Untuk itu, guru perlu menemukan cara terbaik bagaimana menyampaikan berbagai
konsep yang diajarkan sehingga semua siswa dapat menggunakan dan mengingatnya lebih lama
konsep tersebut dan bagaimana setiap mata pelajaran dipahami sebagai bagian yang saling
berhubungan dan membentuk satu pemahaman yang utuh. Salah satu alternatif yakni model
pembelajaran dengan pendekatan deduktif dan induktif, karena model ini selain dapat
mengembangkan kemampuan kognitif siswa, juga dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam
hal mengkomunikasikan matematika dengan cara mengawali suatu materi dengan contoh-contoh
dengan tujuan supaya siswa dapat mengidentifikasi, membedakan kemudian mengintepretasi,
menggeneralisasi dan akhirnya mengambil kesimpulan.
B. Rumusan Penulisan
Rumusan masalah pada makalah ini adalah:
1. Bagaimana model pembelajaran dengan pendekatan induktif dan deduktif ?
2. Bagaimana desain pembelajaran pendekatan induktif dan deduktif dalam matematika?
C.
Tujuan Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendekatan Pembelajaran
Pendekatan pembelajaran digunakan sebagai penjelas untuk mempermudah bagi para
guru memberikan pelayanan belajar dan juga mempermudah bagi siswa untuk memahami materi
ajar yang disampaikan guru dengan memelihara suasana pembelajaran yang menyenangkan.
Menurut Sagala (2010:68) menjelaskan bahwa Pendekatan pembelajaran merupakan jalan yang
akan ditempuh oleh guru dan siswa dalam mencapai tujuan instruksional untuk satuan
instruksional tertentu.Sedangkan menurut Sanjaya (2008:125) menyatakan bahwa Pendekatan
dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran. Istilah
pendekatan merujuk kepada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih
sangat umum. Oleh karena itu, metode pembelajaran yang digunakan dapat bersumber atau
tergantung dari pendekatan tertentu. Menurut Wahjoedi (1999:121) bahwa, Pendekatan
pembelajaran adalah cara mengelola kegiatan belajar dan perilaku siswa agar ia dapat aktif
melakukan tugas belajar sehingga dapat memperoleh hasil belajar secara optimal.
Berdasarkan pengertian tentang pendekatan pembelajaran tersebut dapat disimpulkan
bahwa, pendekatan pembelajaran merupakan cara kerja yang mempunyai sistem untuk
memudahkan pelaksanaan proses pembelajaran dan membelajarkan siswa guna membantu dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
B. Pendekatan Induktif
Pendekatan induktif pada awalnya dikemukakan oleh filosof Inggris Perancis Bacon yang
menghendaki agar penarikan kesimpulan didasarkan pada fakta-fakta yang konkrit sebanyak
mungkin, sistem ini dipandang sebagai sistem yang paling baik pada abad pertengahan yaitu cara
induktif disebut juga sebagai dogmatif artinya bersifat mempercayai bagitu saja tanpa diteliti
secara rasional. Pada dasarnya berpikir induktif ialah suatu proses dalam berpikir yang
berlangsung dari khusus menuju ke yang umum. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Sagala
(2010:77) yang mengatakan bahwa Dalam konteks pembelajaran pendekatan induktif adalah
pendekatan pengajaran yang bermula dengan menyajikan sejumlah keadaan khusus kemudian
dapat disimpulkan menjadi suatu prinsip atau aturan. Sedangkan menurut Yamin (2008:89)
menyatakan bahwa Pendekatan induktif dimulai dengan pemberian kasus, fakta, contoh, atau
sebab yang mencerminkan suatu konsep atau prinsip. Kemudian siswa dibimbing untuk berusaha
keras mensintesiskan, menemukan, atau menyimpulkan prinsip dasar dari pelajaran tersebut.
Mengajar dengan pendekatan induktif adalah cara mengajar dengan cara penyajian kepada siswa
dari suatu contoh yang spesifik untuk kemudian dapat disimpulkan menjadi suatu aturan prinsip
atau fakta yang pasti.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan induktif adalah
pendekatan pengajaran yang berawal dengan menyajikan sejumlah keadaan khusus kemudian
dapat disimpulkan menjadi suatu kesimpulan, prinsip atau aturan.
Menurut Yamin (2008:90) pendekatan induktif tepat digunakan manakala:
1) Siswa telah mengenal atau telah mempunyai pengalaman yang berhubungan dengan mata
pelajaran tersebut,
2) Yang diajarkan berupa keterampilan komunikasi antara pribadi, sikap, pemecahan, dan
pengambilan keputusan,
a)
b)
c)
d)
a)
b)
c)
d)
Model pengajaran induktif dari Hilda Taba ini didasarkan atas 3 postulat utama mengenai
berfikir, yaitu sebagai berikut:
a. Bahwa berpikir dapat dididik
b. Bahwa berpikir adalah suatu transaksi aktif antara individu dan data
c. Bahwa proses berpikir lambat laun membentuk kaidah -kaidah berpikir.
Induktif merupakan proses berpikir di mana siswa menyimpulkan dari apa yang diketahui
benar untuk hal yang khusus, juga akan benar untuk semua hal yang serupa secara umum.
Sebuah argumen induktif meliputi dua komponen, yang pertama terdiri dari pernyataan/fakta
yang mengakui untuk mendukung kesimpulan dan yang kedua bagian dari argumentasi itu.
Matematika dikenal sebagai ilmu deduktif, karena proses mencari kebenaran (generalisasi)
dalam matematika berbeda dengan ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan yang lain. Metode
pencarian kebenaran yang dipakai adalah metode deduktif, tidak dapat dengan cara induktif. Pada
ilmu pengetahuan alam adalah metode induktif dan eksperimen. Walaupun dalam matematika
mencari kebenaran itu dapat dimulai dengan cara induktif, tetapi seterusnya generalisasi yang benar
untuk semua keadaan harus dapat dibuktikan dengan cara deduktif. Dalam matematika suatu
generalisasi dari sifat, teori atau dalil itu dapat diterima kebenarannya sesudah dibuktikan secara
deduktif. Berikut adalah beberapa contoh pembuktian dalil atau generalisasi pada matematika. Dalil
atau generalisasi berikut dibenarkan dalam matematika karena sudah dapat dibuktikan secara
deduktif.
Contoh : Bilangan
Bilangan ganjil ditambah bilangan ganjil sama dengann bilangan genap.
Misalnya kita ambil beberapa buah bilangan ganjil yaitu 1, 3, -5, 7. Maka:
+
1
3
5
7
1
2
4
6
8
3
4
6
8
10
5
6
8
10
12
7
8
10
12
14
Dari tabel di atas, terlihat bahwa untuk setiap dua bilangan ganjil jika dijumlahkan hasilnya
selalu genap. Dalam matematika hasil di atas belum dianggap sebagai suatu generalisasi,
walaupun anak membuat contoh-contoh dengan bilangan yang lebih banyak lagi. Pembuktian
dengan cara induktif ini harus dibuktikan lagi dengan cara deduktif.
Contoh : Pola Geometri
Perhatikan gambar berikut ini!
Dapatkah kita menduga dua bilangan sesudah 10?
Jawab:
Menurut Wariman (1997) ada beberapa kekurangan dan kelebihan pembalajaran induktif
1. Kelebihan dari pendekatan induktif antara lain :
a) Dapat mengembangkan keterampilan berpikir siswa karena siswa selalu dipancing dengan
pertanyaan.
b) Dapat menguasai secara tuntas topic-topik yang dibicarakan karena adanya tukar pendapat antar
siswa sehingga didapatkan suatu kesimpulan akhir.
c) Mengajarkan siswa berpikir kritis karena selalu dipancing untuk mengeluarkan ide-ide.
d) Melatih siswa belajar bekerja sistematis.
2. Kelemahan dari pendekatan induktif antara lain :
a) Memerlukan banyak waktu.
b) Sukar menemukan pendapat yang sama karena setiap siswa mempunyai gagasan yang berbedabeda.
C. Pendekatan Deduktif
Pembelajaran dengan pendekatan deduktif terkadang sering disebut pembelajaran
tradisional yaitu guru memulai dengan teori-teori dan meningkat ke penerapan teori. Dalam
bidang ilmu sains dijumpai upaya mencoba pembelajaran dan topik baru yang menyajikan
kerangka pengetahuan, menyajikan teori-teori dan rumus dengan sedikit memperhatikan
pengetahuan utama siswa, dan kurang atau tidak mengkaitkan dengan pengalaman mereka.
Pembelajaran dengan pendekatan deduktif menekankan pada guru mentransfer informasi atau
pengetahuan.
Menurut Setyosari (2010:7) menyatakan bahwa Berpikir deduktif merupakan proses
berfikir yang didasarkan pada pernyataan-pernyataan yang bersifat umum ke hal-hal yang
bersifat khusus dengan menggunakan logika tertentu.
Hal serupa dijelaskan oleh Sagala (2010:76) yang menyatakan bahwa: Pendekatan
deduktif adalah proses penalaran yang bermula dari keadaaan umum kekeadaan yang khusus
sebagai pendekatan pengajaran yang bermula dengan menyajikan aturan, prinsip umum diikuti
dengan contoh-contoh khusus atau penerapan aturan, prinsip umum itu kedalam keadaan khusus.
Sedangkan menurut Yamin (2008:89) menyatakan bahwa Pendekatan deduktif
merupakan pemberian penjelasan tentang prinsip-prinsip isi pelajaran, kemudian dijelaskan
dalam bentuk penerapannya atau contoh-contohnya dalam situasi tertentu.
1)
2)
3)
4)
1.
2.
3.
4.
1.
a)
b)
Dalam pendekatan deduktif menjelaskan hal yang berbentuk teoritis kebentuk realitas
atau menjelaskan hal-hal yang bersifat umum ke yang bersifat khusus. Disini guru menjelaskan
teori-teori yang telah ditemukan para ahli, kemudian menjabarkan kenyataan yang terjadi atau
mengambil contoh-contoh.
Dari penjelasan beberapa teori dapat diambil kesimpulan bahwa pendekatan deduktif
adalah cara berfikir dari hal yang bersifat umum ke hal-hal yang bersifat khusus.
Menurut Yamin (2008:89) pendekatan deduktif dapat dipergunakan bila:
Siswa belum mengenal pengetahuan yang sedang dipelajari,
Isi pelajaran meliputi terminologi, teknis dan bidang yang kurang membutuhkan proses berfikir
kritis,
Pengajaran mengenai pelajaran tersebut mempunyai persiapan yang baik dan pembicaraan yang
baik,
Waktu yang tersedia sedikit.
Menurut Sagala (2010:76) langkah-langkah yang dapat digunakan dalam pendekatan
deduktif dalam pembelajaran adalah
Guru memilih konsep, prinsip, aturan yang akan disajikan dengan pendekatan deduktif,
Guru menyajikan aturan, prinsip yang berifat umum, lengkap dengan definisi dan contohcontohnya,
Guru menyajikan contoh-contoh khusus agar siswa dapat menyusun hubungan antara keadaan
khusus dengan aturan prinsip umum,
Guru menyajikan bukti-bukti untuk menunjang atau menolak kesimpulan bahwa keadaan khusus
itu merupakan gambaran dari keadaan umum.
Toni Julianto (2012) dalam makalahnya menyatakan kelebihan dan kelemahan dari
pendekatan deduktif dibandingkan dengan pendekatan lain adalah:
Kelebihan pendekatan deduktif antara lain:
Tidak memerlukan banyak waktu.
Sifat dan rumus yang diperoleh dapat langsung diaplikasikan ke dalam soal-soal atau masalah
yang konkrit.
penjelasan ciri-ciri kalimat tunggal. Teknik penyajian pelajaran yang paralel dengan strategi
pembelajaran deduktif adalah teknik ceramah.
a)
b)
c)
d)
a)
b)
c)
d)
a)
b)
c)
d)
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
Siswa menemukan pengalaman yang banyak untuk menemukan sesuatu dalam menjawab
permasalahan.
Siswa mampu melakukan penalaran dengan baik.
Guru mengendalikan unsur-unsur yang terlihat, misalnya suasana kelas, data, dan guru sebagai
pengendali serta kelas dapat berfungsi sebagai laboratorium.
Dalam pengorganisasiannya dapat dilakukan secara klasikal, individual dan kooperatif.
Pembelajaran secara kooperatif menciptakan suasana yang demokratis di kelas, untuk jangka
panjang kondisi seperti ini membawa siswa pada kehidupan nyata di masyarakat (sekolah/kelas
dijadikan sebagai miniatur masyarakat).
Siswa terlibat dalam kegiatan yang behubungan dengan data yangada, bahan dan objek sehingga
merasa ada pola tertentu dari data yang diperolehnya.
Biasanya ada beberapa generalisasi yang dapat dirumuskan siswa.
Guru memberi kesempatan untuk mengkomunikasikan hasil generalisasi yang diperoleh di kelas.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Kami menyadari dalam penyusunan dan penjelasan yang ada di dalam makalah ini masih
banyak kekurangan dan kesalahan, untuk itu kami menyarankan untuk dilakukan suatu
pengkajian yang lebih mendalam mengenai materi ini. Demi perbaikan makalah kami
selanjutnya kami mohon saran dan kritik pembaca yang bersifat membangun. Demikianlah hasil
karya tulis kami yang terangkum dalam suatu makalah semoga bermanfaat dan akhirnya kami
ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Shadiq, Fadjar. (2003). Peran Penalaran dan Komunikasi serta Pemecahan Masalah Selama
Proses Pembelajaran Matematika dalam Peningkatan Kualitas Siswa. Paket Pembinaan
Penataran. Yogyakarta: PPPG Matematika.
Shadiq, Fadjar. Contoh Penalaran Induktif dan Deduktif Menggunakan Kegiatan Bermain-main
dengan Bilangan, (fadjar_p3g@yahoo.com &www.fadjarp3g.wordpress.com)
Suwangsih,Dra.Erna. Makalah Pendekatan Pembelajaran Matematikainternet.
Drs. Markaban, M.Si, (2008). Model Penemuan Terbimbing pada Pembelajaran Matematika
http://cahbaguz-uhuy.blogspot.com/2013/02/pendekatan-induktif-dan-deduktif.html
yang langsung bersentuhan dengan pembelajaran dan siswa di lapangan tidak mudah untuk
melakukan pengembangan pembelajaran secara konsisten dari yang telah biasa dilakukan.
Sehingga dominasi guru masih terjadi dalam proses aktivitas kelas, latihan-latihan yang
diberikan lebih banyak bersifat rutin, situasi pasifnya siswa masih dominan daripada situasi aktif.
Sementara menurut Dahlan (2004: 6): Pengetahuan tidak diterima secara pasif.
Pengetahuan diperoleh melalui aktivitas aktif dalam menelaah hubungan, pola, dan membuat
generalisasi yang terpadu dalam pengetahuan baru yang diperoleh siswa dan belajar adalah
aktivitas sosial yang terjadi dari interaksi siswa dengan guru dan siswa dengan teman-temannya.
Hal ini dikuatkan oleh Hamzah (2001): Bahwa siswa harus aktif secara mental membangun
struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain,
siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu
pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Bila pembelajaran matematika tidak mengalami banyak perubahan. maksudnya
pembelajaran matematika masih bersifat pasif dan tidak melibatkan siswa dalam suatu aktivitas
sosial, maka siswa hanya akan mampu menerima pengetahuan sebatas apa yang guru sampaikan
di muka kelas, sementara potensi kognisi siswa belum dapat terasah dengan baik. Hal itu dapat
mengakibatkan siswa belum sampai pada pemahaman yang sebenarnya. Padahal kita tahu bahwa
siswa sendiri mempunyai potensi dasar untuk membangun struktur kognisinya. hal itu berarti
siswa sesungguhnya mampu membuat struktur konsep yang akan lebih mudah dipahami menurut
dirinya sendiri.
Catatan penting yang diperoleh di lapangan menurut Wahyudin (1999: 222): Adalah
tentang beberapa kelemahan yang terdapat pada siswa, khususnya yang terdapat pada siswa SMP
dan SMA antara lain: kurang memiliki penguasaan terhadap materi prasyarat, pemahaman
terhadap konsep-konsep dasar matematika. rnenyimak dan memahami sebuah persoalan
mengenai pokok bahasan tertentu, dan kemampuan memberikan argumentasi dari setiap jawaban
yang diberikan. Jika demikian, maka kelemahan yang dimiliki siswa merupakan kelemahan yang
mendasar.
Matematika merupakan suatu ilmu yang berhubungan atau menelaah bentuk-bentuk atau
struktur-struktur yang abstrak dan hubungan di antara hal-hal itu. Untuk dapat memahami
struktur-struktur serta hubungan-hubungan itu tentu saja diperlukan pemahaman tentang konsepkonsep yang terdapat dalam matematika itu. Dengan demikian, belajar matematika berarti belajar
tentang konsep-konsep dan struktur-struktur yang terdapat dalam bahasan yang dipelajari serta
mencari hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur tersebut (Hudoyo, 2001).
Struktur-struktur yang abstrak bisa menjadi salah satu faktor penyebab konsep-konsep
matematika sulit untuk dipahami dan dikomunikasikan. Bagi sebagian besar siswa, terutama
siswa dengan minat dan bakat yang kurang terhadap matematika hal tersebut menjadi daftar
tambahan dari alasan mengapa matematika itu kurang disenangi dan dikatakan sulit. Hal tersebut
dapat menghambat tujuan pembelajaran sendiri. Jika siswa sudah merasa tidak senang dan sulit,
bukan tidak mungkin kemauan untuk memahami matematika akan berkurang.
Namun demikian, seiring dengan perkembangan teori belajar, struktur dan konsep
matematika dapat disajikan sedemikian rupa sehingga dapat diserap sesuai dengan
perkembangan kognitif siswa. Hal ini berarti terdapat faktor penting lain yang dapat
memperlancar atau menghambat transformasi pengetahuan kepada siswa, dalam hal ini adalah
proses belajar.
Menurut Hudoyo (2001: 135): Agar supaya proses belajar matematika terjadi, bahasan
matematika seyogyanya tidak disajikan dalam bentuk yang sudah tersusun secara final,
melainkan siswa dapat terlibat aktif di dalam menemukan konsep-konsep, struktur-struktur,
sampai kepada teorema atau rumus-rumus. Keterlibatan siswa ini dapat terjadi bila bahan yang
disusun itu bermakna bagi siswa, sehingga terjadinya interaksi antara guru dan siswa menjadi
efektif.
Salah satu pendekatan yang ditawarkan untuk memenuhi kebutuhan di atas adalah
pendekatan induktif-deduktif. Pendekatan induktif-deduktif didasari pada teori belajar
konstruktivisme dan teori Bruner. Pada pembelajaran yang berlandaskan konstruktivisme ini
menuru Mulyana (2005: 25): Terdapat perhatian pada hal-hal berikut: 1) mengakui adanya
konsepsi awal yang telah dimiliki siswa sebelumnya; 2) menekankan pada kemampuan minds
on dan hands-on; 3) mengakui bahwa dalam proses pembelajaran terjadi perubahan konseptual
secara horizontal dan vertical; 4) mengakui bahwa pengetahuan tidak didapat secara pasif; 5)
mengutamakan terjadinya interaksi sosial. Sementara inti dari teori Bruner, bahwa materi
pelajaran tidak disajikan secara final, tetapi siswa dituntut aktif untuk memahami konsep yang
ada sehingga melalui aktivitas mental dapat diperoleh konsep yang berikutnya.
Dengan demikian dalam penelitian ini, penulis mencoba untuk mengangkat
tema"Pengaruh
Pembelajaran
Matematika
dengan
Pendekatan
Induktif-Deduktif
Penjelasan Istilah
1. Pendekatan induktif-deduktif adalah proses penyajian konsep atau prinsip matematika yang
diawali dengan pemberian contoh-contoh. menemukan mengkonstruksi konsep, mengkonstruksi
konjektur, menelaah konsep, dan memberikan soal-soal sesuai dengan konsep dan prinsip yang
telah diberikan.
2. Pembelajaran konvensional dalam penelitian ini adalah kegiatan pembelajaran dengan penyajian
konsep secara langsung oleh guru dengan metode ceramah (penjelasan konsep), tanya jawab,
pemberian contoh dan latihan.
3. Pemahaman konsep yang dimaksud adalah pemahaman konsep menurut Skemp, yang meliputi:
pemahaman instrumental, merupakan pemahaman atas konsep yang saling terpisah dan hanya
hafal rumus dalam perhitungan sederhana, dan pemahaman relasional, di mana termuat suatu
skema atau struktur yang dapat digunakan pada penyelesaian masalah yang lebih luas.
1.5
Manfaat Penelitian
1. Bagi siswa, melalui pembelajaran ini diharapkan dapat menciptakan suasana belajar yang lebih
aktif dan membangun pola pikirnya, sehingga diharapkan dapat meningkatkan pemahaman
terhadap konsep yang dipelajari.
2. Bagi guru, pendekatan induktif-deduktif ini mencakup petunjuk spesifik untuk menciptakan
lingkungan belajar yang efektif. Memberi masukan untuk mendesain pembelajaran matematika
yang diharapkan dapat meningkatkan pemahaman siswa, sebagai salah satu alternatif pendekatan
pembelajaran yang dapat diterapkan.
3. Bagi sekolah, pendekatan pembelajaran ini dapat diterapkan di sekolah. Kepala sekolah sebagai
pemegang kebijakan dapat merekomendasikan kepada guru-guru untuk menggunakan
pendekatan ini dalam pembelajaran.
1.6
Hipotesis
Peningkatan pemahaman konsep matematika siswa yang pembelajarannya menggunakan
pendekatan induktif-deduktif lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya dilakukan secara
konvensional.
Hipotesis memegang peranan penting dalam melaksanakan penelitian. Hipotesis berasal
dari dua penggalan kata yaitu hypo yang artinya dibawah dan thesa yangartinya
kebenaran.
Hipotesis ini merupakan jawaban yang bersifat sementara terhadap masalah penelitian,
sampai terbukti masalah yang terkumpul. Berdasarkan kerangka teori yang telah dikemukakan,
maka penulis memberikan kesimpulan sementara sebagai hipotesis penelitian, yaitu terdapat
hubungan yang positif dan signifikan antara sebelum dan sesudah menggunakan pendekatan
induktif-deduktif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Hakikat Matematika
Apakah matematika itu? Hingga saat ini belum ada kesepakatan yang bulat di antara para
matematikawan tentang apa yang disebut matematika itu. Sedangkan sasaran penelaahan
matematika itu sendiri sebagaimana kita tahu. tidaklah konkret melainkan abstrak. Ketika kita
sedang melaksanakan pembelajaran matematika, biasanya kita mendapati simbol-simbol,
definisi. teorema, hingga formula-formula (rumus). Oleh karena itu, untuk menjawab apa
matematika itu? Sejumlah tokoh memberi definisi, komentar, atau pandangan.
Ruseffendi ( 1988: 157): Menyatakan bahwa matematika adalah ilmu seni kreatif. Oleh
karena itu, matematika harus dipelajari dan diajarkan sebagai ilmu seni. Agak berbeda dengan
pendapat Dienes, Ernest (2001): Melihat matematika sebagai suatu konstruktivisme sosial yang
memenuhi tiga premis sebagai berikut: (i) The basis of mathematical knowledge is linguistic
language, conventions and rules, and language is a social constructions; (ii) Interpersonal
social processes are required to turn an individual's subjective mathematical knowledge, after
publication, into accepted objective mathematical knowledge; and (Hi) Objectivity itself will be
understood to be social.
10
Reys. dkk. (dalam Tim MKPBM Jurusan Pendidikan Matematika, 2001: 9) menyatakan
bahwa matematika adalah telaah tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berfikir, suatu
seni, suatu bahasa, dan suatu alat. Berbagai pendapat tentang matematika tidak terlepas dari sifat
matematika yang abstrak dan ilmu deduktif.
Dari pemaparan diatas, terdapat beragam pendapat dari para ahli tentang definisi
matematika. Pemaparan yang berbeda dapat disebabkan karena sudut pandang yang digunakan
oleh setiap tokoh berbeda pula. Namun, setidaknya pemaparan tersebut dapat memberikan
gambaran kepada kita tentang hakikat matematika.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa matematika
merupakan telaah pola dan hubungan, maksudnya pola dan hubungan antara satu konsep dengan
konsep lainnya. Matematika juga merupakan pola berpikir, dimana matematika tidak terlepas
dari aturan yang ajeg dan logis. Matematika merupakan bahasa dan seni, dimana bahasa
matematika diekspresikan dalam bentuk simbol-simbol. Hakikat lain yang sangat terkait dengan
matematika adalah matematika merupakan konstruksi sosial, dimana dasar dari pengetahuan
matematika adalah keterampilan bahasa. Matematika sebagai konstruksi sosial mengarahkan
individu untuk memahami lingkungan sosialnya.
Matematika sebagai Ilmu Deduktif
Matematika dikenal sebagai ilmu deduktif. Ini berarti proses pengerjaan matematika
harus bersifat deduktif, berbeda dengan ilmu alam dan ilmu umum yang lebih bersifat induktif.
Pemahaman Konsep
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, belajar matematika itu memerlukan
pemahaman konsep-konsep, konsep-konsep ini akan melahirkan teorema atau rumus. Dengan
memahami konsep, maka siswa akan dapat berfikir kritis, logis, bahkan kreatif, dan dapat
mengaplikasikannya pada berbagai situasi. Seperti yang dikatakan oleh Hidayat (2003: 22):
Bahwa kunci kesuksesan siswa adalah mampu memahami konsep, hukum, teori, dan algoritma
(prosedur).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), "pemahaman" berasal dari kata "paham"
yang berarti mengerti benar akan sesuatu, tahu benar. Pemahaman diartikan sebagai proses, cara,
perbuatan memahami atau memahamkan. Sedangkan konsep mempunyai pengertian gambaran
mental dari obyek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi,
untuk memahami hal-hal lain. Jadi pemahaman konsep adalah suatu tingkat kemampuan
menangkap pengertian akan gambaran mental dari obyek, proses, atau apapun untuk memahami
suatu hal.
Bloom menuturkan (2003: 23): Bahwa pemahaman adalah kemampuan menangkap
pengertian seperti mampu mengungkapkan suatu materi yang disajikan dalam bentuk yang dapat
dipahami, mampu memberikan interpretasi dan mampu mengklasifikasikannya.
Sementara Michener (1987: 22): Menuturkan bahwa untuk memahami suatu obyek secara
mendalam, seseorang harus mengetahui: 1) obyek itu sendiri, 2) relasinya dengan obyek lain
yang sejenis, 3) relasinya dengan obyek lain yang tidak sejenis, 4) relasi dual dengan obyek lain
yang sejenis, dan 5) relasi dengan obyek dalam teori lainnya.
Polya mengemukakan empat tingkat pemahaman suatu konsep, yaitu: Pemahaman
Mekanikal, di mana siswa dapat mengingat dan menerapkan suatu konsep secara benar,
Pemahaman Induktif, di mana siswa telah mencobakan konsep tersebut dalam suatu kasus
sederhana, dan yakin bahwa konsep itu berlaku untuk kasus serupa, dan Pemahaman Rasional, di
mana siswa dapat membuktikan konsep tersebut, serta Pemahaman Intuitif, yaitu yakin akan
kebenaran konsep tersebut tanpa ragu-ragu lagi. Menurut Bruner yang dimaksud intuitif, jika
siswa dapat dengan segera memberikan tebakan yang sangat baik yang kemudian terbukti
kebenarannya.
Sementara itu Skemp (1987: 23): Membagi pemahaman ke dalam dua kategori, yaitu:
pemahaman instrumental, merupakan pemahaman atas konsep yang saling terpisah dan hanya
hafal rumus dalam perhitungan sederhana; dan pemahaman relasional, di mana termuat suatu
skema atau struktur yang dapat digunakan pada penyelesaian masalah yang lebih luas.
Menurut Hudoyo (2001: 136): Suatu konsep matematika adalah suatu ide abstrak yang
memungkinkan
kita
mengklasifikasikan
obyek-obyek
atau
peristiwa-peristiwa
serta
dengan coba-coba (trial and error). Namun pada akhirnya penemuan dari proses tersebut harus
diorganisasikan dengan pembuktian secara deduktif (Hudoyo, 2001: 48).
Mengenai hal di atas, Chapman (dalam Utari, 1987: 35) menuturkan bahwa pada
dasarnya berfikir induktif tidak mengurangi kemampuan deduksi seseorang. Karena meskipun
hampir sebagian besar semula orang berfikir induktif, begitu data ditemukan, mereka cenderung
segera mengungkapkannya dalam bentuk yang deduktif. Sejalan dengan itu Utari (1987: 35):
Menegaskan bahwa dalam pengembangan matematika, induksi dan deduksi merupakan kegiatan
yang saling melengkapi.
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar
konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori
perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori yang dikembangkan oleh
Piaget berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar yang dikemas dalam tahap-tahap
perkembangan intelektual anak dari lahir hingga dewasa. Setiap tahapannya memiliki
karakteristik tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan.
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (1989: 159): Menegaskan
bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalm asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi adalah proses mengabsorbsi pengalaman-pengalaman baru ke dalam skema yang
sudah dimiliki. Sedangkan akomodasi adalah proses mengabsobrsi pengalaman-pengalaman baru
dengan jalan mengadakan modifikasi skema yang ada atau bahkan membentuk pengalaman yang
benar-benar baru (Hudoyo, 2001: 67). Pengertian lain tentang asimilasi seperti dikemukakan oleh
Labinowicz (1980: 36).:
In the process of assimilation-incorporating our perceptions of new experiences into our existing
framework-we resist change even to the extent that our perceptions may be "bent" to fit the
existing framework.
Suparno (2001): Mengemukakan pengertian akomodasi, yaitu proses mental yang
meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan rangsangan baru, atau memodifikasi
skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan tersebut. Proses akomodasi ini secara
tidak langsung mengasah kreativitas siswa.
Hudoyo ( 2001: 71): Mendefinisikan belajar matematika sebagai proses di mana siswa
secara aktif mengkonstruksi pengetahuan matematika. Belajar matematika bukanlah suatu proses
'pengepakan' pengetahuan secara hati-hati, melainkan hal mengorganisir aktivitas, di mana
kegiatan ini diinterpretasikan secara luas termasuk aktivitas dan berfikir konseptual.
Yager (2001): Mengajukan pentahapan yang lebih lengkap dalam pembelajaran yang
didasari teori belajar konstruktivisme antara lain: tahap eksplorasi pengetahuan awal siswa, tahap
penemuan dan penyelidikan konsep, tahap penguatan, dan tahap aplikasi konsep. Hal ini dapat
menjadi pedoman dalam pembelajaran secara umum, pembelajaran dalam Ilmu Pengetahuan
Alam dan pembelajaran Matematika. Cakupan tersebut didasarkan pada tugas guru yang tidak
mengajarkan mata pelajaran pendidikan agama dan olah raga merupakan guru kelas. Tahapantahapan tersebut dijelaskan secara ringkas sebagai berikut.
Tahap pertama, siswa didorong agar mengemukakan pengetahuan awalnya tentang konsep yang
akan dibahas. Bila perlu, guru memancing dengan pertanyaan problematis tentang fenomena
yang sering dijumpai sehari-hari oleh siswa dan mengaitkannya dengan konsep yang akan
dibahas. Selanjutnya, siswa diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan dan mengillustrasikan
pemahamannya tentang konsep tersebut.
Tahap kedua, siswa diberi kesempatan untuk menyelediki dan menemukan konsep melalui
pengumpulan, pengorganisasian, dan penginterprestasian data dalam suatu kegiatan yang telah
dirancang oleh guru. Secara keseluruhan pada tahap ini akan terpenuhi rasa keingintahuan siswa
tentang fenomena dalam lingkungannya.
Tahap ketiga, siswa memikirkan penjelasan dan solusi yang didasarkan pada hasil observasi
siswa, ditambah dengan penguatan guru. Selanjutnya, siswa membangun pemahaman baru
tentang konsep yang sedang dipelajari.
Tahap keempat, guru berusaha menciptakan iklim pembelajaran yang memungkinkan siswa
dapat mengaplikasikan pemahaman konseptualnya, baik melalui kegiatan maupun melalui
pemunculan masalah-masalah yang berkaitan dengan isu-isu dalam lingkungan tersebut.
Teori berikutnya yang menjadi dasar dari pendekatan induktif deduktif adalah teori
Bruner. Jerome Bruner dalam teorinya menyatakan bahwa belajar matematika akan lebih berhasil
jika proses pengajaran diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang termuat
dalam pokok bahasan yang diajarkan, disamping hubungan yang terkait antara konsep-konsep
dan struktur-struktur yang termuat dalam pokok bahasan yang diajarkan, di samping hubungan
yang terkait antara konsep-konsep dan struktur-struktur.
Dengan mengenal konsep dan struktur dalam bahan yang sedang dibicarakan, anak akan
memahami materi yang harus dikuasainya itu. Ini menunjukkan bahwa materi yang memiliki
pola tertentu akan lebih mudah dipahami dan diingat oleh anak.
Dari hasil pengamatan-pengamatan di lapangan, Bruner (dalam Tim MKPBM Jurusan
Pendidikan Matematika, 2001: 45) mengemukakan empat dalil yang disebut dalil Bruner yang
menjadi dasar dari pendekatan induktif-deduktif, yaitu dalil penyusunan, dalil notasi, dalil
pengontrasan dan keanekaragaman, serta dalil pengaitan. Keempat dalil tersebut dijelaskan
secara ringkas seperti berikut ini.
a.
Dalil penyusunan
Dalil ini menyatakan bahwa jika anak ingin mempunyai kemampuan dalam hal menguasai
konsep, teorema, definisi dan semacamnya. anak harus dilatih untuk melakukan penyusunan
representasinya. Maksudnya, anak belajar menyusun masalah yang dikemukakan, data-data yang
diketahui, bagaimana menjawab permasalahan dengan konsep yang sudah ada.
b. Dalil notasi
Dalil notasi mengungkapkan bahwa dalam penyajian konsep, notasi memegang peranan penting.
Menurut dalil ini, pada waktu konsep disajikan hendaklah menggunakan notasi konsep yang
sesuai dengan tingkat perkembangan mental anak.
c.
Untuk dipahami dengan mendalam diperlukan contoh-contoh yang banyak, sehingga anak
mampu mengetahui karakteristik konsep tersebut. Anak diberikan contoh-contoh yang memenuhi
rumusan, teorema atau sifat dan contoh-contoh yang tidak memenuhi konsep rumusan, teorema
atau sifat yang diberikan. Pemberian contoh-contoh yang demikian adalah upaya pengontrasan.
d. Dalil pengaitan
Menurut dalil ini siswa hendaknya diberi kesempatan untuk melihat kaitan-kaitan antara konsep
dengan konsep lain, antara topik dengan topik lain, antara cabang matematika dengan cabang
matematika lain.
Bruner terkenal dengan metode penemuan (1988: 155): Yang dimaksud dengan
menemukan adalah menemukan lagi (discovery), bukan menemukan yang sama sekali
baru (invention). Oleh karena itu mata pelajaran tidak disajikan dalam bentuk final dan siswa
diwajibkan melakukan aktivitas mental dalam memahami mated tersebut. Di sini guru bertindak
sebagai fasilitator. Dengan partisipasi aktif siswa. maka konsep atau pun teorema yang dipelajari
akan mudah untuk dipahami. Sejalan dengan teori-teori tersebut, Hudoyo dalam bukunya (2005:
3): Menyatakan bahwa dalam pendekatan induktif-deduktif konsep yang didefinisikan tidak
diberikan dalam bentuk final. Namun siswa harus mencoba merumuskan sendiri dari hasil
pengalamannya dengan bahasanya sendiri. Sebelum teorema diberikan secara deduktif, terlebih
dahulu disajikan secara induktif.
Dari penuturan di atas jelaslah bahwa pembelajaran yang diharapkan terjadi adalah
pembelajaran yang berpusat pada siswa. Siswa adalah subyek utama. Pengetahuan yang akan
diperoleh siswa dikonstruksi sendiri oleh siswa. Dari pengetahuan-pengetahuan awal yang telah
siswa dapatkan sebelumnya, dari obyek-obyek, fenomena-fenomena sederhana diperoleh
pengetahuan baru.
Dengan demikian, pendekatan induktif-deduktif adalah proses penyajian konsep atau
prinsip matematika yang diawali dengan pemberian contoh-contoh menemukan atau
mengkonstruksi konsep, mengkonstruksi konjektur, menelaah konsep, dan memberikan soal-soal
sesuai dengan konsep dan prinsip yang telah diberikan.
Pada dasarnya pembelajaran dengan pendekatan induktif-deduktif melalui tiga tahapan.
yaitu:
1. Fase eksplorasi
Dalam fase ini, siswa menyelidiki suatu fenomena, peristiwa, karakteristik-karakteristik, polapola dengan bimbingan minimal dari guru. Tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan
kepada siswa dalam menerapkan pengetahuan awalnya untuk membentuk minat dan prakarsanya
serta tetap menjaga adanya keingintahuan terhadap topik yang sedang dipelajari. Selama
pengalaman ini, siswa akan memantapkan hubungan-hubungan, mengamati pola-pola,
mengidentifikasi variable-variabel, dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dipecahkan
dengan gagasan atau pola-pola penalaran yang biasa digunakan oleh siswa. Kemungkinan
miskonsepsi dapat tejadi pada tahap ini. Dengan demikian akan timbul pertentangan dan suatu
analisis tentang gagasan yang dikemukakan sebagai hasil eksplorasi mereka. Siswa diberi
3.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1
3.2
Subjek Penelitian
Populasi peneiitian ini adalah seluruh siswa MTs Al-Inaayah Bogor kelas VIII. Kelas
VIII di MTs Al-Inaayah terdiri atas 4 kelas, dengan jumlah siswa rata-rata 25 orang dengan
kemampuan siswa merata di setiap kelas (tidak ada kelas unggulan). Sampel diambil dengan
menggunakan teknik acak sederhana pada kelas. Dari beberapa kelas pada kelas VIII diambil dua
kelas secara acak, dari dua kelas tersebut dipilih secara acak satu kelas sebagai kelas eksperimen
dan satu kelas sebagai kelas kontrol.
3.3
Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk non-tes dan tes. Instrumen
non-tes adalah jumal harian siswa. lembar observasi, sedangkan instrumen tes adalah tes
pemahaman konsep (pretes dan postes).
Daya Pembeda
Daya pembeda suatu butir soal menyatakan seberapa jauh kemampuan butir soal tersebut
mampu membedakan antara siswa yang dapat menjawab soal dan siswa yang tidak dapat
menjawab soal. Untuk menentukan daya pembeda digunakan rumus:
DP =
Keterangan:
= Rata-rata skor siswa pada kelompok atas
= Rata-rata skor siswa pada kelompok bawah
SMI = Skor Maksimum Ideal
Klasifikasi untuk daya pembeda yang digunakan menurut Guilford, J.P (dalam
Suherman, 2003:161) adalah sebagai berikut:
DP < 0,00
sangat jelek
jelek
cukup
baik
sangat baik
d. Indeks Kesukaran
Indeks kesukaran menyatakan derajat kesukaran suatu butir soal. Rumus yang digunakan
untuk menentukan indeks kesukaran soal uraian adalah:
Keterangan:
IK = Indeks Kesukaran
JBA = Jumlah skor kelompok atas
JBB = Jumlah skor kelompok bawah
JSA = Jumlah subjek kelompok atas
JSB = Jumlah subjek kelompok bawah
Klasifikasi interpretasi untuk indeks kesukaran yang digunakan menurut Guilford, J.P
(Suherman, 2003:170) adalah sebagai berikut:
IK < 0,00
3.4
Soal sukar
Soal sedang
Soal mudah
Prosedur Penelitian
Secara garis besar, penelitian ini terbagi dalam tiga tahap, yaitu tahap persiapan, tahap
pelaksanaan, dan tahap akhir.
Tahap Persiapan
Langkah awal sebelum kegiatan penelitian dilaksanakan adalah pengajuan masalah
penelitian kepada koordinator skripsi yang dituangkan daiam bentuk proposal penelitian.
Proposal yang telah disetujui diseminarkan untuk memperoleh pertimbangan dan masukanmasukan terhadap masalah yang akan diteliti.
Setelah proposal penelitian diseminarkan dan disetujui oleh tim penguji. penulis
mengajukan permohonan surat izin penelitian dari Fakultas MIPA Jurusan Matematika Setelah
surat izin penelitian selesai dibuat, penulis mengajukan surat tersebut kepada pihak sekoiah
tempat dilaksanakannya penelitian, yaitu di MTs Al Inaayah Bogor.
Setelah disetujui, penulis kemudian berkonsultasi dengan guru bidang studi tentang
karakter pembelajaran yang biasa digunakan, karakter dan hasil belajar siswa, karakter
pembelajaran yang akan dilaksanakan dalam penelitian, serta menentukan salah satu pokok
bahasan yang akan disampaikan dalam penelitian, yaitu Lingkaran berikut silabus dan bahan
ajarnya. Kemudian melalui proses acak diperoleh dua kelas sebagai sampel penelitian seperti
bersifat kuantitatif dan data yang bersifat kualitatif. Adapun prosedur analisis dari tiap data
sebagai berikut:
3.5.1. Analisis data kualitatif
Data yang dianalisis secara kualitatif adalah data yang berasal dari lembar observasi, dan jurnal
harian.,
3.5.2 Analisis data kuantitatif
Analisis data kuantitatif yaitu data yang berasal dari tes kemampuan pemahaman siswa meliputi
data pretes, postes, dan peningkatan (gain / indeks gain). Tujuan dari analisis ini adalah untuk
melihat pemahaman konsep matematika siswa kelas eksperimen dan perbandingannya dengan
kelas kontrol.
Pemberian skor dilakukan terhadap hasil pretes dan postes baik kelas eksperimen maupun kelas
kontrol. Cara pemberian skor dilakukan menurut kadar kesulitan soal tersebut dan banyaknya
konsep yang ingin dimunculkan dalam jawaban siswa. Soal dengan kadar kesulitan tinggi atau
memunculkan konsep-konsep. maka skor pada soal tersebut lebih tinggi daripada soal yang
hanya memunculkan sedikit konsep dan relatif mudah. Soal nomor 1 memiliki skor 30, soal
nomor 2 memiliki skor 5, soal nomor 3 memiliki skor 10, soal nomor 4 memiliki skor 10, soal
nomor 5 memiliki skor 10, soal nomor 6 memiliki skor 25, soal nomor 7 memiliki skor 10, soal
nomor 8 memiliki skor 10, soal no 9 memiliki skor 10. Jika siswa dapat menjawab semua soal
dengan benar, maka skor maksimal yang akan diperoleh adalah 120. Sehingga diperoleh skor
pretes dan skor postes.
Adapun analisis data yang dilakukan adalah menurut langkah-langkah berikut:
BAB 1V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di MTs Al- Inaayah Bogor, dari tanggal 10 Juli 2010
sampai dengan 12 Agustus 2010. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi penelitian adalah
seluruh siswa MTs Al- Inaayah Bogor kelas V111. Dari delapan kelas yang ada, dipilih dua kelas
secara acak untuk dijadikan sebagai sampel penelitian. Dari dua kelas yang telah terpilih, dipilih
kembali secara acak untuk dijadikan kelaskontrol dan kelas eksperimen.
Berdasarkan informasi dari pihak sekolah tersebut, tidal diberlakukan sistem kelas
unggulan. Sehingga seluruh kelas V111 yang ada, dapat dikatakan memiliki kemampuan yang
sama, sebagai data yang mendukung asumsi tersebut dapat dilihat pada lampiran. Karena
penelitian tidak mungkin membentuk kelas baru, maka pemilihan kelas control dan kelas
eksperimen dipilih dari kelas-kelas yang sudah ada. Melalui pemilihan secara acak di peroleh
kelas V111A sebagai kelas kontrol dengan jumlah siswa sebanyak 25 orang dan kelas V111-B
sebagai kelas eksperimen dengan jumlah siswa sebanyak 25 orang. Kelas V111-A sebagai kelas
kontrol memperoleh pembelajaran matematika dengan pendekatan konvensional, sedangkan
kelas V111-B sebagai kelas eksperimen memperoleh pembelajaran matematika dengan
pendekatan induktif-deduktif.
38
Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah data kemampuan pemahaman konsep siswa secara
tertulis yang diperoleh dari hasil pretes dan postes dan peningkatan (gain) pemahaman konsep.
Data penelitian yang diperoleh adalah data mentah yang harus diolah.
4.1.1
perlu di lakukan uji kesamaan dua rata-rata, terhadap rata-rata data pretes dan postes dari kelas
eksperimen. Adanya peningkatan pemahaman pada siswa kelas eksperimen dapat menunjukkan
bahwa pendekatan induktif-deduktif yang digunakan dalam pembelajaran dapat meningkatkan
pemahaman terhadap siswa. kemudian, untuk mengetahui kelas mana yang pemahaman
konsepnya lebih baik, perlu dilakukan uji kesamaan dua rata-rata antara data postes kelas
eksperimen dengan data postes kelas kontrol.
a.
Uji Normalitas
Uji normalitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kolgomorov-Smirnovdengan
bantuan SPSS 15.0 for windows. Hipotesis uji normalitas dirumuskan sebagai berikut.
H0: Data pretes dan postes kelas eksperimen distribusi normal.
H1: Data pretes dan postes kelas eksperimen tidak berdistribusi normal.
Hasilnya dapat dilihat pada table berikut ini.
Tabel 4.1 Uji Normalitas kelas Eksperimen
Dari table diatas dapat dilihat untuk pretes kelas eksperimen didapat nilai signifikasi pada
uji kolgomorov-smirnov yaitu 1,779 sedangkan untuk postes kelas eksperimen diperoleh nilai
signifikasi yaitu 1,970 Karena nilai sinifikasi dari hasil pengolahan tersebut lebih dari taraf
signifikasi 0,05, maka berdasarkan criteria pengujuian data pretes dan data postes dari kelas
eksperimen distribusi normal (H0 diterima). Analisis uji normalitas data kelaseksperimen
selengkapnya dapat dilihan pada lampiran.
Uji Kesamaan Dua Rata-rata
Uji kesamaan dua rata-rata dilakukan untuk melihat apakah pemahaman konsep siswa
setelah memperoleh pembelajaran matematika dengan pendekatan induktif-deduktif lebih baik
dari pada sebelum pembelajaran dengan menggunakan pendekatan induktif-deduktif. Uji
kesamaan dua rata-rata ini menggunakan paired sample t-test, karena data distribusi normal dan
sampelnya berpasangan (paired sample). Hipotesis uji kesamaan dua rata-rata adalah:
H0 : Rata-rata pretes kelas eksperimen sama dengan rata-rata postesnya.
H1 : Rata-rata pretes kelas eksperimen kurang dari rata-rata postesnya.
Hsil dari uji kesamaan dua rata-rata dengan bantuan software SPSS for windows dapat dilihat
pada table berikut.
Tabel 4.2 Uji kesamaan Dua rata-rata kelas eksperimen
Pada tabel didapat nilai t hitung 0,945, sedangkan nilai t table dengan derajat kebebasan
(probabilitas) 5%/0,05 yaitu 1,701 Karena nilai t hitung kurang dari t (1
) . (n 1)
, maka
berdasarkan kriteria pengujian H0 ditolak atau rata-rata pretes lebih kecil secara signifikan dari
rata-rata postes, sehingga dapat dikatakan bahwa paea kelas eksperimen pemahaman siswa
setelah
pembelajaran
dengan
menggunakan
pendekatan
induktif-deduktif
lebih
baik
siswa. analisis uji kesamaan dua rata-rata data kelas eksperimen selanjutnya dapat dilihat pada
lampiran.
4.1.2
Dari table diatas dapat dilihat untuk indeks gain kelas eksperimen didapat nilai signifikan
pada uji kolgomorov-smirnov yaitu 1,455, sedangkan untuk indeks gain kelas kontrol diperoleh
nilai signifikansi yaitu 1,660. Karena nilai nilai signifikansi keduanya lebih dari , maka
berdasarkan kriteria pengujian data indeks gain kelas eksperimen dan kelas kontrol berdistribusi
normal (H0 diterima).
Uji Kesamaan Dua Rata-rata
Uji kesamaan dua rata-rata ini menggunakan independent sample t-test, karna data
distribusi normal dan sampelnya bebas. Uji kesamaan dua rata-rata ini meliputi dua tahap
analisis yaitu:
1. Dengan Levens Test, untuk menguji homogenitas varians kelas eksperimen dan kelas kontrol.
2. Dengan T-test, sebagai uji kesamaan dua rata-rata dari data peningkatan kelas eksperimen dan
kelas kontrol.
Hasil uji kesamaan dua rata-rata dengan bantuan software SPSS for windows dapat dilihat
pada table berikut:
Tabel 4.4 Uji kesamaan Dua rata-rata kelas Eksperimen
Dari table diatas diketahui bahwa F hitung adalah 0.885. Dengan nilai signifikansi.
Karena nilai signifikansi lebih dari = 0,05, berdasarkan kriteria pengujian maka H0diterima,
atau variansi indeks gain kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah identik (sama).
Uji t untuk uji kesamaan dua rata-rata dengan asumsi variansi sama, hipotesisnya adalah
sebagai berikut.
H0 : Rata-rata indeks gain kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah sama.
H1 : Rata-rata indeks gain kelas eksperimen lebih baik dari rata-rata gain kelas kontrol.
Pada table didapat nilai thitung 31,04, sedangkan nilai ttable dengan derajat kebebasan 0.95
dan probabilitas 0,05 yaitu 1,671. Karena nilai thitung lebih besar dari t (1
) .(n1 + n2 2)
, maka
H0 ditolak atau dapat dikatakan bahwa peningkatan (gain/indeks gain) kemampun siswa kelas
eksperimen lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan peningkatan (gain/ indeks gain)
kemampuan siswa kelas kontrol. Dengan demikian dapat disimpulkan, pemahaman konsep
matematika siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan induktif-deduktif lebih baik
daripada pemahaman konsep matematika siswa yang pembelajarannya dilakukan secara
konvensional.
4.2
Pembahasan
Setelah memperoleh hasil data penelitian yang dilakukan dilapangan maka pengolahan
datapun dilakukan, maka diperoleh hasil penelitian berupa hasil perhitungan statistik. Hasil
perhitungan statistik perlu diberi makna sehingga diperoleh gambaran yang lebih jelas melalui
analisis berbagai konsep, teori dan empirik sebagai berikut.
2. Belajar merupakan proses perubahan tingkah laku individu yang relatif tetap sebagai hasil
pengalaman (Fontana dalam Tim MKPBM,2001:8).
3. Belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri
pembelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan,sehingga melahirkan perubahan tingkah laku
(Hamzah,2001).
4. Belajar adalah mengalami (Izzudin,2006:8).
5. Belajar adalah berupaya memperoleh kepandaian atau ilmu, berlatih dan perubahan tingkah laku
atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman (KBBI).
Berdasarkan pengertian tentang belajar yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa
melalui aktivitas, usaha, atau pengalaman yang telah siswa alami selama proses pembelajaran
baik dengan pendekatan induktif-deduktif ataupun pendekatan konvensional, siswa telah
mengalami perubahan tingkah laku, yaitu peningkatan pemahaman terhadap konsep
pembelajaran.
Dengan uji kesamaan dua rata-rata skor indeks gain menggunakan independen sampel TTest telah dapat menjawab masalah kedua yang diajukan dalam pnelitian ini. Peningkatan
pemahaman konsep siswa yang menggunakan pembelajaran dengan pendekatan induktifdeduktif lebih baik dari pada siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.
Dari hasil analisis skor indeks gain dari kedua kelas, secara jelas menunjukan bahwa
pada keduanya terjadi perubahan tingkah laku khususnya dalam peningkatan konsep
pembelajaran matematika, ternyata peningkatan yang terjadi pada kelas induktif-deduktif lebih
baik secara signifikan dibandingkan pada kelas konvensional. Hal inilah yang menjadi kajian
utama dalam penelitian ini. Secara umum hasil belajar siswa dipengaruhi oleh faktor internal dan
eksternal. Faktor internal menyangkut potensi dasar dan minat siswa terhadap matematika.
Faktor eksternalnya antara lain, faktor guru dan aktivitas siswa selama pembelajaran. Faktor
eksternal ini memiliki peranan penting terhadap perbedaan peningkatan pemahaman konsep
matematika pada dua kelompok siswa.
Pembelajaran matematika dengan pendekatan induktif-deduktif memiliki perinsip dasar
menurut teori kontruktivisme. Pada pembelajaran ini siswa dikondisikan untuk mengeksplorasi
potensinya dalam mengkonstruksi konsep-konsep sehingga tebentuk pengetahuan dan
pemahaman baru yang dilakukan secara dominan oleh siswa. Seperti apa yang dikemukakan
oleh Noraziah (2001) mengenai aplikasi prinsip pembelajaran kontrukstivisme secara teknis,
dimana terlihat dalam pembelajaran induktif-deduktif yang telah dilakukan adalah sebagai
berikut.
Siswa diberi peluang saling bertukar pendapat antara satu sama lain
Siswa diberi peluang mengemukakan pandangan tentang sesuatu konsep
Siswa diajak untuk saling menghormati pandangan alternatif dari teman mereka
Pembelajaran berpusat pada siswa
Siswa diajak untuk merenungkan kembali proses pembelajaran yang dilaluinya
Siswa diminta menghubungkan gagasan awal dengan gagasan yang baru dikonstruksi
4.2.2
Respons Siswa
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa respons siswa terhadap pembelajaran
induktif-deduktif cenderung positif. Hal ini dapat dilihat dari hasil angket siswa, dan jurnal
harian yang dilakukan terhadap sejumlah siswa.
Pada jurnal harian siswa, secara umum siswa sangat tertarik dan merasa senang dengan
belajar diskusi, karena mereka bias saling bertukar fikiran, menambah wawasan, saling
melengkapi jawaban, saling membantu dalam memahami konsep pembelajaran dan mengerjakan
soal-soal, saling menguatkan pendapat kelompok, mengobservasi, melakukan percobaan-
percobaan, dan kondisi pembelajaran yang lebih aktif dan dinamis. Walaupun demikian, pada
penelitian ini belum dapat membuat siswa sepenuhnya menyukai pembelajaran yang
mengkondisikan mereka untuk mengkonstruksi konsep secara dominan dari siswa. hal ini
dikuatkan dari penemuan hasil angket dimana siswa masih menyukai pembelajaran yang
berpusat dari guru (guru memberikan penjelasan kepada siswa terlebih dahulu).
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa hasil angket siswa menunjukkan,
bahwasannya sebagian besar siswa merespon positif terhadap pembelajaran yang diberikan. Hal
ini dikuatkan dengan hasil wawancara dengan beberapa orang siswa, dimana siswa mwrasakan
pembelajaran yang lebih mandiri, aktif, lebih banyak diskusi, dan sebagainya. Tidal sedikit siswa
yang senang dengan cara belajar kelompok. Hal tersebut wajar mengingat siswa adalah individu
yang membutuhkan lingkungan sosial. Seiring dengan hakikat matematika dimana matematika
senagai konstruksi sosial mengarahkan individu untuk memahami lingkungan sosialnya. Adanya
diskusi dalam pembelajaran dengan pendekatan induktif-deduktif menjadi jembatan yang
menghubungkan keduanya. Siswa tidak hanya belajar semata untuk dirinya sendiri, tetapi siswa
mendapatkan lingkungan sosial untuk bertukarpikiran, member tanggapan, mendapat pengakuan
terhadap ide-idenya, dan lainnya. Sementara dalam pembelajaran konvensional kebutuhan
tersebut kurang terfasilitasi.
BAB V
KESIMPULAN
5.1
Kesimpulan
Saran
52
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang telah dipaparkan, maka penulis
merekomendasikan agar pembelajaran dengan pendekatan induktif-deduktif digunakan oleh guru
sebagai alternatif pendekatan strategi belajar mengajar. Perhatian guru yang dimiliki siswa
menurut prinsip konstruktivisme, proses pembelajaran dapat memfasilitasi optimalisasi siswa
secara utuh dan menyeluruh.
Penelitian ini dilakukan terhadap siswa kelas V111 MTs Al-Inaayah Bogor. Sebagai
penelitian lebih lanjut, penulis merekomendasikan agar selanjutnya dilakukan penelitian pada
siswa dengan jenjang yang berbeda. Selain itu, dikarenakan dalam penelitian ini hanya terpokus
pada teori lingkaran saja, maka penulis merekomendasikan agar pembelajaran dengan
pendekatan induktif-deduktif diujicobakan pada pembahasan dan materi yang lain.
Peneliti juga merekomendasikan untuk melakukan penelitian tentang pendekatan
induktif-deduktif dengan berbagai kombinasi dan model pembelajaran terhadap variabel terkait
lainnya dan menggarap secara serius bagaimana menumbuhkan minat dan motivasi siswa
terhadap matematika. Seperti yang peneliti temukan dilapangan bahwa cukup banyak siswa yang
minatnya kurang terhadap matematika.
DAFTAR PUSTAKA
Andi, O. (2007). Panduan Praktis Pengolahan Data Statistik dengan SPSS 15.0. Semarang: Wahana
Komputer.
Alwi, H., dkk. (1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Dahar, R. W. (1989). Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga
Dahlan, J. A.(2004). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Pemahaman Matematika Siswa SLTP
Melalui Pendekatan Open-Ended. Disertai PPS. UPI Bandung.
Ernawati. (2003). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika Siswa SMU melalui
Pembelajaran Berbasis Masalah. FPMIPA UPI Bandung.
Furqon. (2004). Statistika Terapan Untuk Penelitian. Bandung CV.ALFABETA.
Hamzah. (2001). Pembelajaran Matematika Menurut Teori Belajar Konstruktivisme
http://www.depdiknas.go.id/jurnal40/pembelajaran. [20 Agustus 2010]
[online]
Hudoyo, H. (2001). Pengembangan Kurrikulum dan Pengembangan Matematika. Malang: UNM Malang.
Izzudin, S. A. (2006). Quantum Tarbiyah Mencetak Kader Serba Bisa. Solo: Bina Insani Press.
Noraziah. (2001). Kontruktivisme dalam Pengajaran dan Pembelajaran. [online]
http://www.geocities.com/azam60/Tugasan2ASAS.htm#konstruktivisme.
http://adtyaemby.blogspot.com/2012/06/pengaruh-pembelajaran-matematika-dengan.html
Rochmad
Dosen
Jurusan
Matematika
FMIPA
UNNES
Semarang
(Makalah telah disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika: Sertifikasi Guru: Meningkatkan
Kualitas Matematika di Indonesia. Di Kampus Pascasarjana UNNES Semarang, tanggal 16 Januari 2008)
Abstrak:
Ciri utama penalaran dalam matematika adalah deduktif, atau dengan perkataan lain matematika bersifat
deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep atau pernyataan diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran
sebelumnya sehingga kaitan antar konsep atau pernyataan matematika bersifat konsisten. Pada prinsipnya,
dalam pembelajaran matematika pola pikir induktif dan deduktif keduanya dapat digunakan untuk mempelajari
konsep-konsep matematika. Namun demikian, pembelajaran matematika dengan fokus pada pemahaman
konsep, penalaran dan komunikasi, dan pemecahan masalah dapat diawali menggunakan pola pikir induktif
melalui
pengalaman-pengalaman
khusus
yang
dialami
siswa.
Pertama-tama
siswa
dapat
diajak
mengkonstruksi pengetahuan matematika dengan menggunakan pola pikir induktif. Misalnya kegiatan
pembelajaran dapat dimulai dengan menyajikan beberapa contoh atau fakta yang teramati, membuat daftar
sifat-sifat yang muncul, memperkirakan hasil yang mungkin, dan kemudian siswa dapat diarahkan menyusun
generalisasi secara deduktif. Selanjutnya, jika memungkinkan siswa dapat diminta membuktikan generalisi
yang diperolehnya secara deduktif. Secara umum dalam memecahkan masalah siswa menggunakan pola pikir
induktif-deduktif. Dalam pemecahan masalah, memecahkannya kadang hanya menggunakan salah satu pola
pikir induktif atau deduktif, namun banyak masalah dalam memecahkannya menggunakan keduanya pola pikir
induktif
dan
deduktif
secara
bergantian.
Kata kunci: Pembelajaran matematika, pola pikir induktif, pola pikir deduktif, pola pikir induktif-deduktif,
pemecahan
masalah.
A.
Pendahuluan
Matematika merupakan pelajaran di sekolah yang dipandang penting dan dipelajari oleh siswa di semua tingkat
pendidikan. Matematika informal diberikan pada anak-anak prasekolah, misalnya di kelompok bermain atau
play group dan di Taman Kanak-Kanak (TK). Mulai di sekolah dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) siswa
mendapat pelajaran matematika formal. Di TK misalnya, siswa mulai mengenal klasifikasi secara informal.
Anak-anak bermain memilih benda-benda berwarna merah dari sekelompok benda-benda mainannya dapat
dikatakan secara informal siswa melakukan pengelompokan, dan bahkan secara informal pada diri siswa mulai
tertanam penalaran matematika, misalnya siswa menggunakan penalaran matematika ketika mengetahui
mana benda-benda yang termasuk dalam kelompok benda-benda berwarna merah dan yang bukan berwarna
merah.
Dalam
setiap
pengelompokan
tentu
ada
syarat
tertentu,
secara
informal
siswa
dapat
mengklasifikasikan mana benda-benda yang menjadi anggota kelompoknya, syarat dalam melakukan
pengelompokan
oleh
anak
dilakukan
sendiri
atau
dilakukan
dibawah
bimbingan
guru.
Sejak siswa duduk di kelas 1 SD/MI, mulailah dikenalkan dengan matematika formal. Para siswa mulai
mengenal obyek dasar matematika yang bersifat abstrak misalnya fakta, konsep, prinsip dan struktur
matematika. Dalam mempelajari matematika siswa terlibat dengan berpikir. Soedjadi (2000) menyatakan dalam
matematika sebagai ilmu hanya diterima pola pikir deduktif. Meskipun pada akhirnya siswa diharapkan
mampu berpikir deduktif, namun dalam proses pembelajaran matematika dapat digunakan pola pikir induktif.
Dewasa ini pembelajaran matematika konstruktivis menjadi perhatian para pemerhati pendidikan untuk
menggeser pembelajaran matematika tradisional yang hasil belajarnya dipandang kurang optimal. Slavin
(2000) menyatakan students must construct knowledge in their own mind. Pembelajaran matematika
tradisional berpusat pada guru dengan metode ceramah sebagai metode pembelajaran utama. Di kelas siswa
lebih banyak sebagai pendengar dan menghafal aturan-aturan atau rumus-rumus matematika kurang
memahaminya (Suwarsono, 1999; Ratumanan, 2003; Jaeng, 2004). Marpaung (dalam Ratumanan, 2003)
berpendapat
bahwa
matematika
tidak
ada
artinya
kalau
hanya
dihafal.
Pembelajaran matematika beracuan konstruktivieme berpusat pada siswa, guru berperan sebagai fasilitator
terciptanya suasana pembelajaran yang aktif, kreatif, efisien dan menyenangkan. Guru menerapkan berbagai
metode yang dipandang sesuai dengan bahasan materi matematika yang sedang dipelajari. Siswa terlibat
membangun ide-ide, konsep-konsep, prinsip-prinsip dan struktur-struktur matematika berdasar pengalaman
siswa
sendiri.
Fakta di lapangan guru matematika sekolah kebanyakan mengajar dengan cara tradisional dengan pola:
informasi-contoh soal-latihan sesuai contoh. Paradigma pembelajaran matematika di Indonesia selama
bertahun-tahun adalah paradigma mengajar dan banyak dipengaruhi oleh psikologi tingkah laku, bukan
paradigma belajar (Marpaung, 2003). Menurut Ratumanan (2003) pembelajaran matematika di Indonesia
beracuan behaviorisme dengan penekanan pada transfer pengetahuan dan hukum latihan. Guru mendominasi
kelas dan menjadi sumber utama pengetahuan, kurang memperhatikan aktivitas aktif siswa, interaksi siswa,
negosiasi
makna,
dan
konstruksi
pengetahuan.
Berdasar uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika beracuan behaviorisme selama
ini kurang berhasil, oleh karena itu perlu dicari alternatif penggantinya, misalnya pembelajaran matematika
beracuan konstruktivisme. Tulisan ini membahas pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme dan
kaitannya dengan penggunaan pola pikir induktif dan deduktif. Tulisan ini menyajikan salah satu alternatif
sintaks pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme yang melibatkan penggunaan pola pikir induktifdeduktif.
B.
Pembahasan
1.
Penalaran
Matematika
Fondasi dari matematika adalah penalaran (reasoning). Ross (dalam Lithner, 2000) menyatakan bahwa salah
satu tujuan terpenting dari pembelajaran matematika adalah mengajarkan kepada siswa penalaran logika
(logical reasoning). Bila kemampuan bernalar tidak dikembangkan pada siswa, maka bagi siswa matematika
hanya akan menjadi materi yang mengikuti serangkaian prosedur dan meniru contoh-contoh tanpa mengetahui
maknanya.
Banyak penelitian yang dilakukan para psikolog dan pendidik berkaitan dengan penalaran. Penalaran yang
mula-mula dikenalkan oleh Aristotle adalah penalaran silogisme yang idenya muncul ketika orang ingin
mengetahui apa yang terjadi dibenak dalam memecahkan masalah yang memuat logika. Lebih dari 2000
tahun yang lalu Aristotle mengenalkan suatu sistem penalaran atau validasi argumen yang disebut silogisme.
Silogisme memuat tiga urutan argumen: sebuah premis utama (a major premise); sebuah premis minor (a
minor premise); dan sebuah kesimpulan (a conclusion). Suatu kesimpulan yang dicapai berdasarkan penalaran
silogisme dinilai benar atau valid, jika premis-premisnya merupakan pernyataan yang benar dan disusun
dalam
bentuk
yang
benar.
Dalam belajar matematika memerlukan penalaran induktif dan deduktif. Copeland (1974) mengklasifikasikan
penalaran dalam penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif digunakan bila dari kebenaran
suatu kasus khusus kemudian disimpulkan kebenaran untuk semua kasus. Penalaran deduktif digunakan
berdasarkan konsistensi pikiran dan konsistensi logika yang digunakan. Jika premis-premis dalam suatu
silogisme benar dan bentuknya (format penyusunannya) benar, maka kesimpulannya benar. Proses penarikan
kesimpulan
seperti
ini
dinamakan
deduktif
atau
sering
disebut
penalaran
deduktif.
Peressini dan Webb (1999) di samping memandang penalaran matematika sebagai konseptualisasi dinamik
dari daya matematika (mathematically powerful) siswa, juga memandang penalaran matematika sebagai
aktivitas dinamik yang melibatkan keragaman mode berpikir. Daya matematika sebagai suatu integrasi dari
berikut ini: (a) suatu kecenderungan positip kepada matematika; (b) pengetahuan dan pemahaman terhadap
sifat-sifat matematika, meliputi konsep-konsep, prosedur-prosedur dan keterampilan-keterampilan; (c)
kecakapan melakukan analisis dan beralasan secara matematis; (d) kecakapan menggunakan bahasa
matematika untuk mengkomunikasikan ide-ide; dan (e) kecakapan menerapkan pengetahuan matematika
untuk memecahkan masalah-masalah dalam berbagai konteks dan disiplin ilmu (NCTM, 1989 dalam Perissini
dan
Webb,
1999).
Daya matematika siswa seyogyanya dapat diwujudkan dalam berbagai dimensi supaya mampu memunculkan
berbagai metode matematika yang nantinya dapat membantu siswa dalam memecahkan masalah tidak rutin
dan dapat dijadikan panduan dalam menghadapi perubahan kehidupan dalam masyarakat yang bergantung
pada kemajuan ilmu, teknologi dan informasi. Penalaran matematika dalam sudut pandang aktivitas dinamik
melibatkan keragaman mode berpikir, dan daya matematika dipandang sebagai komponen integral dari berpikir
matematika. Khususnya berpikir matematika yang melibatkan keragaman matematika dalam keterampilan
berpikir untuk memahami ide-ide, menemukan hubungan antar ide-ide, dan mendukung gambaran atau
kesimpulan tentang ide-ide dan hubungan-hubungannya, dan memecahkan masalah-masalah yang melibatkan
ide-ide
tersebut
(ODaffer
dan
Thornquist
dalam
Perissini
dan
Webb,
1999).
Penalaran matematika memiliki peran yang amat penting dalam proses berpikir seseorang. Penalaran
matematika meliputi mengumpulkan bukti-bukti, membuat konjektur-konjektur, menetapkan generalisasigeneralisasi, membangun argumen-argumen, dan menentukan (dan validasi) kesimpulan-kesimpulan logis
berdasar ide-ide dan hubungan-hubungannya. Untuk mencapai daya matematika berbagai mode penalaran
matematika dilibatkan misalnya induktif (inductive), deduktif (deducttive), bersyarat (conditional), perbandingan
(proporsional), grafik (graphical), keruangan (spatial) dan penalaran abstrak (abstract reasoning).
2.
Pembelajaran
Matematika
Beracuan
Konstruktivisme
Salah satu dari prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah guru tidak dapat dengan mudah
menanamkan pengetahuan pada diri siswa. Slavin (2000) menyatakan bahwa siswa harus mengkonstruksi
pengetahuan dalam benaknya. Berkaitan dengan hal ini, guru dapat menciptakan suasana pembelajaran
sehingga informasi, keterampilan dan konsep yang disampaikan menjadi bermakna dan relevan bagi siswa
dengan cara memberi kesempatan kepada para siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri;
serta suasana pembelajaran yang mampu menjadikan siswa memiliki keberanian dan dengan penuh
kesadaran belajar menggunakan strateginya sendiri. Guru dapat memberi tangga kepada siswa agar dapat
digunakan untuk naik menuju ke pemahaman yang lebih tinggi, tetapi biarkanlah siswa sendiri yang
memanjatnya.
Menurut Slavin (2000) proses mengajar belajar yang berpusat pada siswa dan menekankan pada aktivitas
siswa mengkonstruksi pengetahuan dalam benaknya sendiri dinamakan teori pembelajaran konstruktivistik
(constructivist theories of learning). Pembelajaran konstruktivis mengkondisikan kegiatan siswa dalam interval
waktu kerja yang tidak begitu lama memeriksa informasi baru dan dibandingkan dengan aturan-aturan yang
telah diketahuinya, dan mungkin kemudian merevisi aturan-aturan tersebut. Karena pembelajaran konstruktivis
menekankan kepada para siswa agar belajar lebih aktif di kelas, maka pembelajaran konstruktivis sering
dinamakan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Dalam pembelajaran beracuan konstruktivisme guru
menjadi pembimbing dan fasilitator. Inti dari pembelajaran konstruktivis adalah siswa secara individual
menemukan
dan
mentransformasi
informasi
yang
begitu
kompleks
dalam
benaknya.
Kenyataan bahwa para siswa sering mempelajari konsep-konsep dan prosedur-prosedur matematika dengan
kurang atau tidak memahaminya dikemukakan dalam National Assessment of Educational Progress (dalam
Johnson, Johnson dan Stiff, 1993). William A. Brownel (dalam Johnson, Johnson dan Stiff, 1993) adalah salah
seorang yang mula-mula mengajukan teori pembelajaran matematika (aritmetika) secara bermakna
(meaningful learning) berpendapat bahwa pembelajaran matematika yang efektif harus menyajikan suatu
pemahaman pada konsep-konsep, hubungan-hubungan, dan proses terjadinya definisi aritmetika. Penelitian
menunjukkan bahwa para siswa sering mempelajari prosedur-prosedur dalam aljabar tanpa memahami makna
apa yang mereka pelajari. Reed (dalam Johnson, Johnson dan Stiff, 1993) menyatakan bahwa jika para siswa
memahami struktur-struktur yang mendasari masalah, susunan kata dalam masalah kurang memberi efek
pada kecakapan siswa dalam memecahkannya atau dalam mengkonstruksi alternatif pemecahannya. Salah
satu strategi penting untuk membantu siswa dalam memahami masalah secara bermakna adalah meminta
siswa menulis dan merumuskan kembali masalah yang sedang dihadapi sebelum siswa menulis
penyelesaianya.
Sampai saat ini, teori perkembangan intelektual anak yang sering menjadi acuan para pemerhati pendidikan
adalah teori perkembangan inelektual Piaget. Di awal kerjanya ia mengidentifikasi adanya empat tahap
perkembangan kognitif: sensori motor (sensorimotor), preoperasional (preoperational), operasional konkret
(concrete operational), dan operasi formal (formal operational). Tetapi siswa jarang hanya berada pada satu sisi
tahap perkembangan. Para siswa pada jenjang pendidikan setingkat SMA (high school) sering berada dan
bergerak pada operasi konkret dan operasi formal jika mereka sedang mempelajari keterampilan-keterampilan,
konsep-konsep,
dan
prinsip-prinsip
baru
(Johnson,
Johnson
dan
Stiff,
1993).
Teori Piaget tentang perkembangan intelektual menaruh perhatian pada proses asimilasi (assimilation) dan
akomodasi (accommodation) informasi dalam skema mental siswa. Asimilasi adalah suatu proses
menempatkan informasi dan pengalaman baru dalam struktur kognitif siswa. Akomodasi adalah hasil
penyetrukturan
kembali
dalam
skema
kognitif.
Assimilation is the process by which new experience and information are placed into the cognitive structure of
the leaner. [] Accomodation is the product of any restructuring of that cognitive schema. (Stiff, Johnson, dan
Johnson;
1993:3)
persamaan
tersebut
dengan
menggunakan
bantuan
matriks.
Bruner (dalam Stiff, Johnson dan Johnson, 1993) merumuskan empat teorema belajar matematika yang
mengacu pada pandangan konstruktivisme. Teorema konstruksi (construction theorem), teorema notasi
(notation theorem), teorema kontras dan variasi (contrast and variation theorem), dan teorema konektivitas
(connectivity
theorem).
Teorema konstruksi menyatakan bahwa siswa seyogyanya diberi kesempatan untuk mengkonstruksi sendiri
representasi konsep-konsep, aturan-aturan dan hubungan-hubungannya. Dalam pelaksanaan pembelajaran di
kelas guru sering menyediakan dan menggunakan bantuan benda-benda konkret atau benda-benda
manipulatif untuk membantu siswa dalam belajarnya. Teori notasi menyatakan bahwa penggunaan notasi yang
baik akan menyederhanakan proses kognisi dalam menangkap konsep-konsep, aturan-aturan dan hubunganhubungannya. Sebagai contoh, siswa akan lebih memahami konsep variabel jika digunakan representasi
ikonik
misalnya
19
__
dari
pada
digunakan
representasi
baku
19
7.
Teorema kontras dan variasi menyatakan bahwa kemajuan dari representasi konsep-konsep dari konkret ke
bentuk abstrak bergantung pada pengalaman siswa dalam membandingkan atribut-atribut suatu konsep
dengan atribut-atribut konsep lain yang serupa. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menghadapi dan
menyelesaikan berbagai contoh. Teorema konektivitas menyatakan bahwa guru perlu mendemonstrasikan
hubungan antar keterampilan-keterampilan, konsep-konsep dan prinsip-prinsip matematika. Teorema
konektivitas ini dapat mengurangi isolasi antar topik dalam pembelajaran matematika dan dapat mengantarkan
siswa sampai pada tingkat intuisi dan penalaran matematika yang lebih tinggi, yakni belajar matematika secara
bermakna
3.
(meaningfull
Pola
Pikir
mathematical
Induktif-Deduktif
dalam
learning).
Pembelajaran
Matematika
Prince dan Felder (2006) menyatakan pembelajaran tradisional adalah pembelajaran dengan pendekatan
deduktif, memulai dengan teori-teori dan meningkat ke penerapan teori. Di bidang sain dan teknik dijumpai
upaya mencoba pembelajaran dan topik baru yang menyajikan kerangka pengetahuan, menyajikan teori-teori
dan rumus dengan sedikit memperhatikan pengetahuan utama mahasiswa, dan kurang atau tidak mengkaitkan
dengan pengalaman mereka. Pembelajaran dengan pendekatan deduktif menekankan pada guru mentransfer
informasi atau pengetahuan. Bransford (dalam Prince dan Felder, 2006) melakukan penelitian dibidang
psikologi dan neurologi. Temuannya adalah: All new learning involves transfer of information based on
previous learning, artinya semua pembelajaran baru melibatkan transfer informasi berbasis pembelajaran
sebelumnya.
Major (2006) menyatakan dalam pembelajaran dengan pendekatan deduktif dimulai dengan menyajikan
generalisasi atau konsep. Dikembangkan melalui kekuatan argumen logika. Contoh urutan pembelajaran: (1)
definisi disampaikan; dan (2) memberi contoh, dan beberapa tugas mirip contoh dikerjakan siswa dengan
maksud untuk menguji pemahaman siswa tentang definisi yang disampaikan. Major (2006) memberi contoh
pembelajaran barisan aritmetika sebagai berikut. Guru mulai pembelajaran dengan menulis definisi dipapan
tulis: barisan aritmetika adalah barisan yang memiliki beda sama. Kemudian guru menjelaskan apa maksud
memiliki beda sama. Kemudian guru melanjutnya pembelajaran, misalkan suku pertama barisan adalah a, dan
beda b, maka a, a + b, a + 2b + + (a + (n 1)b) adalah barisan arimetika. Selanjutnya guru memberi contoh
dan
memberi
soal
untuk
dikerjakan
siswa.
Siswa sering mengalami kesulitan memahami makna matematika dalam pembelajaran dengan pendekatan
deduktif. Hal ini disebabkan siswa baru memahami generalisasi atau kosep setelah disajikan berbagai contoh.
Major (2006) menyarankan dalam pembelajaran dengan pendekatan deduktif: (1) mulailah dengan
menyatakan generalisasi secara jelas; (2) tulis definisi dipapan tulis; (3) jelaskan istilah-istilah dalam definisi;
(4) secara hati-hati tekankan hubungan-hubungan sifat dalam generalisasi; (5) ilustrasikan dengan contoh; dan
(5)
berilah
kesempatan
siswa
memberi
atau
mengerjakan
contoh
berikutnya.
Alternatif pendekatan pembelajaran lainnya selain dengan pembelajaran pendekatan deduktif adalah dengan
pendekatan induktif . Beberapa contoh pembelajaran dengan pendekatan induktif misalnya pembelajaran
inkuiri, pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran berbasis proyek, pembelajaran berbasis kasus, dan
pembelajaran penemuan. Pembelajaran dengan pendekatan induktif dimulai dengan melakukan pengamati
terhadap hal-hal khusus dan menginterpretasikannya, menganalisis kasus, atau memberi masalah
konstekstual, siswa dibimbing memahami konsep, aturan-aturan, dan prosedur-prosedur berdasar pengamatan
siswa
sendiri.
Major (2006) berpendapat bahwa pembelajaran dengan pendekatan induktif efektif untuk mengajarkan konsep
atau generalisasi. Pembelajaran diawali dengan memberikan contoh-contoh atau kasus khusus menuju konsep
atau generalisasi. Siswa melakukan sejumlah pengamatan yang kemudian membangun dalam suatu konsep
atau geralisasi. Siswa tidak harus memiliki pengetahuan utama berupa abstraksi, tetapi sampai pada abstraksi
tersebut
setelah
mengamati
dan
menganalisis
apa
yang
diamati.
tak
dapat
dihindari
salah
satu
dari
kegiatan
tersebut
lebih
dominan.
Dalam makalah ini dikembangkan pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme yang melibatkan
penggunaan pola pikir induktif-deduktif. Rancangan sintaks pembelajaran dominan pada kegiatan induktif yang
memuat kegiatan siswa mengkonstruksi pengetahuan matematika berdasar pengalaman siswa sendiri. Siswa
melakukan pengamatan pada hal-hal khusus, misalnya contoh-contoh suatu konsep dan menuliskan konsep
tersebut dengan bahasa siswa sendiri. Dalam kegiatan induktif ini siswa belajar mengkonstruk pengetahuan
matematis menggunakan pola pikir induktif. Ketika siswa memecahkan masalah siswa menggunakan pola pikir
induktif atau deduktif secara bergantian. Dengan demikian kegiatan deduktif tercakup dalam pemecahan
masalah. Dalam pemecahan masalah siswa terlibat dengan penggunaan pola pikir induktif-deduktif.
Salah satu alternatif sintaks pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme yang melibatkan penggunaan
pola pikir induktif-deduktif serta pembelajaran yang memungkinkan mencakup kegiatan pemahaman konsep,
penalaran dan komunikasi, dan pemecahan masalah sebagai berikut: (1) fase kegiatan pembukaan; (2) fase
kegiatan induktif; (3) fase kegiatan diskusi kelas; (4) fase kegiatan induktif-deduktif; dan (5) fase kegiatan
penutupan.
a.
Fase
kegiatan
pembukaan
Kegiatan guru pada fase kegiatan pembukaaan pertama-tama guru membuka pembelajaran. Menyampaikan
tujuan pembelajaran, dan memotivasi siswa agar dapat lebih siap dalam mengikuti kegiatan pembelajaran.
Selanjutnya guru memeriksa pengetahuan prasyarat misalnya dengan cara menanyakan hasil pekerjaan
rumah, atau menanyakan materi yang berkaitan dengan pembelajaran yang telah diberikan sebelumnya.
Menurut Kemp (1994: 107) dapat disinyalir bahwa siswa mengalami kesulitan belajar disebabkan siswa tidak
mengetahui dengan pasti atau kurang jelas apa yang diharapkan oleh guru dari siswa. Jika apa yang
diharapkan guru tidak dibatasi dengan jelas, siswa tentu tidak akan tahu dengan pasti apa yang akan dipelajari
dan apa yang perlu dilakukan. Oleh karena itu di awal pembelajaran guru perlu menyampaikan tujuan
pembelajaran
yang
hendak
dicapai
dan
bagaimana
cara
belajar
untuk
mencapainya.
Tujuan pembelajaran perlu diketahui oleh siswa agar siswa mengetahui apa yang harus dilakukan. Tujuan
pembelajaran untuk suatu pokok bahasan harus diberikan pada saat mereka mulai mempelajari pokok
bahasan itu (Kemp, 1994). Dengan cara seperti ini, siswa akan mengetahui apa yang diharapkan dari guru
dalam mempelajari pokok bahasan tersebut dan dapat mengatur tata cara belajarnya dengan baik. Kemp
(1994: 130) menyatakan terdapat bukti positif yang menunjukkan bahwa siswa yang diberi tahu tentang tujuan
pembelajaran yang harus mereka capai betul-betul mengalami kemajuan yang memuaskan dalam jangka
waktu yang lebih singkat dan mencapai tingkat keberhasilan yang lebih besar dibandingkan dengan siswa yang
tidak
diberi
tahu.
Motivasi diperlukan oleh para siswa dalam belajar matematika. Ide awal penelitian Kazemi dan Stipek (2002)
adalah untuk menjawab tantangan bagaimana pentingnya guru memberi motivasi kepada seluruh siswa agar
para siswa bergairah dan terikat kuat dalam belajarnya. Oleh karena itu dalam fase pembukaan ini guru perlu
memberi motivasi kepada siswa agar siswa tebih bergairah dan konsentrasi dalam belajarnya.
Agar guru dapat mengelola pembelajaran dengan baik, guru perlu mengetahui pengetahuan prasyarat siswa
yaitu dengan cara memberi pertanyaan-pertanyaan yang mendasari sub pokok bahasan pembelajaran yang
akan disampaikan. Menurut Ausubel (dalam Joice dan Weil, 1992: 184): whether or not material is meaningful
depends more on the preparation of the learner and on the organization of the material than it does on the
method of representation. Apakah materi yang dipelajari siswa bermakna atau tidak lebih bergantung pada
kesiapan siswa dan pengorganisasian materi dari pada metode penyajian. Oleh karena itu, sebelum guru
memulai
pembelajaran
b.
perlu
memeriksa
Fase
pengetahuan
prasyarat
kegiatan
siswa.
induktif.
Guru menyampaikan hal-hal khusus berkaitan dengan materi pokok yang akan disampaikan. Guru
mengarahkan siswa melakukan kegiatan belajar dengan menggunakan pola pikir induktif, misalnya guru
memberi beberapa contoh suatu konsep, siswa diminta mengamati dengan cermat, dan meminta siswa
menulis makna konsep tersebut dengan bahasa siswa sendiri. Dalam fase ini kegiatan belajar siswa
mengkonstruk pengetahuan matematis dengan cara siswa sendiri berdasar hasil pengamatannya.
Dalam fase kegiatan induktif ini dibawah bimbingan dan arahan guru, siswa aktif belajar matematika secara
individu. Meskipun demikian, siswa diberi kesempatan berinteraksi dengan temannya, misalnya bertukar
pendapat dengan teman sebangkunya atau dengan teman-teman di dekatnya. Kegiatan utama siswa adalah
mengamati, memeriksa, menyelidiki, menganalisis, atau memikirkan berdasarkan kemampuan masing-masing
hal-hal yang bersifat khusus dan mengkonstruk konsep atau generalisasi atau sifat-sifat umum berdasar halhal khusus tersebut. Menurut Kemp (1994: 143) terdapat bukti yang menunjukkan sebagian besar siswa dapat
mencapai tujuan yang diinginkan dengan cara yang paling memuaskan apabila siswa diberi kesempatan
belajar
menurut
kemampuan
masing-masing.
Pada fase kegiatan induktif ini prinsip memuat prinsip pertama pembelajaran beracuan konstruktivisme
menurut Tadao (dalam Sadijah, 2006), yaitu fase kesadaran, anak dihadapkan pada sumber yang
membangkitkan kesadaran matematisnya dan mulai mengkonstruksi pengetahuan matematis. Guru
menyampaikan contoh-contoh atau kasus-kasus khusus menjadi sumber untuk membangkitkan kesadaran
siswa dan siswa melakukan pengamatan secara hati-hati terhadap contoh atau kasus khusus yang diamati.
c.
Fase
diskusi
kelas
Ada kelemahan jika pembelajaran di kelas hanya dengan belajar secara individu. Kelemahan tersebut misalnya
kurang terjadi interaksi antar siswa atau antara guru dan siswa. Kemp (1994: 156) berpendapat bahwa dalam
pembelajaran perlu direncanakan kegiatan kelompok. Apabila hanya dipakai metode satu jalur, misalnya hanya
kerja mandiri, kegiatan belajar bisa membosankan dan tidak menarik. Kemp (1994: 151) juga berbendapat
bahwa akhir-akhir ini terdapat kecenderungan mengurangi waktu untuk pola penyajian materi pembelajaran,
lebih
menyukai
pola
belajar
mandiri
dalam
kegiatan
kelompok.
Berdasar pendapat Kemp (1994) dapat disinyalir bahwa kegiatan belajar siswa secara individu dapat diperkuat
melalui interaksi sosial, misalnya diskusi kelompok. Pertemuan kelompok kecil ini dapat dipakai untuk
mengecek kepahaman siswa tentang konsep dan asas yang telah mereka peroleh sebelumnya (Kemp, 1994:
167). Dalam fase kegiatan induktif siswa diberi kesempatan berdiskusi dengan teman sebangkunya atau
diskusi dalam kelompok dengan beberapa teman didekatnya. Dalam diskusi ini siswa berinteraksi satu dengan
lainnya dan bertukar pemikiran dan pengalaman dalam rangka mengkonstruk pengetahuan secara individu.
Dalam fase diskusi kelas ini guru memimpin diskusi dalam rangka memperoleh kesimpulan atau kesepakatan
terhadap hasil-hasil konstruksi pengetahuan matematis awal siswa. Hasil dikonstruksi pengetahuan matematis
siswa mungkin berbeda-beda bergantung pada pengetahuan awal masing-masing. Beberapa siswa diminta
menyampaikan hasil kerjanya secara lisan atau tertulis. Guru memberi ulasan atau komentar, dan selanjutnya
memberi kesimpulan atau kesepakatan terhadap makna konsep yang pelajari siswa. Dengan demikian, siswa
tidak semata-mata menghafal definisi suatu konsep tetapi siswa terlibat dalam memperoleh definisi tersebut.
d.
Fase
kegiatan
induktif-deduktif
Dalam fase kegiatan induktif-deduktif ini siswa diminta memecahkan soal atau masalah. Kemp (1994: 90)
menyatakan ada dua kategori yang dapat dipakai dalam membahas materi pembelajaran yaitu metode induktif
dan deduktif. Pada prinsipnya matematika bersifat deduktif. Matematika sebagai ilmu hanya diterima pola pikir
deduktif. Pola pikir deduktif secara sederhana dapat dikatakan pemikiran yang berpangkal dari hal yang
bersifat umum diterapkan atau diarahkan kepada hal yang bersifat khusus Soedjadi (2000: 16). Dalam
kegiatan memecahkan masalah siswa dapat terlibat berpikir dengan dengan menggunakan pola pikir induktif,
pola
pikir
deduktif,
e.
atau
keduanya
Fase
digunakan
secara
bergantian.
kegiatan
penutup
Pada fase kegiatan penutup ini kegiatan pembelajaran adalah memberi kuis (tes singkat) secara individu,
memberi tugas dikerjakan di rumah, dan menutup pembelajaran. Kuis (tes singkat) berupa soal yang harus
diselesaikan siswa dalam waktu yang relatif singkat. Untuk melaksanakan kuis diperlukan alat penilaian. Alat
penilaiaannya dapat tes tertulis atau lisan. Tujuannya untuk mengukur seberapa jauh siswa telah menguasai
pengetahuan ditinjau dari aspek pemahaman konsep, penalaran dan komunikasi, atau pemecahan masalah.
Guru memberi tugas dengan memberi soal-soal yang berkaitan dengan pokok bahasan yang dibahas untuk
dikerjakan di rumah. Tugas rumah diarahkan pada kegiatan pemecahan masalah dengan tujuan siswa dapat
lebih memahami konsep atau struktur matematika yang dipelajari dan untuk melatih siswa terbiasa
menggunakan pola pikir induktif-dedukif dalam memecahkan masalah. Selanjutnya guru menutup
pembelajaran.
C.
Penutup
Agar siswa dapat belajar matematika di sekolah secara bermakna, siswa dituntut terampil memahami konsepkonsep matematika dari pola pikir induktif menuju deduktif. Pembelajaran matematika beracuan
konstruktivisme dengan melibatkan penggunaan pola pikir induktif-deduktif merupakan salah satu alternatif
pembelajaran matematika yang mampu menciptakan suasana pembelajaran yang berpusat pada siswa.
Dalam pemecahan masalah siswa kadang menggunakan pola pikir induktif, kadang deduktif, dan kadang
keduanya. Dalam pemecahan masalah kadang sulit memisahkan antara penggunaan pola pikir induktif dan
deduktif. Pada prinsipnya, dalam pembelajaran matematika beracuan konsruktivisme penggunaan pola pikir
induktif dan deduktif keduanya dapat digunakan untuk membangun misalnya suatu konsep matematika
berdasar
pengalaman
siswa
sendiri.
Pembelajaran matematika dengan fokus pada pemahaman konsep, penalaran dan komunikasi, dan
pemecahan masalah dapat diawali menggunakan pola pikir induktif melalui pengalaman-pengalaman khusus
yang dialami siswa. Pertama-tama siswa dapat diajak mengkonstruksi pengetahuan matematika dengan
menggunakan pola pikir induktif. Misalnya kegiatan pembelajaran dapat dimulai dengan menyajikan beberapa
contoh atau fakta yang teramati, membuat daftar sifat-sifat yang muncul, memperkirakan hasil yang mungkin,
dan kemudian jika memungkinkan siswa dapat diarahkan menyusun generalisasi secara deduktif. Secara
umum
dalam
memecahkan
masalah
siswa
menggunakan
pola
pikir
induktif-deduktif.
Salah satu alternatif sintaks pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme yang melibatkan penggunaan
pola pikir induktif-deduktif sebagai berikut: (1) fase kegiatan pembukaan; (2) fase kegiatan induktif; (3) fase
kegiatan
diskusi
kelas;
(4)
fase
kegiatan
induktif-deduktif;
dan
(5)
fase
kegiatan
penutupan.
DAFTAR
PUSTAKA
Ball, D.L dan Bass, H. 2003. Making Mathematics Reasonable in School. Jeremy Kilpatrick (Eds.): A Research
Companion to Principles and Standards for School Mathematics (halaman 27 44). Reston: National Council
of
Teacher
of
Mathematics,
Inc.
Bell, F.H. 1981. Teaching and Learning Mathematics (In Secondary Schools). Dubuque, Iowa: Wm. C. Brown
Company
Publisher.
tanggal
Desember
2002.
2006.
Clements, D.H dan Batista, M.T. 2002. Constructivist Learning and Teaching. Donald L. Chambers (Ed.):
Putting Research into Practice in the Elementary Grades: Reading from Journal of the National Council of
Teachers
of
Mathematics.
Reston,
Virginia:
NCTM.
Copeland, R.W. 1974. How Children Learn Mathematics: Teaching Implications of Peagets Theory. New York:
Macmillan
Publishing
Co.
Inc.
Davis, R.B. 1990. Discovery Learning and Constructivism. Constructivist View on the Teaching and Learning of
Mathematics. Nel Noddings (Eds.): Journal for Research in Mathematics Educations. Monograph Number 4.
(halaman
93
Depdiknas.
2004.
106).
The
Kurikulum
National
2004
Council
Mata
of
Pelajaran
Teacher
Matematika.
of
Mathematics.
Jakarta:
Depdiknas.
Doolittle, P.E dan Camp, W.G. 1999. Constructivism: The Career and Technical Education Perspective. Kirk
Swortsel
(Ed.):
Journal
of
Vocational
and
Technical
Education.
Volume
16,
Number
1.
Doolittle, P.E. 2001. Integrating Constructivism and Cognitivim. {Comment & Suggestions Welcome].
Blackburgs:
Virginia
Polytechnic
Institute
&
State
University.
Dreyfus, T. 1990. Advanced Mathematical Thinking. Mathematical and Cognition: A Research Synthesis by the
International Group for the Psychology of Mathematics Education. ICMI Studies Series. Cambridge: Cambridge
University
Press.
English, L.D dan Halford, G.S. 1995. Mathematics Educations Model and Process. New Jersey: Lawrence
Erlbaum
Associates
Publishers.
Heibert, J. 2003. What Research Says About the NCTM Standards. Jeremy Kilpatrick (Eds.): A Research
Companion to Principles and Standards for School Mathematics (halaman 5 23). Reston: National Council of
Teacher
of
Mathematics,
Inc.
Hudojo, H. 2003. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. JICA. Jakarta: IMSTEP.
Hudojo, H. 2003. Guru Matematika Kontruktivis (Contructivist Mathematics Teacher). Makalah disajikan pada
Seminar Nasional, 27-23 Maret 2003 di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas
Sanata
Dharma.
Hudojo, H. 2005. Kapita Selekta Pembelajaran Matematika. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang (UM
Press).
Jaeng, M. 2004. Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Sekolah dengan Cara Perseorangan dan
Kelompok
Kecil.
Disertasi.
Tidak
dipublikasikan.
Surabaya:
Program
Pascasarjana
UNESA.
Jan van den Akker. 1999. Principles and Methods of Development Research. Dalam Plomp, T; Nieven, N;
Gustafson, K; Branch, R.M; dan van den Akker, J (eds). Design Approaches and Tools in Education and
Training.
Joyce,
London:
B
dan
Weil,
Kluwer
M.
1992.
Models
Academic
of
Teaching.
Publisher.
London:
Prentice-Hall,
Inc.
Kemp, J.E. 1994. Proses Perancangan Pengajaran. Terjemahan oleh Asril Marjohan. Judul Asli The
Instructional
Design
Process.
Bandung:
Penerbit
ITB.
Khabibah, S. 2005. Pengembangan Model Pembelajaran Open-Ended untuk Meningkatkan Kreativitas Siswa
Sekolah
Dasar.
Disertasi.
Tidak
dipublikasikan.
Surabaya:
Program
Pascasarjana
UNESA.
Lithner, K. 2000. Mathematical Reasoning in Task Solving. Educational Studies in Mathematics 41: 165 190,
2000.
Netherlands:
Kluwer
Academic
Publisher.
24
Agustus
2006.
Marpaung, Y. 2003. Pembelajaran Matematika Secara Bermakna. Disampaikan pada Seminar di SMPN-3
Karanganyar.
Marpaung, Y. 2003. Perubahan Paradigma Pembelajaran Matematika di Sekolah. Makalah disajikan dalam
Seminar Nasional Pendidikan Matematika di Universitas Sanata Darma. Tanggal 27-28 Maret 2003.
Yogyakarta:
Universitas
Sanata
Darma.
Maslowski, R dan Visscher, A 1999. The Potential of Formative Evaluation in Program Design Models. Dalam
Plomp, T; Nieven, N; Gustafson, K; Branch, R.M; dan van den Akker, J (eds). Design Approaches and Tools in
Education
and
Matlin,
M.W.
Training.
1998.
London:
Cognition.
New
Kluwer
York:
Academic
Harcout
Brace
Publisher.
College
Publishers.
Miyazaki, M. 2000. Levels of Proof in Lower Secondary School Mathematics. Educational Studies in
Mathematics
41:
47
68,
2000.
Netherlands:
Kluwer
Academic
Publisher.
24
Agustus
2006.
Dameus, A. Tilley, D.S, Brant, M. 2004. Teaching Methods in Learning Agricultural Economics: A Case Study 1.
NACTA
Journal.
Sept
2004.
NCTM. 2000. Principle and Standard for School Mathematics. Reston: The National Council of Teacher
Mathematics,
Inc.
Nieveen, K. 1999. Prototyping to Reach Product Quality . Dalam Plomp, T; Nieveen, N; Gustafson, K; Branch,
R.M; dan van den Akker, J (eds). Design Approaches and Tools in Education and Training. London: Kluwer
Academic
Publisher.
Parke C.S, Lane S, Silver E.A, dan Magone M.E. (2003). Using Assesment to Improve Midlle-Grades
Mathematics Teaching & Learning. Reston: The National Council of Teacher Mathematics, Inc.
Prince, J.P. Felder, M.F. 2006. Inducitive Teaching and Learning Methods: Definitions, Comparations, and
Research
Bases.
J.
Engr.
Education,
95(2),
123138
(2006).30.
Plomp, T. 1997. Educational Design: Introduction. From Tjeerd Plomp (eds). Educational & Training System
Design: Introduction. Design of Education and Training (in Dutch). Utrecht (the Netherlands): Lemma.
Netherland.
Polya,
Faculty
G.
of
1973.
Educational
How
To
Science
Solve
and
It.
Technology,
Princeton:
University
Princeton
of
Twente.
University
Press.
Ratumanan, T.G. 2003. Pengembangan Model Pembelajaran Interaktif dengan Setting Kooperatif (Model PISK)
dan Pengaruhnya Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa SLTP di Kota Ambon. Disertasi. Tidak
dipublikasikan.
Slavin,
R.E.
Surabaya:
2000.
Program
Educational
Psychology:
Theory
Pascasarjana
and
Practice.
Boston:
UNESA.
Allyn
&
Bacon.
Sadijah, Ch. 2006. Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Beracuan Konstruktivisme untuk Siswa
SMP.
Disertasi.
Soedjadi,
R.
Tidak
2003.
dipublikasikan.
Pemanfaatan
Realitas
Surabaya:
dan
Program
Lingkungan
dalam
Pasca
Sarjana
Pembelajaran
UNESA.
Matematika.
Soedjadi, R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia: Konstatasi Keadaan Masa Kini Menuju Harapan
Masa
Depan.
Jakarta:
Depdiknas.
Soedjadi, R. 2000b. Rancangan Pembelajaran Nilai dalam Matematika Sekolah. Makalah Disajikan dalam
Seminar Nasional Matematika, Pengajaran dan Problematikanya Memasuki Milenium III, di FMIPA UNNES
Semarang,
Solso,
12
R.L.
1995.
Cognitive
Agustus
Psychology.
Boston:
2000.
Allyn
and
Baccon.
Steffe, L.P. 1996. Intersubyectivity in Mathematics Learning: A Challenge to the Radical Constructivist
Paradigm? A Replay to Lerman [1]. http: S13a. math.aca.mmu.ac.uk/. Download: 5 Juni 2000.
Stiff, L.V; Johnson, J.L; dan Johnson, M.R. 1993. Cognitive Issues In Mathematics Education. Patricia S.
Wilson (Ed.), Research Ideas For The Classroom: High School Mathematics (halaman 3 20). New York:
Macmillan
Publishing
Company.
Suharta, I.G.P. 2004. Pembelajaran Pecahan di Sekolah Dasar dengan Menggunakan Pendekatan Matematika
Realistik.
Disertasi.
Tidak
dipublikasikan.
Surabaya:
Program
Pascasarjana
UNESA.
Suwarsono. 1999. Problematika Pendidikan Matematika di Indonesia. Tulisan dimaksudkan sebagai sebuah
pengantar untuk matakuliah Penelitian Lanjut pada Program S3 Pendidikan Matematika, Universitas Negeri
Surabaya,
September
1999.
Recio, A.M dan Godino, J.D. 2002. Institutional and Personal Meanings of Mathematical Proof. Educational
Studies
Mathemathics
48:
83
99.
Netherlands:
Kluwer
Academic
Publisher.
Taylor, L. 1993. Vygotskian Influence in Mathematics Education, with Particular Reference to Attitude
Development. Focus on Learning Problems in Mathematics. Spring & Summer Edition. Volume 15, Numbers 2
&
3.
(halaman
3-16).
Center
for
Teaching/Learning
of
Mathematics.
Von Glaserfeld, E. 2006. An Exposition of Constructivism: Why Some Like it Radical. Internet on line.
Massachusetts:
Scientific
Reasoning
Research
InstituteUniversity
of
Massachusetts
http://rochmad-unnes.blogspot.com/2008/01/penggunaan-pola-pikir-induktif-deduktif.html
a.
1)
2)
3)
4)
Istilah pendekatan merujuk kepada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang
sifatnya masih sangat umum. Oleh karena itu metode pembelajaran yang digunakan dapat
bersumber atau tergantung dari pendekatan tertentu.
Menurut Wahjoedi (1999:121) bahwa, Pendekatan pembelajaran adalah cara mengelola
kegiatan belajar dan perilaku siswa agar ia dapat aktif melakukan tugas belajar sehingga dapat
memperoleh hasil belajar secara optimal.
Berdasarkan pengertian tentang pendekatan pembelajaran tersebut dapat disimpulkan
bahwa, pendekatan pembelajaran merupakan cara kerja yang mempunyai sistem untuk
memudahkan pelaksanaan proses pembelajaran dan membelajarkan siswa guna membantu dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Pendekatan induktif
Pendekatan induktif pada awalnya dikemukakan oleh filosof Inggris Perancis Bacon yang
menghendaki agar penarikan kesimpulan didasarkan pada fakta-fakta yang konkrit sebanyak
mungkin, sistem ini dipandang sebagai sistem yang paling baik pada abad pertengahan yaitu cara
induktif disebut juga sebagai dogmatif artinya bersifat mempercayai bagitu saja tanpa diteliti
secara rasional. Pada dasarnya berpikir induktif ialah suatu proses dalam berpikir yang
berlangsung dari khusus menuju ke yang umum.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Sagala (2010:77) yang mengatakan bahwa Dalam
konteks pembelajaran pendekatan induktif adalah pendekatan pengajaran yang bermula dengan
menyajikan sejumlah keadaan khusus kemudian dapat disimpulkan menjadi suatu prinsip atau
aturan.
Sedangkan menurut Yamin (2008:89) menyatakan bahwa:
Pendekatan induktif dimulai dengan pemberian kasus, fakta, contoh, atau sebab yang
mencerminkan suatu konsep atau prinsip. Kemudian siswa dibimbing untuk berusaha keras
mensintesiskan, menemukan, atau menyimpulkan prinsip dasar dari pelajaran tersebut.
Mengajar dengan pendekatan induktif adalah cara mengajar dengan cara penyajian kepada
siswa dari suatu contoh yang spesifik untuk kemudian dapat disimpulkan menjadi suatu aturan
prinsip atau fakta yang pasti.
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pendekatan induktif adalah
pendekatan pengajaran yang berawal dengan menyajikan sejumlah keadaan khusus kemudian
dapat disimpulkan menjadi suatu kesimpulan, prinsip atau aturan
Menurut Yamin (2008:90) pendekatan induktif tepat digunakan manakala:
Siswa telah mengenal atau telah mempunyai pengalaman yang berhubungan dengan mata
pelajaran tersebut,
Yang diajarkan berupa keterampilan komunikasi antara pribadi, sikap, pemecahan, dan
pengambilan keputusan,
Pengajar mempunyai keterampilan fleksibel, terampil mengajukan pertanyaan terampil
mengulang pertanyaan, dan sabar,
Waktu yang tersedia cukup panjang.
1)
2)
3)
4)
b. Pendekatan Deduktif
Pembelajaran dengan pendekatan deduktif terkadang sering disebut pembelajaran
tradisional yaitu guru memulai dengan teori-teori dan meningkat ke penerapan teori. Dalam
bidang ilmu sains dijumpai upaya mencoba pembelajaran dan topik baru yang menyajikan
kerangka pengetahuan, menyajikan teori-teori dan rumus dengan sedikit memperhatikan
pengetahuan utama siswa, dan kurang atau tidak mengkaitkan dengan pengalaman mereka.
Pembelajaran dengan pendekatan deduktif menekankan pada guru mentransfer informasi atau
pengetahuan.
Menurut Setyosari (2010:7) menyatakan bahwa Berpikir deduktif merupakan proses
berfikir yang didasarkan pada pernyataan-pernyataan yang bersifat umum ke hal-hal yang
bersifat khusus dengan menggunakan logika tertentu.
Hal serupa dijelaskan oleh Sagala (2010:76) yang menyatakan bahwa:
Pendekatan deduktif adalah proses penalaran yang bermula dari keadaaan umum kekeadaan yang
khusus sebagai pendekatan pengajaran yang bermula dengan menyajikan aturan, prinsip umum
diikuti dengan contoh-contoh khusus atau penerapan aturan, prinsip umum itu kedalam keadaan
khusus.
Sedangkan menurut Yamin (2008:89) menyatakan bahwa Pendekatan deduktif merupakan
pemberian penjelasan tentang prinsip-prinsip isi pelajaran, kemudian dijelaskan dalam bentuk
penerapannya atau contoh-contohnya dalam situasi tertentu.
Dalam pendekatan deduktif menjelaskan hal yang berbentuk teoritis kebentuk realitas atau
menjelaskan hal-hal yang bersifat umum ke yang bersifat khusus. Disini guru menjelaskan teoriteori yang telah ditemukan para ahli, kemudian menjabarkan kenyataan yang terjadi atau
mengambil contoh-contoh.
Dari penjelasan beberapa teori dapat diambil kesimpulan bahwa pendekatan deduktif
adalah cara berfikir dari hal yang bersifat umum ke hal-hal yang bersifat khusus.
Menurut Yamin (2008:89) pendekatan deduktif dapat dipergunakan bila:
1) Siswa belum mengenal pengetahuan yang sedang dipelajari,
2) Isi pelajaran meliputi terminologi, teknis dan bidang yang kurang membutuhkan proses berfikir
kritis,
3) Pengajaran mengenai pelajaran tersebut mempunyai persiapan yang baik dan pembicaraan yang
baik,
4) Waktu yang tersedia sedikit.
1)
2)
3)
4)
A. Pendekatan Induktif-Deduktif
Menurut Suriasumantri (2001: 48), Induktif merupakan cara berpikir di mana ditarik suatu kesimpulan yang
bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual.
Contoh :
Kambing mempunyai mata, gajah mempunyai mata, kerbau mempunyai mata, dan harimau mempunyai mata. Dari
kenyataan-kenyataan ini, kita dapat menarik kesimpulan yang bersifat umum, yaitu semua binatang yang berkaki
empat mempunyai mata.
Selanjutnya menurut Suriasumantri (2001: 49), Penalaran deduktif adalah kegiatan berpikir yang sebaliknya dari
penalaran induktif. Deduktif adalah cara berpikir di mana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik suatu
kesimpulan yang bersifat khusus.
Contoh :
Semua manusia akan mati.
Si Polan adalah manusia.
Jadi Si Polan akan mati.
Salah satu karakteristik matematika adalah bersifat deduktif. Dalam pembelajaran matematika, pola pikir deduktif
itu penting dan merupakan salah satu tujuan yang bersifat formal, yang memberi tekanan pada penataan nalar.
Meskipun pola pikir deduktif itu sangat penting, namun dalam pembelajaran matematika masih sangat diperlukan
penggunaan pola pikir induktif. Menurut Soedjadi
Penyajian matematika perlu dimulai dari contoh-contoh, yaitu hal-hal yang khusus, selanjutnya secara bertahap
menuju kepada pembentukan suatu kesimpulan yang bersifat umum. Kesimpulan itu dapat berupa definisi atau
teorema. Selanjutnya menurut Soedjadi (2000: 46), Bila kondisi kelas memungkinkan, kebenaran teorema dapat
dibuktikan secara deduktif. Namun jika pembuktian
dipandang berat, pola pikir deduktif dapat diperkenalkan melalui penggunaan definisi ataupun teorema.
Hudoyo (2001) mengatakan bahwa pendekatan induktif berproses dari hal-hal yang bersifat konkret ke
yang bersifat abstrak, dari contoh khusus ke rumus umum. Setelah para siswa memahami dan menangkap suatu
konsep berdasarkan sejumlah contoh konkret, mereka kemudian sampai kepada generalisasi. Kebaikan pendekatan
ini adalah siswa mempunyai kesempatan aktif di dalam menemukan suatu formula sehingga siswa terlibat dalam
mengobservasi, berpikir dan bereksperimen. Sedangkan kelemahannya adalah formula yang diperoleh dari cara
induktif belum lengkap ditinjau dari sudut matematika. Selain itu, pendekatan ini banyak menggunakan waktu.
Pendekatan deduktif merupakan kebalikan dari pendekatan induktif. Pendekatan ini berproses dari umum ke
khusus, dari teorema ke contoh-contoh. Teorema diberikan kepada siswa dan guru membuktikan. Selanjutnya siswa
diminta untuk menyelesaikan soal-soal yang relevan dengan teorema yang diberikan. Kebaikan pendekatan ini
pembelajaran berjalan efisien. Sedangkan kelemahannya, siswa pasif dan siswa akan merasakan sulit dalam
memahami 12 teorema dan konsep yang abstrak.Untuk mengeliminasi kelemahan-kelemahan dari masing-masing
pendekatan tersebut, tampaknya gabungan dari pendekatan induktif-deduktif layak untuk digunakan dalam
pembelajaran matematika.
Struktur pembelajaran matematika yang menggunakan pendekatan induktif-deduktif hampir sama dengan
pembelajaran bersiklus pada IPA. Pengertian pendekatan, metode mengajar, dan tehnik mengajar telah dijelaskan
oleh Ruseffendi (1988). Pendekatan adalah cara menyajikan bahan pelajaran kepada siswa, metode mengajar
adalah cara menyampaikan bahan ajar kepada siswa yang berlaku untuk setiap pelajaran, sedangkan tehnik
mengajar adalah cara mengajar yang memerlukan keahlian khusus.
Karli (2003) mengatakan bahwa pendekatan ini terdiri dari empat tahap kegiatan, yaitu tahap pendahuluan,
tahap eksplorasi, tahap pembentukan konsep, dan tahap penerapan konsep. Selain itu, Dewanto (2003) mengatakan
bahwa dalam pembelajaran dengan pendekatan induktif-deduktif dimulai dengan pemberian masalah divergen,
kontektual, dan open ended kepada siswa, dengan harapan siswa dapat menyelesaikan masalah sendiri, mencari
bentuk umum atau model matematikanya, dan dapat menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan model tersebut.
Pemberian masalah hendaknya diikuti dengan beberapa pertanyaan yang akan menuntun siswa mencari
penyelesainnya. Apabila siswa mengalami kesulitan, gunakan tehnik probing atau posing, atau diskusi dalam
kelompok, hendaknya siswa diberi petunjuk tidak langsung untuk mencari penyelesaiannya.
Selanjutnya, masing-masing tahap dari pendekatan induktif-deduktif yang
digunakan pada penelitian ini diuraikan secara lengkap sebagai berikut :
Tahap Pendahuluan : Terdapat dua kegiatan yang harus dilakukan pada tahap pendahuluan, yaitu
kegiatan revisi/apersepsi dan kegiatan motivasi. Yang dimaksud dengan kegiatan revisi/apersepsi adalah
kegiatan mengingatkan dan memperbaiki pengetahuan bekal siswa mengenai pelajaran terdahulu yang berkaitan
dengan pelajaran yang akan diberikan. Menurut Sudjana (1991 : 18), Kegiatan yang dilakukan pada tahap
pendahuluan adalah menumbuhkan motivasi, mengkondisikan siswa terhadap apa yang harus dikuasainya setelah
berakhir kegiatan belajar mengajar, dan mengkondisikan kesiapan siswa belajar hal yang baru. Kedua kegiatan ini
biasanya dilakukan dengan menggunakan metode tanya- jawab.
Tahap Eksplorasi :
Pada tahap ini, konsep disajikan dengan memberikan contoh dan bukan contoh dari konsep itu. Siswa harus
membuat abstraksi dari suatu konsep. Pengertian abstraksi dikemukakan oleh Ruseffendi (1988: 266), Abstraksi
adalah pemahaman melalui pengamatan tentang sifat-sifat bersama yang dimiliki dan sifat-sifat yang tidak. Siswa
aktif mengobservasi, mencatat, mengkomunikasikan, membuat definisi atau menemukan konjektur. Menurut Hudoyo
(1981: 3), Konsep yang
didefinisikan tidak diberikan dalam bentuk final. Siswa harus mencoba merumuskan definisi tersebut dengan
bahasanya sendiri. Sebelum teorema dibuktif secara deduktif terlebih dahulu disajikan secara induktif. Contoh
penyajian sifat penjumlahan dari dua buah bilangan ganjil pada tahap eksplorasi :
14
1 + 3 = 4, 1 adalah bilangan ........., 3 adalah bilangan ........ , 4 adalah bilangan ........
3 + 5 = 8, 3 adalah bilangan ........., 5 adalah bilangan ........., 8 adalah bilangan ........
5 + 7 = 12, 5 adalah bilangan ......., 7 adalah bilangan ........., 12 adalah bilangan ......
Bilangan ganjil ditambah dengan bilangan ganjil adalah bilangan ............................
Contoh penyajian konsep KPK pada tahap eksplorasi :
1. Himpunan kelipatan dari 2 adalah ........................................................................
Himpunan kelipatan dari 3 adalah ........................................................................
Himpunan kelipatan persekutuan dari 2 dan 3 adalah ..........................................
Kelipatan persekutuan terkecil dari 2 dan 3 adalah ..............................................
2. Himpunan kelipatan dari 5 adalah .........................................................................
Himpunan kelipatan dari 6 adalah .........................................................................
Himpunan kelipatan persekutuan dari 5 dan 6 adalah ..........................................
Kelipatan persekutuan terkecil dari 5 dan 6 adalah ..............................................
3. Himpunan kelipatan dari 4 adalah .........................................................................
Himpunan kelipatan dari 5 adalah .........................................................................
Himpunan kelipatan persekutuan dari 4 dan 5 adalah ...........................................
Kelipatan persekutuan terkecil dari 4 dan 5 adalah ...............................................
Misalkan a dan b bilangan asli. Kelipatan persekutuan terkecil dari a dan b
adalah ...................................................................................................................
Tahap Pembentukan Konsep :
Pada tahap ini, guru mendorong terhadap siswa untuk menemukan definisi secara tepat dan menemukan bukti
konjektur yang diperoleh pada tahap eksplorasi. Pembuktian dilaksanakan secara deduktif.
Langkah-langkah penyajian konsep bilangan prima pada tahap eksplorasi dan pembentukan konsep dicontohkan
dalam lembar kerja siswa yang dibuat oleh Hudoyo (2001). Langkah pertama siswa mengisi pernyataan-pernyataan
yang belum lengkap dan siswa mengamati kelompok bilangan prima dan bukan bilangan prima, langkah kedua siswa
mengelompokkan beberapa bilangan prima dan bukan bilangan prima dari bilangan-bilangan yang diberikan,
langkah ketiga siswa menganalisis beberapa pernyataan yang berkaitan dengan definisi bilangan prima, langkah
keempat siswa membuat definisi dengan menggunakan bahasanya sendiri. Uraian dari keempat langkah-langkah
tersebut adalah sebagai berikut.
Langkah pertama :
Isilah kalimat yang belum lengkap sehingga menjadi pernyataan yang benar.
Bilangan 1 hanya memuat . faktor.
Bilangan 2 mempunyai dua faktor, yaitu dan ..
Bilangan 4 mempunyai . faktor, yaitu ..
Bilangan 5 mempunyai ..faktor, yaitu ...
Bilangan 9 mempunyai .. faktor, yaitu ..
Bilangan 2 dan 5 adalah bilangan prima, sedangkan bilangan 1, 4, dan 9 bukan
bilangan prima.
Langkah kedua :
Pilih dari bilangan-bilangan 3, 6, 7, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20
yang merupakan bilangan prima.
Langkah ketiga :
Pilih pernyataan yang paling tepat dari pernyataan-pernyatan berikut ini.
(a). Suatu bilangan prima adalah suatu bilangan bulat yang tepat mempunyai dua
faktor.
(b). Suatu bilangan prima adalah suatu bilangan bulat yang hanya dapat dibagi oleh
1 dan bilangan itu sendiri.
(c). Suatu bilangan prima adalah sembarang bilangan bulat lebih besar dari 1 yang faktor-faktornya adalah 1 dan
bilangan itu sendiri.
(d). Suatu bilangan prima adalah suatu bilangan dimana kita tidak dapat memperolehnya dengan mengalikan dua
bilangan lain bersama-sama, kecuali menggunakan bilangan 1 dan bilangan itu sendiri.
Langkah keempat :
Siswa membuat definisi bilangan prima dengan menggunakan bahasanya sendiri. Misalnya, bilangan prima adalah
bilangan cacah yang faktor-faktornya 1 dan bilangan itu sendiri.
Selanjutnya, langkah-langkah penyajian rumus jumlah pangkat tiga n bilangan asli yang pertama dicontohkan pula
dalam lembar kerja siswa yang dibuat oleh Hudoyo (2001). Langkah pertama siswa mengamati dan mencoba
menentukan beberapa jumlah suku-suku yang berurutan dimulai dari suku yang pertama, langkah kedua siswa
menentukan konjektur jumlah pangkat tiga n bilangan asli yang pertama, langkah ketiga siswa membuktikan
konjektur yang telah diperolehnya.
Tentukan rumus jumlah n suku pertama dari deret berikut :
13 + 23 + 33 + ...
Langkah pertama :
17
Isilah kalimat yang belum lengkap sehingga menjadi pernyataan yang benar.
13
= 1 =
4 1 (1) (4)
13 + 23
= 9 =
4 1 (4) (9)
13 + 23 + 33
= .
13 + 23 + 33 + 43
= .
Langkah kedua :
Berdasarkan pada langkah pertama, maka 13 + 23 + 33 + 43 + + n3 =
......................................................................................................................................
Langkah ketiga :
Buktikan pernyataan yang kamu peroleh pada langkah kedua dengan
menggunakan induksi matematik.
Ruseffendi (1988) menjelaskan pengertian dari bagian-bagian pada masingmasing dimensi struktur intelek Guilford sebagai berikut :
(1). Pengamatan (kognisi) adalah kemampuan menemukan, mengenal, dan mengerti macam bentuk informasi.
(2). Ingatan adalah kemampuan mengenal kembali informasi-informasi yang telah diberikan sebelumnya dan
digunakan untuk menjawab suatu persoalan tertentu.
(3). Berpikir konvergen adalah kemampuan memberikan jawaban tunggal yang benar berdasarkan informasiinformasi yang diberikan.
(4). Berpikir divergen adalah kemampuan memberikan berbagai macam kemungkinan jawaban benar berdasarkan
informasi-informasi yang diberikan.
(5). Evaluasi adalah kemampuan membuat pertimbangan kebenaran dari suatu pernyataan berdasarkan tolok
ukur yang telah ditetapkan.
(6). Figural adalah konten yang berkenaan dengan bentuk seperti lingkaran, segitiga, kubus dan sebagainya.
(7). Simbolik adalah konten yang berkenaan representasi benda nyata atau abstrak yang berupa angka,
huruf, tanda-tanda, lambang-lambang dan sebagainya.
(8). Semantik adalah konten yang berkenaan dengan idea atau kata yang menimbulkan pengertian verbal bila
ide atau kata itu sampai pada pikiran manusia.
(9). Behavioral adalah konten yang berkenaan dengan penampilan perbuatan sebagai akibat dari tindakan orang
lain.
(10). Unit adalah respon tunggal seperti simbul, gambar, kata, pikiran.
(11). Kelas adalah kumpulan dari unit-unit yang memiliki unsur-unsur persamaan.
(12). Hubungan adalah keterkaitan antara unit-unit dengan kelas-kelas.
(13). Sistem adalah susunan terorganisasi dari unit-unit dan kelas-kelas.
(14). Transformasi adalah perubahan susunan,organisasi, atau makna.
(15). Implikasi adalah kesimpulan yang berupa perkiraan sebagai akibat dari
interaksi antara unit, kelas, relasi, sistem, dan transformasi. \
http://skripsi-tarbiyahpai.blogspot.com/2014/09/kajian-pendekatan-induktif-deduktif.html
c) Aplikasi
d) Penutup
Kelebihan :
a) Cara yang mudah untuk menyampaikan isi pelajaran.
b) Pendekatan ini sesuai untuk digunakan dalam proses belajar mengajar, guru
memberikan
penerangan sebelum memulai pengajaran dan pembelajaran.
Pendekatan deduktif adalah pembelajaran yang dimulai dengan memberikan sesuatu
yang bersifat umum, kemudian peserta didik diminta memberikan contoh-contoh yang
sesuai dengan pernyataan semula. Pembelajaran akan sangat mudah diingat oleh siswa
jika disertai dengan contoh-contoh konkrit yang dapat dialami dalam kehidupan seharihari. Pembelajaran akan efektif jika disesuaikan dengan lingkungan siswa dalam
kesehariannya sehingga mudah dipahami. Pendekatan deduktif ( deductive approach )
adalah pendekatan yang menggunakan logika untuk menarik kesimpulan ( conclusion )
berdasarkan seperangkat premis yang diberikan. Metode deduktif sering digambarkan
sebagai pengambilan kesimpulan dari sesuatu yang umum ke sesuatu yang khusus
( going from the general to the specific ). Dari uraian di atas, penulis dapat
menyimpulkan bahwapendekatan deduktif adalah suatu pendekatan dengan cara
menarik kesimpulan dari hal yang dari bersifat umum ke khusus yang diperoleh dari
suatu pengamatan maupun pengalaman.
AT, BT
AB
AO, BO
TO
: tinggi kerucut
Penyelesaian :
Premis mayor
kerucut.
Premis minor
Kesimpulan
Keterangan
Premis mayor
: L = rs + r = r(s + r)
Premis minor
: d = 12 cm dan t = 8 cm.
Kesimpulan
= r(s + r)
= 3,14. 6 cm ( 6 cm + 10 cm )
= 3,14. 6 cm. 16 cm
= 301,44 cm
Premis mayor
Premis minor
Kesimpulan
Keterangan
Premis mayor
: xr x t
Premis minor
: d = 14 cm dan t = 8 cm.
Kesimpulan
= x (7 cm) x 8 cm
2
= x 49 cm x 8 cm
2
= 410,67 cm
Model berfikir induktif dirancang dan dikembangkan oleh Hilda Toba dengan tujuan
untuk mendorong para siswa untuk menemukan dan mengorganisasikan informasi,
menciptakan nama suatu konsep dan menjajaki berbagai cara yang dapat menjadikan
para siswa lebih terampil dalam menyingkap dan mengorganisasikan informasi dan
dalam melakukan pengetesan hipotesis yang melukiskan antar hal. Pada pendekatan
induktif dimulai dengan memberikan bermacam-macam contoh. Dari contoh-contoh
tersebut siswa mengerti keteraturan dan kemudian mengambil keputusan yang bersifat
umum. Pendekatan induktif adalah suatu strategi yang direncanakan untuk membantu
siswa mengembangkan kemampuan berfikir tingkat tinggi dan kreatif melalui observasi,
membandingkan, penemuan pola, dan menggeneralisasikannya. Guru biasanya
menciptakan suasana aktif belajar dengan mendorong siswa mengadakan pengamatan
dan memfokuskan pengamatan melalui pertanyaan-pertanyaan. Pada pendekatan
induktif ini seorang siswa harus lebih aktif. Biasanya pembelajaran dilakukan dengan
cara eksperimen, diskusi, dan demonstrasi. Metode ini sering disebut sebagai sebuah
pendekatan pengambilan keputusan dari khusus menjadi umum ( going from specific to
the general ).
Pendekatan induktif melibatkan aktivitas mengumpulkan dan menafsirkan maklumatmaklumat, kemudian membuat generalisasi atau kesimpulannya. Pada permulaan
pengajaran, guru akan memberikan beberapa contoh yang khusus tetapi mengandung
satu prinsip yang sama. Berdasarkan ada contoh-contoh yang diberikan, siswa
dibimbing berpikir, mengkaji, mengenal pasti dan menafsirkan maklumat yang
terkandung dalam contoh-contoh khusus itu, kemudian membuat generalisasi atau
kesimpulan yang berkenaan. Kaedah induktif yang berlandaskan pendekatannya,
merupakan salah satu kaedah mengajar yang sesuai digunakan dalam pengajaran
berbagai mata pelajaran, khususnya matematika, sains dan bahasa. Jenis pendekatan
induktif :
a) Membentuk satu generalisasi daripada contoh-contoh tertentu. Misalnya mencari
sisi segitiga yang sama dari berbagai segitiga.
b) Membentuk satu prinsip dari uji kajian tertentu. Misalnya mendapat prinsip
gravitasi dari uji kajian benda-benda dijatuhkan dari atas ke bawah.
c) Membentuk satu hukum dari pernyataan-pernyataan tertentu. Misalnya mendapat
hukum
tata bahasa dari membuat analisa terhadap struktur ayat-ayat bahasa.
d) Mendapat satu teori dari urutan suatu pemikiran. Misalnya memperhatikan
tingkah laku manusia untuk mendapatkan satu teori pembelajaran.
Prinsip-prinsip penggunaan strategi pengajaran dengan pendekatan induktif :
Sebuah kerucut berdiameter 12 cm. Jika tingginya 8 cm dan = 3,14. Hitunglah luas
permukaan kerucut !
Penyelesaian :
Diketahui
: d = 12 cm berarti r = 6 cm
t = 8 cm
Ditanya
Jawab
s == = = 10 cm
L
= r(s + r)
= 3,14. 6 cm ( 6 cm + 10 cm )
= 3,14. 6 cm. 16 cm
= 301,44 cm
1.
Sebuah kerucut jari-jari alasnya 10 cm. Jika panjang garis pelukisnya 26 cm dan = 3,14.
Hitunglah luas permukaan kerucut!
Penyelesaian :
Diketahui
: r = 10 cm
s = 26 cm
Ditanya
Jawab
t == = = 24 cm
= r(s + r)
= 3,14. 10 cm ( 26 cm + 10 cm )
= 3,14. 10 cm. 36 cm
= 1130,4 cm
Dari kedua contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa luas permukaan kerucut adalah
jumlah luas selimut dan luas alas kerucut.
Penyelesaian :
Diketahui
: d = 14 cm berarti r = 7 cm
t = 8 cm
Ditanya
: Volume Kerucut
Jawab
Volume Kerucut
= x (7 cm) x 8 cm
2
= x 49 cm x 8 cm
2
= 410,67 cm
1.
Sebuah kerucut memiliki tinggi 30 cm dan keliling alasnya 66 cm. Jika diketahui = ,
tentukan volume kerucut tersebut.
Penyelesaian :
Diketahui
: Keliling alas = 66 cm
t = 30 cm
Ditanya
: Volume Kerucut
Jawab
Keliling alas
=2
66 cm
=2x xr
66 cm
= xr
r
= 66 cm x = 10,5 cm
Volume Kerucut
= x (10,5 cm) x 8 cm
2
= x 110,25 cm x 8 cm
2
= 924 cm
Dari kedua contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa volume kerucut adalah dari
volume tabung (volume tabung = r x t).
2
https://ekorubiyanto84.wordpress.com/2013/01/18/pendekatan-deduktif-dan-induktifmatematika/
Euis Setiawati
Balai Diklat Keagamaan Bandung
Jl. Soekarno Hatta No. 716 Bandung
umi2miqdadr@yahoo.co.id
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pendekatan yang dilakukan oleh orang-orang yang terlibat dalam
pendidikan matematika dan di luar matematika mengenai pembelajaran matematika untuk mengembangkan
penalaran deduktif. Metode yang digunakan adalah kajian pada jurnal dan daftar pustaka yang mendukung.
Hasil kajian menggambarkan bahwa pembelajaran matematika dapat mengembangkan kemampuan
penalaran deduktif, dan berlaku sebaliknya bahwa penalaran deduktif dapat mengembangkan kemampuan
pemecahan masalah baik dalam matematis maupun situasi lain yang lebih nyata.
Key Word: penalaran deduktif, pembelajaran matematis
Abstract
This study aims to look at the approach taken by those involved in mathematics education and mathematics
beyond the mathematics learning to develop deductive reasoning. The method used is a study in the journal
references and supportive. The results of the study illustrate that the learning of mathematics can develop
deductive reasoning skills, and apply instead that deductive reasoning can develop good problem solving skills
in mathematical and other, more real situation
Key Word: penalaran deduktif, pembelajaran matematis
Pendahuluan
Kurikulum pendidikan matematika yang diberlakukan di dunia seperti NCTM, 2000, dan Kurikulum Authority,
2006 mengemukakan bahwa tujuan pembelajaran matematika secara umum adalah untuk mengembangkan
penalaran deduktif. Dengan demikian penelitian ini bertujuan untuk memeriksa pendekatan apa yang dilakukan
oleh orangorang yang terlibat dalam pendidikan matematika dan di luar pendidikan matematika dilihat dari
logika yang diberikan mengenai pembelajaran matematika yang dapat mengembangkan penalaran deduktif
secara umum.
Berikut ini adalah tinjauan singkat literatur tentang penalaran deduktif secara umum dalam matematika, dan
diluar matematika dan peran pembelajaran yang bagaimana yang dapat mengembangkan penalaran deduktif.
Penalaran Deduktif
Ada berbagai macam pemikiran tentang penalaran, diantaranya
kesimpulan, dan deduksi (Johnson-Laird & Byrne, 1991). Penalaran Deduktif adalah unik karena merupakan
proses pengambilan kesimpulan dari informasi yang diketahui (disebut premis) berdasarkan aturan logika
formal, di mana kesimpulan tersebut harus berasal dari informasi yang diberikan dan tidak memerlukan validasi
melalui sebuah eksperimen.
Mempertahankan argument deduktif yang valid, memiliki pengertian bahwa jika premis benar, maka
kesimpulan juga harus benar. Contoh secara umum bentuk inferensi deduktif adalah silogisme, yang terdiri
dari dua premis dan kesimpulan. Sebagai contoh, Semua A adalah B; Beberapa C adalah A; Dengan demikian
kesimpulannya adalah beberapa C adalah B. Tak peduli apa yang kita substitusikan untuk pernyataan A, B,
dan C, hasilnya merupakan deduksi yang valid. Dengan demikian, argumen berikut ini berlaku: Semua jenis
musik menyenangkan; punk adalah jenis musik, maka kesimpulannya punk adalah menyenangkan. Jelas,
tidak semua orang akan setuju dengan kesimpulan ini, tetapi bentuk argumen dalam kasus ini adalah valid dan
sah karena premisnya benar dan kesimpulan yang diambil secara benar juga.
Penalaran Deduktif Dalam Matematika
Penalaran Deduktif dalam matematika memiliki arti yang signifikant karena penalaran deduktif sering
digunakan sebagai sinonim untuk mathematical thinking, terutama oleh para praktisi di sekolah. Secara formal
deduktif dalam matematika dimulai dengan sesuatu yang tidak didefinisikan, yang disebut dengan istilah
undefined, dan beberapa pernyataan yang tak perlu pembuktian yang disebut dengan aksioma atau postulat.
Pernyataan matematis yang lain misalnya teorema dideduksi dengan menggunakan aturan-aturan dari logika
formal, membentuk rantai deduksi.
Pendekatan formalis yang murni yaitu pernyataan yang undefined (tak terdefinisi) merupakan suatu pernyataan
yang tidak memiliki nilai benar atau salah, sehingga tidak memerlukan pembuktian. Eksplorasi pada
pernyataan yang undefined tidak dapat terjadi. Pernyataan yang tak terdefinisi dan aksioma senantiasa
dihubungkan dengan dunia yang memandang bahwa pernyataan tersebut sudah benar dan sesuai dengan
kenyatannya. (Davis & Hersh, 1981).
Penalaran Deduktif merupakan dasar dalam matematika untuk membuktikan kebenaran dari ide-ide, dan
merekam ide-ide dalam matematika.
Namun hal tersebut pada umumnya baru dapat diterima dalam beberapa tahun kemudian, Adapun konjektur,
eksplorasi dan mencipta objek matematika baru merupakan hal yang jarang dilakukan dalam penalaran
deduktif. Sebaliknya Konjektur , eksplorasi dan menciptakan kreasi objek baru dalam matematika diperoleh
secara induktif. (Eves, 1972; Lakatos, 1976; Polya, 1954), sama halnya dengan cara ilmu tersebut
dikembangkan.
Penalaran Deduktif di Luar Matematika
Sejak dari awal para filosof Yunani dan para ilmuwan menganggap bahwa penalaran deduktif merupakan
bentuk penalaran tertinggi dari penalaran manusia (Glantz, 1989; Luria, 1976). Namun, penalaran deduktif
memainkan peran yang berbeda terhadap ilmu pengetahuan daripada dalam matematika.
Berbeda dengan matematika modern, ilmu pengetahuan berusaha untuk menjelaskan dunia nyata. Proses
ilmiah didasarkan sebagian besar pada penalaran induktif Dalam mengembangkan sebuah hipotesis harus
berdasarkan pada pengamatan secara empiris untuk menjelaskan "kebenaran" atau "Fakta" tentang dunia kita
(Freudenthal, 1977; Popper, 1968).
Proses ini memiliki karakteristik yang sama dengan cara penggunaan konjektur dalam matematika dan sering
kali dikembangkan untuk membutikan kebenarannya melalui pemberian konjektur lain yang berbeda. Hipotesis
Ilmiah tidak seperti konjektur dalam matematika, yang dapat mendukung- tidak terbukti secara deduktif.
Meskipun demikian, deduksi merupakan perangkat yang penting dalam ilmu pengetahuan untuk menyangkal
sebuah hipotesis dan juga memainkan peran utama dalam memprediksi dan menjelaskan fenomena ilmiah
(Freudenthal, 1977).
Jadi, masuk akal jika ilmu pengetahuan lain menyebutkan penalaran, dan bukan penalaran deduktif, seperti
hukum dan ekonomi (Polya, 1954). Banyak hal yang menyatakan bahwa kegiatan sehari-hari bahkan lebih
jauh dari penalaran deduktif (Duval, 2002, Krummheuer, 1995; Toulmin, 1969).
Dalam kehidupan sehari-hari klaim seseorang tidak didukung melalui urutan penalaran deduktif melainkan
melalui cara meyakinkannya. Tidak melihat apakah hal tersebut absah, hanya dengan meyakinkan seseorang
bahwa hal tersebut masuk akal untuk mendukung pernyataan mereka maka itu sudah cukup.
Dengan demikian, substansi dari sebuah argumen menurut Toulmin, 1969 tidak harus kaku secara deduktif
formal, akan tetapi dukungan terhadap pernyataan atau pembuatan keputusan lebih sering termotivasi
berdasarkan kebutuhan atau keyakinan. (Perelman & Olbrechts-Tyteca, 1969).
Mengembangkan Penalaran Deduktif Melalui Pembelajaran Matematika
Esensi dari penalaran deduktif dalam matematika, di satu sisi, dan pertanyakan bagaimana penggunaan
penalaran deduktif di bidang lain, meningkatkan beberapa isu yang berkaitan dengan pendidikan
matematika. Salah satunya bahwa penalaran deduktif berkembang melalui pembelajaran matematika.
Memang pada dasarnya kurikulum, buku pelajaran dan buku pedoman guru di banyak negara
mengemukakan bahwa pembelajaran matematika dapat membantu siswa dalam mengembangkan
kemampuan berfikir logis, dan salah satu tujuan dari pembelajaran matematika adalah untuk
mengembangkan penalaran deduktif. Sebagai contoh Kualifikasi dan Kurikulum Authority (2006)
menyatakan: "Matematika membantu siswa dengan kekuatan yang unik sebagai alat untuk memahami dan
mengubah dunia. Alat-alat ini meliputi penalaran logis, kemampuan memecahkan masalah, dan kemampuan
untuk berpikir secara abstrak.
Pendapat serupa dikemukakan oleh beberapa peneliti misalnya, Clements & Battista, 1992; Morris &
Sloutsky, 1998. Sebagai contoh, Polya (1954, hal v) menulis: "Semua orang tahu bahwa matematika
menawarkan kesempatan yang baik dalam belajar yang menggambarkan penalaran". Namun, Polya sendiri
menggambarkan bahwa penalaran harus sesuai dengan situasi dari kehidupan yang nyata Sesuatu yang
baru yang kita pelajari di dunia ini akan melibatkan penalaran, dan jenis penalaran harus sesuai dengan
kehidupan sehari-hari.
Kemudian ia melanjutkan secara umum orang yang tidak terlibat secara langsung dalam bidang matematika
atau mahasiswa harus dapat menggunakan dan menggambarkan penalarannya meskipun hanya sedikit, pada
saat ia harus menunjukkan bukti bahwa ia tidak terlibat dari segala tuduhan yang ditujukan kepadanya (hal.
vi). Pertanyaannya kemudian yang diangkat dari penelitian ini adalah sejauh mana perkembangan penalaran
deduktif menjadi bagian dari pendidikan matematika?
Studi ini meminta pendapat dari orang-orang yang terlibat dalam pendidikan matematika dan melihat alasan
yang logis mengenai hubungan antara pembelajaran matematika dan pengembangan penalaran deduktif
secara umum.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Hasil kajian dari beberapa jurnal dan pustaka dalam studi ini berpendapat bahwa pembelajaran matematika
dapat mengembangkan penalaran deduktif secara umum. Mereka juga menunjukkan bahwa pengembangan
deduktif harus menjadi salah satu tujuan pendidikan matematika. Misalnya dari satu hal yang diwawancarai
mengenai pertanyaan bagaimana pendapatnya tentang penalaran deduktif merupakan salah satu tujuan dalam
pendidikan matematika, menjawab:
Pada akhirnya tujuan instruksional dalam pembelajaran matematika memiliki dua tujuan utama. Satu untuk
melatih orang-orang yang akan menggunakan matematika, dan kedua melatih orang-orang yang nantinya tidak
akan menggunakan matematika. Adapun dalam hal penalaran deduktif, mengembangkan penalaran deduktif
adalah tujuan yang sangat penting. Ini merupakan peran yang seharusnya ada dalam pembelajaran
matematika.
Beberapa pertanyaan muncul berkaitan dengan: seberapa besar kemungkinan bahwa belajar matematika akan
memberikan kontribusi untuk pengembangan penalaran seperti itu?; Apa yang mereka maksudkan ketika
mengklaim bahwa meningkatkan penalaran deduktif siswa merupakan salah satu tujuan instruksional
matematika?; dan apa pendekatan mereka mengenai penalaran deduktif dalam matematika dan di luar
matematika ?
Hasil analisis menggambarkan, bahwa penalaran deduktif adalah proses di mana seseorang mengembangkan
solusi untuk masalah tertentu yang sistematis, secara langkah-demi-langkah. Setiap langkah dari proses ini
berdasarkan langkah sebelumnya, dan mengarah pada langkah berikutnya. Namun, tidak ada indikasi yang
baku yang diberikan dari hal tersebut. Peneliti hanya memberikan pertimbangan berdasarkan aturan logika
baik secara matematika dan di luar-matematika menggunakan prinsip-prinsip berpikir sistematis, selangkah
demi selangkah.
Pembelajaran
matematika
memberikan
kontribusi
untuk
peningkatkan
penalaran
deduktif
melalui
pengembangan kebiasaan berpikir sistematis. Peneliti juga memberikan pernyataan bahwa perkembangan
berfikir sistematis dilihat dari segi stuktur sistematis dan metode langkah demi langkah yang terjadi baik dilihat
dari segi matematika maupun segi metode dalam penyelesaian suatu permasalahan. Mereka menyatakan pula
bahwa perkembangan struktur sistematis dalam penalaran deduktif terjadi secara spontan sebagai akibat dari
melakukan matematika (doing math).
Melakukan matematika memberikan pengalaman terhadap siswa dalam mengembangkan kemampuan
penalaran deduktifnya. Sebagai contoh ketika seorang yang diwawancara ditanya apakah dengan belajar
matematika dapat meningkatkan penalaran deduktif. Dia menjawab:
Saya berpikir bahwa matematika meningkatkan penalaran deduktif, dan saya berpikir bahwa ini adalah salah
satu dari tujuan utama matematikaaku tahu bahwa pada umumnya, seperti yang saya katakan, ketika
mengajar siswa untuk berpikir secara logis akan memberikan alat kepada siswa agar dapat berfikir dan
memiliki keinginan yang terorganisasi dan sistematis ... Hanya dari belajar matematika, berpikir logika nya
dapat berkembang di bidang lain dalam kehidupan sehari-hari. Tapi aku tidak ingin ketika mengajar, di setiap
teorema baru atau di setiap formula baru aku mengajar siswa, senantiasa bertanya pada diri sendiri apa jenis
alat yang sistematis yang dapat diberikan kepada siswa ... aku tidak dapat mengambil setiap hal dan
menyaring pemikiran tersebut pada saat ketika pembelajaran berlangsung, karena itu terjadi secara sendirinya.
Pertanyaan berikutnya adalah yang berhubungan dengan penalaran deduktif sebagai suatu tindakan inferensi
atau validasi yang menggunakan aturan logika formal. Fokus sebelumnya menjelaskan penalaran deduktif
sebagai suatu hal yang bersifat sistematis, langkah-demi-langkah dalam setiap prosesnya, sedangkan pada
fokus yang kedua dipusatkan pada karakteristik transisi atau perpindahan antara satu langkah ke langkah
berikutnya. Mereka memfokuskan diri pada logika inti dalam mengambil sebuah kesimpulan, divalidasi menurut
aturan logis. Selain itu, penalaran deduktif sebagai sarana dalam memecahkan suatu masalah tertentu,
sedangkan pada kajian lain sebagai sarana membangun dan memvalidasi sebuah argumen.
Aturan logika yang digunakan dalam matematika yaitu aturan-aturan formal sebuah inferensi juga digunakan di
luar matematika, misalnya, ketika mencoba untuk memahami Apakah hak asuransi atas diri seseorang harus
sesuai dengan tingkat harga yang berbeda. Yang diwawancarai memberikan klaim bahwa jawaban yang akan
diberikan terhadap pertanyaan tersebut akan dipengaruhi oleh penalaran deduktifnya dan jawaban berbeda
akan diberikan pula oleh orang yang berada di luar matematika. Dengan demikian orang-orang akan berlaku
lain, biasanya ada yang 'lebih lembut' aturan-aturan inferensi, di samping yang ketat.
Dua pendapat berbeda mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penalaran ditemukan di antara yang
diwawancarai dari orang yang berkecimpung di luar matematika yang: berbicara tentang kondisi eksternal,
seperti ketidakpastian dan kompleksitas fenomena di alam dan masyarakat. Kelompok lain penjelasannya di
pengaruh oleh kondisi distractive internal seperti emosi dan keyakinan.
Fokus kajian kedua menyatakan bahwa pembelajaran matematika dapat mengembangkan kebiasaan
berargumentasi (tidak perlu secara deduktif). Matematika, mereka klaim, karena memiliki sifat validasi tertentu,
memungkinkan paparan pembenarannya secara deduktif dan validasinya tertentu juga. Selain itu, karena
matematika relatif abstrak, terlepas dari realitas alam, dapat memberikan siswa dengan kesempatan untuk
belajar dan menerapkan validasi logis, tanpa distractive pengaruh prasangka dan keyakinan yang ada dalam
hidupnya. Sebagai contoh, menekankan pada pengertian dari bukti atau pemberian pernyataan fungsi yang
berbeda (misalnya, diberikan informasi, harus didukung dengan klaimnya), dapat berkontribusi pada
peningkatan keterampilan argumentasi siswa, dan berlaku juga ketika di luar konteks matematika. Beberapa
contoh hasil wawancara, jawaban diberikan seringkali tidak secara deduktif, hanya dilihat dari keyakinan dan
pengetahuan dalam kehidupan, atau secara kritis diperiksa berdasarkan rasionalitas klaim yang diberikan.
Temuan lain menggambarkan bahwa pembelajaran matematika agar dapat memberikan kontribusi dalam
pengembangan keterampilan argumentatif. Beberapa pendapat menyatakan bahwa dalam mengajarkan
matematika cara yang dapat meningkatkan keterampilan argumentative, logika harus diperkenalkan sebagai
unit terpisah studi dalam matematika. Saran lain adalah dengan menguranginya terus menerus, dan disini ada
kebutuhan secara eksplisit terhadap prinsip-prinsip praktik mengajar dan deduksi sebagai satu kesatuan,
bagian dari pelajaran matematika, dalam berbagai situasi dan masalah.
Kerlibatan deduktif dalam matematika, pada saat guru yang menekankan pada hubungan deduktif dengan
kesalahan logis, dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menyusun sebuah kesimpulan, Sebagi contoh
ketika seseorang memberikan argument tentang sesuatu yang senang dilakukannya, maka argument yang
diberikan tidak bersifat deduktif, hanya bersifat lebih masuk akal berdasarkan kebutuhan dalam kehidupannya
Deduktif adalah suatu tindakan inferensi penalaran atau validasi dengan menggunakan aturan logika. Namun,
mereka berpendapat pula bahwa di luar konteks matematika, kita tidak atau bahkan tidak dapat menggunakan
aturan logika formal yang ada dalam matematika. Salah satu alasannya adalah karena esensi berpikir dalam
matematika sama sekali berbeda. Lainnya menjelaskan bahwa dalam kehidupan sehari-hari argument yang
diberikan, berlawanan dengan matematika, salah satu dapat saja memiliki kesesuaian menggunakan argument
dengan aturan logika. Beberapa juga berpendapat bahwa argument seseorang pada suatu kesempatan dapat
saja menggunakan aturan logika karena ada norma-norma argumentatif yang spesifik. Menurut norma-norma
ini, logika dari sebuah argumen salah satunya untuk membangun kondisi lain yang diperlukan untuk
memahami sesuatu maupun untuk menerima argumen.
Responden dari kelompok ini percaya bahwa pembelajaran matematika dapat mempengaruhi penalaran
deduktif siswa secara umum. Namun, mereka kesulitan untuk menunjukkan bagaimana cara yang tepat. Selain
itu, menurut mereka, jika dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan keterampilan deduktif, maka
akan sulit untuk dicapai, karena tuntutan saat ini dalam sistem pendidikan, terutama pada waktu ujian. Sebagai
contoh, seorang yang diwawancara ditanya apakah belajar matematika dapat meningkatkan penalaran
deduktif.
Dia
menjawab:
Bukan, tidak mungkin untuk mengajarkan penalaran deduktif melalui matematika. Aku percaya bahwa
matematika memiliki pengaruh pada pemikiran ini. Aku hanya tidak tahu apa pengaruhnya, dan tidak tahu pula
bagaimana hal itu bisa dilakukan. Dan bahkan jika kita anggap bahwa adalah mungkin untuk melakukan hal
tersebut terjadi itu akan berlaku bukan pada system pendidikan sekarang ... Bagaimana kita dapat mengajar
dan belajar berpikir logika jika menghadapi tekanan dari ujian matrikulasi?
Kesimpulan
Penalaran deduktif merupakan salah satu kompetensi yang harus ada dalam tujuan pembelajarn matematika.
Penalaran deduktif dalam matematika merupakan sebuah proses berfikir yang sistematis yang berlangsung
langkah demi langkah mulai dari penggunaan sebuah undefined, postulat atau aksioma sampai pada premis
yang memerlukan pembuktian. Perkembangan penalaran dalam matematika dapat terjadi secara induktif
sesuai dengan realita kehidupan yang ada. Pelaran deduktif dapat berkembang dalam pembelajaran
matematika. Adapun untuk pembelajaran matematika yang bagaimana yang dapat mengembangkan
kemampuan penalaran perlu kajian lebih jauh, dan ini merupakan hal akan dikaji oleh penulis.
Daftar Pustaka
Ayalon, M. & Even, R.: 2006, 'Deductive reasoning: Different conceptions and approaches', In J.
Novotn?, H. Moraov?, M. Kr?tk?, and N. Stehilkov? (Eds.), Proceedings 30th Conference of the
International Group for the Psychology of Mathematics Education, Vol. 2 (pp. 89-96). Prague:PME.
Balacheff, N.: 1999, Is argumentation an obstacle? Invitation to a debate...,International newsletter on
the
teaching
and
learning
of
mathematical
proof.
(May/June
1999).
Retrieved
from: http://www.lettredelapreuve.it/Newsletter/990506Theme/990506ThemeUK.html
Clements, D. H., and Battista, M. T.: 1992, 'Geometry and spatial reasoning', in D A. Grouws
(Ed.), Handbook of research on mathematics teaching and learning (pp. 420-464). New York:
Macmillan.
Davis, P. J. and Hersh, R.: 1981, The mathematical experience. Boston: Birkhuser.
Duval, R.: 2002, 'Proof understanding in mathematics', Proceedings of 2002 International Conference
on Mathematics: Understanding proving and proving to understand (pp. 23-44). National Taiwan
Normal University. Retrieved from: Eves, H.: 1972, A survey of geometry. Boston: Allyn and Bacon.
Freudenthal, G.: 1977, Philosophy of science (Units 1-4). Tel-Aviv: Open University (in Hebrew).
Glantz, I.: 1989, Thinking in three-directional functioning. Tel Aviv: Cherikover (in Hebrew).
Glaser, B. G. and Strauss, A. L.: 1967, The discovery of grounded theory: Strategies for qualitative
research. New York: Aldine.
Johnson-Laird, P. N.: 1999, Deductive reasoning. Annual Review of Psychology, 50, 109-135.
Retrieved from:http://arjournals.annualreviews.org/doi/abs/10.1146/annurev.psych.50.1.109
Johnson-Laird, P. N. and Byrne, R. M. J.: 1991, Deduction. Hillsdale, NJ: Erlbaum.Krummheuer, G.:
1995, 'The ethnography of argumentation', in P. Cobb, & H. Bauersfeld (Eds.), The emergence of
mathematical meaning: Interaction in classroom cultures (pp. 229-269). Hillsdale, NJ: Erlbaum.
http://bdkbandung.kemenag.go.id/jurnal/173-penalaran-deduktif-dalam-pembelajaranmatematika
ABSTRAK
Berpikir induktif dan deduktif merupakan bagian yang sangat penting dalam pembelajaran matematika. Keterampilan dalam
mengembangkan kemampuan siswa dalam berpikir induktif dan deduktif perlu dimiliki oleh guru sekolah dasar. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui sejauh mana keterampilan peserta dilat peningkatan kompetensi guru sekolah dasar mata pelajaran
matematika dalam mengembangkan kemampuan berpikir induktif dan deduktif. Populasi penelitian adalah peserta diklat
peningkatan kompetensi guru sekolah dasar mata pelajaran matematika dengan sampel sebanyak 8 orang. Lembar observasi
digunakan untuk memperoleh data keterampilan guru dalam mengembangkan kemampuan berpikir induktif dan deduktif.
Pengamatan dilakukan ketika peserta melaksanakan kegiatan microteaching. Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui sejauh
mana keterampilan peserta diklat dalam mengembangkan kemampuan berpikir induktif dan deduktif. Dari hasil analisis dapat
disimpulkan bahwa keterampilan peserta diklat peningkatan kompetensi guru Sekolah Dasar mata pelajaran matematika dalam
mengembangkan kemampuan berpikir induktif dan deduktif masih belum memuaskan. Rerata nilai keterampilan dalam
mengembangkan kemampuan berpikir induktif adalah 56 (skala 0 100). Nilai yang dicapai untuk keterampilan mengembangkan
kemampuan berpikir induktif adalah 54, sedangkan nilai yang dicapai untuk indikator keterampilan mengembangkan kemampuan
berpikir deduktif adalah 57. Berdasarkan hasil penelitian, disarankan bahwa perlu diberikan penyegaran atau pelatihan bagi para
guru untuk meningkatkan keterampilannya dalam mengembangkan kemampuan berpikir induktif dan deduktif. Selain itu, perlu
dilakukan penelitian dengan cakupan penelitian yang lebih luas dengan memperluas subyek penelitian atau dapat juga dilakukan
penelitian yang melibatkan variabel-variabel lain yang menyangkut kompetensi guru Sekolah Dasar dalam pembelajaran
matematika.
proses atau suatu aktivitas berpikir untuk menarik suatu kesimpulan atau membuat suatu pernyataan baru yang bersifat umum
(general) berdasar pada beberapa pernyataan khusus yang diketahui benar. Dalam proses berpikir deduktif, suatu rumus, teorema,
atau dalil telah dibuktikan dengan menggunakan atau melibatkan teori maupun rumus matematika sebelumnya yang sudah
dibuktikan kebenarannya secara deduktif juga. Agar dapat mengantarkan siswa mencapai kemampuan bernalar guru harus secara
efektif mampu mengembangkan cara berpikir induktif dan deduktif dalam pembelajaran matematika. Menurut Marshall dan Sorto
(2012), guru yang efektif dapat memberikan dampak yang besar pada pembelajaran matematika
Kemampuan untuk mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan penalaran secara logis dan kritis, dan memiliki
kemampuan untuk mengembangkan keterampilan dalam memecahkan masalah merupakan salah satu kompetensi yang dituntut
dalam Standar Kompetensi Guru Sekolah Dasar (Depdiknas, 2003). Agar mempunyai kemampuan tersebut, guru harus memiliki
keterampilan dalam mengembangkan kemampuan bernalar dan memecahkan masalah dengan baik.
Namun demikian, kondisi di lapangan saat ini menunjukkan, bahwa kompetensi guru belum merata dan bervariasi pada semua
jenjang dan tingkat sekolah, sehingga tingkat efektivitas dan ketercapaian tujuan proses pembelajaran siswa bervariasi pula (LPMP
Jawa Tengah, 2005). Masih terdapat banyak guru yang kurang menguasai materi pembelajaran serta metode dan pendekatan
pembelajaran (Suryanto dalam Winarno, 2002).
Penelitian yang berhubungan dengan kompetensi guru dalam pembelajaran matematika, antara lain telah telah dilakukan oleh
Sukirman (2003) dan Roosilawati (2005). Sukirman (2003) melaporkan bahwa ketrampilan para guru matematika Madrasah
Tsanawiyah dalam memecahkan persoalan matematika sangat rendah, sedangkan Roosilawati (2005) telah menunjukkan
rendahnya pemahaman hakekat anak didik dan teori pembelajaran matematika para guru sekolah dasar. Hal ini tentu saja akan
berpengaruh pada proses pembelajaran.
Guru Sekolah Dasar pada umumnya adalah guru kelas yang berkewajiban untuk mengajarkan semua mata pelajaran kepada
siswanya (Dinas P dan K Jawa Tengah, 2003). Sesuai dengan kompetensi penguasaan akademik, guru SD yang profesional harus
menguasai semua mata pelajaran yang hendak diajarkan di kelasnya masing-masing. Seorang guru SD sedikitnya harus
menguasai pelajaran matematika, IPA, IPS, Bahasa Indonesia dan pelajaran lainnya. Dalam jenjang pendidikan di sekolah dasar,
sifat kebergantungan siswa sekolah dasar terhadap guru cukup tinggi (Paulus, 2004).
Sebagaimana telah diuraikan di atas, pembelajaran matematika di sekolah dasar dapat dikatakan menghadapi permasalahan
seperti hasil belajar yang belum memuaskan. Hasil belajar yang belum memuaskan tersebut dimungkinkan bersumber pada diri
siswa sendiri, akan tetapi juga dimungkinkan dari kinerja guru (Sobari, 2005). Oleh karena itu, penelitian ini dimaksudkan untuk
mengungkapkan beberapa aspek kinerja guru sekolah dasar, yang berkenaan dengan keterampilan guru Sekolah Dasar dalam
mengembangkan kemampuan berpikir induktif dan deduktif dalam pembelajaran matematika. Sebagai subyek penelitian ini adalah
guru-guru peserta program peningkatan kompetensi guru sekolah dasar mata pelajaran matematika yang diselenggarakan di
Lemba Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Tengah.
1.
Berpikir induktif dan deduktif merupakan bagian yang sangat penting dalam proses pembelajaran matematika. Oleh karena itu, guru
matematika dituntut untuk mempunyai keterampilan dalam mengembangkan kemampuan berpikir induktif dan deduktif dalam
pembelajaran matematika. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkapkan keterampilan peserta program Pendidkan dan Latihan
Peningkatan Kompetensi Guru Sekolah Dasar Mata Pelajaran Matematika yang diselenggarakan di LPMP Jawa Tengah, khususnya
yang berkaitan dengan kemampuan guru dalam mengembangkan cara berpikir induktif dan deduktif dalam pembelajaran
matematika.
Dari latar belakang yang diungkapkan di atas dapat dijabarkan rumusan masalah yang akan diuji
berdasarkan data yang diperoleh. Dalam penelitian ini akan diselidiki permasalahan:
Bagaimana keterampilan peserta program peningkatan kompetensi guru Sekolah Dasar mata pelajaran matematika
dalam mengembangkan kemampuan berpikir induktif dan deduktif ?
1.
Jarak tempuh sepeda motor selama tiga jam dengan kecepatan 20 km/jam.
2.
3.
yang telah diketahui, dapat disimpulkan atau pun dibuat pernyataan lain bahwa
atau
Pada dasarnya, penalaran merupakan suatu kegiatan, suatu proses atau suatu aktivitas berpikir untuk menarik
kesimpulan atau membuat pernyataan baru yang benar berdasarkan pada beberapa pernyataan yang kebenarannya telah
dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya (Tim PPPG Matematika, 2005a, Shadiq, 2006)
Materi matematika dan bernalar dalam matematika merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, yaitu materi matematika
dipahami melalui penalaran, dan penalaran dipahami dan dilatihkan melalui belajar materi matematika (Depdiknas dalam Shadiq,
2006). Krulik dan Rudnick (1995) mengatakan bahwa penalaran akan melibatkan berpikir dasar, berpikir kritis, berpikir kreatif dan
pengingatan. Pola berpikir yang dikembangkan matematika memang membutuhkan dan melibatkan pemikiran kritis, sistematis,
logis dan kreatif. Kemampuan bernalar tidak hanya dibutuhkan para siswa ketika belajar matematika maupun pelajaran lainnya,
namun sangat dibutuhkan setiap manusia di saat memecahkan masalah ataupun di saat menentukan keputusan (Tim PPPG
Matematika, 2005a).
2.3 Berpikir Induktif dan Deduktif
Terdapat dua macam proses berpikir dalam matematika, yaitu berpikir induktif dan deduktif (Tim PPPG Matematika, 2005). Induksi
merupakan suatu kegiatan, suatu proses atau suatu aktivitas berpikir untuk menarik suatu kesimpulan atau membuat suatu
pernyataan baru yang bersifat umum (general) berdasar pada beberapa pernyataan khusus yang diketahui benar. Dalam proses
berpikir deduktif, suatu rumus, teorema, atau dalil telah dibuktikan dengan menggunakan atau melibatkan teori maupun rumus
matematika sebelumnya yang sudah dibuktikan kebenarannya secara deduktif juga. Rumus matematika yang digunakan sebagai
dasar pembuktian itu tadi telah dibuktikan berdasar teori maupun rumus matematika sebelumnya lagi dan seterusnya. Bangunan
matematika disusun dengan pondasi berupa kumpulan pengertian pangkal (unsur pangkal dan relasi pangkal) dan kumpulan sifat
pangkal (aksioma). Aksioma atau sifat pangkal adalah semacam dalil yang kebenarannya tidak perlu lagi dibuktikan namun sangat
menentukan, karena sifat pangkal inilah yang menjadi dasar untuk membuktikan dalil atau teorema sebelumnya. Pengertianpengertian matematika secara berantai didefinisikan dari pengertian sebelumnya. Seperti halnya aksioma yang tidak perlu
dibuktikan kebenarannya karena akan menjadi dasar pembuktian dalil atau sifat berikutnya, maka pengertian pangkal tidak
didefinisikan karena pengertian pangkal akan menjadi dasar pendefinisian pengertian-pengertian atau konsep-konsep matematika
berikutnya. Suatu bangunan matematik akan runtuh jika terdapat sifat, dalil, atau teorema yang diturunkan dari aksioma serta
pengertian pangkalnya ada yang saling bertentangan (kontradiksi). Penalaran deduktif merupakan suatu cara penarikan kesimpulan
dari pernyataan atau fakta-fakta yang dianggap benar dengan menggunakan logika (Shadiq, 2006).
Dalam berpikir induktif terdapat kelemahan, yaitu suatu teori yang bernilai benar pada suatu saat dapat bernilai salah pada tahuntahun atau dekade-dekade berikutnya jika ditemukan suatu contoh sangkalan (counter example) (Shadiq, 2006). Dengan kata lain,
pernyataan atau kesimpulan yang didapat dari berpikir induktif masih mungkin bernilai salah. Oleh karena itu, dalam matematika,
kesimpulan yang diperoleh dari proses berpikir induktif masih disebut dengan dugaan (conjecture). Dugaan tersebut akan
dikukuhkan menjadi suatu teorema jika sudah dapat dibuktikan kebenarannya secara deduktif. Jadi kebenaran ilmu pengetahuan
adalah "post-theory", sedangkan kebenaran matematika adalah "apriori" (Shadiq, 2006).
Untuk menjelaskan perbedaan antara berpikir induktif dan deduktif diberikan contoh berikut ini.
"Tunjukkan bahwa jumlah besar sudut-sudut suatu segitiga adalah 180o".
Untuk menunjukkan kebenaran pernyataan tersebut dapat dilakukan berdasarkan proses berikipr induktif dan berpikir deduktif.
(1) Berpikir induktif
Untuk menunjukkan jumlah besar sudut-sudut suatu segitiga adalah 180o secara induksi dapat dilakukan dengan:
a. Membuat beberapa model segitiga sembarang (misalnya dari kertas)
b. Menggunting sudut-sudut masing-masing segitiga tersebut
c. Mengimpitkannya seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Model untuk membuktikan jumlah sudut pada sebuah segitiga
Contoh di atas menunjukkan bahwa jika ketiga sudut pada satu segitiga diimpitkan akan membentuk satu sudut yang besarnya
180o.
(2) Berpikir deduktif
Untuk membuktikan bahwa 180o merupakan jumlah besar sudut-sudut suatu segitiga adalah dengan menggunakan penalaran
deduktif yang proses pembuktiannya akan melibatkan teori atau rumus matematika lainnya yang sebelumnya sudah dibuktikan
kebenarannya secara deduktif juga, yaitu: "Jika dua garis sejajar dipotong garis lain, maka sudut-sudut dalam berseberangannya
adalah sama", seperti ditunjukkan pada Gambar 2.2
Gambar 2.2 Sudut-sudut berseberangan jika dua garis sejajar dipotong oleh sebuah garis
karena garis m dan n merupakan dua garis sejajar dan dipotong garis ke tiga, sehingga sudut-sudut dalam berseberangannya akan
sama besar, yaitu
Pada segitiga ABC dalam Gambar 2.2, melalui titik C telah dibuat garis m yang sejajar dengan garis n, sehingga sudut-sudut
berseberangannya akan sama besar, yaitu :
Gambar 2.3 Garis m yang ditarik dari titik C yang sejajar dengan garis n
pada segi tiga ABC
Dari contoh di atas dapat ditunjukkan bahwa pada berpikir deduktif, suatu rumus, teorema atau dalil tentang jumlah besar sudutsudut suatu segitiga adalah 180 o telah dibuktikan dengan menggunakan atau melibatkan teori maupun rumus matematika
sebelumnya yang sudah dibuktikan kebenarannya secara deduktif juga. Teori maupun rumus yang digunakan sebagai dasar
pembuktian rumus tersebut telah dibuktikan berdasar teori maupun rumus matematika sebelumnya lagi. Demikian seterusnya. Di
samping itu, pembuktian tentang jumlah besar sudut-sudut suatu segitiga adalah 180 o telah melibatkan atau menggunakan definisi
yang sudah ditetapkan sebelumnya seperti pengertian sudut lurus besarnya 180 o. Proses tersebut dapat digambarkan dengan
diagram seperti pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Diagram yang menunjukkan penalaran deduktif besar sudut dalam suatu segitiga
Diagram tersebut menunjukkan bahwa dalam matematika "benar" atau "nalar" berarti konsisten. Diagram di atas juga menujukkan
bahwa bangunan matematika telah disusun dengan dasar pondasi berupa kumpulan pangkal (unsur pangkal atau relasi pangkal)
dan kumpulan sifat pangkal (aksioma).
keterampilan dalam memecahkan masalah. Menurut Standar Kompetensi Guru Sekolah Dasar, kompetensi tersebut dapat dilihat
dari beberapa indikator, antara lain: (1) memberi contoh cara berpikir induktif, dan (2) memberi contoh cara berpikir deduktif.
Dengan kata lain, seorang guru Sekolah Dasar harus secara efektif mampu mengembangkan cara berpikir induktif dan deduktif
dalam pembelajaran matematika. Hal ini sesuai dengan pendapat Marshall dan Sorto (2012), bahwa guru yang efektif dapat
memberikan dampak yang besar pada pembelajaran matematika.
III. METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian
Penelitian yang dilakukan termasuk ke dalam penelitian deskriptif (penelitian survei). Dalam penelitian akan dideskripsikan
keterampilan peserta program peningkatan kompetensi guru Sekolah Dasar mata pelajaran matematika dalam mengembangkan
kemampuan berpikir induktif dan deduktif. Penelitian dilakukan dengan metode observasi dalam kegiatan pembelajaran mikro
(microteaching) yang diselenggarakan dalam rangka Diklat Peningkatan Kompetensi Guru SD Mata Pelajaran Matematika yang
diselenggarakan di LPMP Provinsi Jawa Tengah.
Rerata skor dan nilai hasil observasi keterampilan perserta diklat peningkatan kompetensi guru sekolah dasar dalam
mengembangkan kemampuan berpikir induktif dan deduktif secara terperinci dari berbagai aspek pengamatan masing-masing
ditunjukkan pada Tabel 4.2 dan Tabel 4.3. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa skor rerata pada masing-masing aspek yang
diamati untuk indikator keterampilan mengembangkan kemampuan berpikir induktif adalah 2,63 (nilai 53), sedangkan skor rerata
pada masing-masing aspek yang diamati untuk indikator kemampuan mengembangkan kemampuan berpikir deduktif adalah 2,98
(nilai 52,8).
4.2 Pembahasan
Hasil observasi terhadap keterampilan peserta diklat peningkatan kompetensi guru Sekolah Dasar mata pelajaran matematika
dalam mengembangkan kemampuan induktif dan deduktif diperoleh bukti bahwa tidak ada satu pun responden yang memperoleh
skor maksimum untuk semua aspek pengamatan. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa responden hanya mencapai
nilai rerata 56 (dari skala 1 100) untuk kedua indikator pengamatan. Dalam penelitian terungkap bahwa hanya dua orang
responden yang memperoleh nilai total > 60 dengan nilai tertinggi 67 dan terendah 36. Untuk indikator kemampuan
mengembangkan cara berpikir induktif diperoleh bahwa responden hanya mencapai nilai 54. Untuk indikator kemampuan
mengembangkan kemampuan cara berpikir deduktif, responden juga hanya mencapai nilai 57.
Data hasil observasi terhadap masing-masing aspek yeng diamati diperoleh rerata nilai sebesar 52,8 untuk indikator kemampuan
guru dalam mengembangkan cara berpikir induktif dan 59,7 untuk indikator kemampuan guru dalam mengembangkan kemampuan
cara berpikir deduktif. Namun demikian, jika diamati secara terperinci tampak bahwa responden memperoleh nilai rerata 77 pada
aspek kemampuan dalam meminta siswa untuk menyebutkan teorema atau dalil untuk indikator kemampuan mengembangkan cara
berpikir deduktif (aspek ke-4). Hal ini menunjukkan bahwa guru mempunyai kemampuan cukup baik dalam aspek tersebut.
Rendahnya nilai yang diperoleh untuk masing-masing aspek pengamatan menunjukkan bahwa dalam proses pembelajaran secara
umum peserta diklat tidak terampil dalam mengembangkan kemampuan induktif dan deduktif dalam pembelajaran matematika.
Rendahnya keterampilan guru dalam mengembangkan kemampuan berpikir induktif dan deduktif dapat mengakibatkan
pembelajaran menjadi tidak efektif. Menurut Dune dan Wragg sebagaimana dikutip oleh Sumarwan (2003), bahwa keefektifan guru
dalam pembelajaran mencerminkan mutu profesionalnya, yang dapat dilihat dari kemampuannya mengelola kelas dan mengajar
secara efektif yaitu mampu membelajarkan siswa sehingga mereka menguasai bahan ajar yang diberikan sesuai kurikulum.
Menurut Marshall dan Sorto (2012), guru yang efektif dapat memberikan dampak yang besar pada pembelajaran matematika
Kemampuan berpikir induktif dan deduktif merupakan indikator dalam kemampuan bernalar dalam pembelajaran matematika.
Keterampilan guru dalam mengembangkan kemampuan bernalar dan memecahkan masalah matematika siswa sekolah dasar
merupakan salah satu aspek kompentensi profesional. Kemampuan profesional guru mempunyai sumbangan yang signifikan
terhadap kemampuan mengajarnya (Paulus, 2004). Hasil penelitian Sumarwan (2003) menyatakan bahwa terdapat hubungan positif
antara faktor guru dengan keefektifan pembelajaran. Menurut Beswick (2011), keyakinan guru tentang sifat matematika
mempengaruhi cara mengajarnya. Kemampuan atau keterampilan guru merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses
dan hasil belajar (Nasution, 1992). Oleh karena itu rendahnya hasil belajar matematika di sekolah dasar diduga berhubungan erat
dengan rendahnya keterampilan guru dalam mengembangkan kemampuan bernalar yang ditunjukkan dengan kemampuan
mengembangkan cara berpikir induktif dan deduktif sebagaimana diperoleh dalam penelitian ini, di samping faktor lain seperti
rendahnya tingkat pemahaman tentang hakekat anak didik dan teori belajar dalam proses pembelajaran matematika (Roosilawati,
2005).
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan peserta Diklat peningkatan Kompetensi Guru Sekolah Dasar Mata Pelajaran
Matematika dalam mengembangkan kemampuan berpikir induktif dan deduktif masih belum memuaskan. Penelitian menunjukkan
bahwa rerata nilai keterampilan dalam mengembangkan kemampuan berpikir induktif adalah 56 (skala 0 100) . Secara terperinci
diperoleh bahwa nilai yang dicapai untuk keterampilan dalam mengembangkan kemampuan berpikir induktif adalah 54, sedangkan
nilai keterampilan dalam mengembangkan kemampuan berpikir deduktif adalah 57.
5.2 Saran
Mengingat rendahnya keterampilan peserta diklat peningkatan kompetensi guru Sekolah Dasar mata pelajaran matematika dalam
mengembangkan kemampuan berpikir induktif dan deduktif, maka kenyataan tersebut perlu memperoleh perhatian dan dicari upaya
untuk meningkatkannya, misalnya dengan memberikan penyegaran atau pelatihan materi pengembangan kemampuan berpikir
induktif dan deduktif. Para guru hendaknya senantiasa meningkatkan keterampilan dan kemampuannya dalam mengembangkan
kemampuan berpikir induktif dan deduktif bagi para siswanya.
Karena cakupan penelitian ini relatif kecil, maka perlu dilakukan penelitian dengan cakupan penelitian yang lebih luas sangat
diharapkan. Penelitian tersebut dapat dilakukan dengan memperluas subyek penelitian atau dapat juga dilakukan penelitian yang
melibatkan variabel-variabel lain yang menyangkut kompetensi guru Sekolah Dasar dalam pembelajaran matematika.
DAFTAR PUSTAKA
Beswick, K., 2011. Teachers' beliefs about school mathematics and mathematicians' mathematics and their relationship to
practice. Educ Stud Math (2012) 79:127147
Depdiknas, 2004. Badan Akreditasi Sekolah Nasional (BASNAS). Badan Akreditasi Sekolah Nasional. 2004.
.
Krulick, S and Rudnick, J.A. 1995. The New Sourcebool For Teaching Reasoning
and Problem Solving in Elementary School. Allyn and Bacon: Boston, London, Toronto, Sydney, Tokyo and Singapore.
Mardapi, D. 2004 Pengembangan Sistem Penilaian Berbasis Kompetensi.Makalah disajikan dalam Seminar Nasional:
Rekayasa Sistem Penilaian Dalam Rangka Meningkatkan Kualitas Pendidikan diselenggarakan olehHimpunan Evaluasi
Pendidikan Indonesia, Yogyakarta 26 27 Maret2004.
Marshall, J.H. and Sorto, M.A., The effects of teacher mathematics knowledge
and pedagogy on student achievement in rural Guatemala. Int Rev Educ (2012) 58:173197
Piter, Y., 2000. Kompetensi G uru Dalam Pengelolaaan Kelas, Buletin Pelangi
Pendidikan, Vol.., 3, No.,1.hlm 14 16.
Pola, G., 2004. Upaya Menciptakan Pengajaran Matematika Yang Menyenangkan. Buletin Pelangi Pendidikan, Vol. 4 No.
2 hlm. 46 50.
Roosilawati, E., 2005. Pemahaman Guru-guru Sekolah Dasar Peserta Diklat Matematika tentang Hekekat Anak Didik dan
Teori Belejar dalam pembelajaran Matematika. Laporan penelitian, LPMP Propinsi Jawa Tengah.
Ruseffendi, 1992. Materi Pokok Pendidikan Matematika 3. Buku I Modul 1-5 Universitas Terbuka.
Sukirman, 2003. Keterampilan Guru Matematika MTsN dalam Menyelesaikan Masalah Matematika, Jurnal Pendidikan
Matematika dan Sains, N0. Th 6. hlm. 1 10.
Sudjana, N., 1995. Penilaian Hasil Proses Belajar-Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Matematika dikenal sebagai ilmu deduktif. Ini berarti proses pengerjaaan matematika harus bersifat deduktif.
Matematika tidak menerima generalisasi berdasarkan pengamatan (induktif), tetapi harus berdasarkan pembuktian
deduktif. Meskipun dedmikian untuk membantu pemikiran, pada tahap permulaan seringkali kita memerlukan
bantuan contoh-contoh khusus atau ilustrasi geometris.
Perlu pula diketahui bahwa baik isi maupun metode mencari kebenaran dalam matematika berbeda dengan
ilmu pengetahuan alam, apalagi dengan ilmu pengetahuan umumnya. Metode mencari kebenaran yang dipakai oleh
matematika adalah ilmu deduktif, sedangkan oleh ilmu pengetahuan alam adalah induktif/eksperimen. Namun dalam
matematika, mencari kebenaran itu bisa dimulai dengan cara induktif, tetapi selanjutnya generalisasi yang benar
untuk sebuah keadaan harus bisa dibuktikan secara deduktif. Dalam matematika, suatu generalisasi, sifat, teori atau
dalil itu belum dapat diterima kebenarannya sebelum dapat dibuktikan secara deduktif.
Matematika mempunyai bahasa dan aturan yang terdefinisi dengan baik, penalaran yang jelas dan sistematik,
dan struktur yang sangat kuat. Dengan berbagai keunggulan ini, matematika digunakan sebagai suatu cara
pendekatan dalam mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi, dan dalam menyelesaikan masalah yang rumit.
Matematika juga merupakan suatu alat bantu yang digunakan oleh para pakar dalam berbagai bidang disiplin ilmu.
Dengan matematika, suatu masalah nyata dapat dilihat dalam suatu model yang strukturnya jelas, tepat, dan
bentuknya kompak (singkat dan padat).
Unsur utama dalam pekerjaan matematika adalah penalaran deduktif, yang bekerja dengan berbagai asumsi,
tidak dengan pengamatan. Selain itu, matematika juga bekerja berdasarkan fakta dan fenomena yang muncul untuk
sampai pada suatu perkiraan tertentu, yang dikenal sebagai penalaran induktif. Tetapi perkiraan yang diperoleh tidak
dapat diterima begitu saja, harus diyakinkan kebenarannya atau dibuktikan secara deduktif dengan argument yang
konsisten dan meyakinkan. Pekerjaan dalam matematika memerlukan kedua penalaran ini, baik induktif maupun
deduktif.
Pembuktian melalui deduksi adalah sebuah jalan pemikiran yang menggunakan argumen-argumen deduktif
untuk beralih dari premis-premis yang ada, yang dianggap benar, kepada kesimpulan-kesimpulan, yang mestinya
benar apabila premis-premisnya benar. Pembuktian yang menggunakan penalaran deduktif biasanya menggunakan
kalimat implikatif yang berupa pernyataan jika , maka . Kemudian, dikembangkan dengan menggunakan pola
pikir yang disebut silogisme, yaitu sebuah argumen yang terdiri atas tiga bagian. Di dalamnya terdapat dua
pernyataan yang benar (premis) yang menjadi dasar dari argument itu, dan sebuah kesimpulan (konklusi) dari
argument tersebut. Di dalam logika, sebagai cabang (inti) matematika yang banyak membahas tentang silogisme
terdapat beberapa aturan yang menyatakan apakah silogisme itu valid (sahih) atau tidak.
Contoh
-Semua
klasik
dari
manusia
penalaran
fana
deduktif,
(pasti
yang
diberikan
akan
oleh
mati).
Aristoteles,
(premis
ialah
mayor)
partikulir
lalu
mengambil
kesimpulan
umum.
Penalaran deduktif dikembangkan oleh Aristoteles, Thales, Pythagoras, dan para filsuf Yunani lainnya dari Periode
Klasik (600-300 SM.). Aristoteles, misalnya, menceritakan bagaimana Thales menggunakan kecakapannya untuk
mendeduksikan bahwa musim panen zaitun pada musim berikutnya akan sangat berlimpah. Karena itu ia membeli
semua alat penggiling zaitun dan memperoleh keuntungan besar ketika panen zaitun yang melimpah itu benar-benar
terjadi. Penalaran deduktif tergantung pada premisnya. Artinya, premis yang salah mungkin akan membawa kita
kepada hasil yang salah, dan premis yang tidak tepat juga akan menghasilkan kesimpulan yang tidak tepat.
Alternatif dari penalaran deduktif adalah penalaran induktif. Perbedaan dasar di antara keduanya dapat
disimpulkan dari dinamika deduktif tengan progresi secara logis dari bukti-bukti umum kepada kebenaran atau
kesimpulan yang khusus; sementara dengan induksi, dinamika logisnya justru sebaliknya. Penalaran induktif dimulai
dengan pengamatan khusus yang diyakini sebagai model yang menunjukkan suatu kebenaran atau prinsip yang
dianggap dapat berlaku secara umum.
Penalaran deduktif memberlakukan prinsip-prinsip umum untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan yang
spesifik, sementara penalaran induktif menguji informasi yang spesifik, yang mungkin berupa banyak potongan
informasi yang spesifik, untuk menarik suatu kesimpulan umu. Dengan memikirakan fenomena bagaimana apel jatuh
dan bagaimana planet-planet bergerak, Isaac Newton menyimpulkan teori daya tarik. Pada abad ke-19, Adams dan
LeVerrier menerapkan teori Newton (prinsip umum) untuk mendeduksikan keberadaan, massa, posisi, dan orbit
Neptunus (kesimpulan-kesimpulan khusus) tentang gangguan (perturbasi) dalam orbit Uranus yang diamati (data
spesifik).
Pembuktian induktif, terkadang disebut logika induktif, adalah proses pembuktian dimana suatu argumen
diduga mendukung kesimpulan tapi tidak bersinambungan dengannya; contoh: mereka tidak menjamin kebenaran
itu. Induksi adalah bentuk pembuktian yang membuat generalisasi berdasarkan pendapat sesorang. Digunakan
untuk menjelaskan properti atau relasi tipe berdasarkan sebuah observasi (contohnya, pada jumlah observasi atau
pengalaman); atau untuk membuat hukum berdasarkan observasi terbatas dalam mempelajari alur fenomena.
induksi ditetapkan, contohnya, dalam menggunakan preposisi spesifik seperti:
Es
ini
dingin.
(atau:
Semua
es
yang
pernah
kusentuh
dingin.)
Bola biliar bergerak ketika didorong tongkat. (atau: Dari seratus bola biliar yang didorong tongkat, semuanya
bergerak.)
Semua es dingin.
untuk
membedakan
preposisi
umum
seperti:
angka
genap.
Perlu diingat bahwa induksi matematika bukanlah bentuk pembuktian induktif. Induksi matematika adalah bentuk dari
pembuktian deduktif.
Kelebihan
dan
Kekurangan
Pembuktian
Induktif
dan
Deduktif
Pada proses induksi atau penalaran induktif akan didapatkan suatu pernyataan baru yang bersifat umum (general)
yang melebihi kasus- kasus khususnya (knowledge expanding), dan inilah yang diidentifikasi sebagai suatu
kelebihan dari induksi jika dibandingkan dengan deduksi. Hal ini pulalah yang menjadi kelemahan deduksi. Pada
penalaran deduktif, kesimpulannya tidak pernah melebihi premisnya. Inilah yang dianggap menjadi kekurangan
pembuktian deduksi.
http://ardianzahnur.blogspot.com/2012/08/penalaran-induktif-dan-deduktif.html
gudang jurnal
http://hendragutama.blogspot.com/2015_04_01_archive.html
Pendekatan Pembelajaran
Pendekatan pembelajaran memiliki arti tentang proses pembelajaran yang masih dalam arti umum yang
didalamnya dapat mewadahi, menguatkan, memberikan inspirasi.
Berikut contoh pendekatan pembelajaran, anda bisa menerapkannya untuk siswa anda seperti :
1.
2.
3.
DEDUKTIF INDUKTIF. Pendekatan Deduktif Induktif yaitu pendekatan yang berbeda namun saling
mendukung.Pendekatan deduktif ditandai dengan penjelasan konsep, definisi, dan istilah-istilah pada bagian awal
pembelajaran.Pendekatan deduktif didasari oleh pemikiran bahwa proses pembelajaran akan berlangsung
dengan baik bila siswa mendapatkan gambaran besar terlebih dahulu. Lalu diikuti dengan pendekatan induktif
yang menggunakan data atau informasi detail untuk membangun konsep atau memberikan pengertian pada
siswa.Dengan pendekatan ini, siswa dapat memahami pelajaran dari gambaran besar hingga spesifik.
Strategi Pembelajaran
Strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan
pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien menurut Kemp (Wina Sanjaya, 2008)
Berikut unsur strategi pembelajaran, anda bisa menerapkannya untuk siswa anda seperti :
1. Menetapkan spesifikasi dan kualifikasi tujuan pembelajaran pada perubahan profil perilaku dan pribadi peserta
didik.
2. Mempertimbangkan dan memilih sistem pendekatan pembelajaran yang dipandang paling efektif.
3. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah atau prosedur, metode dan teknik pembelajaran.
4. Menetapkan norma-norma dan batas minimum ukuran keberhasilan atau kriteria dan ukuran baku keberhasilan.
Macam-macam strategi pembelajaran meliputi:
a) Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah (SPBM),
b) Strategi Pembelajaran Kooperatif (SPK),
c) Stategi Pembelajaran Kontekstual (CTL),
d) Srategi Pembelajaran Afektif,
e) Strategi Pembelajaran Kreatif Produk,
Metode Diskusi
Metode pembelajaran diskusi adalah proses pelibatan dua orang peserta atau lebih untuk berinteraksi saling bertukar
pendapat, dan atau saling mempertahankan pendapat dalam pemecahan masalah sehingga didapatkan
kesepakatan diantara mereka. Pembelajaran yang menggunakan metode diskusi merupakan pembelajaran yang
bersifat interaktif
3.
Metode Demonstrasi
Metode pembelajaran demontrasi merupakan metode pembelajaran yang sangat efektif. Demonstrasi sebagai
metode pembelajaran adalah bilamana seorang guru atau seorang demonstrator (orang luar yang sengaja diminta)
atau seorang siswa memperlihatkan kepada seluruh kelas sesuatau proses. Misalnya bekerjanya suatu alat pencuci
otomatis, cara membuat kue, dan sebagainya.
4.
Metode study tour Study tour (karya wisata) adalah metode mengajar dengan mengajak peserta didik mengunjungi
suatu objek guna memperluas pengetahuan dan selanjutnya peserta didik membuat laporan dan mendiskusikan
serta membukukan hasil kunjungan tersebut dengan didampingi oleh pendidik.
5.
Metode latihan keterampilan (drill method) adalah suatu metode mengajar dengan memberikan pelatihan
keterampilan secara berulang kepada peserta didik, dan mengajaknya langsung ketempat latihan keterampilan untuk
melihat proses tujuan, fungsi, kegunaan dan manfaat sesuatu (misal: membuat tas dari mute). Metode latihan
keterampilan ini bertujuan membentuk kebiasaan atau pola yang otomatis pada peserta didik.
6.
Metode pembelajaran beregu adalah suatu metode mengajar dimana pendidiknya lebih dari satu orang yang masingmasing mempunyai tugas. Biasanya salah seorang pendidik ditunjuk sebagai kordinator. Cara pengujiannya, setiap
pendidik membuat soal, kemudian digabung. Jika ujian lisan maka setiapsiswa yang diuji harus langsung
berhadapan dengan team pendidik tersebut.
Model Pembelajaran
Model pembelajaran diartikan sebagai bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan
secara khas oleh guru.
Berikut adalah contoh kegiatan dalam model pembelajaran dikaitkan dengan pendekatan saintifik (5M) Kurikulum
2013 :
Model Inquiry Learning
Model pembelajaran Inkuiri biasanya lebih cocok digunakan pada pembelajaran matematika, tetapi mata pelajaran
lainpun dapat menggunakan model tersebut asal sesuai dengan karakteristik KD atau materi pembelajarannya.
Langkah-langkah dalam model inkuiri terdiri atas:
1.
Observasi/Mengamati berbagi fenomena alam. Kegiatan ini memberikan pengalaman belajar kepada
peserta didik bagaimana mengamati berbagai fakta atau fenomena dalam mata pelajaran tertentu.
2.
Mengajukan pertanyaan tentang fenomana yang dihadapi. Tahapan ini melatih peserta didik untuk
mengeksplorasi fenomena melalui kegiatan menanya baik terhadap guru, teman, atau melalui sumber yang lain.
3.
Mengajukan dugaan atau kemungkinan jawaban. Pada tahapan ini peserta didik dapat mengasosiasi
atau melakukan penalaran terhadap kemungkinan jawaban dari pertanyaan yang diajukan.
4.
Mengumpulkan data yang terakait dengan dugaan atau pertanyaan yang diajukan, sehingga pada
kegiatan tersebut peserta didik dapat memprediksi dugaan atau yang paling tepat sebagai dasar untuk
merumuskan suatu kesimpulan.
5.
Merumuskan kesimpulan-kesimpulan berdasarkan data yang telah diolah atau dianalisis, sehingga
peserta didik dapat mempresentasikan atau menyajikan hasil temuannya.
Model Discovery Learning.
1.
Stimulation (memberi stimulus). Pada kegiatan ini guru memberikan stimulan, dapat berupa bacaan,
atau gambar, atau situasi, sesuai dengan materi pembelajaran/topik/tema yang akan dibahas, sehingga peserta
didik mendapat pengalaman belajar mengamati pengetahuan konseptual melalui kegiatan membaca, mengamati
situasi atau melihat gambar.
2.
Problem Statement (mengidentifikasi masalah). Dari tahapan tersebut, peserta didik diharuskan
menemukan permasalahan apa saja yang dihadapi, sehingga pada kegiatan ini peserta didik diberikan
pengalaman untuk menanya, mencari informasi, dan merumuskan masalah.
3.
Data Collecting (mengumpulkan data). Pada tahapan ini peserta didik diberikan pengalaman mencari
dan mengumpulkan data/informasi yang dapat digunakan untuk menemukan solusi pemecahan masalah yang
dihadapi. Kegiatan ini juga akan melatih ketelitian, akurasi, dan kejujuran, serta membiasakan peserta didik untuk
mencari atau merumuskan berbagai alternatif pemecahan masalah, jika satu alternatif mengalami kegagalan.
4.
Data Processing (mengolah data). Kegiatan mengolah data akan melatih peserta didik untuk mencoba
dan mengeksplorasi kemampuan pengetahuan konseptualnya untuk diaplikasikan pada kehidupan nyata,
sehingga kegiatan ini juga akan melatih keterampilan berfikir logis dan aplikatif.
5.
Verification (memferifikasi). Tahapan ini mengarahkan peserta didik untuk mengecek kebenaran atau
keabsahan hasil pengolahan data, melalui berbagai kegiatan, antara lain bertanya kepada teman, berdiskkusi,
atau mencari sumber yang relevan baik dari buku atau media, serta mengasosiasikannya sehingga menjadi suatu
kesimpulan.
6.
Generalization (menyimpulkan). Pada kegiatan ini peserta didik digiring untuk menggeneralisasikan hasil
simpulannya pada suatu kejadian atau permasalahan yang serupa, sehingga kegiatan ini juga dapat melatih
pengetahuan metakognisi peserta didik.
Problem Based Learning
Model pembelajaran ini bertujuan merangsang peserta didik untuk belajar melalui berbagai permasalahan nyata
dalam kehidupan sehari-hari dikaitkan dengan pengetahuan yang telah atau akan dipelajarinya melalui langkahlangkah pembelajaran sebagai berikut:
1.
Mengorientasi peserta didik pada masalah. Tahap ini untuk memfokuskan peserta didik mengamati
masalah yang menjadi objek pembelajaran.
2.
3.
Membimbing penyelidikan mandiri dan kelompok. Pada tahap ini peserta didik melakukan percobaan
(mencoba) untuk memperoleh data dalam rangka menjawab atau menyelesaikan masalah yang dikaji.
4.
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Peserta didik mengasosiasi data yang ditemukan dari
percobaan dengan berbagai data lain dari berbagai sumber.
5.
Analisis dan evaluasi proses pemecahan masalah. Setelah peserta didik mendapat jawaban terhadap
masalah yang ada, selanjutnya dianalisis dan dievaluasi.
Project Based Learning
Model pembelajaran ini bertujuan untuk pembelajaran yang memfokuskan pada permasalahan komplek yang
diperlukan peserta didik dalam melakukan insvestigasi dan memahami pembelajaran melalui investigasi,
membimbing peserta didik dalam sebuah proyek kolaboratif yang mengintegrasikan berbagai subjek (materi) dalam
kurikulum, memberikan kesempatan kepada para peserta didik untuk menggali konten (materi) dengan
menggunakan berbagai cara yang bermakna bagi dirinya, dan melakukan eksperimen secara kolaboratif.
Langkah pembelajaran dalam project based learning adalah sebagai berikut:
1.
Menyiapkan pertanyaan atau penugasan proyek. Tahap ini sebagai langkah awal agar peserta didik
mengamati lebih dalam terhadap pertanyaan yang muncul dari fenomena yang ada.
2.
Mendesain perencanaan proyek. Sebagai langkah nyata menjawab pertanyaan yang ada disusunlah
suatu perencanaan proyek bisa melalui percobaan.
3.
Menyusun jadwal sebgai langkah nyata dari sebuah proyek. Penjadwalan sangat penting agar proyek
yang dikerjakan sesuai dengan waktu yang tersedia dan sesuai dengan target.
4.
Memonitor kegiatan dan perkembangan proyek. Guru melakukan monitoring terhadap pelaksanaan dan
perkembangan proyek. Peserta didik mengevaluasi proyek yang sedang dikerjakan.
5.
Menguji hasil. Fakta dan data percobaan atau penelitian dihubungkan dengan berbagai data lain dari
berbagai sumber.
6.
Mengevaluasi kegiatan/pengalaman. Tahap ini dilakukan untuk mengevaluasi kegiatan sebagai acuan
perbaikan untuk tugas proyek pada mata pelajaran yang sama atau mata pelajaran lain.
Teknik Pembelajaran
Teknik pembelajaran diartikan sebagai cara kongkret yang dipakai saat proses pembelajaran berlangsung.
Contoh teknik pembelajaran, yaitu :
1. Teknik Umum
Teknik umum adalah cara-cara yang dapat digunakan untuk semua bidang studi. Contohnya antara lain:
a. teknik ceramah, merupakan penuturan secara lisan oleh guru terhadap kelas.
b. teknik tanya jawab, merupakan metode mengajar dimana guru menanyakan hal-hal yang sifatnya faktual
c. teknik diskusi, guru memberikan pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya menggunakan informasi yang telah
dipelajari untuk memecahkan suatu masalah
d. teknik ramu pendapat
e. teknik pemberian tugas, dengan metode ini guru memberikan tugas, siswa mempelajari kemudian melaporkan
hasilnya
f. teknik latihan, merupakan cara mengajar dengan memberikan latihan-latihan terhadap apa yang dipelajari.
g. teknik inquiri, siswa diberi kesempatan untuk meneliti suatu masalah sehingga dapat menemukan cara
pemecahannya.
h. teknik demonstrasi
i. teknik simulasi
2. Teknik Khusus
Teknik khusus adalah cara mengajarkan (menyajikan atau memantapkan) bahan-bahan pelajaran bidang studi
tertentu. Berikut ini beberapa teknik pembelajaran menulis:
1.
2.
teknik meringkas
3.
teknik menyadur
4.
5.
Daftar Pustaka
http://www.informasi-pendidikan.com/2014/01/pengertian-pendekatan-pembelajaran.html
https://ibnufajar75.wordpress.com/2014/05/31/model-model-pembelajaran-yang-sesuai-dengan-kurikulum-2013/
http://andhy-brenjenk.blogspot.com/2013/10/pengertian-pendekatan-strategi-metode_27.html
http://hestunodya.blogspot.com/2014/01/definisi-dan-jenis-jenis-teknik.html
http://aquariuslearning.co.id/strategi-pembelajaran-yang-wajib-diketahui-siswa-guru/
http://strategipembelajaran.pusku.com/2015/02/pengertian-dan-contoh-pedekatan-strategimetode-model-teknik-taktik-dalam-pembelajaran-di-sekolah/
Pendekatan Kontekstual
Pendekatan konstekstual berlatar belakang bahwa siswa belajar lebih
bermakna dengan melalui kegiatan mengalami sendiri dalam lingkungan alamiah,
tidak hanya sekedar mengetahui, mengingat, dan memahami. Pembelajaran tidak
hanya berorientasi target penguasaan materi, yang akan gagal dalam membekali
siswa untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya. Dengan demikian proses
pembelajaran lebih diutamakan daripada hasil belajar, sehingga guru dituntut untuk
merencanakan strategi pembelajaran yang variatif dengan prinsip membelajarkan
memberdayakan
siswa,
bukan
mengajar
siswa(http://smacepiring.wordpress.com/2008/02/19/pendekatan-dan-metodepembelajaran/).
Borko dan Putnam mengemukakan bahwa dalam pembelajaran kontekstual,
guru memilih konteks pembelajaran yang tepat bagi siswa dengan cara mengaitkan
pembelajaran dengan kehidupan nyata dan lingkungan di mana anak hidup dan
berada
serta
dengan
budaya
yang
berlaku
dalam
masyarakatnya
(http.//www.contextual.org.id).
Pemahaman,
penyajian
ilmu
pengetahuan,
keterampilan, nilai dan sikap yang ada dalam materi dikaitkan dengan apa yang
dipelajari dalam kelas dan dengan kehidupan sehari-hari (Dirjen Dikdasmen, 2001:
8). Dengan memilih konteks secara tepat, maka siswa dapat diarahkan kepada
pemikiranagar tidak hanya berkonsentrasi dalam pembelajaran di lingkungan kelas
saja, tetapi diajak untuk mengaitkan aspek-aspek yang benar-benar terjadi dalam
kehidupan mereka sehari-hari, masa depan mereka, dan lingkungan masyarakat
luas.
Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa dalam
mencapai tujuannya. Guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada
memberi informasi.Guru bertugas mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja
bersama untuk merumuskan, menemukan sesuatu yang baru bagi kelas yang dapat
berupa pengetahuan, keterampilan dari hasil menemukan sendiri dan bukan dari
apa kata guru.
Penggunaan pembelajaran kontekstual memiliki potensi tidak hanya untuk
mengembangkan ranah pengetahuan dan keterampilan proses, tetapi juga untuk
mengembangkan sikap, nilai, serta kreativitas siswa dalam memecahkan masalah
yang terkait dengan kehidupan mereka sehari-hari melalui interaksi dengan sesama
teman, misalnya melalui pembelajaran kooperatif, sehingga juga mengembangkan
ketrampilan sosial (social skills) (Dirjen Dikmenum, 2002:6). Lebih lanjut Schaible,
Klopher, dan Raghven, dalam Joyce-Well (2000:172) menyatakan bahwa
pendekatan kontekstual melibatkan siswa dalam masalah yang sebenarnya dalam
penelitian dengan menghadapkan anak didik pada bidang penelitian, membantu
mereka mengidentifikasi masalah yang konseptual atau metodologis dalam bidang
penelitian dan mengajak mereka untuk merancang cara dalam mengatasi masalah.
2.
Pendekatan Konstruktivisme
Kontruktivisme merupakan landasan berfikir pendekatan kontekstual. Yaitu
bahwa pendekatan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya
diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak dengan tiba-tiba(Suwarna,2005).
Piaget (1970), Brunner dan Brand 1966), Dewey (1938) dan Ausubel (1963).
Menurut Caprio (1994), McBrien Brandt (1997), dan Nik Aziz (1999) kelebihan teori
konstruktivisme ialah pelajar berpeluang membina pengetahuan secara aktif
melalui proses saling pengaruh antara pembelajaran terdahulu dengan
pembelajaran terbaru. Pembelajaran terdahulu dikaitkan dengan pembelajaran
terbaru. Perkaitan ini dibina sendiri oleh pelajar.
Menurut teori konstruktivisme, konsep-konsep yang dibina pada struktur
kognitif seorang akan berkembang dan berubah apabila ia mendapat pengetahuan
atau pengalaman baru. Rumelhart dan Norman (1978) menjelaskan seseorang akan
dapat membina konsep dalam struktur kognitifnya dengan menghubungkan
pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sedia ada padanya dan proses ini
dikenali sebagai accretion. Selain itu, konsep-konsep yang ada pada seseorang
boleh berubah selaras dengan pengalaman baru yang dialaminya dan ini dikenali
sebagai penalaan atau tuning. Seseorang juga boleh membina konsep-konsep
dalam struktur kognitifnya dengan menggunakan analogi, iaitu berdasarkan
pengetahuan yang ada padanya. Menurut Gagne, Yekovich, dan Yekovich (1993)
konsep baru juga boleh dibina dengan menggabungkan konsep-konsep yang sedia
ada pada seseorang dan ini dikenali sebagai parcing.
Pendekatan konstruktivisme sangat penting dalam proses pembelajaran
kerana belajar digalakkan membina konsep sendiri dengan menghubungkaitkan
perkara yang dipelajari dengan pengetahuan yang sedia ada pada mereka. Dalam
proses ini, pelajar dapat meningkatkan pemahaman mereka tentang sesuatu
perkara.
Kajian Sharan dan Sachar (1992, disebut dalam Sushkin, 1999) membuktikan
kumpulan pelajar yang diajar menggunakan pendekatan konstruktivisme telah
mendapat pencapaian yang lebih tinggi dan signifikan berbanding kumpulan pelajar
yang diajar menggunakan pendekatan tradisional. Kajian Caprio (1994), Nor Aini
(2002), Van Drie dan Van Boxtel (2003), Curtis (1998), dan Lieu (1997) turut
membuktikan bahawa pendekatan konstruktivisme dapat membantu pelajar untuk
mendapatkan pemahaman dan pencapaian yang lebih tinggi dan signifikan.
3.
a.
Pendekatan Deduktif
Pendekatan deduktif ditandai dengan pemaparan konsep, definisi dan istilahistilah pada bagian awal pembelajaran. Pendekatan deduktif dilandasi oleh suatu
pemikiran bahwa proses pembelajaran akan berlangsung dengan baik bila siswa
telah mengetahui wilayah persoalannya dan konsep dasarnya(Suwarna,2005).
b.
Pendekatan Induktif
Ciri uatama pendekatan induktif dalam pengolahan informasi adalah
menggunakan data untuk membangun konsep atau untuk memperoleh pengertian.
Data yang digunakan mungkin merupakan data primer atau dapat pula berupa
kasus-kasus nyata yang terjadi dilingkungan.
Prince dan Felder (2006) menyatakan pembelajaran tradisional adalah
pembelajaran dengan pendekatan deduktif, memulai dengan teori-teori dan
meningkat ke penerapan teori. Di bidang sain dan teknik dijumpai upaya mencoba
pembelajaran dan topik baru yang menyajikan kerangka pengetahuan, menyajikan
teori-teori dan rumus dengan sedikit memperhatikan pengetahuan utama
mahasiswa, dan kurang atau tidak mengkaitkan dengan pengalaman mereka.
Pembelajaran dengan pendekatan deduktif menekankan pada guru mentransfer
informasi atau pengetahuan. Bransford (dalam Prince dan Felder, 2006) melakukan
penelitian dibidang psikologi dan neurologi. Temuannya adalah: All new learning
involves transfer of information based on previous learning, artinya semua
pembelajaran baru melibatkan transfer informasi berbasis pembelajaran
sebelumnya.
Major (2006) menyatakan dalam pembelajaran dengan pendekatan deduktif
dimulai dengan menyajikan generalisasi atau konsep. Dikembangkan melalui
kekuatan argumen logika. Contoh urutan pembelajaran: (1) definisi disampaikan;
dan (2) memberi contoh, dan beberapa tugas mirip contoh dikerjakan siswa dengan
maksud untuk menguji pemahaman siswa tentang definisi yang disampaikan.
Alternatif pendekatan pembelajaran lainnya selain dengan pembelajaran
pendekatan deduktif adalah dengan pendekatan induktif . Beberapa contoh
pembelajaran dengan pendekatan induktif misalnya pembelajaran inkuiri,
pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran berbasis proyek, pembelajaran
berbasis kasus, dan pembelajaran penemuan. Pembelajaran dengan pendekatan
induktif dimulai dengan melakukan pengamati terhadap hal-hal khusus dan
menginterpretasikannya, menganalisis kasus, atau memberi masalah konstekstual,
siswa dibimbing memahami konsep, aturan-aturan, dan prosedur-prosedur berdasar
pengamatan siswa sendiri.
Major (2006) berpendapat bahwa pembelajaran dengan pendekatan induktif
efektif untuk mengajarkan konsep atau generalisasi. Pembelajaran diawali dengan
memberikan contoh-contoh atau kasus khusus menuju konsep atau generalisasi.
Siswa melakukan sejumlah pengamatan yang kemudian membangun dalam suatu
konsep atau geralisasi. Siswa tidak harus memiliki pengetahuan utama berupa
abstraksi
tersebut
setelah
mengamati
dan
a.
Pendekatan Konsep
Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konsep berarti siswa
dibimbing memahami suatu bahasan melalui pemahaman konsep yang terkandung
di dalamnya. Dalam proses pembelajaran tersebut penguasaan konsep dan
subkonsep yang menjadi fokus. Dengan beberapa metode siswa dibimbing untuk
memahami konsep. (http://smacepiring.wordpress.com/2008/02/19/pendekatandan-metode-pembelajaran/).
b.
Pendekatan Proses
Pada
pendekatan
proses,
tujuan
utama
pembelajaran
adalah
mengembangkan kemampuan siswa dalam keterampilan proses seperti mengamati,
berhipotesa, merencanakan, menafsirkan, dan mengkomunikasikan. Pendekatan
keterampilan proses digunakan dan dikembangkan sejak kurikulum 1984.
Penggunaan pendekatan proses menuntut keterlibatan langsung siswa dalam
kegiatan belajar. (http://smacepiring.wordpress.com/2008/02/19/pendekatan-danmetode-pembelajaran/).
Dalam pendekatan proses, ada dua hal mendasar yang harus selalu dipegang
pada setiap proses yang berlangsung dalam pendidikan. Pertama, proses
mengalami. Pendidikan harus sungguh menjadi suatu pengalaman pribadi bagi
peserta didik. Dengan proses mengalami, maka pendidikan akan menjadi bagian
integral dari diri peserta didik; bukan lagi potongan-potongan pengalaman
yang disodorkan untuk diterima, yang sebenarnya bukan miliknya sendiri.
Dengan demikian, pendidikan mengejawantah dalam diri peserta didik dalam
setiap proses pendidikan yang dialaminya (http://groups.yahoo.com/group/sdislam/message/1907).
5.
kreativitas, sikap ilmiah, menggunakan konsep dan proses sains dalam kehidupan
sehari-hari.Definisi lain tentang STM dikemukakan oleh PENN STATE(2006:1) bahwa
STM merupakan an interdisciplinary approach whichreflects the widespread
realization that in order to meet the increasingdemands of a technical society,
education must integrate acrossdisciplines. Dengan demikian, pembelajaran
dengan pendekatan STMharuslah diselenggarakan dengan cara mengintegrasikan
berbagaidisiplin (ilmu) dalam rangka memahami berbagai hubungan yangterjadi di
antara sains, teknologi dan masyarakat. Hal ini berarti bahwa pemahaman kita
terhadap hubungan antara sistem politik, tradisi masyarakat dan bagaimana
pengaruh sains dan teknologi terhadap hubungan-hubungan tersebut menjadi
bagian yang penting dalampengembangan pembelajaran di era sekarang ini.
Pandangan tersebut senada dengan pendapat NC State University (2006: 1),
bahwa STM merupakan an interdisciplinery field of study that seeks to explore a
understand the many ways that scinence and technology shape culture, values, and
institution, and how such factors shape science and technology. STM
dengandemikian adalah sebuah pendekatan yang dimaksudkan untuk mengetahui
bagaimana sains dan teknologi masuk dan merubah proses-proses sosial di
masyarakat, dan bagaimana situasi sosial mempengaruhi perkembangan sains dan
teknologi.
Hasil penelitian dari National Science Teacher Association ( NSTA ) ( dalam
Poedjiadi, 2000 ) menunjukan bahwa pembelajaran sains dengan menggunakan
pendekatan STM mempunyai beberapa perbedaan jika dibandingkan dengan cara
biasa. Perbedaan tersebut ada pada aspek : kaitan dan aplikasi bahan pelajaran,
kreativitas, sikap, proses, dan konsep pengetahuan. Melalui pendekatan STM ini
guru dianggap sebagai fasilitator dan informasi yang diterima siswa akan lebih lama
diingat. Sebenarnya dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan STM ini
tercakup juga adanya pemecahan masalah, tetapi masalah itu lebih ditekankan
pada masalah yang ditemukan sehari hari, yang dalam pemecahannya
menggunakan
langkah
langkah
(ilmiahhttp://smacepiring.wordpress.com/2008/02/19/pendekatan-dan-metodepembelajaran/).
Sumber :
Abdul Rahim Rashid. (1998). Ilmu Sejarah: Teori dan amalan dalam pengajaran A
dan pembelajaran Sejarah. Kertas kerja yang dibentangkan
Sejarah,Universiti Malaya, Kuala Lumpur, 3031 Oktober.
Anwar. (2004). Pendidikan
Penerbit
Kecakapan
Hidup
(Life
Skill
dalam Simposium
Education). Bandung:
Alfabeta.
Ausubel, D. P. (1963). The psychology of meaningful verbal learning. New York: A
Grune & Stratton Inc.
Bybee, R. W. (1993). Leadership, responsibility and reform in science education. B
http://murni-uni.blogspot.com/2010/10/macam-macam-pendekatan-pembelajaran.html
nama
pengarang):
Dokumen
resmi:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1978. Pedoman Penulisan Laporan Penelitian . Jakarta: Depdikbud.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional.1990. Jakarta: PT Armas Duta
Jaya.
Undang-undang,
Peraturan
Pemerintah,
Keppres
Republik Indonesia. 1992. Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Lembaran Negara RI
Tahun 1992, No. 115. Sekretariat Negara. Jakarta.
Buku
terjemahan:
Ary, D., Jacobs, L.C. & Razavieh, A. 1976. Pengantar Penelitian Pendidikan. Terjemahan oleh Arief Furchan. 1982.
Surabaya: Usaha Nasional.
Ensiklopedia,
Kamus
Stafford-Clark, D. 1978. Mental disorders and their treatment. The New Encyclopedia Britannica. Encyclopedia
Britannica. 23: 956-975. Chicago, USA .
Echols, J.M. dan Shadily, H. (Eds). 1989. Kamus Inggris Indonesia. PT Gramedia. Jakarta.
Skripsi,
Tesis,
Disertasi,
Laporan
Penelitian:
Kuncoro, T. 1996. Pengembangan Kurikulum Pelatihan Magang di STM Nasional Malang Jurusan Bangunan,
Program Studi Bangunan Gedung: Suatu Studi Berdasarkan Kebutuhan Dunia Usaha Jasa Konstruksi . Tesis tidak
diterbitkan. Malang: PPS IKIP MALANG.
Makalah
seminar,
lokakarya,
penataran:
Waseso, M.G. 2001. Isi dan Format Jurnal Ilmiah . Makalah disajikan dalam Seminar Lokakarya Penulisan Artikel
dan Pengelolaan Jurnal Ilmiah, Universitas Lambungmangkurat, Banjarmasin , 9-11 Agustus.
Internet
(karya
individual):
Hitchcock, S., Carr, L. & Hall, W. 1996. A Survey of STM Online Journals, 1990-1995: The Calm before the Storm ,
(Online), (http://journal.ecs.soton.ac.uk/survey/survey.html , diakses 12 Juni 1996).
Internet
(artikel
dalam
jurnal
online):
Kumaidi. 1998. Pengukuran Bekal Awal Belajar dan Pengembangan Tesnya. Jurnal Ilmu Pendidikan . (Online), Jilid
5, No. 4, (http://www.malang.ac.id , diakses 20 Januari 2000).
Internet
(forum
diskusi
online):
Wilson, D. 20 November 1995 . Summary of Citing Internet Sites.NETTRAIN Discussion List , (Online),
(NETTRAIN@ubvm.cc.buffalo.edu , diakses 22 November 1995).
Internet
Naga, D.S. (ikip-jkt@indo.net.id
(jippsi@mlg.ywcn.or.id ).
).
Oktober
(e-mail
1997. Artikel
untuk
JIP .
kepada
Kaset
Burke, J. 1978. Distant Voices, BBC Videocasette , London, UK. 45 mins.
Ali
pribadi):
Saukah
Video
Film
(Movie)
Oldfield, B. (Producer) 1977. On the edge of the forest. Tasmanian Film Corporation. Hobart, Austraalia,. 30 mins.
Slides
(Kumpulan
Reidy, J.F. 1987. The Thorax Slides. Grave Medical Audiovisual Library. Chelmsford, UK. 54 mins.
http://www.greenbookee.org/penalaran-deduktif/
bahan ebook
Slides)
guru, sekali-sekali bertanya pada guru. Tetapi jika guru kreatif, biasanya ia menggunakan alat
bantu (media pengajaran) dalam memberikan dan menjelaskan informasi/pesan pada peserta
didik, disamping memberikan kesempatan bertanya pada peserta didik.
Contoh :
Misalkan pada materi tentang HIMPUNAN. Pada awalnya guru memberikan pengertian, konsep
dasar, operasi-operasi pada himpunan. Selanjutnya dari pokok-pokok materi yang disampaikan,
guru menjelaskan bagian-bagian atau sub-sub dari penjabaran sebelumnya.
1.4. Pendekatan Induktif
Pendekatan induktif adalah guru memberikan fakta terlebih dahulu lalu menerangkan teori yang
terkandung didalamnya. Ciri utama pendekatan induktif dalam pengolahan informasi adalah
menggunakan data untuk membangun konsep atau untuk membangun pengertian. Dalam artian
pendekatan induktif merupakan pendekatan pembelajaran dengan penerapan konsep, definisi,
dan istilah-istilah pada akhiran akhir pembelajaran. Data yang digunakan dalam pendekatan
induktif mungkin merupakan data primer, atau dapat pula berupa kasus-kasus yang nyata yang
terjadi di lingkungan. Dalam strategi ini, guru mempresentasikan data tersebut, guru mengajak
siswa untuk membangun konsep atau pengertian. Dalam perencanaan strategi induktif, guru
harus memikirkan data yang akan ditampilkan untuk memperoleh konsep tertentu. Selain itu
guru juga harus memikirkan bagaimana aktivitas yang akan terjadi di kelas tersebut.
Pendekatan induktif berangkat dari suatu pandangan bahwa peserta didik sebagai subjek
disamping sebagai objek pengajaran (belajar). Mereka memiliki kemampuan dasar untuk
berkembang secara optimal sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Maka, proses pengajaran harus dipandang sebagai stimulus /rangsangan yang dapat menantang
peserta didik untuk merasa terlibat /partisipasi dalam aktivitas pengajaran. Peranan guru
hanyalah sebagai fasilitator dan pembimbing atau pemimpin pengajaran yang demokratis,
sehingga diharapkan peserta didik lebih banyak melakukan kegiatan sendiri atau dalam bentuk
kelompok memecahkan masalah atas bimbingan guru. Ada 5 tahap yang harus ditempuh, antara
lain:
- Perumusan masalah untuk dipecahkan peserta didik
- Penetapan jawaban sementara/pengajuan hipotesis
- Peserta didik mencari informasi, data, fakta yang diperlukan untuk menjawab /memecahkan
masalah dan menguji hipotesis
- Menarik kesimpulan dari jawaban/generalisasi
- Aplikasi kesimpulan /generalisasi dalam situasi baru
Dalam pendekatan induktif ini digunakan komunikasi multi arah, yaitu komunikasi sebagai
transaksi. Untuk dapat menggunakan pendekatan induktif ini diperlukan persyaratan sebagai
berikut:
- Guru harus terampil memilih masalah yang relevan dan sesuai daya nalar peserta didik
- Guru harus terampil member motivasi belajar dan menciptakan situasi pengajaran yang
menyenangkan/menarik minat peserta didik
- Tersedia fasilitas dan sumber belajar yang memadai
- Terjamin kebebasan peserta didik dalam berpendapat, berkarya, dan sebagainya
- Kesediaan/kesiapan peserta didik untuk partipasi aktif dalam belajar
- Guru tak banyak intervensi dalam kegiatan belajar peserta didik
Contoh :
Guru memberikan semacam peristiwa-peristiwa yang kerap terjadi di lingkungan kehidupan
nyata, seperti tindakan-tindakan kriminal ataupun kekerasan. Selanjutnya siswa yang diminta
untuk mencari konsep atau definisi dari contoh-contoh yang telah diberikan.
1.5. Pengertian Pengajaran
Pengajaran adalah suatu aktivitas (proses) mengajar belajar. Didalamnya ada dua subjek yaitu
guru dan peserta didik. Istilah peserta didik digunakan untuk menggantikan istilah anak didik,
objek didik, atau sebagai istilah lain murid/siswa. Pemakaian istilah peserta didik lebih
mengandung sifat yang umum : siswa/mahasiswa, dan lebih bersifat aktif serta bersifat