bisa menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup
aktivitas atipikal miokardial, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru.
Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T, P dan
disritmia, vibrilisi atrium serta ventrikel takikardia. Akibat adanya perdarahan
otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, di mana penurunan tekanan vaskuler
pembuluh darah arteriol berkontraksi. Aktivitas miokardium berubah termasuk
peningkatan frekuensi jantung dan menurunnya stroke work di mana pembacaan
pembacaan CVP abnormal. Tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis
mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini bisa menyebabkan
terjadinya penurunan curah jantung dan meningkatkan atrium kiri, sehingga tubuh
akan berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya
peningkatan tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema paru.
2. Sistem Respirasi
Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokonstriksi paru atau
hipertensi paru menyebabkan hiperapneu dan bronkho kontriksi. Terjadinya
pernafasan chynestoke dihubungkan dengan adanya sensitivitas yang meningkat
pada mekanisme terhadap karbondioksida dan episode pasca hiperventilasi apneu.
Konsenterasi oksigen dan karbondioksida dalam darah arteri mempengaruhi aliran
darah. Bila tekanan oksigen rendah, aliran darah bertambah karena terjadi
vasodilatasi, jika terjadi penurunan tekanan karbondioksida akan menimbulkan
alkalosis sehingga terjadi vasokontriksi dan penurunan CBF (Cerebral Blood
Fluid). Bila tekanan karbondioksida bertambah akibat gangguan sistem pernafasan
akan menyebabkan asidosis dan vasodilatasi. Hal tersebut menyebabkan
penambahan CBF yang kemudian terjadi peningkatan tingginya TIK.
Edema otak akibat trauma adalah bentuk vasogenik. Pada kontusio otak terjadi
robekan pada pembuluh kapiler atau cairan traumatic yang mengandung protein
yang berisi albumin. Albumin pada cairan interstisial otak normal tidak
didapatkan. Edema otak terjadi karena penekanan pembuluh darah dan jaringan
sekitarnya. Edema otak ini dapat menyebabkan kematian otak (iskemia) dan
tingginya TIK yang dapat menyebabkan terjadinya herniasi dan penekanan batang
otak atau medula oblongata. Akibat penekanan pada medulla oblongata
menyebabkan pernafasan ataksia dimana ditandai dengan irama nafas tidak teratur
atau pola nafas tidak efektif.
3. Sistem Genito-Urinaria
Pada trauma kepala terjadi perubahan metabolisme yaitu kecenderungan retensi
natrium dan air serta hilangnya sejumlah nitrogen. Retensi natrium juga
disebabkan karena adanya stimulus terhadap hipotalamus, yang menyebabkan
pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron. Ginjal mengambil peran dalam proses
hemodinamik ginjal untuk mengatasi retensi cairan dan natrium. Setelah tiga
sampai 4 hari retensi cairan dan natrium mulai berkurang dan pasca trauma dapat
timbul hiponatremia. Untuk itu, selama 3-4 hari tidak perlu dilakukan pemberian
hidrasi. Hal tersebut dapat dilihat dari haluaran urin. Pemberian cairan harus hatihati untuk mencegah TIK. Demikian pula sangatlah penting melakukan
pemeriksaan serum elektrolit. Hal ini untuk mengantisipasi agar tidak terjadi
kelainan pada kardiovaskuler.
Peningkatan hilangnya nitrogen adalah signifikan dengan respon metabolic
terhadap trauma, karena dengan adanya trauma tubuh memerlukan energi untuk
menangani perubahan-perubahan seluruh sistem tubuh. Namun masukan makanan
kurang, maka akan terjadi penghancuran protein otot sebagai sumber nitrogen
utama. Hal ini menambah terjadinya asidosis metabolik karena adanya
metabolisme anaerob glukosa. Dalam hal ini diperlukan masukan makanan yang
4.
Sistem Pencernaan
Setelah trauma kepala terdapat respon tubuh yang merangsang aktivitas
hipotalamus dan stimulus vagal. Hal ini akan merangsang lambung untuk terjadi
hiperasiditas. Hipotalamus merangsang anterior hipofise untuk mengeluarkan
steroid adrenal. Hal ini adalah kompensasi tubuh untuk menangani edema
serebral, namun pengaruhnya terhadap lambung adalah terjadinya peningkatan
ekskresi asam lambung yang menyebabkan hiperasiditas. Selain itu juga
hiperasiditas terjadi karena adanya peningkatan pengeluaran katekolamin dalam
menangani stress yang mempengaruhi produksi asam lambung. Jika hiperasiditas
ini tidak segera ditangani, akan menyebabkan perdarahan lambung.
5. Sistem Muskuloskeletal
Akibat utama dari cedera otak berat dapat mempengaruhi gerakan tubuh.
Hemisfer atau hemiplegia dapat terjadi sebagai akibat dari kerusakan pada area
motorik otak. Selain itu, pasien dapat mempunyai control volunter terhadap
gerakan dalam menghadapi kesulitan perawatan diri dan kehidupan sehari hari
yang berhubungan dengan postur, spastisitas atau kontraktur.
Gerakan volunter terjadi sebagai akibat dari hubungan sinapsis dari 2 kelompok
neuron yang besar. Sel saraf pada kelompok pertama muncul pada bagian
posterior lobus frontalis yang disebut girus presentral atau strip motorik . Di sini
kedua bagian saraf itu bersinaps dengan kelompok neuron-neuron motorik bawah
yang berjalan dari batang otak atau medulla spinalis atau otot-otot tertentu.
Masing-masing dari kelompok neuron ini mentransmisikan informasi tertentu
pada gerakan. Sehingga pasien akan menunjukan gejala khusus jika ada salah satu
dari jaras neuron ini cedera.
Pada disfungsi hemisfer bilateral atau disfungsi pada tingkat batang otak, terdapat
kehilangan penghambatan serebral dari gerakan involunter. Terdapat gangguan
tonus otot dan penamilan postur abnormal, yang pada saatnya dapat membuat
komplikasi seperti peningkatan saptisitas dan kontraktur.
Pathway
Benturan Kepala
Trauma
Cedera jaringan otak
Robekan
jaringan sekitar tertekan
Hematoma
oedem
Vasodilatasi
TIK meningkat
Aliran darah ke otak menurun
Perubahan perfusi jaringan cerebral
Hipoksia
Kerusakan pertukaran gas
Nafas dangkal
Pola nafas tidak efektif
penurunan kesadaran
Gangguan persepsi
sensori
D. Manifestasi Klinis
1. Cedera kepala ringan
a. Kebingungan, sakit kepala, rasa mengantuk yang abnormal dan sebagian besar
pasien mengalami penyembuhan total dalam jam atau hari
b. Pusing, kesulitan berkonsentrasi, pelupa, depresi, emosi, atau perasaannya
berkurang dan cemas,kesulitan belajar dan kesulitan bekerja.
2. Cedera kepala sedang
a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebingungan bahkan
koma
b. Gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit neurologik,
perubahan tanda-tanda vital, gangguan penglihatan dan pendengaran,
disfungdi sensorik, kejang oto, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan.
(Smeltzer & Bare, 2002)
3. Cedera kepala berat
a. Amnesia dan tidak dapat lagi mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesehatan.
b. Pupil tidak ekual, pemeriksaan motorik tidak ekual, adanya cedera terbuka,
fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
E. Pemeriksaan Penunjang
a. CT-Scan
Untuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek.
b. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Menggunakan medan magnetik kuat dan frekuensi radio. Bila bercampur
gelombang yang dipancarkan tubuh, akan menghasilkan citra MRI yang dapat
digunakan unutk mendiagnosis tumor, infark atau kelainan lain di pembuluh
darah.
c. Angiografi serebral
Untuk menunjukkan kelainan lain sirkulasi serebral, seperti pergeseran
jaringan
otak
akibat
edema,
pendarahan
trauma.
Digunakan
untuk
e. ENG (Elektronistagmogram)
Pemeriksaan elektro fisiologis vestibularis yang dapat digunakan untuk
mendiagnosis gangguan sistem saraf pusat.
f. Lumbal Pungsi
Untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan sebelum 6
jam dari saat terjadinya trauma
g. EEG
Memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis
yang berkaitan dengan adanya lesi di kepala.
F. Pengkajian Primer
o Pertanyaan mengenai riwayat terjadinya cedera, meliputi :
-
o Fokus Pengkajian
a. Tingkat kesadaran dan responsivitas. Tingkat kesadaran dan responsivitas
dikaji secara teratur karena perubahan pada tingkat kesadaran mendahului
semua perubahan tanda vital dan neurologik lain. Skala koma Glasgow
digunakan untuk mengkaji tingkat kesadaran berdasarkan tiga kriteria
pembukaan mata, respons verbal, dan respon motorik terhadap perintah verbal
atau stimulus nyeri.
b. Pemantauan tanda vital. Meskipun penyimpangan tingkat kesehatan pasien
adalah indikasi neurologik paling sensitif tentang ancaman bahaya, tanda vital
dipantau dalam interval sering untnuk mengkaji status intrakranial.
-
c. Fungsi motorik. Fungsi motorik sering dikaji melalui observasi gerakangerakan spontan, memerintahkan pasien meninggikan dan menurunkan
ekstremitas, dan membandingkan kekuatan dan kualitas genggaman tangan
dalam periodik waktu yang teratur.
-
Kemampuan pasien untuk bicara dan kualitas bicara juga dikaji. Kapasitas
untuk bicara merupakan indikasi tingkat fungsi otak yang tinggi.
e. Exposure control
Kaji :
1) Tanda-tanda trauma yang ada
o Pengkajian Sekunder
1. Fahrenheit (suhu tubuh)
Kaji :
1. Suhu tubuh
2. Suhu lingkungan
2. Get Vital Sign/ Tanda-tanda vital secara kontiny
Kaji :
1. Tekanan darah
2. Irama dan kekuatan nadi
3. Irama, kekuatan dan penggunaan otot bantu
4. Saturasi oksigen
3. Head to assesment (pengkajian dari kepala sampai kaki)
Pengkajian Head to toe
a.
Riwayat Penyakit
o Keluhan utama dan alasan klien ke rumah sakit
o Lamanya waktu kejadian sampai dengan dibawah ke rumah sakit
o Tipe cedera, posisi saat cedera, lokasi cedera
o Gambaran mekanisme cedera dan penyakit seperti nyeri pada organ
tubuh yang mana, gunakan : provoked (P), quality (Q), radian (R),
severity (S) dan time (T)
o Kapan makan terakhir
o Riwayat
penyakit
lain
yang
pernah
dialami/operasi
pembedahan/kehamilan
o Riwayat pengobatan yang dilakukan untuk mengatasi sakit sekarang,
imunisasi tetanus yang dilakukan dan riwayat alergi klien.
o Riwayat keluarga yang mengalami penyakit yang sama dengan klien
c. Pengkajian kepala, leher dan wajah
o Periksa wajah, adakah luka dan laserasi, perubahan tulang wajah dan
jaringan lunak, adakah perdarahan serta benda asing.
Ekstremitas
Pengkajian di ekstremitas meliputi :
1) Tanda-tanda injuri eksternal
2) Nyeri
3) Pergerakan dan kekuatan otot ekstremitas
4) Sensasi keempat anggota gerak
5) Warna kulit
Tanda-tanda perdarahan
Laserasi
Jejas
Luka
H. Intervensi Keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hipoventilasi dan kerusakan
neurovaskuler ditandai dengan kelemahan atau poaralisi otot pernafasan.
Kriteria hasil :
Tanda dan gejala obstruksi pernafasan tidak ada : stridor (-), sesak nafas
(-), wheezing (-)
Trakhea midline
Analisa gas darah dalam batas normal : PaO2 80-100 mmHg, Saturasi O2
> 95 %, PaCO2 35-45 mmHg, pH 7,35-7,45
Intervensi :
Mandiri
o Observasi frekuensi, kecepatan, kedalaman dan irama pernafasan.
o Observasi penggunaan otot bantu pernafasan
o Berikan posisi semi fowler bila tidak ada kontra indikasi
o Ajarkan dan anjurkan nafas dalam serta batuk efektif
o Perhatikan pengembangan dada simetris atau tidak
o Kaji fokal fremitus dengan meletakkan tangan di punggung pasien
sambil pasien menyebutkan angka 99 atau 77
o Bantu pasien menekan area yang sakit saat batuk
o Lakukan fisiotherapi dada jika tidak ada kontra indikasi
o Auskultasi bunyi nafas, perhatikan bila tidak ada ronkhi, wheezing dan
erackles.
o Lakukan suction bila perlu
o Lakukan pendidikan kesehatan.
Kolaborasi
o Pemberian O2 sesuai kebutuhan pasien
o Pemeriksaan laboratorium / analisa gas darah
o Pemeriksaan rontgen thorax
o Intubasi bila pernafasan makin memburuk
o Pemasangan oro paringeal
o Pemasangan water seal drainage / WSD
o Pemberian obat-obatan sesuai indikasi
Kriteria Hasil :
o Mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesadaran
o Tanda-tanda vital kembali normal
o Tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranial
Intervensi :
Mandiri
o Tentukan faktor-faktor yang menyebabkan koma atau penurunan perfusi
jaringan otak dan potensial peningkatan TIK
o Pantau status neurologik secara teratur dan bandingkan dengan nilai
standar menggunakan GCS
o Pantau TTV
o Pertahankan kepala agara posisinya tetap netral atau di tengah
o Perhatikan adanya peningkatan kegelisahan pada klien
Kolaborasi :
o Berikan cairan sesuai indikasi
o Berikan obat sesuai indikasi
Gangguan
neurologis
MIND MAPPING
Perubahan
perfusi jaringan
serebral b.d
edema serebral
Fraktur
Definisi
Definisi
Etiologi
Etiologi
Cedera akselerasi
Diagnosa
Kontak benturan
CEDERA KEPALA
Jatuh
Pemeriksaan Penunjang
Airway
CT-Scan
X-Ray
Breathing
CKR
Manifestasi Klinis
Pengkajian
GDA
Sekunder
Primer
CKB
EEG
Circulation
Exposure
control
Disability
TTV
Suhu
Head to
toe
CKS
MRI
Amnesia,pupil tidak
ekual, pemeriksaan
motorik tidak ekual,
cedera terbuka,
fraktur tengkorak
dan penurunan
neurologik
Kebingungan, sakit
kepala, rasa
mengantuk abnormal,
kesulitan konsentrasi,
pelupa, depresi, emosi,
cemas
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Edisi 3. Jakarta : Media
Aesculapius.
Nanda International. 2010. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 20092011. Jakarta : EGC
Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. 1995. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses
Penyakit II Edisi 4. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzzane C. dan Brenda G. Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Volume 3 Edisi 8. Jakarta : EGC.
Anonim.
2011.
http://www.ahliwasir.com/image-upload/detail_brain_layers.jpg.