Anda di halaman 1dari 4

MEMBANGUN CITRA LEWAT MEDIA MASSA

oleh
Sri Hastjarjo

A. MEDIA MASSA: kawan atau lawan?

Kita mungkin pernah mendengar komentar-komentar ini: "Media tidak mau melihat
yang positif tapi selalu mengekspose sisi yang negatif", "Wartawan bisanya hanya
mengkritik tapi tidak memberi solusi", "Mereka sudah kita undang dan fasilitasi, tapi
beritanya kok tidak muncul?" dan sebagainya. Komentar-komentar seperti itu mencerminkan
hubungan yang kurang harmonis, bahkan kadang-kadang tegang (tension) antara lembaga
media massa dengan lembaga yang lain sekalipun demikian, mau tidak mau kehadiran media
massa tidak bisa diabaikan atau dihindari, justru peran media massa diperlukan oleh lembaga-
lembaga lain dalam konteks pemerintahan. Setidaknya media massa diperlukan untuk
memainkan dua peran: (1) sebagai agen diseminasi (penyebaran) informasi karena media
massa memiliki kemampuan untuk menjangkau lapisan masyakat yang luas dalam waktu
yang relatif singkat; dan (2) sebagai sarana untuk membangun citra (image) yang positif di
mata publik karena media massa memiliki potensi untuk mempengaruhi pendapat
(pandangan) khalayak tentang suatu hal atau suatu lembaga/individu tertentu. Berbeda
dengan kondisi di masa pra-reformasi, media massa tidak lagi di bawah kontrol ketat
pemerintah. Dengan dihapuskannya praktek pembreidelan sensor dan "lembaga telepon",
media massa relatif memiliki kebebasan dan independensi dari pengawasan dan pengendalian
pemerintah dan tidak lagi bisa digunakan sebagai corong pemerintah. Tantangan yang
dihadapi oleh lembaga pemerintah maupun lembaga legislatif dengan demikian adalah
bagaimana membangun dan memelihara hubungan baik dengan media (media relations)
sehingga kedua peran media di atas bisa terlaksana dengan baik untuk menjawab tantangan
ini. Diperlukan pemahaman mengenai karakteristik lembaga media massa dan strategi yang
tepat dalam berhubungan dengannya sehingga media massa menjadi kawan dan bukan lawan.

B. BINATANG APAKAH MEDIA MASSA ITU?

Kita tidak sedang bersikap sinis atau sarkartis bila mengibaratkan media massa
sebagai "binatang", sebab kalangan media massa sendiri suka mengidentikkan diri mereka
dengan sebutan "the watchdog of society" (anjing penjaga masyarakat). Sebutan ini berkaitan
dengan fungsi yang diemban oleh media massa dalam masyarakat yaitu informasi, korelasi
(interpretasi informasi), kontinuitas (transfer budaya), hiburan, dan mobilisasi secara umum.
Tingkat keleluasaan media massa di dalam menjalankan fungsi-fungsi tersebut digunakan
sebagai parameter (ukuran) tingkat demokratisasi masyarakat di mana media massa itu
berada saat ini lembaga media massa sudah menjadi satu sektor industri tersendiri, dan
sebagai sebuah industri ia akan terus menerus berada di dalam tarik-menarik berbagai
kepentingan yang meliputi: (1) mengejar idealisme dan profesionalisme media; (2) memenuhi
kebutuhan dan keinginan khalayak; (3) mengakomodasi tekanan/tuntutan sosial-politik; dan
(4) memelihara kelangsungan hidup perusahaan dan mencari keuntungan. Tarik menarik
berbagai kepentingan inilah yang kemudian mewarnai dan mempengaruhi dinamika
hubungan lembaga media massa dengan lembaga-lembaga lain termasuk legislatif dengan
beragamnya latar belakang dan kepentingan yang dimilikinya setiap perusahaan media massa
akan memiliki karakteristik sendiri. Khususnya dalam hal kebijakan redaksionalnya
(editorial policy); yang biasanya berkaitan erat dengan sasaran khalayak (target audience). Di
samping itu setiap individu yang bekerja di dalamnya (khususnya wartawan dan redaktur)
memiliki gaya (style) dan selera sendiri di dalam menjalankan pekerjaannya. Namun pada
dasarnya ada beberapa karakteristik yang disepakati bersama dalam praktek jurnalistik yang
profesional:
1. Peristiwa Berita, Nilai Berita dan Fit to Print
Media massa pada umumnya terdiri dari tiga macam isi: karya kurnalistik (berita),
opini (pendapat) dan iklan jurnalistik sendiri dipahami sebagai kegiatan pengumpulan
penulisan dan penyebarluasan informasi oleh media massa. Informasi yang diproses di dalam
kegiatan jurnalistik harus berupa peristiwa atau kejadian yang faktual (benar-benar terjadi).
Peristiwa tidak identik dengan berita. Peristiwa merupakan realitas faktual yang benar-benar
terjadi, sedangkan berita merupakan laporan atas suatu peristiwa tertentu. Oleh karena berita
"hanya" merupakan laporan maka ia akan dibatasi oleh format dan kaidah-kaidah penulisan
berita yang berlaku, misalnya penggunaan struktur piramida terbalik dan pemakaian "bahasa
koran".
Tidak semua peristiwa bisa dijadikan berita. Hanya peristiwa-peristiwa yang dianggap
memiliki nilai berita (news value) saja yang akan disebarkan melalui media massa. Nilai
berita itu meliputi:
a. Significance (denting): peristiwa itu berkemungkinan mempengaruhi kehidupan
orang banyak atau yang memiliki akibat terhadap kehidupan pembaca
b. Magnitude (besar) kejadian itu menyangkut angka-angka yang berarti bagi
kehidupan orang banyak atau kejadian itu bersifat kolosal
c. Timeliness (waktu): aktual hangat atau termasa; menyangkut hal-hal yang baru
terjadi
d. Proximity (dekat): kejadian yang memiliki kedekatan dengan pembaca baik secara
geografis maupun emosional/psikologis
e. Prominence (tenar): menyangkut hal atau orang yang terkenal atau sangat dikenal
oleh pembaca
f. Human interest (manusiawi): menyangkut hal-hal yang bisa menyentuh perasaan
pembaca sekalipun suatu peristiwa memiliki nilai berita namun tidak secara
otomatis peristiwa itu bisa disiarkan sebagai berita.
g. Ada satu kriteria lagi yang harus dipenuhi yaitu: layak cetak (fit to print). Tidak
semua peristiwa yang memiliki news value layak untuk dicetak yaitu peristiwa-
peristiwa yang dinilai bisa mendatangkan keresahan atau persoalan dalam
masyarakat.
Masih ada satu faktor lagi yang menentukan apakah berita dari suatu peristiwa
bisa disiarkan lewat media massa yaitu: Faktor Kesediaan Ruang (space): setiap
media massa memiliki keterbatasan ruang dan waktu (durasi) untuk berita. Dengan
keterbatasan itu maka setiap item berita harus "bersaing" agar bisa memperoleh
kesempatan untuk disiarkan kepada khalayak.

2. Faktualitas Cek & Recek, Hak Jawab dan Somasi:


Di dalam menjalankan kegiatan jurnalistik wartawan dituntut untuk memenuhi
standar faktualitas yang meliputi akurasi informasi (informasi harus benar dan tepat sesuai
kenyataan), relevansi informasi (informasi yang disampaikan harus berkaitan dengan
peristiwa yang diberitakan), balance (harus meliput semua pihak yang berhubungan dan
berkepentingan atas suatu persitiswa) dan netral (tidak boleh berpihak kepada siapapun selain
kepada kebenaran). Tuntutan atas nilai faktualitas ini mengharuskan wartawan dan redaktur
untuk terus menerus melakukan cek dan recek atas semua informasi yang mereka kumpulkan.
Setiap informasi harus bisa diverifikasi dari berbagai sumber rujukan (observasi wawancara
dokumen). Apabila suatu lembaga atau individu merasa dirugikan dengan sebuah
pemberitaan mereka berhak untuk mengajukan keberatan. Apabila tanpa melalui pengadilan
hak itu disebut sebagai hak jawab, biasanya melalui surat pembaca dan rubrik sejenisnya
media massa harus menghormati hak jawab: memberi ruang untuk menyiarkan
respons/keberatan tersebut. Ketika usaha melalui hak jawab tidak bisa mencapai tujuan
biasanya orang bisa menuntut (melakukan somasi) suatu lembaga media massa ke
pengadilan.
3. Karakteristik Media Massa:
Ada berbagai jenis media massa baik cetak maupun elektronik. Setiap jenis memiliki
karakteristik tersendiri yaitu:
a. Televisi: selalu dikejar deadline, bersifat visual (menggunakan gambar), satu item
berita biasanya maksimal berdurasi 120 detik (2 menit), latar belakang audience
paling sangat beragam (92% orang indonesia menonon televisi)
b. Radio: bersifat auditif; memerlukan "kata-kata yang menggigit" (soundbite),
sangat menekankan pada wawancara, diskusi biasanya bersifat sangat cepat, dan
satu berita akan dimasukkan (dijejalkan) ke dalam berbagai macam berita yang
lain, audience cukup luas namun sangat mudah melupakan pesan yang didengar.
c. Cetak: sifatnya printed sehingga lebih "awet" dari jenis pesan lainnya,
wartawannya relatif lebih berpengalaman, wawancara biasanya lebih detil dan
mendalam sehingga perlu persiapan (termasuk menyediakan data-data pendukung).
Ketika lembaga legislatif memahami seluk beluk lembaga media massa dengan segala
karakteristiknya maka ia memiliki modal untuk menyusun strategi yang tepat di dalam
menjalin hubungan yang harmonis dan kolaboratif dengan media massa dalam rangka
melakukan diseminasi informasi dan membangun citra positif di mata publik.

C. STRATEGI MEMBANGUN CITRA

Dalam makalah ini tidak akan diuraikan panjang lebar mengenai strategi apa yang
bisa diambil, namun akan disampaikan beberapa saran dan masukan praktis sehubungan
dengan karakteristik media massa dan proses jurnalistik.
1. Mengubah perspektif: pandang media massa sebagai kawan bukan lawan. Apabila
kita memperlakukan media massa sebagai lawan maka sikap itu akan backfire dan
merugikan terus-menerus. Harus diingat bahwa peran media massa sangat
diperlukan oleh lembaga legislatif, dan perlu diingat juga bahwa media massa
membutuhkan 4 lembaga legislatif sebagai sumber informasi untuk menjalankan
tangung jawab sosial mereka.
2. Menyusun Manual Media Relations. Semua lembaga-lembaga besar yang terus-
menerus berhubungan dengan media massa perlu menyusun manual. Untuk
berhubungan dengan media manual itu berisi siapa yang berkompeten menjadi
juru bicara (spokeperson), bagaimana melakukan hubungan dengan media, apa
yang harus dilakukan apabila ada krisis atau isu negatif yang muncul di
masyarakat dan sebagainya.
3. Hindari istilah "No comment". Ketika sumber berita menyatakan "No comment"
biasanya akan menimbulkan kecurigaan bahwa ia sedang berusaha
menyembunyikan sesuatu, dan apabila ada yang disembunyikan maka
diasumsikan ada suatu pelanggaran atau kesalahan yang sudan dilakukan. Lebih
baik mengganti "No comment" dengan kalimat lain yang lebih bersahabat namun
tetap jujur (transparan), misalnya: "Kami belum punya informasi tentang hal itu,
nanti akan kami hubungi kalau informasi yang pasti sudah kami peroleh."
4. Berani menaruh kepercayaan kepada media massa yang kredibel. Tetap ada
media massa yang kredibel, yang bisa dipercaya dan yang tidak hanya semata-
mata mencari keuntungan. Jalinlah kerjasama dengan media-media seperti ini,
sebab cepat atau lambat lembaga legislatif akan memerlukan bantuan mereka.
5. Gunakan "Testimonial Public Relations". Miliki kerjasama dengan tokoh-tokoh
yang dianggap kompeten di masyarakat untuk menjadi "juru bicara tidak resmi"
lembaga legislatif. Mintalah mereka untuk menulis di surat kabar berkenaan
dengan suatu isu tertentu yang berkaitan dengan kepentingan lembaga.
6. Meningkatkan Communication Skill. Staf menghadapi wartawan (dalam
wawancara insidentil maupun jumpa pers) memerlukan seni dan strategi
tersendiri. Staf yang bertanggung jawab di bidang hubungan media perlu
diperlengkapi dengan ketrampilan komunikasi yang tinggi sehingga tidak gagap
dan mudah terjebak ketika sedang berhadapan dengan wartawan.
Strategi hubungan media yang disarankan ini tentu saja masih belum lengkap namun
setidaknya bisa memberikan tempat pijakan untuk ancang-ancang membangun dan
mengembangkan strategi media relations yang lebih komprehensif dan lebih kontekstual
dengan situasi kebutuhan dan kepentingan lembaga legislatif yang ada.

Anda mungkin juga menyukai