Anda di halaman 1dari 113

Gatot Soemartono

gsoemart@hotmail.com

KASUS KARAHA BODAS

A. Latar Belakang
1. Para Pihak Proyek Karaha Bodas
Dari hasil penelitian, ditemukan adanya 3 pihak yang terkait dengan
proyek Karaha Bodas sebagai berikut:
a. Karaha Bodas Company (KBC)
KBC adalah Perseroan Terbatas yang didirikan dan bergerak berdasarkan
hukum Kepulauan Cayman yang berkedudukan di gedung Plaza Aminta
Suite 901, Jl. TB Simatupang, Kav. 10, Jakarta 12310, Indonesia. KBC
diberi kuasa berdasarkan kontrak pengembangan proyek geo-termal
(sumber panas bumi) Karaha Bodas,51 dengan kewajiban untuk
mengembangkan energi geo-termal berkapasitas 400 MW (empat ratus
mega

watt)

dengan

membangun

serta

menjalankan

fasilitas

pembangkitan tenaga listrik, yang selanjutnya menjual tenaga listrik


tersebut kepada PLN atas nama Pertamina.
Disebutkan dalam putusan akhir (final award) Arbitrase UNCITRAL bahwa
pihak yang mewakili KBC sebagai penggugat adalah Jonathan D. Schiller
(claimant, represented by Mr. Jonathan D. Schiller, Boies & Schiller, 5301
Wisconsin Avenue, NW, Suite 570, Washington DC 20015, USA).52

b. Perusahaan Pertambangan Minyak & Gas Bumi Negara (Pertamina)


Pertamina adalah suatu perusahaan minyak dan gas bumi yang didirikan
dan bergerak berdasarkan hukum Indonesia, yang berkedudukan di Jl.
Kramat Raya No.

59, Lantai 4, Jakarta 10450, Indonesia. Pertamina

didirikan berdasarkan Undang-undang No. 8 Tahun 1971 dan dimiliki oleh


51

Proyek tersebut melingkupi terutama dua wilayah, yaitu: wilayah Karaha dan wilayah Telaga Bodas,
di Jawa Barat, sehingga dikenal sebagai Proyek Karaha Bodas.
52
Measleys International Arbitration Report (2001) Final Award in An Arbitration Procedure under
the UNCITRAL Arbitration Rules, New Jersey: LexisNexis, Vol. 16, hlm. 1.

Based on Gatots Research


Only for Private Use

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

Pemerintah Republik Indonesia. Pertamina dipercaya untuk melakukan


eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber daya panas bumi dan
menghasilkan listrik di Indonesia.
Dalam putusan akhir (final award) Arbitrase UNCITRAL disebutkan pihak
yang mewakili Pertamina, yaitu: Adnan Buyung Nasution dan Edwin
Mishkin (respondent, represented by Adnan Buyung Nasution & Partners,
Wisma Danamon Aetna Life, 18th Floor, JL. Jend. Sudirman Kav. 45-46,
Jakarta 12930, Indonesia, and by Mr. Edwin Mishkin, Clearly Gottlieb &
Hamilton, One Liberty Plaza, New York, NY 1006-1470, USA).53

c. PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) (disingkat PLN)


PLN adalah sebuah perusahaan yang didirikan dan bergerak berdasarkan
hukum Indonesia, yang berkedudukan di

Jl. Trunooyo No. 135,

Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12160, Indonesia. Sebagai perusahaan


negara yang tunduk pada Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998,
PLN adalah pemakai tenaga listrik yang mengusahakan penyediaan listrik
kepada umum di Indonesia.
Catatan: Dalam kasus ini PLN bersama-sama dengan Pertamina diwakili
oleh para pengacara dari kantor hukum yang sama.

2. Gambaran Umum Kasus Karaha Bodas


Tentang kasus karaha Bodas tersebut, dari hasil penelitian secara
kronologi dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Kontrak-kontrak
Pada 28 November 1994, KBC dan Pertamina menandatangani sebuah
perjanjian, yaitu kontrak operasi bersama atau Joint Operation Contract
(JOC). Di dalam kontrak tersebut ditentukan bahwa Pertamina bertanggung

53

Ibid., hlm. 2.

Based on Gatots Research


Only for Private Use

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

jawab untuk mengelola pengoperasian geo-termal di dalam proyek,


sedangkan KBC bertindak sebagai kontraktor. Dalam kontrak dengan tegas
disebutkan bahwa KBC diwajibkan untuk mengembangkan enerji geo-termal
di daerah proyek, serta to build, own and operate generating facilities (untuk
membangun, memiliki, dan mengoperasikan pembangkit tenaga listrik).
Pada tanggal tersebut PLN di satu pihak dan KBC dengan Pertamina di
lain pihak juga menandatangani sebuah kontrak yaitu Energy Sales Contract
(ESC) yang isinya menentukan bahwa PLN setuju untuk membeli dari
Pertamina tenaga listrik yang berasal dari fasilitas pembangkitan tenaga listrik
yang dihasilkan oleh KBC (sebagai kontraktor dari Pertamina berdasar JOC).

b. Pelaksanaan awal proyek


Sejak penanda-tanganan kontrak tersebut, khususnya antara tahun 1995 dan
1997, KBC telah mulai serta menyelesaikan sebagian program eksplorasi
dan pemboran.54 Khususnya pada 12 Agustus 1997, dalam pertemuan
Komite Bersama diputuskan bahwa KBC

harus menyerahkan Notice of

Resource Confirmation (NORC) atau pemberitahuan pembenaran adanya


sumber daya alam dengan kapasitas sebesar 55 MW di wilayah Karaha pada
atau sekitar 15 September 1997, dan kapasitas sebesar 55 MW untuk Telaga
Bodas pada 1 November 1997. KBC juga diminta untuk menyerahkan Notice
of Intent to Develop (NOID) atau pemberitahuan untuk melakukan
pengembangan

kapasitas listrik sebesar 110 MW pada tanggal 20

Desember 1997. Atas kewajiban-kewajiban tersebut, pada tanggal 18


September KBC telah menyerahkan kepada Pertamina NORC yang pertama
untuk kapasitas sebesar 60 MW di Karaha.

54

Hal ini didasarkan pada Notulen Rapat dari beberapa pertemuan Komite Bersama yang dihadiri oleh
KBC, Pertamina, dan PLN, di mana KBC menyampaikan rencana kerja dan anggaran secara teratur
kepada Pertamina pada 1995, 1996, dan 1997.

Based on Gatots Research


Only for Private Use

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

c. Penangguhan proyek
Atas saran International Monetary Fund (IMF), pada tanggal 20 September
1997, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden
Nomor 39 Tahun 1997 tentang Penangguhan Proyek Pemerintah, yang
isinya: untuk memelihara kelangsungan ekonomi dan secara umum
kemajuan ekonomi nasional, perlu dilakukan langkah penanggulangan
fluktuasi keuangan dan akibat yang ditimbulkan.
Dalam rangka penanggulangan masalah tersebut, Pasal 5 Keppres
menyatakan bahwa, perlu diambil langkah penundaan/peninjauan
kembali sejumlah proyek, sebanyak 75 proyek, termasuk proyek Karaha
Bodas. Namun demikian, para pihak menganggap bahwa penangguhan
proyek Karaha Bodas tidak akan berlangsung lama, bahkan Pertamina dan
PLN dalam pertemuan Komite Bersama 14 Oktober 1997 menyatakan
keyakinannya bahwa status proyek akan dipulihkan kembali.
Prediksi yang mencerminkan sikap optimis tersebut akhirnya terbukti pada
1 November 1997, yaitu pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden
Nomor 47 Tahun 1997 tentang Tata Ruang Wilayah Nasional yang berisi
perintah agar beberapa proyek yang tertunda termasuk proyek Karaha Bodas
dapat diteruskan lagi. Dengan adanya Keppres No. 47 Tahun 1997 tersebut,
KBC melanjutkan kembali aktivitas eksplorasi dan pengembangan proyek
Karaha Bodas tersebut.
Pada 16 Desember 1997, KBC menyerahkan NORC kepada Pertamina
yang menunjukkan kemungkinan adanya kapasitas sebesar 210 MW sumber
daya alam di wilayah Karaha dan Telaga Bodas. KBC menyampaikan
pemberitahuan tersebut dengan maksud untuk mengembangkan pembangkit
tenaga listrik sebesar jumlah tersebut, yang hal ini dilanjutkan dengan
aktivitas eksplorasi dan pengembangan oleh KBC.
Namun demikian, pada tanggal 10 Januari 1998 proyek Karaha Bodas
kembali ditunda dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun
Based on Gatots Research
Only for Private Use

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

1998

tentang

Pembatalan

Proyek

Pemerintah.

Keppres

tersebut

membatalkan Keppres No. 47 Tahun 1997 dan mengkonfirmasikan


penundaan proyek Karaha Bodas.
Dengan dikeluarkannya Keppres No. 5 Tahun 1998 tersebut, KBC dengan
pertimbangan bahwa proyek Karaha Bodas akan tertunda untuk jangka
waktu yang tidak pasti, pada tanggal 30 April 1998 menyampaikan gugatan
arbitrase (Notice of Arbitration) kepada Pertamina, PLN dan Pemerintah
Indonesia

(Departemen Pertambangan dan Energi) untuk mengadakan

proses pemeriksaan arbitrase di Jenewa, Swiss.


Antara dikeluarkannya Keppres No. 5 Tahun 1998 (pada 10 Januari 1998)
dan pemberitahuan untuk arbitrase (pada 30 April 1998) terdapat beberapa
peristiwa yang perlu mendapat perhatian sebagai berikut:
a. Pada Januari 1998 KBC dan Pertamina memutuskan untuk secara
bersama-sama

melakukan

usaha

untuk

meyakinkan

pemerintah

Indonesia agar membebaskan proyek Karaha Bodas dari keputusan


Keppres No. 5 Tahun 1998. Atas permohonan Pertamina, KBC mengirim
surat pada tanggal 23 Januari 1998, yang isinya argumentasi untuk
mendukung pembatalan keputusan penangguhan proyek tersebut. Selain
itu, Pertamina menyampaikan kepada Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) pada 11 Februari 1998, yang isinya
meminta pemerintah mempertimbangkan kembali kelanjutan proyek
dalam waktu dekat.
b. Sementara itu sebelumnya, 10 Februari 1998, KBC telah mengirim
pemberitahuan kepada Pertamina dan PLN bahwa pemberlakuan
Keppres No. 5 Tahun 1998 dan No. 39 Tahun 1997 merupakan keadaan
memaksa (force majeur) berdasarkan kontrak JOC dan ESC. Untuk itu
KBC menyarankan untuk mengadakan pertemuan segera dengan pihak
Pertamina dan PLN, di mana KBC memiliki hak untuk menyampaikan
klaim.
Based on Gatots Research
Only for Private Use

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

Catatan: Pertemuan antara tiga pihak, sebagaimana yang diminta oleh KBC
tersebut, tidak pernah berlangsung.55
c. Pada 5 Maret, KBC mengirim kepada Pertamina program kerja dan
anggaran yang telah diperbaiki untuk tahun 1998 yang memperhitungkan
penangguhan proyek didasarkan pada perkiraan bahwa pekerjaan akan
dilanjutkan pada kuartal ke-4 tahun tersebut. Pertamina menyetujui
program kerja dan anggaran yang disampaikan oleh KBC tersebut pada
11 Maret 1998, sesuai dengan perbaikan yang telah dilakukan.
d. Pada 6 Maret 1998, PLN menulis kepada Pertamina dan KBC yang isinya
adalah: Berdasarkan Keputusan Presiden tersebut di atas (No. 39/1997
dan No. 5/1998) proyek geo-termal Karaha dikategorisasikan sebagai
proyek yang ditangguhkan. Oleh sebab itu, Pertamina dan Perusahaan
sebagai pihak yang dikontrak di bawah kontrak penjualan energi (ESC)
harus tunduk kepada Keputusan Presiden tersebut. Akibatnya, seluruh
aktivitas yang telah dimulai atau dilaksanakan oleh anda yang tidak
tercantum di dalam keputusan presiden tersebut sehubungan dengan
proyek geo-termal Karaha harus menjadi tanggungan dan risiko anda.
e. Pada 30 April 1998, KBC mengajukan pemberitahuan untuk penyelesaian
melalui Arbitrase.

d. Proses arbitrase
Proses arbitrase didahului dengan membentuk majelis arbitrase pada 24 Juli
1998, dengan dipilihnya Mr. Yves Derains sebagai ketua arbitrator oleh Prof.
Piero Bernardini (yang dipilih oleh KBC sebagai arbitrator pertama pada 30
April 1998) dan Dr. Ahmed S.EL Kosheri (sebagai arbitrator kedua yang
dipilih oleh Secretary General of ICSID pada 15 Juli 1998).

55

Lihat Measleys International Arbitration Report, op. cit., hlm. 4.

Based on Gatots Research


Only for Private Use

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

Catatan: Penunjukkan arbitrator kedua yang dipilih oleh Sekjen ICSID


tersebut disebabkan Pertamina tidak menggunakan hak pilihnya untuk
memilih arbitrator yang akan memutuskan sengketa Pertamina melawan
KBC. Meskipun demikian, Pertamina membantah telah diberitahu secara
layak untuk memilih arbitrator.56

Pemberitahuan untuk melakukan arbitrase (notice of arbitration) pada 30


April 1998 yang diajukan oleh KBC tersebut tidak hanya ditujukan kepada
Pertamina dan PLN, tetapi juga kepada Pemerintah Indonesia.
Pada tahap awal, ketiga tergugat mengajukan keberatan sehingga pada
30

September

1998

pengadilan

arbitrase

mengeluarkan

putusan

pendahuluan sebagai berikut:


a. Pengadilan arbitrase tidak memiliki yurisdiksi terhadap Pemerintah
Indonesia. (Di sini pemerintah Indonesia dikeluarkan dalam proses
pemeriksaan selanjutnya.)
b. Keberatan Pertamina dan PLN terhadap yurisdiksi pengadilan arbitrase
ditolak.
c. KBC berhak menyampaikan gugatan, berdasarkan JOC dan ESC, melalui
prosedur arbitrase tunggal (satu dan tidak terpisah), sehingga keberatan
Pertamina dan PLN dalam hal ini ditolak.
56

Secara terpisah Simson Panjaitan, koordinator pengacara Pertamina mengatakan bahwa situasi di
dalam organisasi Pertamina saat itu sangat sibuk (karena Indonesia sedang dilanda krisis ekonomi),
sehingga tidak ada koordinasi penanganan kasus tersebut. Lebih lanjut, menurut Simson, di kalangan
Pertamina sendiri terdapat perbedaan penafsiran tentang pengertian Notice OF Arbitratiton yang
diartikan sekedar pemberitahuan akan digunakannya lembaga arbitrase. Pemberitahuan tersebut hanya
sebuah informasi untuk memperingatkan, tetapi belum masuk kepada proses pelaksanaan arbitrase
sendiri. Menurutnya, jika telah masuk pada proses arbitrase maka seharusnya digunakan Notice FOR
Arbitration (bukan OF tapi FOR). Akibatnya, Pertamina terlambat mengantisipasi dalam
penunjukkan arbitrator. Simson berkesimpulan bahwa dengan tidak diangkatnya arbitrator oleh
Pertamina tersebut, sebenarnya sejak awal Pertamina telah kalah 50% dalam penyelesaian sengketa
melalui arbitrase UNCITRAL di Jenewa. (Hasil wawancara dengan penulis 21 Maret 2005 di Kantor
Pertamina, Jakarta.)

Based on Gatots Research


Only for Private Use

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

d. Pertamina

dan

PLN

secara

bersama-sama

dan

masing-masing

diharuskan membayar sejumlah US$16,666 dan US$350,416.56 kepada


KBC. Sementara itu, KBC diharuskan membayar US$203,833.04 kepada
Pemerintah Indonesia.
e. Hal-hal yang belum ditangani di dalam putusan pendahuluan masih belum
dapat dinyatakan.

Oleh pengadilan arbitrase telah dikeluarkan Procedural Order No. 1 atau


prosedur penanganan perkara pada 19 November 1998 yang memberi KBC
waktu selama satu bulan untuk memperbaiki berkas tuntutan tertanggal 11
November 1998 sebagai tanggapan atas putusan pendahuluan tersebut.
Untuk Pertamina diberi waktu selama dua bulan untuk memberikan
tanggapan terhitung sejak diterimanya berkas perkara yang telah diperbaiki
atau diterimanya pemberitahuan dari KBC bahwa berkas perkara tidak
memerlukan perbaikan.
Pada 24 November 1999, KBC menyerahkan perbaikan berkas tuntutan
bersama dengan bukti dan pernyataan saksi. Tetapi, setelah melalui
beberapa kali surat pemberitahuan untuk minta pengunduran, penasihat
hukum Pertamina melalui surat tertanggal 9 Desember 1999 memberitahu
pengadilan arbitrase bahwa mereka belum dapat menyampaikan berkas
tanggapannya sebelum tanggal 24 Januari 2000 dan ada kemungkinan
mereka masih membutuhkan perpanjangan waktu. Bahkan Pertamina tidak
dapat memberikan jawaban mengenai tanggal pemeriksaan dan meminta
perpanjangan waktu selama sepuluh hari untuk memberi jawaban.
Melalui surat tertanggal 13 Desember 1999, penasihat hukum KBC
menyampaikan

keberatannya

terhadap

permohonan

Pertamina

untuk

perpanjangan waktu. Melalui surat tertanggal 7 Januari 2000, majelis


arbitrase mewajibkan Pertamina untuk menyatakan putusan mereka
selambat-lambatnya tanggal 12 Januari 2000.
Based on Gatots Research
Only for Private Use

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

Pada tanggal 14 Januari 2000, penasihat hukum Pertamina memberitahu


majelis arbitrase bahwa mereka memerlukan perpanjangan waktu untuk
memasukkan berkas tanggapan sampai tanggal 24 Maret 2000. (Bahkan
dengan alasan karena terjadi perubahan organisasi di dalam tubuh PLN,
mereka meminta jadwal yang baru.) Melalui surat 14 Januari 2000 majelis
arbitrase meminta KBC mengirim komentar mereka selambat-lambatnya
tanggal 18 Januari 2000.
Pada tanggal 18 Januari 2000 penasihat hukum KBC mengirim surat
kepada majelis arbitrase yang isinya menyatakan keberatan mereka terhadap
penundaan dan perpanjangan waktu yang diminta oleh Pertamina dan
menekankan bahwa sebagaimana majelis arbitrase meninjau kembali
permohonan perpanjangan waktu yang disampaikan oleh Pertamina, maka
KBC menyampaikan permohonan agar tanggal pemeriksaan telah dipastikan
sehingga pemeriksaan dapat selesai sebelum liburan musim panas, dan
diharapkan bahwa putusan majelis arbitrase telah keluar selambat-lambatnya
pada kuartal ke empat tahun ini.
Di dalam Procedural Order No. 3 tertanggal 12 Januari 2000, majelis
arbitrase menyatakan bahwa:
a. Pertamina memasukkan berkas tanggapan mereka pada 24 Maret 2000.
b. KBC memasukkan berkas bantahan mereka pada 24 April 2000.
c. Pertamina memasukkan berkas replik mereka, jika ada, pada 19 Juni
2000.
Pemeriksaan berdasarkan fakta-fakta akan dilakukan di Paris dari tanggal
19 Juni sampai dengan 30 Juni 2000.

Based on Gatots Research


Only for Private Use

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

Majelis arbitrase menekankan bahwa kecuali jika ada alasan yang kuat,
jadwal tersebut di atas tidak akan dirubah dan majelis arbitrase tidak akan
memberikan ijin bagi para pihak untuk membuat perpanjangan waktu.57
Berdasarkan

kesepakatan

para

pihak,

dan

dikonfirmasikan

oleh

Procedural Order No. 4 tertanggal 14 Maret 2000 jadwal prosedur telah


diperbaiki sebagai berikut:
a. Pertamina akan memasukkan Berkas Tanggapan mereka 7 April 2000.
Saksi yang diajukan KBC, penunjukan saksi dan laporan-laporan
(termasuk laporan saksi ahli) jika tidak termasuk di dalam Berkas
Tanggapan akan dimasukkan pada 14 April 2000.
b. KBC akan memasukkan Berkas Bantahan mereka jika ada, (termasuk
bukti-bukti, penunjukan saksi dan laporan) pada tanggal 8 Mei 2000.
c. Pertamina akan memasukkan Berkas Replik, jika ada (termasuk buktibukti, penunjukan saksi dan laporan) pada tanggal 9 Juni 2000.
d. Pemeriksaan berdasarkan fakta yang diajukan tetap dilaksanakan pada
tanggal yang sudah ditetapkan yaitu dari tanggal 19 Juni 2000 sampai 30
Juni 2000.

Atas kesepakatan tersebut, Pertamina pada tanggal 7 April 2000


memasukkan berkas tanggapan mereka bersama dengan bukti-bukti dan
pernyataan saksi. KBC memasukkan berkas bantahan mereka pada tanggal
8 Mei 2000.

57

Kantor Hukum Clearly Gottlieb Steen & Hamilton (dengan surat tertanggal 6 Maret 2000)
memberitahu majelis arbitrase dan KBC bahwa para pengacara dari kantor tersebut telah ditunjuk oleh
Pertamina untuk bersama-sama Adnan Buyung Nasution & Partners menjadi penasihat hukum
Arbitrase di dalam proses Arbitrase.

Based on Gatots Research


Only for Private Use

10

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

Pada tanggal 31 Mei 2000, majelis arbitrase mengeluarkan Procedural


Order No. 5 yang menyatakan sebagai berikut:
a. Majelis arbitrase telah dengan seksama mempertimbangkan pembicaraan
di antara para pihak mengenai pengaturan pemeriksaan di pengadilan
yang akan dilaksanakan di Paris dari tanggal 19 Juni sampai dengan 30
Juni 2000.
b. Para pihak secara umum sepakat dan hanya beberapa masalah yang
akan diputuskan oleh majelis arbitrase.

Selama sidang pemeriksaan disepakati hal-hal sebagai berikut:


a. Para pihak menyatakan bahwa mereka membatalkan permintaan masingmasing untuk pengadaan pemeriksaan prapersidangan.
b. KBC membatalkan keberatan mereka bagi pengajuan Putusan Sela
walaupun mereka tetap berkeyakinan bahwa pembatalan tersebut tidak
seharusnya diajukan dan menekankan bahwa seharusnyalah hal itu tidak
diperlakukan sebagai preseden.
c. KBC setuju bahwa putusan tersebut tidak lebih bernilai dari Putusan
Arbitrase lainnya, meskipun mereka menekankan pula bahwa putusan
tersebut tidak bisa dianggap remeh.

Hal-hal di atas dicantumkan di dalam Procedural Order No. 6 pada


tanggal 28 Juni 2000. Sebagai jawaban terhadap pertanyaan Ketua Majelis
Arbitrase, para pihak mengkonfirmasikan bahwa mereka tidak memiliki
keberatan terhadap pelaksanaan di dalam proses persidangan.
Di dalam Procedural Order No. 6 majelis arbitrase memutuskan bahwa:
a. Selambat-lambatnya tiga minggu setelah menerima transkrip sidang
pemeriksaan, para pihak secara bersama-sama menyerahkan surat
permohonan sehubungan dengan sidang perkara selanjutnya; perlu

Based on Gatots Research


Only for Private Use

11

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

diperhatikan bahwa berkas permohonan tersebut tidak ditambah faktafakta yang baru.
b. Permintaan masing-masing pihak untuk mengadakan pemeriksaan
prapersidangan ditarik kembali.
c. Putusan sela diberlakukan di dalam arbitrase ini dan dianggap sama
pentingnya dengan berkas putusan lainnya.
Berkas berisi fakta (sesudah pemeriksaan) akan dimasukkan selambatlambatnya pada 27 Agustus 2000 oleh Pertamina dan KBC. Pada tanggal 10
Agustus 2000 Pertamina mengirim surat kepada majelis arbitrase bahwa di
dalam berkas berisi fakta pemeriksaan yang dikirim oleh KBC terdapat dua
pernyataan yang salah. Melalui fax pada hari yang sama, KBC meminta
bahwa surat Pertamina tersebut dan argumen selanjutnya ditolak. Di dalam
berkas berisi fakta perkara tertanggal 7 Agustus 2000 KBC dan Pertamina
meminta untuk diberi kuasa memasukkan daftar biaya yang telah mereka
tanggung selama proses sidang perkara berlangsung.
Di dalam Procedural Order No. 7 tertanggal 31 Agustus 2000, majelis
arbitrase membuat keputusan sebagai berikut:
a. Berhubung Procedural Order No. 6 tidak lagi mencantumkan surat
Pertamina tanggal 10 Agustus 2000 dan majelis arbitrase akan
memeriksa ketepatan setiap pernyataan para pihak sehubungan dengan
keputusan ini, maka surat tersebut tidak akan dipertimbangkan oleh
majelis arbitrase.
b. Sidang perkara ditutup dan segala argumentasi atau penyerahan bukti
tidak akan diterima lagi, kecuali diijinkan atau diminta oleh majelis
arbitrase sendiri.
c. Para pihak dianjurkan untuk menyerahkan Laporan Biaya masing-masing
selama proses sidang perkara, termasuk seluruh biaya dan pengeluaran
serta ongkos pengacara selambat-lambatnya tanggal 15 September 2000
jam 6 sore waktu Paris.
Based on Gatots Research
Only for Private Use

12

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

Pada tanggal 15 September 2000 para pihak menyerahkan Laporan


Biaya mereka. KBC dalam hal ini meminta sebesar US $2.510.658 (dua juta
lima ratus sepuluh ribu enam ratus lima puluh delapan) dolar ditambah
dengan US $365,244.35 (tiga ratus enam puluh lima ribu dua ratus empat
puluh empat dan tiga puluh lima sen) dolar Amerika berikut bunga sebesar
4,53% per tahun. Biaya ini mewakili biaya yang dicantumkan di dalam
putusan awal, walau belum dibuktikan kebenarannya, yaitu sebesar US $
350.415,56 (tiga ratus lima puluh ribu empat ratus lima belas dan lima puluh
enam sen) dolar. Biaya yang ditanggung oleh Pertamina adalah sebesar US
$ 2.823.621,18 (dua juta delapan ratus dua puluh tiga ribu enam ratus dua
puluh satu dan delapan belas sen) dolar.

e. Gugatan dan ringkasan putusan arbitrase


Di dalam berkas gugatan yang sudah diperbaiki, tertanggal 24 November
1999, KBC menuntut ganti kerugian sebagai berikut:
1. Ganti kerugian akibat pelanggaran kontrak
a. kerugian tersebut termasuk:
1) pembayaran atas kerugian sebesar US $96 juta (sembilan puluh
enam juta) dolar;
2) kompensasi akibat kehilangan keuntungan sebesar US$512.5 juta
(lima ratus dua belas dan lima sen) juta dolar
3) sebagai

alternatif

untuk

ganti

kerugian

akibat

kehilangan

keuntungan, diperhitungkan jumlah pembayaran yang harus dikirim


adalah sebesar US$ 437 (empat ratus tiga puluh tujuh) juta dolar;
b. secara alternatif, pembatalan kontrak dan kerugian-kerugian; dan
c. secara alternatif, pelaksanaan secara khusus.
2. Kerugian akibat perolehan harta dengan tidak wajar/adil.
3. Bunga dan kerugian yang diderita oleh KBC sejumlah US$ 58.6 (lima
Based on Gatots Research
Only for Private Use

13

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

puluh delapan koma enam) juta dolar Amerika pada tanggal 24


November 1999 dari denda yang harus dibayarkan kepada KBC
sejumlah US$608,5 juta dolar (US$ 96 juta + USS $ 512.5 juta) atau
secara alternatif sebesar US$51.3 juta dolar apabila majelis arbitrase
menyampaikan bahwa KBC berhak memperoleh US$532.9 juta dolar
(US$96 juta + US$437 juta dolar).

KBC menjelaskan bahwa permohonan pembatalan kontrak bukan


merupakan alternatif terhadap permohonan untuk ganti kerugian dan bahwa
KBC mengajukan permohonan atas pembatalan dan penggantian kerugian.
Di samping itu, Pertamina diminta untuk membayar biaya arbitrase.
Dalam semua berkas yang dimasukkan, Pertamina telah mengajukan
permohonan agar tuntutan KBC ditolak dan KBC dikenakan ongkos dan
biaya arbitrase.
Dalam penyelesaian melalui arbitrase ini, majelis arbitrase mengeluarkan
2 (dua) putusan yaitu putusan pendahuluan (Preliminary Award) pada 30
September 1999 dan putusan akhir (Final Award) pada 18 Desember 2000.
Dalam Preliminary Award, intinya majelis arbitrase menyatakan bahwa
arbitrase

Jenewa

memiliki

yuridiksi

terhadap

Pertamina

dan

PLN,

berdasarkan perjanjian arbitrase dalam JOC dan ESC. Selanjutnya dalam


final award, arbitrase Jenewa menyatakan agar Pertamina dan PLN
membayar ganti rugi sebesar US$ 261.100.000 termasuk bunga sebesar 4%
pertahun, terhitung tanggal 1 Januari 2001 sampai lunas.
Atas putusan arbitrase Jenewa tersebut, Pertamina dan PLN tidak
bersedia melaksanakannya. Sebagai upaya hukum Pertamina mengajukan
gugatan pembatalan putusan arbitrase Jenewa, kepada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat (PN Jakpus) pada 14 Maret 2002. Pada 27 Agustus 2002,
majelis hakim mengeluarkan putusan yang membatalkan Preliminary Award
dan Final Award yang dihasilkan oleh Majelis Arbiatrase di Jenewa, Swiss.
Based on Gatots Research
Only for Private Use

14

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

B. Pembahasan
1. Penyelesaian Sengketa di Arbitrase UNCITRAL
Penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di Jenewa melalui persidangan
arbitrase UNCITRAL memeriksa beberapa hal terkait, yaitu pelanggaran atas
kontrak ESC dan JOC yang dilakukan oleh Pertamina, masalah pengakhiran
kontrak, perdebatan mengenai ganti kerugian atas kehilangan modal dan
hilangnya keuntungan yang diharapkan. Berdasarkan hasil pemeriksaan para
pihak yang bersengketa, majelis arbitrase memutuskan penggantian kerugian
yang timbul, disertai bunga dan biaya arbitrase.

a. Pelanggaran atas Kontrak ESC dan JOC


Dari dokumen-dokumen yang diperolah dari hasil penelitian diketahui
bahwa pertanyaan pertama yang diangkat oleh Arbitrase UNCITRAL adalah
mengenai posisi Pertamina, yaitu: Apakah ia telah melanggar kewajiban
berdasarkan baik kontrak ESC maupun kontrak JOC? Untuk itu sebelum
sampai pada keputusan majelis arbitrase, perlu diuraikan posisi KBC dan
Pertamina lebih dahulu sebagai berikut:

1) Posisi KBC sebagai penggugat


KBC menuduh bahwa Pertamina telah melanggar beberapa kewajiban
berdasarkan kontrak ESC dan JOC dengan cara, antara lain, mencegah KBC
untuk menyelesaikan pembangunan unit-unit pembangkit tenaga listrik
dengan kapasitas maksimum 400 MW. KBC menyatakan bahwa PLN tidak
akan membeli dan Pertamina tidak akan menjual tenaga listrik yang
dihasilkan oleh KBC.
Secara khusus, KBC menekankan bahwa Pertamina melalui kontrak ESC
dan JOC setuju untuk menanggung risiko atas tindakan Pemerintah. Dengan
demikian Keputusan Presiden No. 30 Tahun 1997 dan No. 5 Tahun 1998
Based on Gatots Research
Only for Private Use

15

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

bukan merupakan alasan untuk tidak memenuhi kontrak. Jadi Pertamina


tetap harus menjalankan kewajiban mereka dan tidak melanggarnya.58
KBC menyatakan bahwa hubungan dekat antara Pertamina dan
Pemerintah

Republik

Indonesia

adalah

alasan

yang

cukup

untuk

pengalokasian risiko. Menurut pandangan KBC, Keputusan Presiden tidak


ada sangkut pautnya dengan pembatalan oleh Pertamina.
KBC menambahkan bahwa dengan melakukan berbagai tindakan dan
usaha untuk menghindari dan atau menolak kontrak, Pertamina telah
melanggar kewajiban untuk melaksanakan kontrak dengan itikad baik, seperti
ditentukan di dalam KUHPerdata Pasal 1338 ayat (3). KBC menganggap
sikap

Pertamina

tersebut

sebagai

penolakan

secara

sengaja

atas

pelaksanaan kewajiban mereka yang hal ini sama dengan pelanggaran


kewajiban untuk melaksanakan perjanjian dengan itikad baik.
Selanjutnya, KBC menuduh bahwa Pertamina (dan PLN) telah melanggar
kewajiban mereka sebagaimana tercantum di dalam kontrak ESC, yaitu:
" untuk menjalankan dan melakukan tindakan dan hal-hal lainnya, yang
diperlukan atau yang dapat memperlancar pelaksanaan ketentuan dalam
Perjanjian ini."59

2) Posisi Pertamina sebagai tergugat


Pertamina telah memposisikan dirinya sebagai pihak yang tidak dapat
dipersalahkan dan sebaliknya menyatakan bahwa, KBC dengan cara yang
tidak benar telah mencoba untuk membuat Pertamina bertanggungjawab
atas tindakan yang diambil oleh Pemerintah Republik Indonesia walaupun
majelis arbitrase telah mengeluarkan putusan awalnya pada 30 September

58

KBC menyimpulkan dari kontrak ESC [Pasal 9.2 (e)] dan JOC [Pasal 5.2 (e)] bahwa tindakan yang
dilakukan Pemerintah merupakan suatu keadaan memaksa jika hal itu berkenaan kepada KBC saja.
59
Lihat Pasal 21.1 JOC, dan Pasal 15.1 ESC.

Based on Gatots Research


Only for Private Use

16

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

1999

bahwa

tindakan

Pemerintah

tersebut

bukan

merupakan

pelanggaran kontrak yang dilakukan oleh PLN atau Pertamina.


Pertamina menjelaskan bahwa secara tidak jujur KBC telah membedakan
antara Keputusan Presiden dan kewajiban Pertamina untuk mentaati
Keputusan

Presiden

tersebut.

Pertamina

menekankan

bahwa

tidak

seorangpun di antara mereka yang bertanggungjawab terhadap keluarnya


keputusan tersebut.
Sebaliknya, Pertamina dengan itikad baik telah berusaha untuk membujuk
Pemerintah agar membebaskan proyek Karaha Bodas dari Keputusan No. 5
Tahun 1998. Berbagai upaya tersebut dilakukan oleh Pertamina sejak proyek
masih dalam taraf awal pembangunan; proyek pembangkit tenaga listrik
belum dibangun sehingga belum ada kewajiban membayar. Pertamina
menekankan bahwa usaha tersebut tetap dilanjutkanbahkan setelah KBC
menghentikan pelaksanaan pekerjaannya yang sudah tercantum di dalam
kontraksebagaimana ditulis di dalam surat yang dikirim kepada Pemerintah
pada tanggal 11 Juni 1998.
Di samping itu, sebelumnya Pertamina juga berusaha untuk dapat
membatalkan Keputusan Pemerintah No. 39 Tahun 1997, dan hal itu telah
berhasil dilakukan dengan dikeluarkannya Keppres No. 47 Tahun 1997.
Kenyataan

bahwa

usaha

Pertamina

telah

terbukti

gagal

dengan

dikeluarkannya Keputusan No. 5 Tahun 1998 memperlihatkan bahwa


tuntutan KBC tidaklah didasarkan atas perbuatan (upaya) Pertamina namun
berdasarkan keputusan itu sendiri.
Pertamina

menilai KBC telah mencoba untuk mempengaruhi majelis

arbitrase agar membatalkan putusan awal, dengan menggunakan Keputusan


Presiden sebagai alasan bahwa Pertamina telah melanggar kontrak.
Tindakan ini tidak sejalan dengan prosedur yang telah ditentukan oleh majelis

Based on Gatots Research


Only for Private Use

17

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

arbitrase sendiri yang, di dalam putusan awalnya, membatasi masalahmasalah yang harus diselesaikan dalam waktu ini.
Menurut Pertamina, di dalam putusan awal, majelis arbitrase telah
memutuskan dengan benar bahwa keadaan memaksa yang timbul sebagai
akibat tindakan Pemerintah bukanlah tindakan pelanggaran kontrak JOC dan
ESC. Keadaan memaksa tersebut juga mengampuni KBC untuk tidak
melakukan pekerjaannya.
Pertamina menyatakan pula bahwa tindakannya dan PLN untuk menolong
KBC dengan cara mendorong Pemerintah Indonesia mengambil tindakan
merupakan bukti bahwa ia tidak memiliki kewajiban kontrak akibat tindakan
Pemerintah mengeluarkan keputusan pemberhentian proyek.
Pertamina menolak tuduhan bahwa ia telah melanggar kewajiban karena
telah memberikan jaminan kepada KBC untuk tetap melaksanakan proyek.
Sebaliknya, KBC-lah yang melanggar kewajiban karena secara sepihak
memutuskan untuk tidak meneruskan kontrak dalam waktu sebulan setelah
keputusan presiden tertanggal 10 Januari 1998 keluar.
Berlawanan dari pernyataan KBC, Pertamina tidak melanggar atau
membatalkan kontrak. Secara khusus, surat PLN tertanggal 6 Maret 1998
kepada KBC dan Pertamina yang menyatakan bahwa seluruh pihak harus
tunduk kepada Keputusan Presiden, dan jika tidak, segala tindakan masingmasing adalah tanggungan sendiri, pada prinsipnya menyampaikan bahwa
KBC dapat terus melanjutkan proyek, namun karena penundaan tidak
diketahui akan berlangsung berapa lama, tidak jelas bentuk risiko yang harus
ditanggung. Hal ini bukanlah penolakan terhadap kontrak.
Tambahan pula, KBC tidak dapat berpatokan pada surat tanggal 6 Maret
1998 untuk menuduh PLN melanggar kontrak karena melalui surat tanggal 10
Februari 1998, KBC telah mengumumkan bahwa pihaknya tidak melanjutkan
proyek. Sebaliknya, persetujuan yang dikeluarkan Pertamina terhadap
Rencana Kerja dan Anggaran KBC yang dikeluarkan pada tanggal 11 Maret
Based on Gatots Research
Only for Private Use

18

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

1998, menunjukkan bahwa Pertamina masih berharap proyek tersebut dapat


dilanjutkan kembali.60
Akhirnya di dalam surat tertanggal 30 April 1998 (yang menurut Bapak
Sulaiman, salah satu saksi Pertamina, sesungguhnya ditulis pada tanggal 25
Juni 1998)61 dan pada tanggal 4 Desember 1998, KBC mengkonfirmasikan
bahwa tidak terdapat konflik antara KBC dan Pertamina "pada tanggal
tersebut ataupun sebelumnya".
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Pertamina menekankan dalam
hal apapun, KBC telah gagal membuktikan bahwa pihak tersebut siap,
bermaksud dan sanggup melaksanakan perjanjian karena pihak tersebut
tidak memiliki dan tidak dapat memenuhi pembiayaan yang diwajibkan dan
tidak menunjukkan bahwa pihak tersebut sanggup membangun pembangkit
tenaga listrik berkapasitas 210 MW. Dengan demikian, pihak KBC tidak dapat
menuntut ganti kerugian atas tuduhan pelanggaran kontrak serta tidak
memiliki dasar untuk menerima pengiriman uang seperti yang diperkirakan.

3) Dasar dan putusan majelis arbitrase


Dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1998 pada 10
Januari 1998, maka para pihak tidak sanggup melaksanakan kewajiban
utamanya

untuk

melaksanakan

kontrak.

Ketidakmungkinan

untuk

melaksanakan kontrak tersebut telah disampaikan oleh KBC melalui surat


tertanggal 10 Februari 1998 yang ditujukan kepada Pertamina dan PLN, yang
di dalamnya dicantumkan peringatan bahwa Keputusan Presiden No. 5
Tahun 1998 dan No. 39 Tahun 1997 merupakan bagian dari keadaan
memaksa (force majeure) berdasarkan perjanjian ESC dan JOC. KBC
60

Tindakan lain yang dinilai oleh Pertamina sebagai pelanggaran tersebut dilakukan setelah KBC
menghentikan pelaksanaan proyek dan bahkan setelah dimulainya arbitrase.
61
Sayfi Sulaiman bersama dengan John Norris dan Assistia Semiawan adalah saksi dari Pertamina,
sedangkan saksi-saksi dari KBC adalah: Christopher McCallin, Leslie Gelber, Robert McGrath, dan
Barbara Bishop Gollan.

Based on Gatots Research


Only for Private Use

19

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

menyebutkan bahwa: "... keadaan memaksa seperti yang disebut di atas


telah menyebabkan ditangguhkannya perjanjian yang tercantum di dalam
ESC dan JOC, yang bersamaan dengan penangguhan waktu berdasarkan
perjanjian tersebut menyangkut juga hal-hal lain sejauh memang sudah
dicantumkan."
Namun demikian, Pertamina tidak pernah mengajukan penilaian terhadap
situasi tersebut. Sebaliknya, pada tanggal 11 Maret 1998, Pertamina
menyetujui perbaikan Rencana Kerja dan Anggaran 1998 yang disusun oleh
KBC untuk menanggulangi situasi akibat Keputusan Presiden No. 5 Tahun
1998, dan Pertamina meminta KBC untuk melakukan penyesuaian
sebagaimana diperlukan karena situasi tersebut.
Dalam kaitan itu, tidak diragukan bahwa penundaan proyek yang
menimbulkan keprihatinan di kalangan para pihak ini merupakan suatu
keputusan yang harus dihormati. Akan tetapi, konsekuensi hukum dari situasi
ini tidak sama terhadap KBC di satu pihak, dan kepada Pertamina dan PLN di
lain pihak. Para pihak maklum bahwa Keputusan Presiden untuk menunda
proyek Karaha Bodas merupakan Government Related Event sebagaimana
didefinisikan di dalam ESC dan JOC, yang menyatakan bahwa: Kejadiankejadian yang disebabkan oleh keadaan memaksa mencakup, tetapi tidak
terbatas pada hal-hal:

(e) setiap tindakan yang berhubungan dengan

Pemerintah berhubungan dengan Kontraktor saja.62


Oleh sebab itu, melalui dua kontrak tersebut dinyatakan bahwa
Keputusan Presiden adalah keadaan memaksa bagi KBC, dan bukan bagi
Pertamina dan PLN. Konsekuensi hukumnya adalah, bahwa KBC berhak
untuk

memakai

keputusan

presiden

sebagai

alasan

untuk

tidak

melaksanakan kewajibannya, sedangkan Pertamina dan PLN tidak berhak


62

Pernyataan yang sama terdapat di dalam Pasal 9.2 (e) ESC, kata "Kontraktor diganti dengan kata
'Company, di mana keduanya mengacu kepada KBC.

Based on Gatots Research


Only for Private Use

20

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

untuk

melakukan

tanggungjawabnya.

hal

yang

sama,

Pernyataan

yaitu

sebaliknya

melepaskan
adalah

diri

dengan

dari
tidak

melaksanakan kewajibannya, maka Pertamina telah mencoba untuk


menghindar dari kewajiban [sebagaimana tercantum di dalam Pasal 15.2 (e)
JOC dan Pasal 9.2 (e) ESC yang menyatakan bahwa Government Related
Event bukanlah keadaan memaksa bagi Pertamina dan PLN].63
Mengingat Pertamina dan PLN tidak dapat menggunakan Keputusan
Presiden sebagai alasan yang sah untuk tidak melakukan kewajiban mereka
di bawah ESC dan JOC, maka tindakan Pertamina dan PLN untuk tidak
melakukan kewajiban tersebut adalah pelanggaran kontrak sehubungan
dengan tanggungjawab mereka, kecuali jika mereka dapat menunjukkan
keadaan yang dapat membebaskan mereka dari tuduhan pelanggaran
tersebut. Dalam hal ini, pernyataan Pertamina bahwa KBC telah gagal
membuktikan kesiapan dan kesanggupan dalam melaksanakan Perjanjian
Proyek dianggap tidak penting.
Kesimpulan tersebut tidak bertentangan dengan penemuan majelis
arbitrase yang dicantumkan di dalam putusan awal tertanggal 30 September
1999, yang menyatakan bahwa "Keputusan Pemerintah yang menghalangi
KBC

untuk

melakukan

kewajibannya

tidak

dipertimbangkan

sebagai

pelanggaran yang dilakukan Pertamina dan PLN terhadap kontrak tersebut


namun sebagai keadaan memaksa yang mendasari KBC untuk tidak
melakukan

pekerjaannya."

Penemuan

tersebut

menekankan

bahwa

Pemerintah bukanlah pihak yang berkepentingan di dalam kontrak tersebut.


Berbeda dengan pandangan Pertamina, kenyataan bahwa mereka tidak
bertanggungjawab

terhadap

keluarnya

Keputusan

Presiden

yang

63

Menurut Simson Panjaitan, perlu diteliti secara kronologis mengapa perjanjian (yang jelas-jelas
melemahkan Pertamina) tersebut tetap ditanda-tangani. Perjanjian yang menyatakan force majeure
hanya berlaku bagi KBC, dan tidak bagi Pertamina, merupakan suatu kelemahan yang nyata.
Menurutnya secara substansi Keppres tersebut merupakan hal di luar kekuasaan kedua belah pihak,
sehingga seharusnya force majeure berlaku pula bagi kedua belah pihak.

Based on Gatots Research


Only for Private Use

21

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

menghalangi pelaksanaan kontrak tidaklah membebaskan mereka dari


tanggungjawab jika mereka tidak melaksanakan kewajiban mereka dalam
rangka tunduk kepada keputusan tersebut. Karena Government Related
Event tidaklah termasuk keadaan memaksa bagi Pertamina dan PLN, maka
bukanlah alasan yang tepat bagi mereka untuk tidak melaksanakan kontrak,
sehingga hal ini dianggap pelanggaran kontrak.
Perbedaan penerapan tersebut bukanlah sesuatu yang dibuat-buat,
sebagaimana dinyatakan oleh Pertamina. Hal ini juga berlaku bagi setiap
pihak yang terhalang untuk melaksanakan kewajiban kontrak dikarenakan
situasi yang bukan termasuk keadaan memaksa. Misalnya, pemogokan kerja
dapat atau tidak dapat dikategorisasikan sebagai keadaan memaksa. Apabila
tidak,

maka

walaupun

perusahaan

dihalangi

untuk

melaksanakan

kewajibannya karena pemogokan tersebut, namun bisa saja dengan tidak


melaksanakan

kewajibannya,

perusahaan

tersebut

dapat

dianggap

melanggar kontrak. Begitu pula penjual, menurut ketentuan perdagangan


(misalnya CIF; Cost Insurance Freight) tidak mempunyai alasan yang sah
untuk tidak mengirim barang dengan alasan karena adanya pembatalan ijin
ekspor;

walaupun

pembatalan

tersebut

disebabkan

oleh

keputusan

pemerintah dimana si penjual sesungguhnya tidak bertanggungjawab, namun


dengan tidak melakukan kewajiban mengirim barang, maka penjual sudah
melanggar kontrak.
Dengan menunjuk Pasal 15.2 (e) JOC dan Pasal 9.2 (e) ESC, KBC
secara tepat mencantumkan perihal alokasi risiko, dan menyebutkan bahwa
konsekuensi akibat Keputuan Pemerintah yang menghalangi pelaksanaan
kontrak adalah menjadi tanggungan Pertamina dan PLN.
Majelis arbitrase tidak dapat mengerti maksud Pertamina ketika mereka
menyatakan bahwa: KBC dapat terus melanjutkan proyek, namun karena
penundaan tidak diketahui akan berlangsung berapa lama, maka tidak jelas
bentuk risiko yang harus ditanggung." Surat tersebut menyatakan bahwa:
Based on Gatots Research
Only for Private Use

22

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

"PLN, Pertamina dan Company (KBC) harus tunduk kepada Keputusan


Presiden," dan memperingatkan konsekuensi yang timbul jika tidak
melaksanakan kewajiban tersebut, bahwa "harus menjadi tanggungan dan
risiko anda, seluruh aktivitas yang telah dimulai atau dilaksanakan oleh anda
sehubungan dengan Proyek Geo-termal Karaha, yang tidak tercantum di
dalam Keputusan Presiden tersebut."
Bertentangan dengan pendapat Pertamina, bahwa hal itu bukan
merupakan kondisi agar KBC dapat meneruskan proyek. Namun, pernyataan
tersebut justru merupakan saran untuk tidak melaksanakan proyek dengan
mengacu pada pernyataan: " jika saran tersebut tidak diikuti oleh KBC
dan/atau Pertamina, mereka akan menanggung risiko mereka sendiri.64
Dalam kaitan itu pada 30 April 1998, KBC menyatakan tidak ada
perselisihan dengan Pertamina dan tidak ada hubungannya sama sekali, dan
pernyataan tersebut dikonfirmasikan lagi pada bulan Juni 1998 dan bulan
Desember 1998. Tentu saja, pernyataan ini muncul sebagai usaha untuk
memelihara

hubungan

baik

dengan

Pertamina

dan

mengandung

pengharapan bahwa akan ditemukan penyelesaian untuk masalah ini.


Di pihak lain dalam suratnya tertanggal 6 Maret 1998, PLN nampak
dengan jelas berusaha untuk tidak melaksanakan kewajiban kontrak, dengan
peringatan tambahan bahwa pelaksanaan kewajiban oleh KBC dan
Pertamina

tidaklah

dianggap

sebagai

bagian

dari

ESC

dan

JOC.

Berdasarkan penjelasan tersebut, PLN bermaksud untuk melanggar kontrak


dan hal ini merupakan hasutan kepada Pertamina untuk melakukan
pelanggaran yang sama. Dengan tidak adanya sikap keberatan dari
Pertamina terhadap pernyataan PLN yang tegas dan sikap setuju dengan

64

Di sini Pertamina dinilai hanya mencari alasan untuk melimpahkan risiko kepada KBC yang
bertalian dengan Government Related Event; suatu risiko yang sesungguhnya hanya meliputi
Pertamina dan PLN menurut kontrak.

Based on Gatots Research


Only for Private Use

23

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

instruksi PLN, maka dapat dianggap bahwa keduanya memiliki pendapat


yang sama, dan hal ini adalah pelanggaran kewajiban di bawah JOC.
Pertamina tidak meyakinkan ketika ia mengacu pada suratnya tertanggal
11 Maret 1998 yang isinya menyetujui "Rencana Kerja dan Anggaran 1998"
yang sudah diperbaiki sebagai bukti bahwa Pertamina setuju dengan
pekerjaan dan rencana KBC sehubungan dengan proyek tersebut; dengan
harapan bahwa proyek akan dilanjutkan kembali. Surat tersebut dikirim
sebagai jawaban terhadap surat KBC tertanggal 5 Maret 1998 yang isinya
menyatakan bahwa: "Karena Keputusan Presiden, KBC tidak dapat
menyelesaikan rencana sebelumnya yang pernah diajukan untuk tahun
1998."65
Pertamina menerima keputusan KBC (yang berhak menyatakan diri
berada dalam keadaan memaksa). Namun demikian Pertamina cukup
tanggap untuk mendorong KBC agar "segera melakukan penyesuaian yang
diperlukan untuk Rencana Kerja dan Anggaran 1998". Pertamina sama sekali
tidak bermaksud menyetujui KBC melanjutkan pelaksanaan proyek, namun
mendukung penangguhan proyek tersebut dan memperingatkan KBC untuk
sepenuhnya tunduk kepada Keputusan Presiden. Majelis arbitrase menilai
bahwa surat tersebut sejalan dengan instruksi yang diberikan PLN di dalam
surat tertanggal 6 Maret 1998 dan tidak dapat diartikan sebaliknya.
Kenyataan yang disampaikan Pertamina bahwa, surat PLN tertanggal 6
Maret 1998 dikirim setelah KBC memberitahu pada tanggal 10 Februari 1998
mengenai penangguhan pelaksanaan

proyek,

tidaklah

membebaskan

Pertamina dari kewajiban-kewajibannya. Hal ini karena Keputusan Presiden


merupakan suatu keadaan memaksa bagi KBC, sehingga KBC berhak
65

Sebagaimana diketahui bahwa berkenaan dengan alasan yang sah untuk membatalkan pekerjaan,
yang diberitahukan melalui surat tanggal 10 Februari 1998, KBC menyusun rencana baru dalam
rangka pelaksanaan proyek tersebut untuk kuartal keempat 1998 dengan asumsi bahwa pada saat itu
proyek akan dilanjutkan kembali.

Based on Gatots Research


Only for Private Use

24

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

menangguhkan aktivitas pekerjaannya. Sebaliknya, keadaan tersebut bukan


keadaan memaksa bagi PLN dan Pertamina, sehingga keduanya tidak
memiliki dasar hukum untuk melakukan penangguhan.
Tindakan dengan dasar hukum oleh pihak yang dikontrak tidak dapat
membenarkan tindakan pihak lainnya sehingga PLN dan Pertamina dapat
menjadikan pemberitahuan KBC perihal keadaan memaksa sebagai
pembenaran untuk tidak melakukan kewajibannya pada saat itu. Terlebih lagi
melalui surat tertanggal 10 Februari 1998, KBC telah meminta dengan sangat
kepada Pertamina dan PLN untuk "berusaha sebaik mungkin melanjutkan
proyek." Tetapi surat PLN tertanggal 6 Maret 1998 dan surat Pertamina 11
Maret 1998 dalam hal ini, telah membuat KBC kehilangan harapan.
Menurut majelis arbitrase, perlu dipertimbangkan mengenai tuntutan KBC
yang berkenaan dengan pelanggaran kontrak di bawah ESC Pasal 15.1
tentang ketentuan perihal kelanjutan asuransi, yang isinya: "Masing-masing
Pihak sepakat untuk melaksanakan dan menyerahkan perangkat-perangkat
lain, dan untuk menjalankan dan melakukan tindakan dan hal-hal lainnya,
yang diperlukan atau yang dapat memperlancar pelaksanaan ketentuan
dalam Perjanjian ini. Dalam hal ini PLN ataupun Pertamina tidak
menyediakan KBC jaminan bahwa mereka akan memenuhi kewajiban
mereka berdasarkan ketentuan tersebut. Sebaliknya dari sikap mereka
nampak bahwa mereka tidak melaksanakan kewajiban karena mereka hanya
tunduk kepada Keputusan Presiden.
Meskipun surat Pertamina tertanggal 11 Februari 1998 kepada Bappenas
telah menunjukkan usaha yang serius pada tahap awal untuk meyakinkan
Pemerintah Indonesia agar mempertimbangkan kembali kedudukannya,
kenyataannya tidak ada tindak lanjut. Khususnya, tidak ada pertemuan di
antara PLN, Pertamina dan KBC, yang dapat memberikan jaminan kepada
KBC bahwa telah dilakukan cukup usaha agar proyek dilanjutkan kembali.
Sebaliknya surat PLN 6 Maret 1998, yang ditentang oleh Pertamina,
Based on Gatots Research
Only for Private Use

25

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

menyatakan dengan jelas bahwa tidak ada hal apapun yang telah dilakukan
atau diharapkan akan dilakukan. Di dalam pertemuan pada tanggal 8 Mei
1998, bertempat di kantor Pertamina, KBC diberitahu bahwa: "menurut
Bappenas, langkah-langkah yang harus diambil untuk kelanjutan proyek geotermal diharapkan akan diputuskan pada bulan Juni 1998.. Di dalam
pertemuan tersebut, dinyatakan pula bahwa: "Pertamina mendapatkan
prakarsa dari perusahaan industri swasta untuk mengatur suatu seminar para
pengusaha industri dan Menteri Pertambangan dan Energi yang baru dengan
tujuan memberitahu Menteri tersebut mengenai posisi dan pentingnya
industri geo-termal." Adapun waktu yang diajukan untuk pengadaan seminar
tersebut adalah bulan Oktober 1998, yang mendorong wakil KBC
memberikan tanggapan bahwa "bulan Oktober tampaknya terlalu terlambat
dan dapat membuat para investor kehilangan kesabaran."
Majelis arbitrase menghargai fakta bahwa Pertamina telah mengirim surat
pada tanggal 11 Juni 1998 kepada Direktur Jenderal Minyak dan Gas.
Meskipun demikian surat tersebut tidak memperlihatkan usaha keras untuk
membuat proyek Karaha Bodas dilanjutkan kembali. Surat tersebut
merupakan permohonan untuk mendapatkan penjelasan perihal situasi 6
bulan setelah dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1998 dan 5
bulan setelah dikeluarkannya surat Pertamina tertanggal 11 Februari 1998.

Surat tersebut isinya adalah sebagai berikut:


Sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 5 pada tahun 1998
tertanggal 10 Januari 1998 sampai sekarang ini tidak ada tanda-tanda
apapun dari Pemerintah yang menunjukkan bahwa proyek akan
dilanjutkan kembali, sementara PT PLN (Persero) melalui surat
Presiden Direktur bernomor n.107/037/DIRUT/1998-R/M dan
n.114/037/DIRUT/1998-R/M tertanggal 6 Maret 1998 telah
memberitahu seluruh kontraktor JOC bahvva seluruh risiko yang
muncul akibat aktivitas pelaksanaan JOC yang tunduk pada
Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1997 dan Nomor 5 Tahun 1998
harus ditanggung dan dipertanggungjawabkan masing-masing.
Based on Gatots Research
Only for Private Use

26

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

Kondisi yang tidak dikonfirmasi ini mengakibatkan kesulitan bagi para


kontraktor JOC untuk membuat rencana selanjutnya, karena menurut
pernyataan PT PLN (Persero), komunikasi di dalam Forum JCM telah
terhenti. Sementara itu pertemuan JCM sangatlah penting untuk
mengantisipasi apa yang sebelumnya harus dilakukan, apabila proyek
dilanjutkan kembali.
Lebih lanjut lagi kondisi ini memiliki dampak langsung untuk
menghentikan setiap aktivitas sehubungan dengan negosiasi
kontraktor proyek geo-termal yang memiliki Surat Izin Utama dari
Menteri Pertambangan dan Energi.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, kami ingin mengajukan
permohonan kepada Pemerintah untuk sedini mungkin memberikan
penjelasan dan bimbingan sehubungan dengan kelanjutan proyek
geo-termal berdasarkan Keppres No. 39/1997 dan No. 5/1998 dan
negosiasi selanjutnya JOC dan ESC yang telah memiliki Surat lzin
Utama.
Untuk pertimbangan anda dan peninjauan kembali, bersama ini kami
lampirkan status proyek geo-termal di daerah di mana JOC dan ESC
ditugaskan, dan laporan kemajuan yang telah dicapai di dalam
prospek negosiasi JOC dan ESC yang sudah mendapatkan Surat Izin
dari Menteri Pertambangan dan Energi.
Menurut majelis arbitrase surat tersebut menyatakan bahwa Pertamina
dalam pertemuan tanggal 8 Mei telah menyinggung mengenai KBC dan
keputusan tentang hal itu diharapkan akan diambil pada bulan Juni 1998,
sehingga hal ini seolah-olah hanya mengemukakan harapan-harapan yang
tidak ada dasarnya. Surat ini menunjukkan secara tidak langsung bahwa
Pertamina tidak melakukan apa-apa sejak tanggal 10 Februari 1998 untuk
melanjutkan proyek, dan PLN masih berpegang teguh dengan isi surat
tertanggal 6 Maret 1998.
Di dalam situasi ini, majelis arbitrase berkesimpulan bahwa Pertamina
telah melanggar kewajiban masing-masing berdasarkan ESC Pasal 15.1 dan
JOC Pasal 21.1. Pelanggaran tersebut menjadi berat berdasarkan keputusan

Based on Gatots Research


Only for Private Use

27

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

untuk tidak memenuhi kontrak sebagai akibat dari Keppres dan pelanggaran
kewajiban atas pelaksanaan kontrak dengan itikad baik. Tidak memenuhi
kontrak untuk sementara waktu karena keputusan pemerintah merupakan
satu hal yang tergantung pada alokasi risiko di antara para pihak, di mana
itikad baik tidak dipersoalkan. Akan tetapi sebaliknya, jika pihak pelanggar
kontrak lalai melakukan usaha sebaik mungkin untuk membatalkan
keputusan pemerintah, sedangkan menurut kontrak pihak itu berkewajiban
untuk melakukan usaha tersebut, serta mereka dalam kedudukan untuk ikut
campur secara efisien (sebagaimana halnya PLN dan Pertamina), maka
kegagalan atas kewajiban pemenuhan kontrak dengan itikad baik dan
kewajiban berdasarkan hukum yang harus dilaksanakan oleh pihak tersebut
membuat kedua pelanggaran tersebut sangat berhubungan.
Demikian pula, meskipun Pertamina telah melakukan usaha yang terbaik
demi kelanjutan proyek Karaha Bodas, menurut Kontrak mereka tetap telah
melakukan pelanggaran terhadap kewajiban melaksanakan kontrak, karena
Keppres tidak dapat dijadikan alasan yang sah untuk tidak melaksanakan
kewajiban mereka. Kesimpulan ini dikuatkan oleh kenyataan bahwa
Pertamina selanjutnya wajib untuk menolong KBC dalam hubungannya
dengan Pemerintah.66
Dengan beberapa dasar argumentasi di atas, tanpa perlu membuat
pertimbangan atas pelanggaran lainnya dari Pertamina, majelis arbitrase
memutuskan bahwa Pertamina sebagai tergugat telah melanggar kewajiban
mereka menurut ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam ESC dan
JOC.

66

Lihat Pasal 11.2 (c) dan (d) JOC; dan Pasal 4.3 ESC, sebagaimana diacu oleh majelis arbitrase
melalui Putusan Awal bahwa di dalam kontrak, Pertamina dan Pemerintah Indonesia adalah dua pihak
yang berbeda. Dengan tidak memenuhi tanggungjawab menolong KBC tersebut, hal ini menambah
berat pelanggaran akibat kegagalan memenuhi kedua kontrak akibat dikeluarkannya Keppres.

Based on Gatots Research


Only for Private Use

28

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

b. Masalah Pengakhiran Kontrak


Persoalan lainnya yang mendapatkan putusan Arbitrase UNCITRAL adalah:
Apakah kontrak/perjanjian perjanjian jual beli energi (ESC) dan/atau
perjanjian kerja sama operasional (JOC) harus diakhiri? Untuk itu, perlu
diketahui lebih dahulu argumentasi KBC dan posisi Pertamina dalam
kaitannya dengan pengakhiran kontrak.
1) Argumentasi KBC
Menurut KBC, tindakan Pertamina dan PLN merupakan penolakan yang
sudah dipersiapkan, terhadap kewajiban masing-masing untuk membeli dan
menjual listrik yang dihasilkan oleh KBC sesuai dengan harga berdasarkan
kontrak. Dengan mengetengahkan bukti yang disampaikan oieh saksi ahli
Bapak Dermawan yang menyatakan bahwa di dalam hukum Indonesia tidak
ada konsep "anticipatory repudiation" (penolakan pembayaran hutang yang
sebelumnya sudah direncanakan), KBC menekankan bahwa maksud
pernyataan untuk tidak lagi terikat dengan kontrak merupakan pelanggaran
terhadap kewajiban untuk melaksanakan kontrak atau perjanjian dengan
itikad baik. hukum Indonesia mengijinkan pemutusan kontrak apabila salah
satu pihak secara material telah melanggar kontrak.
KBC menunjuk isi Pasal 12.1 ESC dan Pasal 20 JOC sebagai berikut:
"Para pihak dengan ini mengabaikan ketentuan dalam Pasal 1266 dan 1267
KUHPerdata bekenaan dengan Perjanjian ini untuk memberikan keleluasaan
yang diperlukan untuk mengakhiri Perjanjian ini tanpa melalui persetujuan
Pengadilan." Sebagai alternatif dari pemutusan atau pemberhentian kontrak
tersebut, di dalam Pernyataan Tuntutan yang teiah diperbaiki tertangal 24
Nopember 1999, KBC meminta pelaksanaan perjanjian khusus.

Based on Gatots Research


Only for Private Use

29

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

2) Posisi Pertamina
Pertamina tidak mengakui bahwa mereka telah menolak kontrak yang sudah
disepakati dan menekankan bahwa konsep penolakan kontrak yang sudah
diantisipasi tidak ada di dalam hukum Indonesia. Walaupun mereka
mengakui bahwa pemutusan kontrak yang berdasarkan hukum dapat saja
terjadi dalam kasus pelanggaran, akan tetapi mereka menekankan bahwa
satu pihak tidak dapat mempercepat pelaksanaan kewajiban pihak lainnya.
Selanjutnya mereka menyatakan bahwa pemutusan kontrak bukanlah
tuntutan atas tindakan yang berhubungan dengan pemerintah sesuai dengan
isi Kontrak.

3) Dasar dan putusan majelis arbitrase


Dengan membahas berbagai konsep perihal penolakan dan pemutusan
kontrak, KBC sesungguhnya telah memberikan masukan yang cukup lengkap
sehubungan dengan hal ini. Lebih jauh majelis arbitrase mengacu pada
Bapak Dermawan, saksi ahli Pertamina, bahwa berdasarkan hukum
Indonesia, konsep penolakan kontrak di dalam hukum adat tidak cocok
apabila dimasukkan di dalam hukum perdata. Sebaliknya, di dalam sistem
hukum perdata terdapat konsep pemutusan akibat pelanggaran.
Namun demikian, apabila konsep penolakan tersebut diterima di dalam
sistem hukum Indonesia, maka majelis arbitrase tetap memutuskan hahwa
PLN ataupun Pertamina sesungguhnya telah melanggar Kontrak.

PLN

secara langsung, Pertamina secara tidak langsung telah menyatakan bahwa


mereka menangguhkan pelaksanaan kontrak untuk sementara waktu sebagai
akibat dari Keputusan Presiden Tahun 1998. Karena mereka tidak memiliki
alasan sah untuk melakukan hal tersebut, tindakan ini merupakan
pelanggaran kontrak. Kegagalan untuk berusaha sebaik mungkin demi
dilanjutkannya kembali proyek Karaha Bodas memperberat pelanggaran
pertama yaitu pelanggaran untuk melakukan pelaksanaan kontrak dengan
Based on Gatots Research
Only for Private Use

30

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

itikad baik. Pelanggaran-pelanggaran tersebut memberikan hak bagi KBC


untuk memutuskan kontrak. Pelanggaran kontrak merupakan alasan yang
mendasar untuk pemutusan kontrak berdasarkan hukum Indonesia.67
Sehubungan dengan klausula-klausula yang ditulis di dalam kontrak,
majelis arbitrase memiliki kekuasaan perihal pemutusan Kontrak. Dalam
kedua kontrak para pihak telah menerima bahwa kontrak dapat diputuskan
oleh salah satu pihak tanpa melalui persetujuan pengadilan.68
Karena itu, mereka menerima bahwa pengakhiran dapat diputuskan oleh
Pengadilan Arbitrrase. Jadi meskipun tidak ada ketentuan-ketentuan di dalam
kontrak tersebut, majelis arbitrase berkuasa mengakhiri kontrak cukup
dengan menunjuk pada kesepakatan para pihak untuk mengajukan
sengketa-sengketa mereka agar diputuskan melalui arbitrase. Dengan
melakukan hal ini, para pihak telah memberikan wewenang hukum kepada
majelis arbitrase untuk memutuskan kontrak.
Majelis arbitrase berpendapat bahwa tidak ada satupun ketentuan dari
kedua Kontrak yang dapat dianggap menghalangi pemutusan kontrak. Pasal
11.3 ESC mengharuskan agar pihak yang lalai mengirim pemberitahuan
perihal kelalaian tersebut sebelum pihak lainnya memutuskan kontrak, dan
pihak yang lalai tersebut diberi "jangka waktu yang cukup untuk memperbaiki
kesalahan tersebut sesuai dengan kesepakatan bersama." Mekanisme
tersebut yang disusun berkenaan dengan pemutusan kontrak tidak dapat
diterapkan di dalam pemutusan yang dilakukan oleh majelis arbitrase. Hal ini
pada dasamya diterapkan terhadap kasus-kasus di mana para pihak setuju

67

Meskipun majelis arbitrase selalu mengacu pada peraturan hukum Indonesia, koordinator pengacara
Pertamina kepada penulis (dalam wawancara 21 Maret 2005) menyatakan bahwa majelis arbitrase
telah salah menerapkan hukum karena tidak menggunakan hukum Indonesia sebagai governing law;
padahal pilihan hukumnya (choice of law) yaitu: hukum Indonesia telah ditentukan secara tegas di
dalam perjanjian. Dikatakannya bahwa mereka justru menggunakan hukum Swiss, dan hanya hukum
acaranya (procedural law) menggunakan ketentuan UNCITRAL.
68
Lihat Pasal 12.1 ESC;dan Pasal 20 JOC.

Based on Gatots Research


Only for Private Use

31

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

bahwa kelalaian dapat diperbaiki, karena mereka harus menyetujui tenggang


waktu yang diperlukan untuk memperbaiki kelalaian tersebut.
Hal ini tidak berlaku apabila salah satu pihak menyampaikan tuntutan
akibat pelanggaran pihak lain yang kemudian pihak lain tersebut tidak
mengakuinya. Di dalam kasus ini, peraturan pemutusan kontrak yang
diterapkan adalah peraturan berdasarkan hukum yang berlaku.
Selanjutnya majelis arbitrase menggarisbawahi fakta berikut ini, yaitu
enam tahun telah lewat setelah pelaksanaan kontrak dan hampir tiga tahun
sejak dikeluarkannya Keppres No. 5 Tahun 1998 yang memutuskan kontrak.
Karena itu, dengan menimbang bahwa Pertamina telah gagal melakukan
usaha sebaik mungkin demi diteruskannya proyek tersebut dalam waktu
dekat, tidaklah masuk akal untuk tetap mempertahankan ikatan para pihak
dengan kontrak yang juga bertolakbelakang dengan kepentingan semua
pihak, pokok dasar kontrak, dan tujuan yang sah dari masing-masing pihak
yang semuanya ini harus dihormati oleh majelis arbitrase berdasarkan Pasal
13.2 JOC dan Pasal 8.2 (h) ESC.
Berdasarkan fakta-fakta di atas, maka majelis arbitrase menyatakan
bahwa kontrak JOC dan ESC diputuskan atau diberhentikan. Dengan
demikian tuntutan KBC terhadap pelaksanaan tertentu, yang disampaikan di
dalam alternatif, sebaiknya diabaikan.

c. Ganti Kerugian atas Kehilangan Modal


Perlu digarisbawahi bahwa dalam kasus pelanggaran kontrak, pihak yang
dirugikan berhak untuk menuntut ganti kerugian. Prinsip hukum umum ini
juga merupakan bagian dari hukum Indonesia dan tidak dibantah oleh para
pihak. Jadi, Pertamina berkewajiban membayar ganti kerugian terhadap KBC
karena Pertamina telah melanggar kewajiban yang tercantum di dalam
kontrak.

Namun

demikian,

jumlah

ganti

kerugian

tersebut

harus

diperhitungkan dan dinyatakan.


Based on Gatots Research
Only for Private Use

32

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

KBC mengajukan permohonan untuk memperoleh ganti kerugian atas


biaya yang telah dikeluarkan dan sebagai alternatif terhadap ganti kerugian
akibat

kehilangan

modal,

KBC

minta

agar

Pertamina

secepatnya

mengirimkan sejumlah uang.

1) Argumentasi KBC
KBC terutama menuntut untuk mendapatkan ganti kerugian atas sejumlah
uang yang telah dipakai untuk modal ditambah bunga sebesar 1516 persen
dari jumlah tersebut. Menurut KBC tuntutan ini didasarkan pada konsep
pendekatan ganti kerugian berdasarkan kontrak yang dinamakan damnum
emergens (kerugian yang sebenarnya dan bukan yang diantisipasi), yang
sesungguhnya telah diterapkan oleh berbagai arbitrase internasional.
Demikian pula berdasarkan asumsi bahwa hukum Indonesia dan prinsip yang
dipakai di dalam arbitrase internasional (yang telah diterima dengan baik)
memberikan ijin bagi KBC sebagai pengugat untuk menerima ganti kerugian
sesuai dengan prinsip keadilan.
KBC berpatokan pada bukti yang memperlihatkan bahwa ia telah
menggunakan uang sejumlah 94,6 (sembilan puluh empat koma enam) juta
dolar Amerika demi mencapai tujuan yang tercantum di dalam kontrak atau
perjanjian. KBC menyatakan bahwa berdasarkan dokumen dan kesaksian
Mr. Dan Campbell dan Mrs. Barbara Bishop Gollan, yang telah diuji di dalam
pemeriksaan silang saksi, ditetapkan bahwa ongkos yang telah dikeluarkan
oleh KBC adalah sehubungan dengan pembiayaan yang secara khusus
berhubungan dengan eksplorasi dan pembangunan proyek. Akibatnya,
jumlah 94,6 juta dolar tidak selayaknya dibantah dan harus dibayar bersama
dengan bunganya.
Sehubungan dengan hukum Indonesia yang membahas pula masalah
damnum emergens, maka menurut KBC, tidaklah menjadi masalah apabila
proyek tersebut tidak diselesaikan sesegera mungkin untuk memperoleh
Based on Gatots Research
Only for Private Use

33

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

keuntungan; KBC tidak dapat diasumsikan sebagai pihak yang harus


menanggung biaya pelaksanaan proyek sebagai akibat dari kegagalan
pelaksanaan karena hal-hal di luar kekuasaan pihak tersebut.
KBC bersamaan dengan ini menolak argumentasi Pertamina yang
mempertanyakan kepatutan jumlah biaya KBC. Dari sudut pandang KBC,
tanpa perlu harus menetapkan kepatutan jumlah biaya yang dikeluarkan
KBC, jumlah tersebut adalah bukti pengeluaran yang dipakai untuk proyek,
bukan untuk maksud lainnya. Selanjutnya, KBC menyatakan bahwa seluruh
kesaksian para saksi dari KBC menunjukkan bahwa biaya tersebut
dikeluarkan berdasarkan keputusan yang hati-hati dan wajar.

2) Argumentasi Pertamina
Karena menyangkut masalah prinsip, Pertamina menolak bahwa KBC berhak
memperoleh ganti rugi atas ongkos yang dikeluarkan untuk pembangunan
proyek. Pertamina yakin bahwa KBC sendiri mengakui dengan suratnya
kepada Pertamina tertanggal 9 September 1997 dan Laporan Keuangan,
bahwa pada saat kontrak JOC dan ESC disepakati bersama, pihak ini telah
mengasuransikan risiko yang mungkin terjadi; risiko tersebut yaitu, apabila
belum ada keuntungan yang cukup dari hasil penjualan listrik kepada PLN,
yang dapat menutupi ongkos pembiayaan, maka mereka tidak dapat
memperoleh ganti rugi atas biaya yang telah dikeluarkan.
Pertamina tetap berkeyakinan bahwa sebagai pihak yang mengajukan
permohonan pemberhentian proyek, KBC harus menanggung sendiri
konsekuensi dari tidak adanya keuntungan yang dihasilkan untuk menutupi
biaya yang sudah dikeluarkan. Pertamina menuduh bahwa KBC telah
mengeluarkan ongkos yang sia-sia karena tidak tepat dan tidak efisien dalam
melakukan eksplorasi sehingga Pertamina sendiri tidak memperoleh
keuntungan apapun.

Based on Gatots Research


Only for Private Use

34

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

Berdasarkan laporan ahli yang diajukan oleh Pertamina dinyatakan bahwa


KBC selama dua tahun melakukan eksplorasi di utara Karaha, daerah yang
tidak produktif, dan mereka tidak mendapat manfaat apa-apa dari program
penelitian geologi yang mengukur kadar konduktivitas listrik pada batu yang
apabila tidak dilakukan sesungguhnya dapat menghemat jutaan dolar. KBC
pada tahap berikutnya telah salah memilih daerah proyek yaitu daerah kawah
di Telaga Bodas, yang disinyalir mengandung zat-zat kimia yang membuat
daerah tersebut tidak aman untuk pengolahan sumber panas bumi,
akibatnya, dari segi komersialisasi usaha pembangunan tersebut tidak
praktis.
Meskipun Pertamina menyatakan bahwa tidak seharusnya ada ganti rugi
atas biaya yang dikeluarkan untuk eksplorasi dan pembangunan, Pertamina
mengajukan permohonan berikut: "putusan apapun harus dikurangi, sedikitdikitnya sebesar 32,2 (tigapuluh dua koma dua) Juta Dolar Amerika sebagai
biaya yang dikeluarkan sia-sia sesuai dengan dokumentasi yang diserahkan
oleh Mr. Layman."
Pertamina juga tetap berkeyakinan bahwa biaya yang diklaim KBC
termasuk jutaan dolar yang telah dikeluarkan oleh Pertamina dengan tujuan
pembangunan dan infrastruktur serta untuk pelatihan para teknisi tidak lagi
bermanfaat apa-apa sebagaimana diakui oleh KBC sendiri di dalam upaya
pendekatannya dengan pemerintah Indonesia pada September 1997.
Pertamina menyampaikan pula masalah pengeluaran tertentu yang
dikeluarkan oleh pemegang saham KBC yaitu PT Sumarah. Pengeluaran
tersebut dinyatakan sebagai "ongkos pembiayaan" dan "pengeluaran kantor
pusat yang jumlahnya sebesar beberapa persen yang telah disetujui dari
pengeluaran total KBC. Pertamina seharusnya tidak mengganti pembayaran
kepada PT Sumarah dalam bentuk apapun yang disebutnya sebagai
"pembayaran tidak tercatat dan tidak beralasan."

Based on Gatots Research


Only for Private Use

35

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

Akhimya, Pertamina menolak dengan menyatakan bahwa putusan


apapun terhadap KBC sehubungan dengan biaya pembangunan tersebut
adalah dalam bentuk Rupiah Indonesia, dan bukan Dolar Amerika, serta
harus berdasarkan pengeluaran dalam nilai uang Rupiah sesuai dengan nilai
tukar uang pada saat biaya tersebut dikeluarkan.
Dengan mempertimbangkan turunnya nilai uang Rupiah terhadap Dolar
Amerika secara drastis setelah hampir seluruh biaya dikeluarkan, Pertamina
menyatakan bahwa sangat melampaui batas dan tidak adil apabila putusan
ganti rugi dihitung dalam Dolar Amerika.

3) Penilaian majelis arbitrase dan putusan


Berdasarkan permasalahan yang dibahas di dalam Arbitrase sekarang ini,
hubungan kontrak di antara para pihak dikategorikan ke dalam Long Term
International

Development

Agreements

(Perjanjian

Pembangunan

Internasional Jangka Panjang), di mana penanam modal asing berasumsi


pada pelaksanaan awal mengenai kewajiban pokok bahwa pembiayaan,
tahap perencanaan, konstruksi, dan pengoperasian alat-alat teknologi
modern untuk membangun sarana industri dalam rangka pendayagunaan
sumber alam yang tersedia di dalam wilayah Indonesia adalah demi
kepentingan masyarakat umum. Dengan melakukan komitmen tersebut,
penanam modal asing selama ketentuan di dalam kontrak masih berlaku
yang pada akhirnya memberikan hasil kepada masyarakat umum, berhak
tidak saja memperoleh kembali modal yang ditanam pada tahap awal, namun
juga keuntungan tertentu yang telah dijamin di mana laba bersih telah
ditetapkan dan disetujui bersama di dalam analisis keuangan.
Hubungan antara hak dan kewajiban para pihak tercermin di dalam
struktur kontrak tersebut yang membawa pada kesimpulan yang logis dan
tidak dapat dihindari bahwa pada saat penanam modal terhalangi untuk
melaksanakan kontrak yang mengikat yang disebabkan oleh hal-hal di luar
Based on Gatots Research
Only for Private Use

36

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

kekuasaannya, penanam modal tidak menanggung konsekuensinya. Di sini,


penanam modal asing berhak memperoleh ganti rugi dari seluruh modal yang
ditanam sebagai bagian penting dari kompensasi tersebut. Artinya, akibat
pembatalan atas pekerjaan yang sebelumnya telah diselesaikan, yang hal ini
telah diantisipasi di dalam kontrak, maka penanam modal harus mendapat
ganti rugi atas pengeluaran yang telah dibuktikan.
Perlu dicatat bahwa Pasal 1.1 JOC mewajibkan KBC mengatur keuangan
untuk pembiayaan berbagai aspek dalam rangka "pengoperasian geotermal yang didefinisikan sebagai seluruh aktivitas apapun dalam bentuk
eksplorasi, penemuan, pembangunan, dan produktivitas, pembangunan
Fasilifas Lapangan dan Pembangkit Tenaga Listrik," dan juga "pemasokan
dan penjualan Energi Geo-termal (Panas Bumi) dan Listrik yang kemudian
dihasilkan."
Sehubungan dengan pelaksanaan aktivitas tersebut di atas dan dengan
adanya pembiayaan penuh oleh KBC, sesuai dengan ketentuan Pasal 5.1,
telah diberikan kepada KBC "lisensi dan hak tersendiri dan yang tidak dapat
dibatalkan selama ketentuan kontrak berlaku untuk menggarap daerah yang
dicantumkan di dalam kontrak." Hal ini mengandung pengertian bahwa KBC
mendapatkan ijin untuk selama 30 tahun memperoleh Iaba bersih.
Bersamaan dengan jaminan dasar lainnya yang diberikan kepada KBC,
bentuk-bentuk jaminan yang tercantum di dalam Pasal 6.3 JOC adalah
berkaitan dengan "Listrik yang Dihasilkan".
Dalam kaitan dengan masalah ini, ESC yang disusun oleh PLN berisi
berbagai ketentuan yang memberikan hak dan kewajiban yang sama, dan
juga jaminan atas pembelian listrik yang dihasilkan menurut harga yang telah
dijamin yang dihitung berdasarkan ongkos dalam nilai uang yang dari awal
telah ditentukan oleh KBC; yaitu dalam Dolar Amerika (Pasal 1, 2 dan 5
ESC).

Based on Gatots Research


Only for Private Use

37

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

Terkait dengan keseluruhan masalah, majelis arbitrase terikat untuk


menghormati

ketentuan

yang

tercantum

di

dalam

kontrak

yang

menggambarkan filosofi keseimbangan antara hak dan kewajiban para pihak,


khususnya berdasarkan pedoman yang disusun dan diberikan di antara para
pihak di dalam Pasal 13.2 (b) JOC dan Pasal 8.2 (b) ESC. Di dalam
peraturan telah ditentukan dengan jelas dan langsung, di satu pihak, bahwa
pemahaman dan penerapan hukum yang dipilih, yang adalah hukum
Indonesia, harus dilaksanakan dengan sikap "konsisten sesuai dengan jiwa
Kontrak dan hal-hal yang mendasari keinginan para pihak," dan sikap
pelaksanaan

hukum

tersebut

di

pihak

lain

mensyaratkan

"harus

mencerminkan penilaian atas penafsiran yang benar atas semua ketentuanketentuan yang berkaitan serta pelaksanaan yang adil dan tepat atas isi
Perjanjian sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut." Oleh sebab itu,
pemberian mandat tertinggi untuk memilih cara penyelesaian perkara
bertujuan mencapai keinginan mendasar dan keinginan sah para pihak
secara tepat, sebagaimana dimengerti melalui struktur teks secara
keseluruhan dari dokumen kontrak atau perjanjian.
Bersamaan dengan hal tersebut, perlu diperhatikan pendapat hukum yang
disampaikan oleh para ahli dari kedua pihak.69 Hal ini sehubungan dengan
fakta yang tertulis di dalam KUHPerdata Pasal 1423 - 1252, yaitu hukum
yang telah dipilih untuk diterapkan, yang memberikan hak kepada pihak yang
tidak melanggar kontrak untuk menuntut uang damnum emergens, ganti rugi
atas ongkos yang dikeluarkan untuk pelaksanaan yang tercantum di dalam
kontrak.
Dengan mempertimbangkan hal-hal di atas, majelis arbitrase berpendapat
bahwa KBC harus mendapatkan ganti rugi damnum emergens bersamasama dengan ganti rugi atas pengeluaran dalam rangka pelaksanaan kedua
69

Ahli hukum yang diminta kesaksiannya dari Pertamina adalah Didi Dermawan, sedangkan Robert
Hornick adalah saksi ahli KBC.

Based on Gatots Research


Only for Private Use

38

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

kontrak yang disusun bersama Pertamina, yaitu melalui perolehan kembali


modal yang telah ditanam untuk melaksanakan kegiatan yang tercantum di
dalam JOC bersama dengan Pertamina dengan pertimbangan akan ada
keuntungan yang dihasilkan di masa mendatang sebagaimana tercantum di
dalam ESC bersama-sama dengan PLN.
Bertolakbelakang dengan keberatan yang diajukan oleh Pertamina,
karena apabila KBC meragukan haknya untuk memperoleh kembali sejumlah
uang yang telah ditanam untuk pelaksanaan proyek (yang didasarkan pada
bukti-bukti pribadi sampai pada kesimpulan), maka hal ini berarti KBC
menolak haknya dalam bentuk apapun yang tercantum di dalam kontrak atau
peraturan hukum.
Dalam bentuk pernyataan yang lebih konkrit, pandangan Pertamina dalam
hal ini tidak konsisten dengan surat KBC kepada Pertamina tertanggal 9
September 1997, maupun Laporan Keuangan atau dokumen berikutnya yang
terkait dengan pendekatan KBC terhadap Pemerintah Indonesia dan
Pemerintah Amerika Serikat.

Sementara itu, KBC sendiri secara terus-

menerus telah menekankan perihal risiko yang timbul akibat perpanjangan


penangguhan proyek dalam bentuk kerugian uang serta akibat biaya yang
sebelumnya telah dikeluarkan untuk proyek.
Di bawah ini adalah jawaban terhadap argumentasi Pertamina yang
menyatakan bahwa sebesar 32,2 (tigapuluh dua koma dua) juta dolar
Amerika yang dikeluarkan oleh KBC adalah sia-sia karena program
eksplorasi yang dilakukan KBC tidak tepat dan tidak efisien sehingga tidak
memberikan manfaat apa-apa bagi Pertamina. Berdasarkan laporan ahli dari
Pertamina yang diserahkan di dalam sidang pemeriksaan, majelis arbitrase
yang bertugas setuju sepenuhnya terhadap putusan yang disampaikan oleh
majelis arbitrase dalam kasus Himpurna California Energy yang dengan jelas
menyatakan bahwa: "Di dalam kasus pelanggaran kontrak, ongkos yang
dikeluarkan oleh Penggugat adalah sia-sia jika biaya yang dikeluarkan tidak
Based on Gatots Research
Only for Private Use

39

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

ada hubungannya sama sekali dengan apakah biaya tersebut dikeluarkan


secara bijaksana atau membawa keuntungan.70
Tindakan Pertamina tentunya telah menjadikan biaya yang dikeluarkan
KBC kehilangan nilai. Pertamina saat ini berhak untuk meragukan kelayakan
pengeluaran tersebut karena Pertamina telah memperlakukan KBC sebagai
pihak yang tidak dapat mengambil keuntungan dari pengeluaran sehubungan
dengan pelaksanaan proyek dan tidak dapat menunjukkan secara nyata
kegunaan pengeiuaran tersebut.
Sehubungan dengan argumentasi Pertamina tersebut, menurut majelis
arbitrase KBC dinilai layak untuk mendapatkan ganti kerugian atas seluruh
ongkos yang telah dibuktikan pengeluarannya untuk pelaksanaan proyek,
tanpa ia harus mengikuti perdebatan setelah pengeluaran tersebut dilakukan,
sehubungan dengan manfaat yang diperoleh dari pemakaian uang tersebut.
Dengan kata lain, KBC berhak untuk memperoleh ganti rugi atas ongkosongkos dan modal yang sudah ditanam yang secara layak telah dibuktikan
dan langsung berhubungan dengan pelaksanaan pekerjaan berdasarkan
Kontrak yang telah disepakati bersama dengan Pertamina.
Analisis yang sama juga diterapkan terhadap argumentasi KBC tentang
pengeluaran yang diserahkan kepada PT Sumarah selaku pemegang saham
KBC. Tidak ada dokumen yang mempertanyakan keterlibatan PT Sumarah
sebagai pemegang saham yang telah diumumkan secara publik dan
namanya tercantum di dalam Laporan Keuangan dan Laporan yang
diserahkan kepada Pertamina dan PLN. Jumlah uang yang disebut sebagai
"ongkos pembiayaan" dan "pengeluaran kantor pusat," yang diterima oleh
mitra lokal, telah diumumkan secara terbuka dan telah ditulis bersamaan
dengan laporan biaya yang juga disampaikan kepada Pertamina dan tidak

70

Lihat Mealeys International Arbitration Report, op. cit., hlm. 33, mengutip Final Award dalam
Himpurna California Energy Ltd. Bermuda Case, hlm. 130 131.

Based on Gatots Research


Only for Private Use

40

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

menimbulkan keberatan dari pihak Pertamina sampai akhirnya keberatan


tersebut dinyatakan di dalam sidang pemeriksaan.
Berdasarkan fakta, pengeluaran dalam bentuk persentase yang telah
disepakati tidaklah dilakukan dalam bentuk pembayaran sembunyi-sembunyi
atau secara tidak pantas. Oleh sebab itu, majelis arbitrase tidak menemukan
dasar atas tuduhan bahwa pembayaran tersebut tidak layak dan tidak pantas,
dengan demikian majelis arbitrase menolak keberatan Pertamina untuk
memberikan ganti rugi atas pembayaran tesrebut.
Sebagaimana argumentasi yang disampaikan oleh Pertamina yang
menyatakan bahwa jumlah uang yang diberikan kepada KBC sebagai ganti
kerugian haruslah dalam bentuk rupiah dan dihitung menurut nilai tukar
rupiah terhadap dolar Amerika pada saat uang tersebut dipakai, majelis
arbitrase tidak menemukan kesulitan dalam menolak permohonan tersebut
karena tidak diragukan lagi bahwa menurut catatan yang tersedia, seluruh
pengeluaran yang dilakukan oleh KBC adalah dana yang diterima dalam nilai
dolar Amerika dari sumber dana luar negeri, terutama dari pemegang saham
Amerika Serikat sendiri, dan dimasukkan ke dalam ekonomi nasional
Indonesia untuk menutupi biaya lokal. Tidak berhubungan sama sekali
kenyataan bahwa uang dalam dolar tersebut selanjutnya ditukar dalam
bentuk rupiah Indonesia untuk menutupi biaya, karena pada mulanya modal
dibayar dalam bentuk dolar Amerika. Apabila tidak dilakukan dengan sistem
tersebut maka KBC akan menderita kerugian yang secara hukum dan
keadilan tidak dapat diterima.
Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, majelis arbitrase,
dalam rangka menyusun perbaikan jumlah biaya modal yang telah
dikeluarkan, berpatokan pada dokumen berisi Pembiayaan Proyek oleh KBC
yang angka-angkanya dicantumkan di dalam Program Kerja dan Anggaran

Based on Gatots Research


Only for Private Use

41

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

tahun 1995-1998 dan yang telah disetujui oleh Pertamina berdasarkan Pasal
4.3.1 JOC.71
Karena majelis arbitrase tidak melihat adanya bukti bahwa Pertamina
tidak setuju, majelis arbitrase mempertimbangkan bahwa KBC berhak
menerima ganti rugi dari pembiayaan yang telah dibuktikan dan tidak
disengketakan sebesar 8,3 (delapan koma tiga) juta dolar Amerika untuk
tahun 1995; 26,4 (duapuluh enam koma empat) juta dolar Amerika untuk
tahun 1996; 48,5 (empatpuluh delapan koma lima) juta dolar Amerika untuk
tahun 1997; dan 9,9 (sembilan koma sembilan) juta dolar Amerika untuk
tahun 1998; yang semuanya dijumlah secara total adalah sebesar 93,1
(sembilan puluh tiga koma satu) juta dolar Amerika.
Majelis arbitrase tidak memiliki dokumen yang dapat digunakan sebagai
bukti atas beberapa hal, yang termasuk di dalam klaim secara global, untuk
memeriksa akurasi atas hubungan pengeluaran pada tahun 1999 dalam
rangka pelaksanaan akhir seluruh operasi yaitu sejumlah 1,6 (satu koma
enam) juta dolar Amerika sesuai dengan ketentuan yang tercantum di dalam
kontrak. Hal ini karena tidak ada lagi program kerja atau anggaran yang
diserahkan kepada Pertamina untuk disetujui. Oleh sebab itu, majelis
arbitrase tidak mengabulkan tuntutan ganti rugi sebesar 1,6 juta dolar
Amerika, karena tidak cukup bukti-bukti yang menyatakan bahwa jumlah
tersebut telah digunakan KBC sebagai modal untuk memenuhi Kontrak.
Setelah membuat keputusan bahwa KBC berhak memperoleh ganti rugi
atas modal yang sudah ditanam, dan wajib diberikan damnum emergens
yang bersamaan dengan pelaksanaan proyek sesuai kontrak berakhir
terhitung sebesar 93,1 (sembilan puluh tiga koma satu) juta dolar Amerika,

71

Pasal tersebut isinya antara lain meminta Pertamina untuk menyatakan persetujuan atau
ketidaksetujuannya dalam tempo 30 hari.

Based on Gatots Research


Only for Private Use

42

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

maka majelis arbitrase sekarang harus menetapkan nilai ganti rugi akibat
kehilangan modal.
Untuk membuat keputusan yang sulit ini, majelis arbitrase harus
menggunakan satu-satunya cara penyelesaian melalui bukti yang diserahkan
oleh Professor Ruback, saksi ahli dari KBC, yaitu apa yang disebuf risk-free
rate, yaitu: tingkat bunga yang dibayarkan untuk pinjaman uang ketika risiko
bahwa bunganya tidak akan dibayarkan dipertimbangkan sebagai nol,
sebesar 5,8% per tahun, tarif saat itu yang diambil dari Surat Obligasi di
Amerika Serikat yang sudah berlaku selama 20 tahun (US Government
Bond). Penggunaan risk-free rate ini memberikan keuntungan karena ukuran
yang konservatif tersebut memungkinkan seseorang bersikap hati-hati,
dengan menempatkan jumlah tertentu dalam bentuk penanaman modal yang
terjamin, serta memperoleh hasil yang tingkat spekulatifnya paling rendah.
Dengan membuat kalkulasi berdasarkan petunjuk tersebut, jumlah total
yang diperlihatkan kepada majelis arbitrase, terhitung jumlah uang tiap akhir
tahun dari mulai dikeluarkan oleh KBC sebagai biaya pengeluaran untuk
proyek Karaha Bodas sampai berakhir pada tahun 2000, adalah nilai saat ini
yaitu jumlah uang yang dipakai sebagai modal di mana KBC pantas
memperolehnya kembali sebagai ganti rugi berdasarkan damnum emergens
seperti yang diuraikan di bawah ini:
1995

8,3 Juta Dolar Amerika + (8,3 Juta X 5,8% X 5) =

10,7 Juta

1996

26,4 Juta Dolar Amerika + (26,4 Juta X 5,8% X 4) =

32,5 Juta

1997

48,5 Juta + (48,5 Juta X 5,8% X 3)

56,9 Juta

1998

9,9 Juta + (9,9 Juta X 5,8% X 2)

11,0 Juta

111,1 Juta

TOTAL

KBC mengajukan permohonan agar Pertamina dan PLN secara bersamasama dan masing-masing dijatuhi hukuman berupa kevvajiban membayar
ganti rugi. Dari penemuan majelis arbitrase, Pertamina dan PLN bekerja
Based on Gatots Research
Only for Private Use

43

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

sama dalam tingkatan yang sama melakukan pelanggaran bersama terhadap


kewajiban yang terdapat di dalam kontrak. Oleh sebab itu, majelis arbitrase
menjatuhkan hukuman terhadap Pertamina dan PLN kepada KBC secara
bersama-sama dan masing-masing untuk membayar KBC

sebesar 111,1

juta sebagai ganti rugi karena jumlah tersebut telah dipakai dalam rangka
pembiayaan proyek.

d. Hilangnya Keuntungan yang Diharapkan


Di samping kehilangan modal yang ditanam, KBC mohon ganti kerugian jenis
kedua, yaitu kehilangan laba sehubungan dengan hilangnya kesempatan
pembangunan geo-termal.

1) Posisi KBC
KBC menggarisbawahi bahwa alasan yang menyertai permohonan tersebut
tidak membuat penghitungan menjadi dua kali lipat karena perkiraan laba
tersebut merupakan dasar dari penanaman modal sebelumnya, demikian
bukti yang diajukan Professor R. Ruback dari Harvard Business School.
Selanjutnya KBC menyatakan bahwa klaim ini sah menurut hukum
Indonesia. Klaim tersebut, menyatakan sebagai salah satu pelanggaran
kontrak adalah ganti kerugian, termasuk pula kehilangan laba, sebagaimana
dibuktikan oleh saksi ahli KBC, Robert Hornick, dan yang saksi ahli
Pertamina sendiri tidak menunjukkan keberatan apapun. KBC menunjuk
pada Pasal 1246 KUHP yang membahas bahwa ganti rugi adalah termasuk
pula kehilangan yang diderita oleh pihak yang berpiutang dan keuntungan
yang seharusnya diperoleh.
Berdasarkan hukum Indonesia dan prinsip arbitrase internasional yang
diakui, jumlah ganti rugi dalam bentuk tersebut ditentukan berdasarkan
prinsip keadilan atau ex aequo et bono. Menurut KBC, klaim atas kehilangan

Based on Gatots Research


Only for Private Use

44

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

laba dengan pembuktian, dipertimbangkan bukan berdasarkan ketentuan


yang absolut namun berupa perkiraan.
Bukti yang diserahkan KBC memperlihatkan bahwa dari persediaan geotermal dapat dibangun pembangkit tenaga listrik berkapasitas 210 MW.
Dengan demikian Pertamina telah salah menafsirkan dokumen proyek yang
menyebutkan

kapasitas

tenaga

listrik

sebesar

55MW

dan

110MW.

Selanjutnya bukti memperlihatkan bahwa salah satu pemegang saham KBC,


FLP Energy, Inc., sesungguhnya akan menyediakan dana suntikan, dan
memberikan pertolongan untuk pembiayaan atau penanaman modal secara
langsung untuk pelaksanaan proyek tersebut dengan perkiraan bahwa PLN
dan Pertamina akan melaksanakan kontrak yang sudah disepakati. FLP
Energy Inc. rencananya

akan memberikan bantuan pembiayaan karena,

antara lain, perusahaan ini telah menanam sebesar US$ 40 (empat puluh)
juta dolar Amerika ke dalam proyek tersebut dan karena ESC dan JOC
memakai nilai mata uang Amerika.
Kalkulasi KBC atas kehilangan laba didasarkan pada cash flow yang
diperkirakan, yaitu pendapatan yang akan diperoleh dari proyek (yang
dihitung berdasarkan jumlah listrik yang akan dipasok, yaitu 210 MW kepada
PLN) untuk ditukar dengan pembayaran kapasitas sesuai dengan kontrak
ESC. Berdasarkan ESC, pemotongan tarif harga akan dikenakan setelah
dipertimbangkan bahwa hasil penjualan listrik akan diterima selama lebih 30
tahun. Menurut Profesor Ruback, tariff tersebut adalah sebesar 8,5 persen.
Berdasarkan bukti yang dikemukakan, KBC menyatakan klaim atas
kehilangan laba adalah sebesar US $ 512,5 (lima ratus dua belas koma lima)
juta dolar amerika, sesuai dengan tingkat perolehan (rate of return) sebesar
kira-kira 16,2 persen.
KBC mengklaim bahwa pengiriman pembayaran yang telah dihitung
berdasarkan ESC dianggap sebagai alternatif terhadap kehilangan laba yang
dihitung dalam bentuk cash flow yang akan diperoleh. Dalam ESC, PLN
Based on Gatots Research
Only for Private Use

45

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

diwajibkan membayar dengan segera sejumlah uang yang telah dihitung


apabila penggugat tidak dapat membangun pembangkit tenaga listrik sebagai
akibat dari keadaan memaksa.
Di dalam kasus ini selanjutnya pembayaran pembangunan unit akan
dikirim, yaitu kemampuan memasok listrik, dan PLN seharusnya akan terus
melaksanakan kewajibannya membayar 90% dari pembayaran tenaga listrik
sesuai dengan ketentuan Pasal 5.2 ESC dan 100% dari pembayarn
kapasitas listrik berdasarkan Pasal 5.3 ESC dengan perhitungan volume MW
dalam NOID, yaitu 210 MW. Jumlah yang dituntut oleh penggugat
berdasarkan rujukan tersebut adalah sebesar US $ 437 (empat ratus tiga
puluh tujuh) juta dolar amerika, sehubungan dengan tingkat perolehan
sebesar 15,3 persen.

2) Posisi Pertamina
Pertamina

tidak

menyangkal

bahwa

menurut

hukum

Indonesia,

sebagaimana menurut semua sistem hukum lainnya, kehilangan laba (lucrim


cessans) merupakan suatu ganti rugi yang dapat dikenakan terhadap suatu
pihak yang melanggar kontrak, ditambah dengan biaya-biaya yang telah
dikeluarkan sebelumnya (damnum emergens). Namun demikian, di samping
menolak tanggung jawab untuk pelanggaran kontrak atau semacamnya,
Pertamina menegaskan bahwa KBC lalai membuktikan bahwa mereka itu
siap, bersedia dan sanggup untuk melaksanakan JOC dan ESC.
Secara khusus Pertamina menegaskan bahwa KBC tidak dapat
memperoleh pembiayaan yang dipersyaratkan untuk menyelesaikan proyek,
yang diperkirakan oleh KBC sendiri akan melampaui US $ 500 (lima ratus)
juta dolar. Sebagaimana diakui oleh KBC bahwa pada saat itu tidak tersedia
pembiayaan

tanpa

perlindungan

untuk

pelaksanaan

proyek

karena

goncangan ekonomi dan politik yang terjadi di Indonesia (dan bukan karena
Keputusan Presiden atau tindakan apapun dari KBC).
Based on Gatots Research
Only for Private Use

46

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

Pertamina menyatakan bahwa untuk mengatasi masalah ini, KBC telah


menyatakan bahwa salah satu pemegang sahamnya, FLP Energy Inc., akan
menyediakan pembiayaan yang diperlukan untuk waktu yang tidak ditentukan
sampai kestabilan politik pulih di Indonesia dan pembiayaan proyek kembali
tersedia.
Pertamina menantang pula gagasan yang disampaikan KBC bahwa ia
telah membuktikan kemampuannya untuk membangkitkan 210 MW tenaga
listrik berdasarkan sumber panas bumi yang tersedia. Padahal sebetulnya
baru di dalam NORC yang diperbaharui pada bulan Desember 1997 dan
NOID

(yang menurut pandangan Pertamina sangat mencurigakan) KBC

menyatakan bahwa ia memperkirakan dapat memproduksi lebih dari 110 MW


tenaga listrik. KBC menyatakan bahwa rencana kerja 1998 yang disiapkan
oleh KBC menunjukkan bahwa aktivitas eksplorasi 1997 membuktikan dapat
menghasilkan 55 MW kapasitas produksi dan bahwa ada rencana yang akan
memusatkan perhatiannya untuk membuktikan adanya cadangan tambahan
yang cukup untuk mengembangkan sampai pada 110 MW.
Konsultan KBC yang independen, GeothermEx, telah memberikan
rekomendasi jauh di bawah 210 MW sebagai angka kapasitas listrik yang
akan dibangun. Seluruh analisis ahli-ahli yang laporannya telah diajukan oleh
Pertamina dalam sidang perkara ini telah menegaskan bahwa perkiraan
cadangan KBC didasarkan pada perkiraan yang tidak realistis dan tidak
terbukti dan bahwa cadangan yang dieksploitasi adalah jauh di bawah angka
210 MW yang dikemukakan oleh KBC. Para ahli tersebut termasuk ahli dari
KBC yaitu GeothermEx, telah menyatakan adanya persoalan dari kandungan
kimia tertentu dari geo-termal yang akan digarap. Persoalan tersebut di
dalam pandangan Pertamina tidak mudah untuk diselesaikan dan untuk
mengatasinya diperlukan modal tambahan. Oleh sebab itu, KBC telah gagal
untuk membuktikan kesanggupannya dalam membangun pembangkit tenaga
listrik berkapasitas 210 MW.
Based on Gatots Research
Only for Private Use

47

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

Sehubungan dengan teori pengiriman pembayaran, menurut Pertamina


ESC tidak memberikan hak kepada KBC atas pengiriman pembayaran
tersebut sampai perusahaannya membangun unit yaitu telah mencapai
tanggal operasi pertama. Selanjutnya, KBC harus mengirim faktur untuk
memperoleh pengiriman pembayaran yang seyogyanya harus dibayar setiap
bulan, namun ia tidak pernah mengirim faktur tersebut. Akhirnya ketentuan
mengenai pengiriman pembayaran tidak dapat diterapkan karena tidak ada
NOID yang sah dan tidak ada dasar sama sekali untuk menentukan
kapasitas yang dinilai per unit (sebagaimana didefinisikan oleh ESC) dari
non-existent unit (unit yang tidak ada) dari KBC.
Kalkulasi kehilangan laba yang dibuat KBC, berdasarkan laporan
Profesor Ruback, di dalam pandangan Pertamina tidak dapat diterima karena
didasarkan atas berbagai asumsi yang tidak realistis.
Pertama, di dalam laporannya, Profesor Ruback hanya menerima laporan
yang diberikan oleh KBC mengenai cash flow pengoperasian yang
diproyeksikan untuk masa mendatang. Cash flow tersebut memperkirakan
antara lain, bahwa KBC membangun fasilitas pembangkit tenaga listrik
berkapasitas 210 MW pada akhir 2001 dan pembangunan tersebut akan
diteruskan selama 30 tahun dengan kapasitas penuh, tanpa alternatif lainnya.
Selanjutnya, proyeksi pengoperasian cash flow dipotong oleh Profesor
Ruback menjadi nilai sekarang yang tercantum pada tanggal 10 Januari
1998, yaitu pada saat keluarnya keputusan Presiden yang ditetapkan sebagai
tanggal pelanggaran kontrak, dengan potongan harga 8,5%. Angka terakhir
dianggap sebagai risk-free-rate (tarif harga bebas risiko) yaitu 5,8% dan risk
premium sebesar 2,7% berdasarkan harga penjualan menurut saham
CalEnergy, yaitu perusahaan yang dinyatakan sebagai perusahaan yang
sejajar tingkatannya dengan KBC, dan Pertamina menolak pandapat ini.
Penggunaan potongan tariff sebesar 8,5% sama sekali telah mengecilkan
arti biaya modal yang sesungguhnya di tahun 1998 dan dengan demikian
Based on Gatots Research
Only for Private Use

48

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

membesar-besarkan pengertian kehilangan laba karena bunga biaya modal


adalah sebesar 22% yaitu angka yang sama dengan hasil obligasi
pemerintah Indonesia pada saat itu.
Sebagaimana diperlihatkan oleh laporan salah satu ahli Pertamina, Mr.
Norris, proyek tersebut berada pada titik break even (titik yang menunjukkan
pendapatan = biaya) pada potongan tarif sebesar 20% walaupun telah
disetujui oleh KBC seluruh asumsi yang mendasari penerimaan cash flow
yang diproyeksikan tersebut.
Pertamina berkeyakinan bahwa berdasarkan ahli mereka dalam hal ini
Bapak Dermawan, menurut hukum Indonesia kerugian harus dibuktikan dan
jika kehilangan laba di masa akan datang tidak dapat ditunjukkan maka tidak
akan diberikan ganti rugi.
Menurut pandangan Pertamina penentuan ganti rugi tidaklah seharusnya
berdasarkan prinsip keadilan, yaitu ex aequo et bono (dan hal ini dilarang
dilakukan oleh arbitrator karena tidak disepakati oleh para pihak), seperti
ditentukan didalam Pasal 631 KUHPerdata dan Pasal 33 (1) Peraturan
UNCITRAL.

Catatan: Untuk mendapatkan kejelasan penghitungan yang dilakukan


oleh Prof. Ruback, penulis berusaha untuk mengklarifikasinya secara
langsung melalui e-mail ke Universitas Harvard yang isinya sebagaimana
tercantum di bawah:

Dear Prof. Ruback:


I am pleased to write you an e-mail, and hope that it finds you well.
My name is Gatot Soemartono, an 1997 LL.M. graduate of Harvard
Law School and currently a senior lecturer at Tarumanagara University
Law School in Jakarta, Indonesia. At present I am doing research on
Karaha Bodass case funded by the Universitys research center.

Based on Gatots Research


Only for Private Use

49

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

When exploring all the data related to the case in question, I found that
you have been appointed as one of the expert witnesses by Karaha
Bodas Company (KBC). Even though I already have collected
sufficient data (both from Pertamina and KBC), including a published
international arbitration report of LexisNexis, I was unable to have
access to some documents presented during the arbitration tribunal.
Therefore I would be grateful if you briefly could address the following
questions:
1. What is your consideration on using the trading price for the stock of
CalEnergy, a company claimed to be comparable to Pertamina?
2. Do you think it is a justifiable expectation (not merely a speculation) to
provide for the recovery of lost profit for a period of consecutive 30
years?
3. How did you come up with a discount rate of 8.5% (discounted to the
projected operating cash flows present value as of January 1998)
which, according to Pertaminas calculation, would have been equal to
the Indonesian government bonds of 22% at that time?
Since you may have a busy schedule of your own, please do not
hesitate to respond even one of the three questions.
Thank you very much in advance for your assistance, and I look
forward to hearing from you at your time convenience.
Sincerely,
Gatot Soemartono
(Di bawah adalah terjemahan atas surat di atas.
Yth. Prof. Ruback,
Saya menulis e-mail kepada anda, dan mudah-mudahan anda
menerimanya dengan baik. Nama saya Gatot Soemartono, lulusan
LL.M dari Fakultas Hukum Universitas Harvard dan saat ini adalah
dosen senior (lektor kepala) di Fakultas Hukum Universitas
Tarumanagara Jakarta, Indonesia. Sekarang saya sedang melakukan
penelitian mengenai kasus Karaha Bodas yang dibiayai oleh lembaga
penelitian Universitas Tarumanagara.
Ketika saya mencari data yang terkait dengan kasus tersebut, saya
mendapati bahwa anda adalah salah satu saksi ahli dari KBC.
Meskipun saya telah mengumpulkan data yang cukup (baik dari
Based on Gatots Research
Only for Private Use

50

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

Pertamina maupun KBC), termasuk publikasi internasional atas


laporan arbitrase dari LexisNexis, saya tidak dapat memperoleh akses
terhadap beberapa dokumen yang digunakan dalam persidangan
arbitrase tersebut. Oleh karena, saya akan sangat berterima kasih jika
anda dapat secara singkat menjawab beberapa pertanyaan sebagai
berikut:
1. Apa pertimbangan anda untuk menggunakan harga saham dari
CalEnergy, sebuah perusahaan yang dinilai sebanding dengan
Pertamina?
2. Apakah menurut anda dapat dibenarkan (dan bukan hanya bersifat
spekulatif): suatu perhitungan yang memberikan ganti kerugian
atas hilangnya keuntungan yang diharapkan selama periode waktu
30 tahun berturut-turut?
3. Bagaimana anda dapat mengusulkan sebuah tingkat diskon
sebesar 8,5% (dikaitkan dengan perkiraan aliran kas pada nilai
saat ini, Januari 1998) yang, menurut perhitungan Pertamina,
nilainya akan sama dengan bunga obligasi pemerintah Indonesia
pada saat itu (ketika jatuh tempo)?
Karena anda sendiri mungkin memiliki jadwal yang padat, saya mohon
agar anda dapat menjawab pertanyaan tersebut, meskipun hanya satu
di antaranya. Terima kasih sebelumnya atas bantuan anda, dan saya
menunggu jawaban anda pada waktu yang tepat.
Hormat saya,
Gatot Soemartono

Namun demikian, patut disayangkan bahwa sampai laporan penelitian ini


telah selesai disusun, jawaban dari Prof. Ruback tersebut tidak pernah
penulis

terima

(meskipun

telah

dikirim

e-mail

yang

kedua

untuk

mengingatkan).
3) Penilaian dan putusan majelis arbitrase
Menurut majelis arbitrase, hukum Indonesia sebagaimana pelbagai peraturan
hukum lainnya mengatur pula tentang pemerolehan kembali atas laba yang
hilang (lucrum cessans) sebagai bagian dari ganti kerugian terhadap mana
pihak yang tidak bersalah berhak mendapatkannya dalam hal pelanggaran
Based on Gatots Research
Only for Private Use

51

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

kontrak, selain bagian ganti kerugian yang lain, damnum emergens (ganti
rugi darurat).
Sebagaimana di dalam peraturan hukum lainnya, pemerolehan kembali
ganti rugi terbatas pada kerugian yang dapat diperkirakan ketika kontrak
disusun dan mendapat ganti rugi segera dan secara langsung atas
pelanggaran yang dilakukan.
Majelis

arbitrase

berpendapat

bahwa

KBC

berhak

memperoleh

keuntungan dari hasil tawar menawar sebagai tambahan dari pendapatan


kembali atas biaya yang telah dikeluarkan. Kehilangan kesempatan usaha
(perte de chance) adalah dasar yang diakui secara luas untuk ganti rugi
akibat kehilangan laba.
Untuk menentukan besarnya jumlah ganti rugi yang berhak diterima oleh
KBC, KBC tidak memiliki rujukan untuk dijadikan patokan sebagai dasar
alternatif untuk menentukan jumlah tersebut. Sebagaimana ditunjuk secara
tepat oleh Pertamina bahwa kewajiban melakukan pembayaran tersebut
didahului dengan perkiraan bahwa suatu unit telah dibangun, yaitu pada saat
tanggal kegiatan pertama dimulai. Selanjutnya pembayaran hanya dilakukan
apabila terdapat apa yang disebut keadaan memaksa dan selama tindakan
keadaan memaksa berlanjut. Hal demikian ini tidak dapat dijadikan dasar
untuk menentukan kehilangan laba selama 30 tahun jangka waktu
berlakunya ESC.
Pertimbangan yang paling penting untuk dicantumkan di dalam kontrak
telah disepakati bersama di antara para pihak. JOC dan ESC secara
bersama-sama merupakan jaminan bagi KBC bahwa jika tenaga listrik telah
siap untuk dijual, suatu langganan, yaitu PLN telah bersedia, yang akan
terikat menurut kontrak untuk jangka waktu tiga puluh tahun untuk membeli
seluruh produksi dengan harga yang didasarkan atas rumusan yang telah
disepakati terlebih dahulu, dan yang akan dibayar dalam dolar Amerika.
Kewajiban PLN seharusnya dijamin oleh dukungan surat dari Menteri
Based on Gatots Research
Only for Private Use

52

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

Keuangan ataupun Menteri Pertambangan dan Energi Indonesia. Syarat ini


sesungguhnya ditentukan oleh sistem perbankan untuk memperoleh kembali
pinjaman atas pembiayaan yang diperlukan untuk pembangunan proyek.
Selanjutnya campur tangan apapun dari pemerintah untuk mempengaruhi
pelaksanaan

kontrak

adalah

termasuk

keadaan

memaksa

yang

membebaskan KBC dan bukan Pertamina dari kewajibannya.


Oleh sebab itu risiko yang paling jelas dihadapi oleh penanam modal
asing terutama yang berkecimpung di dalam proyek seperti ini, misalnya
risiko komersial terhadap persediaan pasar, fluktuasi harga, inflasi nilai tukar
uang, dan risiko campur tangan pemerintah dapat dihilangkan dengan dasar
persetujuan kontrak para pihak.
Pertamina

secara

benar

menggarisbawahi

risiko

yang

mungkin

mempengaruhi hasil ekonomi proyek tersebut selama pembangunan


berlangsung seperti kemungkinan penundaan pembangunan pembangkit
tenaga

listrik

dan

pengoperasian

besarnya

persediaan

yang

telah

diperkirakan oleh KBC, meskipun pembiayaan yang sesungguhnya tersedia


untuk pembangunan proyek tersebut adalah sebesar jumlah biaya yang
disetujui.
Risiko-risiko tersebut, walaupun memang harus dipertimbangkan, tidak
terlalu penting di hadapan majelis arbitrase, dibanding risiko akibat
pengabaian perlindungan terhadap KBC.
Sehubungan dengan jumlah yang wajib diganti, KBC berhak untuk
mengirim pernyataan kepada Pertamina mengenai maksud mereka untuk
membangun Energi Geo-termal melalui penyerahan NORC, yang setelah
paling lambat 90 hari disusul dengan NOID. Menurut JOC, Pertamina dapat
secara teknis mengevaluasi Enerji Geo-termal di bawah NORC, yang
memungkinkan terjadinya diskusi di antara para pihak sehubungan dengan
jumlah Enerji Geo-termal dan ketepatan data teknis. Akan tetapi setelah surat
tersebut dikirim, KBC bebas mengirim NOID kepada Pertamina di mana
Based on Gatots Research
Only for Private Use

53

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

Pertamina harus memberikan surat pernyataan kepada pembeli (dalam hal


ini PLN) mengenai maksud KBC untuk melaksanakan pembangunan Enerji
Geo-termal dan pembangunan unit. Pasal 4.2 ESC menentukan bahwa
Pertamina harus berkonsultasi dengan PLN untuk menjamin bahwa
pembangunan fasilitas pembangkit tenaga listrik dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan yang selaras dengan sistem transmisi Jawa. Tidak ada ketentuan
yang dibuat dalam JOC ataupun ESC yang mendukung hak Pertamina untuk
berkeberatan atau menentang maksud KBC untuk membangun persediaan di
dalam jumlah yang dinyatakan di dalam NORC dan NOID.
Setelah menyerahkan NORC pada bulan September 1997, KBC telah
memberitahu Pertamina tentang NORC yang telah diperbaharui dan NOID
pada tanggal 16 Desember 1997, yang mengkonfirmasikan bahwa sedikitdikitnya persediaan enerji sebesar 210 MW telah tersedia untuk dibangun,
Pertamina telah mengkritik pemberitahuan tersebut dengan menyatakan
bahwa KBC mengirim mereka pemberitahuan tersebut tanpa mengindahkan
jangka waktu yang diberikan yaitu 90 hari dan mereka curiga karena jumlah
persediaan yang dinyatakan di dalam NORC sebelumnya (pada bulan
September) telah bertambah tanpa pembenaran dan saat itu adalah periode
ketidakmenentuan

sehubungan

dengan

pembangunan

proyek

dan

berdasarkan Keputusan Presiden.


Namun demikian perlu diperhatikan bahwa hanya pada saat sidang
pemeriksaan berlangsung. Pertamina menyatakan keberatan seperti ini
terhadap NORC dan NOID yang dikirim penggugat tertanggal 16 Desember
1997.
Catatan tertulis menunjukkan adanya persetujuan para pihak yang tidak
mengindahkan periode 90 hari untuk pemberitahuan NORC dan NOID

Based on Gatots Research


Only for Private Use

54

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

Desember 1997 dan di dalam catatan tersebut nampak bahwa Pertamina


tidak bereaksi terhadap NORC dan NOID tersebut.72
Perlu juga dicatat bahwa pemberitahuan-pemberitahuan oleh KBC terjadi
selama jangka waktu pemberhentian proyek yang diperintahkan menurut
Keppres Nomor 39 Tahun 1997 tanggal 20 september 1997 yang telah
dibatalkan oleh Keppres Nomor 47 Tahun 1997 tanggal 1 Nopember 1997
karena itu keraguan Pertamina terhadap kebenaran pemberitahuan KBC
tidak berdasar sama sekali.
Walaupun demikian majelis arbitrase tidak meremehkan kemungkinan
bahwa jumlah persediaan sebesar 210 MW yang dapat didayagunakan di
wilayah kerja yang dikemukakan oleh penggugat mungkin terlalu tinggi. Hal
ini di kemudian hari akan memberatkan, khususnya sehubungan dengan
jumlah ganti rugi atas kehilangan laba.
Mengenai pembiayaan yang diperlukan dalam rangka pembangunan
proyek menurut pendapat majelis arbitrase tidaklah beralasan sama sekali
untuk meragukan kesiapan KBC dalam mengeluarkan biaya tersebut, baik
secara langsung maupun melalui para pemegang saham. NORC dan NOID
tanggal 16 Desember 1997 telah menunjukkan niat KBC untuk melanjutkan
pembangunan Energi Geo-termal dalam jumlah yang telah diumumkan dan
untuk pembangunan unit-unit yang diperlukan. Oleh sebab itu, KBC
mengajukan permohonan pada tanggal 5 Januari 1998 untuk memperoleh
izin dari Pemerintah Indonesia yang berwenang untuk menggunakan dana
alokasi fasilitas sejumlah US $ 380 (tiga ratus delapan puluh) juta dolar
Amerika.
Setelah dibatalkannya Keppres Nomor 47 Tahun 1997 melalui Keppres
Nomor 5 Tahun 1998 tanggal 10 Januari 1998, KBC telah berusaha
mendesak baik melalui jalur politik maupun diplomatik untuk memperoleh
72

Hal ini didasarkan pada notulen tertanggal 14 Desember 1997 yang dibuat di dalam pertemuan
Komite Bersama yang menyatakan bahwa persetujuan tersebut telah ditandatangani oleh kedua pihak.

Based on Gatots Research


Only for Private Use

55

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

dukungan atas kelanjutan kembali proyek mereka di Indonesia. KBC


mengajukan permohonan kepada Pertamina pada 23 Januari 1998 untuk
melibatkan campur tangan

pejabat setempat agar proyek dilanjutkan

kembali.
Menurut pendapat majelis arbitrase sikap KBC seperti telah dibuktikan di
atas memperlihatkan keyakinan mereka bahwa proyek akan tetap dilanjutkan
dan memberikan keuntungan meskipun dihalangi oleh perkembangan politik
dan kesulitan ekonomi yang terjadi di Indonesia. Secara sederhana adalah
masuk akal bahwa kesulitan tersebut dapat diatasi bersamaan dengan
berlalunya waktu dan penerimaan tindakan-tindakan yang diusulkan oleh
IMF.
Sebagaimana telah diuraikan tentang perlunya mempertimbangkan
sejumlah risiko akibat tidak adanya perlindungan yang dapat dijamin oleh
JOC dan ESC termasuk biaya modal yang lebih tinggi dari cash flow yang
telah diperkirakan KBC, penundaan pembangunan pembangkit tenaga listrik
dan pengoperasiannya, jumlah persediaan sumber geo-termal yang akan
dikelola yang ternyata lebih rendah dari yang diharapkan, dan/atau
pengelolaan modal dan ongkos operasional lebih tinggi dari cash flow yang
direncanakan.
Karena terlalu banyaknya variabel yang muncul di dalam proses
pengevaluasian tersebut, beberapa pendekatan lain perlu dilakukan dengan
tetap mempertimbangkan berbagai faktor tersebut, yang ternyata dapat
mengurangi klaim penggugat atas kehilangan laba. Setelah melakukan
pertimbangan secara hati-hati atas elemen-elemen yang dapat timbul di
dalam analisis yang disebut, dan untuk menetapkan jumlah kerugian akibat
kehilangan laba berdasarkan bukti-bukti yang telah diserahkan oleh kedua
pihak maka majelis arbitrase menetapkan jumlah kehilangan laba yang
berhak diperoleh penggugat sebagai ganti rugi adalah sebesar US $ 150
(seratus lima puluh) juta dolar Amerika.
Based on Gatots Research
Only for Private Use

56

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

e. Putusan atas Bunga dan Biaya Arbitrase


Tentang tingkat bunga yang harus dibayar, majelis arbitrase mempunyai
kebebasan

penuh

untuk

menetapkan

tarif

bunga

tersebut

dengan

mempertimbangkan situasi dari masing-masing pihak dan jumlah yang


diizinkan. Untuk itu majelis arbitrase menetapkan bunga dengan tingkat 4%
per tahun dari tanggal 1 Januari 2001 hingga tanggal pelunasan penuh.
Berdasarkan Pasal 40 (1) Peraturan Arbitral UNCITRAL biaya arbitrase
pada dasarnya ditanggung oleh pihak yang kalah dalam persidangan, akan
tetapi majelis arbitrase akan membuat seimbang penanggungan setiap
ongkos di antara para pihak apabila penyamarataan tersebut masuk akal,
dengan mempertimbangkan keadaan kasus tersebut. Dalam hal ini
Pertamina pada dasarnya mengalami kekalahan dalam perkara ini, tetapi
tuntutan ganti kerugian KBC dalam jumlah yang cukup besar ditolak oleh
majelis arbitrase. Dalam situasi ini majelis arbitrase mempertimbangkan
adalah layak bagi Pertamina untuk menanggung 2/3 (dua per tiga) dari
ongkos dan biaya arbitrase dan KBC membayar 1/3 (sepertiganya).
Untuk itu ongkos dan biaya arbitrase di dalam tahap kedua dan terakhir
arbitrase ini telah diputuskan sebagai berikut:

Biaya Arbitrase
Yves DERAINS

146.337,00 Dolar Amerika

Piero BERNARDINI

109.752,69 Dolar Amerika

Ahmed EL KOSHERI 109.752,69 Dolar Amerika

Jumlah

pembiayaan

arbitrase

oleh

majelis

arbitrase

adalah

US

$34.140,00 (tiga puluh empat ribu seratus empat puluh) dolar Amerika.
Secara total, ongkos dan biaya tahap kedua ini adalah US$ 399.982,38 (tiga
ratus sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus delapan puluh dua koma
Based on Gatots Research
Only for Private Use

57

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

tiga puluh delapan) dolar Amerika. Jumlah ini ditebus melalui pembayaran
para pihak dengan rincian Pertamina membayar US $ 199.982,38 (seratus
sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus delapan puluh dua koma tiga
puluh delapan) dolar Amerika dan KBC membayar US $ 200.000 (dua ratus
ribu) dolar Amerika, tetapi karena KBC telah diputuskan hanya membayar
sepertiga dari jumlah US $ 399.982,38 Dolar Amerika, maka Pertamina
diwajibkan untuk membayar sisa dari yang seharusnya dibayar oleh
penggugat yaitu sebesar US $ 66.654,92 (enam puluh enam ribu enam ratus
lima puluh empat dan sembilan puluh dua sen) dolar Amerika.
Pasal 40 (2) Arbitrase UNCITRAL memberikan kebebasan kepada majelis
arbitrase untuk memutuskan ongkos penasehat hukum beserta asisten
mereka.

Dengan menimbang berbagai aspek di dalam kasus ini serta

berbagai klaim yang dimasukkan oleh KBC, maka majelis arbitrase


menetapkan bahwa masing-masing pihak menanggung ongkos pembiayaan
para penasehat hukum dan asisten mereka.

f. Putusan Akhir Majelis Arbitrase UNCITRAL


Berdasarkan putusan-putusan yang telah dibuat tersebut, pengadilan
Arbitrase UNCITRAL, pada 18 Desember 2000 di Jenewa, membuat temuan
dan memutuskan sebagai berikut:
1. Pertamina dan PLN telah melanggar Perjanjian ESC dan Pertamina telah
melanggar kontrak JOC.
2. Pertamina dan PLN secara bersama-sama dan masing-masing dijatuhi
hukuman dalam bentuk pembayaran ganti rugi sebesar US$ 111.100.000
juta (seratus sebelas juta seratus ribu) dolar Amerika untuk biaya-biaya
yang diderita kepada KBC, termasuk bunga sebesar 4% pertahun
terhitung tanggal 1 Januari 2001 sampai lunas.
3. Pertamina dan PLN secara bersama-sama dan masing-masing dijatuhi
hukuman pembayaran ganti rugi sebesar US$ 150 (seratus lima puluh)
Based on Gatots Research
Only for Private Use

58

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

juta dolar Amerika untuk laba yang seharusnya diperoleh kepada KBC
termasuk bunga sebesar 4% pertahun, terhitung tanggal 1 Januari 2001
sampai lunas.
4. Pertamina dan PLN secara bersama-sama dan masing-masing dijatuhi
hukuman pembayaran ganti rugi sebesar US $ 66.654,92 (enam puluh
enam ribu enam ratus lima puluh empat dan sembilan puluh dua sen)
dolar Amerika kepada KBC untuk biaya dan ongkos yang dikeluarkan
sehubungan dengan fase kedua dan terakhir dari arbitrase ini, termasuk
bunga sebesar 4% pertahun terhitung tanggal 1 Januari 2001 sampai
lunas.
5. Masing-masing pihak harus menanggung ongkos pembiayaan penasehat
hukum dan para asisten mereka.
6. Tuntutan lainnya dari para pihak dinyatakan dibantah atau dihapuskan.

Catatan: Atas putusan arbitrase UNCITRAL di Jenewa tersebut, Pertamina


memiliki waktu paling lama 30 hari untuk mengajukan pembatalan putusan
tersebut kepada Pengadilan di Jenewa. Pengadilan Jenewa dikategorikan
sebagai primary jurisdiction, karena putusan arbitrase diucapkan di Jenewa,
sehingga memiliki wewenang untuk membatalkan putusan arbitrase (yang
telah bersifat final dan mengikat). Tetapi anehnya sampai batas waktu 30 hari
tersebut lewat, Pertamina sama sekali tidak mengambil tindakan hukum apa
pun. Hal ini dapat diartikan bahwa Pertamina telah menerima putusan
arbitrase tersebut.73

73

Simson Panjaitan sebagai koordinator pengacara Pertamina mengakui bahwa upaya banding ke
pengadilan di Jenewa sebenarnya telah dilakukan tetapi terlambat; artinya jangka waktu maksimum 30
hari telah terlewati. Menurutnya, peristiwa ini perlu dilakukan penyelidikan (oleh pihak internal
Pertamina sendiri): mengapa sampai terjadi keterlambatan tersebut. Artinya, perlu diselidiki mengapa
hal yang fatal ini dapat terjadi, apakah ada unsur kelalaian atau bahkan telah terjadi permainan kotor
di belakang semua ini.

Based on Gatots Research


Only for Private Use

59

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

2. Proses Gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat


a. Gugatan Pertamina atas Putusan Arbitrase UNCITRAL
Atas putusan majelis arbitrase UNCITRAL di Jenewa tersebut, Pertamina
melakukan upaya hukum pembatalan putusan melalui Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat. Alasan-alasan yang digunakan Pertamina untuk meminta
pembatalan putusan arbitrase luar negeri adalah, karena putusan melanggar
ketentuan-ketentuan Konvensi New York 1958 (melalui Keppres No. 34
Tahun 1981) dan Ketentuan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, serta klausula arbitrase yang
menjadi sumber utama wewenang majelis arbitrase yang bersangkutan.74
Menurut Pertamina, putusan arbitrase UNCITRAL 18 Desember 2000
memiliki beberapa kelemahan sebagai berikut:
1. Majelis

arbitrase

telah

melampaui

wewenangnya

karena

tidak

mempergunakan hukum Indonesia, padahal hukum Indonesia merupakan


pilihan hukum (choice of law) yang harus dipergunakan. Untuk itu
Pertamina menguraikan lebih jauh, yaitu:
a.

Telah disebutkan dalam hal timbul sengketa antara Pertamina dan


KBC, penyelesaiannya akan ditempuh dengan arbitrase berdasarkan
ketentuan Arbitrase UNCITRAL (UNCITRAL Arbitration Rules). Hukum
yang telah dipilih oleh Pertamina dan KBC adalah hukum Indonesia
secara berturut-turut dalam Perjanjian JOC Pasal 20, dan dalam
Perjanjian ESC Pasal 12.

b.

Majelis arbitrase, berdasarkan UNCITRAL Arbitration Rules, Pasal 33


ayat (1) seharusnya mempergunakan hukum yang telah dipilih oleh
Pertamina dan KBC, yang adalah hukum Indonesia.

c.

Namun ternyata majelis arbitrase di Jenewa, dalam pertimbangan


Putusan

Arbitrase

UNCITRAL

tidak

menghiraukan

dan

telah

74

Lihat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 86/PDT.G/2002/PN.JKT.PST tanggal 19


Agustus 2002.

Based on Gatots Research


Only for Private Use

60

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

mengenyampingkan dan telah melanggar ketentuan-ketentuan hukum


Indonesia yang seharusnya diperlukan.
d.

Adapun ketentuan-ketentuan hukum Indonesia yang telah dilanggar


oleh majelis arbitrase dalam Perjanjian JOC adalah sebagai berikut:
1) Putusan Arbitrase Jenewa tidak mengindahkan dan secara keliru
menafsirkan ketentuan tentang force majeure menurut hukum
Indonesia. Beberapa argumentasi yang digunakan adalah:
a) Putusan arbitrase tertanggal 18 Desember 2000 secara keliru
mempertimbangkan bahwa menurut Pasal 15.2 (e) JOC dan
Pasal 9.2 (e) ESC maka suatu peristiwa yang berhubungan
dengan pemerintah (Government Related Event) dianggap
sebagai peristiwa force majeure (keadaan memaksa) yang
hanya berlaku terhadap KBC dan tidak berlaku bagi Pertamina.
b) Para

arbitrator

dalam

memberikan

pertimbangannya

berpendapat bahwa dikeluarkannya Keputusan Presiden RI No.


5 Tahun 1998 dianggap sebagai suatu keadaan force majeure
hanya bagi KBC sehingga KBC dibenarkan untuk tidak
melakukan dan memenuhi kewajibannya dari JOC dan ESC
sedangkan bagi Pertamina Keputusan Presiden No. 5 Tahun
1998 tidak dapat dijadikan alasan force majeure sehingga tetap
harus melaksanakan segala kewajibannya dalam JOC dan
ESC. Dalam kaitan itu, tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban
oleh Pertamina tersebut, maka Pertamina dianggap telah
melakukan

wanprestasi

dan

karenanya

dihukum

untuk

membayar kerugian kepada KBC kurang lebih sebesar US$


270.000.000,- (dua ratus tujuh puluh juta dollar Amerika
Serikat).
c) Pertimbangan putusan arbitrase tersebut adalah keliru karena
adanya keharusan untuk menangguhkan proyek PLTP Karaha
Based on Gatots Research
Only for Private Use

61

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

(PLN Tahap I) sebagaimana ditentukan dalam Keputusan


Presiden adalah bukan karena kesalahan Pertamina tetapi
adalah

suatu

tindakan

kebijaksanaan

pemerintah

untuk

mengatasi gejolak krisis moneter yang dihadapi oleh Indonesia


yang berada di luar kemampuan Pertamina untuk dapat
merubahnya.
d) Perintah penangguhan yang dikeluarkan oleh Keputusan
Presiden tersebut bersifat memaksa dan merupakan suatu
peristiwa force majeure yang berlaku baik bagi Pertamina
maupun KBC.
e) Walaupun ketentuan dalam Perjanjian JOC dan Perjanjian ESC
menyatakan bahwa suatu peristiwa yang berhubungan dengan
pemerintah dianggap sebagai suatu peristiwa force majeure
(keadaan memaksa) berkenaan dengan KBC tetapi pada
kenyataannya Pertamina sebagai BUMN harus tunduk dan
mematuhi Keputusan Presiden sehingga force majeure berlaku
juga bagi Pertamina dan KBC.
f) Berdasarkan Pasal 1339 KUHPerdata maka suatu persetujuan
tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di
dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifat
persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau
undang-undang. Bahwa menurut rasa keadilan dan kebiasaan
dan undang-undang maka suatu peristiwa force majeure
terutama satu kebijaksanaan pemerintah berlaku terhadap
semua pihak termasuk Pertamina.
2) Adanya peristiwa force majeure menurut hukum Indonesia
membebaskan

Pertamina

dari

kewajiban

untuk

membayar

penggantian biaya, kerugian, dan bunga.


3) Karena

Keputusan

Presiden

No.

Based on Gatots Research


Only for Private Use

Tahun

1998

tersebut
62

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

merupakan suatu peristiwa force majeure maka berdasarkan Pasal


1245 KUHPerdata tidak seharusnya putusan arbitrase menghukum
Pertamina untuk membayar kerugian sebesar kurang lebih US$
270.000.000,- (dua ratus tujuh puluh juta dollar Amerika Serikat).

2. Kelemahan lainnya adalah putusan Arbitrase UNCITRAL pelaksanaannya


harus ditolak karena bertentangan dengan ketertiban umum Republik
Indonesia.

Penasihat

hukum

Pertamina

dalam

penjelasannya

menggunakan beberapa argumentasi sebagai berikut:


a. Pasal 1337 menentukan bahwa suatu causa adalah terlarang apabila
hal tersebut dilarang oleh Undang-undang atau bertentangan dengan
ketertiban umum. Bahwa sebagaimana telah dikemukakan maka
Perjanjian

JOC

dan

Perjanjian

ESC

tidak

dapat

diteruskan

pelaksanaannya karena telah ditangguhkan oleh Keputusan Presiden


RI.
b. Sebagaimana dapat dibaca dari pertimbangan yang diberikan dalam
Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1998 tersebut maka dalam upaya
mengatasi gejolak moneter yang dihadapi oleh negara Indonesia yang
timbul sejak tahun 1997 dan demi untuk penghematan di semua
bidang

maka

pemerintah

Indonesia

menganggap

perlu

untuk

menangguhkan proyek-proyek yang membutuhkan dana yang besar


antara lain proyek PLTP Karaha (Tahap I PLN) yang diadakan
berdasarkan perjanjian JOC dan ESC.
c. Dengan demikian Keputusan Presiden RI No. 5 Tahun 1998 tersebut
dikeluarkan oleh Pemerintah RI demi kepentingan penyelamatan
negara dan rakyat Indonesia yang sedang menghadapi krisis ekonomi
khususnya yang diakibatkan antara lain oleh depresiasi mata uang
rupiah terhadap nilai tukar US dollar yang pada saat itu mencapai lebih
dari 30% sehingga apabila proyek PLTP tersebut diteruskan pasti
Based on Gatots Research
Only for Private Use

63

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

akan menimbulkan beban keuangan yang sangat berat bagi negara


dan rakyat Indonesia. Oleh karenanya demi untuk menjaga ketertiban
umum

maka

pemerintah

Indonesia

memandang

perlu

untuk

menangguhkan proyek PLTP Karaha (Tahap PLN I) tersebut.


d. Oleh karena itu putusan arbitrase internasional tanggal 18 Desember
2000 tidak dapat dilaksanakan karena bertentangan dengan ketertiban
umum Republik Indonesia. Alasan ketertiban umum juga ditentukan
dalam Pasal 66 UU Arbitrase No. 30 Tahun 1999 sebagai syarat yang
harus dipenuhi oleh suatu putusan arbitrase internasional untuk dapat
dilaksanakan.

3. Perjanjian JOC dan ESC tidak mempunyai kekuatan hukum karena


pelaksanaannya mengandung suatu causa yang terlarang. Sebagai dasar
alasannya, Pertamina menyatakan bahwa:
a.

Dalam rangka pelaksanaan Perjanjian JOC dan ESC, yang tetap


dilakukan KBC meskipun telah diterbitkan Keppres No. 39 Tahun 1997
dan Keppres No. 5 Tahun 1998 oleh pemerintah Republik Indonesia
yang secara tegas telah menangguhkan pelaksanaan kontrak
perjanjian JOC dan ESC, KBC ternyata telah berhasil memperoleh
putusan arbitrase internasional terhadap Pertamina. Saat ini KBC
sedang berusaha untuk melakukan sita eksekusi terhadap aset-aset
yang menurut perkiraan KBC menjadi milik Pertamina, aset mana
berupa rekening-rekening di bank yang berada dalam wilayah Amerika
Serikat; padahal perjanjian JOC dan ESC, merupakan kontrak-kontrak
yang tidak mempunyai kekuatan hukum karena adanya larangan
pemerintah RI untuk meneruskan pelaksanaan kontrak melalui
Keppres No. 39 Tahun 1997 tentang penangguhan proyek pemerintah
dan Keppres No. 5 Tahun 1998.

b.

Bahwa sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata


Based on Gatots Research
Only for Private Use

64

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

untuk sahnya satu perjanjian harus dipenuhi antara lain syarat adanya
suatu sebab yang halal sedangkan menurut Pasal 1337 KUHPerdata
suatu

sebab adalah terlarang apabila dilarang undang-undang,

bertentangan dengan kesusilaan yang baik atau dengan ketertiban


umum, dan Pasal 1335 KUHPerdata menentukan bahwa suatu
perjanjian dengan sebab yang terlarang, tidak mempunyai kekuatan
hukum.

Oleh karena itu berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas semua


bukti yang disampaikan oleh KBC tidak mempunyai kekuatan hukum
sehingga dapat dimintakan pembatalannya. Kontrak Joint Operation dan
Energy Sales Contract juga tidak dapat dilanjutkan.

4. Putusan arbitrase seharusnya ditolak karena bertentangan dengan Pasal


V (1) huruf B Konvensi New York 1958 dan dengan Pasal V (1) (D).75
Pertamina memberikan penjelasan lebih lanjut sebagai berikut:
a. Putusan arbitrase asing tidak dapat dijalankan karena Pertamina
sebagai termohon eksekusi, tidak diberi pemberitahuan yang pantas
(proper notice) tentang arbitrase ini. Pertamina sebagai termohon
eksekusi, tidak diberi kesempatan untuk mengangkat arbitrator yang
dipilihnya sesuai dengan perjanjian-perjanjian JOC dan ESC, padahal
sesuai dengan ketentuan tentang arbitrase dalam perjanjianperjanjian

tersebut,

Pertamina

seharusnya

diberi

kesempatan

mengajukan arbitrator yang dikehendakinya, hal mana tidak terjadi


dalam hal ini.
b. Sesuai dengan ketentuan Konvensi New York 1958 Pasal V (1) (d),
75

Kedua pasal tersebut telah dilanggar, yaitu Pasal V (1) huruf B: Pertamina sebagai termohon
eksekusi tidak diberitahukan secara layak tentang pengangkatan arbitrator; dan Pasal V (1) (D):
susunan tim arbitrase tidak sesuai dengan perjanjian JOC dan ESC.

Based on Gatots Research


Only for Private Use

65

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

susunan para arbitrator ini harus menurut prosedur yang telah


disetujui oleh para pihak dalam klausula arbitrase mereka, sedangkan
dalam perkara arbitrase a quo para arbitrator telah dipilih tanpa
adanya persetujuan atau pilihan dari Pertamina sebagai pihak dalam
prosedur arbitrase ini sehingga susunan tim arbitrase dalam perkara
arbitrase a quo bertentangan adanya dengan Pasal V (1) (d): the
composition of the arbitral authority of the arbitral procedure was not
in accordance with the agreement of the parties.

5. Klausula arbitrase dinilai inoperating dan incapable of being performed


sesuai dengan Pasal II (3) Konvensi New York 1958 Juncto Keputusan
Presiden No. 34 Tahun 1981. Pertamina memberikan penjelasan lebih
lanjut sebagai berikut:
a. Sesuai dengan ketentuan Pasal II (3), Konvensi New York 1958 yang
melalui Keputusan Presiden No 34 Tahun 1981 telah menjadi hukum
positif bagi RI, maka perjanjian-perjanjian JOC dan ESC dihentikan
oleh pemerintah RI, dengan Keppres No. 39 Tahun 1997 dan Keppres
No. 5 Tahun 1998. Dengan demikian perjanjian ini menurut hukum
Indonesia menjadi null and void, inoperative of being performed,
sesuai dengan apa yang dicantumkan dalam Pasal II Konvensi New
York 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Luar Negeri.
b. Klausula arbitrase yang tercantum dalam perjanjian JOC dan Pasal
ESC menjadi inoperative dan incapable of being performed sesuai
dengan ketentuan hukum Indonesia karena perjanjian JOC dalam
Pasal 20 dan ESC dalam Pasal 12 telah menentukan berlakunya
hukum Indonesia. Tidak ada jalan lain, karena Keppres No. 39 Tahun
1997 dan No. 5 Tahun 1998 telah memerintahkan penghentian seluruh
proses Perjanjian JOC dan ESC termasuk juga Klausula arbitrase
Based on Gatots Research
Only for Private Use

66

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

yang menjadi inoperative dan incapable of being performed (tidak


dapat dijalankan dan tidak dapat dilaksanakan).
c. Wewenang para arbitrator yang didasarkan atas klausula arbitrase
sebagaimana diuraikan di atas, menurut hukum Indonesia menjadi
inoperative tidak dapat dijalankan, dan seharusnya tidak dapat
dilanjutkan dengan menghasilkan putusan arbitrase a quo, yang kini
ditentang pelaksanaannya dan dimintakan pembatalan.

6. Menurut Pasal V (1) huruf A pelaksanaan putusan arbitrase Jenewa


seharusnya ditolak apabila para pihak tidak memiliki capacity berdasarkan
hukum yang berlaku bagi mereka (hukum Indonesia). Penjelasannya
adalah,

menurut Pasal V (1) huruf A Konvensi New York 1958

pengakuan dan pelaksanaan terhadap putusan arbitrase luar negeri dapat


ditolak atas permohonan termohon eksekusi hanya apabila yang
bersangkutan dapat menyerahkan kepada pengadilan pelaksana bukti
bahwa para pihak dalam perjanjian JOC dan ESC berada dalam
incapacity berdasarkan hukum Indonesia yang telah dipilih para pihak
untuk berlaku.

7. Putusan arbitrase dilakukan berdasar tipu muslihat KBC dengan tidak


mengindahkan hukum Indonesia sebagai hukum yang berlaku bagi JOC
dan ESC, khususnya kerugian dan kehilangan keuntungan yang menurut
majelis arbitrase telah diderita oleh KBC. Selanjutnya Pertamina
menguraikan beberapa hal, yaitu:
a. Pasal 114 e JOC menyebutkan bahwa KBC berkewajiban untuk
menyediakan semua dana yang dibutuhkan bagi operasi geo-termal
dan risiko operasi geo-termal, dengan ketentuan kewajiban KBC
menyangkut juga dana yang diperlukan untuk membangun fasilitas
lapangan dan fasilitas pembangkit tenaga listrik dan harus selalu
Based on Gatots Research
Only for Private Use

67

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

memberikan

laporan

kepada

Pertamina

mengenai

pendanaan

tersebut.
b. Namun demikian selama persidangan arbitrase berlangsung KBC tidak
dapat membuktikan dengan bukti-bukti yang sah bahwa KBC telah
siap dan sanggup untuk melaksanakan kontrak-kontrak JOC dan ESC
dengan

menyediakan

pembiayaan

yang

dana

bonafide,

yang

nyata

sebagaimana

dari

sumber-sumber

disyaratkan

untuk

pelaksanaan proyek tersebut.


c. Di samping itu, proyek geo-termal yang harus dibangun berdasarkan
kontrak JOC untuk menjual tenaga listrik sebagaimana diatur dalam
kontrak JOC dan kontrak ESC baru mencapai tahap eksplorasi
sehingga fasilitas-fasilitas tenaga pembangkit listrik dalam proyek
tersebut belum berdiri dan sama sekali belum menghasilkan produksi
tenaga listrik dan oleh karenanya KBC belum dapat dikatakan telah
memenuhi kewajiban-kewajibannya dalam JOC dan ESC.
d. Kemampuan KBC untuk menghasilkan kapasitas tenaga listrik
sebagaimana disyaratkan oleh JOC dan ESC belum teruji dan belum
terpenuhi. Oleh karena itu besarnya biaya ganti rugi, kehilangan
keuntungan dan bunga sebesar kurang lebih US$ 270 juta yang harus
dibayar oleh Pertamina berdasarkan putusan arbitrase adalah tidak
benar dan bersifat spekulatif dan fiktif tanpa disertai bukti-bukti yang
nyata tentang kecurigaan sebenarnya yang diderita oleh KBC.
e. Menurut hukum Indonesia, suatu pembayaran ganti kerugian, harus
didasarkan atas bukti-bukti kerugian yang nyata. Majelis arbitrase
dalam membuat putusan a quo telah tidak memakai hukum Indonesia
sehingga telah melampaui wewenangnya (exceeds its powers) dan
sesuai ketentuan Konvensi New York 1958 batal adanya, atau harus
dibatalkan.

Based on Gatots Research


Only for Private Use

68

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

8. Pertamina telah berusaha agar Pemerintah RI mencabut kembali perintah


penangguhan perjanjian JOC dan ESC, meskipun tanpa hasil. Upaya
Pertamina tersebut dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
a. Usaha Pertamina tersebut pada mulanya telah berhasil dengan
dikeluarkannya Keppres No. 47 Tahun 1997 yang menyatakan proyek
PLTP Karaha Bodas dapat diteruskan.
b. Namun usaha ini kemudian gagal lagi dengan dikeluarkannya Keppres
No. 5 Tahun 1998 yang memerintahkan penangguhan ulang terhadap
proyek yang sama. Namun kegagalan ini tidak berarti bahwa
Pertamina tidak sudah berusaha secara maksimal akan tetapi dalam
instansi terakhir semua juga tetap berada di luar kewenangannya.
c. Dalam keadaan demikian sangat tidak adil jika majelis arbitrase yang
kini dimohonkan pembatalan putusannya hanya memberlakukan
ketentuan force majeure terhadap KBC, tanpa memperhatikan segala
upaya Pertamina yang telah maksimal dilakukan. Di sini hukum
Indonesia yang selalu mengedepankan keseimbangan antara para
pihak telah diabaikan untuk diterapkan, dengan demikian putusan
tersebut perlu dibatalkan.

Kesimpulan dari argumentasi Pertamina adalah majelis arbitrase telah


melampaui batas wewenang dalam menjatuhkan putusan arbitrase.
Menurut hukum Indonesia seperti juga dengan lain-lain sistem hukum,
pengadilan tetap mengawasi putusan arbitrase yang dibuat sesuai
dengan hukum Indonesia. Banding tidak diperbolehkan, tetapi perlu
diawasi integritas fundamental dari proses arbitrase itu sendiri. Menurut
Pertamina, pembatalan dari suatu putusan arbitrase perlu dilakukan jika
dilampaui batas-batas wewenang yang telah disetujui para pihak dalam
perjanjian arbitrase, atau jika majelis arbitrase telah melampaui batasbatas wewenang (excess of power) yang telah diberikan oleh para pihak
Based on Gatots Research
Only for Private Use

69

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

atau telah terjadi berat sebelah dari majelis arbitrase, atau tidak
dipenuhinya

suatu

asas

berperkara

yang

prinsipil

seperti

harus

memperlakukan para pihak secara sama dan tidak boleh berat sebelah
seperti ditentukan Pasal 15 UNCITRAL Arbitration.

Lebih jauh Pertamina berargumentasi bahwa putusan arbitrase a quo


didasarkan atas dua perjanjian:
a. Joint Operation Contract (JOC) antara Pertamina dan KBC
b. Energy Sales Contract (ESC) antara Pertamina, KBC dan PLN.

Dalam kaitan itu, KBC belum memulai konstruksi fasilitas pembangkit


listrik, tetapi tim arbitrase telah memberikan mereka ganti rugi US$ 111,1
juta untuk kerugian pembiayaan, US$ 150 juta untuk kerugian keuntungan
(lost profit), bunga 4% setahun mulai 1 Januari 2001 sampai dibayar lunas
dan US$ 687,737,48 untuk biaya arbitrase. Putusan Arbitrase ini
melampaui batas wewenang para arbitrator (exceeded the power) yang
diberikan kepada mereka menurut klausula arbitrase para pihak. Di
samping itu sebagaimana telah dikemukakan di muka, majelis arbitrase
tidak memakai hukum Indonesia dalam menafsirkan force majeure
menurut ketentuan dalam kedua kontrak (JOC dan ESC) dan menentukan
tanggung jawab Pertamina untuk kehilangan keuntungan (lost profit),
secara spekulatif (tidak berdasar). Hal ini melanggar baik klausula
arbitrase yang ditandatangani para pihak, maupun UNCITRAL Arbitration
Rules, secara merugikan Pertamina. Walaupun telah diperjanjikan dua
proses arbitrase tersendiri, satu di bawah JOC dan yang kedua menurut
ESC, tetapi tim arbitrase telah menggabungkan kedua proses arbitrase
dalam satu proses arbitrase.
Secara tegas para pihak telah sepakat dalam ESC, bahwa Pertamina
dan KBC bersama-sama harus memilih satu arbitrator menurut ESC,
Based on Gatots Research
Only for Private Use

70

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

tetapi majelis arbitrase menyampingkannya dan memaksa Pertamina


untuk memakai arbitrator bersama dengan PLN dan pemerintah padahal
kewajiban Pertamina dan PLN berbeda sedangkan arbitrator sama telah
dipilih oleh majelis arbitrase untuk pemerintah RI (yang kemudian telah
dikesampingkan oleh tim arbitrase ini sebagai pihak). Dengan demikian
majelis arbitrase telah melanggar prosedur yang secara tegas telah
disepakati oleh para pihak dalam perjanjian arbitrase mereka dengan
merugikan Pertamina dan PLN.
Dari uraian di atas terlihat dengan jelas bahwa para pihak telah tidak
diperlakukan secara sama, karena suatu lembaga ICSID (International
Centre For The Settlement of Investment Disputes) telah diminta memilih
untuk tiga pihak, padahal KBC menurut perjanjian arbitrase harus
diperbolehkan memilih sendiri arbitratornya. Hal ini juga melanggar hukum
Indonesia.
Kesimpulan lainnya adalah putusan arbitrase ini juga melanggar
ketertiban umum dari Republik Indonesia, karena menghukum Pertamina
dan PLN sebagai yang bertanggung jawab untuk kepatuhan mereka
terhadap hukum Indonesia dan para arbitrator dengan demikian
melanggar tata cara berperkara yang layak (due process rights).
Sebagaimana diketahui bahwa sesungguhnya KBC telah membuat
dua perjanjian terpisah, yakni (1) JOC antara KBC dan Pertamina serta
ESC antara KBC, Pertamina dan PLN. Kontrak-kontrak ini mengatur
eksplorasi (geo-termal) untuk pembangkit tenaga listrik di area concessie
Karaha

dan

Telaga

Bodas.

Kedua

kontrak

ini,

sekalipun

ada

hubungannya, tetapi jelas mengandung hak-hak dan kewajiban-kewajiban


masing-masing pihak yang berbeda. Kedua kontrak ini menunjuk KBC
yang

harus

menanggung

risiko

dan

pembiayaan

ekplorasi

dan

pembangunan pabrik pembangkit tenaga listrik ini. Dan baru jika


kemudian ternyata bahwa KBC berhasil membangun sumber-sumber itu
Based on Gatots Research
Only for Private Use

71

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

dan telah berhasil dengan membangun fasilitas yang mampu membangkit


listrik sesuai ketentuan kontrak, risiko biaya pengeluaran akan berpindah
dari KBC ke PLN. Hal ini tidak pernah terjadi.
JOC tidak meletakkan kewajiban Pertamina untuk membeli listrik dari
KBC, sebaliknya menyatakan bahwa listrik yang diproduksi oleh operasi
pembangkitan bersangkutan akan dijual kepada pembeli (PLN) sesuai
dengan ESC. Peranan Pertamina hanya sebagai agen penyaluran untuk
pembayaran antara PLN dan KBC dan terhadap JOC ini dipakai hukum
Indonesia.
Menurut ESC, PLN menyetujui untuk membeli dari Pertamina sesuai
ketentuan dan syarat dalam ESC ini semua tenaga listrik yang akan
dihasilkan oleh KBC. Juga di sini peranan Pertamina hanya sebagai agen
perantara untuk pembayaran yang akan dilakukan oleh PLN. Jadi jelas
Pertamina tidak ada kewajiban untuk membeli tenaga listrik menurut
kontrak ESC dan Pertamina juga bukan penjamin untuk kewajibankewajiban PLN. Kewajiban PLN baru mulai setelah ada hasil tenaga listrik
yang dihasilkan oleh pembangkit listrik KBC.
Dalam hal terjadi sengketa melalui arbitrase, di mana PLN di satu
pihak dan KBC serta Pertamina di pihak lain, masing-masing mengangkat
satu arbitrator, yang kemudian bersama-sama akan mengangkat arbitrator
ketiga untuk bertindak sebagai ketua majelis arbitrase.
Sebagai akibat dari krisis ekonomi yang dialami pemerintah Indonesia
sejak tahun 1997, maka IMF telah memaksa pemerintah Indonesia untuk
meninjau kembali secara menyeluruh semua proyek-proyek yang
didasarkan pada kewajiban membayar dalam US dollar. Sebagai tindak
lanjut saran IMF pemerintah menerbitkan Keppres No. 39 Tahun 1997
yang mengatur proyek mana dapat diteruskan, ditinjau kembali atau
ditangguhkan, dan proyek Karaha Bodas termasuk yang ditangguhkan.

Based on Gatots Research


Only for Private Use

72

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

Setelah ditandatanganinya perjanjian-perjanjian di tahun 1994, sampai


dengan ditangguhkannya proyek tersebut, KBC hanya melakukan
eksplorasi dan pada saat ditangguhkannya proyek bersangkutan, KBC
masih harus menambahkan US$ 500 juta (5 x lebih banyak daripada apa
yang sudah dikeluarkannya) sebelum ada kemungkinan menghasilkan
tenaga listrik yang diharapkan.
Tetapi pada 10 Februari 1998 KBC menyatakan telah terjadi force
majeure dan menghentikan kontrak-kontrak, serta pada 30 April 1998
KBC mengajukan gugatan arbitrase terhadap Pertamina dan PLN dengan
Notice of Claim dalam satu arbitrase berdasarkan dua kontrak JOC dan
ESC.

b. Argumentasi KBC atas Gugatan Pertamina


Atas gugatan Pertamina di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, khususnya
terhadap dalil-dalil yang diajukan di dalam gugatan tersebut, KBC
menolaknya dengan memberikan alasan-alasan sebagai berikut:

1) Gugatan Pertamina tersebut tidak memiliki dasar hukum (Exceptio


Onrechmatige of Ongegrond)
KBC menyatakan bahwa putusan arbitrase internasional yang telah
diputuskan di Jenewa, Swiss, pada tanggal 18 Desember 2000 sama
sekali tidak memiliki alasan-alasan serta dasar hukum untuk dapat
diajukan dan dimohonkan pembatalannya oleh Pertamina. Berdasarkan
Pasal 70 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa ditentukan bahwa:
Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan
pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur
sebagai berikut:
a) surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah
Based on Gatots Research
Only for Private Use

73

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;


b) Setelah

putusan

diambil

ditemukan

dokumen

yang

bersifat

menentukan yang disembunyikan pihak lawan; atau


c) Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu
pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Berdasarkan ketentuan tersebut, jelas dinyatakan bahwa permohonan


pembatalan arbitrase internasional hanya dapat dikabulkan apabila
putusan arbitrase internasional yang telah diputuskan tersebut nyatanyata telah memenuhi salah satu dari ketiga unsur atau alasan
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 70 UU Arbitrase. Pertamina
dalam dalil-dalil gugatannya sama sekali tidak dapat menguraikan bahwa
putusan arbitrase internasional tersebut telah memenuhi salah satu dari
ketiga unsur yang disyaratkan oleh UU Arbitrase agar suatu putusan
arbitrase dapat dimohonkan untuk dibatalkan. Pertamina dengan sengaja
menguraikan dalil-dalil yang bukan merupakan alasan-alasan untuk
mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 70 UU Arbitrase. Hal ini jelas dimaksudkan oleh
Pertamina, demi keuntungannya sendiri, untuk mengaburkan fakta dan
ketentuan hukum yang berlaku, yang mengatur tentang syarat pengajuan
permohonan pembatalan putusan arbitrase.
Berdasarkan fakta hukum sebagaimana diuraikan di atas, dimana
permohonan pembatalan putusan arbitrase yang diajukan Pertamina tidak
memenuhi ketentuan Pasal 70 UU Arbitrase, jelas gugatan yang diajukan
oleh Pertamina yaitu untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan
arbitrase internasional, sama sekali tidak memiliki dasar hukum untuk
dilakukan. Oleh karena itu majelis hakim diminta untuk menolak gugatan
yang diajukan oleh Pertamina atau setidak-tidaknya menyatakan gugatan
tidak diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Based on Gatots Research
Only for Private Use

74

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

2) Gugatan yang diajukan premature (Exciptio Prematuur)


Penjelasan

Pasal

70

UU

Arbitrase

secara

tegas

menyatakan:

Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan


arbitrase

yang

sudah

didaftarkan

di

pengadilan.

Alasan-alasan

permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan


dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa
alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti maka putusan
pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim
untuk mengabulkan atau menolak permohonan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, jelas ditentukan bahwa suatu
putusan arbitrase hanya dapat dibatalkan apabila sudah didaftarkan di
Pengadilan. Dalam perkara a quo, KBC sama sekali tidak menemukan
adanya dalil-dalil dari Pertamina ataupun fakta-fakta hukum yang ada,
yang dapat membuktikan bahwa putusan arbitrase internasional sudah
didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Di dalam UU Arbitrase, Pasal 67 merupakan satu-satunya pasal yang
mengatur

mengenai

pendaftaran

putusan

arbitrase

internasional,

sedangkan terhadap pendaftaran putusan arbitrase nasional diatur dalam


Pasal 59 UU Arbitrase. Oleh karena itu, prosedur pendaftaran putusan
arbitrase internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 67 UU Arbitrase,
juga berlaku dalam hal pendaftaran putusan arbitrase internasional yang
akan diajukan oleh Pertamina untuk dimohonkan pembatalannya.
Lebih lanjut Pasal 67 Arbitrase mengatur sebagai berikut :
a) Permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dilakukan
setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbitrator atau
kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
b) Penyampaian berkas pemohonan pelaksanaan sebagaimana dimaksud
Based on Gatots Research
Only for Private Use

75

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

alam ayat (1) harus disertai dengan:


(1) lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase internasional,
sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah
terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia;
(2) lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar
putusan arbitrase internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi
dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa
Indonesia; dan
(3) keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara
tempat putusan arbitrase internasional tersebut ditetapkan, yang
menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik
secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik
Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase
internasional.
Berdasarkan ketentuan Pasal 67 ayat (1) UU Arbitrase, secara tegas
dinyatakan bahwa pendaftaran putusan arbitrase internasional hanya
dapat dilakukan oleh arbitrator atau kuasanya. Dalil-dalil gugatan yang
dikemukakan oleh Pertamina dalam perkara a quo sama sekali tidak
menguraikan masalah apakah putusan arbitrase internasional yang
dimohonkan oleh Pertamina untuk dibatalkan, telah didaftarkan oleh
arbitrator atau kuasanya. Pertamina jelas bukan merupakan arbitrator
yang memutuskan putusan arbitrase internasional. Akibatnya timbul
pertanyaan apakah Pertamina merupakan kuasa dari arbitrator? Jika
ditinjau dalil gugatan butir 3, halaman 2, jelas Pertamina telah mencoba
mengaburkan ketentuan Pasal 67 UU Arbitrase.
Dari dalil yang dikemukakan oleh Pertamina telah sangat jelas bahwa
Pertamina bukanlah arbitrator atau kuasa arbitrator, dengan mana
Pertamina

memiiki

kewenangan

untuk

melakukan

pendaftaran

berdasarkan Pasal 67 (1) UU Arbitrase. Meskipun demikian, apabila KBC


Based on Gatots Research
Only for Private Use

76

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

bersikeras dengan dalilnya tersebut, maka KBC mohon akta kepada


Pertamina yang dapat membuktikan bahwa Pertamina merupakan
arbitrator ataupun kuasa dari arbitrator yang menetapkan putusan
arbitrase internasional.
Di samping itu, syarat lain yang harus terpenuhi agar Pertamina dapat
mengajukan

permohonan

pembatalan

terhadap

putusan

arbitrase

internasional adalah syarat-syarat yang terdapat dalam Pasal 67 ayat (2)


UU Arbitrase. Pertamina dalam gugatannya sama sekali tidak dapat
mengemukakan bukti-bukti bahwa putusan arbitrase internasional yang
dimohonkan untuk dibatalkan tersebut telah memenuhi persyaratan
pendaftaran sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 67 ayat (2) UU
Arbitrase, sebagaimana yang telah diuraikan oleh KBC di atas.
Jika putusan arbitrase internasional yang diajukan oleh Pertamina
untuk dibatalkan ternyata belum didaftarkan oleh arbitrator atau kuasanya,
maka atas dasar apa Pertamina mengajukan permohonan untuk
membatalkan

putusan

arbitrase

internasional

tersebut?

Pertamina

seharusnya mengetahui, bahwa sebagaimana yang dinyatakan dalam


Penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase, secara tegas disebutkan bahwa
permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan
arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Oleh karena ternyata
terbukti bahwa putusan arbitrase internasional sama sekali belum
didaftarkan oleh arbitrator atau kuasanya, maka permohonan pembatalan
terhadap putusan arbitrase internasional belum dapat dilakukan oleh
Pertamina dalam perkara dan a quo jelas terlalu dini untuk diajukan, atau
dengan kata lain gugatan yang diajukan oleh Pertamina premature
(prematuur exceptio). Oleh karena itu, KBC mohon agar gugatan yang
diajukan Pertamina ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan gugatan tidak
dapat diterima.

Based on Gatots Research


Only for Private Use

77

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

3) Gugatan Pertamina kabur dan tidak jelas (Exceptio Obscurum


Libellum)
Pertamina dalam petitum gugatannya memohon kepada Majelis Hakim
yang memeriksa dan mengadili perkara a quo agar membatalkan,
menyatakan batal, menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
dengan segala akibat hukumnya putusan arbitrase yang ditetapkan di
Jenewa, Swiss, tanggal 18 Desember 2000 berikut putusan sela
(prelimiary award) yang ditetapkan di Jenewa, tanggal 30 September
1999. Namun demikian, Pertamina dalam pokok perkara (posita)
gugatannya, justru mengemukakan dalil-dalil yang menyatakan bahwa
perjanjian kerja sama (JOC) dan perjanjian kontrak jual beli (ESC) adalah
batal demi hukum (null and void).
Selanjutnya walaupun dalam petitum gugatannya Pertamina memohon
untuk dibatalkannya putusan arbitrase internasional, namun Pertamina
dalam dalil-dalil gugatannya (posita) sama sekali tidak menguraikan
alasan-alasan yang memenuhi syarat untuk mengajukan permohonan
agar putusan arbitrase internasional dapat dibatalkan. Bahkan, Pertamina
dalam posita gugatannya justru lebih banyak menguraikan dalil-dalil yang
bertujuan untuk menyatakan serta memohonkan agar JOC dan ESC
dinyatakan batal atau batal demi hukum (null and void). Akibatnya
maksud dan tujuan dari gugatan yang diajukan oleh Pertamina dalam
perkara a quo menjadi tidak jelas, apakah Pertamina menginginkan untuk
membatalkan JOC dan ESC.

4) Gugatan Pertamina sebagai perbuatan licik (Exceptio Doli Praesintis)


Pertamina dengan mengajukan gugatannya telah melakukan perbuatan
licik terhadap KBC, dengan maksud agar pokok sengketa yang terjadi
Based on Gatots Research
Only for Private Use

78

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

antara Pertamina dan KBC diperiksa dan diadili kembali oleh Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, padahal berdasarkan ketentuan
Pasal 13.2 JOC dan Pasal 8.2 ESC Pertamina telah menyepakati untuk
menyelesaikan sengketa yang terjadi melalui arbitrase dan tempat
arbitrase tersebut adalah di Jenewa, Swiss.
Pertamina

dan

KBC

telah

menyepakati

untuk

menyelesaikan

persengketaan yang terjadi melalui badan arbitrase dan bukan melalui


badan peradilan umum (Pengadilan Negeri). Sebagaimana diatur dalam
Pasal 11 UU Arbitrase, secara jelas dinyatakan bahwa apabila para pihak
telah menyepakati penyelesaian sengketa dilakukan melalui forum
arbitrase, maka kesepakatan tersebut akan meniadakan hak dari
Pertamina untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat
yang termuat dalam perjanjian ke Pengadilan Negeri. Atas dasar
ketentuan tersebut, sesungguhnya Pertamina (dan juga KBC) tidak lagi
berhak untuk mengajukan persengketaan ini kepada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat. Dengan demikian, gugatan yang diajukan oleh Pertamina
dalam perkara a quo dapat ditafsirkan sebagai upaya licik Pertamina
untuk menyidangkan kembali pokok persengketaan yang terjadi antara
Pertamina dan KBC. Padahal putusan yang dikeluarkan oleh majelis
arbitrase tersebut (putusan arbitrase internasional) merupakan putusan
yang terakhir dan mengikat (final and binding).
Tindakan Pertamina dengan mengajukan gugatan dalam perkara a
quo, justru mengemukakan dalil-dalil yang mengajak Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memeriksa kembali permasalahan
yang menjadi pokok persengketaan yang terjadi antara Pertamina dengan
KBC. Tindakan Pertamina tersebut jelas merupakan tindakan yang sangat
licik. Fakta ini juga telah membuktikan adanya itikad buruk dari Pertamina
yang tidak mau mematuhi putusan arbitrase internasional walaupun
Pertamina telah menyepakati untuk menyelesaikan persengketaan yang
Based on Gatots Research
Only for Private Use

79

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

terjadi dengan KBC melalui arbitrase sebagaimana dinyatakan dalam


Pasal 13.2 JOC dan Pasal 8.2 ESC. Jika Pertamina beritikad baik dalam
melaksanakan perjanjian (JOC dan ESC), tentunya Pertamina tidak akan
memaksakan kehendaknya dengan cara mengajukan gugatan terhadap
KBC di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Jika Pertamina berniat untuk mengajukan permohonan pembatalan
putusan arbitrase internasional di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
apalagi

dengan

mendasarkan

permohonannya

tersebut

dengan

menggunakan UU Arbitrase, maka seharusnya Pertamina harus mengikuti


persyaratan serta ketentuan yang diatur dalam Pasal 70 UU Arbitrase.
Pertamina dalam posita gugatannya semestinya cukup menguraikan
apakah putusan arbitrase internasional tersebut telah mengandung salah
satu dari ketiga unsur sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 70 UU
Arbitrase, tanpa perlu mengajak Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat memeriksa serta mengadili (kembali) pokok persengketaan yang
terjadi antara Pertamina dengan KBC.
Dalam gugatannya Pertamina telah mencoba mempermasalahkan
pertimbangan majelis arbitrase dalam mengeluarkan putusan arbitrase
internasional. Tindakan Pertamina ini jelas merupakan perbuatan didasari
oleh itikad buruk dengan cara mengarahkan pandangan Majelis Hakim
agar terjadi penyimpangan dalam penerapan ketentuan hukum yang
berlaku, khususnya dalam hal pemeriksaan perkara yang tunduk pada
ketentuan arbitrase. Tentu saja perbuatan Pertamina ini dapat memicu
ketidakpastian dalam penegakan hukum di Indonesia. Dengan demikian,
apabila

gugatan

dikabulkan

oleh

Majelis

Hakim

yaitu

dengan

membatalkan putusan arbitrase internasional walaupun nyata-nyata


permohonan yang diajukan oleh Pertamina dalam gugatannya sama
sekali tidak

menunjukkan terpenuhinya syarat pembatalan putusan

arbitrase internasional sebagaimana yang ditemukan dalam Pasal 70


Based on Gatots Research
Only for Private Use

80

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

Arbitrase, maka Pertamina jelas telah mempengaruhi serta membawa


Majelis Hakim untuk memeriksa serta mengadili kembali perkara a quo,
yang merupakan suatu bentuk pelanggaran atas ketentuan atau peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan dalil-dalil sebagaimana diuraikan di atas, Pertamina telah
melakukan perbuatan licik demi tujuan agar dapat mengajukan gugatan
terhadap KBC. Bahkan Pertamina, dalam mengemukakan dalil-dalilnya
dalam gugatan, berniat dengan sengaja untuk menjebak Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa serta mengadili perkara
a quo agar ikut dalam perbuatan yang melanggar ketentuan hukum yang
dilakukan oleh Pertamina. Oleh karena itu, KBC mengajukan permohonan
kepada Majelis Hakim agar tidak terpengaruh atas dalil-dalil yang
menyesatkan dari Pertamina dengan menolak gugatan yang diajukan oleh
Pertamina atau setidak-tidaknya menyatakan tidak dapat diterima (niet
ontvenkelijk verkland).

Uraian argumentasi KBC di atas dapat diperinci menjadi hal-hal sebagai


berikut:
1. Gugatan pembatalan putusan arbitrase internasional yang diajukan oleh
Pertamina sama sekali tidak memiliki dasar hukum untuk dapat diajukan
(Exceptio Onrechtmatige of Ongegrond).
2. Gugatan yang diajukan oleh Pertamina premature (Exceptio Prematuur).
3. Gugatan yang diajukan oleh Pertamina kabur dan tidak jelas (Exceptio
Obscurum Libellum).
4. Pertamina dengan mengajukan gugatannya telah melakukan perbuatan
licik (Exceptio Doli Prae Sinitis).

Berdasarkan dalil-dalil yang telah diuraikan oleh KBC di atas, KBC


menolak dengan tegas seluruh argumentasi Pertamina dalam gugatannya,
Based on Gatots Research
Only for Private Use

81

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

kecuali dalil yang secara tegas diakui dan diterima oleh KBC. Selanjutnya,
untuk memperkuat uraiannya tersebut, KBC menyampaikan beberapa hal,
yaitu:
1. Setelah putusan arbitrase internasional dijatuhkan tidak ada surat atau
dokumen yang diakui atau dinyatakan palsu. Penjelasan mengenai hal ini
dapat disampaikan sebagai berikut:
a. Berdasarkan

dalil-dalil

yang

diajukan

oleh

Pertamina

dalam

gugatannya, Pertamina sama sekali tidak dapat menguraikan faktafakta adanya surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan
yang diakui palsu atau dinyatakan palsu, apalagi Pertamina dalam
gugatannya tidak mengajukan dalil atau bukti apapun yang dapat
menyatakan hal tersebut. Padahal hal ini merupakan salah satu syarat
yang harus dipenuhi oleh Pertamina dalam mengajukan permohonan
pembatalan putusan arbitrase sebagaimana yang dinyatakan dalam
Pasal 70 huruf a UU Arbitrase, khususnya putusan arbitrase
internasional dalam perkara a quo.
b. Dokumen JOC dan ESC yang dipermasalahkan oleh Pertamina dan
bahkan dinyatakan oleh Pertamina batal demi hukum, bukanlah
dokumen palsu dan sama sekali tidak diakui palsu oleh Pertamina.
Dokumen berupa JOC dan ESC yang diajukan dalam pemeriksaan
arbitrase di Jenewa, Swiss tersebut merupakan dokumen asli.

2. Setelah putusan arbitrase internasional diambil tidak ditemukan adanya


dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh KBC.
Penjelasan mengenai hal ini meliputi:
a. Pertamina dalam gugatannya sama sekali tidak dapat menguraikan
fakta-fakta

adanya

dokumen

yang

bersifat

menentukan

yang

disembunyikan oleh KBC dalam pemeriksaan arbitrase. Padahal hal ini


merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh Pertamina
Based on Gatots Research
Only for Private Use

82

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

dalam

mengajukan

permohonan

pembatalan

putusan

arbitrase

sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 70 huruf b UU Arbitrase.


b. Dalam penyelesaian sengketa yang terjadi antara Pertamina dengan
KBC telah dilakukan melalui prosedur arbitrase di Jenewa, Swiss.
Dalam persidangan perkara tersebut, tidak pernah ada bukti satupun
yang dapat menunjukkan bahwa KBC pernah menyembunyikan
dokumen yang bersifat menentukan dalam hal dikeluarkannya putusan
arbitrase internasional. Oleh karena itu, jelas syarat yang ditentukan
dalam Pasal 70 huruf b UU Arbitrase tidak terpenuhi.

3. Putusan arbitrase internasional sama sekali tidak diambil dari tipu


muslihat yang dilakukan oleh KBC dalam pemeriksaan sengketa. Dalam
pemeriksaan sengketa dapat diketahui hal-hal sebagai berikut:
a. Pertamina dalam gugatannya sama sekali tidak dapat menguraikan
fakta-fakta yang dapat membuktikan bahwa putusan arbitrase
internasional diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh KBC dalam
pemeriksaan sengketa. Adanya unsur ini merupakan salah satu syarat
yang harus dipenuhi oleh Pertamina dalam mengajukan permohonan
pembatalan putusan arbitrase sebagaimana yang dinyatakan dalam
Pasal 70 huruf c UU Arbitrase.
b. KBC menolak dengan tegas seluruh dalil gugatan yang menyatakan
bahwa putusan arbitrase diputus berdasarkan tipu muslihat KBC dan
tidak mengindahkan hukum Indonesia. Pertamina dengan licik telah
membuat judul yang dapat mengelabui Majelis Hakim ataupun pihak
lain, seolah-olah putusan arbitrase internasional telah diambil dari tipu
muslihat yang dilakukan KBC dalam pemeriksaan sengketa. Padahal
jika dibaca dan ditelaah dengan seksama, dalil-dalil gugatan yang
diajukan Pertamina sama sekali tidak menguraikan serta menjelaskan
tipu muslihat yang dilakukan KBC dalam pemeriksaan sengketa yang
Based on Gatots Research
Only for Private Use

83

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

terjadi antara Pertamina dan KBC selama persidangan arbitrase di


Jenewa, Swiss.
c. Dalil-dalil yang dikemukakan oleh Pertamina dalam gugatannya, sama
sekali bukan merupakan kondisi atau termasuk dalam konteks tipu
muslihat sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 70 huruf c UU
Arbitrase. Bentuk tipu muslihat yang dimaksudkan oleh Pertamina
bukanlah termasuk dalam kategori tipu muslihat, atau bahkan
termasuk dalam bentuk tipu muslihat yang dilakukan oleh KBC.
Pertamina dalam dalil-dalilnya tersebut hanyalah mempermasalahkan
pertimbangan yang diambil oleh Majelis Arbitrator untuk menerapkan
hukum Indonesia dengan benar dan memutuskan dengan benar
sesuai dengan bukti-bukti yang ada. Hal ini tentunya bukan
merupakan tipu muslihat yang dilakukan oleh KBC.
d. Jika Pertamina menganggap bahwa pertimbangan yang diambil oleh
Majelis Arbitrator dalam mengeluarkan putusan arbitrase internasional
diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh KBC, apakah semua
pihak yang dikalahkan dalam pemeriksaan suatu perkara arbitrase
dapat menganggap bahwa pihak lawan yang menang tersebut telah
melakukan tipu muslihat?
e. Pertamina seharusnya mengerti dan menyadari bahwa setiap putusan
yang diambil dalam pemeriksaan suatu sengketa, baik oleh Majelis
Hakim ataupun oleh Majelis Arbitrator, diambil berdasarkan adanya
bukti-bukti yang otentik serta fakta-fakta dan ketentuan hukum yang
berlaku. Jadi keberatan Pertamina yang diajukan dalam dalil-dalil
gugatannya, tidak boleh hanya merupakan keberatan Pertamina
sebagai pihak yang dikalahkan dalam putusan arbitrase internasional.
Dari putusan arbitrase internasional dapat dilihat bahwa Majelis
Arbitrator telah mengeluarkan suatu putusan yang didasarkan atas
bukti-bukti yang otentik, fakta-fakta hukum yang ada serta dengan
Based on Gatots Research
Only for Private Use

84

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

memperlakukan para pihak (Pertamina dan KBC) secara adil dan


seimbang (audi alterampertem). Jadi, dengan demikian jelas dalam
putusan arbitrase internasional, KBC sama sekali tidak melakukan tipu
muslihat apapun, baik terhadap Majeis Arbitrator maupun terhadap
Pertamina.
4. Alasan-alasan permohonan pembatalan arbitrase internasional harus
dibuktikan dengan putusan pengadilan.
a. Di samping dalil-dalil yang dikemukakan di atas, UU Arbitrase telah
secara khusus mengkategorikan secara spesifik bukti-bukti yang harus
diajukan

oleh

pihak

yang

hendak

mengajukan

permohonan

pembatalan suatu putusan arbitrase. Penjelasan Pasal 70 UU


Arbitrase menyatakan bahwa alasan-alasan permohonan pembatalan
yang disebut dalam pasal tersebut harus dibuktikan dengan putusan
pengadilan. Dengan demikian, suatu permohonan pembatalan atas
putusan arbitrase baru dapat dikabulkan apabila isi permohonan
tersebut dapat mengajukan suatu putusan pengadilan sebagai bukti,
putusan mana menyatakan bahwa dalam suatu proses arbitrase salah
satu atau lebih hal-hal sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 70 UU
Arbitrase, telah terjadi.
b. Dalam dalil-dalil gugatannya, Pertamina sama sekali tidak mengajukan
alasan-alasan permohonan pembatalannya yang didasarkan atas
adanya suatu bukti putusan pengadilan, yang membuktikan bahwa
KBC telah melakukan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70
UU Arbitrase. Apabila sampai pemeriksaan perkara ini berakhir dan
Pertamina tidak dapat mengajukan suatu bukti apapun, bukti mana
harus dalam bentuk suatu putusan pengadilan, maka Majelis Hakim
semestinya menolak gugatan untuk seluruhnya, dan menyatakan
putusan arbitrase internasional tidak dapat dibatalkan dan mengikat
Pertamina, dan KBC.
Based on Gatots Research
Only for Private Use

85

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

5. Pertamina telah menerima pemberitahuan secara patut untuk proses


arbitrase dan penunjukkan majelis arbitrase sebagaimana ditentukan
dalam JOC dan ESC. Di sini KBC dengan tegas menolak dalil gugatan
yang menyatakan bahwa Pertamina tidak diberikan pemberitahuan yang
pantas (proper notice) sehubungan proses arbitrase dan penunjukkan
majelis arbitrase di Jenewa, Swiss berdasarkan alasan-alasan sebagai
berikut:
a. Pemberitahuan arbitrase telah dikirimkan kepada Pertamina pada
tanggal 30 April 1998 dan Pertamina tidak pernah membantah bahwa
Pertamina tidak menerima pemberitahuan tersebut.
b. Sehubungan dengan pengangkatan para arbitrator, dalam JOC dan
ESC telah pula diatur bahwa dalam hal para pihak gagal untuk
menunjuk arbitrator tersebut akan ditunjuk oleh Sekretaris Jenderal
ICSID. Pertamina bahkan tidak mencoba untuk menunjuk arbitrator
yang dikehendakinya dalam jangka waktu 30 hari. Oleh karena itu
maka ICSID yang menentukan.
c. Berdasarkan ketentuan Pasal 8.2 ESC, tidak diperlukan adanya
persetujuan dari KBC dan Pertamina untuk secara bersama-sama
menunjuk satu arbitrator dan KBC turut menunjuk arbitrator yang
lainnya. Jadi sangat tidak masuk akal apabila Pertamina menyatakan
dirinya menderita kerugian sehubungan dengan penunjukan arbitrator
yang ditunjuk oleh KBC.
d. Seandainya, Pertamina dalam pemeriksaan serta penunjukan Majelis
Arbitrator di Jenewa, Swiss merasa tidak diberitahukan dengan
pantas, hal tersebut pun bukanlah merupakan salah satu alasan untuk
dapat

mengajukan

permohonan

pembatalan

putusan

arbitrase

internasional sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 70 UU


Arbitrase.
Based on Gatots Research
Only for Private Use

86

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

6. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hanya memiliki kewenangan untuk


memeriksa apakah alasan-alasan yang diajukan oleh Pertamina telah
memenuhi syarat pembatalan putusan arbitrase sebagaimana diatur
dalam ketentuan Pasal 70 UU Arbitrase. Dalam kaitan ini, KBC menolak
dengan tegas dalil gugatan yang menyatakan bahwa pelaksanaan
putusan arbitrase harus ditolak karena bertentangan dengan ketertiban
umum.

Adanya

alasan

pelanggaran

ketertiban

umum

bukanlah

merupakan alasan bagi Pertamina untuk mengajukan pembatalan


terhadap putusan arbitrase internasional sebagaimana diatur dalam Pasal
70 UU Arbitrase. Pelanggaran ketertiban umum hanya dapat diajukan
untuk menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 66 UU Arbitrase.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya oleh KBC bahwa syaratsyarat untuk pembatalan putusan arbitrase hanyalah berdasarkan Pasal
70 UU Arbitrase, sehingga hal-hal yang dikemukakan selain yang
tercantum dalam Pasal 70 UU Arbitrase bukanlah hal-hal yang
dimaksudkan untuk pembatalan putusan arbitrase. Karena itu, KBC
menolak dengan tegas berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
a. Pelampauan batas wewenang sebagaimana dimaksudkan oleh
Pertamina dalam gugatannya bukan merupakan salah satu alasan
untuk membatalkan putusan arbitrase internasional sebagaimana
dimaksud oleh Pasal 70 UU Arbitrase. Adanya penggantian biaya
yang dikeluarkan dan keuntungan yang diharapkan yang harus
ditanggung renteng oleh Pertamina, merupakan dua unsur baku yang
dapat diajukan dalam gugatan ganti rugi, sehingga dalam hal ini,
putusan Majelis Arbitrator yang memutus permasalahan ganti kerugian
tersebut, jelas tidak melampaui wewenang mereka sebagai arbitrator.
b. Penerapan hukum Indonesia dalam menafsirkan force majeure bukan
Based on Gatots Research
Only for Private Use

87

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

merupakan alasan yang dapat diajukan untuk membatalkan putusan


arbitrase sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 70 UU Arbitrase.
c. Majelis arbitrase telah tepat menafsirkan ketentuan hukum yang
menyatakan bahwa bilamana terjadi perselisihan di antara para pihak,
berdasarkan JOC dan ESC akan diselesaikan dalam satu proses
arbitrase, sebab klausula-klausula yang terdapat dalam JOC dan ESC
memiliki hubungan erat, terlebih lagi JOC dan ESC ditandatangani
pada hari yang sama. Hal ini dikarenakan dalam JOC secara tegas
dinyatakan bahwa ESC merupakan satu kesatuan dari JOC yang
ketentuan-ketentuan dalam ESC mengikat para pihak dan merupakan
satu kesatuan dalam JOC. Begitu pula, dalam ESC juga dinyatakan
bahwa JOC merupakan satu kesatuan dengan seluruh perjanjian yang
dibuat oleh para pihak.
d. Tindakan ICSID yang menunjuk arbitrator kedua adalah sudah tepat
dan benar. Hal ini dikarenakan Pertamina tidak menunjuk arbitrator
dalam jangka waktu 30 hari setelah adanya permintaan untuk memulai
proses arbitrase, sebagaimana yang diatur dalam JOC dan ESC.

7. Klausula arbitrase dalam perjanjian kerja sama (JOC) dan perjanjian


kontrak jual beli energi memiliki kekuatan hukum untuk dilaksanakan dan
tidak dapat dibatalkan. Di sini KBC menolak dengan tegas dalil-dalil
gugatan yang menyatakan bahwa oleh karena ESC dan JOC tidak dapat
dilaksanakan berdasarkan keputusan Pemerintah Republik Indonesia,
maka JOC dan ESC menjadi batal demi hukum dan klausula arbitrase
yang terdapat dalam JOC dan ESC tidak dapat dijalankan. Dalil-dalil yang
dikemukakan oleh Pertamina tersebut jelas merupakan dalil yang tidak
benar, tidak beralasan serta tidak berdasar hukum, sebab:
a. Gugatan yang diajukan oleh Pertamina dalam perkara a quo
merupakan gugatan untuk mengajukan permohonan pembatalan
Based on Gatots Research
Only for Private Use

88

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

putusan

arbitrase

internasional

dan

bukan

gugatan

untuk

melaksanakan atau menunda pelaksanaan dari klausul arbitrase


dalam JOC dan ESC, sehingga klausula-klausula dalam JOC dan ESC
mempunyai kekuatan hukum untuk dilaksanakan.
b. Pasal II (3), Konvensi New York 1958 yang digunakan oleh Pertamina
bukanlah

merupakan

salah

satu

alasan

untuk

mengajukan

permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional.


c. Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1997 juncto Keputusan Presiden
No. 5 Tahun 1998 (Keppres) tidak menunjuk baik langsung maupun
tidak langsung JOC dan ESC, apalagi untuk menyatakan mengenai
pembatalannya.

Walaupun Keppres tersebut menyatakan untuk

menunda pelaksanaan proyek pembangunan listrik tenaga panas bumi


(PLTP) di Karaha, hal tersebut juga tidak menyebabkan klausula
arbitrase dalam JOC dan ESC menjadi tidak dapat dilaksanakan atau
menjadi batal. Hal ini telah secara tegas ditentukan dalam Pasal 10
huruf h UU Arbitrase yang menyatakan bahwa: Suatu perjanjian
arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan berakhirnya
atau batalnya perjanjian pokok.

c. Putusan atas Eksepsi KBC


Eksepsi KBC yang isinya menyatakan ketidakwenangan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat untuk memeriksa dan mengadili perkara telah ditolak oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusan sela-nya, pada 7 Mei 2002.
Dengan demikian Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang untuk
memeriksa dan mengadili pekara ini, dan selanjutnya KBC mengajukan
eksepsi-eksepsi lain.
KBC sebelum menjawab pokok perkaranya, telah mengajukan eksepsi
pada pokoknya menyatakan sebagai berikut:
1. Gugatan pembatalan putusan arbitrase oleh Pertamina sama sekali tidak
Based on Gatots Research
Only for Private Use

89

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

memiliki dasar hukum untuk diajukan. Dalam Pasal 70 UU No. 30 Tahun


1999 ditentukan terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan
permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung
unsur-unsur sebagai berikut :
a) surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah
putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b) setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan, atau
c) putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah
satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Di sini putusan arbitrase tidak memenuhi salah satu dari ketiga unsur atau
alasan Pasal 70 tersebut, sedangkan uraian gugatan sama sekali tidak
menguraikan alasan-alasan pembatalan putusan arbitrase seperti dalam
Pasal 70.

2. Gugatan a quo premature. Bahwa permohonan pembatalan hanya dapat


diajukan

terhadap

putusan

arbitrase

yang

sudah

didaftarkan

di

Pengadilan. Dalam perkara a quo tidak menemukan adanya dalil atau


fakta hukum yang membuktikan putusan arbitrase sudah didaftarkan di
Pengadilan.
Berdasarkan Pasal 67 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999, pendaftaran
putusan arbitrase hanya dapat dilakukan oleh arbitrator atau kuasanya,
dalam gugatan tidak diketemukan putusan arbitrase telah didaftarkan oleh
arbitrator atau kuasanya. Pertamina bukan arbitrator yang memutus
putusan arbitrase internasional, sehingga tidak berwenang mendaftarkan
berdasarkan Pasal 67 (1) UU No. 30 tahun 1999 tersebut. Putusan
arbitrase internasional yang dimohonkan pembatalan oleh Pertamina
belum didaftarkan oleh arbitrator atau kuasanya sehingga permohonan
pembatalan a quo yang dilakukan oleh Pertamina premature.
Based on Gatots Research
Only for Private Use

90

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

3. Gugatan a quo kabur dan tidak jelas. Dalam gugatannya Pertamina


mohon agar Majelis membatalkan, menyatakan batal, tidak mempunyai
kekuatan hukum dengan segala akibat hukumnya putusan arbitrase
Jenewa Swiss tanggal 18 Desember 2000 berikut putusan sela tanggal 20
September

1999,

tetapi

dalam

positanya

mengemukakan

bahwa

perjanjian kerjasama dan perjanjian kontrak jual beli energi adalah batal
demi hukum. Selain itu dalam posita tidak menguraikan alasan untuk
mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional
tersebut. Dalam gugatannya justru lebih banyak menguraikan dalil-dalil
yang bertujuan untuk menyatakan serta memohonkan agar kedua kontrak
dinyatakan batal atau batal demi hukum, akibatnya maksud gugatan a
quo menjadi tidak jelas, apakah untuk membatalkan putusan arbitrase
internasional atau menginginkan membatalkan perjanjian kerjasama dan
perjanjian kontrak jual beli energi. Bahwa petitum tidak didukung oleh
posita yang jelas tepat akurat dan benar mengakibatkan gugatan menjadi
kabur dan tidak jelas.

4. Dengan mengajukan gugatan Pertamina telah mengajukan perbuatan


licik. Dengan diajukan gugatan a quo Pertamina telah melakukan
perbuatan licik, adanya itikad buruk terhadap KBC dengan maksud agar
pokok sengketa diperiksa dan diadili kembali oleh Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, padahal berdasarkan ketentuan Pasal
13.2 JOC dan Pasal 8.2 ESC disepakati untuk menyelesaikan sengketa
melalui arbitrase dan tempatnya di Jenewa, Swiss. Jika Pertamina
berkehendak mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase
internasional di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat maka Pertamina harus
mengikuti persyaratan dalam Pasal 70 UU Arbitrase tanpa perlu mengajak
Majelis Hakim memeriksa dan mengadili kembali pokok sengketa
Pertamina dan KBC.
Based on Gatots Research
Only for Private Use

91

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

Terhadap eksepsi KBC tersebut Pertamina di dalam repliknya pada


pokoknya menyatakan :
1. Bahwa

gugatan

pembatalan

putusan

arbitrase

internasional

oleh

Pertamina memiliki dasar hukum diajukan di hadapan Pengadilan di


Indonesia;
2. Gugatan pembatalan putusan arbitrase internasional oleh Pertamina tidak
prematur;
3. Tidak benar gugatan a quo kabur dan tidak jelas;
4. Pertamina tidak melakukan perbuatan licik.

Terhadap eksepsi KBC Majelis Hakim mempertimbangkan sebagai berikut :


1. Terhadap eksepsi yang menyatakan gugatan a quo diajukan tidak
mempunyai dasar hukum. Majelis berpendapat bahwa berdasarkan
Keppres No. 34 Tahun 1981, Indonesia telah meratifikasi New York
Convention 1958, berarti Indonesia sejak tahun 1958 hingga kini telah
mengikatkan diri pada ketentuan hukum dari Konvensi New York tersebut,
sehingga alasan pembatalan tersebut tidak saja berdasar Pasal 70 UU
No. 30 Tahun 1999 tetapi telah pula didasarkan Konvensi New York 1958
seperti dalam Pasal VI jo Pasal V ayat (2) b Konvensi New York.
2. Selain itu kontrak JOC dan ESC berdasarkan Pasal 13.2 JOC dan Pasal
8.2 ESC harus juga didasarkan pada ketentuan UNCITRAL Arbitration
Rules, karena itu permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional
oleh Pertamina berdasarkan alasan UU arbitrase, Konvensi New York dan
UNCITRAL Arbitration Rules.
3. Dalam bagian penjelasan Bagian Umum atas UU Arbitrase No. 30 Tahun
1999 dikatakan alasan untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrase
antara lain berdasarkan alasan-alasan seperti pada Pasal 70. Dengan
adanya penyebutan kata antara lain, bukan yaitu dapat diartikan UU ini
Based on Gatots Research
Only for Private Use

92

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

membolehkan menggunakan alasan-alasan selain yang diatur dalam


Pasal 70 tersebut.
4. Terhadap eksepsi yang menyatakan gugatan prematur menurut Majelis
gugatan a quo tidaklah prematur, karena seperti telah dipertimbangkan
pada putusan No. 86/PDT.G/2002/PN/JKT.PST tanggal 7 Mei 2002
sehingga dengan mengambil alih putusan tersebut, maka eksepsi pada
angka 2 telah tidak berjalan menurut hukum;
5. Eksepsi yang menyatakan gugatan kabur dan tidak jelas, setelah Majelis
mempelajari seluruh materi gugatan telah ternyata bahwa antara bagian
posita dan petitum telah diurakan secara jelas dan gamblang, sehingga
dapat dimengerti maksud gugatan a quo adalah sebagai pembatalan
putusan arbitrase internasional bukan membatalkan kontrak JOC dan
ESC.
6. Bahwa diajukan gugatan a quo adalah telah tepat bukan sebagai
perbuatan licik atau itikad buruk, karena upaya ini dalam rangka
mempertahankan hak keperdataan Pertamina yang dalam gugatannya
merasa dirugikan oleh putusan arbitrase internasional, sehingga karena
itu Pertamina mengajukan gugatan pembatalan putusan arbitrase
internasional seperti halnya dalam perkara a quo.

Atas dasar seluruh pertimbangan di atas, eksepsi KBC dinilai telah tidak
beralasan hukum, karenanya harus ditolak.

d. Putusan Provisi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat


Atas gugatan Pertamina, pada tanggal 2 April 2002 Majelis Hakim telah
menjatuhkan putusan provisional yang isinya:
1. Mengabulkan gugatan provisi Pertamina;
2. memerintahkan kepada KBC atau siapapun yang dapat hak darinya untuk
tidak melakukan tindakan apapun termasuk pelaksanaan putusan
Based on Gatots Research
Only for Private Use

93

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

arbitrase yang ditetapkan di Jenewa, Swiss tanggal 18 Desember 2000,


yang bersumber kepada perjanjian kerjasama (JOC) dan kontrak jual beli
energi (ESC) kedua-duanya tanggal 28 Nopember 1994: dengan
ketentuan KBC dikenakan uang paksa US$ 500.000,00 (lima ratus ribu
US Dollar) setiap harinya jika perintah ini dilanggar, jumlah mana harus
dibayar seketika dan sekaligus kepada Pertamina; dan
3. menangguhkan putusan perihal biaya, sehingga putusan akhir.

Karena putusan provisi tersebut diucapkan sebelum memeriksa materi


pokok perkara, maka terhadap putusan tersebut apakah tetap dipertahankan
atau tidak, harus dipertimbangkan kembali dalam putusan pokok perkara a
quo.

e. Pertimbangan dan Putusan dalam Pokok Perkara


Karena gugatan Pertamina dibantah oleh KBC, sesuai hukum pembuktian
kepada Pertamina dibebani untuk membuktikan gugatannya, sebaliknya
kepada KBC dibebani pula untuk membuktikan dalil sangkalannya.
Berdasarkan surat gugatan, jawaban, replik, duplik dan surat-surat bukti
yang diajukan kedua belah pihak terdapat fakta yang tidak diperselisihkan
dalam perkara ini, yaitu :
1. KBC dan Pertamina telah menandatangani Joint Operation Contract
(JOC) yang dibuat pada tahun 1994, dan antara KBC dan Pertamina telah
ditandatangani Energy Sales Contract (ESC) pada tahun 1994.
2. Dari kedua kontrak tersebut KBC telah mengajukan gugatan kepada
Pertamina melalui majelis arbitrase di Jenewa, sehingga telah keluar
putusan arbitrase internasional yang ditetapkan di Jenewa, Swiss tanggal
18 Desember 2000 dan putusan sela tanggal 30 September 1999.

Based on Gatots Research


Only for Private Use

94

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

Di samping itu terdapat beberapa hal yang masih menjadi perselisihan, yaitu:
1) Menurut Pertamina
a. Putusan arbitrase internasional tersebut telah bertentangan dengan
Konvensi New York 1958 maupun UU No. 30 tahun 1999;
b. Dalam perjanjian kerjasama (JOC) antara Pertamina dan KBC
disepakati dalam hal timbul sengketa diselesaikan dengan arbitrase
berdasarkan ketentuan UNCITRAL dan terhadap kontrak tersebut
berlaku hukum Indonesia;
c. Dalam kontrak jual beli energi (ESC) antara Pertamina dan KBC,
disepakati dalam hal timbul sengketa diselesaikan dengan arbitrase
berdasarkan ketentuan UNCITRAL dan dalam kontrak tersebut berlaku
hukum Indonesia;
d. Majelis Hakim Arbitrase telah melampaui wewenangnya karena tidak
mempergunakan hukum Indonesia, dalam pertimbangan majelis
arbitrase Jenewa telah mengenyampingkan dan telah melanggar
ketentuan hukum Indonesia yang seharusnya diberlakukan;
e. Putusan

arbitrase

tanggal

18

Desember

2000

secara

keliru

menafsirkan ketentuan tentang force majeure. Menurut hukum


Indonesia peristiwa force majeure membebaskan Pertamina dari
kewajiban membayar penggantian biaya, kerugian atau bunga;
f. Putusan arbitrase tersebut bertentangan dengan ketertiban umum
Republik Indonesia dan dibuat berdasarkan tipu muslihat KBC,
putusan tersebut bertentangan dengan Konvensi New York 1958 dan
pengangkatan

arbitrator

tidak

diberitahukan

Pertamina

selaku

termohon eksekusi, sehingga putusan arbitrase tersebut tidak dapat


dilaksanakan.

Based on Gatots Research


Only for Private Use

95

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

2) Menurut KBC
a. Setelah putusan arbitrase internasional dijatuhkan tidak terdapat satupun
surat atau dokumen yang diajukan diakui palsu atau dinyatakan palsu,
tidak ada dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh
KBC, tidak diambil dari tipu muslihat KBC dan alasan pembatalan putusan
arbitrase harus dibuktikan dengan putusan pengadilan, dan Pertamina
telah pula menerima pembertitahuan secara patut untuk proses arbitrase,
penunjukan Majelis Arbitrator sesuai yang ditentukan dalam JOC dan
ESC;
b. Klausula arbitrase dalam JOC dan ESC memiliki kekuatan hukum untuk
dilaksanakan dan tidak dapat dibatalkan.

3) Putusan pokok perkara Pengadilan Negeri Jakarta Pusat


Atas argumentasi Pertamina dan KBC dan perselisihan hukum tersebut
maka Majelis Hakim mempertimbangkan sebagai berikut:
a. Apakah majelis arbitrase telah melampaui wewenangnya karena tidak
mempergunakan hukum Indonesia, putusannya bertentangan dengan
ketertiban umum, berdasarkan tipu muslihat, dan keliru menafsirkan
ketentuan tentang force majeure menurut hukum Indonesia, serta telah
mengenyampingkan dan telah melanggar ketentuan hukum Indonesia;
b. Apakah putusan arbitrase internasional yang ditetapkan di Jenewa, Swiss
tanggal 18 Desember 2000 dan putusan sela tanggal 30 September 1999
telah bertentangan dengan Konvensi New York 1958 maupun UU No. 30
Tahun 1999, atau tidak.

Berdasarkan bukti-bukti dari putusan arbitrase tersebut, isinya adalah halhal mengenai telah terjadinya suatu kesepakatan yang menghasilkan dua
kontrak kerjasama yaitu:

Based on Gatots Research


Only for Private Use

96

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

a. Joint

Operation

Contract

(JOC),

yang

menetapkan

Pertamina

bertanggung jawab untuk mengoperasikan proyek geo-termal dan KBC


yang diberikan kuasa untuk mengembangkan proyek geo-termal (proyek
Karaha Bodas).
b. Energy Sales Contract (ESC), dalam kontrak ini PLN setuju untuk
membeli dari Pertamina tenaga listrik yang diproduksi dan dipasok oleh
Pembangkit Tenaga Listrik yang dibangun oleh KBC.

Dalam Pasal 20 JOC dan Pasal 12.1 ESC disebutkan Perjanjian ini
tunduk pada hukum dan peraturan Republik Indonesia. Dari pasal tersebut
dapat disimpulkan bahwa para pihak dalam kontrak tersebut telah
menundukkan dan memilih hukum Indonesia. Karena Kontrak JOC dan ESC
berlaku hukum Indonesia, upaya hukum dari Pertamina terhadap putusan
arbitrase internasional untuk mengajukan suatu pembatalan putusan
arbitrase adalah tepat untuk diajukan di pengadilan Indonesia dengan
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
a. Karena Indonesia telah meratifikasi Konvensi New York 1958 sejak tahun
1981 hingga kini maka Indonesia termasuk negara yang mengikatkan diri
pada ketentuan-ketentuan hukum yang tercantum dalam Konvensi
tersebut;
b. Meskipun Pasal 70 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
mengatur mengenai alasan-alasan yang dapat dipergunakan untuk
mengajukan pembatalan suatu putusan arbitrase internasional, akan
tetapi karena Pasal V Konvensi New York 1958 menyatakan bahwa
terhadap pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase dapat ditolak
atas permohonan pihak yang diminta untuk melaksanakan putusan
tersebut, namun terhadap penolakan tersebut harus dapat dibuktikan halhal yang tercantum dalam Pasal V.

Based on Gatots Research


Only for Private Use

97

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

Yang tercantum dalam Pasal V huruf b, d, dan e Konvensi New York 1958
ini adalah :
a. Pihak yang diminta untuk melaksanakan keputusan tidak mendapat
pemberitahuan yang wajar mengenai penunjukan para arbitrator;
b. Komposisi dari kekuasaan arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai
dengan perjanjian yang dibuat oleh para pihak;
c. Putusan tersebut mempunyai kekuatan mengikat terhadap para pihak.
Pasal V ayat 2 b Konvensi New York menyatakan bahwa pengakuan dan
pelaksanaan dari suatu putusan arbitrase dapat juga ditolak jika badan yang
berwenang dari negara tempat pengakuan dan pelaksanaan putusan
dimohonkan menemukan bahwa pengakuan atau pelaksanaan putusan
arbitrase akan bertentangan dengan kepentingan umum.

Apakah Majelis Hakim Arbitrase telah melampaui kewenangannya karena


tidak mempergunakan hukum Indonesia, bertentangan dengan ketertiban
umum, berdasarkan tipu muslihat, keliru menafsirkan ketentuan tentang force
majeure menurut hukum Indonesia dan apakah dalam pertimbangan majelis
arbitrase Jenewa telah mengesampingkan dan telah melanggar ketentuan
hukum Indonesia?

Menjawab pertanyaan tersebut Majelis Hakim telah mempertimbangkan


sebagai berikut:
1. Dengan berlakunya Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 34
Tahun 1981, akan berlaku secara resiprositas antara negara-negara yang
telah meratifikasi Konvensi New York 1958, berarti negara Indonesia juga
dapat melaksanakan putusan arbitrase karena Indonesia juga termasuk
dalam negara yang meratifikasi Konvensi tersebut.
2. Pasal 12.1 ESC dan Pasal 20 JOC telah mengatur mengenai ketentuan
Perjanjian ini tunduk pada hukum dan peraturan Republik Indonesia.
Based on Gatots Research
Only for Private Use

98

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

Majelis Hakim berpendapat bahwa baik dalam perjanjian JOC maupun


dalam perjanjian ESC telah menundukkan dan memilih hukum Indonesia.
3. Apakah majelis arbitrase telah melampaui wewenangnya atau tidak,
menurut pendapat Majelis Hakim jika dilihat dari Pasal V (1) Konvensi
New York 1958 dapat disimpulkan bahwa pengakuan dan pelaksanaan
putusan dapat ditolak setelah salah satu pihak menyatakan pada pihak
yang berwenang dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri karena badan
inilah yang akan melaksanakan eksekusi putusan arbitrase tersebut.
4. Dari apa yang menjadi pertimbangan di atas, majelis arbitrase telah
melampaui

wewenangnya

karena

tidak

mempergunakan

hukum

Indonesia, sedangkan kontrak JOC dan ESC dengan tegas menyatakan


bahwa mereka memilih hukum arbitrase Indonesia dan bukan hukum
arbitrase Swiss dan Konvensi New York 1958 Pasal VI jo Pasal V (1) e
memperbolehkan hal tersebut.
5. Apakah pengakuan atau pelaksanaan itu bertentangan dengan ketertiban
umum atau tidak? Dalam Pasal V ayat 2 huruf b Konvensi New York
1958 dinyatakan bahwa pengakuan dan pelaksanaan dari putusan
arbitrase asing tidak dapat dilaksanakan jika putusan itu bertentangan
dengan ketertiban umum negara itu.

Majelis Hakim mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung RI No. 2


Tahun 1999 yang mengatur mengenai pelaksanaan putusan arbitrase luar
negeri di Indonesia. Pasal 4 ayat 2 Peraturan Mahkamah Agung tersebut
menyebutkan bahwa pelaksanaan keputusan arbitrase luar negeri di
Indonesia terbatas pada keputusan-keputusan yang tidak bertentangan
dengan ketertiban umum dalam seluruh sendi-sendi asasi dari seluruh sistem
hukum dan masyarakat Indonesia.
Majelis Hakim juga mengutip pendapat Erman Rajagukguk mengenai
ketertiban umum yang kadang diartikan sebagai ketertiban, kesejahteraan
Based on Gatots Research
Only for Private Use

99

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

dan keamanan atau disamakan dengan ketertiban hukum atau disamakan


dengan keadilan. Dari hal tersebut, Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1997
dan Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1998 yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Indonesia atas permintaan IMF bertujuan untuk menyelamatkan
dan mengatasi beban negara yang sedang dalam keadaan krisis ekonomi
dan moneter, sehingga jika proyek geo-termal tersebut tetap diteruskan maka
hal itu akan semakin menyengsarakan perekonomian bangsa Indonesia.
Berdasarkan Pasal V ayat 2 huruf b Konvensi New York 1958, sudah
sepatutnya

terhadap

putusan

arbitrase

internasional

tersebut

harus

dinyatakan ditolak pengakuan dan pelaksanaannya karena tidak hanya


bertentangan dengan ketertiban umum akan tetapi juga bertentangan dengan
sendi-sendi asasi bangsa Indonesia.

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah telah terjadi suatu kekeliruan


mengenai penafsiran ketentuan force majeure menurut hukum Indonesia?
Atas permasalahan tersebut, keadaan yang dinamakan force majeure
atau keadaan memaksa dalam putusan Arbitrase asing dinyatakan
konsekuensi hukum dari situasi ini tidak sama terhadap KBC. Di lain pihak,
para pihak telah memaklumi bahwa keputusan Presiden untuk menunda
proyek Karaha Bodas adalah Government Related Event sebagaimana
didefinisikan di dalam ESC dan JOC Pasal 15.2 (e) yang menyatakan:
kejadian-kejadian yang disebabkan oleh keadaan memaksa mencakup, tetapi
tidak terbatas pada: (e) setiap tindakan yang berhubungan dengan
kontraktor saja. Pernyataan yang sama pada Pasal 9.2 kata kontraktor
diganti dengan company , dimana keduanya mengacu kepada KBC.
Melalui kontrak tersebut dinyatakan bahwa Keputusan Presiden adalah
keadaan memaksa bagi KBC

dan bukan bagi Pertamina dan PLN.

Konsekuensi hukumnya adalah bahwa KBC berhak untuk memakai


Keputusan

Presiden

sebagai

alasan

untuk

Based on Gatots Research


Only for Private Use

tidak

melaksanakan
100

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

kewajibannya, sedangkan Pertamina dan PLN tidak berhak sejauh ini untuk
melakukan hal yang sama, dan seterusnya.
Berhubung Pertamina dan PLN tidak dapat memakai Keputusan Presiden
sebagai alasan yang sah untuk tidak melakukan kewajiban mereka di bawah
ESC dan JOC, maka tindakan tidak melakukan kewajiban tersebut adalah
pelanggaran

kontrak

sehubungan

dengan

tanggung

jawab

mereka.

Konsekuensi akibat Keputusan Presiden yang menghalangi pelaksanaan


kontrak adalah tanggungan Pertamina dan PLN.
Selanjutnya berdasarkan Keppres No. 39 Tahun 1997 tanggal 20
September 1997 Pemerintah Indonesia telah menunda beberapa proyek
termasuk

proyek

geo-termal

KBC,

dengan

pertimbangan

untuk

mengamankan kesinambungan perekonomian dan jalannya pembangunan


nasional pada umumnya. Dengan ditutupnya proyek KBC tersebut,
Pertamina telah berusaha agar proyek tersebut dikecualikan, sehingga atas
usahanya tersebut melalui Keppres No. 47 Tahun 1997 tanggal 1 November
1997, proyek KBC tersebut dapat diteruskan.
Tetapi terhadap usaha yang baru dirintis oleh Pertamina tersebut,
Pemerintah kembali mengeluarkan Keppres No. 5 Tahun 1998 tanggal 10
Januari 1998 yang isinya menangguhkan kembali proyek Karaha Bodas,
sehingga sejak lahirnya Keppres No. 5 Tahun 1998 tersebut telah menjadi
jelas baik Pertamina, maupun KBC tidak dapat melaksanakan proyek
tersebut. Dengan berhentinya proyek tersebut KBC dapat melaksanakan
ketentuan keadaan memaksa (force majeure) sebagaimana Pasal 15 JOC
dan 9 ESC tersebut.
Sebagaimana diketahui bahwa, majelis arbitrase di Jenewa menyatakan
bahwa akibat Keputusan Presiden yang menghalangi pelaksanaan kontrak
tersebut telah menjadi tanggungan Pertamina dan PLN.
Sebaliknya majelis hakim menimbang bahwa suatu Keputusan Presiden,
khususnya atas proyek-proyek pemerintah ataupun Badan Usaha Milik
Based on Gatots Research
Only for Private Use

101

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

Negara (BUMN) mempunyai daya laku dan legitimasi sebagai peraturan


perundang-undangan yang berlaku di negara Indonesia. Sebagai akibat
lahirnya Keppres yang menyatakan agar proyek KBC ditangguhkan,
konsekuensinya Pertamina sebagai BUMN harus tunduk dan mematuhi
Keppres tersebut. Dengan demikian Keppres tersebut merupakan tindakan
publik yang dibenarkan menurut hukum Indonesia, sehingga Pertamina tidak
mempunyai kemampuan secara hukum (incapacity) untuk berbuat terhadap
proyek yang ditangguhkan tersebut untuk dilanjutkan kembali.
Sebagaimana diketahui bahwa lahirnya Keppres tersebut adalah untuk
mengamankan kesinambungan perekonomian dan jalannya pembangunan
nasional pada umumnya, berarti pula kepentingan publiklah yang harus
diutamakan lebih dahulu, apalagi pada saat itu (tahun 1997) bangsa
Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan, sehingga
dengan demikian kepentingan dan keteriban umumlah yang menurut hukum
Indonesia yang harus diutamakan.
Tetapi majelis arbitrase dalam pertimbangan hukumnya telah tidak
mempertimbangkan keadaan seperti tersebut, dan telah mempertimbangkan
secara sempit dengan mengacu kepada keadaan memaksa bagi KBC,
seharusnya Majelis Arbitrator dengan memperhatikan secara luas terbitnya
Keppres yang menangguhkan proyek Karaha tersebut yang nota bene
berakibat Pertamina tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat, sehingga
seharusnya pula dikategorikan sebagai keadaan memaksa. Atas dasar
pertimbangan di atas Majelis berpendapat bahwa Majelis Arbitrator telah
mengenyampingkan dan telah melanggar ketentuan hukum Indonesia.
Walaupun majelis arbitrase mengakui hukum Indonesia berlaku terhadap
sengketa yang timbul dari kontrak JOC dan ESC, akan tetapi arbitrator telah
tidak menggunakan ketentuan hukum Indonesia khususnya tentang keadaan
memaksa yang tidak dipertimbangkan bagi Pertamina, sedangkan telah
ternyata kedua perjanjian JOC dan ESC secara tegas menggunakan hukum
Based on Gatots Research
Only for Private Use

102

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

Indonesia. Terhadap kelalaian majelis arbitrase tersebut, Majelis Hakim


berwenang untuk memutus pembatalan atas putusan arbitrase di Jenewa,
Swiss tersebut.
KBC dalam jawabannya menyatakan bahwa gugatan a quo telah tidak
memenuhi ketentuan Pasal 70 Undang-undang Arbitrase No. 30 Tahun 1999.
Menurut Pertamina dalam mengajukan gugatan pembatalan putusan
arbitrase tersebut tidak saja berdasarkan ketentuan Pasal 70 UndangUndang No. 30 Tahun 1999 tetapi didasarkan pula kepada Konvensi New
York 1958.
Berdasarkan Keppres No. 34 Tahun 1981, Indonesia telah meratifikasi
Konvensi New York tahun 1958. Dengan demikian Indonesia sejak tahun
1981 sampai sekarang telah mengikatkan diri kepada ketentuan-ketentuan
hukum

yang tercantum dalam Konvensi New York sehingga gugatan

pembatalan putusan arbitrase internasional dapat didasarkan pada Konvensi


New York 1958 tersebut, yang hal ini sejalan dengan alasan-alasan untuk
mengajukan pembatalan putusan arbitrase asing yang antara lain adalah
alasan sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 70. Karena itu dengan
adanya penyebutan kata antara lain dapat ditafsirkan bahwa oleh UndangUndang ini untuk mengajukan pembatalan dimungkinkan digunakan alasan
lain. Hal ini telah dilakukan Pertamina yaitu dengan mendasarkan kepada
Konvensi New York.
Atas dasar seluruh pertimbangan di atas, tanpa mempertimbangkan lebih
lanjut surat-surat lainnya yang diajukan oleh para pihak maka putusan
arbitrase yang diterapkan di Jenewa, Swiss tanggal 18 Desmber 2000 berikut
putusan sela (preliminary award) yang ditetapkan di Jenewa tanggal 30
September 1999, harus dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan
hukum dengan segala akibat hukumnya.
Karena putusan arbitrase yang ditetapkan di Jenewa, Swiss tanggal 18
Desember 200 berikut putusan sela (preliminary award) yang ditetapkan di
Based on Gatots Research
Only for Private Use

103

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

Jenewa tanggal 30 September 1999, dinyatakan batal dan tidak mempunyai


kekuatan hukum dengan segala akibat hukumnya, maka menghukum kepada
KBC untuk taat dan patuh pada putusan tersebut.

Terhadap tuntutan provisional, Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa:


1) Atas tuntutan provisi yang diajukan oleh Pertamina, Majelis Hakim telah
mempertimbangkannya yang dituangkan dalam putusan sela tanggal 1
april 2002, yang isinya antara lain mengabulkan tuntutan provisi dari
Pertamina untuk seluruhnya, dan untuk mempersingkat putusan ini segala
sesuatu yang termuat dalam putusan sela tersebut, selengkapnya
dianggap telah tercantum dalam putusan ini dan Majelis Hakim tetap
mempertahankan putusan provisi tersebut.
2) Terhadap tuntutan yang memohon agar putusan perkara ini dijalankan
lebih

dulu

meskipun

ada

banding,

verzet

atau

kasasi,

Majelis

mempertimbangkan bahwa untuk menolak ataupun mengabulkan suatu


tuntutan agar putusan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, sesuai dengan
ketentuan Pasal 180 ayat 1 HR, harus memenuhi salah satu syarat
sebagaimana ditentukan dalam pasal tersebut di atas antara lain, yaitu:
ada gugatan provisional yang dikabulkan.
3) Terhadap tuntutan provisional dari Pertamina oleh Majelis Hakim telah
dikabulkan dengan putusan selanya tentang provisi, oleh karena itu
adalah layak dan beralasan hukum tuntutan Pertamina agar putusan
perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu, meskipun ada banding,
verzet atau kasasi, patut untuk dikabulkan.
4) Karena gugatan Pertamina telah dikabulkan, maka KBC berada pada
pihak yang dikalahkan dihukum untuk membayar biaya perkara ini.

Based on Gatots Research


Only for Private Use

104

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

Mengingat akan pasal-pasal dari undang-undang yang bersangkutan, dan


hasil seluruh pemeriksaan Majelis Hakim memutuskan sebagai berikut:
1. Dalam Eksepsi, menolak seluruh eksepsi KBC.
2. Dalam Provisi
a. Mengabulkan gugatan provisional dari Pertamina untuk seluruhnya;
b. Memerintahkan kepada KBC atau siapapun yang dapat hak
daripadanya untuk tidak melakukan tindakan apapun termasuk
pelaksanaan putusan arbitrase yang ditetapkan di Jenewa, Swiss
tanggal 18 Desember 2000, yang bersumber pada perjanjian kerja
sama (Joint Operation Contract) dan kontrak jual beli energy (Energy
Sales Contract), keduanya dibuat pada 28 Nopember 1994, dengan
ketentuan KBC dikenakan uang paksa US$ 500.000,0 (lima ratus ribu
US Dollar) setiap harinya, jika perintah ini dilanggar, jumlah mana
harus dibayar seketika dan sekaligus kepada Pertamina

3. Dalam Pokok Perkara


a. Menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum

putusan

arbitrase yang ditetapkan di Jenewa, Swiss tanggal 18 Desember


2000 berikut putusan sela (preliminary award) yang ditetapkan di
Jenewa tanggal 30 September 1999, dengan segala akibat hukumnya;
b. Menghukum kepada KBC untuk taat dan patuh pada putusan tersebut;
b. Menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan lebih dahulu
walaupun ada banding, verzet atau kasasi;
c. menghukum KBC untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp.
539.000,- (lima ratus tiga puluh sembilan ribu rupiah).

Based on Gatots Research


Only for Private Use

105

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

3. Proses Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia


Dalam rapat Majelis Mahkamah Agung (MA) yang diadakan pada hari Senin,
8 Maret 2004 dengan dihadiri oleh Bagir Manan, Ketua Mahkamah Agung
sebagai ketua sidang, Paulus E. Lotulung dan Marianna Sutadi sebagai
hakim-hakim anggota, diputuskan untuk mengabulkan permohonan banding
KBC. Putusan MA tersebut diucapkan oleh ketua sidang pada hari itu juga
dalam sidang terbuka untuk umum dengan dihadiri oleh kedua hakim
anggota tersebut, serta Shirley P. Widodo, S.H., sebagai panitera pengganti
dengan tidak dihadiri oleh kedua belah pihak.

a. Pertimbangan Putusan secara Formal


Sebelum memutuskan dalam tingkat kasasi, MA mendapati bahwa tergugat
(dalam hal ini adalah KBC) berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 6
September 2002 mengajukan permohonan banding pada 9 September 2002
atas putusan pengadilan negeri yang diucapkan di dalam persidangan yang
terbuka untuk umum pada 27 Agustus 2002 (yang dihadiri oleh kuasa
penggugat, kuasa tergugat dan kuasa turut tergugat). Hal itu dapat dilihat
dalam

akte

permohonan

82/Srt.Pdt.Kas/2002/PN.JKT.PST.Jo

Nomor:

banding

Nomor:

86/PDT.G/2002PN.JKS.PST

yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang kemudian
disusul dengan memori banding yang memuat alasan-alasan yang diterima
oleh Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 23 September
2002.
Setelah itu Pertamina, yang pada tanggal 25 September 2002 telah
diberitahu tentang memori banding oleh KBC, mengajukan jawaban memori
banding yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
pada tanggal 7 Oktober 2002. Mengenai tambahan memori banding yang
diajukan oleh KBC, mengingat tambahan memori banding tersebut baru
diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 25
Based on Gatots Research
Only for Private Use

106

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

Oktober 2002, sedangkan permohonan banding telah diajukan pada tanggal


9 September 2002, maka tambahan memori banding tersebut telah melewati
tenggang waktu 14 (empat belas) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal
47 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan
Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 sehingga tambahan memori banding
tersebut harus dikesampingkan.
Mempertimbangkan bahwa permohonan banding a quo beserta alasanalasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama dalam
tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam Undang-Undang,
karena itu permohonan banding tersebut secara formal dapat diterima

b. Isi Permohonan Kasasi


KBC mengajukan keberatan-keberatan dalam memori banding yang pada
pokoknya menyatakan bahwa:
a. berdasarkan ketentuan Pasal 72 ayat (4) Undang-Undang No. 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan
bahwa terhadap putusan (pembatalan) dari pengadilan negeri dapat
diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus
dalam tingkat pertama dan terakhir. Oleh karena itu, upaya hukum yang
diajukan oleh KBC terhadap putusan dengan mengajukan banding
kepada Mahkamah Agung sudah tepat dan telah sesuai dengan UU
Arbitrase;
b. karena dalam UU Arbitrase tidak terdapat ketentuan yang mengatur
mengenai batas waktu pengajuan banding dan memori banding, maka
KBC mendasarkan ketentuan hukum acara pada Pasal 47 UndangUndang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah agung yang menyatakan
bahwa pengajuan memori banding oleh pemohon banding wajib
disampaikan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah
permohonan banding dicatat dalam buku daftar register. KBC telah
Based on Gatots Research
Only for Private Use

107

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

menyatakan banding atas putusan tersebut pada tanggal 9 September


2002, terhadap Putusan Sela I pada tanggal 16 April 2002, serta terhadap
Putusan Sela II pada tanggal 21 Mei 2002. Di sini KBC telah
mendaftarkan permohonan banding di Kantor Kepaniteraan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat sebelum jangka waktu 14 (empat belas) hari
sebagai tenggang waktu yang diperbolehkan menurut Undang-Undang;
c. berdasarkan

pertimbangan

hukum

judex

factie,

Putusan

No.86/PDT.G/2002/PN.JKS.PST. tanggal 27 Agustus 2002 adalah keliru


dan tidak berdasarkan fakta dan tidak adil.
Di samping itu Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dinilai tidak
berwenang untuk memeriksa gugatan pembatalan putusan Arbitrase
Internasional tanggal 18 Desember 2000 yang diputuskan di Jenewa, Swiss;
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah melampaui batas
wewenang; Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah salah
menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; dan akhirnya Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah lalai memenuhi syarat-syarat
yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan.

c. Argumentasi Hukum dari Putusan MA


Mahkamah Agung sebelum membuat putusannya, telah menyampaikan
beberapa pertimbangan hukum yang isinya mendukung argumentasi KBC,
yaitu:
a. Termohon Kasasi (Pertamina) menurut hukum tidak dapat mengajukan
pembatalan

terhadap

Putusan

Arbitrase

Internasional

dengan

menggunakan format gugatan melainkan harus dengan menggunakan


format permohonan. Hal ini mengingat berdasarkan ketentuan Pasal 27
ayat (4) Undang-Undang Arbitrase, keberatan atau permohonan banding
yang diajukan terhadap putusan harus diajukan langsung ke Mahkamah
Agung.
Based on Gatots Research
Only for Private Use

108

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

b. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang baik


secara kompetensi absolute maupun secara kompetensi relatif untuk
mengadili perkara a quo, karena dalam Penjelasan Pasal 70 UndangUndang

Arbitrase

secara

tegas

dinyatakan

bahwa

permohonan

pembatalan hanya dapat diajukan terhadap suatu putusan arbitrase yang


sudah didaftarkan di pengadilan. Kemudian Pasal 67 ayat (1) UndangUndang Arbitrase, yang merupakan satu-satunya pasal yang mengatur
mengenai pendaftaran atas putusan Arbitrase Internasional dalam
Undang-Undang Arbitrase, juga secara tegas diatur bahwa yang
berwenang untuk melakukan pendaftaran terhadap Putusan Arbitrase
Internasional di Indonesia adalah arbiter atau kuasanya.
c. Judex facti telah mengabaikan ketentuan Pasal 70 sampai dengan Pasal
72 Undang-Undang Arbitrase yang jelas-jelas telah menyatakan bahwa
pembatalan

terhadap

menggunakan

format

suatu

putusan

permohonan

arbitrase
serta

diajukan

terlebih

dahulu

dengan
harus

memenuhi persyaratan pendaftaran sebagaimana diatur dalam Pasal 67


Undang-Undang Arbitrase. Dengan diabaikannya ketentuan UndangUndang (UU Arbitrase) oleh judex facti dalam mengeluarkan putusan,
jelas telah membuktikan kelalaian yang diajukan oleh judex facti dalam
memenuhi persyaratan yang diwajibkan oleh undang-undang.
d. Dari segi kompetensi absolut Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak
berwenang untuk mengadili perkara ini, karena pembatalan putusan
Arbitrase Internasional hanya dapat dilakukan oleh Pengadilan Swiss.
Berdasarkan Pasal VI jo Pasal V (1) (e) Konvensi New York 1958
Pengadilan yang memiliki wewenang untuk memutus permohonan
pembatalan terhadap Putusan Arbitrase Internasional adalah hanya
Pengadilan di negara mana, atau berdasarkan hukum mana putusan
tersebut dibuat.

Based on Gatots Research


Only for Private Use

109

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

e. Dari segi kompetensi relatif, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga tidak
berwenang untuk mengadili perkara ini, karena berdasarkan ketentuan
dalam Pasal 72 dan Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Arbitrase, di mana
Pengadilan Negeri yang berwenang untuk memeriksa perkara a quo
adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal
termohon (in casu tempat tinggal KBC). Oleh karena itu Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat tidak mempunyai kewenangan (kompetensi) untuk
menerima dan memeriksa gugatan pambatalan Putusan Arbitrase
Internasional a quo, sebab wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat tidak meliputi tempat tinggal Pemohon Kasasi/tergugat (KBC).
f. Gugatan Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional yang diajukan oleh
Pertamina tidak memiliki dasar hukum untuk dapat diajukan, karena
berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 70 UU
Arbitrase, jelas ditentukan bahwa suatu putusan arbitrase hanya dapat
dibatalkan apabila sudah didaftarkan di Pengadilan. Dalam perkara a quo,
Pertamina sama sekali tidak dapat mengajukan satu bukti pun yang dapat
membuktikan bahwa putusan Arbitrase Internasional tersebut sudah
didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Oleh karena Putusan
Arbitrase Internasional belum didaftarkan secara sah menurut ketentuan
hukum yang berlaku, maka sebenarnya Putusan Arbitrase Internasional
belum didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya.

Untuk memperkuat argumentasinya, Majelis MA lebih jauh menyatakan


bahwa keberatan-keberatan di atas dapat dibenarkan, karena judex facti
telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan-pertimbangan, yaitu:
a. Bahwa gugatan Pertamina pada pokoknya adalah gugatan pembatalan
putusan arbitrase yang diputuskan di Jenewa, Swiss pada tanggal 18
Desember 2000 (Final Award In An Arbitration Procedure Under The
UNCITRAL Arbitration Rules);
Based on Gatots Research
Only for Private Use

110

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

b. Bahwa menurut Pasal 1 butir 9 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999


putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter
perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, seperti halnya
putusan arbitrase yang dimohonkan pembatalannya oleh Pertamina
adalah Putusan Arbitrase Internasional;
c. Bahwa mengenai Arbitrase Internasional, Undang-Undang No. 30 Tahun
1999 hanya mengaturnya dalam Pasal 65 sampai dengan Pasal 69 yang
selain mengatur syarat-syarat dapat diakui dan dilaksanakannya suatu
putusan Arbitrase Internasional di Indonesia, juga mengatur prosedur
permohonan pelaksanaan putusan arbitrase tersebut;
d. Bahwa Pasal V ayat (1) e Konvensi New York 1958 (Convention on The
Recognition and Enforcement of Foreign arbitral Award) yang disahkan
dan dinyatakan berlaku dengan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981
berbunyi: Recognition and enforcement of the award may be refused, at
the request of the party against whom it is invoked, only if
(e) The award has not yet become binding on the parties, or has been set
aside or suspended by a competent authorty of the country in which, or
under the law of which, that award was made.
e. Bahwa kuasa hukum Pertamina telah mengajukan permohonan banding
terhadap putusan arbitrase yang disengketakan kepada Mahkamah
Agung

Swiss

sesuai

dengan

Undang-Undang

Hukum

Perdata

Internasional Negara Swiss.

Based on Gatots Research


Only for Private Use

111

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

Catatan: Untuk butir e di atas, Mahkamah Agung mengacu pada asas nebis
in idem yang menyatakan bahwa untuk suatu perkara yang sama tidak dapat
diperiksa dan diadili untuk kedua kalinya.76
Atas dasar pertimbangan-pertimbangan butir a e tersebut, Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus
gugatan pembatalan putusan Arbitrase Internasional yang dilakukan oleh
Pertamina.

d. Isi Putusan MA
Setelah melakukan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, tanpa perlu
mempertimbangkan

keberatan-keberatan

lainnya,

Mahkamah

Agung

berpendapat bahwa telah terdapat cukup alasan untuk mengabulkan


permohonan banding dari KBC dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat tanggal 27 agustus 2002 No.86/PDT.G/2002/PN.JKT.PST. Di
samping itu, Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini.
Mahkamah Agung setelah mempertimbangkan bahwa Pertamina adalah
pihak yang kalah, maka Pertamina dihukum untuk membayar biaya perkara
dalam kedua tingkat peradilan.
Sebelum membuat putusan, MA telah memperhatikan Pasal-pasal dari
Undang-Undang No. 30 tahun 1999, Undang-Undang No. 14 Tahun 1985
sebagaimana yang telah dirubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004
serta Pasal-pasal lain dari undang-undang yang bersangkutan.

76

Tentang pengajuan kasus tersebut di Swiss, koordinator pengacara Pertamina membantah bahwa
putusan arbitrase UNCITRAL telah diperiksa dan ditolak oleh Mahkamah Agung Swiss. Menurutnya,
upaya mengajukan pembatalan putusan ke pengadilan di Jenewa terlambat dilakukan sehingga tidak
sempat diperiksa dan diputuskan. Menurutnya, Mahkamah Agung RI telah salah ketika menyatakan
berlakunya asas nebis in idem dalam kasus ini. Asas tersebut, yang menyatakan untuk suatu perkara
yang sama tidak dapat diperiksa dan diadili untuk kedua kalinya, tidak berlaku di sini, karena kasus ini
belum pernah diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Swiss.

Based on Gatots Research


Only for Private Use

112

Gatot Soemartono
gsoemart@hotmail.com

Isi putusan dari MA dibedakan menjadi 2, yaitu:


a. Putusan mengadili yang isinya adalah:
1) Mengabulkan permohonan banding dari pemohon banding Karaha
Bodas Company (KBC) tersebut.
2) Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 27
Agustus 2002 No.86PDT.G/2002?PN.JKS.PST.77

b. Putusan mengadili sendiri yang isinya adalah:


1) Dalam eksepsi: mengabulkan eksepsi tergugat, yaitu: KBC.
2) Dalam provisi dan pokok perkara: menyatakan PN Jakarta Pusat tidak
berwenang untuk memeriksa dan memutus gugatan Penggugat.
3) Menghukum Pertamina untuk membayar biaya perkara dalam kedua
tingkat peradilan, yang dalam tingkat banding ini ditetapkan sebesar
Rp500,000,- (lima ratus ribu rupiah).

Dengan adanya putusan Mahkamah Agung tersebut, telah selesailah uraian


seluruh rangkaian penyelesaian kasus Karaha Bodas, khususnya yang
melibatkan Pertamina dan Karaha Bodas Company (KBC).78 (Sebagaimana
diketahui dalam penelitian ini tidak dibahas secara khusus keterlibatan PLN
dan Pemerintah.)

77

Menurut Mulyana, pakar arbitrase dan konsultan di MKK, dalam wawancara dengan penulis
melalui telepon dan korespondesi melalui e-mail, putusan MA tersebut telah tepat di dalam penerapan
hukumnya. Menurutnya arbitrator dan kuasa hukum KBC tidak pernah mendaftarkan putusan arbitrase
UNCITRAL di PN Jakarta Pusat, karena itu bagaimana putusan yang tidak pernah didaftarkan tersebut
dapat dibatalkan.
78
Dalam wawancara dengan penulis, Simson Panjaitan sebagai koordinator pengacara Pertamina
mengatakan bahwa saat ini Pertamina sedang menyiapkan upaya hukum peninjauan kembali (PK) atas
kasus Karaha Bodas. PK saat ini sedang disusun oleh Pertamina dengan bantuan kantor pengacara
Sudargo Gautama, dan akan diajukan kepada Mahkamah Agung RI untuk membatalkan putusan
tersebut.

Based on Gatots Research


Only for Private Use

113

Anda mungkin juga menyukai