Pembimbing :
dr Saptoyo Argo Morosidi, Sp.M
NIM
: 11-2014-256
Dr. Pembimbing
: dr Saptoyo A M , Sp.M
-------------------
STATUS PASIEN
I.
II.
IDENTITAS
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Agama
Pekerjaan
Alamat
Tanggal Pemeriksaan
: Tn AH
: 65 tahun
: laki-laki
: Islam
: Pensiunan
: Bogor
: 28 Mei 2015
ANAMNESIS
Dilakukan Autoanamnesis pada tanggal 28 Mei 2015
Keluhan Utama:
Pandangan kedua mata buram sejak 2 tahun sebelum masuk rumah sakit
Keluhan Tambahan:
Silau jika melihat cahaya. Kadang mata terasa pegal saat membaca.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh pandangan buram secara perlahan sejak 2 tahun sebelum
masuk rumah sakit dan semakin memburuk 3 bulan lalu. Keluhan buram seperti
ditutupi kabut asap saat melihat jauh maupun dekat. Silau jika melihat cahaya
contohnya cahaya dari layar hp, tidak ada melihat melihat warna pelangi saat melihat
cahaya silau. Mata tidak sering berair. Kadang mata kering dan gatal tidak dikucek,
sudah berobat ke dokter diberi obat tetes mata dan keluhan sudah membaik. Tidak ada
rasa mengganjal. Luas pandangan tidak menyempit. Riwayat mata merah dan belek di
sangkal. Riwayat trauma pada mata dan rasa nyeri disangkal.
Ada riwayat pemakaian kacamata baca sejak lima tahun lalu, mulai terasa
tidak enak dipakai lagi sejak 2 tahun lalu. Ada riwayat kencing manis sejak 12 tahun
lalu terkontrol dengan konsumsi obat. Tiga tahun lalu gula darah pernah naik hingga
mencapai 450 mg/dl. Riwayat hipertensi disangkal. Riwayat mual muntah dan sakit
kepala disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu
a. Umum
1. Asthma
: tidak ada
2. Alergi
: tidak ada
3. DM
: ada
4. Hipertensi
: tidak ada
5. Dislipidemia
: tidak ada
b. Mata
1. Riwayat sakit mata sebelumnya
2. Riwayat penggunaan kaca mata
3. Riwayat operasi mata
4. Riwayat trauma mata sebelumnya
: Tidak ada
: ada
: Tidak ada
: Tidak ada
PEMERIKSAAN FISIK
A. STATUS GENERALIS
Keadaan Umum
: Baik
Kesadaran
: Compos Mentis
Tanda Vital
: Tekanan Darah
Nadi
Respirasi
Suhu
: 110/70mmHg
: 76 x/menit
: 22 x/menit
: 36.7oC
Kepala/leher
Thorax, Jantung
Paru
Abdomen
Ekstremitas
B. STATUS OPTHALMOLOGIS
OD
0,16 ph 0,25
koreksi S -1,50 = 0,25
Add +3,00
N
Orthoforia
Edema (-), Hiperemis (-)
PEMERIKSAAN
Visus
TIO
Posisi Bola Mata
Palpebra
OS
0,16 ph 0,25
koreksi S -1,50 = 0,25
Add +3,00
N
Orthoforia
Edema (-), Hiperemis (-)
spasme (-)
Tenang
Jernih
Dalam
Bulat, sentral, refleks
Konjungtiva
Cornea
COA
spasme (-)
Tenang
Jernih
Dalam
Bulat, sentral, refleks
Iris/Pupil
Lensa
Vitreus
Fundus
Konfrontasi Test
PEMERIKSAAN LAIN
Tidak dilakukan
RESUME
Anamnesis
Pasien mengeluh pandangan buram sejak 2 tahun sebelum masuk rumah sakit dan
semakin memburuk 3 bulan lalu. Keluhan buram seperti ditutupi kabut asap saat
melihat jauh maupun dekat. Silau jika melihat cahaya contohnya cahaya dari layar hp.
Kadang mata kering dan gatal tidak dikucek, sudah berobat ke dokter diberi obat tetes
mata dan keluhan sudah membaik. Ada riwayat pemakaian kacamata baca sejak lima
tahun lalu, mulai terasa tidak enak dipakai lagi sejak 2 tahun lalu. Ada riwayat
kencing manis sejak 12 tahun lalu terkontrol dengan konsumsi obat. Tiga tahun lalu
gula darah pernah naik hingga mencapai 450 mg/dl.
PEMERIKSAAN
Visus
Lensa
Fundus
OS
0,16 ph 0,25
koreksi S -1,50 = 0,25
Add +3,00
Keruh, Shadow test (+)
RF (+), sulit dinilai
DIAGNOSIS KERJA
1. Katarak Senilis Imatur ODS
2. Presbiopia
3. Diabetes Melitus tipe 2
VII.
DIAGNOSIS BANDING
1a. Katarak ec Diabetes mellitus tipe 2
VIII.
PEMERIKSAAN ANJURAN
a. Gula darah sewaktu
b. Gula darah puasa
c. HbA1C
IX.
PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
1. Potasium Iodide + Sodium Iodide 3mg Ed fl no I S 3 dd gtt 1 ODS
2. Glibenklamid tab 5mg no X S 2 dd tab I
3. Gliklazid tab 80mg no X S 2 dd tab I
Non medikamentosa
1. Pemberian kacamata sesuai koreksi setelah pemeriksaan gula darah dan visus
diperiksa ulang
Edukasi:
1. Konsulkan ke spesialis mata untuk mendapatkan penanganan selanjutnya
2. Konsulkan ke spesialis penyakit dalam untuk pengontrolan diabetes melitus
3. Katarak jika sudah mengganggu penglihatan sebaiknya dioperasi jika gula
darah terkontrol.
IX.
PROGNOSIS
1.
Ad Vitam
Ad Fungsionam
Ad Sanationam
2.
Ad Vitam
Ad Fungsionam
Ad Sanationam
3.
Ad Vitam
Ad Fungsionam
Ad Sanationam
:
:
:
Bonam
Bonam
Dubia ad malam
PENDAHULUAN
Mata adalah suatu organ indra yang khusus yang berfungsi untuk meneruskan cahaya
sehingga kita dapat melihat. Fungsi mata sendiri adalah untuk melihat. Jika manusia
kehilangan indra pengelihatan, maka fungsi manusia akan menurun sangat drastis. Ketika
fungsi fisiologisnya terganggu, maka akan timbul penyakit sehingga pasien akan mencari
pertolongan untuk mengatasi keluhan-keluhannya tersebut.
Mata sendiri berfungsi jika media refraks dapat meneruskan cahaya untuk ditangkap
oleh saraf yang langsung terhubung ke otak. Jika media refraksi terdapat gangguan, maka
fungsi pengelihatan sendiri akan terganggu karena cahaya tidak dapat diterukan oleh mata ke
otak. Bagian media refraksi sendiri mulai dari air mata, kornea, kamera okuli anterior, kamera
okuli posterior lensa, vitreus lalu terakhir adalahretina terutama pada macula. Setelah dari
macula akan diteruskan oleh nervus optikus ke otak.
Salah satu gangguan dari pembahasan ini adalah bagian media refraksi dimana lensa
menjadi keruh sehingga pengelihatan menjadi tidak baik. Disamping itu, terdapat juga
kelaianan dari vitreus atau badan kaca yang menyebabkan pengelihatan juga menjadi gelap
akibat cahay tidak dapat melewati badan kaca untuk menangkap rangsang cahaya.
Akan tetapi, kelaianan tidak hanya sebatas pada media refraksi saja, kelaian refraksi
juga dapat mengganggu pengelihatan. Kelainan refraksi adalah focus cahaya yang tidak jatuh
pada macula sehingga bayangan yang diterima oleh otak tidak jelas atau kabur. Misalnya
bayangan jika jatuh di depan retina maka kita akan mengalami rabun jauh dan jika bayangan
jatuh di belakang retina maka pengelihatan akan menjadi rabun dekat .
Maka dari itu kita perlu mengetahui bagaimana sebenarnya kelainan yang terjadi
apakah merupakan suatu kelainan di media atau hanya bagian refraksi saja.
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi
Anatomi dan fisiologi mata sangat rumit dan mengaggumkan. Secara konstan mata
menyesuaikan jumlah cahaya yang masuk, memusatkan perhatian pada objek yang dekat dan
jauh serta menghasilkan gambaran yang kontinu yang dengan segera dihantarkan ke otak.
Mata memiliki struktur sebagai berikut :
Sklera : merupakan lapisan luar mata yang bewarna putih dan relatif kuat.
Konjungtiva : selaput tipis yang melapisi bagian dalam kelopak mata dan bagian sclera.
Kornea : struktur transparan yang menyerupai kubah, merupakan pembungkus dari iris,
Humor aqueus : caian jernih dan encer yang mengalir diantara lensa dan kornea (mengisi
segmen anterior bola mata) serta merupakan sumber makanan bagi lensa dan kornea,
Anatomi lensa
Pada manusia, lensa mata bikonveks, tidak mengandung pembuluh darah (avaskular),
tembus pandang, dengan diameter 9 mm dan tebal 5 mm. Ke depan berhubungan dengan
cairan bilik mata, ke belakang berhubungan dengan badan kaca. Digantung oleh Zunula zinii
(Ligamentum suspensorium lentis), yang menghubungkannya dengan korpus siliaris.
Permukaan posterior lebih cembung daripada permukaan anterior. Lensa diliputi oleh kapsula
lentis, yang bekerja sebagai membran yang sempermiabel, yang akan memperoleh air dan
elktrolit untuk masuk.
Disebelah depan terdapat selapis epitel subkapsular. Nukleus lensa lebih keras
daripada korteksnya. Sesuai dengan bertambahnya usia, serat-serat lamelar subepitel terus
diproduksi, sehingga lensa lama-kelamaan menjadi lebih besar dan kurang elastik. Nukleus
dan korteks terbentuk dengan persambungan lamellae ini ujung ke ujung berbentuk ( Y ) bila
dilihat dengan slitlamp. Bentuk ( Y ) ini tegak di anterior dan terbalik di posterior. Lensa
ditahan ditempatnya oleh ligamen yang dikenal zonula zinii, yang tersusun dari banyak fibril
dari permukaan korpus siliaris dan menyisip ke dalam ekuator lensa.
Lensa terdiri atas 65% air dan 35% protein (kandungan tertinggi diantara jaringanjaringan tubuh), dan sedikit sekali mineral yang biasa berada di dalam jaringan tubuh lainnya.
Kandungan kalium lebih tinggi di lensa daripada dikebanyakan jaringan lain. Asam askorbat
dan glutation terdapat dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi. Tidak ada serat nyeri,
pembuluh darah atau saraf di lensa.
Fisiologi lensa
Fungsi utama lensa adalah memfokuskan berkas cahaya ke retina. Utuk memfokuskan
cahaya datang dari jauh, otot-otot siliaris relaksasi, menegangkan serat zonula zinii dan
memperkecil diamter anteroposterior lensa sampai ukurannya yang terkecil, dalam posisi ini
daya refraksi lensa diperkecil sehingga berkas cahaya paralel akan terfokus ke retina. Untuk
memfokuskan cahaya dari benda dekat, otot siliaris berkontraksi sehingga tegangan zonula
berkurang. Kapsul lensa yang elastik kemudian mempengaruhi lensa menjadi lebih sferis
diiringi oleh peningkatan daya biasnya. Kerjasama fisiologis antar zonula, korpus siliaris, dan
lensa untuk memfokuskan benda dekat ke retina dikenal sebagai akomodasi. Pada orang
dewasa lensanya lebih padat dan bagaian posterior lebih konveks. Proses sklerosis bagian
sentral lensa, dimulai pada masa kanak-kanak dan terus berlangsung perlahan-perlahan
sampai dewasa dan setelah ini proses bertambah cepat, dimana nukleus menjadi besar dan
korteks bertambah tipis. Pada orang tua lensa lebih besar, lebih gepeng, warnanya
kekuningan, kurang jernih dan tampak seperti gray reflek atau senil reflek, yang sering
disangka katarak. Karna proses sklerosis ini lensa menjadi kurang elastis dan daya
akomodasinya berkurang. Keadaan ini disebut presbiopia, dimana pada orang Indonesia
dimulai pada usia 40 tahun.
Definisi katarak
Etiologi katarak
Sebagian besar katarak terjadi karena proses degeneratif atau bertambahnya usia
seseorang. Usia rata-rata terjadinya katarak adalah pada umur 60 tahun keatas. Akan tetapi,
katarak dapat pula terjadi pada bayi karena sang ibu terinfeksi virus pada saat hamil muda.
Penyebab katarak lainnya meliputi:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
Faktor keturunan
Cacat bawaan sejak lahir
Masalah esehatan, misalnya diabetes
Pengguanaan obat tertentu, khususnya steroid
Gangguan pertumbuhan
Mata tanpa pelindung terkena sinar matahari dalam waktu yang cukup lama
Asap rokok
Operasi mata sebelumnya
Trauma (kecelakaan) pada mata
Faktor-faktor lainnya yang belum diketahui
Patofisiologi katarak
Terdapat 2 teori yang menyebabkan terjadinya katarak yaitu teori hidrasi dan sklerosis:
1. Teori hidrasi terjadi kegagalan mekanisme pompa aktif pada epitellensa yang
berada di subkapsular anterior, sehingga air tidak dapatdikeluarkan dari lensa. Air
yang
banyak
ini
akan
menimbulkan bertambahnya
tekanan
osmotik
Katarak Developmental
Katarak kongenital
Katarak kongenital adalah katarak yang ditemukan pada bayi ketika lahir (atau
beberapa saat kemudian) dan berkembang pada tahun pertama dalam hidupnya. Katarak
kongenital bisa merupakan penyakit keturunan (diwariskan secara autosomal dominan) atau
bisa disebabkan oleh infeksi kongenital, seperti campak Jerman, berhubungan dengan
penyakit anabolik, seperti galaktosemia. Katarak kongenital dianggap sering ditemukan pada
bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu yang menderita penyakit misalnya Diabetes Melitus. Jenis
katarak ini jarang sering terjadi. Faktor risiko terjadinya katarak kongenital adalah penyakit
metabolik yang diturunkan, riwayat katarak dalam keluarga, infeksi virus pada ibu ketika
bayi masih dalam kandungan. Kekeruhan pada katarak kongenital dijumpai dalam berbagai
bentuk, antara lain :
a. Katarak Hialoidea yang persisten
Arteri hialoidea merupakan cabang dari arteri retina sentral yang memberi makan
pada lensa. Pada usia 6 bulan dalam kandungan, arteri hialoidea mulai diserap sehingga pada
keadaan normal, pada waktu bayi lahir sudah tidak nampak lagi. Kadang-kadang penyerapan
tidak berlangsung sempurna, sehingga masih tertinggal sebagai bercak putih dibelakang
lensa, berbentuk ekor yang dimulai di posterior lensa. Gangguan terhada visus tidak begitu
banyak. Visus biasanya 5/5, kekeruhannya statisioner, sehingga tidak memerlukan tindakan.
b. Katarak Polaris Anterior
Berbentuk piramid yang mempunyai dasar dan puncak, karena itu disebut juga
katarak piramidalis anterior. Puncaknya dapat kedalam atau keluar. Keluhan terutama
mengenai penglihatan yang kabur waktu terkena sinar, karena pada waktu ini pupil mengecil,
sehingga sinar terhalang oleh kekeruhan di polus anterior. Sinar yang redup tidak terlalu
mengganggu, karena pada cahaya redup, pupil melebar, sehingga lebih banyak cahaya yang
dapat masuk. Pada umumnya tiddak menimbulkan gangguan stationer, sehingga tidak
memerlukan tinakan operatif. Dengan pemberiann midriatika, seperti sulfas atropin 1% atau
homatropin 2% dapat memperbaiki visus, karena pupil menjadi lebih lebar, tetapi terjadi pula
kelumpuhan dari Mm. Siliaris, sehingga tidak dapat berakomodasi
c. Katarak Polaris Posterior
Kekeruhan terletak di polus posterior. Sifat-sifatnya sama dengan katarak polaris
anterior. Juga stationer, tidak menimbulkan banyak ganggan visus, sehingga tidak
memerlukan tindakan operasi. Tindakan yang lain sama dengan katarak polaris anterior.
d. Katarak Aksialis
Kekeruhan terletak pada aksis pada lensa. Kelainan dan tindakan sama dengan katarak
polaris posterior
e. Katarak Zonularis
Mengenai daerah tertentu, biasanya disertai kekeruhan yang lebih padat, tersusun
sebagai garia-garis yang mengelilingi bagian yang keruh dan disebut riders , merupakan
tanda khas untuk katarak zonularis. Paling sering terjadi pada anak-anak, kadang herediter
dan sering disertai anamnesa kejang-kejang. Kekeruhannya berupa cakram (diskus),
mengelilingi bagian tengah yang jernih.
f. Katarak Stelata
Kekeruhan terjadi pada sutura, dimana serat-serat dari substansi lensa bertemu, yang
merupakan huruf Y yang tegak di depan dan huruf Y terbalik di belakang. Biasanya tidak
banyak mengganggu visus, sehingga tidak memerlukan pengobatan.
g. Katarak kongenital membranasea
Terjadi kerusakan dai kapsul lensa, sehingga substansi lensa dapat keluar dan di serap,
maka lensa semakin menadi tipis dan akhirnya timbul kekeruhan seperti membran.
h. Katarak kongenital total
Katarak kongenital total disebabkan gangguan pertumbuhan akibat peradangan
intrauterin. Katarak ini mungkin herediter atau timbul tanpa diketahui sebabnya. Lensa
tampak putih, rata, keabu-abuan seperti mutiara.
i. Katarak juvenil
Katarak juvenil terjadi pada anak-anak sesudah lahir, termasuk kedalam katarak
Developmental, karena terjadi pada waktu masih terjadinya perkembangan serat-serat lensa.
Konsistensinya lembek seperi bubur disebut juga soft cataract . katarak juvenil biasanya
merupakan kelanjutan katarak kongenital. Pada katarak kongenital bilateral yang lengkap,
operasi harus dikerjakan pada bulan pertama, sejarak katarak itu diketahui pada kedua mata.
Katarak unilateral lengkap biasanya akibat trauma. Tindakan pembedahan harus dilakukan
jangan melebihi 6 bulan setelah katarak itu diketahui, untuk menghindari ambliopia dan
terjadinya strabismus.
Kapsul : menebal dan kurang elastis (1/4 dibanding anak), mulai presbiopia,
Insipien
Imatur
Matur
Hipermatur
1. Stadium Insipien
Pada stadium ini belum menimbulkan gangguan visus. Visus pada stadium ini bisa
normal atau 6/6 6/20. Dengan koreksi, visus masih dapat 5/5 5/6. Kekeruhan
terutamaterdapat pada bagian perifer berupa bercak-bercak seperti baji (jari-jari roda),
terutama mengenai korteks anterior, sedangkan aksis masih terlihat jernih. Gambaran ini
disebut Spokes of wheel, yang nyata bila pupil dilebarkan.
2. Stadium Imatur
Sebagian lensa keruhtetapi belum mengenai seluruh lapis lensa. Visus pada stadium
ini 6/60 1/60. Kekeruhan ini terutama terdapat dibagian posterior dan bagian belakang
nukleus lensa. Kalau tidak ada kekeruhan di lensa, maka sinar dapat masuk ke dalam mata
tanpa ada yang dipantulkan. Oleh karena kekeruhan berada di posterior lensa, maka sinar
oblik yang mengenai bagian yang keruh ini, akan dipantulkan lagi, sehingga pada
pemeriksaan terlihat di pupil, ada daerah yang terang sebagai reflek pemantulan cahaya pada
daerah lensa yang eruh dan daerah yang gelap, akibat bayangan iris pada bagian lensa yang
keruh. Keadaan ini disebut shadow test (+). Pada stadium ini mungkin terjadi hidrasi korteks
yang mengakibatkan lensa menjadi cembung, sehingga indeks refraksi berubah karena daya
biasnya bertambah dan mata menjadi miopia. Keadaan ini dinamakan intumesensi. Dengan
mencembungnya lensa iris terdorong kedepan, menyebabkan sudut bilik mata depan menjadi
lebih sempit, sehingga dapat menimbulkan glaukoma sebagai penyulitnya.
3. Stadium Matur
Kekeruhan telah mengenai seluruh massa lensa, sehingga semua sinar yang melalui
pupil dipantulkan kembali ke permukaan anterior lensa. Kekeruhan seluruh lensa yang bila
lama akan mengakibatkan klasifikasi lensa. Visus pada stadium ini 1/300. Bilik mata depan
akan berukuran kedalaman normal kembali, tidak terdapat bayangan iris pada lensa yang
keruh, sehingga uji bayangan iris negatif (shadow test (-) ). Di pupil tampak lensa seperti
mutiara.
4. Stadium Hipermatur
Pada stadium hipermatur terjadi proses degenerasi lanjut yang dapat menjadi keras
atau lembek dan mencair. Massa lensa yang berdegenerasi keluar dari kapsul lensa sehingga
lensa menjadi mengecil, bewarna kuning dan kering. Visus pada stadium ini 1/300 1/~.
Pada pemeriksaan terlihat bilik mata dalam dan lipatan kapsul lensa. Kadang-kadang
pengkerutan berjalan terus sehingga berhubungan dengan zonula zinii menjadi kendur. Bila
proses kekeruhan berjalan lanjut disertai kapsul yang tebal maka korteks yang berdegenerasi
dan cair tidak dapat keluar, maka korteks akan memperlihtkan bentuk sebagai sekantung susu
disertai dengan nukleus yang terbenam di dalam korteks lensa karena lebih berat. Keadaan ini
disebut katarak morgagni.
merupakan tindakan pembedahan yang sangat lama populer.ICCE tidak boleh dilakukan atau
kontraindikasi pada pasien berusia kurang dari 40 tahun yang masih mempunyai ligamen
hialoidea kapsular. Penyulit yang dapat terjadi pada pembedahan ini astigmatisme, glukoma,
uveitis, endoftalmitis, dan perdarahan.
2. Extra Capsular Cataract Extraction ( ECCE )
Tindakan pembedahan pada lensa katarak dimana dilakukan pengeluaran isi lensa
dengan memecah atau merobek kapsul lensa anterior sehingga massa lensa dan kortek lensa
dapat keluar melalui robekan. Pembedahan ini dilakukan pada pasien katarak muda, pasien
dengan kelainan endotel, implantasi lensa intra ocular posterior, perencanaan implantasi
sekunder lensa intra ocular, kemungkinan akan dilakukan bedah glukoma, mata dengan
prediposisi untuk terjadinya prolaps badan kaca, mata sebelahnya telah mengalami prolap
badan kaca, ada riwayat mengalami ablasi retina, mata dengan sitoid macular edema, pasca
bedah ablasi, untuk mencegah penyulit pada saat melakukan pembedahan katarak seperti
prolaps badan kaca. Penyulit yang dapat timbul pada pembedahan ini yaitu dapat terjadinya
katarak sekunder.
3. Phacoemulsification
Phakoemulsifikasi (phaco) adalah teknik untuk membongkar dan memindahkan
kristal lensa. Pada teknik ini diperlukan irisan yang sangat kecil (sekitar 2-3mm) di kornea.
Getaran ultrasonic akan digunakan untuk menghancurkan katarak, selanjutnya mesin PHACO
akan menyedot massa katarak yang telah hancur sampai bersih. Sebuah lensa Intra Okular
yang dapat dilipat dimasukkan melalui irisan tersebut. Karena incisi yang kecil maka tidak
diperlukan jahitan, akan pulih dengan sendirinya, yang memungkinkan pasien dapat dengan
cepat kembali melakukan aktivitas sehari-hari.Tehnik ini bermanfaat pada katarak kongenital,
traumatik, dan kebanyakan katarak senilis
rupturnya kapsul, edema kornea, hifema. Dan komplikasi post operatif dapat menyebabkan
endoftalmitis.
Prognosis katarak senilis
Jika tidak ada penyakit yang menyertai, biasanya hasil dari operasi akan memberikan
hasil yang baik. Setidaknya, setelah operasi, pada pemeriksaan Snellen chart akan maju 2
baris dari hasil terakhir.
Definisi Presbiopia
Hilangnya daya akomodasi yang terjadi bersamaan dengan proses penuaan pada
semua orang disebut presbiopia.
Etiologi Presbiopia
Presbiopia sendiri terjadi akibat kelemahan otot akomodasi dan lensa yang menjadi
tidak kenyal akibat sklerosis lensa.
Patofisiologi Presbiopia
Presbiopia sendiri terjadi akibat hilangnya kemampuan akomodasi lensa untuk
melihat dekat akibat kakunya lensa sehingga tidak dapat mencembungkan lensa. Akibatnya,
jatuhnya sinar akan berada di belakang fovea sehingga pengelihatan dekat akan kabur.
Manifestasi Klinis Presbiopia
Seseorang dengan mata emetropik akan mulai merasakan ketidakmampuan membaca
huruf kecil pada usia 44-46 tahun,. Hal ini akan lebih buruk pada cahaya redup dan pada pagi
hari bila pasien lelah. Mata juga akan menjadi lelah, pedas dan berair. Gejala-gejala ini
meningkat sampai usia 55 tahun kemudian stabil tetapi menetap.
Terapi Presbiopia
Presbiopia di koreksi dengan sferia positif untuk mengejar daya focus lensa yang
hilang. Pemberian kacamata bifocal adalah pilihan untuk orang tua.
Diabetes Melitus
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronik yang terjadi ketika pankreas
tidak dapat lagi memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup atau dapat juga disebabkan
oleh berkurangnya kemampuan tubuh untuk merespon kerja insulin secara efektif. Insulin
adalah hormon yang berfungsi untuk meregulasi kadar gula darah. Peningkatan kadar gula
dalam darah atau hiperglikemia merupakan gejala umum yang terjadi pada diabetes dan
seringkali mengakibatkan kerusakan-kerusakan yang cukup serius pada tubuh, terutama pada
sel saraf dan pembuluh darah.
Patofisiologi diabetes melitus
Seiring dengan proses penuaan, semakin banyak lansia yang berisiko terhadap
terjadinya DM. Pada usia 75 tahun, diperkirakan sekitar 20% lansia mengalami DM, dan
kurang lebih setengahnya tidak menyadari adanya penyakit ini. Oleh sebab itu, American
Diabetes Association (ADA) menganjurkan penapisan (skrining) DM sebaiknya dilakukan
terhadap orang yang berusia 45 tahun ke atas dengan interval 3 tahun sekali. Interval ini dapat
lebih
pendek
pada
pasien
berisiko
tinggi
(terutama
dengan
hipertensi
dan
Penatalaksanaan
Target terapi DM yang dianjurkan adalah HbA1c <7,0% untuk lansia dengan
komorbiditas minimal dan <8,0% untuk lansia yang renta, harapan hidup <5 tahun, dan lansia
yang berisiko bila dilakukan kontrol gula darah intensif risiko. Namun, rekomendasi target
terapi ini tidak mutlak dan perlu disesuaikan secara individual menurut tingkat disabilitas,
angka harapan hidup, dan kepatuhan pengobatan. Anjuran terapi DM yang banyak digunakan
saat ini adalah sebagaimana dianjurkan dalam guideline konsensus ADAEASD untuk terapi
DM tipe 2. Berdasarkan konsensus ini, terapi DM tipe 2 dibagi menjadi 2 tingkatan.
a. Tingkat 1: terapi utama yang telah terbukti (well validated core therapies). Intervensi ini
merupakan yang paling banyak digunakan dan paling cost-effective untuk mencapai target
gula darah. Terapi tingkat 1 ini terdiri dari modifikasi gaya hidup (untuk menurunkan berat
badan & olah raga), metformin, sulfonilurea, dan insulin.
b. Tingkat 2: terapi yang belum banyak dibuktikan (less well validated therapies). Intervensi
ini terdiri dari pilihan terapi yang berguna pada sebagian orang, tetapi dikelompokkan ke
dalam tingkat 2 karena masih terbatasnya pengalaman klinis. Termasuk ke dalam tingkat 2 ini
adalah tiazolidindion (pioglitazon) dan Glucagon Like Peptide-1/GLP-1 agonis (exenatide).
Metformin
Dalam konsensus ADA-EASD (2008), metformin dianjurkan sebagai terapi obat lini
pertama untuk semua pasien DM tipe 2 kecuali pada mereka yang punya kontraindikasi
terhadap metformin misalnya antara lain gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum >133
mmol/L atau 1,5 mg/dL pada pria dan >124 mmol/L atau 1,4 mg/dL pada wanita), gangguan
fungsi hati, gagal jantung kongestif, asidosis metabolik, dehidrasi, hipoksia dan pengguna
alkohol. Namun, karena kreatinin serum tidak menggambarkan keadaan fungsi ginjal yang
sebenarnya pada usia sangat lanjut, maka metformin sama sekali tidak dianjurkan pada lansia
>80 tahun. Metformin bermanfaat terhadap sistem kardiovaskular dan mempunyai risiko
yang kecil terhadap kejadian hipoglikemia. Meskipun demikian, penggunaan metformin pada
lansia dibatasi oleh adanya efek samping gastrointestinal berupa anoreksia, mual, dan
perasaan tidak nyaman pada perut (terjadi pada 30% pasien). Untuk mengurangi kejadian
efek samping ini, dapat diberikan dosis awal 500 mg, kemudian ditingkatkan 500 mg per
minggu untuk dapat mencapai kadar gula darah yang diinginkan. Walaupun terapi awal
dengan modifikasi gaya hidup dan metformin pada mulanya efektif, hal yang terjadi secara
alami pada sebagian besar pasien DM tipe 2 adalah kecenderungan naiknya gula darah
seiring dengan berjalannya waktu dengan prevalensi 5-10% per tahun. Sebuah studi UKPDS
menyatakan bahwa 50% pasien yang terkontrol dengan obat-obatan tunggal memerlukan
penambahan obat kedua setelah 3 tahun dan setelah 9 tahun, 75% pasien memerlukan terapi
multipel untuk mencapai target HbA1C <7%. Berikut ini adalah faktor yang turut
memperburuk kontrol gula darah tersebut.
Penurunan kepatuhan terhadap modifikasi gaya hidup (diet, olah raga, dan usaha
menurunkan berat badan) maupun kepatuhan minum obat hipoglikemik
Adanya penyakit lain atau mengkonsumsi obat-obatan yang dapat meningkatkan resistensi
insulin, mempengaruhi pelepasan insulin, atau meningkatkan produksi glukosa hati. Hal ini
terutama berperanan pada lansia penderita DM yang umumnya mengkonsumsi banyak obat
Progresivitas DM tipe 2 dapat berupa meningkatnya resistensi insulin atau defek sekresi
insulin. Konsensus ADAdan EASD menganjurkan pemeriksaan HbA1C setiap 3 bulan serta
penambahan obat kedua jika target terapi HbA1C <7% tidak tercapai dengan modifikasi gaya
hidup dan metformin (lihat algoritma). Untuk dapat mencapai target HbA1C, diperlukan
target kadar gula darah puasa 70-130 mg/dl dan kadar gula postprandial <180 mg/dl. Untuk
pasien DM yang tidak gula darahnya tidak terkendali dengan kombinasi modifikasi gaya
hidup dan metformin, ada 4 golongan obat-obatan yang dapat diberikan menurut konsensus
ADA-EASD. Obat-obatan ini terdiri dari 2 golongan yaitu terapi tingkat 1/langkah 2 yang
terdiri dari sulfoniliurea dan insulin serta terapi tingkat 2 yang terdiri dari tiazolidindion dan
agonis Glucagon Like Peptide-1/GLP-1. Di antara semua obat ini, sulfonilurea adalah yang
paling cost-effective, sedangkan insulin dianggap sebagai terapi yang paling efektif dalam
mencapai target gula darah. Namun, sulfonilurea dan insulin berhubungan dengan risiko
hipoglikemia dan peningkatan berat badan. Tingkat 1/Langkah 2 (Tier 1/Step 2).
Sulfonilurea
Sulfonilurea dapat digunakan ketika ada keadaan yang merupakan kontraindikasi
untuk metformin, atau digunakan sebagai dalam kombinasi dengan metformin jika gula darah
target belum tercapai. Sulfonilurea jenis apapun yang digunakan tunggal menyebabkan
penurunan HbA1C sebesar 1-2%. Mekanisme kerja utama sulfonilurea adalah meningkatkan
sekresi insulin sel pankreas. Pada studi UKPDS, tampak tidak ada perbedaan dalam hal
efektivitas dan keamanan penggunaan sulfonilurea (klorpropramid, glibenklamid, dan
glipizid), tetapi sulfoniliurea generasi kedua dengan masa kerja singkat lebih dipilih untuk
lansia dengan DM. Sedangkan klorpropramid dipilih untuk tidak digunakan pada lansia
karena masa kerja yang panjang, efek antidiuretik, dan berhubungan dengan hipoglikemia
berkepanjangan. Di antara sulfonilrea generasi kedua, glipizid mempunyai risiko
hipoglikemia yang paling rendah sehingga merupakan obat terpilih untuk lansia. Meskipun
demikian, semua sulfonilurea dapat menyebabkan hipoglikemia. Oleh karena itu, pemberian
harus dimulai dengan dosis yang rendah dan ditingkatkan secara bertahap untuk mencapai
gula darah target, sembari dilakukan pengawasan untuk mencegah terjadinya efek samping.
Insulin
Berdasarkan konsensus ADA-EASD, insulin dapat diberikan bila target gula darah
tidak tercapai dengan modifikasi gaya hidup dan pemberian metformin. Selain itu, insulin
juga diberikan pada keadaan adanya kondisi akut, seperti sakit berat, keadaan hiperosmolar,
ketosis, dan pada pembedahan. Keputusan untuk memulai pemberian insulin dibuat
berdasarkan pertimbangan akan kemampuan penderita untuk menyuntikkan sendiri insulin,
dan keutuhan fungsi kognitif. Pada lansia yang bergantung pada orang lain untuk
memberikan insulin, maka gunakan insulin masa kerja panjang (long-acting) dengan dosis
sekali sehari, walaupun ini tidak dapat memberikan kontrol gula darah sebaik yang dicapai
dengan pemberian insulin basal bolus atau regimen dua kali sehari. Pada lansia yang hanya
menggunakan insulin basal, saatnya pemberian insulin bukan hal yang penting. Jika kontrol
gula darah atau glukosa postprandial target tidak tercapai dengan pemberian basal insulin,
maka dapat diberikan insulin kerja singkat (short-acting). Namun, pada pemberian bolus
insulin short acting, saatnya makan merupakan faktor penting, dan sering menimbulkan
masalah pada pasien yang renta yang tidak dapat menyuntikkan insulinnya sendiri.
Dibandingkan dengan insulin jenis lain, insulin analog paling mendekati pola sekresi insulin
endogen basal pada orang dewasa sehat. Walaupun demikian, penggunaan insulin
berhubungan dengan efek samping peningkatan berat badan dan hipoglikemia. Dari berbagai
studi dilaporkan bahwa efek samping hipoglikemia lebih jarang terjadi pada penggunaan
analog insulin (detemir dan glargine) dibandingkan NPH. Sementara itu, didapati efek
peningkatan berat badan dengan nilai yang sama (+3 kg dalam 6 bulan) baik pada golongan
analog insulin maupun NPH. Bila kegagalan sel pankreas mensekresi insulin sudah
demikian parah, diperlukan pemberian insulin untuk kontrol gula darah, sehingga insulin
memegang peranan penting dalam tata laksana DM. Lansia merupakan kelompok populasi
yang rentan terhadap efek samping hipoglikemia. Oleh sebab itu, diperlukan edukasi bagi
lansia dan pengasuhnya tentang pengenalan gejala hipoglikemia dan penanganannya.
Tingkat 2 (Tier 2)
Obat-obatan pada terapi tingkat 2 belum banyak dibuktikan secara klinis seperti yang
digunakan pada terapi tingkat 1, sehingga penggunaannya masih terbatas, termasuk pada
lansia. Berikut sedikit pembahasan mengenai obatobat yang digunakan pada terapi tingkat 2.
Tiazolidindion
Tiazolidindion merupakan kelompok obat yang dapat memperbaiki kontrol gula darah
dengan meningkatkan kepekaan jaringan perifer terhadap insulin. Penggunaan tiazolidindion
(pioglitazon dan rosiglitazon) sebagai monoterapi menyebabkan penurunan HbA1C sebesar
0,5-1,4%. Pada berbagai studi klinis didapatkan bahwa kontrol gula darah dengan
rosiglitazon lebih lama dibandingkan dengan metformin. Tidak seperti obat DM lainnya,
tiazolidindion memperbaiki berbagai marker fungsi sel pankreas yang antara lain
ditunjukkan dengan meningkatnya sekresi insulin selama 6 bulan. Namun, efek ini hanya
sementara, setelah 6 bulan terapi dengan tiazolidindion, terjadi penurunan fungsi sel
pankreas. Di luar manfaat tersebut, tiazolidindion mempunyai beberapa efek samping, antara
lain peningkatan berat badan dan edema yang terkait dengan risiko kardiovaskular. Studi
menunjukkan bahwa risiko gagal jantung meningkat sebesar 1,2-2 kali lipat pada penggunaan
tiazolidindion dibandingkan obat hipoglikemik lain. Gagal jantung terjadi pada median terapi
selama 6 bulan, baik pada dosis tinggi maupun rendah, dan ini terutama terjadi pada lansia.
Baik pioglitazon maupun rosiglitazon berisiko
rosiglitazon juga berisiko memicu kejadian iskemia miokard (peningkatan risiko relatif 40%)
sehingga konsensus ADA/EASD tidak menganjurkan rosiglitazon untuk terapi DM tipe 2.
Berbeda dengan rosiglitazon, pioglitazon dapat mengurangi kejadian kardiovaskular karena
pioglitazon dapat memperbaiki profil lipid aterogenik. Efek samping lain dari tiazolidindion
adalah meningkatnya risiko fraktur >2 kali lipat, terutama pada panggul. Efek samping ini
dapat terjadi setelah penggunaan tiazolidindion 12-18 bulan. Risiko fraktur ini sama baik
dengan dosis tinggi maupun rendah, pada pasien lansia maupun nonlansia, dan pada pria
maupun wanita.
Agonis GLP-1
Sistem gastrointestinal memegang peranan penting dalam homeostasis glukosa. Hal
ini terlihat berupa lebih banyaknya respons insulinotropik pada pemberian nutrisi per oral
dibandingkan pada pemberian glukosa intravena. Yang berperan dalam hal ini adalah hormon
inkretin yang terdiri dari GLP-1 dan Glucose-dependent Insulinotropic Poplypeptide/GIP).
Pada pasien DM tipe 2, sekresi GIP setelah makan hanya sedikit terganggu, sementara sekresi
GLP-1 terganggu secara nyata. Pemberian GLP-1 parenteral meningkatkan sekresi insulin
secara dose-dependentdan juga menurunkan sekresi glukagon, sehingga menurunkan kadar
gula darah puasa dan postprandial. Hal ini tidak terjadi pada pemberian GIP parenteral.
Sayangnya GLP-1 cepat didegradasi oleh enzim DPP-4. Untuk mengatasi hal ini, saat ini
dikembangkan agonis reseptor GLP-1 yang memperpanjang masa kerja GLP-1 endogen dan
melawan efek enzim DPP-4. Pemberian agonis reseptor GLP-1 akan meningkatkan aksi kerja
GLP-1 (menurunkan kadar gula darah, mengurangi sekresi glukagon, menurunkan berat
badan, menimbulkan rasa cepat kenyang, memperlambat pengosongan lambung). Walaupun
tidak digunakan sebagai monoterapi dalam tatalaksana DM tipe 2,beberapa uji klinis
menunjukkan bahwa pada penggunaan agonis reseptor GLP-1 terjadi penurunan HbA1C
sebesar 0,5-1,5 %. Penggunaan obat golongan tingkat 2 berdasarkan konsensus ADA-EASD
tampaknya menjanjikan untuk tata laksana DM, namun masih terbatasnya penelitian dan
pengalaman klinis terhadap obat-obatan tersebut menyebabkan penggunaannya masih
terbatas. Oleh sebab itu, kelompok obat ini belum dianjurkan untuk digunakan pada lansia.
Obat-obatan lain
Dalam konsensus
kurang efektif dalam menurunkan kadar gula darah berikut dimasukkan dalam kelompok
obatobatan lain. Kelompok ini juga belum banyak diteliti dan harganya lebih mahal.
Termasuk dalam kelompok ini penghambat -glukosidase, glinid, pramlintide, penghambat
DPP-4.
waktu 1 tahun. Perubahan visual yang terjadi pada stadium ini juga disebabakan oleh edema
makula.
c. Retinopati Proliferatif
Retinopati proliferatif diawali dengan terdapatnya pertumbuhan abnormal pembuluh darah
baru pada permukaan retina sebagai bentuk kompensasi iskemia yang terjadi pada retina.
Pembuluh
darah
yang
abnormal
ini
mudah
perdarahan pada pertengahan bola mata, atau sering disebut dengan istilah
perdarahan
vitreus, yang dapat menghalangi penglihatan. Konsekuensi lain dari perdarahan vitreus ini
adalah terbentuknya jaringan parut fibrosa yang disebabakan oleh reabsorpsi darah ke dalam
korpus vitreus. Jaringan parut ini dapat menarik retina sehingga terjadi pelepasan retina, atau
disebut dengan istilah ablasio retina, dan akhirnya dapat mengakibatkan kebutaan.
Diabetes melitus yang tidak dikelola dengan baik juga dapat mengakibatkan
komplikasi metabolik akut maupun komplikasi vaskuler jangka panjang, yang terdiri dari
mikroangiopati maupun makroangiopati. Salah satu komplikasi diabetes melitus yang dapat
menimbulkan gangguan penglihatan bahkan kebutaan adalah katarak. Usia 50 tahun
merupakan faktor risiko terjadinya katarak pada DM. Hal ini terjadi karena pada usia lanjut,
secara fisiologis
terjadinya katarak. Penelitian membuktikan bahwa dengan berhenti merokok maka risiko
katarak akan berkurang.
PEMBAHASAN
Pada pasien ditemukan penurunan tajam penglihatan yang terjadi perlahan sejak dua
tahun yang lalu. Keluhan tidak disertai adanya merah dan nyeri pada mata, oleh karena itu
maka pasien ini dapat digolongkan kedalam mata tenang visus menurun. Diagnosis banding
yang terpikirkan adalah glaukoma, katarak, dan retinopati. Pada kasus ini, tidak ditemukan
adanya gejala glaukoma seperti pusing, mual, pandangan ganda, dan sakit kepala. Namun
perlu dilakukan pemeriksaan tonometri untuk mengukur tekanan bola mata. Namun,
kemungkinan glaukoma dapat dieksklusi oleh ketiadaannya gejala yang timbul pada
glaukoma. Terdapat keluhan pandangan buram berkabut oleh pasien, disertai dengan adanya
diabetes melitus. Maka dari temuan yang didapat, penyakit yang paling mungkin dialami
pasien adalah katarak, berdasarkan keluhan pandangan berkabut dan adanya faktor risiko
yaitu diabetes melitus. Kemungkinan retinopati belum dapat disingkirkan karena katarak dan
retinopati dapat terjadi secara berbarengan. Pada pemeriksaan funduskopi sulit dinilai oleh
maka itu kemungkinan retinopati belum dapat dieksklusikan. Melihat adanya kekeruhan pada
lensa pasien dapat ditarik kesimpulan sementara, bahwa working diagnosis pasien ini adalah
katarak.
Mengingat umur pasien yaitu 65 tahun, maka dapat dikatakan bahwa katarak yang
dialami pasien termasuk ke dalam klasifikasi katarak senile. Ditunjang dengan pemeriksaan
pada lensa mata pasien, didapatkan kekeruhan yang belum menutupi seluruh permukaan
lensa, sehingga maturasi katarak masih berada pada tahap imatur. Dengan adanya fakta ini,
maka dapat disimpulkan bahwa pasien menderita katarak senilis imatur mata kanan dan kiri.
Tatalaksana yang seharusnya diberikan pada kasus ini adalah kontrol faktor risiko, di
dalam kasus ini adalah gula darah yang tinggi. Pasien harus diberikan edukasi, dan juga terapi
untuk mengontrol gula darah yang tinggi. Kontrol gula darah dilakukan untuk mencegah
terjadinya retinopati diabetes, dimana kondisi ini dapat memperburuk penglihatan pasien.
Biometri dilakukan untuk mengkalkulasi kekuatan lensa buatan yang akan digunakan oleh
pasien setelah menjalani operasi. Metode pembedahan yang terbaik adalah tindakan
phacoemulsifikasi dengan pemasangan IOL. Metode ini dipilih karena banyaknya
keuntungan yang dapat dicapai seperti pemulihan yang lebih cepat, komplikasi intra-operatif
yang lebih jarang, serta tidak membutuhkan insisi yang luas dalam prosedur operasi.
Pemasangan IOL dilakukan untuk meningkatkan fungsi penglihatan pasien, yang berperan
sebagai pengganti lensa mata yang telah dikeluarkan.
Referensi
1. Ilyas HS, Yulianti SR. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-4. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;
2012.
2. Eva PR, Whitcher JP. Vaughan & Asburys General Ophthalmology. 17th ed. USA : Mc
Graw-Hill; 2007.
3. Guyton, Arthur C. Textbook of medical physiology. 11th edition. Philadelphia: Elsevier.
2006.
4. Longmore M, Wilkinson IB, Baldwin A, Wallin E. Oxford handbook of clinical medicine.
New York: Oxford university press.2014.
5. Morosidi SA, Paliyama FM.Ilmu penyakit mata. Jakarta: FK Ukrida.2011.
6. Kanski JJ, Bowling B. Clinical Ophthalmology : A Systemic Approach. 7th ed. China: Elsevier : 2011.
7. Fauzi A. Hadisaputro S. Risk factors of cataract in type 2 diabetes melitus. JUKE
September 2014;4(8).
8. Kurniawan I. Diabetes melitus tipe 2 pada usia lanjut. Maj Kedokt Indon Desember 2010;
60(12).