Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
RSUD KOJA
REFERAT
SINUSITIS
Pembimbing :
Dr. Fitriah Shebubakar, Sp.THT-KL
Disusun oleh :
Sylvana Evawani, S.Ked
2010
DAFTAR ISI
Judul ................................................................................................ 1
Daftar isi ...........................................................................................2
KataPengantar....................................................................................3
Bab I Anatomi dan Fisiologi Sinus Paranasal...................................4
Bab II Sinusitis.................................................................................13
Bab III Penatalaksanaan...................................................................22
Bab IV Kesimpulan..........................................................................26
Daftar Pustaka...................................................................................27
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penyusun ucapkan kepada Tuhan YME atas limpahan rahmat-Nya
referat ini dapat terselesaikan dengan baik.
Pada kesempatan ini penyusun juga ingin menyampaikan terima kasih sebesarbesarnya kepada Dr. Fitriah Shebubakar Sp.THT-KL atas bimbingannya
Referat ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Ilmu THT RSUD Koja.
Penyusun berharap dengan tersusunnya referat ini dapat memberikan manfaat dan
menambah pengetahuan khususnya di bidang kedokteraan. Tidak lupa pula penyusun
mengharapkan adanya kritik dan saran agar di masa yang akan datang, penyusun dapat
meningkatkan kualitas tulisan, baik dari segi isi maupun bentuknya.
Penyusun
BAB I
SINUS PARANASAL
Terdapat empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus
maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sphenoid kanan dan kiri. Ada 2 golongan
besar sinus paranasalis, yaitu golongan anterior sinus paranasalis, yaitu sinus frontalis,
sinus ethmoidalis anterior, dan sinus maksilaris. Serta golongan posterior sinus
paranasalis, yaitu sinus etmoidalis posterior dan sinus sfenoidalis. (7,8,9)
Ostium sinus maksilaris terletak di bagian superior dari dinding medial sinus.
Intranasal biasanya terletak pada pertengahan posterior infundibulum etmoid, atau
disamping 1/3 bawah processus uncinatus. Ukuran ostium ini rata-rata 2,4 mm tapi
dapat bervariasi. 88% dari ostium sinus maksilaris bersembunyi di belakang processus
uncinatus sehingga tidak bisa dilihat secara endoskopi.
I.1.2
Sinus etmoid adalah struktur yang berisi cairan pada bayi yang baru dilahirkan.
Selama masih janin perkembangan pertama sel anterior diikuti oleh sel posterior. Sel
tumbuh secara berangsur-angsur sampai usia 12 tahun. Sel ini tidak dapat dilihat dengan
sinar x sampai usia 1 tahun. Septa yang ada secara berangsur-angsur menipis dan
pneumatisasi berkembang sesuai usia. Sel etmoid bervariasi dan sering ditemukan di
atas orbita, sfenoid lateral, ke atap maksila dan sebelah anterior diatas sinus frontal.
Peyebaran sel etmoid ke konka disebut konka bullosa.
Gabungan sel anterior dan posterior mempunyai volume 15 ml (33 x 27 x 14
mm). Bentuk ethmoid seperti piramid dan diabgi menjadi sel multipel oleh sekat yang
tipis. Atap dari ethmoid dibentuk oleh berbagai struktur yang penting. Sebelah anterior
posterior agak miring (15o). 2/3 anterior tebal dan kuat dibentuk oleh os frontal dan
foveola etmoidalis. 1/3 posterior lebih tinggi sebelah lateral dan sebelah medial agak
miring ke bawah ke arah lamina kribiformis. Perbedaan berat antara atap medial dan
lateral bervariasi antara 15-17 mm. sel etmoid posterior berbatasan dengan sinus
sfenoid.
Sinus etmoid mendapat aliran darah dari a.karotis eksterna dan interna dimana
a.sfenopalatina dan a.oftalmika mendarahi sinus dan pembuluh venanya mengikuti
arterinya. Sinus etmoid dipersarafi oleh n V.1 dan V.2, n V.1 mensarafi bagian superior
sedangkan sebelah inferior oleh n V.2. persarafan parasimpatis melalui n.vidianus,
sedangkan persarafan simpatis melalui ganglion servikal.
Sel di bagian anterior menuju lamela basal. Pengalirannya ke meatus media
melalui infundibulum etmoid. Sel yang posterior bermuara ke meatus superior dan
berbatasan dengan sinus sfenoid. Sel bagian posterior umumnya lebih sedikit dalam
jumlah namun lebih besar dalam ukuran dibandingkan dengan sel bagian anterior.
Bula etmoid terletak diatas infundibulum dan permukaan lateral inferiornya, dan
tepi superior prosesus uncinatus membentuk hiatus semilunaris. Ini merupakan sel
etmoid anterior yang terbesar. Infundibulum etmoid perkembanganya mendahului sinus.
Dinding anterior dibentuk oleh prosesus uncinatus, dinding medial dibentuk oleh
prosesus frontalis os maksila dan lamina papyracea.
I.1.3
Sinus frontalis sepertinya dibentuk oleh pergerakan ke atas dari sebagian besar
sel-sel etmoid anterior. Os frontal masih merupakan membran pada saat kelahiran dan
mulai mengeras sekitar usia 2 tahun. Perkembangan sinus mulai usia 5 tahun dan
berlanjut sampai usia belasan tahun.
Volume sinus ini sekitar 6-7 ml (28 x 24 x 20 mm). anatomi sinus frontalis
sangat bervariasi tetapi secara umum ada dua sinus yang terbentuk seperti corong.
dinding posterior sinus yang memisahkan sinus frontalis dari fosa kranium anterior
lebih tipis dan dasar sinus ini juga berfungsi sebagai bagian dari atap rongga mata.
Sinus frontalis mendapatkan perdarahan dari a.oftalmika melalui a.supraorbita
dan supratrochlear. Aliran pembuluh vena melalui v.oftalmica superior menuju sinus
kavernosus dan melalui vena-vena kecil di dalam dinding posterior yang mengalir ke
sinus dural. Sinus frontalis dipersarafi oleh cabang n V.1. secara khusus, nervus-nervus
ini meliputi cabang supraorbita dan supratrochlear.
1.1.4
Sinus sfenoidalis sangat unik karena tidak terbentuk dari kantong rongga hidung.
Sinus ini dibentuk dalam kapsul rongga hidung dari hidung janin. Tidak berkembang
sampai usia 3 tahun. Usia 7 tahun pneumatisasi telah mencapai sela turcica. Sinus
mencapai ukuran penuh pada usia 18 tahun.
Usia belasan tahun, sinus ini sudah mencapai ukuran penuh dengan volume 7,5 ml
(23 x 20 x 17 mm). pneumatisasi sinus ini, seperti sinus frontalis, sangat bervariasi.
Secara umum merupakan struktur bilateral yang terletak posterosuperior dari rongga
hidung. Dinding sinus sphenoid bervariasi ketebalannya, dinding anterosuperior dan
dasar sinus paling tipis (1-1,5 mm). dinding yang lain lebih tebal. Letak dari sinus oleh
karena hubungan anatominya tergantung dengan tingkat pneumatisasi. Ostium sinus
sfenoidalis bermuara ke recessus sfenoetmoidalis. Ukurannya sangat kecil (0,5 -4 mm)
dan letaknya 10 mm di atas dasar sinus.
Atap sinus sfenoid diperdarahi oleh a.ethmoid posterior, sedangkan bagian lainnya
mendapat aliran darah dari a.sfenopalatina. Aliran vena melalui v.maksilaris ke
v.jugularis dan pleksus pterigoid. sinus sfenoid dipersarafi oleh cabang n V.1 dan V.2.
n.nasociliaris berjalan menuju n.etmoid posterior dan mempersarafi atap sinus. Cabangcabang n.sfenopalatina mempersarafi dasar sinus
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada muaramuara saluran dari sinus maxillaris, sinus frontalis dan sinus ethmoidalis anterior.
Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari
infundibulum ethmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis,
bula ethmoid dan sel-sel ethmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus
maxillaris. 2
I.2 MUKOSA SINUS PARANASAL (4,8)
Sinus-sinus ini dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang berkesinambungan
dengan mukosa di rongga hidung. Epitel sinus ini lebih tipis dari epitel hidung. Ada 4
tipe sel dasar, yaitu epitel torak bersilia, epitel torak tidak bersilia, sel basal dan sel
goblet. Sel-sel bersilia memiliki 50-200 silia per sel. Data penelitian menunjukan sel ini
berdetak 700-800 kali per menit, dan pergerakan mukosa pada suatu tingkat 9 mm per
menit Epitel organ pernapasan yang biasanya berupa epitel toraks bersilia berbeda-beda
pada berbagai bagian hidung, tergantung pada tekanan dan kecepatan aliran udara,
demikian pula suhu dan derajat kelembaban udara. Sepanjang jalur utama arus inspirasi
epitel menjadi toraks; silia pendek dan agak ireguler. Sel-sel meatus media dan inferior
yang terutama menangani arus ekspirasi memiliki silia yang panjang dan tersusun rapi.
Sinus mengandung epitel kubus dan silia yang sama dan panjang jarak antaranya. 3
Berbagai teori telah dikembangkan untuk menjelaskan fungsi dari sinus paranasal.
Teori ini meliputi fungsi dari kelembaban udara inspirasi, membantu pengaturan
tekanan intranasal dan tekanan serum gas, mendukung pertahanan imunitas,
meningkatkan area permukaan mukosa, meringankan volume tengkorak, membantu
resonansi suara, menyerap goncangan dan mendukung pertumbuhan muka. (8)
I.3.1
10
Penyaringan Udara
Oleh karena produksi mukosa sinus, mereka berperan pada pertahanan imun
atau penyaringan udara yang dilakukan oleh hidung. Hidung dan mukosa sinus terdiri
dari sel silia yang berfungsi untuk menggerakan mukosa ke koana. Penelitian yang
paling terbaru pada fungsi sinus berfokus pada molekul Nitrous Oxide (NO). studi
menunjukkan bahwa produksi NO intranasal adalah secara primer pada sinus. Telah kita
ketahui bahwa NO bersifat racun terhadap bakteri, jamur dan virus pada tingkatan sama
rendah 100 ppb. Konsentrasi ini dapat menjangkau 30.000 ppb dimana beberapa peneliti
sudah berteori tentang sterilisasi sinus. NO juga meningkatkan pergerakan silia.(8)
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal jumlahnya kecil dibandingkan
dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang
turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius,
merupakan tempat yang paling strategis.
I.3.3
11
apabila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak seperti pada saat bersin atau
membuang ingus.
Sinus tidak mempunyai fungsi fisiologis yang nyata. Beberapa peneliti
mendukung opini bahwa sinus juga berfungsi sebgai indra penghidu dengan jalan
memudahkan perluasan dari etmokonka, terutama sinus frontalis dan sinus etmoidalis.
Namun menurut penelitian lainnya, etmokonka manusia telah menghilang selama proses
evolusi. Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Namun ada teori yang menyatakan bahwa posisi sinus
dan dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif.
12
BAB II
SINUSITIS
II.1 DEFINISI
Sinusitis adalah peradangan pada mukosa sinus paranasalis.
2, 3
Sinusitis diberi
nama sesuai dengan sinus yang terkena. Bila mengenai beberapa sinus disebut
multisinusitis. Bila mengenai semua sinus paranasalis disebut pansinusitis.
II. 2. ETIOLOGI
Sinusitis dapat disebabkan oleh : 3
1.
Bakteri
Virus
Bakteri anaerob
fusobakteria
4.
Jamur
II. 3 PATOFISIOLOGI
Infeksi virus akan menyebabkan terjadinya udem pada dinding hidung dan sinus
sehingga menyebabkan terjadinya penyempitan pada ostium sinus, dan berpengaruh
pada mekanisme drainase di dalam sinus. Virus tersebut juga memproduksi enzim dan
neuraminidase yang mengendurkan mukosa sinus dan mempercepat difusi virus pada
lapisan mukosilia. Hal ini menyebabkan silia menjadi kurang aktif dan sekret yang
diproduksi sinus menjadi lebih kental, yang merupakan media yang sangat baik untuk
berkembangnya bakteri patogen.
Adanya
abnormal
meningkatkan
13
anaerob. Penurunan jumlah oksigen juga akan mempengaruhi pergerakan silia dan
aktiviitas leukosit.
Pada dasarnya, faktor-faktor lokal yang memunkinkan penyembuhan mukosa
sinus yang terinfeksi adalah drainase dan ventilasi yang baik. Jika faktor anatomi atau
faal menyebabkan kegagalan drainase dan ventilasi sinus serta patensi ostium-ostium
sinus dan lancarnya klirens mukosilier di dalam kompleks osteomeatal (KOM). Organorgan yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang
berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium
tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan
transudasi. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-bakterial dan biasanya
sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan, bila kondisi ini menetap, sekret yang
terkumpul dalam sinus merupaka media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri.
Keadaan ini disebut rinosinusitis akut bakterial.
Sinusitis kronis adalah sinusitis yang berlangsung selama beberapa bulan atau
tahun. Terjadi perubahan patologik membran mukosa berupa infiltrat polimorfonuklear,
kongesti vaskuler dan deskuamasi epitel permukaan yang semuanya reversibel.
Sinusitis kronis dapat disebabkan oleh fungsi lapisan mukosilia yang tidak
adekuat, obstruksi sehingga drainase sekret terganggu, dan terdapatnya beberapa bakteri
patogen. Kegagalan pengobatan sinusitis akut atau berulang secara adekuat akan
menyebabkan regenerasi epitel permukaan bersilia yang tidak lengkap, akibatnya terjadi
kegagalan mengeluarkan sekret sinus dan menciptakan predisposisi bakteri. 3,4
Sumbatan drainase dapat pula ditimbulkan oleh perubahan struktur ostium sinus
atau oleh lesi dalam rongga hidung seperti hipertrofi adenoid, tumor hidung dan
nasofaring dan suatu septum deviasi.
14
menyebabkan obstruksi ostium sinus serta menghasilkan banyak lendir yang merupakan
media yang baik untuk pertumbuhan kuman, selain itu predisposisi lain yang paling
sering berkaitan dengan rhinitis alergi adalah polip nasal yang merupakan komplikasi
pada rhinitis alergi dan dapat menyebabkan obstruksti total ostium sinus. Pada anak,
hipertrofi adenoid merupakan fakor penting penyebab sinusitis, adanya infeksi pada gigi
terutama pada gigi-gigi yang akarnya berkaitan dengan dasar sinus maxillaris dapat
merupakan predisposisi yang penting pada sinusitis kronis.
II.5 GEJALA SINUSITIS
Keluhan utama rinosinusitis aku adalah hidung tersumbat disertai nyeri dan nyeri
tekan pada muka. Terdapat gejala keluar ingus purulen yang sering turun ke
tenggorokan (post nasal drip) dan dapat juga disertai gejala sistemik seperti demam dan
lesu.
Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan ciri khas
sinusitis akut. Letak nyeri dapat membantu membedakan lokasi sinus yang terkena.
Gejala lain adalah sakit kepala, hipoosmia atau anosmia, halitosis, post nasal drip yang
dapat menyebabkan batuk dan sesak pada anak.
Gejala sinusitis kronik umumnya tidak jelas, pada saat eksaserbasi akut gejalagejala mirip dengan sinusitis akut, di luar masa itu gejala berupa perasaan penuh pada
15
maksillaris
terseringnya adalah ekstraksi gigi molar pertama atau infeksi gigi lainnya seperti abses
apikal atau penyakit periodontal. Mengingat dasar sinus maksila adalah prosesus
alveolaris tempat akar gigi rahang atas, sehingga rogga sinus maksila hanya terpisahkan
oleh tulang tipis dengan akar gigi. Infeksi gigi rahang atas mudah menyebar secara
langsung ke sinus atau melalui pembuluh limfe. Perlu dicurigai adanya sinusitis
dentogen pada sinusitis maksilaris kronis yang mengenai satu sisi dengan ingus puruen
dan nafas berbau busuk.
Pada pemeriksaan fisik akan tampak adanya pus dalam hidung, biasanya dari
meatus media, atau pus atau sekret mukopurulen dalam nasofaring. Transiluminasi
berkurang bila sinus penuh cairan, gambaran radiologi sinusitis maksilaris akut mulamula berupa penebalan mukosa selanjutnya diikuti opasifikasi sinus lengkap akibat
16
mukosa yang yang membengkak atau akibat akumulasi cairan yang memenuhi sinus,
akhirnya terbentuk gambaran air-fluid level yang khas.
17
Penebalan mukosa,
2.
3.
Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang dapat
18
19
Secara
patognomonik,
trombosis
sinus
kavernosus
terdiri
dari
2. Kelainan intrakranial
Seain trombosis sinus kavernosus, salah satu komplikasi sinusitis yang berat
adalah meningitis akut. Infesi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang vena
atau langsung dari sinus yang berdekatan. Selain itu dapat terjadi abses extradural,
subdural dan intracerebral dimana akan terdapat kumpulan pus pada masing-masing
ruang, proses ini seringkali mengikuti proses sinusitis frontalis.
3. Osteomieitis dan abses subperiosteal
20
21
BAB III
PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi sinusitis adalah 1) mempercepat penyembuhan 2) mencegah
komplikasi dan 3) mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah
membuka sumbatan di KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara
alami. Terapi primer dari sinusitis akut adalah secara medikamentosa dimana antibiotika
dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial.
IV. 1 Medikamentosa
IV. 1.1 Antibiotika
Antibiotika yang sering diberikan adalah golongan penicillin seperti amoxicillin.
Dapat juga diberikan amoxicillin-klavulanat bila diduga sudah resisten terhadap beta
laktamase. Pada sinusitis maksilaris akut umumnya dapat diterapi dengan antibiotik
spektrum luas. Dapat juga diberikan erythromicin plus sulfonamid dengan alternatif
berupa amoksisilin-klavulanat,
sefuroksim
dan trimetoprim
plus
sullfonamid.
Pemberian antibiotik dilakukan selalu 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang.
Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang seusai untuk kuman gram negatif dan
anaerob. 2,4
IV. 1.2 Analgetik
Rasa sakit yang disebabkan oleh sinusitis dapat hilang dengan pemberian
analgetik non steroid seperti asam mefenamat dan aspirin.
IV. 1.3 Dekongestan
Pemberian dekongestan seperti pseudoefedrin, dan tetes hidung poten seperti
fenilefrin dan oksimetazolin berguna untuk mengurangi udem sehingga dapat terjadi
drainase sinus.
IV. 1.4 Kortikosteroid
22
Kortikosteroid merupakan obat yang paling efektif untuk mengurangi udem pada
mukosa yang berkaitan dengan infeksi.
IV. 2 Nonmedikamentosa
IV.2.1 Irigasi antrum
Indikasinya adalah apabila ketiga terapi medikamentosa gagal, dan ostium sinus
sedemikian udematosa sehingga terbentuk abses sejati. Kegagalan penyembuhan
dengan suatu terapi aktif mungkin menunjukkan organisme resisten terhadap antibiotik,
atau antibiotik gagal mencapai lokasi infeksi, yang merupakan indikasi irigasi antrum
segera. Irigasi antrum maksilaris dilakukan dengan mengalirkan larutan salin hangat
melalui bawah konka inferior, setelah sebelumnya dilakukan koakinisasi membran
mukosa, atau melalui jalur alternatif melalui fossa incisivus ke dalam antrum
maksillaris. Caian ini kemudian akan mendorong pus untuk keluar melalui ostium
normal.
IV.2.1 Nasal toilet
Pembersihan hidung dan sinus dari sekret yang kental dapat dilakukan dengan
saline sprays atau irigasi. Cara yang efektif dan murah adalah dengan menggunakan
canula dan Higgisons syringe
IV.2.1 Pembedahan
Pembedahan dilakukan apabila pengobatan dengan medikamentosa sudah gagal.
Indikasi dilakukan pembedahan adalah : 1) sinusitis kronik yang tidak membaik setelah
terapi adekuat 2) sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel 3) polip
ekstensif 4) adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.
Pembedahan radikal dilakukan dengan mengangkat mukosa yang patologik dan
membuat drainase dari sinus yang terkena. Tindakan bedah sederhana pada sinusitis
maksilaris kronik adalah membuat suatu lubang drainase yang memadai, prosedur yang
paling lazim adalah nasoatrostomi atau pementukan fenestra nasoantral. Suatu prosedur
yang lebih radikal adalah dilakukan operasi Caldwell Luc dimana epitel rongga sinus
23
maksillaris diangkat seluruhnya dan pada akhir prosedur dilakukan antrostomi untuk
dilakukan dainase.
Pada sinusitis ethmoid dilakukan etmoidektomi yaitu dengan cara mengangkat
pemisah sel-sel udara ethmodalis anterior sehingga terbentuk satu sel yang besar yang
bermuara pada meatus media.
Pembedahan tidak radikal yang akhir akhir ini sedang dikembangkan adalah
menggunakan endoskopi yang disebut Bedah Sinus Endoskopi Fungsional. Prisnsipnya
adalah membuka daerah osteomeatal kompleks yang menjadi sumber penyumbatan dan
infeksi sehingga ventilasi dan drainase sinus dapat lancar kembali melaui ostium alami.
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) atau Functional Endoscopic Sinus
Surgery (FESS) adalah teknik operasi pada sinus paranasal dengan menggunakan
endoskop yang bertujuan memulihkan mucociliary clearance dalam sinus. Prinsipnya
ialah membuka dan membersihkan daerah kompleks osteomeatal yang menjadi sumber
penyumbatan dan infeksi sehingga ventilasi dan drenase sinus dapat lancar kembali
melalui ostium alami. (2,11)
Dibandingkan dengan prosedur operasi sinus sebelumnya yang bersifat invasif
radikal seperti operasi Caldwel-Luc, fronto-etmoidektomi eksternal dan lainnya, maka
BSEF merupakan teknik operasi invasif yang minimal yang diperkenalkan pertama kali
pada tahun 1960 oleh Messerklinger dan kemudian dipopulerkan di Eropa oleh
Stammberger dan di Amerika oleh Kennedy. Sejak tahun 1990 sudah mulai
diperkenalkan dan dikembangkan di Indonesia.
Indikasi umumnya adalah untuk rinosinusitis kronik atau rinosinusitis akut
berulang dan polip hidung yang telah diberi terapi medikamentosa yang optimal.
Indikasi lain BSEF termasuk didalamnya adalah rinosinusitis dengan komplikasi dan
perluasannya, mukokel, sinusitis alergi yang berkomplikasi atau sinusitis jamur yang
invasif dan neoplasia.(12,13)
Dengan alat endoskop maka mukosa yang sakit dan polip-polip yang menyumbat
diangkat sedangkan mukosa sehat tetap dipertahankan agar transportasi mukosilier tetap
berfungsi dengan baik sehingga terjadi peningkatan drenase dan ventilasi melalui
ostium-ostium sinus. Teknik bedah BSEF sampai saat ini dianggap sebagai terapi terkini
24
untuk sinusitis kronis dan bervariasi dari yang ringan yaitu hanya membuka drenase dan
ventilasi kearah sinus maksilaris sampai kepada pembedahan lebih luas membuka
seluruh sinus (fronto-sfeno-etmoidektomi). Teknik bedah endoskopi ini kemudian
berkembang pesat dan telah digunakan dalam terapi bermacam-macam kondisi hidung,
sinus dan daerah sekitarnya. (12)
Keuntungan dari teknik BSEF, dengan penggunaan beberapa alat endoskop
bersudut dan sumber cahaya yang terang, maka kelainan dalam rongga hidung, sinus
dan daerah sekitarnya dapat tampak jelas. Dengan demikian diagnosis lebih dini dan
akurat serta operasi lebih bersih dan teliti, sehingga memberikan hasil yang optimal.
Pasien juga diuntungkan karena morbiditas pasca operasi yang minimal. Penggunaan
endoskopi juga menghasilkan lapang pandang operasi yang lebih jelas dan luas yang
akan menurunkan komplikasi bedah.(13)
25
BAB IV
KESIMPULAN
Sinusitis adalah peradangan pada mukosa sinus paranasalis. Sinusitis diberi nama
sesuai dengan sinus yang terkena. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis.
Bila mengenai semua sinus paranasalis disebut pansinusitis.
Keluhan utama rinosinusitis aku adalah hidung tersumbat disertai nyeri dan nyeri
tekan pada muka. Terdapat gejala keluar ingus purulen yang sering turun ke
tenggorokan (post nasal drip), dapat juga disertai gejala sistemik seperti demam dan
lesu.
Pemeriksaan penunjang yang paling membantu adalah pemeriksaan foto polos
atau CT scan. CT scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena
mampu menilai anatomi hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasaannya.
Tujuan terapi sinusitis adalah 1) mempercepat penyembuhan 2) mencegah
komplikasi dan 3) mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah
membuka sumbatan di KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara
alami. Terapi primer dari sinusitis akut adalah secara medikamentosa dimana antibiotika
dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial. Indikasi
dilakukan pembedahan adalah : 1) sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi
adekuat 2) sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel 3) polip ekstensif
4) adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Nasal Cavities. Dalam: Drake RL, Vogl W, Mitchell AWM. Grays Anatomy for
Students. Philadelphia: Elsevier Inc, 2005. hal. 965 81.
2. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Hidung. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
editor. Buku Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi Kelima.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006. hal. 88
95
3. Kepala dan Leher. Dalam: Sadler TW. Embriologi Kedokteran Langman. Edisi
Ketujuh. Jakarta: EGC, 2000. hal. 339-40
4. Higler PA. Hidung: Anatomi dan Fisiologi Terapan. Dalam: Adams GL, Boeis
LR, Higler PA. BOEIS: Buku Ajar Penyakit THT. Edisi Keenam. Jakarta: EGC,
1997. hal. 173 88
5. Rambe AYM. Rinistis Vasomotor. Diunduh tanggal 11 Juli 2010 pukul 18.00.
Tersedia di http://library.usu.ac.id/download/fk/tht-andrina.pdf
6. Balasubramanian. Epistaxis. Diunduh tanggal 11 Juli 2010 pukul 18.30. Tersedia
di http://www.drtbalu.com/epistaxis.html
7. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus Paranasal. Dalam: Soepardi EA, Iskandar
N, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher.
Edisi Kelima. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2006. hal. 115 9.
8. Anggraini DR. Anatomi dan Fungsi Sinus Paranasal. Diunduh tanggal 11 Juli
2010 pukul 17.00. Tersedia di http://library.usu.ac.id/download/fk/06001191.pdf
9. Tadjudin OA. Batuk Kronik pada Anak Ditinjau dari Bidang THT. Diunduh
tanggal
11
Juli
2010
pukul
16.00.
Tersedia
di
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/44_BatukKronikpdAnakditinjaudariBidTH
T81.pdf/44_BatukKronikpdAnakditinjaudariBidTHT81.html
27