Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Dalam metabolisme sekunder yang terjadi pada tumbuhan akan

menghasilkan beberapa senyawa yang tidak digunakan sebagai cadangan energi


melainkan untuk menunjang kelangsungan hidupnya seperti untuk pertahanan dari
predator. Beberapa senyawa seperti alkaloid, triterpen dan golongan phenol
merupakan

senyawa

senyawa

yang

dihasilkan

dari

metabolisme

sekunder.Golongan fenol dicirikan oleh adanya cincin aromatik dengan satu atau
dua gugus hidroksil.Kelompok fenol terdiri dari ribuan senyawa, meliputi
flavonoid, fenilpropanoid, asam fenolat, antosianin, pigmen kuinon, melanin,
lignin, dan tanin, yang tersebar luas di berbagai jenis tumbuhan.
Tanin memiliki peranan biologis yang kompleks. Hal ini dikarenakan sifat
tanin yang sangat kompleks mulai dai pengendap protein hingga pengkhelat
logam. Maka dari itu efek yang disebabkan tanin tidak dapat diprediksi.Tanin juga
dapat berfungsi sebagai antioksidan biologis.
Rosela sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bahan baku makanan
dan minuman karena nilai nutrisi yang terkandung dalam buah rosela. Kandungan
penting yang terdapat pada kelopak bunga rosela adalah pigmen antosianin yang
membentuk flavonoid yang berperan sebagai antioksidan.
Oleh karena itu, diharapkan dari penelitian yang di ambil ini dapat
memberikan informasi mengenai tanin yang terdapat pada tanaman rosela.
1.2

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah adalah sebagai

berikut.
1. Bagaimana cara mengisolasi senyawa tanin dari bunga rosella?
2. Mengapa bunga rosella menggunakan pemisahan dengan metode refluks?
3. Bagaimana cara memperoleh isolat murni dari bunga rosella?
1.3

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.

Untuk mengidentifikasi tanin dalam tanaman rosela;


1

2.

Melakukan proses pemisahan tanin dalam bunga rosella dengan metode

3.

refluks;
Untuk memberikan informasi mengenai proses pengolahan tanaman rosela
yang lebih baik;

1.4

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.
2.
3.
1.5

Memahami proses identifikasi tanin dalam tanaman rosela;


Memahami proses pengolahan tanaman rosela yang lebih baik;
Memahami cara memperoleh isolat murni.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai Mei 2015 di

Laboratorium Fitokimia Program Studi Farmasi STIKes Bakti Tunas Husada


Tasikmalaya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Definisi Umum Tanin

Tanin adalah kelas utama dari metabolit sekunder yang tersebar luas pada
tanaman.Tanin merupakan polifenol yang larut dalam air dengan berat molekul
biasanya berkisar 1000-3000 (Waterman dan Mole tahun 1994, Kraus dll.,
2003).Menurut definisi, tanin mampu menjadi pengompleks dan kemudian
mempercepat pengendapan protein serta dapat mengikat makromolekul lainnya
(Zucker, 1983).Tanin merupakan campuran senyawa polifenol yang jika semakin
banyak jumlah gugus fenolik maka semakin besar ukuran molekul tanin.Pada
mikroskop, tanin biasanya tampak sebagai massa butiran bahan berwarna kuning,
merah, atau cokelat.

Struktur Tanin
Tanin dapat ditemukan didaun, tunas, biji, akar, dan batangjaringan.Sebagai
contoh darilokasitanindalam jaringanbatangadalah tanin sering ditemukandi
daerahpertumbuhanpohon,

sepertifloemsekunderdanxylemdan

lapisanantara

korteksdanepidermis.Tanindapat membantu mengaturpertumbuhanjaringan ini.


Tanin berikatan kuat dengan protein & dapat mengendapkan protein dari
larutan.Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae
terdapat khusus dalam jaringan kayu.Menurut batasannya, tanin dapat bereaksi
dengan protein membentuk kopolimer mantap yang tak larut dalam air.Dalam
industri, tanin adalah senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang mampu
mengubah kulit hewan yang mentah menjadi kulit siap pakai karena
kemampuannya menyambung silang protein.

Secara fisika, tanin memiliki sifat-sifat:jika dilarutkan kedalam air akan


membentuk koloid dan memiliki rasa asamdan sepat, jika dicampur dengan alkaloid dan
glatin akan terjadiendapan, tidak dapat mengkristal, dan dapat mengendapkan protein dari
larutannya dan bersenyawa denganprotein tersebut sehingga tidak dipengaruhi
oleh enzim protiolitik.
Secara kimiawi, memiliki sifat-sifat diantaranya: merupakan senyawa
kompleks dalam bentuk campuran polifenol yangsukar dipisahkan sehingga sukar
mengkristal, tanin dapat diidentifikasikan dengan kromotografi, dansenyawa fenol
dari tanin mempunyai aksi adstrigensia, antiseptik dan pemberi warna (Najebb,
2009).
Senyawa phenol yang secara biologis dapat berperan sebagai khelat
logam.Proses pengkhlatan akan terjadi sesuai pola subtitusi dan pH senyawa
phenolik itusendiri. Karena itulah tanin terhidrolisis memiliki potensial untuk
menjadipengkhelat logam.Hasil khelat dari tanin ini memiliki keuntungan yaitu
kuatnya daya khelat darisenyawa tanin ini membuat khelat logam menjadi stabil
dan aman dalam tubuh.Tetapi jika tubuh mengkonsumsi tanin berlebih maka akan
mengalami anemiakarena zat besi dalam darah akan dilkhelat oleh senyawa tanin
tersebut (Hangerman,2002).
2.1.1

Klasifikasi Tanin
Senyawa tanin termasuk ke dalam senyawa polifenol yang artinya

senyawa yang memiliki bagian berupa fenolik.Senyawa tanin dibagi menjadi dua
berdasarkan pada sifat dan struktur kimianya, yaitu tanin yang terhidrolisis dan
tanin

yang

terkondensasi.Tanin

terhidrolisis

biasanya

ditemukan

dalam

konsentrasi yang lebih rendah pada tanaman bila dibandingkan dengan tanin
terkondensasi.Tanin terkondensasi terdiri dari beberapa unit flavanoid (flavan-3ol) dihubungkan oleh ikatan-ikatan karbon. Tanin terkondensasi banyak
ditemukan dalam berbagai jenis tanaman seperti Acacia spp, sericea Lespedeza
serta spesies padang rumput seperti Lotus spp.
Tanin terkondensasi (condensed tannins) biasanya tidak dapat dihidrolisis,
tetapi dapat terkondensasi menghasilkan asam klorida.Tanin jenis ini kebanyakan

terdiri dari polimer flavonoid yang merupakan senyawa fenol. Nama lain dari
tanin ini adalah Proanthocyanidin. Proanthocyanidin merupakan polimer dari
flavonoid yang dihubungkan dengan melalui ikatan C-8 dengan C-4.Salah satu
contohnya adalah Sorghum procyanidin, senyawa ini merupakan trimer yang
tersusun dari epiccatechin dan catechin.Senyawa ini jika dikondensasi maka akan
menghasilkan flavonoid jenis flavan dengan bantuan nukleofil berupa
floroglusinol.
Tanin terhidrolisis biasanya berikatan dengan karbohidrat dengan
membentuk jembatan oksigen, maka dari itu tanin ini dapat dihidrolisis dengan
menggunakan asam sulfat atau asam klorida. Salah satu contoh jenis tanin ini
adalah gallotanin yang merupakan senyawa gabungan dari karbohidrat dengan
asam galat.Selain membentuk gallotanin, dua asam galat akan membentuk tanin
terhidrolisis yang biasa disebut Ellagitanins. Ellagitanin sederhana disebut juga
ester asam hexahydroxy diphenic (HHDP).Senyawa ini dapat terpecah menjadi
asam galic jika dilarutkan dalam air.
2.1.2

Manfaat Tanin
Tanin diketahui dapat digunakan sebagai antivirus, antibakteri, dan

antitumor.Tanin tertentu dapat menghambat selektivitas replikasi HIV dan juga


digunakan sebagai diuretik(Heslem, 1989). Tanaman yang mengandung tannin
telah diakui memiliki efek farmakologi dan dikenal agar membuat pohon pohon
dan

semaksemak

sulit

untuk

dihinggapi/dimakan

oleh

banyak

ulat

(Heslem,1989).
Di dalam tumbuhan letak tanin terpisah dari protein dan enzim sitoplasma,
tetapi bila jaringan rusak, misalnya bila hewan memakannya, maka reaksi
penyamakan dapat terjadi. Reaksi ini menyebabkan protein lebih sukar dicapai
oleh cairan pencernaan hewan.Pada kenyataanya, sebagian besar tumbuhan yang
banyak bertanin dihindari oleh hewan pemakan tumbuhan karena rasanya yang
sepat.Kita menganggap salah satu fungsi utama tanin dalam tumbuhan ialah
sebagai penolak hewan pemakan tumbuhan. Fungsi tanin pada tanaman biasanya
sebagai senjata pertahanan untuk menghindari terjadinya over grazing oleh hewan
ruminansia dan menghindari diri dari serangga, sebagai penyamak kulit,bahan
5

untuk pembuatan tinta (+ garam besi(III) senyawa berwarna tua), sebagai


reagen untuk deteksi gelatin, protein, alkaloid (karena sifat mengendap), sebagai
antidotum keracunan alkaloid (membentuk tannat yang mengendap), sebagai
antiinflamasi saluran pencernaan bagian atas, obat diare karena inflamasi saluran
gastro intestinal, dan sebagai obat topikal (lesi terbuka, luka, hemoroid).
Tanin terutama dimanfaatkan orang untuk menyamak kulit agar awet dan
mudah digunakan. Tanin juga digunakan untuk menyamak (mengubar) jala, tali,
dan layar agar lebih tahan terhadap air laut. Selain itu tanin dimanfaatkan sebagai
bahan pewarna, perekat, dan mordan.
Tanin yang terkandung dalam minuman seperti teh, kopi, anggur, dan bir
memberikan aroma dan rasa sedap yang khas. Bahan kunyahan seperti gambir
(salah satu campuran makan sirih) memanfaatkan tanin yang terkandung di
dalamnya untuk memberikan rasa kelat ketika makan sirih. Sifat pengelat atau
pengerut (astringensia) itu sendiri menjadikan banyak tumbuhan yang
mengandung tanin dijadikan sebagai bahan obat-obatan. Tanin yang terkandung
dalam teh memiliki korelasi yang positif antara kadar tanin pada teh dengan
aktivitas antibakterinya

terhadap penyakit diare yang disebabkan oleh

Enteropathogenic Esclierichia coli (EPEC) pada bayi. Hasil penelitian Yulia


(2006) menunjukkan bahwa daun teh segar yang belum mengalami pengolahan
lebih berpotensi sebagai senyawa antibakteri, karena seiring dengan pengolahan
menjadi teh hitam, aktivitas senyawa-senyawa yang berpotensi sebagai antibakteri
pada daun teh menjadi berkurang.
Senyawa tanin juga bersifat sebagai astringent, yaitu melapisi mukosa usus,
khususnya usus besar dan menciutkan selaput lendir usus, misalnya asam samak.
Serta sebagai penyerap racun (antidotum) dan dapat menggumpalkan protein.
Oleh karena itu, senyawa tanin dapat digunakan sebagai obat diare.
2.2

Deskripsi Rosela
Tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L.) termasuk famili malvaceae dan

terdapat dua tipe utama, yaitu Hibiscus sabdariffa var. altassima dan Hibiscus
sabdariffa var. sabdriffa.Hibiscus sabdariffa var. altassima lebih mempunyai nilai
ekonomi dibandingkan varietas kedua, karena ditanam untuk menghasilkan serat.

Serat ini merupakan bahan baku pembuatan tali dan pengganti rami untuk karung
goni. Tanaman penghasil serat ini memiliki batang lurus dan serat yang kuat,
tinggi batang bisa mencapai 4, 8 meter (Anonim, 2006)
Varietas altassima webster ditanam untuk mendapatkan seratnya, karena
kandungan sertanya tinggi. Varietas ini tidak memiliki kelopak bunga yang
berwarna merah dan dapat dimakan, bunga berwarna kuning. Tipe ini hampir
sama dengan penghasil serat (kenaf) yang banyak dibudidayakam di India Timur,
Nigeria, dan beberapa negara di Amerika (Anonim, 2006)
Tipe rosela yang lain yaitu Hibiscus sabdariffa var. sabdriffa lebih pendek,
seperti semak yang terbentuk dari bhagalpurienchi, intermedius, albus dan karet,
semuanya dapat berkembang biak dari bijinya. Varietas ini mempunyai kelopak
bunga yang berwarna merah cerah dan dapat dimakan, batangnya mempunyai
juga berserat serat dan kurang kuat (Anonim, 2006)
2.2.1

Klasifikasi Tanaman Rosela


Kedudukan tanaman rosela dalam sistematika (taksonomi)tumbuhan

adalah sebagai berikut:


Kingdom : Plantae
Division : magnoliophyta
Class : magnoliopsida
Order : Malvales
Famili : Malvaceae
Genus : Hibiscus
Spesies : Hibiscus sabdariffa L.
2.2.2

Morfologi Rosela
Tanaman rosella berkembang biak secara genetif (dengan biji). Tanaman

rosella berkembang biak dengan biji, tanaman ini tumbuh di daerah yang beriklim
tropis dan sub tropis. Tanaman ini dapat tumbuh di semua jenis tanah, tetapi
paling cocok pada tanah yang subur dan gembur. Tumbuhan ini dapat tumbuh di

daerah pantai sampai daerah dengan ketinggian 900 m di atas permukaan laut.
Rosella mulai berbungan pada umur 2-3 bulan, dan dapat di penen setelah
berumur 5-6 bulan.
Batang : tanaman rosella (Hibiscus sabdariffa L) mempunyai batang bulat,
tegak, berkayu dan berwarna merah. Tumbuh dari biji dengan ketinggian bisa
mencapai 3-5 meter
Akar : Tanaman rosella (Hibiscus sabdariffa L) mempunyai akar tunggal
Daun : tanaman rosella (Hibiscus sabdariffa L) mempunyai daun tunggal
berbentuk bulat telur, bertulang menjari, ujung tumpul, tepi bergerigi dan pangkal
berlekuk, panjang daun 6-15 cm dan lebar 5-8 cm. Tangkai daun bulat berwarna
hijau dengan panjang 4-7 cm.
Bunga : Tanaman rosella (Hibiscus sabdariffa L) mempunyai bunga berwarna
cerah, kelopak bunga atau kaliksnya berwarna merah gelap dan lebih tebal jika
dibandingkan dengan bunga raya atau sepatu. Bunganya keluar dari ketiak daun
dan merupakan bunga tunggal, yang berarti pada setiap tangkai hanya terdapat 1
(satu) bunga,bunga ini mempunyai 8-11 helai kelopak bunga ini sering dianggap
sebagai bunga oleh masyarakat. Bagian inilah yang sering dimanfaatkan sebagai
bahan makanan dan minuman.
Biji : Tanaman rosella (Hibiscus sabdariffa L) mempunyai biji berbentuk seperti
ginjal hingga triangular dengan sudut runcing, berbulu, panjang 5 mm dan lebar 4
mm.

2.2.3

Kandungan Rosela
Rosela sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bahan baku

makanan dan minuman karena nilai nutrisi yang terkandung dalam buah rosela.
Kandungan penting yang terdapat pada kelopak bunga rosela adalah pigmen
antosianin yang membentuk flavonoid yang berperan sebagai antioksi
dan.Flavonoid rosela terdiri dari flavonols dan pigmen antosianin.Pigmen
antosianin ini yang membentuk warna ungu kemerahan menarik di kelopak bunga
maupun teh hasil seduhan rosela. Antosianin berfungsi sebagai antioksidan yang

diyakini dapat menyembuhkan penyakit degeneratif. Antosianin pada rosela


berada dalam bentuk glukosida yang terdiri dari cyanidin-3-sambubioside,
delphinidin-3-glucose, dan delphinidin-3-sambubioside. Sementara itu, flavonols
terdiri dari gossypetin, hibiscetine, dan quercetia. Zat lain yang tak kalah penting
terkandung dalam rosela adalah kalsium, niasin, riboflavin dan besi yang cukup
tinggi. Kandungan zat besi pada kelopak segar rosela dapat mencapai 8,98 mg/100
g, sedangkan pada daun rosela sebesar 5,4 mg/ 100 g. Selain itu, kelopak rosela
mengandung 1,12% protein, 12% serat kasar, 21,89 mg/ 100 g sodium, vitamin C,
dan vitamin A. Satu hal yang unik dari rosela adalah rasa masam pada kelopak
rosela yang menyegarkan, karena memiliki dua komponen senyawa asam yang
dominan yaitu asam sitrat dan asam malat.
Selain kelopak bunga dan daun, biji rosela kini juga banyak diteliti
kandungan gizinya. Kandungan lemak biji (fatty oil) rosela tergolong tinggi,
yaitu16,8% pada kondisi kering, sedangkan kandungan air pada biji 12,9%. Asam
lemak dominan yang terkandung pada biji rosela adalah asam palmitat dan asam
oleat, diikuti oleh asam linoleat. Kandungan sterol utama pada lemak rosela
adalah b-sitosterol mencapai 61,3%. Kandungan asam lemak dalam biji rosela
dapat dilihat pada tabel 2 berikut:

Ada sekitar 18 asam amino yang diperlukan tubuh terdapat dalam kelopak
bunga rosela, termasuk arginin dan lisin yang berperan dalam proses peremajaan
sel tubuh. Berikut disajikan jenis-jenis asam amino yang terkandung dalam
kelopak rosela dalam tabel 3 berikut:

2.2.4

Manfaat Rosela
Di Indonesia belum banyak masyarakat yang memanfaatkan tanaman

Rosela, sementara di negara lain, Rosela sudah banyak dimanfaatkan sejak lama.
Namun akhir akhir ini minuman berbahan Rosela mulai banyak dikenal sebagai
9 minuman kesehatan.Bahan minuman dari Rosela yang berbentuk seperti teh
celup juga sudah dapat diperoleh di pasar swalayan (Maryani dan Kristiana,
2005). Di India barat dan tempat-tempat tropis lainnya, kelopak segar Rosela
digunakan untuk pewarna dan perasa dalam membuat anggur Rosela, jeli, sirup,
gelatin, minuman segar, pudding dan cake. Kelopak bunga Rosella yang berwarna
cantik dapat ditambahkan pada salat untuk mempercantik warnanya.Kelopak
bunga Rosela juga dapat dimasak sebagai pengganti kubis (Maryani dan
Kristiana, 2005). Kelopak kering bisa dimanfaatkan untuk membuat teh, jeli,
selai, es krim, serbat, mentega, pai, says, tart dan makanan pencuci mulut lainnya.
Pada pembuatan jelli rosela tidak perlu ditambahkan pektin untuk memperbaiki
tekstur, karena kelopak sudah mengandung pektin 3.19%. Bahkan di Pakistan,
Rosela direkomendasikan sebagai sumber pektin untuk industri pengawetan buah
(Anonim, 2006).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Alat
Alat yang digunakan adalah labu alas bulat, kondensor, pamanas, batang
pengaduk, rotary evaporator, waterbath, kertas saring, kertas whatman, corong

10

pisah, botol berwarna coklat, tabung reaksi, gelas kimia, gelas ukur, kaca arloji,
jarum, pipet, plat silica gel 60 F254, pipa kapiler, chamber, lampu UV 254 nm dan
lampu UV 366 nm, corong pisah.
3.2 Bahan
Bahan ekstrak adalah simplisia kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa
Linn.) yang sudah dikeringkan dan dihaluskan, etanol 70%, Ferric chloride
(FeCl3), gelatin 10%, n-butanol, asam asetat, air, n-heksan, etil asetat, silica gel
GF254, pereaksi semprot H2SO4 10%.
3.3

Metode Penelitian

3.3.1

Penyiapan sampel
Rosela diambil bagian bunganya.Kemudian dibersihkan dengan air dan

keringkan.
3.3.2

Skrining fitokimia

3.3.2.1 Skrinning senyawa alkaloid


Simplisia dibasakan dengan amonia encer, digerus dalam mortar,
kemudian ditambahkan beberapa mililiter kloroform sambil terus digerus. Setelah
disaring, filtrat dikocok dengan asam klorida 2 N. Lapisan asam dipisahkan,
kemudian dibagi menjadi 3 bagian dan diperlukan sebagai berikut:
a. Bagian pertama digunakan sebagai blanko.
b. Bagaian kedua ditetesi dengan larutan pereaksi mayer, kemudian diamati
ada atau tidaknya endapan berwarna putih.
c. Bagian ketiga ditetesi dengan larutan pereaksi dragendorff, kemudian
diamati ada tau tidaknya endapan berwarna jinggan coklat.

3.3.2.2 Skrinning senyawa flavonoid


Simplisia dipanaskan dengan campuran logam magnesium dan asam
klorida 5 N, kemudian disaring. Adanya flavonoid akan menyebabkan filtrat
berwarna merah yang dapat ditarik oleh amil alkohol. Untuk lebih memudahkan
pengamatan, sebaiknya dilakukan percobaan blanko.

11

3.3.2.3 Skrinning senyawa tanin dan polifenol


Pemeriksaan Tanin dilakukan dengan cara simplisia diekstraksi dengan
etanol panas, selanjutnya dipanaskan dengan air diatas tangas air, kemudian
disaring panas-panas. Sebagian kecil filtrat diuji ulang dengan penambahan
larutan gelatin 10%. Terbentuknya endapan putih menunjukan bahwa dalam
simplisia terdapat tanin.Selain itu dapat diuji dengan menambahkan FeCl 3
sehingga terbentuk warna hijau-hitam yang menunjukan adanya fenolat (tanin).
3.3.2.4 Skrinning senyawa Saponin
Diatas tangas air, dalam tabung reaksi, simplisia dicampur dengan air dan
dipanaskan beberapa saat, kemudian disaring. Setelah dingin filtrat dalam tabung
dikocok kuat kuat selama lebih kurang 30 detik. Pembentukan busa sekurang
kurangnya 1 cm tinggi dan persisten selama beberapa menit serta tidak hilang
pada penambahan 1 tetes asam klorida encer menunjukan bahwa dalam simplisia
terdapat saponin.
3.3.2.5 Skrinning senyawa Steroid dan Triterpenoid
Metode simplisia disari dengan eter, kemudian sari eter diuapkan hingga
kering. Pada residu diteteskan pereaksi lieberman burchard. Terbentuknya warna
ungu menunjukan bahwa simplisia terkandung senyawa kelompok triterpenoid,
sedangkan bila terbentuk warna hijau biru menunjukan adanya senyawa
kelompok steroid.

3.3.2.6 Skrinning senyawa Kuinon


Simplisia digerus dan dipanaskan dengan air, kemudian saring. Filtart
ditetesi larutan NaOH. Terbentuknya warna kuning hingga merah menunjukan
adanya senyawa kelompok kuinon.
3.3.3 Ekstraksi Cair Padat

12

3.3.3.1 Metode Refluks


Timbang simplisia kelopak bungan rosela sebanyak 30 gr lalu dimasukan
kedalam labu alas bulat bersama sama dengan cairan penyari yaitu etanol 95%
sebanyak 200 ml. Lalu panaskan, uap uap cairan penyari terkondensasi pada
kondensor bulat. Menjadi molekul molekul cairan penyari yang akan turun
kembali

menuju

alas

bulat.

Demikian

seterusnya

berlangsung

scear

berkesinambungan sampai penyarian sempurna. Pergantian perlarut dilakukan


sebanyak 3 kali setiap 3 4 jam. Filtrat yang diperoleh dikumpulkan dan
dipekatkan.
3.3.4

Pemantauan Ekstraks
Dilakukan dengan metode KLT. KLT dapat digunakan untuk memisahkan

komponen suatu zat atau kandungan kimia yang terdapat pada kelopak bunga H.
Sabdariffa L. Fase diam yang digunakan adalah silica gel, dan fase gerak (eluen)
nya adalah n-butanol : asam asetat : etanol (4 : 3 : 3). Bercak untuk senyawa tanin
memiliki nilai Rf sebesar 0,67.
Pertama tama lempeng KLT diaktivasi dalam oven pada suhu 105o
110o C selama 30 menit. Lalu dilakukan penjenuhan chamber dengan memasukan
campuran eluen kedalam chamber, tutup rapat dan didiamkan selama 1 jam. Pada
plat KLT dibuat garis lurus dengan pensil pada jarak 1 cm pada bagian bawah dan
0,5 cm pada bagian atas. Totolkan sampel dengan pipa kapiler pada garis bagaian
bawah dan masukan dalam chamber. Chamber ditutup dan lempeng dibiarkan
tersimpan dalam chamber.
Setelah plat KLT dielusi, lalu untuk melihat noda bercak lebih jelas maka
di deteksi melalui lampu UV 254 nm dan 366 nm. Lalu plat juga dapat diamati
dengan cara disemprot dengan H2SO4 10%.
3.3.5

Fraksinasi (Ekstrak Cair Cair)


Ekstrak etanol kental sebanyak 5 gram difraksinasi secara ekstraksi cair-

cair dalam corong pisah, dikocok secukupnya. Fraksinasi dilakukan secara


bertingkat menggunakan pelarut n-heksan, etil asetat, dan air, dengan tujuan untuk
memisahkan komponen-komponen ke dalam pelarut dengan kepolaran yang
berbeda. Fraksi n-heksan akan memisahkan zat aktif yang larut dalam pelarut non

13

polar dari ekstrak etanol, fraksi etil asetat akan memisahkan zat aktif yang larut
dalam pelarut semi polar, sedangkan fraksi air akan memisahkan zat aktif yang
larut dalam pelarut polar.
3.3.6

Skrinning Fraksi dan Pemantauan Fraksi (KLT)

3.3.6.1 Skrinning Fitokimia senyawa target hasil dari Ekstraksi Cair Cair
a.

Tanin
Pemeriksaan Tanin dilakukan dengan cara simplisia diekstraksi dengan

etanol panas, selanjutnya dipanaskan dengan air diatas tangas air, kemudian
disaring panas-panas. Sebagian kecil filtrat diuji ulang dengan penambahan
larutan gelatin 10%. Terbentuknya endapan putih menunjukan bahwa dalam
simplisia terdapat tanin.Selain itu dapat diuji dengan menambahkan FeCl 3
sehingga terbentuk warna hijau-hitam yang menunjukan adanya fenolat (tanin).
3.3.6.2 Pemantauan ekstrak hasil dari Ekstrak Cair - Cair
Dilakukan dengan metode KLT. KLT dapat digunakan untuk memisahkan
komponen suatu zat atau kandungan kimia yang terdapat pada kelopak bunga H.
Sabdariffa L. Fase diam yang digunakan adalah silica gel, dan fase gerak (eluen)
nya adalah n-butanol : asam asetat : etanol (4: 2 : 1). Bercak untuk senyawa tanin
memiliki nilai Rf sebesar 0,67.
Pertama tama lempeng KLT diaktivasi dalam oven pada suhu 105o
110o C selama 30 menit. Lalu dilakukan penjenuhan chamber dengan memasukan
campuran eluen kedalam chamber, tutup rapat dan didiamkan selama 1 jam. Pada
plat KLT dibuat garis lurus dengan pensil pada jarak 1 cm pada bagian bawah dan
0,5 cm pada bagian atas. Totolkan sampel dengan pipa kapiler pada garis bagaian
bawah dan masukan dalam chamber. Chamber ditutup dan lempeng dibiarkan
tersimpan dalam chamber.

3.3.7

Subfraksinasi (Kromatografi kolom)


Dilakukan dengan metode Kromatografi Kolom (KK).KK dapat

digunakan untuk memisahkan masing-masing zat. Metode yang digunakan yaitu

14

cara basah. Fase diam dalam Kromatografi Kolom (KK) yaitu silika gel. Pada
kolom di isi dengan gelas wol dan di tambahkan pasir pantai, lalu dimasukan
kolom yang sudah di supsensikan dengan ekstrak. Lalu ditambahkan sedikit pasir
pantai. Dibuat 10 perbandingan eluen yaitu terdiri dari n-butanol : etanol dengan
perbandingan 9 : 1, 8 : 2, 7 : 3, 6 : 4, 5 : 5, 4 : 6, 3 : 7, 2 : 8, 1 : 9, dan 0 : 10. Eluen
yang dimasukan kedalam kolom merupakan eluen dari polaritas rendah sampai
paling polar. Tampung fraksi dengan wadah (vial).
3.3.8

Pemantauan subfraksinasi
Dilakukan dengan metode KLT. Fase diam yang digunakan adalah silica

gel, dan fase gerak (eluen) nya adalah n-butanol: etanol (3:1). Bercak untuk
senyawa tanin memiliki nilai Rf sebesar 0,67.
Pertama tama lempeng KLT diaktivasi dalam oven pada suhu 105o
110o C selama 30 menit. Lalu dilakukan penjenuhan chamber dengan memasukan
campuran eluen kedalam chamber, tutup rapat dan didiamkan selama 1 jam. Pada
plat KLT dibuat garis lurus dengan pensil pada jarak 1 cm pada bagian bawah dan
0,5 cm pada bagian atas. Totolkan sampel dengan pipa kapiler pada garis bagaian
bawah dan masukan dalam chamber. Chamber ditutup dan lempeng dibiarkan
tersimpan dalam chamber. Setelah plat KLT dielusi, lalu untuk melihat noda
bercak lebih jelas maka di deteksi melalui lampu UV 254 nm dan 366 nm
3.3.9

Pemurnian
Menggunakan KLT Preparatif untuk mendapatkan isolat murni. Fase

diam dari KLTP menggunakan silika gel GF254. Siapkan plat KLTP yang sudah
dibuat, Penotolan sampel dilakukan pada daerah bawah papan KLTP yang telah
diberi garis menyerupai pita dengan cara digaris. Masukan plat KLTP pada
chamber yang telah dijenuhkan, lalukan elusi dengan pelarut butanol: etanol 3:1.
Hentikan elusi bila pelarut telah mencapai batas. Plat KLTP diangkat dikeringkan
lalu untuk melihat noda bercak lebih jelas maka di deteksi melalui lampu UV 254
nm dan 366 nm dan diberi tanda. Kerok laipsan pada daerah yang diberi tanda.
Hasil kerokan dikumpulkan, masukan dalam erlenmeyer dan ditambah pelarut

15

metanol lalu disentrifuga dan di dekantasi. Silika gel tidak akan larut dalam
metanol. Hasil dari dekantasi filtrat diambil untuk di uji kemurnian.
3.3.10

Uji Kemurnian
Dilakukan dengan menggunakan KLT 2 dimensi. Plat yang digunakan

lebih besar daripada KLT Preparatif. Selain itu zat dielusi 2 kali. KLT 2 dimensi
dilakukan dengan melakukan penotolan sampel di salah satu sudut plat KLT dan
mengembangkannya sebagaimana biasa dengan eluen pertama menggunakan nbutanol dan etanol dengan perbandingan 3 : 1. Plat KLT selanjutnya diangkat dari
chamber yang berisi eluen kedua yaitu n-butanol dan etanol dengan perbandingan
1:3. Maka pengembangan dapat terjadi pada arah yang tegak lurus dengan arah
pengembangan yang pertama. Isolat dikatakan murni jika bercak pada hasil
pengembangan pertama dan kedua hanya menghasilkan satu bercak.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1

Skrining Fitokimia

16

Uji fitokimia atau skrining fitokimia terhadap kandungan senyawa


metabolit sekunder merupakan langkah awal dalam penelitian mengenai
tumbuhan obat. Adapun tujuan dilakukan skrining fitokimia yaitu sebagai berikut.
1. Mengetahui golongan senyawa yang terdapat dalam simplisia, ekstrak,
fraksi, subfraksi, isolate.
2. Menentukan metode yang akan digunakan dalam menganalisis senyawa
dari simplisia
3. Pencairan senyawa aktif baru, precursor bagi sintetis obat-obatan baru
atau protatip senyawa obat berkeaktifan tertentu yang berasal dari
tanaman.
4.1.1

Alkaloid
Simplisia ditambah ammonia encer untuk membasakan simplisia dan

membentuk alkaloid bebas, lalu ditambah kloroform untuk menarik senyawa


alkaloid sehingga non polar, ditambah HCl 2 N untuk menarik senyawa alkaloid
yang ada di dalam kloroform. Umumnya alkaloid bersifat basa karena adanya
pasangan electron bebas pada atom nitrogennya (teori asam basa Lewis). Adanya
pasangan electron bebas ini menyebabkan alkaloid dapat membentuk kompleks
yang tidak larut dengan logam-logam berat misalnya pereaksi mayer (Kl dan
HgCl2), pereaksi dragendorf [KI dan Bi (NO3)3], dan pereaksi wagner (KI dan I2).
Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut.
1. Pereaksi Mayer
Pembuatan pereaksi mayer :

Reaksi alkaloid :

2. Pereaksi Dragendorf
Pembuatan pereaksi dragendorf :

17

Reaksi alkaloid :

3. Pereaksi Wagner

Ion iodin I- berasal KI yang kemudian beraksi dengan I2 menghasilkan I3KI + I2 K+ + I3K+ kemudian bereaksi dengan alkaloid membentuk endapanKalium-Alkaloid
yang berwarna coklat muda-kuning.
4.1.2

Flavonoid
Filtrat rosella ditambah campuran logam Mg, HCl 5 N dan amil alcohol.

Logam Mg berfungsi sebagai katalis sehingga mempercepat reaksi, HCl untuk


menghidrolisis sehingga ikatan gula pecah, dan amil alcohol untuk menarik
senyawa flavonoid sehingga memberikan warna merah sampai jingga (flavon)
atau merah tua (flavonol atau flavonon) atau hijau sampai biru (aglikon atau
glikosida). Rosela positif mengandung flavonoid jenis flavonol. Reaksi yang
terjadi adalah sebagai berikut.
Mg + 2HCl MgCl2 + H2

18

Pada flavonoid terjadi reaksi reduksi gugussan karbonil pada lingkar dlakton menjadi gugussan alcohol membentuk senyawa hidroksi yang berwarna
tergantung pada gugusan fungsional yang terikat pada lingkar A atau B.
4.1.3

Saponin
Pengujian saponin menggunakan uji Forth berdasarkan kemampuannya

membentuk buih dalam air. Bila dihidrolisis saponin akan menghasilkan bagian
glikon (gula) dan aglikon (non gula). Dengan pengocokan yang kuat, glikosida
mampu membentuk buih dalam air yang terhidrolisis nenjadi gula dan senyawa
lain. Rosela positif mengandung saponin dengan ditandai adanya busa yang
tingginya lebih dari 1 cm. Ketika busa tersebut diuji dengan HCl busa tersebut
tidak menghilang dikarenakan asam tidak bisa berikatan dengan aglikon dan
glukosa. Adapun reaksi hidrolisis saponin adalah sebagai berikut.

4.1.4

Kuinon
Skrinning senyawa kuinon menggunakan uji Brontager yang didasarkan

pada kemampuannya membentuk garam berwarna antara hidrokuinon dengan


larutan alkali kuat (NaOH atau KOH). Rosela positif mengandung kuinon dimana
gugus keton pada hidrokuinon terionisasi oleh NaOH membentuk ikatan rangkap
terkonjugasi berwarna merah terang karena adanya garam alkali (kuinoid). Reaksi
uji Brontager :
OH

OH

NaOH

4.1.5

Steroid dan Triterpenoid


OH

19

ONa

Skrining senyawa steroid dan triterpenoid menggunakan reagen


Lieberman-Burchard. Reagen tersebut mengandung asam asetat anhidrat dan asam
sulfat pekat dalam etanol dingin. Asam asetat anhidrat membentuk turunan asetil
dari steroid yang larut di dalam kloroform atau eter sehingga steroid atau
triterpenoid memiliki kelarutan yang baik dalam kloroform atau eter. Kloroform
atau eter yang digunakan tidak mengandung molekul air karena adanya air dapat
merubah asam asetat anhidrat menjadi asam asetat sehingga asetil tidak terbentuk.
Adapun asam sulfat berfungsi untuk mengoksidasi asetil dari steroid atau
triterpenoid sehingga terbentuk warna hijau (steroid) dan ungu (terpenoid).
Golongan steroid dan terpenoid merupakan senyawa yang mirip karena tersusun
dari isopren.

4.1.6

Tanin dan Polifenol


Skrining senyawa
pereaksi FeCl3
STEROID tannin dan polifenol menggunakan
TRITERPENOID

melalui gugusan fenol yang memberikan warna hijau, biru, atau hitam. Untuk
membedakan tannin dengan polifenolat alam maka digunakan larutan gelatin 1 %
karena tanin memiliki sifat dapat mengendapkan gelatin akibat tannin yang
bercampur dengan campuran antara peptide dengan protein yang diperoleh dari
hidrolisis kolagen secara alami. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut.
Reaksi polifenol dengan FeCl3

Reaksi tannin dengan gelatin

20

4.1.7

Mono dan Seskuiterpenoid


Skrining senyawa mono dan seskuiterpenoid menggunakan pereaksi

anisaldehid asam sulfat atau vanillin sulfat. Rosela positif mengandung mono dan
seskuiterpenoid yang ditandai dengan terbentuknya warna-warna. Warna tersebut
disebabkan karena adanya ikatan sehingga membentuk kompleks.
Tabel 4.1 Skrinning Fitokimia
No

Golongan

Hasil Pengamatan

Simpulan

1 Alkaloid
+ Mayer
+ Dragendorf

Bening, tidak ada endapan


Bening, tidak ada endapan

Biru hitam
Ada endapan putih

+
+

2 Tanin & Polifenol


+ FeCl3
+ Gelatin 1 %
3 Flavonoid
+Mg+HCl+amil
alcohol

Filtrat berwarna merah, fasa amil alkohol


berada di bagian atas berwarna pink, Mg
mengendap di bawah berwarna abu

4 Saponin

21

Dikocok
+ HCl

Tinggi busa 1 cm
Busa tidak menghilang

5 Mono dan
Seskuiterpen
+ Vanilin H2SO4

Terbentuk warna ungu, coklat

Ungu (Triterpenoid), hijau (steroid)

Hijau kemudian kekuningan

6 Steroid dan
Triterpenoid
+ Lieberman
Bouchardat
7 Kuinon
+ NaOH

4.2

Ekstraksi Cair - Padat


Proses pengekstraksian komponen kimia dalam sel tanaman yaitu pelarut

organik akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang
mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dalam pelarut organik di luar sel , maka
larutan terpekat akan berdifusi keluar sel. Proses ini akan berulang terus sampai
terjadi keseimbangan antara konsentrasi cairan zat aktif di dalam dan di luar sel.
Ekstraksi senyawa tanin dari simplisia bunga rosella dilakukan dengan
menggunakan metode refluks. Alasan memilih metode refluks karena senyawa
kimia yang akan dipisahkan bersifat polar dan larut dengan pelarut organik etanol
yang bersifat volatil.
Prinsip metode refluks adalah pelarut volatil yang akan menguap pada
suhu tinggi namun akan didinginkan pada kondensor sehingga pelarut yang
tadinya dalam bentuk uap akan mengembun pada kondensor dan turun lagi ke
dalam wadah reaksi sehingga pelarut akan tetap ada selama reaksi berlangsung.
Sedangkan aliran gas N2 diberikan agar tidak ada uap air atau gas oksigen yang
masuk terutama pada senyawa organologam untuk sintesis senyawa anorganik
karena sifatnya reaktif.
22

Prinsip kerja refluks terjadi 4 proses yaitu proses heating, evaporating,


kondensasi dan cooling. Heating terjadi pada saat feed dipanaskan di labu dasar
bulat. Evaporating (penguapan) terjadi karena feed mencapai titik didih dan
berubah fase menjadi uap yang kemudian uap tersebut mesuk ke kondensor
dalam. Cooling terjadi di dalam ember/ wadah yang berisi air sehingga ketika kita
menghidupkan pompa/ keran air dingin akan mengalir

dari bawah menuju

kondensor luar. Air tersebut harus dialirkan dari bawah kondensor bukan dari atas
agar tidak ada turbulensi udara yang menghalangi dan agar air terisi penuh.
Kondensasi (pengembunan) terjadi di kondensor. Jadi terjadi perbedaan suhu
antara kondensor dalam yang berisi uap panas dengan kondensor luar yang berisi
air dingin sehingga menyebabkan penurunan suhu dan perubahan fase dari steam
tersebut untuk menjadi liquid/ cairan kembali.
Simplisia rosella yang digunakan sebanyak 30 gram dalam 200 mL
etanol, karena disesuaikan dengan labu yang dipakai yaitu dengan ukuran 500 mL.
Ke dalam labu tersebut ditambahkan juga batu didih (boiling chips). Batu didih
adalah benda yang kecil, bentuknya tidak rata, berpori, dan biasanya dimasukkan
ke dalam cairan yang sedang dipanaskan. Batu didih tersebut dari bahan silika,
kalsium karbonat, porselen maupun karbon tetapi ada juga yang sederhana yang
dibuat dari pecahan-pecahan kaca, keramik maupun batu kapur selama bahanbahan itu tidak bisa larut dalam cairan yang dipanaskan. Fungsi penambahan batu
didih yaitu:
1. Untuk mengurangi atau meredam letupan-letupan maupun gelembung pada
labu saat melakukan pemanasan.
2. Untuk meratakan panas sehingga panas menjadi homogen pada seluruh
bagian larutan.
3. Untuk menghindari titik lewat didih.
Pori-pori dalam batu didih akan membantu penangkapan udara pada
larutan dan melepaskannya ke permukaan larutan (ini akan menyebabkan
timbulnya gelembung-gelembung kecil pada batu didih). Tanpa batu didih maka
larutan yang dipanaskan akan menjadi superheated pada bagian tertentu lalu akan
mengeluarkan uap panas yang bisa menimbulkan letupan atau ledakan
(bumping). Jadi batu didih harus dimasukkan ke dalam cairan sebelum cairan itu
23

dipanaskan. Jika batu didih akan dimasukkan di tengah-tengah pamanasan maka


suhu cairan harus diturunkan terlebih dahulu. Sebaiknya batu didih tidak
digunakan secara berulang-ulang karena pori-pori dalam batu didih bisa
tersumbat zat-zat pengotor dalam cairan.
Selanjutnya dipasangkan kondensor (Pendingin balik) yang berfungsi
sebagai pendingin uap atau cairan panas, untuk mengembunkan kembali pelarut
yang menguap sehingga resiko pelarut hilang ke lingkungan semakin kecil dan
dapat

kembali

melarutkan

bahan

yang

akan

diekstrak

serta

untuk

menyempurnakan pendinginan karena dalam ekstraksi biasanya dugunkan


senyawa volatil. Ekstraksi dilakukan sampai tetesan pelarut hampir tidak
berwarna yang menandakan tidak adanya kontaminan. Adapun untuk pergantian
pelarut dilakukan sebanyak tiga kali setiap rentang waktu 3-4 jam.
Selanjutnya ekstrak yang diperoleh dipekatkan dengan evaporator menjadi
ekstrak kental. Fungsi evaporator adalah untuk memisahkan zat dari campuran.
Prinsip utama evaporator adalah terletak pada penurunan tekanan pada labu alas
bulat dan pemutaran labu alas bulat hingga berguna agar pelarut dapat menguap
lebih cepat dibawah titik didihnya.
Alasan menggunakan rotary evaporator adalah karena hasil yang diperoleh
sangat akurat dibandingakan dengan teknik pemisahan lainnya misalnya oven.
Evaporator memiliki teknik yang berbeda dengan teknik pemisahan lainnya
dimana pemisahan evaporator bukan hanya terletak pada pemanasannya tetapi
dengan menurunkan tekanan pada labu alas bulat dan memutar labu alas bulat
dengan kecepatan tertentu, sehingga satu pelarut akan menguap dan senyawa yang
larut dalam pelarut tersebut tidak ikut menguap namun mengendap. Selain itu
dengan pemanasan dibawah titik didih pelarut mengakibatkan senyawa yang
terkandung dalam pelarut tidak rusak dengan suhu tinggi. Adapun penguapan
bertujuan untuk memisahkan pelarut (solvent) dari larutan sehingga meghasilkan
larutan yang lebih pekat.
Dari 500 mL ekstrak yang diproses dengan evaporator dihasilkan ekstrak
kental berwarna merah hati sebanyak 10,067 gram dengan konsistensinya seperti

24

kecap. Ekstrak kental tersebut dilakukan pemeriksaan kualitas ekstrak yang


meliputi parameter kimia fisika seperti organoleptik, rendemen, bobot jenis, dan
pola dinamolisis. Uraiannya sebagai berikut:
1. Pemeriksaan parameter ekstrak cair
Dilakukan untuk mengetahui kualitas ekstrak yang dilihat
berdasarkan sifat fisik dan kandungan kimianya. Ekstrak yang diperoleh
memiliki bentuk liquid (cair), berwarna merah, bau menyengat.
2. Pemeriksaan rendemen ekstrak
Prosedur untuk menetapkan rendemen ekstrak yaitu sejumlah
ekstrak kental dalam cawan penguap ditimbang kemudian diuapkan diatas
penangas air sampai bobot tetap. Tentukan berat ekstrak setelah penguapan
dengan mengurangkannya dengan bobot cawan kosong. Rendemen ekstrak
(%b/b) dihitung dengan membandingkan berat ekstrak kental dengan berat
simplisia dikali 100%. Maka diperoleh rendemen sebesar 33,56%.
Semakin lama waktu ekstrak dan semakin halus ekstraknya, maka semakin
banyak pula rendemen yang didapatkan. Semakin besar perbandingan
bahan baku-pelarut yang digunakan, maka semakin besar ekstrak kasar
yang didapat. Untuk mendapatkan eksatrak yang lebih banyak harus
dilakukan ekstraksi yang lebih banyak.
3. Penetapan bobot jenis ekstrak
Bobot jenis ekstrak ditentukan dengan menggunakan piknometer.
Piknometer ditimbang kemudian diisi penuh dengan air dan ditimbang
ulang. Kerapatan air dapat ditetapkan. Kemudian piknometer dikosongkan
dan diisi penuh dengan ekstrak dan ditimbang. Melalui ebrat ekstrak yang
mempunyai volume tertentu dapat ditetapkan kerapatan ekstrak. Setelah
dilakukan perhitungan maka didapatkan bobot jenis dari ekstrak rosella
sabdariffa adalah 0,8680 g/mL. Menurut literatur, bobot jenis dari ekstrak
adalah 0,9. Semakin kecil rentang dengan data literatur maka nilai akurasi
data tinggi dan mendekati angka sebenarnya. Proses penentuan bobot jenis
ini dilakukan dengan cara membandingkan keraptan ekstrak uji dengan
kerapatan air sebagai standar.
4. Pengujian pola dinamolisis
Proses dinamolisis dilakukan untuk memberikan gambaran secara
kualitatif dari kandungan kimia yang terdapat dalam ekstrak karena

25

masing-masing ekstrak memiliki pola dinamolisis yang berbeda. Ketika


sumbu kertas saring diletakkan di lubang kertas walkman di atas cawan
petri yang berisi ekstrak maka terjadi proses difusi sirkular. Berdasarkan
percobaan, poal dinamolisis yang dimiliki oelh Rosella sabdariffa
menunjukan pola lingkaran dengan diameter 6 cm dan berwarna kuning
dan merah muda.
4.3

Pematauan Ekstrak
Kromatografi Lapis Tipis merupakan metode pemisahan secara

fisikokimia dengan fase diam berupa lapisan yang seragam pada permukaan
bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, plat alumunium, atau plat plastic.
Dasar pemisahan pada KLT adalah perbedaan kecepatan migrasi diantara fasa
diam yang berupa padatan dan fasa gerak yang merupakan campuran solven
(eluen) yang dikenal dengan istilah pelarut pengembang campur.
Penggunaan KLT adalah sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.

Untuk penentuan jumlah komponen dalam campuran


Untuk penentuan identitas antara dua campuran
Untuk memonitor perkembangan reaksi
Untuk penentuan keefektifan pemurnian
Untuk penentuan kondisi yang sesuai untuk pemisahan pada kromatografi

kolom
6. Untuk memonitor kromatografi kolom
Ekstrak Rosella yang telah didapat dari proses metode refluks dan
evaporator selanjutnya dilakukan pemantauan ekstrak dengan cara metode KLT.
Alasan pemilihan KLT karena secara fisikokimia dapat memisahkan senyawa
target berupa tanin didalam Rosella.
Silica gel dapat membentuk ikatan hydrogen dipermukaannya karena
pada permukaannya terikat gugus hidroksil, oleh karena itu silica gel sifatnya
sangat polar. Sebelum digunakan untuk proses KLT, plat harus dikeringkan dulu
di dalam oven agar plat bebas dari molekul-molekul air yang terikat. Jumlah air
yang terikat tersebut sangat berpengaruh pada pemisahan karena air terikat sangat
kuat pada adsorben sehingga menghambat terjadinya kesetimbangan dengan
26

molekul-molekul analit. Selain itu plat juga tidak boleh rusak agar warna pada
sampel dapat terpisah dengan baik. Setelah plat diaktivasi, selanjutnya plat diberi
tanda garis dan titik untuk proses penotolan dan elusi menggunakan penggaris dan
jarum tetapi jangan sampai terlalu dalam mengenai permukaan plat. Karena plat
yang dibuat berukuran 4 x 9 cm sehingga jarak dari bagian bawah 0,5 cm begitu
juga bagian atas sehingga proses elusi berlangsung hingga 8 cm.
Pemilihan eluen tergantung pada jenis analit yang akan dipisahkan. Eluen
yang menyebabkan seluruh noda yang ditotolkan pada plat naik sampai batas atas
plat(solven front) tanpa mengalami pemisahan berarti eluen terlalu polar.
Sebaliknya jika noda yang ditotolkan pada plat sama sekali tidak bergerak berarti
eluen kurang polar. Semakin dekat kepolaran antara sampel dengan eluen maka
sampel akan semakin terbawa oleh fase gerak tersebut.
Pengembang yang digunakan pada metode ini adalah n-butanol : asam
asetat : air dengan perbandingan 4 : 1 : 5 atau 16 mL : 4 mL : 20 mL. pelarut /
eluen BAW tersebut harus dikocok dan didiamkan didalam corong pisah selama 1
malam agar terbentuk dua fase. Adapun yang digunakan untuk KLT adalah fase
atas (n-butanol) karena pada fase ini digunakan untuk menarik senyawa tanin.
Dari hasil praktikum tidak didapatkan spot oleh karena itu dicoba memakai eluen
lain yang lebih cocok. Berdasarkan praktikum eluen n-butanol : asam asetat :
etanol dengan perbandingan 4 : 3 : 3 menghasilkan tiga spot dan terpisah baik
dengan nilai Rf yaitu 0,45 ; 0,775 dan 0,925. Senyawa tanin memiliki nilai Rf
0,45 menurut teori.
Rf merupakan parameter migrasi analitik pada KLT. Rf (waktu tambat)
adalah waktu yang diperlukan untuk mengelusi maksimum suatu sampel dihitung
dari titik awal penotolan. Oleh karena itu bilangan Rf selalu lebih kecil dari 1.
Selain pelarut yang paling sederhana adalah campuran dua pelarut organic karena
daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat diatur sedemikian rupa sehingga
pemisahan dapat terjadi secara optimum atau sempurna.
Chamber yang digunakan berupa bejana kaca dengan dasar rata. Bagaian
dalam chamber diisi dengan kertas saring sampai seluruh dinding chamber

27

tertutup oleh kertas saring, tetapi bagian atas chamber tidak tertutup kertas saring
sekitar 2 sampai 3 cm. kemudian eluen yang digunakan dimasukkan kedalam
chamber sebanyak 5 mL untuk menjenuhkan chamber, chamber harus ditutup
dengan plat kaca sampai kertas saring basah seluruhnya. Kertas saring tidak boleh
melebihi tinggigelas karena uapnya dapat keluar melalui kertas saring yang berada
diluar chamber, sehingga chamber tidak jenuh lagi dan noda tidak naik. Jika kertas
saring terlalu kecil maka chamber tidak akan jenuh semuanya, sehingga noda sulit
naik dan kurang berkembang.
Penjenuhan ini dilakukan karena ketika fase gerak mulai naik ke fase
diam sedapat mungkin tidak ada penghalang atau gangguan. Bila chamber tidak
jenuh maka didalam chamber masih terdapat udara denganuap eluen, maka cairan
eluen akan tertahan sehingga dapat menyebabkan pemisahahan tidak berjalan
dengan baik. Sedapat mungkin menggunakan chamber sekecil mungkin agar
kejenuhan dan homogenitas atmosfer dalam chamber lebih mudah dicapai.
Untuk pengujian cincin konsentrasi pada sebuah plat ditotolkan beberapa
noda sampel yang sama kemudian setiap noda ditotolkan eluen yang berbeda.
Sedangkan untuk penentuan Rf pada sebuah plat ditotolkan beberapa noda yang
sama dibatas bawah plat. Kemudian plat dimasukkan kedalam chamber yang telah
dijenuhkan. Penempatan plat dilakukan dengan hati-hati, sehingga lapisan tipis
fase diam plat tidak tersentuh dengan kertas saring didalam chamber dan noda
yang ditotolkan tidak terkena pelarut.
Selanjutnya chamber ditutup dan dibiarkan eluen merambat naik secara
kapiler. Setelah eluen mencapai batas plat maka plat segera diangkat dan noda
yang terbentuk ditandai dengan pensil diukur Rf-nya. Berdasarkan praktikum
noda tidak jelas terlihat dengan kasat mata sehingga dilakukan penyemprotan plat
seperti dengan H2SO4. Penampakan bercak oleh H2SO4 tersebut karena H2SO4
mengoksidasi senyawa tanin dan merusak gugus kromofor dari zat aktif (tanin)
sehingga panjang gelombangnya bergeser kearah yang lebih panjang (UV-Vis)
sehingga noda menjadi tampak.

28

Penotolan dilakukan berulang pada tempat yang sama dengan rentang


waktu tertentu untuk menghindari kemungkinan totolan waktu terlalu lebar dan
menghindari terjadinya tailing. Tailing terjadi sebagai akibat dari kesalahan
penotolan senyawa sehingga pita yang terbentuk berekor atau karena pengembang
tidak sesuai.
Tabel 4.3 Pemantauan Ekstrak

4.4

No

Eluen

Jumlah
noda

Keterangan

N-butanol : asam asetat : etanol


(4 : 1 : 5)

Tak terpisah

Etil asetat : kloroform : asam asetat


(15 : 5 : 2)

Tak terpisah

N-butanol : asam asetat : etanol


(4 : 1 : 5)

Tak terpisah

N-butanol : asam asetat : etanol


(4 : 1 : 5)

Tak terpisah

N-butanol : asam asetat : etanol


(4 : 1 : 5)

Terpisah baik

Fraksinasi (ECC)
Ekstraksi cair-cair terjadi proses pemisahan senyawa dalam sampel

menggunakan dua pelarut yang tidak saling bercampur. Solute dipisahkan dari
cairan pembawa (diluen) menggunakan solven cair. Campuran diluen dan solven
ini adalah heterogen (immiscible, tidak saling bercampur) sehingga ketika
dipisahkan membentuk dua fase yaitu fase diluen (rafinat) dan fase solven
(ekstraktan). Fase rafinat berisi residu atau sisa solut sedangkan fase ekstraktan
berisi solute dan solven. Pada ECC yang pertama yang menjadi rafinat adalah air
sedangkan sedangkan ekstraktanya n-heksan. Pada ECC kedua yang menjadi
rafinat adalah air dan ekstraktan adalah etil asetat.
Ekstraksi cair-cair ini menggunakan corong pisah. Ketika simplisia dan
pelarut dimasukkan maka corong ditutup dan digoyang dengan kuat untuk dua
fase larutan tercampur. Corong kemudian dibalik dan keran dibuka untuk

29

melepaskan tekanan uap yang berlebihan. Corong kemudian didiamkan agar


pemisahan antara dua fase berlangsung. Penyumbat dan keran corong kemudian
dibuka dan dua fase larutan ini dipisahkan dengan mengontrol keran corong.
Pada saat pencampuran terjadi perpindahan massa yaitu solute
meninggalkan pelarut yang pertama (rafinat) dan masuk kedalam pelarut kedua
(ekstraktan). Rosella terpartisi dan terdistribusi kedalam kedua pelarut
berdasarkan kepolarannya. Perbedaan konsentrasi solute diantara kedua pelarut
meruapakan pendorong terjadinya ekstraksi. Agar terjadi perpindahan massa yang
baik berarti performansi ekstraksi yang benar haruslah diusahakan agar terjadi
bidang kontak yang seluas mungkin diantara keuda cairan tersebut. Untuk salah
satu

cairan

didistribusikan

menjadi

tetes-tetes

kecil

(misalnya

dengan

pengocokan). Pendistribusian ini tidak boleh teralu jauh karena akan


menyebabkan terbentuknya emulsi yang sukar atau tidak dapat dipisah lagi.
Pada saat pemisahan, cairan yang telah terdistribusi menjadi tetes-tetes
harus menyatu kembali menjadi sebuah fase homogen dan berdasarkan perbedaan
kerapatan yang cukup besar dapat dipisahkan dari cairan yang lain. pada
pengerjaan, setelah pemisahan selesai campuran pelarut selalu didiamkan sa,pai
terjadi pemisahan sempurna perbandingan konsentrasi sampel (komponen) pada
kedua pelarut menjadi konstan dan dapat diekspresikan sebagai konstanta
kesetimbangan yang dinyatakan dengan koefisien distribusi atau koefisien partisi
Kp.
Adapun ekstrak yang diperoleh sebanyak 5 gram masing-masing
diuapkan untuk memekatkan atau mendapatkan ekstrak senyawa target.
Selanjutnya ditentukan rendemen fraksi sehingga diperoleh rendemen fraksi nheksan sebanyak 14,6%, fraksi etil asetat sebanyak 17% dan fraksi air sebanyak
71,388%. Fraksi air paling besar jumlahnya karena air tidak begitu menguap dan
senyawa larut dalam air akibat kepolarannya (like dissolve like).

30

Tabel 4.4 Ekstrak Cair cair

4.5
4.5.1

No

Nama

Berat (gram)

Rendemen (%)

Ekstrak

Fraksi air

3,5694

71,388

Fraksi n-heksan

0,85

14,6

Fraksi Etil asetat

0,73

17

Skrinning Fraksi dan Pemantauan Fraksi


Skrinning hasil ECC
Screening hasil ECC yang dilakukan terhadap fraksi air, n-heksan, dan

etil asetat. Adapun reagen untuk uji kualitatif yang digunakan adalah FeCl 3 dan
gelatin. Berdasarkan praktikum pada fraksi air dan etil asetat dengan uji FeCl 3
menunjukan positif mengandung tanin. Artinya senyawa tanin telah tertarik pada
fraksi air yang merupakan fase polar dan fraksi etil asetat yang merupakan fase
semipolar akibat adanya gaya like dissolve like dimana fase polar akan lebih
tertarik ke fase yang polar. Sedangkan pada fraksi n-heksan senyawa tanin tidak
tertarik karena n-heksan merupakan senyawa non polar sedangkan senyawa tanin
merupakan senyawa polar tidak terjadi proses like dissolve like.
Adapun tujuan penggunaan pelarut pada fraksinasi yang dilakukan secara
bertingkat adalah untuk memisahkan komponen-komponen ke dalam pelarut
dengan kepolaran yang berbeda-beda. Fraksi n-heksan akan memisahkan zat aktif
yang larut dalam pelarut non polar dari ekstrak etanol, fraksi etil asetat akan
memisahkan zat aktif yang larut dalam pelarut semipolar, sedangkan fraksi air
akan memisahkan zat aktif yang larut dalam pelarut polar.

31

Tabel 4.5.1 Skrinning Fitokimia Hasil dari ECC


No

Fraksi

Pereaksi
FeCl3

4.5.2

Tanin

Gelatin 1 %

Air

Jingga

Butiran putih

N-heksan

Kehijauan Kehijauan, tidak ada butiran

Etil asetat Hijau tua

Tidak ada butiran putih

+
+

Pemantauan fraksi hasil ECC


Selanjutnya dilakukan proses kromatografi lapis tipis (KLT) untuk

pemantauan fraksi. Tujuan dilakukan pemantauan fraksi adalah untuk menetukan


jumlah komponen dalam campuran, menentukan identitas antara dua campuran
dan memonitor perkembangan reaksi.
KLT merupakan metode pemishan secara fisikokimia dengan fase diam
berupa lapisan yang seragam pada permukaan bidang datar yang didukung oleh
lempengan kaca, plat alumunium, atau plat plastik (kromatografi planar). Dasar
pemisahan pada KLT adalah perbedaan keceptan migrasi diantara fase diam yang
berupa padatan dan fase gerak berupa campuran solvent/pelarut (eluen) yang juga
dikenal dengan istilah pelarut pengembang campur.
Pada KLT ini dilakukan dengan menotolkan fraksi air, etil asetat, dan nheksan yang berisi sejumlah komponen pada jarak 0,5 sampai 1 cm dari tepi plat.
Setelah penotolan maka bagian bawah plat dicelupkan dalam larutan fase gerak
atau pengembang (developing solution). Fase gerak yang digunakan adalah nbutanol : asam asetat : etanol dengan nilai perbandingan 4 : 2 : 1.
Berdasarkan praktikum yang dilakukan maka didapat tiga spot pada elusi
fraksi air dan dua spot pada elusi di fraksi etila asetat. Sedangkan pada fraksi nheksan tidak terbentuk spot. Hal ini disebabkan pengaruh kepolaran sampel
32

dengan pelarut sesuai konsep like dissolve like. Adapun nilai Rf fraksi air adalah
0,175; 0,275; dan 0,925. Nilai Rf pada fraksi etil asetat adalah 0,7 dan 0,875.
Maka berdasarkan literatur nilai Rf yang mendekati berada di fraksi etil asetat
yaitu 0,7.
Tabel 4.5.2 Pemantauan Fraksi hasil ECC
No

Jumlah noda S eluen S noda Rf (cm)


(cm)
(cm)
Air
3
8
1,4
0,175
2,2
0,275
7,4
0,925
N-heksan
8
-

Etil asetat

4.6

Fraksi

5,6
7

0,7
0,875

Subfraksinasi (Kromatografi Kolom)


Selanjutnya dilakukan percobaan mengenai kromatgrafi kolom fase diam

yang digunakan adalah silika gel sedangkan fase geraknya memakai n-butanol :
etanol dengan beberapa perbandingan. Fraksi yang di gunakan adalah fraksi air
dari simplisia rosella.
Kromatografi kolom adalah kromatografi yang menggunakan kolom
sebagai alat untuk memisahkan komponen-komponen dalam campuran KK
merupakan kelanjutan dari KLT. Prinsipnya sama dengan KLT, KK digunakan
untuk memurnikan senyawa atau memisahkan campuran. Fase diam yang
digunakan bisa berupa padat atau cair. Sedangkan fase gerak berupa cair atau gas.
Mekanisme pemisahan
1. Kromatografi Adsorbsi.
Komponen yang dipisahkan secara selektif teradsorpsi pada permukaan
adsorben.
2. Kromatografi Partisi
Analit mengalami partisi antara lapisan cairan fase diam (stasioner) dan
eluen sebagai fase gerak (mobile).
3. Kromatografi Siza Eksklusi
Solut dilewatkan kedalam adsorben berpori

33

Solut dengan ukuran kecil akan masuk ke dalam pori-pori

adsorben.
Solut dengan ukuran lebih besar dari pori-pori adsorben akan

terelusi lebih dulu.


4. Kromatografin Pertukaran Ion
Fase diam memiliki muatan tertentu, analit yang berbeda muatannya
akan tertahan dalam adsorben dan secara selektif akan terelusi oleh fase
gerak berupa dapar.
5. Kromatografi Afinitas
Banyak digunakan untuk memisahkan enzim-enzim.
Fase diam memiliki gugus khas (ligan) dengan afinitas tinggi

terhadap solut.
Solut yang bentuknya cocok dengan ligan akan tertahan di

adsorben (membentuk kompleks) dolut yang lain akan terelusi.


Kompleks yang terbentuk antara solut dengan ligan dielusi
ulang sehingga diperoleh solut yang diinginkan.

Kedalam KK ditmbahkan glass woll, pasir, silika gel, fraksi air yang
dicampur silika gel, dan eluen. Glass woll digunakan untuk menahan pasir dan
silika gel, pasir digunakan unutuk menjerap kotoran. Silika gel sebagai fase diam
untuk menjerap analit sedangkan eluen untuk membawa analit menuju vial yang
terletak dibawah kolom sebagai penampungan fraksi.
Di dalam kolom, aliran fase gerak akan membawa komponen-komponen
analit ke arah sepanjang kolom. Pada saat fase gerak mengalir sepanjang kolom
terjadi kesetimbangan dinamis antara komponen yang terdapat dalam fase gerak
dengan komponen yang terdapat dalam fase diam sehingga mempengaruhi jumlah
plat teori (N). Maka makin banyak palt maka pemisahan makin baik sehingga
kolom makin efisien.
Berbagai ukuran kolom dapat digunakan dimana hal utama yang
dipertimbangkan adalah kapasitas yang memadai untuk menerima sampel-sampel
tanpa melampaui fase diamnya. Panjang kolom harus sekurang-kurangnya
sepuluh kalu ukuran diamterernya. Adapun diameter dan panjang kolom yang
digunakan pada praktikum ini adalah 2 cm dan 24,5 cm.

34

Bahan pengemasnya adalah suatu adsorben yaitu silika gel yang


kemudian dimasukkan dalam bentuk suspensi kedalam porsi fase gerak dan
dibiarkan diam didalam hamparan basah dengan sedikit cairan dibiarkan turun
sampai mencapai puncak permukaan hamparan.
Pemilihan ukuran kolom tergantung dari hal-hal sebagai berikut.
1. Jumlah sampel yang akan dipisahkan, perbandingan adsorben cuplikan 10:1
2. Perbandingan panjang dengan diameter kolom 12:1
3. Untuk sampel yang multikomponen yang memepunyai afinitas yang sama
terhadap adsorben maka dipilih kolom yang panjang, sedangkan untuk
komponen

dengan afinitas yang berbeda terhadap adsorben maka dipilih

kolom yang pendek.


Adapun cara penyiapan kolom yang digunakan pada praktikum ini adalah
cara basah agar meminimalkan reaksi terjadinya keretakkan fase diam akibat
kekeringan atau kurang ratanya fase gerak bila dibandingkan cara kering maupun
bubur atau lumpuran. Pada saat menuangkan fase diam ke corong maka serbuk
tersebut tidak boleh menempel pada dinding kolom dan tidak terbentuk rongga
agar pemisahan berjalan sempurna. Dari praktikum diperoleh 10 fraksi dengan
warna yang semakin encer (tidak pekat).
Parameter kinetika pemisahan ada 4 :
1.
2.
3.
4.

Slektivitas ()
Kapasitas kolom (K1)
Resolusi (Rs)
Jumlah plat teori (N)

Slektivitas yaitu kemampuan untuk mengenali senyawa-senyawa didalam


campuran untuk mendapatkan slektivitas meksimum harus dicari mekanisme
pemisahan yang paling sesuai (partisi, adsorpsi size exclusion, atau ion exchange).

Kp = koefisien partisi, perbaningan konsentrasi analit dalam fase


diam dan fase gerak ( Cs/Cm).
Pembilang adalah Kp yang lebih besar

35

Nilai

Nilai

makin besar maka pemisahan makin baik.

Kapasitas kolom adalah ukuran interaksi suatu analit dengan fase diam.
Hal ini menunjukkan kemampuan kolom menampung analit maka semakin lama
analit berbeda dalam kolom akan semakin besar nilai kapasitasnya.

k1 =

Resolusi adalah ukuran kuantitatif yang menyatakan kemampuan kolom


dalam memisahkan komponen-komponen. Resolusi oleh 3 faktor yaitu efisiensi
(N), selektivitas () dan retensi (K1).

Rs =
Rs = Berarti pemisahan tidak semprna
Rs 1,5 berarti pemisahan baik.
Tabel. 4.6 Kromatografi kolom
Perbandingan Eluen
N-butanol : etanol

Hasil Pengamatan

Keterangan

9:1

Bening

8:2

Kuning pekat

7:3

Kuning

6:4

Bening

5:5

Bening

4:6

Bening

3:7

Bening

2:8

Bening

36

4.7

1:9

Kuning

0 : 10

Kuning

Pematauan Subfraksinasi (hasil dari KK)


Selanjutnya dilakukan percobaan pemantauan kolom dengan metode

KLT tujuan dilakukan pemantauan yaitu untuk menentukan jumlah komponen


dalam campuran, menentukan identitas anatara dua campuran dan memonitor
perkembangan reaksi. Dasar pemisahan pada KLT adalah perbedaan kecepatan
migrasi diantara fase diam yang berupa padatan dan fase gerak berupa campuran
solvetn atau pelarut (eluen) yang jua dikenal dengan pistilah pelarut pengembang
campur. Adapun fase diam yang digunakan pada praktikum ini adalah
menggunakan campuran butanol, asam asetat dan air dengan perbandingan 4 : 2 :
1 selain menggunakan campuran tersebut dilakukan pula elusi dengan eluen yang
berbeda menggunakan n-butanol dan etanol dengan perbandingan 3 : 1 larutan nbutanol digunakan untuk menarik senyawa yang semi polar sedangkan etanol
untuk menarik senyawa yang polar.
Tahap yang digunakan yaitu
1.
2.
3.
4.

Persiapan plat
Pembuatan eluen
Persiapan chamber
Penotolan dan pengembangan
Plat yang digunakan adalah silika gel Gf 254 lapis tipis atau penyangga

terdiri dari plat (kaca, aluminium, plastik) dan adsorben (silika gel, alumina,
selulosa, dll). Silika gel dapat

membentuk ikatan hidrogen di permukaanya

karena pada permukaannya terikat gugus gidroksil. Oleh karena itu silika gel
sifatnya sangat polar. Sebelum digunakan proses KLT, plat harus di keringkan
dulu di dalam oven agar plat bebas dari molekul-molekul air yang terikat. Jumlah
air yang terikat tersebut sangat berpengaruh pada pemisahan karena air terikat
sangat kuat pada adsorben sehigga menghambat terjadinya kesetimbangan dengan
molekul-molekul analit. Selain itu plat juga tidak boleh rusak agar warna pada
sampel dapat terpisah dengan baik. Setelah plat diaktivasi di dalam oven plat di

37

ambil dengan menggunakan pinset dan meletakkannya di atas kaca yang


sebelumnya telah di bersihkan dengan alkohol. Alasan menggunakan pinset
karena lebih efektif dari pada menggunakan tangan langsung karena,
dikhawatirkan tangan berkeringat sehingga dapat menambahkan jumlah air pada
plat. Selanjutnya plat diberi tanda garis dan titik untuk proses penotolan dan elusi.
Pada pemilihan eluen tergantung dari jenis analit yang akan dipisahkan.
Eluen yang menyebabakan seluruh noda yang ditotolkan pada plat naik sampai
batas atas plat (solvent Fron) tanpa mengalami pemisahan berarti eluen terlalu
polar. Sebaliknya jika noda yang ditotolkan pada palt sama sekali tidak bergerak
berarti eluen kurang polar. Semakin dekat kepolaran antara sampel dan eluen
maka sampel akan semakin terbawa oleh fase gerak tersebut.
Sebelum dilakukan pengembangan chamber dijenuhkan terlebih dahulu
karena ketika fase gerak mulai naik ke fase diam sedapat mungkin tidak ada
penghalang atau gangguan. Jika chamber tidak jenuh maka di dalam chamber
masih terdapat udara dengan uap eluen, maka aliran eluen akan tertahan sehingga
menyebabkan pemisahan tidak berjalan dengan baik.
Parameter migrasi pada KLT adalah nilai Rf . Rf adalah waktu tambah
atau waktu yang diperlukan untuk mengelusi maksimum suatu sampel dihitung
dari titik awal penotolan. Oleh karena itu nilai Rf selalu lebih kecil dari 1.
Berdasarkan percobaan didapatkan nilai Rf 0,3 cm pada perbandingan 7:3 , 0,9 cm
pada perbandingan 8:2, 7:3, dan 6:4, serta 0,06 cm pada perbandingan 5:5. Jadi
spot yang paling baik pada perbandingan 7:3 dengan eluen n-butanol dan etanol
dengan nilai Rf 0,3 cm. Hal ini disebabkan karena nilai Rf tersebut paling
maksimal daya elusinya dalam pemisahan. Daya elusi sendiri terletak antara 0,2
sampai 0,8.
Dari proses elusi tersebut tidak terlihat adanya spot secara kasat mata
sehingga perlu di deteksi di lampu UV 254 nm dan UV 366 nm. Maka diperoleh
nada yang terlihat. Pada lampu UV 254 nm noda terlihat karena adanya daya
interkasi anatara sinar uv dengan indikator flourosensi seperti timah kadminum
sulfida yang terdapat pada lempeng dimana lempeng berflourosensi sedangkan

38

sampel tampak gelap. Pada lampu uv 366 nm noda berflourosensi sedangkan


lempeng berwarna gelap. Penampakan noda terjadi karena adanya daya interkasi
antara sinar uv dengan gugus kromofor yang terikat oleh ausokrom yang ada pada
noda tersebut.
Tabel. 4.7 Pemantauan Subraksinasi (Hasil KK)

4.8

Perbandingan Fraksi
n-butanol : etanol

Hasil Elusi
Eluen n-butanol : etanol (3:1)

8:2

1 spot, Rf = 7,2/8 = 0,9 cm

7:3

1 spot, Rf = 2,2/8 = 0,3 cm

1:9

1 spot, Rf = 1,5/8 = 0,18 cm

0 : 10

1 spot, Rf = 1,6/8 = 0,2 cm

Pemurnian
KLT Preparatif digunakan untuk memisahkan bahan dalam jumlah gram,

namun sebagian besar pemakaian hanya dalam jumlah miligram. Seperti halnya
KLT secara umum, KLT preparatif juga melibatkan fase diam dan fase gerak. Fase
diam berupa plat dengan ukuran ketebalan bervariasi. Untuk jumlah sampel 10100 mg dapat dipisahkan dengan menggunakan KLT preparatif dengan adsorben
silica gel atau alumunium oksida dengan ukuran 20 20 cm dan tebal 1 mm. Jika
tebalnya diduakalikan maka banyaknya sampel yang dapat dipisahkan bertambah
50%. Seperti halnya KLT biasa, adsorben yang paling umum digunakan pada KLT
preparatif adalah silica gel. Adapun fase gerak atau eluen yang digunakan
disesuaikan dengan senyawa target yang akan diambil.
Pada percobaan kali ini digunakan fase diam berupa silica gel GF254 dan
fase gerak berupa n-butanol dan etanol dengan perbandingan 3:1. Sebelum
digunakan proses KLT, plat dikeringkan dulu di dalam oven untuk mengaktivasi
agar plat bebas dari molekul-molekul air yang terikat karena silica gel terdiri atas
gugus hidroksil sehingga mampu mebentuk ikatan hidrogen. Jumlah air yang
terikat tersebut sangat berpengaruh pada pemisahan karena air terikat sangat kuat
pada adsorben sehingga menghambat terjadinya keseimbangan dengan molekul-

39

molekul analit. Eluen n-butanol dan etanol dimasukkan ke dalam chamber dan
dijenuhkan selama 1 jam sebelum dilakukan elusi. Penjenuhan tersebut dilakukan
karena ketika fase gerak mulai naik ke fase diam sedapat mungkin tidak ada
penghalang atau gangguan. Jika chamber tidak jenuh maka di dalam chamber
masih terdapat udara dengan uap eluen, maka aliran eluen akan tertahan sehingga
menyebabkan pemisahan tidak berjalan dengan baik. Digunakan eluen n-butanol
dan etanol dengan perbandinga 3:1 karena paling cocok untuk menarik senyawa
tanin sesuai pada pemantaun KLT sebelumnya dan memiliki nilai Rf yang
mendekati tanin. Adapun fraksi yang digunakan adalah fraksi dengan
perbandingan 8:2, 7:3, 1:9, dan 0:10.
Sebelum

ditotolkan

pada

plat

KLT preparatif,

fraksi

tersebut

dicampurkan dalam vial dan dilarutkan terlebih dahulu dalam sedikit pelarut.
Karena senyawa target tanin mudah larut dan tertarik dalam pelarut etanol maka
digunakanlah pelarut etanol. Pelarut etanol baik digunakan karena mudah
menguap sehingga kemungkinan tidak terjadi pelebaran pita. Sedangkan jika
pelarut yang digunakan tidak mudah menguap maka akan terjadi pelabaran pita.
Konsentrasi sampel juga sebaiknya hanya 5-10%. Sampel yang ditotolkan harus
berbentuk pita yang sesempit mungkin karena baik tidaknya pemisahan juga
tergantung pada lebarnya pita.
Setelah plat KLT preparatif dielusi, pita yang kedudukannya telah
diketahui dikerok dari plat. Pita yang seharunya diambil pada saat proses KLT
preparatif yaitu:
1. Pita yang memiliki warna dominan
2. Pita yang memiliki nilai Rf yang mendekati nilai literatur tanin yaitu 0,67
3. Diusahakan mengambil pita yang tidak ada tailingnya
Cara mengerok pita adalah dengan menggunakan ujung spatel pada pita
yang telah diberi tanda. Selanjutnya hasil kerokan yang mengandung senyawa
target dan silica gel diekstraksi dari adsorben dengan pelarut PA etanol 5:1 (5 mL
etanol untuk 1 gram adsorben). Makin lama senyawa kontak dengan adsorben
maka makin besar kemungkinan senyawa tersebut mengalami peruraian.
Selanjutnya larutan dimasukkan ke dalam tabung efendrof dan tabung
sentrifuge. Disentrifuge selama 15 menit sehingga terbentuk fase filtrat dan

40

sentrat. Filtrat yang mengandung senyawa target tanin sedangkan sentrat


mengandung adsorben. Sehingga diperolehlah senyawa murni target.
Senyawa tanin pada praktikum memiliki nilai Rf sebesar 0,614
sedangkan senyawa tanin pada literatur

sebesar 0,67. Maka kedua nilai Rf

berdekatan sehingga sesuai. Semakin dekat nilai Rf dengan literatur maka akan
semakin baik.
Rf merupaka parameter migrasi pada KLT. Rf (waktu tambat) adalah
waktu yang diperlukan untuk mengelusi maksimum suatu sampel dihitung dari
titik awal penotolan. Oleh karena itu bilangan Rf selalu kecil dari 1 karena daya
elusi fase gerak yang baik terletak antara 0,2 sampai 0,8.
Sebelum dikerok plat diamati pitanya di lampu UV 254 nm dan UV 366
nm. Pada lampu UV 254 nm sampel terlihat gelap sedangkan lempeng
berfluorosensi dan terlihat noda/pita. Penampakan pita tersebut karena adanya
daya interaksi antara sinar UV dengan indikator fluorosensi seperti timah
kadmium sulfida yang terdapat pada lempeng. Pada lampu UV 366 nm sampel
terlihat berfluorosensi sedangkan lempeng terlihat gelap. Penampakan pita karena
adanya daya interaksi antara sinar UV dengan gugus kromofor yang terikat oleh
ausokrom yang ada pada pita tersebut.
Tabel 4.8 Pemurniaan (KLT preparatif)
Perlakuan

Hasil

Jenis Eluen

N-butanol : etanol (3 : 1)

Elusi

Terbentuk 1 pita

UV 254 nm

Sampel gelap, lempeng berflourosensi

UV 366 nm

Sampel berflourosensi, lempeng gelap

S eluen

7 cm

8 cm

S noda

4,3

6,2 cm

41

Nilai Rf

4.9

0,614 cm

0,77 cm

Uji Kemurnian
Uji kemurnian menggunakan metode KLT dua dimensi. Prinsip KLT dua

dimensi adalah adsorpsi plat silica gel GF 254 sebagai fase diam dan beberapa
perbandingan eluen dengan tingkat kepolaran tertentu sebagai fase geraknya.
Penggunaan fase gerak dengan polaritas yang meningkat berguna untuk
memastikan adanya senyawa tunggal dalam sampel.
Proses elusi pada KLT dua dimensi bertujuan untuk memperpanjang jarak
lintasan noda. Dua system fase gerak yang berbeda kepolarannya dapat digunakan
secara berurutan sehingga memungkinkan untuk melakukan pemisahan analit
yang tingkat kepolarannya hampir sama.
KLT dua dimensi dilakukan dengan melakukan penotolan sampel di salah
satu sudut plat KLT dan mengembangkannya sebagaimana biasa dengan eluen
pertama. Plat KLT selanjutnya diangkat dari chamber yang berisi eluen kedua
sehingga pengembangan dapat terjadi pada arah yang tegak lurus dengan arah
pengembangan yang pertama. Isolat dikatakan murni apabila bercak pada hasil
pengembangan pertama dan kedua hanya menghasilkan satu bercak.
Berdasarkan hasil percobaan nilai Rf senyawa tanin sebesar 0,6 cm. Hal ini
berdekatan dengan nilai Rf standar yaitu 0,67 cm.

42

BAB V
PENUTUP
5.1

Simpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan hal-hal sebagai

berikut.
1.

Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) positif mengandung senyawa target


yaitu tanin;

2.

Senyawa tanin memiliki nilai Rf sebesar 0,6 cm yang mendekati nilai Rf


standar sebesar 0,67 cm.

5.2

Saran
Berdasarkan penelitian yang dilakukan kami merekomendasikan saran

sebagai berikut.
1.

Sebaiknya senyawa target yang telah diperoleh diidentifikasi dengan


spektroskopi menggunakan spektrofotometer UV-Vis, IR, NMR, dan MS
supaya lebih baik;

2.

Persediaan alat harus lebih banyak agar tidak terjadi antrian saat
menggunakan alat.

43

DAFTAR PUSTAKA
Maryani, H. dan L. Kristiana, 2005. Khasiat dan Manfaat Rosela. AgroMedia
Pustaka, Jakarta
Mardiah, Arifah R., Reki W.A., dan Sawarni., 2005. Budidaya dan Penggolahan
Rosela Si Merah Segudang Manfaat. PT AgroMedia Pustaka,
Jakarta.
Gunawan, Didik, Drs. Apt. Su. Dra. Sri Mulyani, Apt. SU. Ilmu obat alam
(Farmakognosi) jilid I. 2004. Jakarta: Penebar Swadaya
Tolbert, Pamela S. and Zucker Lynne G. 1983. lnstitutional Sources of Change In
The Formal Structure of Organizations: The Diffusion of Civil Service
Reforms. 1880-1 935.
Hagerman, A.E. 2002. Condensed Tannin Structural Chemistry. Department of
Chemistry and Biochemistry, Miami University, Oxford
Harborne,J.B. 1994. Metode fitokimia penuntun cara modern menganalisis
tumbuhan. ITB. Bandung. Diterjemahkan oleh Padmawinata, K. &
Soediro, I.

44

Anda mungkin juga menyukai