Anda di halaman 1dari 26

BAB II

KAJIAN TEORI
A. Kajian Filologi
1. Pengertian Filologi
Pada mulanya, istilah filologi (philologia) lahir dan berkembang di
kawasan kerajaan Yunani, yaitu kota Iskandariyah. Pada saat itu filologi diartikan
sebagai suatu keahlian yang diperlukan untuk mengkaji peninggalan berupa
tulisan yang berasal dari kurun waktu beratus-ratus tahun sebelumnya (BarorohBaried, 1985: 1). Salah satu tujuan dari diadakannya pengkajian terhadap teks
yang ada di dalam naskah lama pada saat itu adalah untuk menemukan bentuk
teks yang asli serta untuk mengetahui maksud dari pengarangnya dengan jalan
menyisihkan kesalahan-kesalahan yang terdapat di dalamnya.
Secara etimologis, filologi berasal dari bahasa Yunani philologia yang arti
asliya kegemaran berbincang-bincang. Makna filologi berkembang lagi menjadi
cinta kepada kata sebagai pengejawantahan pikiran, kemudian menjadi
perhatian terhadap sastra dan akhirnya studi ilmu sastra (Wagenvoort,1947:
41 dalam Sulastin-Sutrisno, 1981: 1). Menurut Saputra (2008: 79), pengertian
kata pada cinta kepada kata dapat diperluas lagi menjadi bahasa dan
berkembang lagi menjadi kebudayaan, sehingga studi filologi berarti studi
tentang kebudayaan masa lalu melalui naskah dan teks.
Dalam Kamus Istilah Filologi, filologi didefinisikan sebagai ilmu yang
menyelidiki perkembangan kerohanian suatu bangsa dan kekhususannya atau
yang menyelidiki kebudayaan berdasarkan bahasa dan kesusastraannya (SulastinSutrisno, 1981: 7). Websters New International Dictionary memberikan batasan

16

17

sesuai dengan arti kata philogia yang diperluas dengan pengertian: ilmu bahasa
dan studi tentang kebudayaan-kebudayaan bangsa-bangsa yang beradab seperti
diungkapkan terutama dalam bahasa, sastra, dan agama (Sulastin-Sutrisno, 1981:
8). Kemudian Darusuprapta (1990: 3) menambahkan pengertian filologi, yaitu
suatu disiplin ilmu yang mendasarkan kerjanya pada bahan tertulis dan bertujuan
mengungkapkan makna teks tersebut dalam segi kebudayaannya.
Boeckh (dalam Wellek dan Warren, 1956: 27) mendefinisikan filologi
sebagai knowledge of the known, artinya bahwa filologi juga dapat didefinisikan
sebagai ilmu pengetahuan tentang segala sesuatu yang pernah diketahui orang.
Pendapat tersebut berarti bahwa pengkajian terhadap teks-teks yang tersimpan
dalam peninggalan tulisan masa lampau dapat disebut sebagai pintu gerbang
untuk mengungkapkan khazanah masa lampau.
Sebagai suatu disiplin ilmu, filologi lahir disebabkan oleh beberapa faktor.
Menurut Baroroh-Baried (1994: 2), faktor-faktor penyebab lahirnya filologi
sebagai disiplin ilmu adalah sebagai berikut.
a. Munculnya informasi tentang masa lampau di dalam sejumlah karya tulisan.
b. Anggapan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam peninggalan tulisan masa
lampau masih relevan dengan kehidupan sekarang ini.
c. Kondisi fisik dan substansi materi informasi akibat rentang waktu yang
panjang.
d. Faktor sosial budaya yang melatarbelakangi penciptaan karya-karya tulisan
masa lampau yang tidak ada lagi atau tidak sama dengan latar sosial budaya
pembacanya masa kini.
e. Keperluan untuk mendapatkan hasil pemahaman yang akurat.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
filologi merupakan salah satu disiplin ilmu atau keahlian yang mengkaji dan
mempelajari tentang hasil budaya dalam arti luas (bahasa, sejarah, sastra, dan

18

kebudayaan) yang tersimpan dalam peninggalan tulisan masa lampau dengan


tujuan untuk mengungkapkan khazanah budaya serta perkembangan kerohanian
suatu bangsa dalam segi kebudayaannya dalam arti yang luas. Oleh karena itu,
filologi dapat digolongkan sebagai disiplin ilmu-ilmu kemanusiaan yang bertujuan
untuk mengungkapkan hasil budaya manusia pada masa lampau yang termuat di
dalam naskah dan teks lama.
2. Objek Penelitian Filologi
Setiap kajian ilmu mempunyai objek penelitian. Kajian ilmu filologi juga
mempunyai objek sebagai sasaran untuk penelitiannya. Objek dari penelitian
filologi berupa naskah dan teks.
a. Naskah
Naskah adalah tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan
pemikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa pada masa lampau (BarorohBaried, 1985: 54). Pendapat tersebut kemudian diperkuat dengan pendapat yang
dinyatakan oleh Suyami (1996: 220), yaitu naskah merupakan salah satu saksi dari
suatu dunia berbudaya dan tradisi peradaban yang menginformasikan budaya
manusia pada masanya.
Naskah juga didefinisikan sebagai karangan tulisan tangan baik asli
maupun salinannya, yang mengandung teks atau rangkaian kata-kata yang
merupakan bacaan dengan isi tertentu (Onions dalam Darusuprapta, 1984: 1).
Kemudian, Baroroh-Baried (1985: 55) menyebut naskah lama yang berupa tulisan
tangan dengan istilah handschrift dan manuskrip.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa naskah dapat
didefinisikan sebagai karangan tulisan tangan yang asli maupun salinannya dan

19

merupakan salah satu saksi dari dunia berbudaya serta tradisi peradaban yang
mengandung teks atau rangkaian kata-kata sebagai hasil ungkapan pemikiran dan
perasaan budaya masa lampau. Ungkapan pemikiran dan perasaan tersebut dapat
berupa ide-ide dan gagasan-gagasan nenek moyang yang bernilai dan dapat digali
untuk diterapkan dalam kehidupan masa kini.
Naskah lama merupakan produk budaya masa lampau yang ditulis dalam
berbagai aksara yang berkembang pada saat itu. Aksara-aksara yang digunakan
untuk menulis naskah di antaranya adalah aksara Jawa, aksara Arab Pegon, dan
aksara Latin. Aksara Jawa masih dapat dibedakan menjadi beberapa ragam sesuai
dengan gaya penulisannya. Ismaun (1966: 7) menyatakan bahwa ragam aksara
Jawa dapat dibedakan menjadi empat. Keempat ragam aksara yang dimaksud
adalah sebagai berikut.
1. Mbata sarimbag bentuk aksaranya menyerupai rimbag, yaitu cetakan batu
merah yang berbentuk persegi mirip dengan batu bata merah.
2. Ngetumbar, cirinya adalah bentuk setengah bulat menyerupai biji ketumbar
pada sudut-sudutnya tidak lagi berupa sudut siku ataupun sudut lain.
3. Mucuk eri, bentuk aksara Jawa pada bagian tertentu berupa sudut lancip
seperti eri (duri).
4. Ragam kombinasi, aksaranya merupakan kombinasi dari ketiga ragam yang
telah disebutkan di atas. Kombinasi tidak hanya terjadi pada tiap-tiap aksara,
tetapi juga dapat terjadi pada tiap baris, alenia, bahkan pada tiap halaman.
Naskah Srat Skar Wijykusum adalah produk masa lampau yang
mengandung ungkapan pemikiran dan perasaan nenek moyang yang ditulis tangan
dengan menggunakan aksara Jawa. Kemudian, ragam aksara yang digunakan
adalah ragam kombinasi antara ragam aksara ngtumbar dan mucuk ri. Akan
tetapi, ragam aksara yang digunakan tersebut lebih terdominasi oleh ragam aksara
ngtumbar.

20

b. Teks
Teks artinya kandungan naskah, sesuatu yang abstrak, dan hanya dapat
dibayangkan saja (Baroroh-Baried, 1985: 56). Onions (1974: 913 dalam
Darusuprapta, 1984: 1), mendefinisikan teks sebagai rangkaian kata-kata yang
merupakan bacaan dengan isi tertentu. Pendapat lain diungkapkan oleh Istanti
(2010: 14) bahwa teks adalah informasi-informasi yang terkandung di dalam
naskah.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa teks merupakan bagian yang
abstrak dari suatu naskah. Teks hanya dapat dibayangkan saja dan dapat diketahui
isinya jika sudah dibaca. Isi dari teks adalah berupa ide-ide, informasi, pesan atau
amanat yang akan disampaikan oleh pengarang kepada pembaca.
Menurut de Han (1993 dalam Baroroh-Baried, 1985: 57), terjadinya teks
diakibatkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu (1) aslinya hanya ada dalam
ingatan pengarang, (2) aslinya adalah teks tertulis, yaitu berupa kerangka yang
masih memerlukan kebebasan seni, dan (3) aslinya merupakan teks yang tidak
mengizinkan

kebebasan

dalam

pembawaannya

karena

pengarang

telah

menentukan pilihan kata, urut-urutan kata, dan komposisi untuk memenuhi


maksud tertentu yang ketat dalam bentuk literer. Kemudian, untuk mengetahui
kandungan teks dan seluk beluk teks dapat dilakukan penelitian lebih mendalam
dengan tekstologi. Tekstologi, yaitu ilmu yang meneliti tentang penjelmaan dan
penurunan teks serta penafsiran dan pemahaman tentang teks.
Teks Widjjkoesoem adalah salah satu kandungan/muatan naskah Srat
Skar Wijykusum. Isi dari teks Widjjkoesoem berupa piwulang laku yang

21

dijalankan oleh para abdi dalm untuk mengambil/memetik bunga wijayakusuma


di Pulau Bandung, Nusakambangan, Donan, Cilacap bersamaan pada waktu
penobatan Raja Paku Buwono VIII.
3. Tujuan Filologi
Filologi mempunyai tujuan tertentu. Tujuan filologi menurut Djamaris
(2002: 9) adalah sebagai berikut.
a. Mentransliterasikan teks dengan tugas utama menjaga keaslian/ciri khusus
penulisan kata dan menterjemahkan teks yang ditulis dalam bahasa daerah ke
bahasa Indonesia.
b. Menyunting teks dengan sebaik-baiknya dengan memperhatikan pedoman
ejaan yang berlaku, penggunaan huruf kapital, tanda-tanda baca, penyusunan
alinea, dan bagian-bagian cerita.
c. Mendeskripsikan kedudukan dan fungsi naskah dan teks yang diteliti supaya
dapat diketahui tempat karya sastra yang diteliti itu dalam kelompok atau jenis
sastra yang mana dan apa manfaat dan gunanya karya sastra itu.
d. Sebagai tambahan, tujuan kritik teks adalah membersihkan teks dari kesalahan
yang terjadi selama penyalinan berulang kali itu; merekontruksi isi naskah,
sehingga naskah telah tersusun kembali seperti semula; dan menjelaskan
bagian-bagian cerita yang kurang jelas sehingga seluruh teks dapat dipahami.
Menurut Baried-Baroroh (1985: 5), tujuan filologi dapat dibagi menjadi
dua, yaitu tujuan umum dan khusus. Tujuan umum dan tujuan khusus yang
dimaksud adalah sebagai berikut.
a. Tujuan umum filologi
a) memahami kebudayaan suatu bangsa melalui hasil sastranya, baik lisan
maupun tertulis.
b) memahami makna dan fungsi teks bagi masyarakat penciptanya.
c) mengungkapkan nilai-nilai budaya lama sebagai alternatif pengembangan
kebudayaan.
b. Tujuan khusus filologi
a) menyunting sebuah teks yang dipandang paling dekat dengan teks aslinya.
b) mengungkap sejarah terjadinya teks dan sejarah perkembangannya.
c) mengungkap resepsi pembaca pada setiap kurun penerimaannya.
Tujuan filologi dalam penelitian ini, yaitu menjadikan naskah Srat Skar
Wijykusum terutama teks Widjjkoesoem terbaca, tersunting, teredit

22

(diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia). Tujuan lain dari penelitian filologi ini
adalah mengungkapkan kandungan produk budaya masa lampau sehingga dapat
disampaikan kepada masyarakat.
4. Cara Kerja Penelitian Filologi
Cara kerja atau langkah kerja penelitian filologi adalah tahapan kerja
dalam penelitian filologi yang memiliki keterkaitan antartahapannya. Adapun cara
kerja atau langkah kerja dari penelitian filologi secara berurutan adalah sebagai
berikut.
a. Pengumpulan Data atau Inventarisasi Naskah
Tahap pertama yang harus dilakukan dalam penelitian filologi adalah
pengumpulan data yang berupa inventarisasi naskah. Inventarisasi naskah adalah
kegiatan mengumpulkan informasi mengenai keberadaan naskah-naskah yang
mengandung teks sekorpus. Naskah-naskah yang mengandung teks sekorpus,
yaitu naskah-naskah yang mengandung teks sejudul, yang dapat tercantum pada
sampul naskah luar atau sampul dalam naskah. Meskipun demikian, menurut
Saputra (2008: 81) tidak berarti bahwa naskah-naskah yang mengandung teks
sejudul berarti mengandung teks sekorpus atau sebaliknya ada kemungkinan
naskah-naskah yang tidak sama judulnya tetapi mengandung teks sekorpus.
Sebelum melakukan inventarisasi naskah, langkah awal yang harus
dilakukan adalah menentukan teks atau naskah yang akan diteliti. Kemudian, teks
dan naskah yang akan ditentukan untuk diteliti perlu dipertimbangkan dari
berbagai segi. Menurut Surono (tanpa tahun: 5), penting tidaknya suatu naskah
digarap perlu dipertimbangkan dari berbagai segi di antaranya adalah naskah

23

dipertimbangkan dari segi bobot ilmiah, manfaat bagi pembangunan bangsa, dan
sebagainya.
Pengumpulan data atau inventarisasi naskah dapat dilakukan dengan
beberapa metode, seperti metode studi pustaka dan metode studi lapangan (field
research). Metode studi pustaka menggunakan sumber data berupa katalogus
naskah yang berada di berbagai perpustakaan dan museum.
Katalog adalah buku yang memuat daftar naskah Jawa yang ditulis tangan
ataupun cetak yang menguraikan tentang keadaan naskah atau teks dengan ringkas
(Mulyani, 2009a: 2). Di dalam katalog (Behrend, 1990) disebutkan bahwa jenis isi
naskah Jawa beraneka macam, yaitu jenis (1) sejarah, (2) sarasilah, (3) hukum,
(4) wayang, (5) sastra wayang, (6) sastra, (7) piwulang, (8) Islam, (9) primbon,
(10) bahasa, (11) musik, (12) tari-tarian, (13) adat-istiadat, dan (14) lain-lain,
yaitu teks-teks yang tidak dapat digolongkan ke dalam ketiga belas jenis tersebut
dimasukkan ke dalam jenis teks lain-lain.
Dalam metode studi pustaka, sumber yang digunakan sebagai acuan tidak
hanya mengacu pada satu sumber. Sumber lain yang dapat digunakan selain
katalog adalah berupa buku-buku atau daftar naskah yang terdapat di
perpustakaan, museum, dan instansi lain yang menaruh perhatian terhadap naskah
lama.
Seperti telah disebutkan di atas bahwa kegiatan inventarisasi naskah selain
dapat dilakukan dengan metode studi pustaka, juga dapat dilakukan dengan
metode studi lapangan (field research). Metode studi lapangan (field research)
merupakan kegiatan inventarisasi naskah yang dilakukan dengan mengadakan

24

pelacakan keberadaan naskah di tempat penyimpanan, yaitu sebagai koleksi dari


museum, perpustakaan, maupun koleksi pribadi perseorangan. Beberapa hal yang
perlu diketahui terlebih dahulu dalam melakukan studi lapangan adalah tempattempat yang menyimpan naskah, sehingga diperlukan instrumen penelitian yang
berupa kuisioner yang antara lain berisi pertanyaan tentang asal-usul naskah,
pemilik naskah, fungsi naskah, dan kedudukan naskah tersebut.
Hasil dari pengumpulan data atau inventarisasi naskah adalah berupa
daftar mengenai sejumlah naskah (sekorpus) yang akan menjadi sumber data
penelitian, yaitu judul naskah, nomor koleksi, tempat penyimpanan, pemilik
naskah, dan sebagainya. Saputra (2008: 82) berpendapat bahwa hasil dari
inventarisasi naskah sekaligus memungkinkan dapat menentukan eliminasi naskah
(pencoretan naskah dari daftar naskah-naskah yang akan diteliti karena berbagai
alasan pada tahap awal).
b. Deskripsi Naskah dan Teks
Deskripsi naskah adalah penyajian informasi mengenai kondisi fisik
naskah-naskah yang menjadi objek penelitian (Saputra, 2008: 83). Selain
melakukan deskripsi naskah, sebaiknya juga melakukan deskripsi teks, hal
tersebut disebabkan karena yang menjadi objek dari penelitian filologi adalah
naskah dan teks. Deskripsi teks adalah penjelasan untuk menggambarkan keadaan
teks untuk memberikan keterangan bagaimana cara mengkaji teks yang akan
diteliti (Mulyani, 2009a: 9). Deskripsi naskah secara terperinci dapat dilakukan
setelah memperoleh naskah melalui inventarisasi naskah.

25

Metode yang digunakan dalam deskripsi naskah adalah metode deskriptif.


Semua naskah dideskripsikan dengan pola yang sama, yaitu nomor naskah,
ukuran naskah, keadaan naskah, tulisan naskah, bahasa, kolofon, garis besar isi
cerita, dan sebagainya. Hal tersebut dilakukan untuk memudahkan tahap
penelitian selanjutnya, yaitu berupa pertimbangan (recentio) dan pengguguran
(eliminatio). Kemudian, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
melakukan deskripsi naskah (Mulyani, 2009b: 31-32) adalah sebagai berikut.
1) Koleksi siapa, disimpan di mana, nomor kodeks berapa.
2) Judul bagaimana, berdasarkan keterangan dalam teks oleh penulis pertama,
atau berdasarkan keterangan yang diberikan bukan oleh penulis pertama.
3) Pengantar (manggala dan doksologi), uraian pada bagian awal di luar isi teks:
waktu mulai penulisan, tempat penulisan, nama diri penulis, alasan penulisan,
tujuan penulisan, harapan penulis, pujaan kepada Dewa Pelindung atau Tuhan
Yang Maha Esa, pujian kepada penguasa pemberi perintah atau nabi-nabi.
4) Penutup (kolofon), uraian pada bagian akhir di luar isi teks: waktu
menyelesaikan penulisan, tempat penulisan, nama diri penulis, alasan
penulisan, tujuan penulisan, harapan penulis.
5) Ukuran teks: lebar x panjang teks, jumlah halaman teks, sisa halaman kosong.
6) Ukuran naskah: lebar x panjang naskah, tebal naskah, jenis bahan naskah,
(lontar, bambu, dluwang, kertas), tanda air.
7) Isi; lengkap atau kurang, terputus atau hanya fragmen, hiasan gambar, prosa
atau puisi, jika prosa berapa rata-rata jumlah baris tiap halaman, berapa ratarata jumlah kata tiap halaman, jika puisi berapa jumlah pupuh, apa saja nama
tembangnya, berapa jumlah bait pada tiap pupuhnya.
8) Termasuk ke dalam golongan jenis naskah apa, bagaimanakah ciri-ciri jenis
itu (harus diakui belum ada pembagian jenis naskah yang seragam).
9) Tulisan:
jenis aksara/huruf
: Jawa/Jawi/Bali/Latin/Bugis/Lampung
bentuk aksara/huruf
: persegi/bulat
ukuran aksara/huruf
: besar/kecil/sedang
sikap aksara/huruf
: tegak/miring
goresan aksara/huruf
: tebal/tipis
warna tinta
: hitam/coklat
goresan tinta
: jelas/kabur
10) Bahasa
: baku, dialek, campuran, pengaruh lain.
11) Catatan oleh tangan lain :
di dalam teks
: halaman berapa, di mana, bagaimana
di luar teks pada pias tepi: halaman berapa, di mana, bagaimana
12) Catatan di tempat lain
: dibicarakan dalam daftar naskah/katalogus/artikel

26

mana saja, bagaimana hubungannya satu dengan yang lain, kesan tentang
mutu masing-masing.
Menurut Saputra (2008: 84), ada dua model deskripsi yang dapat
digunakan, yaitu model tabel dan model paparan. Keduanya masing-masing
mempunyai keunggulan dan kelemahan. Oleh karena itu, kedua model deskripsi
tersebut apabila diterapkan secara bersamaan akan saling melengkapi.
Seperti telah disebutkan di atas bahwa deskripsi yang disajikan dalam
bentuk tabel dan paparan, masing-masing mempunyai keunggulan dan kelemahan.
Adapun keunggulan dari deskripsi yang disajikan dengan model tabel, yaitu
deskripsi naskah dan teks menjadi lebih jelas dan mudah dipahami oleh pembaca
sedangkan kelemahannya, yaitu deskripsi naskah dan teks yang disajikan kepada
pembaca kurang dapat membawa pembaca berimajinasi terhadap naskah yang
dideskripsikan.
Saputra (2008: 88) menjelaskan bahwa deskripsi naskah yang disajikan
dengan model paparan, secara teknis lebih mudah diterapkan dan juga, lebih
memberikan informasi yang luas mengenai segala hal yang berkaitan dengan
naskah dan segala hal yang ditemui secara inderawi pada setiap halaman naskah.
Adapun kelemahan dari deskripsi model paparan, yaitu pembaca tidak dapat
secara langsung mengetahui rincian informasi mengenai keadaan naskah yang
dideskripsikan karena pembaca harus membaca deskripsi yang disajikan dengan
paparan tersebut secara keseluruhan.
Model deskripsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah model tabel
dan paparan. Model tabel digunakan dengan tujuan agar deskripsi naskah Srat
Skar Wijykusum dan teks Widjjkoesoem menjadi lebih jelas dan mudah

27

dipahami. Selanjutnya, hasil deskripsi naskah Srat Skar Wijykusum dan teks
Widjjkoesoem yang dibuat dalam bentuk/model tabel diperluas dengan
deskripsi model paparan.
c. Alih Tulis Teks
Salah satu tujuan dari penelitian filologi adalah pengalihtulisan atau
pengalihaksaraan suatu teks. Artinya, dengan adanya alih tulis pembaca dapat
dengan leluasa membaca teks-teks lama peninggalan nenek moyang dengan
bahasa yang dimengerti oleh pembaca masa kini. Menurut Mulyani (2009b: 20),
suatu teks supaya dapat dibaca dan dipahami hendaknya teks itu (1) ditulis dengan
aksara yang masih berlaku, (2) sudah dibersihkan dari tulisan yang rusak
(korup), dan (3) disajikan dengan bahasa yang dapat dipahami oleh masyarakat
masa kini.
Tahap alih tulis teks terdiri atas transliterasi teks, suntingan teks, dan
penyajian aparat kritik. Penjelasan lebih lanjut mengenai ketiga langkah kerja
tersebut adalah sebagai berikut.
a) Transliterasi teks
Transliterasi teks merupakan salah satu tahap atau langkah dalam
penyuntingan teks yang berupa penggantian huruf demi huruf dari abjad yang satu
ke abjad yang lain (Djamaris, 1977: 29). Misalnya, teks yang ditulis dengan huruf
atau aksara Jawa dan Arab Pegon dialihtulis atau diganti ke huruf atau aksara
Latin. Mulyani (2009a: 13) mendefinisikan transliterasi sebagai alih tulis yang
disajikan dengan jenis tulisan yang berbeda dengan tulisan yang digunakan dalam
naskah yang disalin.

28

Sifat aksara pada naskah yang ditransliterasikan berbeda dengan aksara


Latin. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika
melakukan transliterasi teks. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam
transliterasi teks (Mulyani, 2009b: 21) adalah sebagai berikut:
1) tata tulis aksara yang digunakan dalam naskah dan sifat aksara yang akan
digunakan untuk mengalihtuliskannya,
2) sifat aksara dalam naskah dan sifat aksara yang akan digunakan untuk
mengalihtuliskannya (dalam hal pemisahan kata),
3) ejaan, yaitu untuk mempertahankan variasi ejaan naskah, pengejaan kata
pinjaman terutama dalam teks yang berbentuk puisi, dan
4) pungtuasi, yaitu tanda baca yang berfungsi sebagai tanda penuturan kalimat
(koma, titik koma, titik, titik dua, tanda tanya, tanda seru, dan tanda petik) serta
tanda metra yang berfungsi sebagai tanda pembagian puisi, yaitu pembatas
larik, pembatas bait, dan tembang.
Pada tahap transliterasi teks, seorang filolog mempunyai dua tugas pokok
yang harus dilakukan. Pertama, menjaga kemurnian bahasa lama dalam naskah,
khususnya penulisan kata. Penulisan kata yang menunjukkan ciri ragam bahasa
lama dipertahankan bentuk aslinya, tidak disesuaikan penulisannya dengan
penulisan kata menurut EYD dengan tujuan agar bahasa lama dalam naskah tidak
hilang. Kedua, menyajikan teks sesuai dengan pedoman ejaan yang berlaku
sekarang, khususnya teks yang tidak menunjukkan ciri bahasa lama yang
disebutkan dalam tugas pertama di atas (Djamaris, 2002: 19-21). Oleh karena itu,
dapat disimpulkan bahwa ada dua metode transliterasi yang dapat digunakan agar
tugas filolog dapat tercapai, yaitu transliterasi diplomatik dan transliterasi standar.
Transliterasi diplomatik, yaitu alih tulis dari aksara teks ke dalam aksara
sasaran dengan tidak mengadakan perubahan pada teks yang disalin atau sesuai
apa adanya, sehingga kemurnian teks dapat terjaga dengan mempertahankan
bentuk aslinya dan tidak disesuaikan dengan pedoman Ejaan yang Disempurnakan

29

(EYD). Wiryamartana (1990: 30) menambahkan bahwa tujuan transliterasi


dengan terbitan diplomatik, yaitu agar pembaca dapat mengikuti teks, seperti yang
termuat dalam naskah sumber. Tujuan lain dari adanya transliterasi dengan
terbitan diplomatik disebutkan oleh Suyami (2001: 28), yaitu untuk memberikan
deskripsi atau gambaran yang lebih jelas mengenai keseluruhan isi teks dengan
apa adanya.
Transliterasi standar adalah alih tulis yang merupakan pengulangan dari
transliterasi diplomatik dengan cara menghilangkan hambatan-hambatan untuk
pemahaman teks (Wiryamartana, 1990: 32). Artinya, agar suatu teks dapat
dipahami oleh pembaca maka teks dialihaksarakan dari aksara yang digunakan
dalam teksnya ke dalam aksara sasaran dengan membetulkan teks-teks yang salah
disesuaikan dengan suatu sistem ejaan yang benar atau disesuaikan dengan Ejaan
yang Disempurnakan (EYD).
Pada penelitian ini, metode transliterasi yang digunakan untuk
mentransliterasi teks Widjjkoesoem adalah metode transliterasi standar.
Transliterasi standar digunakan untuk mengalihaksarakan teks Widjjkoesoem
dari aksara Jawa ke dalam aksara Latin yang kemudian disesuaikan dengan sistem
ejaan yang berlaku tanpa mengubah bentuk/ciri khas bahasa lama yang terdapat
dalam teks Widjjkoesoem. Hasil dari transliterasi standar tersebut merupakan
dasar untuk melakukan suntingan teks agar teks yang dihasilkan bersih dari
bacaan yang korup, sehingga dapat memudahkan pembacaan isi naskah bagi
pembaca yang kurang paham terhadap huruf/aksara daerah dan untuk
mempercepat pemahaman isi naskah dalam kepentingan penelitian naskah.

30

b) Suntingan teks
Setelah teks ditransliterasikan, langkah selanjutnya adalah mengadakan
suntingan teks. Darusuprapta (1984: 5) mendefinisikan suntingan teks sebagai
suatu cara yang dilakukan dalam langkah kerja penelitian filologi dengan
mengadakan

pembetulan-pembetulan,

perubahan,

penambahan,

maupun

pengurangan dengan harapan teks yang dihasilkan bersih dari segala kekeliruan.
Menurut Baroroh-Baried (1985: 69), suntingan teks dapat dibagi menjadi
dua macam, yaitu suntingan teks edisi diplomatik dan suntingan teks edisi standar.
Suntingan teks diplomatik memperlihatkan secara tepat cara mengeja kata-kata
dari naskah tesebut yang merupakan gambaran nyata mengenai konvensi pada
waktu dan tempat tertentu dan juga, memperlihatkan cara penggunaan tanda baca
yang tepat di dalam teks tersebut (Robson, 1988: 20). Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa suntingan edisi diplomatik dilakukan dengan tujuan agar
pembaca dapat mengetahui teks dari naskah sumber.
Suntingan teks edisi standar, yaitu menerbitkan naskah dengan
membetulkan kesalahan-kesalahan kecil dan ketidakajegan serta ejaannya
disesuaikan dengan sistem ejaan yang berlaku. Di dalam suntingan teks edisi
standar diadakan pembagian kata, pembagian kalimat, digunakan huruf kapital,
pungtuasi, dan juga diberikan komentar mengenai kesalahan-kesalahan yang
terdapat di dalam teks (Baroroh-Baried, 1985: 69). Suntingan teks dengan
melakukan perbaikan bacaan terdapat campur tangan peneliti dengan tujuan agar
teks dapat dimengerti dan dipahami isinya oleh pembaca.

31

Pada penelitian ini, suntingan teks yang digunakan adalah suntingan teks
edisi standar. Suntingan teks edisi standar dilakukan dengan mengadakan
perbaikan pada bacaan yang korup ataupun tidak ajeg yang disesuaikan dengan
sistem ejaan yang berlaku pada masa kini.
c) Penyajian aparat kritik
Penyajian kritik teks dalam penelitian ini disertai dengan adanya aparat
kritik (aparatus criticus). Menurut Mulyani (2009b: 29) aparat kritik (aparatus
criticus) adalah pertanggungjawaban ilmiah dari kritik teks yang berisi kelainan
bacaan (variae lectiones atau varian) yang ada dalam suntingan teks atau
penyajian teks yang sudah bersih dari korup.
Oleh karena itu, aparat kritik digunakan untuk menjelaskan segala
perubahan, pengurangan, dan penambahan yang dilakukan sebagai bentuk
pertanggungjawaban ilmiah dalam suatu penelitian naskah. Jadi, apabila dalam
suatu penelitian diadakan perubahan, penambahan, maupun pengurangan maka
dicatat dalam aparat kritik. Penyajian aparat kritik dalam suntingan disebutkan
oleh Mulyani (2009b: 29-30) dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu (1)
dicantumkan di bawah teks sebagai catatan kaki atau (2) dilampirkan di belakang
suntingan teks sebagai catatan halaman.
d. Terjemahan Teks
Terjemahan adalah pemindahan arti dari bahasa satu ke bahasa lain atau
pemindahan makna dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Terjemahan teks
dilakukan dengan tujuan agar masyarakat yang tidak paham dengan bahasa teks
dapat memahami isi teksnya, sehingga amanat atau pesan yang disampaikan
penulis dapat dipahami oleh pembaca.

32

Proses pemindahan bahasa saat melakukan terjemahan teks harus


dilakukan secara teliti dan jelas agar didapatkan hasil terjemahan teks yang baik.
Menurut Darusuprapta (1984: 9), keberhasilan terjemahan teks bergantung kepada
beberapa hal di antaranya adalah sebagai berikut.
a) Pemahaman yang sebaik-baiknya terhadap bahasa sumber, yaitu bahasa yang
diterjemahkan.
b) Penguasaan yang sempurna terhadap bahasa sasaran, yaitu bahasa yang
digunakan untuk menterjemahkan.
c) Pengenalan latar belakang penulisan, baik tentang diri penulisnya maupun
masyarakat bahasanya.
Metode terjemahan teks terdiri atas bermacam-macam metode. Menurut
Darusuprapta (1984: 9), metode terjemahan teks tersebut dapat diringkas hanya
menjadi tiga. Ketiga metode terjemahan teks yang dimaksud adalah sebagai
berikut.
1) Terjemahan harfiah, yaitu terjemahan kata demi kata, dekat dengan aslinya,
berguna untuk membandingkan segi-segi ketatabahasaan.
2) Terjemahan isi atau makna, yaitu kata-kata yang diungkapkan dalam bahasa
sumber diimbangi salinannya dengan kata-kata bahasa sasaran yang sepadan.
3) Terjemahan bebas, yaitu keseluruhan teks bahasa sumber diganti dengan
bahasa sasaran secara bebas.
Terjemahan teks pada penelitian ini dilakukan secara kontekstual dengan
menggunakan ketiga metode terjemahan teks. Ketiga metode terjemahan teks
yang dimaksud adalah terjemahan harfiah, terjemahan isi/makna, dan terjemahan
bebas.

B. Pandangan Hidup Orang Jawa


Orang Jawa didefinisikan sebagai mereka yang benar-benar trah
(keturunan) Jawa (Santosa, 2011: 9). Maksudnya, baik secara pribadi maupun

33

sosial masih berada dalam ruang lingkup kebudayaan Jawa, meskipun tidak
menetap di Pulau Jawa, tetapi memiliki kesadaran kognitif, afektif, dan
psikomotorik terhadap nilai kebudayaan Jawa dan berperan secara aktif
melestarikan adat dan budaya Jawa. Pendapat yang berbeda mengenai definisi
orang Jawa disebutkan oleh Suseno (dalam Haq, 2011: 4) bahwa orang Jawa
adalah orang yang memakai bahasa Jawa sebagai bahasa ibu dan merupakan
penduduk asli bagian tengah dan timur Pulau Jawa.
Salah satu ciri masyarakat Jawa adalah masyarakat Jawa memiliki
kepercayaan yang mengakar, yaitu kepercayaan terhadap sesuatu kekuatan di
luar alam yang mengatasi orang-orang Jawa. Orang Jawa percaya bahwa Tuhan
adalah pusat alam semesta dan pusat segala kehidupan. Pandangan orang Jawa
yang demikian menurut Haq (2011: 5) dapat disebut dengan kawul (hamba) dan
Gusti (Tuhan), yaitu pandangan yang beranggapan bahwa kewajiban moral
manusia adalah untuk mencapai harmoni dengan kekuatan terakhir dan pada
kesatuan terakhir untuk itulah manusia harus menyerahkan diri secara total selaku
kawul (hamba) terhadap Gusti-nya (Tuhan).
Dengan

adanya

kapercayaan

yang

mengakar

tersebut,

sehingga

menumbuhkan suatu pandangan hidup masyarakat Jawa. Pandangan hidup


merupakan suatu abstraksi dari pengalaman hidup. Pandangan hidup adalah suatu
ide, gagasan, cita-cita, pola pikir, paham, kepercayaan, atau kumpulan konsep
yang dijadikan pedoman pengaturan mental dari pengalaman hidup yang
kemudian dapat mengembangkan suatu sikap untuk menentukan tujuan hidup,
moral, serta perilaku seseorang maupun masyarakat (Santosa, 2011: 9).

34

Pandangan hidup juga dapat diartikan sebagai pengaturan mental dari pengalaman
hidup yang kemudian dapat berkembang menjadi suatu sikap terhadap
kehidupannya.
Ciri pandangan hidup orang Jawa adalah realitas yang mengarah kepada
pembentukan kesatuan numinus antara alam nyata, masyarakat, dan alam
adikodrati yang dianggap keramat. Orang Jawa meyakini bahwa kehidupan di
dunia sudah digariskan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan kedudukan manusia
sebagai hamba yang wajib menjalankan segala sesuatu yang telah digariskan
tersebut.
Dasar kepercayaan Jawa atau Javanisme adalah keyakinan bahwa segala
sesuatu yang ada di dunia ini hakikatnya merupakan satu kesatuan hidup.
Javanisme memandang kehidupan manusia selalu berhubungan erat dalam
kosmos raya.
Menurut pandangan hidup orang Jawa, kehidupan manusia dirumuskan
berada pada dua kosmos (alam), yaitu makrokosmos (jagad gdh) dan
mikrokosmos (jagad cilik). Makrokosmos dalam alam pikiran orang Jawa adalah
sikap dan pandangan hidup terhadap alam semesta yang mengandung kekuatan
supranatural dan penuh dengan hal-hal yang bersifat misterius. Mikrokosmos
dalam pikiran orang Jawa adalah sikap dan pandangan hidup terhadap dunia
nyata. Tujuan utama dalam hidup adalah mencari serta menciptakan keselarasan
atau keseimbangan antara kehidupan makrokosmos dan mikrokosmos.
Pandangan

hidup

orang

Jawa

yang

meyakini

tentang

adanya

keseimbangan yang harmonis antara mikrokosmos dan makrokosmos, dapat

35

dilihat dari beberapa perilaku orang Jawa dalam kehidupannya. Menurut Santosa
(2011: 10-21), realitas keseharian hidup orang Jawa yang mencerminkan
pandangan hidup orang Jawa, misalnya: 1)

tradisi slamtan (selamatan), 2)

kebiasaan mempunyai kalangnan (kesenangan terhadap sesuatu), 3) puasa, dan


4) keyakinan mengenai bndh dony mung sadrm anggadhuh pparing Gusti
Kang Akary Jagad, yaitu harta benda merupakan anugerah dan titipan dari
Tuhan yang menciptakan alam semesta, dan 5) kematian, orang Jawa meyakini
bahwa setiap perbuatan akan berpengaruh terhadap kematian seseorang.

C. Laku Manusia Jawa dalam Naskah Jawa


Dari latar belakang pandangan manusia Jawa terhadap kehidupan,
menimbulkan orientasi manusia Jawa dalam segi kehidupannya. Adapun beberapa
orientasi hidup manusia Jawa (Santosa, 2011: 22-25) adalah sebagai berikut.
1. Menjadi manusia unggul, yaitu memilki kemampuan melebihi orang lain
memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas, dan memiliki budi yang
luhur, bijaksana, dan berwibawa.
2. Hidup tenteram dan berkecukupan, yaitu kehidupan yang harmonis, seimbang,
tenteram lahir dan batin.
3. Patmbayatan hidup, yaitu meliputi kecukupan materi yang harus diusahakan
dengan kerja keras, tolong menolong, bahu-membahu, dan membalas budi baik
orang lain.
4. Kesempurnaan batin, yaitu memiliki semangat yang tinggi dalam ngudi
kasampurnaning batin (berusaha mencapai kesempurnaan batin).
5. Mencari surga, yaitu orientasi manusia Jawa di dunia adalah berbuat amalan
yang baik dan benar sebagai bekal kehidupan di akhirat.
Kelima pandangan hidup manusia Jawa di atas saling berhubungan satu
sama lain. Kelima pandangan hidup tersebut adalah sebagai pandangan hidup
primer manusia Jawa yang kemudian akan menurunkan pandangan-pandangan
hidup sekunder manusia Jawa.

36

Dengan adanya pandangan hidup kemudian melahirkan orientasi atau citacita hidup orang Jawa, misalnya orientasi untuk hidup sukses di dunia. Untuk
dapat mencapai orientasi hidup tersebut, manusia Jawa berusaha dengan
menjalankan berbagai laku. Laku yang dijalankan tersebut adalah laku yang
berdasarkan pada keyakinan manusia Jawa dalam berbagai segi kehidupannya.
Laku tersebut kemudian mengakar sebagai suatu bentuk laku kejawen yang
mentradisi.
a. Tp atau smadi
Definisi tp dalam arti sempit adalah suatu laku atau jalan hidup untuk
menggapai anugerah Tuhan (wahyu) atau dalam rangka mencapai tujuan mmayu
hayuning bawn (menjaga ketenteraman, kesejahteraan, dan keseimbangan
dunia). Pelaku tp hanya mencakup pada raja-raja atau orang-orang tertentu.
Kemudian, tp diartikan secara luas, yaitu sebagai suatu usaha manusia untuk
mengendalikan diri dari nafsu-nafsu duniawi yang berpengaruh negatif terhadap
diri seseorang.
Laku tp biasanya dijalankan bersamaan dengan smadi. Smadi berasal
dari bahasa Sansekerta, yaitu samadhi yang berarti maju ke depan untuk mencapai
kesempurnaan, memperoleh keyakinan, dan mengatasi kesukaran dalam
kehidupan. Smadi juga dapat diartikan sebagai suatu situasi yang sunyi dengan
memusatkan pikiran serta hati nurani dan berkontemplasi.
Laku tp sering dilakukan oleh orang-orang zaman dahulu. Menurut
Santosa (2011: 135), laku tp juga dilakukan oleh Panembahan Senapati seperti
yang tercantum dalam Srat Wedhtm, yaitu terdapat pada Pupuh Sinom.

37

nulad laku utam / tumraping wong tanah Jawi / wong agung ing Ngksignd
/ Panmbahan Snpati / kepati amarsudi / sudann hw lan napsu / pinsu tp
brt / tanapi ing siyang ratri / amamangun kary nak tyasing sasm //
Terjemahan
Tirulah tindakan atau pekerti utama bagi orang Jawa, yaitu orang besar
dari Mataram, Panembahan Senapati. Beliau selalu berdaya upaya mencegah
keinginan hawa nafsu, dengan disertai laku prihatin bertapa. Di samping itu,
setiap hari selalu membuat orang lain senang.
b. Puasa
Seperti telah disebutkan di atas bahwa puasa biasanya dilakukan oleh
orang Jawa bersamaan dengan tp. Selain itu, puasa juga dilakukan oleh orang
Jawa ketika akan menyambut hari-hari keagamaan seperti puasa di bulan
Ramadhan. Di dalam masyarakat Jawa, juga banyak dijumpai orang-orang Jawa
yang melakukan puasa karena adat kepercayaan mereka, misalnya puasa mutih,
puasa wton, puasa Snn Kmis, dan sebagainya.
Puasa yang dilakukan tersebut mempunyai makna yang penting bagi orang
Jawa. Makna puasa yang dilakukan oleh orang Jawa, yaitu puasa sebagai suatu
bentuk ibadah, puasa digunakan sebagai sarana penguatan batin, dan puasa
digunakan sebagai upaya penyucian batin untuk mencapai kesempurnaan rohani.
Laku puasa sudah ada sejak dahulu dan dicontohkan oleh para leluhur
orang Jawa. Ajaran untuk menjalankan laku puasa tersebut seperti tercantum
dalam kutipan Srat Wulangrh, yaitu pada Pupuh Kinanthi (Widyawati, 2009:
tanpa halaman).
pdh gulangn ing kalbu / ing sasmita amrih lantip / j pijr mangan nndr /
kaprawiran kang dn sthi / pesunn sarir nir / sudann dhahar lan guling //

38

dadi lakunirku / cgah dhahar lawan guling / lan j kasukan-sukan /


anganggo sawatawis / l watk wong suk / nyud prayitn ing batin //
Maksud kedua bait Pupuh Kinanthi di atas adalah piwulang untuk
menahan nafsu yang dapat dilakukan dengan cara menjalankan puasa, yaitu
dengan cara mengurangi makan, minum, tidur, dan berpenampilan apa adanya.
Laku tersebut tidak hanya memiliki tujuan yang berdampak bagi dirinya sendiri,
melainkan untuk dapat mempertahankan keseimbangan batin dan untuk dapat
berkelakuan sesuai dengan tuntutan keselarasan sosial.
c. Menyepi
Menyepi adalah suatu upaya menjalani kesendirian, meninggalkan
keramaian, keluarga, dan pekerjaan dalam waktu-waktu tertentu, dalam rangka
melakukan perenungan, olah batin, smadi, dan sebagainya. Menyepi juga dapat
diartikan sebagai laku tp yang dilakukan karena didasari oleh suatu tujuan,
misalnya untuk mendapatkan wahyu, untuk merenungi segala perilaku yang
pernah dilakukan, dan sebagainya. Laku nyepi juga merupakan salah satu tindakan
yang dapat dilakukan guna mengasah hati untuk menjadi manusia utama. Hal
tersebut tercermin dalam petikan Srat Wdhtm pada Pupuh Sinom
(Hadiatmaja, 2010: 73).
mangkono janm utm / tuman tumanming spi / ing sabn rikl mngs /
masah ammasuh budi / lair antpi / ing rh kasatriyanipun / susil anor rg /
wigny mt tyasing sasami / yka aran wong brag agm //
Terjemahan:
Begitulah manusia utama. Gemar membiasakan diri berada di alam sepi
(menyingkir dari dunia ramai). Pada saat-saat tertentu mengasah hati
membersihkan jiwanya. Manifestasinya dengan cara berpegang teguh pada

39

kedudukan sebagai ksatria, bertingkah laku yang baik, pandai membuat senang
orang lain. Kesemuanya itu, adalah gambaran orang yang serba baik dalam
menjalankan agama.
d. Menghormati arwah leluhur
Orang Jawa selain percaya kepada Tuhan sebagai Dzat yang paling tinggi,
mereka juga percaya terhadap adanya roh-roh leluhur. Kepercayaan tersebut
kemudian diaplikasikan dengan adanya bentuk penghormatan di makam para
leluhur dengan cara memberikan sajn, membakar kemenyan, atau dupa, dan
menabur bunga. Pada zaman sekarang ritus menghormati arwah leluhur seperti itu
disebut dengan ziarah. Para peziarah tersebut biasanya membacakan doa-doa dan
tahlil.
Selain dengan ziarah, untuk menghormati arwah leluhur juga dapat
dilakukan dengan cara mengadakan slamtan. Slamtan merupakan unsur penting
yang sering dijumpai dalam setiap bentuk upacara yang ada di dalam tatanan
hidup orang Jawa baik upacara kehamilan, kelahiran, pernikahan, maupun
kematian. Adapun tujuan dari diadakannya slamtan tidak hanya untuk
memelihara solidaritas masyarakat, tetapi juga dalam rangka memelihara
hubungan baik dengan arwah nenek moyang.
e. Memperbaiki akhlak, moral, dan perilaku
Orang Jawa dituntut untuk berlaku jujur, baik dalam perilaku maupun
tutur kata. Ritualisasi laku tersebut banyak diajarkan oleh nenek moyang yang
tertulis dalam naskah Jawa. Menurut Srat Darmo Wasito (Haq, 2011: 82), ada
beberapa hal yang harus dilakukan agar kehidupan seseorang dapat mencapai

40

kesuksesan, yaitu dengan bertindak dan berperilaku yang baik di antaranya luruh
(sabar), trapsil (sopan santun), mardw (lembut/halus), manut mring caraning
bngs (patuh dengan tata cara negara), andhap asor (sopan santun), mnng
(diam), prasj (sederhana), tp salir (tenggang rasa/saling tolong-menolong),
ling (sadar), dan ulah batin (olah batin).

D. Penelitian yang Relevan


Ada dua judul penelitian yang dapat dijadikan sebagai acuan penelitian
yang relevan, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Amri (2010) dengan judul
Tinjauan Filologi Teks Serat Wulang Bratasunu dan penelitian yang dilakukan
oleh Istikomah (2012) dengan judul Tinjauan Filologi Serat Darmawirayat.
Kedua penelitian tersebut relevan dengan penelitian ini dalam beberapa hal, yaitu
kesamaan dalam sumber data penelitian yang digunakan dan kesamaan dalam
metode penelitian yang digunakan.
Sumber data penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa
naskah lama yang termasuk jenis naskah piwulang yang ditulis dengan
menggunakan aksara Jawa dan bahasa pada teksnya menggunakan bahasa Jawa
Baru. Begitu juga dengan sumber data penelitian yang digunakan oleh Amri
(2010) dan Istikomah (2012), keduanya menggunakan naskah lama yang
dikategorikan sebagai naskah jenis piwulang, ditulis dengan aksara Jawa, dan
menggunakan bahasa Jawa Baru.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan oleh
Amri (2010) maupun Istikomah (ini. Metode deskriptif digunakan untuk
mendeskripsikan isi dari kandungan teks setelah teks tersebut digarap dengan

41

metode penelitian filologi. Adapun langkah kerja penelitian yang digunakan


dalam penelitian yang dilakukan oleh Amri (2010) dan Istikomah (2012), juga
mempunyai kesamaan. Langkah kerja penelitian filologi yang dimaksud, meliputi
inventarisasi naskah, deskripsi naskah, transliterasi teks, suntingan teks dengan
penyajian aparat kritik, dan terjemahan teks.
Selain memiliki kesamaan, kedua penelitian di atas juga memiliki
beberapa perbedaan dengan penelitian ini. Adapun perbedaannya, yaitu bentuk
teks dari naskah yang diteliti dan kajian terhadap kandungan teksnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Amri (2010) maupun Istikomah (2010)
menggunakan teks yang digubah dalam bentuk tembang mcpat, sedangkan teks
yang digunakan dalam penelitian ini digubah dalam bentuk gancaran. Perbedaan
lainnya adalah terletak pada kajian terhadap kandungan teksnya. Penelitian yang
dilakukan oleh Amri (2010) maupun Istikomah (2010) mengkaji tentang nilainilai moral sedangkan penelitian ini mengkaji tentang beberapa laku yang
dijalankan oleh para abdi dalm ketika diperintah oleh raja untuk mengambil
bunga wijayakusuma di Pulau Bandung, Nusakambangan, Donan, Cilacap.
Meskipun demikian, kedua penelitian tersebut tetap dapat dijadikan
sebagai salah satu acuan atau sumber tertulis dalam penelitian ini. Hal tersebut
berdasarkan pada persamaan-persamaan antara kedua penelitian yang telah
disebutkan di atas dengan penelitian ini, yaitu mendukung penelitian ini dari segi
metode penelitian (langkah-langkah penelitian) dan teori yang digunakan.
2012), yaitu metode penelitian deskriptif filologis. Metode penelitian deskriptif
filologis, juga digunakan dalam penelitian.

Anda mungkin juga menyukai