Etiologi
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya
serangan asma bronkial (Tanjung, 2003).
a. Faktor predisposisi
Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya
mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi
ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan foktor
pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
b. Faktor presipitasi
Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan
Seperti: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi
2. Ingestan, yang masuk melalui mulut
Seperti : makanan dan obat-obatan
3. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit
1
timbul
harus
segera
diobati
penderita
asma
yang
mengalami
Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan (akut)
(Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2008):
1.
Sedangkan pada anak, secara arbiter Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA)
mengklasifikasikan derajat asma menjadi: 1) Asma episodic jarang; 2) Asma episodic
sering; dan 3) Asma persisten (Tabel 2)
2.
Patogenesis
Asma
merupakan
inflamasi
kronik
saluran
napas
dan
disebabkan
oleh
hiperreaktivitas saluran napas yang melibatkan beberapa sel inflamasi terutama sel mast,
eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel yang menyebabkan pelepasan
mediator seperti histamin dan leukotrin yang dapat mengaktivasi target saluran napas
sehingga terjadi bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskular, edema dan hipersekresi
mukus. Inflamasi saluran napas pada asma merupakan proses yang sangat kompleks
melibatkan faktor genetik, antigen dan berbagai sel inflamasi, interaksi antara sel dan
mediator yang membentuk proses inflamasi kronik (Rahmawati et al., 2003).
Proses inflamasi kronik ini berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran
napas sehingga memicu episode mengi berulang, sesak napas, batuk terutama pada malam
5
Udema mukosa
Sekresi mukus
Diagnosa
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat ditangani
dengan baik. Untuk dapat mendiagnosis asma, diperlukan pengkajian kondisi klinis serta
pemeriksaan penunjang (Rengganis, 2008).
Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat
hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan berair
(konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai
mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya
hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga), sering terbangun
pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rinitis atau alergi lainnya dalam
keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang
lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya tungau debu rumah, tanyakan apakah
menggunakan karpet berbulu, sofa kain bludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar
tidur. Apakah sesak dengan bau-bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah
pasien merokok, orang lain yang merokok di rumah atau lingkungan kerja, obat yang
digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin atau steroid. Gejala-gejala kunci
untuk menegakkan diagnosis asma dirangkum dalam Tabel 5 (Rengganis, 2008).
Pemeriksaan Klinis
Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara rinci,
menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan fisis
pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi perubahan bentuk
anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan; napas cepat, kesulitan bernapas,
menggunakan otot napas tambahan di leher, perut dan dada. Pada auskultasi dapat
ditemukan; mengi, ekspirasi memanjang (Rengganis, 2008).
Pemeriksaan Penunjang
1. Spirometer
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk
menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan. Reversibilitas penyempitan saluran
napas yang merupakan ciri khas asma dapat dinilai dengan peningkatan volume
8
ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan atau kapasiti vital paksa (FVC) sebanyak
20% atau lebih sesudah pemberian bronkodilator (Rengganis, 2008).
2. Peak Flow Meter/PFM
Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut
digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena
pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan
pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih diutamakan
dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV. untuk
diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar,
PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan
dalam diagnosis untuk penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1
(Rengganis, 2008).
3. X-ray dada/thorax
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang memberikan gejala serupa seperti
gagal jantung kiri, obstruksi saluran nafas, pneumothoraks, pneumomediastinum.
Pada serangan asma yang ringan, gambaran radiologik paru biasanya tidak
memperlihatkan adanya kelainan (Rengganis, 2008).
4. Pemeriksaan IgE
Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik pada
kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji
alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE
Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk
kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism) (Rengganis, 2008).
5. Petanda inflamasi
Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak berdasarkan
atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan spirometri bukan
merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran
napas dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum,
dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang
diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic
Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan
transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit
dilakukan di luar riset (Rengganis, 2008).
c.
menyertainya.
Gagal jantung kiri
Dulu gagal jantung kiri dikenal dengan asma kardial dan timbul pada malam hari
disebut paroxysmal nocturnal dispnea. Penderita tiba-tiba terbangun pada malam
hari karena sesak, tetapi sesak menghilang atau berkurang bila duduk. Pada
d.
Daftar Pustaka
10
Angela et al. 2002. Mengenai Mencegah dan Mengatas Asma pada Anak Plus Panduan
Senam Asma. Puspa Swara, Jakarta.
Anggia D. 2006. Profil Penderita Asma Bronkial yang Dirawat Inap di Bagian Paru
RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Periode Januari Desember 2005. Pekanbaru :
Fakultas Kedokteran Universitas Riau.
Dina, H and Mahdi, H. 1984. Pemakaian Dermatophagoides Pteronyssinus Sebagai
pendekatan Tunggal guna Pembuktian Atopi pada Asma Bronkial. Universitas
Airlangga Press, Surabaya.
Mcfadden ER. 2000. Penyakit Asma. Dalam Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit
Dalam. Isselbacher KJ et al, editor. Jakrta : EGC. 1311-18.
Meiyanti, M. 2000. Perkembangan pathogenesis dan pengobatan Asma Bronkial. J.
Kedokt Trisakti,19(3), 125-132.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1023/MENKES/SK/XI/2008 Tentang Pedoman Pengendalian
Penyakit Asma. Jakarta. 3 Nopember 2008.
Morris, M.J et al. Asthma. [ updated 2013 February 15; cited 2013 April 12]. Available
from : http://emedicine.medscape.com/article/296301-overview#showall
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di
Indonesia. h 73-5
Rahmawati, I; Yunus, F and Wiyono W.H. 2003. Patogenesis dan Patofisiologi Asma.
Jurnal Cermin Kedokteran, 141, 56.
Rees, J and Price, J. 1998. Petunjuk Penting Asma. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
Rengganis, I. 2008. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Maj Kedokt Indon,
58(11), 444-451.
Tanjung, D. 2003. Asuhan Keperawatan Asma Bronkial. USU Digital Library.
11