KONSEP DASAR
A. Pengertian
1. Sectio Caesaria
Sectio caesaria adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat
sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut atau vagina atau
suatu histerektomia untuk janin dari dalam rahim ( Mochtar, 1998 ).
Sectio caesaria adalah cara melahirkan janin dengan menggunakan
insisi pada perut dan uterus (Bobak, 2004).
Sectio caesaria adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding perut dan dinding uterus (Wiknjosastro, 2002: 863).
2. Pre Eklamsi
Pre eklamsia ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan
proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi
dalam triwulan ke-3 kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya, misalnya
pada molahidatidosa (Wiknjosastro, 2002).
Preeklamsia berat adalah suatu keadaan pada kehamilan dimana
tekanan darah sistolik lebih dari 160 mmHg atau diastolik lebih dari 110
mmHg pada dua kali pemeriksaan yang setidaknya berjarak 6 jam dengan ibu
posisi tirah baring (Bobak,2004).
Jadi Post Sectio Caesaria dengan indikasi Preeklamsia berat adalah
masa setelah proses pengeluaran janin yang dapat hidup di luar kandungan
dari dalam uterus ke dunia luar dengan menggunakan insisi pada perut dan
uterus karena adanya hipertensi,edema dan proteinuria.
1. Mons Pubis
Mons Pubis atau Mons Veneris adalah jaringan lemak subkutan
berbentuk bulat yang lunak dan padat serta merupakan jaringan ikat jarang
diatas simfisis pubis. Mons pubis mengandung banyak kelenjar sebasea
(minyak) dan ditumbuhi Rambut berwarna hitam, kasar dan ikal pada masa
pubertas, yakni sekitar satu sampai dua tahun sebelum awitan haid.
Fungsinya sebagai bantal pada saat melakukan hubungan sex.
2. Labia Mayora
Labia Mayora ialah dua lipatan kulit panjang melengkung yang
menutupi lemak dan jaringan ikat yang menyatu dengan mons pubis.
Keduanya memanjang dari mons pubis ke arah bawah mengelilingi labia
mayora, meatus urinarius, dan introitus vagina ( muara vagina ).
3. Labia Minor
Labia Minora, terletak diantara dua labia mayora, merupakan lipatan
kulit yang panjang, sempit dan tidak berambut yang memanjang ke arah
bawah dari bawah klitoris dan menyatu dengan fourchette. Sementara
bagian lateral dan anterior labia biasanya mengandung pigmen, permukaan
medial labia minora sama dengan mukosa vagina; merah muda dan basah.
Pembuluh darah yang sangat banyak membuat labia berwarna merah
kemerahan dan memungkinkan labia minora membengkak, bila ada
stimulus emosional atau stimulus fisik.
4. Klitoris
Klitoris adalah organ pendek berbentuk silinder dan erektil yang
terletak tepat dibawah arkus pubis. Dalam keadaan tidak terangsang, bagian
yang terlihat adalah sekitar 6 x 6 mm atau kurang. Ujung badan klitoris
dinamai glans dan lebih sensitif daripada badannya. Saat wanita secara
seksual terangsang, glans dan badan klitoris membesar. Fungsi klitoris
adalah menstimulasi dan meningkatkan ketegangan seksualitas.
5. Prepusium Klitoris
Dekat sambungan anterior, labia minora kanan dan kiri memisah
menjadi bagian medial dan lateral. Bagian lateral menyatu di bagian atas
klitoris dan membentuk prepusium, penutup yang berbentuk seperti kait.
Bagian medial menyatu di bagian bawah klitoris untuk membentuk
frenulum. Kadang-kadang prepusium menutupi klitoris.
6. Vestibulum
Vestibulum ialah suatu daerah yang berbentuk seperti perahu atau
lonjong, terletak di antara labia minora, klitoris dan fourchette. Vestibulum
terdiri dari muara uretra, kelenjar parauretra (vestibulum minus atau
skene), vagina dan kelenjar paravagina (vestibulum mayus, vulvovagina,
atau Bartholin). Permukaan vestibulum yang tipis dan agak berlendir
mudah teriritasi oleh bahan kimia (deodorant semprot, garam-garaman,
busa sabun), panas, rabas dan friksi (celana jins yang ketat).
7. Fourchette
Fourchette adalah lipatan jaringan transversal yang pipih dan tipis,
terletak pada pertemuan ujung bawah labia mayora dan minora di garis
tengah dibawah orifisium vagina. Suatu cekungan kecil
dan fosa
a. Struktur Intenal
1. Ovarium
Sebuah ovarium terletak di setiap sisi uterus, dibawah dan di
belakang tuba falopii. Dua ligamen mengikat ovarium pada
tempatnya, yakni bagian mesovarium ligamen lebar uterus, yang
memisahkan ovarium dari sisi dinding pelvis lateral kira-kira
setinggi Krista iliaka antero superior, dan ligamentum ovarii
proprium.
Dua fungsi ovarium ialah menyelenggarakan ovulasi dan
memproduksi hormon. Saat lahir, ovarium wanita normal
mengandung sangat banyak ovum primordial (primitif). Ovarium
juga merupakan tempat utama produksi hormon seks steroid
(estrogen, progesterone, dan androgen) dalam jumlah yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan, perkembangan dan fungsi wanita
normal.
1. Lapisan Epidermis
Epidermis, lapisan luar, terutama terdiri dari epitel skuamosa
bertingkat. Sel-sel yang menyusunya secara berkesinambungan
dibentuk oleh lapisan germinal dalam epitel silindris dan mendatar
ketika didorong oleh sel-sel baru kearah permukaan, tempat kulit
terkikis oleh gesekan. Lapisan luar terdiri dari keratin, protein
bertanduk, Jaringan ini tidak memiliki pembuluh darah dan sel-selnya
sangat rapat.
2. Lapisan Dermis
Dermis adalah lapisan yang terdiri dari kolagen jaringan
fibrosa dan elastin. Lapisan superfasial menonjol ke dalam epidermis
berupa sejumlah papilla kecil. Lapisan yang lebih dalam terletak pada
jaringan subkutan dan fasia, lapisan ini mengandung pembuluh darah,
pembuluh limfe dan saraf.
3. Lapisan subkutan
Lapisan ini mengandung sejumlah sel lemak, berisi banyak
pembuluh darah dan ujung syaraf. Lapisan ini mengikat kulit secara
longgar dengan organ-organ yang terdapat dibawahnya. Dalam
hubungannya dengan tindakan SC, lapisan ini adalah pengikat organorgan yang ada di abdomen, khususnya uterus. Organ-organ di
abdomen dilindungi oleh selaput tipis yang disebut peritonium. Dalam
tindakan SC, sayatan dilakukan dari kulit lapisan terluar (epidermis)
sampai dinding uterus.
4. Fasia
Di bawah kulit fasia superfisialis dibagi menjadi lapisan lemak
yang dangkal, Camper's fasia, dan yang lebih dalam lapisan fibrosa,.
Fasia profunda terletak pada otot-otot perut. menyatu dengan fasia
profunda paha. Susunan ini membentuk pesawat antara Scarpa's fasia
dan perut dalam fasia membentang dari bagian atas paha bagian atas
perut. Di bawah lapisan terdalam otot, maka otot abdominis
transverses, terletak fasia transversalis. Para fasia transversalis
dipisahkan dari peritoneum parietalis oleh variabel lapisan lemak..
Fascias adalah lembar jaringan ikat atau mengikat bersama-sama
meliputi struktur tubuh.
5. Otot perut
C. Etiologi
Salah satu yang dikemukakan ialah bahwa pre eklamsi disebabkan
iskemia, plasenta dan rahim. Menurunnya aliran darah ke plasenta
mengakibatkan gangguan fungsi plasenta.
Selama kehamilan uterus memerlukan darah lebih banyak terutama
pada molahidatosa, hidramnion, kehamilan ganda, akhir kehamilan, umur
lebih 35 tahun, diabetes, peredaran darah dalam dinding rahim berkurang,
maka keluarlah zat-zat dalam placenta atau desidua yang menyebabkan vaso
spasmus dan hipertensi (Prawirohardjo, 2005).
Apa yang menjadi penyebab pre eklamsi dan eklamsi sampai sekarang
belum diketahui. Telah terdapat banyak teori yang mencoba menerangkan
sebab-musabab penyakit tersebut, akan tetapi tidak ada yang dapat memberi
jawaban yang memuaskan. Teori yang dapat diterima harus dapat
menerangkan hal-hal berikut:
D. Klasifikasi
1. Pre Eklamsi Ringan, bila disertai keadaan berikut:
a) Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih diukur pada posisi berbaring
terlentang atau kenaikan diastole 15 mmHg atau lebih kenaikan sistole
30 mmHg atau lebih. Penentuan tekanan darah dilakukan minimal 2
kali dengan jarak waktu 6 jam pada keadaan istirahat.
b) Edema secara umum, kaki, jari tangan, dan muka atau kenaikan berat
badan 1 kg atau lebih per minggu.
c) Protein urin pada pemeriksaan urin midstream atau cateter menunjukan
+ atau ++ atau 1 gr/liter.
2. Pre Eklamsi Berat
a) Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.
b) Protein uria 5 gr atau lebih per liter.
c) Oliguria yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam.
d) Adanya gangguan serebral, gangguan visus, dan nyeri epigastrium.
e) Terdapat edem paru dan sianosis (mochtar, 1998).
E. Pathofisiologi
Pada pre eklamsi terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan
retensi garam dan air. Pada biopsi ginjal ditemukan spasme hebat arteriola
10
11
e. Mata
Dapat dijumpai adanya edema retina dan spasme pembuluh darah.
Bila terdapat hal-hal tersebut, maka harus dicurigai terjadinya pre eklamsi
berat. Pada eklamsi dapat terjadi ablasio retina yang disebabkan edema
intra-okuler dan merupakan salah satu indikasi untuk melakukan terminasi
kehamilan. Gejala lain yang dapat menunjukan tanda pre eklamsi berat
yang mengarah pada eklamsi adalah adanya skotoma, diplopia, dan
ambliopia. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan peredaran darah
dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau di dalam retina.
f. Keseimbangan Air dan Elektrolit
Pada pre eklamsi ringan biasanya tidak dijumpai perubahan yang
nyata pada metabolisme air, elektrolit, kritaloid, dan protein serum. Jadi,
tidak terjadi gangguan keseimbangan elektrolit. Gula darah, kadar natrium
bikarbonat, dan pH darah berada pada batas normal. Pada pre eklamsi berat
dan eklamsi, kadar gula darah naik sementara, asam laktat dan asam
organik lainnya naik, sehingga cadangan alkali akan turun. Setelah konvulsi
selesai zat-zat organik dioksidasi, dan dilepaskan natrium yang lalu
bereaksi dengan karbonik sehingga terbentuk natrium bikarbonat. Dengan
demikian cadangan alkali dapat kembali pulih normal.
12
C. Pathways
Keperawatan
F. Pathway
Keperawatan
Hamil
Pre Eklamsi
( hipertensi, edema, Proteinuria )
Pembedahan Sectio Caesaria
Post Sectio Caesaria
luka operasi
jaringan terputus
jaringan terbuka
proteksi tubuh
menurun
pintu masuknya kuman
sumber: Bobak, 2004
Doengoes, 2001
Resti infeksi
nyeri
imobilisasi
peristaltik
usus menurun
konstipasi
Carpenito, 2000
G. Manifestasi klinis
Pertambahan berat badan yang berlebihan, edema, hipertensi, dan timbul proteinuria.
a. Gejala subyektif
b. Ganguan visus
3) Tumpang tindih dari peritoneal flat baik sekali untuk menahan penyebaran isi uterus
ke rongga periutoneum
4) Perdarahan kurang
5) Dibandingkan dengan cara klasik kemungkinan ruptura uteri spontan kurang atau
lebih kecil.
Kekurangan :
1) Luka dapat melebar ke kiri, kanan, dan bawah, sehingga dapat menye-babkan uterine
putus dan terjadi perdarahan hebat.
2) Keluhan pada kandung kemih postoperatif tinggi.
2. Sectio Caesarea ekstraperitonealis
Sectio caesarea tanpa membuka peritoneum parietalis, dengan demikian tidak membuka
kavum abdominal.
melahirkan kepala janin lubang insisi. Jika dialami ksulitan untuk melahirkan kepala
janin dengan tangan, dapat dipasang dengan cunan boerma. Sesudah kepala janin badan
terus dilahirkan muka dan mulut terus dibersihkan. Tali pusat dipotong dan bayi
diserahkan pada orang lain untuk diurus. Diberikan suntikan 10 satuan oksitosin dalam
dinding uterus/ intravena, pinggir luka insisi dipegang dengan beberapa Cunam ovum dan
plasenta serta selaput ketuban dikeluarkan secara manual. Tangan untuk sementara
dimasukkan ke dalam rongga uterus untuk mempermudah jahitan luka, tangan ini
diangkat sebelum luka uterus ditutp sama seklai. Jahitan otot uterus dilakukan dalam dua
lapisan yaitu lapisan pertama terdiri atas kahitan simpul dengan cagut dan dimulai dari
ujung yang satu ke ujung yang lain (jangan mengikutsertakan desidua), lapisan kedua
terdiri atas jahitan menerus sehingga luka pada miomtrium tertutup rapi.
Keuntungan pembedahan ini:
a. Perdarahan luka insisi tidak seberapa banyak
b. Bahaya peritonitis tidak besar
c. Parut pada uterus umumnya kuat, sehingga bahaya ruptura uteri dikemudian hari tidak
besar, karena dalam masa nifas segmen bawah uterus tidak seberapa banyak
mengalami konraksi seperti korpus uteri sehingga luka dapat sembuh lebih sempurna.
2. Teknik Seksio Sesarea Korporal
Setelah dinding perut dan peritoneum pariatale terbuka pada gari lengan dipasang
beberapa kain kasa panjang antara dinding perut dan dinding uterus untuk mencegah
masuknya air ketuban dan darah ke rongga perut. Diadakan insisi pada bagian tengah
korpus uteri sepanjang 10-12 cm dengan ujung bawah di atas batas plika vegika uterine.
Diadakan lubang kecil pada batang kantong ketuban untuk menghisap air ketuban
sebanyak mungkin, lubang ini kemudian dilebarkan dan janin dilahirkan dengan tarikan
pada kakinya. Setelah anak lahir korpus uteri dapat dilahirkan dari rongga perut untuk
memudahkan tindakan-tindakan selanjutnya. Sekarang diberikan suntikan 10 satuan
oksitosin dalam dinding uterus intravena dan plasenta serta selaput ketuban dikeluarkan
secara manual kemudian dinding uterus ditutup dengan jahitan catgut yang kuat dalam
dua lapisan, lapisan pertama terdiri atas jahitan simpul dan kedua jahitan menerus.
Selanjutnya diadakan jahitan menerus dengan catgut lebih tipis yang mengikutsertakan
peritoneum serta bagian luar miomtrium dan yang menutupi jahitan yang terlebih dahulu
dengan rapi. Akhirnya dinding perut ditutup secara biasa.
3. Teknik seksio sesarea klasik
a.
b.
Pada dinding perut dibuat insisi mediana mulai dari atas simfisis sepanjang 12 cm
sampai di bawah umbilikus lapis demi lapis sehingga kavum peritonial terbuka.
c.
d.
Dibuat insisi secara tajam dengan pisau pada segmen atasa rahim (SAR) kemudian
diperlebar secara sagital dengan gunting.
e.
Setelah kavum uteri terbuka, selaput ketuban dipecahkan. Janin dilahirkan dengan
meluksir kepala dan mendorong fundus utri. Setelah janin lahir eluruhnya, tali pusat
dijepit dan dipotong diantara kedua penjepit.
f.
g.
h.
i.
Rongga perut dibersihkan dari sisa-sisa darah dan akhirnya luka dinding perut
dijahit.
pada waktu seksio sesarea transperitoneal profunda dibebaskan lebih jauh ke bawah
dan lateral. Pada ligamentum latum belakang lubang dngan jari telunjuk tangan kiri di
bawah adneksa dari arah belakang. Dengan cara ini ureter akan terhindar dari
kemungkinan terpotong.
d. Melalui lubang pada ligamentum ini, tuba faloppi, ligamnetum utero ovarika, dan
pembuluh darah dalam jaringan terebut dijepit dengan 2 cunam oscher lengkung dan
di sisi rahim dengan cunam kocher. Jaringan diantaranya kemudian digunting dengan
gunting Mayo. Jaringan yang terpotong diikat dengan jahitan transfiks untuk
hemotasis dengan catgut no. 0
e. Jaringan ligamentum latum yang sebagian besar adalah avaskuler dipotong secara
tajam ke arah serviks. Setelah pemotongan ligamentum latum sampai di daerah
serviks, kandung kencing disisihkan jauh ke bawah dan samping
f. Pada ligamentum kardinale dan jaringan paraservikal dilakukan panjepitan dengan
cunam oscher lengkung secara ganda, dan pada tempat yang ama di sisi rahim dijepit
dengan cunam kocher luurs. Kemudian jaringan diantaranya digunting dengan
gunting Mayo. Tindakan ini dilakukan dalam beberapa tahap sehingga ligamentum
kardinale terpotong seluruhnya. Puntung ligamentum kardinale dijahit transfiks
secara ganda dengan benang catgut khronik no. 0
g. Demikian juga ligamentum sakro-uterine kiri dan kanan dipotong dengan cara yang
sama, dan iligasi secara transfiks dengan benang catgut khronik no.0
h. Setelah mencapai di atas dinding vagina serviks, pada sisi depan serviks dibuat irisan
sagital dengan pisau, kemudian melalui insisi tersebut dinding vagina dijepit engan
cunam oscher melingkari serviks dan dinding vagina dipotong tahap demi tahap.
Pemotongan dinding vagina dapat dilakukan dengan gunting atau pisau. Rahim
akhirnya dapat diangkat.
i. Puntung vagina dijepit dengan beberapa cunm kocher untuk hemostasis. Mula-mula
puntung kedua ligamentum kardinale dijahitkan pada ujung kiri dan kanan puntung
vagina, sehingga terjadi hemostasis pada kedua ujung puntung vagina. Puntung
vagina dijahit secara jelujur untuk hemostasis dengancatgut khromik. Puntung
adneksa yang telah dipotong dapat dijahitkan digantungkan pada puntung vagina,
asalkan tidak terlalu kencang. Akhirnya puntung vagina ditutup dengan retroperitonealisasi dengan menutupkan bladder flap pada sisi belakang puntung vagina.
j. Setelah rongga perut dibersihkan dari sisa darah, luka perut ditutup kembali lapis
demi lapisan (Winkjosastro,2005).
Janin mati atau berada dalam keadaan kritis, kemungkinan janin hidup
kecil. Dalam hal ini tidak ada alasan untuk melakukan operasi.
b)
Janin lahir ibu mengalami infeksi yang luas dan fasilitas untuk sectio
caesarea ekstra peritoneal tidak ada.
c)
I
II
Fase
Proses
Inflamasi
Reaksi radang
Proliferasi
III
Penyudahan
Regenerasi/
fibroplasias
Pematangan
perupaan kembali
Yaitu kotoran yang keluar dari liang senggama dan terdiri dari jaringan-jaringan mati dan
lendir berasal dari rahim dan liang senggama. Menurut pembagiannya sebagai berikut :
1) Lochea rubra
Berwarna merah, terdiri dari lendir dan darah, terdapat pada hari kesatu dan kedua.
2) Lochea sanguinolenta
Berwarna coklat, terdiri dari cairan bercampur darah dan pada hari ke-3 - 6 post partum.
3) Lochea serosa
Berwarna merah muda agak kekuningan, mengandung serum, selaput lendir, leucocyt
dan jaringan yang telah mati, pada hari ke-7 - 10.
4) Lochea alba
Berwarna putih / jernih, berisi leucocyt, sel epitel, mukosa serviks dan bakteri atau
kuman yang telah mati, pada hari ke-1 2 minggu setelah melahirkan.
2. Adaptasi psikososial
Ada 3 fase perilaku pada ibu post partum menurut Bobak, Lowdermik, Jensen (2004) yaitu
:
a. Fase taking in (Fase Dependen)
1) Selama 1 - 2 hari pertama, dependensi sangat dominan pada ibu dan ibu lebih
memfokuskan pada dirinya sendiri.
2) Beberapa hari setelah melahirkan akan menangguhkan keterlibatannya dalam
tanggung jawab sebagai seorang ibu dan ia lebih mempercayakan kepada orang lain
dan ibu akan lebih meningkatkan kebutuhan akan nutrisi dan istirahat.
3) Menunjukkan kegembiraan yang sangat, misalnya menceritakan tentang pengalaman
kehamilan, melahirkan dan rasa ketidaknyamanan.
b. Fase taking hold (Fase Independen)
1) Ibu sudah mau menunjukkan perluasan fokus perhatiannya yaitu dengan
memperlihatkan bayinya.
2) Ibu mulai tertarik melakukan pemeliharaan pada bayinya.
3) Ibu mulai terbuka untukmenerima pendidikan kesehatan bagi diri dan bayinya.
c. Fase letting go (Fase Interdependen)
1) Fase ini merupakan suatu kemajuan menuju peran baru.
2) Ketidaktergantungan dalam merawat diri dan bayinya lebih meningkat.
10
M. Penatalaksanaan
Penatalakanaan yang diberikan pada pasien Post SC diantaranya:
1. Penatalaksanaan secara medis
a. Analgesik diberikan setiap 3 4 jam atau bila diperlukan seperti Asam Mefenamat,
Ketorolak, Tramadol.
b. Pemberian tranfusi darah bila terjadi perdarahan partum yang hebat.
c. Pemberian antibiotik seperti Cefotaxim, Ceftriaxon dan lain-lain. Walaupun pemberian
antibiotika sesudah Sectio Caesaria efektif dapat dipersoalkan, namun pada umumnya
pemberiannya dianjurkan.
d. Pemberian cairan parenteral seperti Ringer Laktat dan NaCl.
2. Penatalaksanaan secara keperawatan
a. Periksa dan catat tanda tanda vital setiap 15 menit pada 1 jam pertama dan 30 menit
pada 4 jam kemudian.
b. Perdarahan dan urin harus dipantau secara ketat
c. Mobilisasi
Pada hari pertama setelah operasi penderita harus turun dari tempat tidur dengan dibantu
paling sedikit 2 kali. Pada hari kedua penderita sudah dapat berjalan ke kamar mandi
dengan bantuan.
d. Pemulangan
Jika tidak terdapat komplikasi penderita dapat dipulangkan pada hari kelima setelah
operasi
Menurut Bobak ( 2004 ), Wiknjasastro ( 2002 )
1. Tujuan pengobatan
a. Menurunkan Tekanan Darah dan menghasilkan vasospasme
b. Mencegah terjadinya eklamsi
c. Anak / bayi hidup, dengan kemungkinan hidup besar
d. Persalinan harus dengan trauma yang sedikit jangan sampai menyebabkan penyakit
pada kehamilan dan persalinan berikutnya
e. Mencegah timbulnya kejang
11
N. Komplikasi
Kemungkinan komplikasi dilakukannya pembedahan SC menurut Wiknjosastro (2002)
1. Infeksi puerperal
Komplikasi yang bersifat ringan seperti kenaikan suhu tubuh selama beberapa hari dalam
masa nifas yang bersifat berat seperti peritonitis, sepsis.
2. Perdarahan
Perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika cabang arteria uterine ikut
terbuka atau karena atonia uteri.
12
3. Komplikasi lain seperti luka kandung kemih, kurang kuatnya jaringan parut pada dinding
uterus sehingga bisa terjadi ruptur uteri pada kehamilan berikutnya
13
Untuk mengetahui apakah kiranya pekerjaan klien dan untuk mengetahui tingkat
sosial ekonomi agar nasehat kita sesuai. Kecuali itu, untuk mengetahui apakah
pekerjaan itu akan mengganggu kelahiran atau tidak (Cristina, 1996).
(7) Alamat
Untuk mengetahui ibu tinggal dimana serta mempermudah tenaga kesehatan untuk
kunjungan rumah (Cristina, 1996).
b) Keluhan utama
Untuk mengetahui keluhan-keluhan yang dirasakan klien (Cristina, 1996). Keluhan klien
pada pre eklamsi berat adalah: sakit kepala, mata agak kabur, dan mual (Mochtar, 1998).
c) Riwayat kesehatan
(1) Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat kesehatan keluarga: apakah dalam keluarga mempunyai riwayat hipertensi,
resiko meningkat pada faktor herediter (Saifuddin JNP KKR-POGI, 2000).
(2) Riwayat kesehatan yang lalu
Tujuannya untuk mengetahui riwayat kesehatan yang lalu: apakah klien pernah
dirawat dengan penyakit yang sama pada persalinan sebelumnya. Pada hipertensi
menahun sebelum hamil, saat persalinan, bisa menunjang diagnosa pre eklamsi berat
(Mochtar, 1998).
(3) Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat kesehatan sekarang: data ini untuk mengetahui penyakit yang lain yang
dapat memperburuk keadaan.
d) Riwayat obstetri
(1) Riwayat menstruasi
Untuk mengetahui tentang keadaan menstruasi yang dulu, kapan menarche terjadi
pada ibu, disminorhoe, lama menstruasi, siklusnya, dan ditanyakan pula frekuensi
yang terakhir (Cristina, 1996). Pada pre eklamsi berat untuk menghitung usia
kehamilan pada persalinan kali ini apa prematur atau matur.
(2) Riwayat kehamilan, persalinan, dan nifas yang lalu
Untuk mengetahui kehamilan, persalinan, dan nifas yang lalu normal atau tidak
(Cristina, 1996).
14
f) Riwayat KB
Tujuannya untuk mengetahui jenis kontrasepsi yang dipakai, alasan berhenti memakai
kontrasepsi, lamanya menggunakan kontrasepsi.
g) Pola kebiasaan sehari-hari
(1) Nutrisi
Untuk mengetahui pola makan, jenis makanan,makanan tinggi protein, tinggi
karbohidrat, dan rendah lemak, bila ada oedema kurangi garam adalah makanan
yang dianjurkan untuk pre eklamsiberat (Manuaba, 1998).
(2) Pola eliminasi
Untuk mengetahui apakah ada gangguan terhadap eliminasi, bila ada gangguan
menunjukan terjadinya retensi garam dan air.
(3) Pola istirahat
Untuk mengetahui keadaan atau kebiasaan istirahat klien cukup atau tidak (Cristina,
1996). Pada kasus pre eklamsi berat ini klien dianjurkan miring atau berbaring ke
arah punggung janin, sehingga aliran darah menuju plasenta tidak mengalami
gangguan (Manuaba, 2000).
(4) Pola aktifitas
Sejauh mana aktifitas yang dilakukan klien, apakah ada gangguan dalam beraktifitas.
(5) Personal hygiene
Untuk mengetahui apakah ibu sudah menjaga kebersihan seluruh tubuh.
(6) Hubungan sexual
Untuk mengetahui berapa kali ibu melakukan hubungan sexual dan apakah ada
keluhan.
h) Data psikososial
15
Untuk mengetahui kondisi psikologi terhadap penyakitnya, perlu dikaji apakah ada rasa
cemas, gelisah, takut akan keadaan yang dapat membahayakan janin yang dikandungnya.
Hal ini karena faktor ketenangan dapat mencegah terjadinya pre eklamsi berat dalam
persalinan (Mochtar, 1998).
i) Data obyektif
a)
Pemeriksaan umum
HPL
Pemeriksaan umum untuk mengetahui keadaan ibu pre eklamsi berat meliputi: KU
lemah, kesadaran composmentis, tekanan darah 230/130 mmHg, nadi normal 88
x/menit, tinggi badan: 155 cm, BB sebelum hamil 46 kg, BB sekarang 62 kg.
b)
Status present
Melakukan pemeriksaan fisik dari ujung rambut sampai ujung kaki (head to toe)
meliputi :
(1) Kepala
Rambut
Muka
: oedem.
Mata
Telinga
Hidung
Mulut
(2) Leher
:tidak
ada
pembesaran
normal
kelenjar
tyroid
dan
vena jugularis
(3) Axilla
(4) Dada
(5) Abdomen
pembesaran hepar
(6) Punggung
: lordosis
(7) Genetalia
(8) Anus
: oedem +
16
Mammae
kolustrum (-),
terdapat linea
17
P.
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien post SC dengan indikasi pre eklamsia
adalah
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan efek anestesi
2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas
jaringan
18
kontinuitus jaringan
19
c. Menjaga kebersihan sekitar luka dan lingkungan pasien, teknik rawat luka dengan anti
septik
Rasional : Mencegah kontaminasi silang atau penyebaran organisme infeksius
d. Catat /pantau kadar Hb dan Ht
Rasional : Resiko infeksi post partum dan penyembuhan buruk meningkat bila kadar
Hb rendah dan kehilangan darah berlebihan
e. Kolaborasi pemberian antibiotik
Rasional : Antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi
4. Resiko devisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah dalam pembedahan
(Doenges, 2001).
Tujuan : Tidak terjadi devisit volume cairan, meminimalkan devisit volume cairan
KH : Membran mukosa lembab, kulit tak kering Hb 12gr %
Intervensi :
a. Ukur dan catat pemasukan pengeluaran
Rasional : Dokumentasi yang akurat akan membantu dalam mengidentifikasikan
pengeluaran cairan atau kebutuhan pengganti dan menunjang intervensi
b. Berikan bantuan pengukuran berkemih sesuai lab, misal privesi, posisi duduk , mengalir
dalam bak
Rasional : Meningkatkan relaksasi otot perineal dan memudahkan upaya pengosongan
c. Catat munculnya mual /muntah
Rasional : Masa post operasi semakin lama durasi anestesi semakin besar beresiko
untuk mual
d. Periksa pembalut , banyaknya pendaraan
Rasional : Perdarahan yang berlebihan dapat mengacu kepada hemoragi
e. Beri cairan infus sesuai program
Rasional : Mengganti cairan yang telah hilang
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan adanya insisi resmi pembedahan dan nyeri
(Doenges,2001).
Tujuan : klien dapat meningkatkan dan melakukan aktivitas sesuai kemampuan tanpa di
sertai nyeri
KH.: Klien dapat mengidentivikasi faktor-faktor yang menurunkan toleransi aktvitas
20
Intervensi :
a. Kaji respon pasien terhadap aktivitas
Rasional : Untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada klien dalam keluhan
kelemahan, keletihen yang berkenaan dengan aktivitas
b. Catat tipe anestesi yang di berikan pada saat intra partus pada waktu klien sadar
Rasional : Pengaruh anestesi dapat mempengaruhi aktivitas klien
c. Anjurkan klien untuk istirahat
Rasional : Dengan istirahat dapat mempercepat pemulihan tenega untuk beraktivitas,
klien dapat rileks
d. Bantu dalam pemenuhan aktivitas sesuai kebutuhan
Rasional : Dapat memberikan rasa tenang dan aman pada klien karena kebutuhan klien
terpenuhi
e. Tingkatkan aktivitas secara bertahap
Rasional : Dapat meningkatkan proses penyembuhan dan kemampuan koping
emosional
6. Konstipasi berhubungan dengan imobilisasi (Doenges,2001).
Tujuan : Konstipasi tidak terjadi
KH : Klien dapat mengerti penyebab konstipasi klien dapat BAB tidak peras.
Intervensi :
a. Kaji pada klien apakah ada gangguan dalam BAB
Rasional : Untuk mengetahui apakah ada gangguan dalam BAB
b. Anjurkan pada klien untuk makan makanan yang banyak mangandung serat
Rasional : Cairan dan makanan serat dapat merangsang eliminasi dan mencegah
konstipasi
c. Anjurkan untuk minum yang banyak
Rasional : Untuk merangsang eliminasi
d. Kolaborasi pemberian obat supositoria
Rasional : Untuk melunakan feses
7. Tidak efektifnya laktasi b/d perpisahan dengan bayi (Carpenito, 2000).
Tujuan : Ibu dapat menyusui secara aktif
21
Kriteria hasil
Intervensi :
a. Kaji kesiapan dan motivasi untuk belajar
Rasional
22
23