Anda di halaman 1dari 28

PSIKOLOGI MENURUT PARA

FILSUF YUNANI KUNO

Manusia dihadapkan pada berbagai


masalah, baik yang berhubungan
dengan alam atau dirinya

Thales (625547 SB)


merupakan salah satu filsuf yang paling
berpengaruh pada masanya. Ia seorang
naturalist yang menekankan pentingnya
penjelasan alamiah, dan meminimalisir
penjelasan supernatural
Baginya, dunia merupakan sesuatu yang bisa
dipahami dan dimengerti manusia. Menurut
Thales segala sesuatu yang ada di dunia
terdiri dari substansi yang sifatnya alamiah,
dan dikendalikan oleh prinsip-prinsip alamiah
tersebut (Hergenhahn, 2009. hal 31).

Thales berusaha mencari substansi


atau elemen dasar yang
mengendalikan segala sesuatu yang
ada di alam semesta.
Ia kemudian menyimpulkan bahwa
elemen dasar dari segala sesuatu
adalah air. Air ada dimana-mana, dan
kehidupan tergantung pada air.

Heraclitus (540480 B.C.)


Heraclitus menganggap segala
sesuatu, termasuk manusia, dalam
proses menjadi atau becoming
(lawan katanya being).
Baginya, tidak ada suatu peristiwa
pun yang konstan dan terjadi dua
kali, It is impossible to step twice
into the same river (Waterfield,
2000, p. 41).

Oleh karena itu, mempelajari apapun yang


mengalami perubahan secara empirik akan
sulit, kecuali hanya menghasilkan
kemungkinan-kemungkinan saja.
Menurutnya, segala sesuatu berada diantara
dua kutub. Tidak ada yang benar-benar panas
atau dingin, malam atau siang, senang atau
sedih. Suatu kutub bisa menjelaskan kutub
yang lainnya, panas bisa menjelaskan dingin,
dan malam bisa menjelaskan siang.

Parmenides (515 B.C.)


Berbeda dengan Heraclitus,
Parmenides justru menganggap bahwa
segala perubahan merupakan ilusi.
Realitas dianggapnya satu dan bisa
dipahami melalui penalaran.
Rasionalitas merupakan instrumen
yang bisa dipakai untuk mendapatkan
pengetahuan, sedangkan pengalaman
inderawi dianggapnya sebagai tipuan.

Pythagoras (ca. 580500 B.C.)


Pythagoras mengasumsikan dunia terdiri dari
dunia abstrak dan dunia fisik yang saling
berinteraksi. Begitu juga dengan manusia,
dianggapnya terdiri dari jiwa (mind) dan tubuh
(body) yang satu sama lain terpisah (dualism).
Jiwa merupakan sesuatu yang bersifat
abstrak, tetap dan dapat diketahui oleh rasio,
sedangkan tubuh merupakan sesuatu yang
empiris, berubah-ubah dan dapat diketahui
oleh indera.

Hippocrates (ca. 460377 B.C.)


Hippocrates menyimpulkan bahwa semua penyakit,
baik mental maupun fisik, dikarenakan faktor-faktor
alamiah, bukan karena faktor supernatural.
Menurutnya, segala sesuatu termasuk manusia terdiri
dari empat elemen, yaitu tanah, udara, api, dan air.
Keempat elemen tersebut berhubungan dengan
humor in the body. Keseimbangan di antara
keempatnya akan menimbulkan kesehatan,
sedangkan ketidakseimbangan akan menimbulkan
penyakit. Selain itu, Hippocrates menyakini bahwa
tubuh mempunyai kemampuan untuk mengobati
dirinya sendiri.

Kaum Sofis
Seiring dengan banyaknya pandangan
dan perdebatan filosofis mengenai
elemen dasar dari segala sesuatu, relasi
tubuh dan jiwa, serta kestabilan realitas
untuk diamati, kaum sofis kemudian
menunjukkan pandangan bahwa
kebenaran itu tidak satu. Kebenaran
bersifat relatif, tergantung pada
kemampuan retorika dan logika dalam
menyakinkan orang-orang. Diantara
kaum sofis antara lain Protagoras (ca.

Keberadaan kaum sofis disebutkan


seringkali dianggap negatif. Kaum sofis
meragukan kebanaran, termasuk
kebenaran agama. Namun, kaum sofis
mendorong revolusi intelektual Yunani
(Barten, 1990). Berkat jasa kaum sofis,
filsafat mulai membahas manusia
secara serius sebagai objek
bahasannya.

Protagoras (485410 B.C.)


Protagoras terkenal dengan kata-katanya Man is the
measure of all things. Ia memandang bahwa kebenaran
tergantung pada pikirannya masing-masing.
Kebenaran objektif dianggapnya tidak ada. Implikasi dari
pernyataan tersebut disebutkan Hergenhahn (2009) sebagai
berikut : 1) kebenaran tergantung pada persepsi pada
realitas, 2) persepsi bervariasi sesuai dengan pengalaman
orang per orang, 3) kebenaran akan berbeda secara kultural
karena pengalaman orang dipengaruhi budaya, 4) untuk
memahami keyakinan seseorang harus memahami yang
bersangkutan. Tidak jauh berbeda dengan Protagoras,
Gorgias menganggap kebenaran itu bersifat subjektif, dan
tidak ada alasan untuk mendapatkan pengetahuan objektif
(nihilism)

Socrates (470399 B.C.)


Seperti halnya kaum Sofis, Socrates juga
menganggap penting pengalaman
subjektif individu, dan lebih fokus
terhadap manusia daripada alam
(Cosmocentric-Anthropocentric).
Cicero, seorang fisuf dan sastrawan roma,
(Barten, 1999, hal. 81) mengatakan
bahwa Socrates telah memindahkan
filsafat dari langit ke atas bumi.

Socrates mulai membahas dan


mempermasalahkan masalah-masalah praktis
dalam kehidupan.
Tidak seperti kaum sofis yang percaya dengan
relativitas kebenaran, Socrates masih percaya
dengan adanya kebenaran objektif. Dalam
mencari kebenaran, Socrates menyarankan
untuk mengenali diri sendiri atau Know
Thyself.
Pengenalan terhadap diri sendiri akan
mengantarkan pada kebenaran.

Ia percaya bahwa kebenaran bisa diperoleh


dengan cara mencari esensi dari sesuatu.
Esensi adalah suatu konsep yang diterima secara
universal, dan dasar dari suatu pengetahuan.
Kaum sofis lainnya percaya dengan keabstrakan
dan subjektifitas esensi, sedangkan Socrates
menyakini bahwa esensi merupakan
pengetahuan yang dapat diterima oleh setiap
golongan. Bagi Socrates, esensi merupakan
pengetahuan yang akan mengarahkan perilaku
seseorang.

Untuk memperoleh esensi tersebut, Socrates


menggunakan metode dialektika, atau percakapan.
Socrates berdialog dan mengajukan pertanyaanpertanyaan spesifik kepada orang-orang mengenai
suatu konsep tertentu, seperti kecantikan atau
keadilan. Beragam pertanyaan disampaikan sampai
diperoleh karakteristik umum dari konsep-konsep
tersebut.
Metode Socrates, menurut Aristoteles, merupakan
metode induktif, yaitu memperoleh kesimpulan
umum berdasarkan data-data khusus.

Ajaran Sokrates yang juga terkenal adalah mengenai


pentingnya kesejahteraan jiwa daripada kesehatan
fisik.
Jiwa dikatakan merupakan inti dari kepribadian
seseorang. Kesejahteraan jiwa disini bukanlah
kesejahteraan subjektif yang dirasakan secara berbeda
antara satu orang dengan yang lainnya, melainkan
kesejahteraan objektif yang tidak tergantung pada
perasaan subjektif (Barten, 1990, hal. 108).
Untuk mendapatkan kesejahteraan tersebut, Socrates
mensyaratkan diperolehnya arte atau keutamaan
(virtue).

Plato (427347 B.C.)


Plato terkenal dengan ajarannya mengenai idea. Ajaran
mengenai Idea merupakan inti dari filsafat Plato
(Barten, 1999).
Idea disini bukan idea dalam pengertian gagasan
subjektif yang berbeda antara satu orang dengan yang
lain. Idea Plato adalah sesuatu yang objektif, yang
berdiri sendiri, permanen, abstraks, dan dapat
diketahui.
Bagi Plato apapun merupakan manipestasi dari idea ini.
Pengalaman kita merupakan hasil interaksi antara idea
dan materi. Sifat dasar materi berubah-ubah karena
diperoleh melalui indera, sedangkan idea mempunyai
sifat permanen.

Ajaran mengenai Idea merupakan pengembangan dari


ajaran gurunya, Socrates, mengenai Esensi.
Socrates menyakini bahwa pemahaman mengenai faktafakta spesifik akan mengantarkan kita pada pemahaman
mengenai esensi dari suatu konsep. Bagi Plato, esensi
mempunyai realitas yang terlepas dari fakta-fakta yang
bersifat kongkrit. Fakta-fakta tersebut tidak dapat
mempengaruhi esensi.
Cara untuk mengetahui esensi adalah dengan melepaskan
diri dari pengalaman inderawi, atau introspeksi. Konsep
keadilan, misalnya, memiliki idea tersendiri yang terlepas
dari praktek-praktek yang bisa dinilai mengandung unsur
keadilan dalam kehidupan sehari-hari.

Plato membagi dunia menjadi dua, yaitu


dunia idea dan dunia inderawi.
Dunia idea bersifat abadi dan tidak
berubah, sedangkan dunia inderawi selalu
mengalami perubahan. Dunia idea dapat
diketahui dengan rasio yang akan
menghasilkan pengetahuan atau episteme.
Dunia inderawi dapat diketahui dengan
indrawi dan akan menghasilkan doxa atau
pendapat yang sifatnya tidak pasti.

Seperti Socrates, Plato pun menyakini bahwa


jiwa merupakan inti dari kepribadian
seseorang. Bagi plato, jiwalah yang dapat
mengenal idea, dan karenanya jiwa memiliki
karakteristik yang sama dengan idea.
Seperti para pengikut pemikiran pithagoras,
Plato pun menganggap jiwa sebagai sesuatu
yang bersifat abadi dan tidak mengalami
perubahan, berbeda dengan tubuh yang fana
dan mengalami kehancuran. Ketika tubuh
hancur, jiwa akan tetap ada.

Bahkan, jiwa dinyakininya ada sebelum tubuh.


Sebelum menyatu dengan tubuh, jiwa
memiliki pengetahuan yang murni, yang
kemudian terkontaminasi oleh informasiinformasi inderawi.
Menurut Plato, jiwa mempunyai tiga
komponen : rasional, emotional (keberanian),
dan nafsu. Komponen rasional berasal dari
jiwa yang bersifat abadi, sedangkan dua
komponen berikut berasal dari tubuh yang
fana (immortal).

Ketiga komponen tersebut hampir selalu mengalami


konfliks. Kadang nafsu (lapar, haus, ngantuk), emosi
(takut, malu, marah) mempunyai arah yang
bertentangan dengan rasio, sehingga rasio harus
berusaha mengontrol dan mengendalikan dorongandorongan tubuh tersebut. Namun demikian, dalam
keadaan terjaga, dorongan tubuh tersebut mungkin
saja bisa dikendalikan, tapi dalam keadaan tidur,
dorongan tersebut bisa keluar dengan sendirinya dalam
bentuk mimpi.
Berdasarkan ketiga komponen jiwa tersebut, Plato
membagi tiga karakteristik orang. Ada orang yang
didominasi oleh nafsu, emosi, atau rasio.

Aristotle (384322 B.C.)


Aristotle merupakan filsuf yang pertama kali secara serius
membahas topik-topik yang kemudian menjadi isu sentral
dalam psikologi, seperti mengenai sensasi, memori, belajar,
dan mimpi.
Bukunya De Anima dianggap sebagai buku yang mengawali
sejarah psikologi. Seperti halnya Plato, Aristotle juga tertarik
dengan esensi. Aristotle menyakini keberadaan esensi dan
keberadaannya tersebut bisa diketahui dengan menelitinya.
Bagi Aristotle, pemerolehan pengetahuan bisa melalui logika
(rationalism) ataupun pengalaman inderawi (empirisme). Ia
menyakini bahwa pikiran harus digunakan untuk
memperoleh pengetahuan (rationalism), tapi objek rasio
tersebut merupakan informasi yang diperoleh melalui
indera (Hergenhahn, 2009, hal 52).

Psikologi Aristotle. Aristotle mendefinisikan jiwa (soul) dengan


sangat luas. Jiwa dianggapnya sebagai sesuatu yang
memberikan kehidupan. Maka, setiap makhluk hidup
dianggapnya memiliki jiwa.
Menurutnya, terdapat tiga jenis jiwa yang bersifat hierarkis :
A vegetative soul. Jiwa vegetatif terdapat pada tanaman
yang membuatnya tumbuh dan bereproduksi
A sensitive soul. Jiwa sensitif terdapat pada binatang.
Selain bisa tumbuh dan bereproduksi, binatang juga dapat
mengalami perasaan sedih dan senang.
A rational soul. Jiwa rasional terdapat pada manusia.
Dibanding tanaman dan binatang, manusia memiliki
kemampuan untuk berfikir rasional dan mengembangkan
peradaban.

Aristotle juga menjelaskan mengenai sensasi, persepsi,


memori, motivasi, dan emosi.
Menurutnya, informasi mengenai lingkungan diperoleh
melalui lima indera (penglihatan, pendengaran,
penciuman, perabaan, dan pengecapan). Diyakini
bahwa gerakan dari suatu objek dapat menstimulasi
fungsi indra.
Informasi inderawi merupakan pengetahuan yang
paling dasar, yang kemudian bisa meningkat menjadi
common sense (synthesized experience), passive
reason (utilization of synthesized experience) dan
active reason (essences from synthesized experience)

Persepsi indrawi kemudian akan disimpan dalam memori.


Mengingat dianggapnya sebagai mengumpulkan kembali
segala sesuatu yang pernah dialami dengan menggunakan
hukum asosiasi (laws of association).
Selain itu, ia menyampaikan beberapa hukum berikut : law
of contiguity (ketika berfikir tentang sesuatu, kita pun akan
memikirkan sesuatu yang berhubungan dengannya), law of
similarity (ketika berfikir tentang sesuatu, kita pun akan
memikirkan sesuatu yang mirip dengannya), law of
contrast (ketika berfikir tentang sesuatu, kita pun akan
memikirkan sesuatu yang menjadi lawannya), law of
frequency (semakin sering suatu pengalaman dialami
secara bersamaan, semakin kuat kemungkinan terjadinya
asosiasi).

Selain itu, menurut Aristotle, manusia mempunyai keinginan untuk


mendapatkan kebahagiaan. Kebahagian tersebut memotivasi
manusia untuk melakukan tindakan-tindakan. Ada kebahagian yang
diperoleh dengan memenuhi kebutuhan jiwa vegetatif, sensitive, dan
rasional.
Mengalami lapar, haus (kebutuhan jiwa vegatatif), dorongan seksual,
ketidaknyaman tubuh, amarah (kebutuhan sensitif), ketidaktahuan,
kemiskinan (jiwa rasional) merupakan pengalaman yang tidak
mengenakan.
Ketidaknyamanan tersebut mendorong manusia untuk
menguranginya. Sebagian manusia, didorong oleh motivasi untuk
memenuhi kebutuhan jiwa vegetatif dan sensitif (kebutuhan
biologis), sebagian lagi didorong oleh motivasi untuk memenuhi
kebutuhan jiwa rasional. Namun kebahagian sejati akan diperoleh jika
memenuhi kebutuah jiwa rasional dan menggunakannya untuk
mengendalikan jiwa vegetatif dan sensitif.

Anda mungkin juga menyukai