Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
JUDUL
STRATEGI POLRI DALAM MENANGANI DAMPAK KONFLIK ELIT POLITIK
GUNA MEMANTAPKAN OTONOMI DAERAH
DALAM RANGKA MEWUJUDKAN KAMTIBMAS YANG MANTAP
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Keamanan dan ketertiban masyarakat merupakan kondisi ideal yang hendak diwujudkan
dalam mendukung berlangsungnya pembangunan nasional sehingga memberikan
kesempatan luas kepada masyarakat untuk berkiprah dan meningkatkan kehidupan dan
penghidupannya.
Reformasi yang bercirikan demokratisasi dan keterbukaan telah mendorong perubahan
politik dan format negara dari sentralisasi ke desentralisasi melalui kebijakan otonomi
daerah. Perubahan politik dan demokrasi tersebut telah mengubah perilaku masyarakat
yang mengekspresikan kebebasannya secara leluasa. Demikian pula, elit politik daerah
yang memiliki kekuatan signifikan dalam percaturan politik dan pemerintahan daerah
tidak jarang menampilkan perilakunya yang bersebrangan dengan konsep berpolitik dan
berdemokrasi yang sesungguhnya. Apalagi dengan adanya Pilkada langsung dimana
peran partai politik menjadi signifikan, maka peran elit politik sangat mewarnai kondisi
politik yang ada di daerah.
Hubungan antar elit politik di daerah seringkali diwarnai dengan konflik kepentingan
yang tidak hanya berada di wilayah politik, tetapi merembes ke bawah hingga di tingkat
grassroot. Konflik politik yang melibatkan masa menimbulkan konflik destruktif yang
1
BAB II
KAJIAN KEPUSTAKAAN
manifestasinya dalam hubungan antara masyarakat dan struktur politiknya, dan dalam
hubungan antarkelompok dan golongan dalam masyarakat itu2.
Agenda demokratisasi seharusnya dipandang berdimensi horizontal (pengaturan
hubungan antarinstitusi politik utama) dan vertikal yang membuka ruang bagi akses
warga untuk terlibat dalam proses politik dan pemerintahan. Keduanya bisa saling
memperkuat dan berjalan simultan. Untuk itu, diperlukan upaya memupuk vitalitas
demokrasi seperti pengembangan nilai dan keterampilan demokrasi di kalangan warga,
meningkatkan akuntabilitas dan responsivitas terhadap kepentingan publik dan
meningkatkan checks and balances dan rasionalitas politik di antara lembaga-lembaga
kekuasaan. Dengan melakukan hal tersebut, jalan bagi demokrasi menjadi lebih terbuka.
7.
Teori konflik
Konflik adalah adanya oposisi atau pertentangan pendapat antara orang-orang, kelompokkelompok atau organisasi-organisasi3. Konflik kelompok biasanya timbul dalam kondisikondisi berikut:
a. dianutnya nilai-nilai baru oleh anggota-anggota kelompok tertentu;
b. sebuah kesulitan atau problem baru, dihadapi oleh kelompok dimana para anggotanya
mempersepsinya dengan cara-cara yang berbeda-beda;
c. peranan seorang anggota di luar kelompok tersebut bertentangan dengan peranan
angota tersebut di dalam kelompok itu.
Konflik terbagi dua macam, yaitu:
a. Konflik-konflik substantive (substantive conflicts), yaitu ketidak sesuaian paham
tentang hal-hal yang substansial, seperti tujuan-tujuan, kebijaksanaan-kebijaksanaan,
dan lain-lain.
b. Konflik-konflik emosional (emotional conflicts), yaitu konflik yang timbul karena
perasaan marah, ketidakpercayaan, ketidak senangan, takut dan sikap menentang
dan sebagainya.
Konflik dapat berupa konflik destruktif dan konstruktif. Konflik destruktif
menimbulkan kerugian, sedangkan konflik konstruktif menimbulkan keuntungan-
Ibid 2010
b.
c.
d.
e.
EFAS-IFAS
EFAS-IFAS adalah bagian dari analisa SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara
sistimatis untuk merumuskan strategi perusahaan analisis ini didasarkan pada logika yang
dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang, namun bersamaan dapat meminimalkan
kelemahan dan ancaman5. Teori ini sangat relevan untuk digunakan dalam menganalisa
kekuatan dan kelemahan organisasi dalam upaya mengetahui hakekat ancaman dan
peluang agar pimpinan dapat menentukan langkah pengambilan keputusan.
Adapun penggunaan teori ini pada penulisan nastrap ini adalah dititik beratkan pada
kondisi Polantas dari berbagai aspek sehingga setiap pimpinan akan dapat dengan mudah
melaksanakan Audit Kesehatan Organisasinya untuk mengetahui kelemahan kelemahan
yang ada di dalam kesatuannya sehingga memudahkan dalam mencari solusinya dan
membuat suatu kebijakan tentang hal tersebut, metode analisa SWOT adalah analisis
Rangkuti F, 2010, Analisi SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis, Jakarta: Gramedia,
hal.8
BAB III
KONDISI FAKTUAL
9.
berupa isu-isu yang memancing emosi. Isu-isu idiologis, politis, dan SARA biasanya
menjadi pemicu yang sangat kuat untuk membakar emosi masa. Dalam era otonomi
daerah, situasi yang rawan terjadi pada saat Pilkada langsung pada pra, proses, maupun
pasca pelaksanaannya. Salah satu bentuk kerawanan Pilkada diberitakan dalam Harian
Media7. Ketua Komisi Pemilihan Umum Samosir, Megianto Sinaga, dan komisioner
Risonti Panjaitan, kemarin siang hingga tadi malam disandera massa di Tomok, Samosir,
Sumatera Utara. Penyandera adalah pendukung pasangan calon kepala daerah yang tidak
puas atas Pilkada Samosir. Penyekapan selama 12 jam itu dipicu emosi massa yang
menduga banyak pemilih siluman. Menurut Megianto, awalnya dia dan Risonti
Panjaitan diminta ke Simanindo untuk menjelaskan kehadiran mahasiswa dari Medan,
namun malah disandera massa. Bahkan status Risonti Panjaitan sebagai pendeta juga
dihina massa,kata Megianto kepada wartawan, Kamis (10/6) malam. Penyekapan
berakhir setelah KPU Samosir didampingi Panitia Pengawas Pilkada berunding dengan
massa. Pilkada Samosir diikuti 7 pasangan. Hasil perhitungan sementara, pasangan
Mangindar Simbolon - Mangadap Sinaga memperoleh 22.996 suara (37,08%), diikuti
pasangan Obel Sihol Sagala - Tigor Simbolon dengan 19.533 suara (31,50%).
orang, warga sipil tercatat 54 orang, dan aparat kepolisian sebanyak 10 orang. "Hingga
malam ini total korban ada 130 orang yang ke Koja," kata Togi, di RSUD Koja, Jakarta.
Peristiwa itu terjadi sebagai akibat lemahnya koordinasi dan kerja sama antara Polri
dengan Pemda DKI khususnya dengan Sat Pol PP.
BAB IV
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
b. Kelemahan
1) Pemahaman anggota Polri terhadap konflik politik rendah
2) Komunikasi Polri dengan elit politik ditingkat legislatif dan eksekutif serta
kekuatan politik terutama arus bawah masih kurang
3) Hubungan Polri dengan Pemda dalam hal masalah masalah kemanan dan keretiban
masyarakat masih lemah
4) Adanya pola prilaku yang mengkaitkan bantuan Pemda ke Polri sebagai kewajiban
dan apabila tidak mendapat bantuan muncul konflik antara Polri dan Pemda.
5) Polri jarang melakukan pembinaan terhadap instansi istansi pengemban fungsi
kepolisian seperti Sat Pol PP Pemda.
11
BAB V
KONDISI IDEAL
13
BAB VI
UPAYA PEMECAHAN MASALAH
17. Analisis strategi :
a. Teori Kultur Politik dan Demokrasi.
Menurut R. Siti Zuhro, dalam harian Suara Karya, 25 Maret 2010, menyatakan bahwa
budaya politik merupakan diskripsi konseptual yang menggambarkan komponen
komponen budaya politik dalam tataran jumlah besar atau mendeskripsikan
masyarakat disuatu negara atau wilayah, bukan perindividu. Dengan demikian prilaku
elit politik akan berpengaruh terhadap prilaku pendukungngnya secara massal yang
memiliki peran besar bagi terciptanya keamanan dan keretiban didalam masyarakat.
Budaya politik yang dianut oleh elit politik berkaitan dengan sikap masyarakat yakni
refleksi masyarakat terhadap pimpinan politik yang mereka dukung dan percayai.
Dalam merespon tuntutan para pendukung politiknya dan adanya perubahan geo
politik para elit politik tidak terlepas dari kewajibannya untuk memenuhi kepentingan
partai dan para pendukungnya dikatikan dengan budaya politik yang tumbuh subur
menyatakan bahwa tidak ada teman yang abadi di kancah politik, yang ada
hanyalah kepentingan abadi. Para elit politik pada zaman ini belum memiliki
kematangan dalam politik sebagai konsekuensi logis dari baru tumbuh kembangnya
era demokrasi di Indonesia yang menyebabkan yang mampu muncul sebagai elit
politik mereka yanh memiliki masa, yang mampu mengkondisikan masa dengan uang
tidak didukung oleh kompetensi pendidikan dibidang perpolitikkan, sebagai contoh
banyak anggota DPR/DPRD atau Bupati yang memiliki ijazah paket C atau paket D,
ada yang dari tukang becak, penjudi, tukang mabuk, sehingga ketika terpilih menjadi
pimpinan masuk dalam elit politik mendidposisi surat saja tidak bisa dan akhirnya
dalam tatakepemerintahannya sistemnya adalah memaksakan kehendak yang akhirnya
melahirkan konflik elit politik.
14
b. Teori Konflik.
Menurut Winardi, dalam bukunya Teori Konflik (1994), menyatakan konflik adalah
adanya oposisi atau perttentangan pendapat antara orang orang, kelompok-kelompok
atau organisasi organisasi yang muncul dalam berbagai kondisi. Bila kita kaitkan
dengan sistem demokrasi multi partai di Indonesia, maka masing masing partai
memiliki tujuan tujuan yang hendak dicapainya dalam rangka membesarkan
partainya dan melanggengkan kekuasaannya. Masing masing elit polistik
membberikan atau mensosialisasikan nilai nilai kepada anggotanya yang menjadi
pedoman dalam kehidupan berpartai. Banyak yang dapat kita lihat konflik dalam
kehidupan perpolitikan Indonesia terbagi menjadi dua antara lain : Konflik
Substantif yaitu ketidak sesuaian paham tentang hal hal yang substansial, seperti
tujuan tujuan dan kebijakan kebijakan. Konflik substansial banyak terjadi ketika
sedang berlangsung pemilihan Legislatif dan Kepala daerah baik tingkat nasional
maupun tingkat daerah yang disebabkan oleh perbedaan tujuan tujuan dan kebijakan
partai partai dalam pemenangan pemilihan untuk duduk dilegislatif maupun duduk
sebagai kepala pemerintahan. Sering kita lihat hampir seluruh pelaksanaan pilkada
diwarnai oleh konflik konflik yang melahirkan tidak kekerasan (Meliala 2007),
Seperti Pilkada di Toli Toli menyebkan terbakarnya 3 kantor camat yang dibakar oleh
pendukung yang tidak puas. Demikian juga konflik Substansial banyak terjadi dalam
sistem kepemerintahan yang diakibatkan oleh keinginan pemerintah untuk
memaksakan kehendanya kepada rakyat. Sebagai contoh kita lihat kasus Sat Pol PP
di tanjung priok memperebutkan kuburan Mbah Priok. Konflik berdarah ini terjadi
karena adanya tujuan tujuan dan kebijakan dari Pemda DKI untuk memanfaatkan
atau memperluas pelabuhan Tanjung Priok tanpa memperhatikan masyarakat selaku
ahli waris tanah tersebut. Yang kedua adalah Konflik Emosional yang timbul karena
perasaan marah, ketidak percayaan, ketidaksenangan, takut dan sikap menentang.
Konflik ini banyak terjadi dalam kehidupan sehari hari dimana persoalan pribadi
dibawa ke elit politik. Bila elit politik memiliki permasalahan dengan orang atau
instansi yang tidak mampu diatasi sendiri maka mereka akan mengerahkan massanya
untuk membela kepentingan sehingga menimbulkan keresahan keresahan didalam
masyarakat.
15
c. Analisis IFAS
Tabel 1
INTERNAL FACTORS ANALYSIS SUMMARY
NO
FAKTOR STRATEGI
INTERNAL
BOBOT
0,0-1,0
KEKUATAN
1.
0,50
2.
0,50
3.
Quick wins
Hub koor Polri dengan elit politik 0,05
0,30
0,30
0,05
0,20
Jumlah
0,5
1,80
KELEMAHAN
1
0,10
0,50
2.
0,40
3.
politik
Hubungan Polri dengan Pemda
0,05
0,20
0,10
0,30
dengan Pemda
Pembinaan terhadap pengemban
0,15
0,45
0,5
1,85
TOTAL
1,00
3,65
d. Analisis EFAS
Tabel 2
16
NO.
EKSTERNAL
BOBOT
0,0-1,0
RATING BOBOT X
1-9
RATING
KET
PELUANG
1.
0,15
0,90
2.
Otda
Pemda terbuka untuk diajak kerja
0,10
0,40
3.
sama
Partai politik mulai terbuka
0,10
0,40
4.
0,10
0,60
media
Masyarakat merasa butuh rasa
0,05
0,20
aman
Jumlah
0,5
2,50
KENDALA
1.
0,10
0,70
2.
0,10
0,50
3.
0,15
0,60
4.
0,10
0,30
kebebasan
Masih ada tokoh masyarakat
0,05
0,20
0,5
2,30
TOTAL
1,00
4,80
e. Posisi Polri
Berdasarkan perhitungan di atas, maka posisi Polri dalam menangani konflik elit
politik di daerah adalah sebagai berikut:
17
Berdasarkan matrik di atas dapat dilihat bahwa total skor IFAS (3,65) dan EFAS
(4,80), posisi organisasi berada pada kolom kuadran Va yaitu pertumbuhan melalui
integrasi horizontal, artinya strategi Polri masih dalam pertumbuhan strategi
konsentrasi melalui integrasi horizontal. Ini berarti bahwa kunci utama strategi ini
adalah konsolidasi organisasi secara horizontal, dengan tujuan utama membangun
kerja sama dengan pihak lain agar kebijakan yang telah ditetapkan dapat tercapai.
Dengan demikian pada strategi ini tidak ada perubahan arah kebijakan atau strategi
yang telah ada karena tidak akan memperoleh keuntungan apapun, tetapi
mengimplementasikan kebijakan melalui implementasi strategi.
Berdasarkan matrik tersebut di atas, organisasi yang berada pada sel ini, kunci
kegiatan utama yang dapat dilakukan antara lain:
1) Meningkatkan kualitas personal organisasi, yaitu pimpinan dan anggota Polri.
2) Mengembangkan organisasi melalui kerja sama dengan organisasi lain, yaitu
Partai Politik dan Pemda.
3) Memperluas kegiatan operasional di berbagai bidang yang berkaitan langsung
maupun tidak langsung dengan masalah pemeliharaan Kamtibmas di daerah.
Hasil analisis EFAS-IFAS di atas menunjukkan pula bahwa faktor internal
lebih kecil dari faktor eksternal. Ini berarti bahwa membangun grand strategi
memecahkan masalah penanganan konflik elit politik berbentuk diversifikasi, yakni
Polri harus menggunakan kekuatan yang ada serta menghindarkan kendala dengan
18
f. Analaisis SFAS
Tabel 3
STRATEGIC FACTORS ANALYSIS SUMMARY
N
O
BOBOT
RATING
SKOR
JANGKA
WAKTU
JP
JM
JP
0,10
0,30
0,10
0,50
0,05
0,20
kekuatan politik
Hubungan Polri dengan Pemda
0,05
0,20
0,15
0,40
0,10
0,40
politik
Pembinaan fungsi kepolisian
0,10
0,40
/Satpol PP
Pengamanan pelaksanaan OTDA
0,10
0,60
0,15
0,60
10
0,10
0,30
kebebasan
TOTAL
1,00
b.
1)
Misi
Melaksanakan pembinaan kemampuan SDM Polri yang profesional dalam
2)
3)
4)
c.
1)
2)
3)
4)
Tujuan
Terciptanya pemeliharaan Kamtibmas yang handal
Terciptanya sistuasi Kamtibmas di daerah kondusif di daerah
Terciptanya kerja sama Polri dengan elit politik daerah
Teciptanya sinergitas kekuatan Polri, Pemda, dan partai politik
1)
2)
3)
4)
Sasaran
Kamtibmas yang kondusif di daerah
Tergalangnya elit politik dan tokoh masyrakat
Komunikasi yang harmonis antara Polri dengan elit politik
Mencegah dan menindak konflik elit politik.
d.
e.
Strategi
1) Jangka Pendek
a) Memantapkan implementasi strategi Polmas
b) Meningkatkan komunikasi Polri dengan kekuatan politik
c) Meningkatkan hubungan Polri dengan Pemda
d) Mengurangi euforia kebebasan masyarakat
2) Jangka Sedang
a) Pemberdayaan masyarakat
b) Memantapkan kerja sama dengan Pemda / Sat pol PP
c) Meningkatkan kerja sama Polri dengan Partai politik
3) Jangka Panjang
a) Meningkatkatkan pemahaman anggota Polri terhadap konflik elit politik
b) Memantapkan pengamanan Otonomi daerah.
c) Memantapkan ketahanan masyarakat terhadap isu politik
2 tahun)
1) Memantapkan implementasi strategi Polmas
a) Melaksanakan penyegaran dengan pendidikan dan latihan Polmas di SPN
SPN selama satu minggu
b) Polmas membuat pelaporan khusus tentang masalah konflik konflik elit
politik di desa binaannya
c) Setiap anggota Polmas diberikan target untuk membangun forum forum
kemitraan minimal seminggu sekali.
20
peningkatan
menyusun
perencanaan
21
a) Petugas Polri baik Intel, Polmas dan Reserse dengan kringsersenya mengajak
para elit politik untuk tergugah membangun kamtibmas yang mantap
dilingkungannya.
b) Merekrut elit politik menjadi tokoh tokoh dalam FKPM dan menugaskan
untuk bersama sama menyusun program kamtibmas.
3) Pembinaan terhadap pengemban fungsi Kepolisian / Sat pol PP
a) Melaksanakan pelatihan pelatihan terhadap instansi pemerintah dan swasta
yang mengemban fungsi kepolisian seperti Satpam, Bantuan keamanan Desa
(Bankamdes) maupun satpol PP untuk dapat digerakkan dalam menaggulangi
gangguan gangguan kamtibmas utamanya konflik sosial ditengah masyarakat.
b) Merencanakan latihan gabungan antara Polri dengan pengemban fungsi
kepolisian dalam menangani gangguan kamtibmas yang bersifat kontijensi.
c) Bekerjasama dengan lembaga lembaga pelatihan manajemen disaster bersama
sama dengan unsur pengemban fungsi kepolisian baik di kepemerintahan
maupun kamswakarsa.
c.
20. Kesimpulan.
22
pemahaman anggota Polri tentang Otda cukup, komunikasi Polri dengan partai politik
terjalin, dan Polri memiliki strategi Polmas. Kelemahan mencakup pemahaman
anggota Polri terhadap politik rendah, komunikasi Polri dengan kekuatan politik
rendah, hubungan Polri dengan Pemda lemah, implementasi Polmas belum merata,
dan hubungan dengan masyarakat kurang. Sedangkan faktor eksternal meliputi:
Peluang terdiri dari Undang-undang No.32 tentang Otda, Pemda terbuka untuk diajak
kerja sama, Partai politik mulai terbuka, tokoh masyarakat bisa menjadi media, dan
masyarakat merasa butuh rasa aman. Kendala terdiri dari masih ada arogansi Pemda,
arogansi partai politik, masyarakat masih rentan terhadap isu politik, masyarakat
masih euforia kebebasan, dan Masih tokoh masyarakat yang haus pengaruh.
e. Pemecahan masalah dilakukan dengan menetapkan strategi Jangka Pendek, terdiri
dari memantapkan implementasi strategi Polmas, meningkatkan komunikasi Polri
dengan kekuatan politik, meningkatkan hubungan Polri dengan Pemda, dan
mengurangi euforia kebebasan masyarakat. Jangka Sedang meliputi meningkatkan
hubungan Polri dengan masyarakat, memantapkan kerja sama dengan Pemda, dan
meningkatkan kerja sama Polri dengan Partai politik. Sedangkan Jangka Panjang
meliputi meningkatkatkan pemahaman anggota Polri terhadap politik, meningkatkan
peran tokoh masyarakat, dan memantapkan ketahanan masyarakat terhadap isu
politik.
21. Rekomendasi.
a.
b.
c.
d.
DAFTAR PUSTAKA
Harian Kompas 14 April 2010
Harian Media 11 Juni 2010
Meliala, A (2005), Mungkinkah Mewujudkan Polisi Yang Bersih, Jakarta: Kemitraan
Suparlan Parsudi (2004) Bunga Rampai Ilmu kepolisian Indonesia, Jakarta:Yayasan
Pengenbangan Kajian Ilmu Kepolisian
Tim Pokja Reformasi Polri, (1999) Reformasi Menuju Polri yang profesional, Jakarta
Undang-undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
Rangkuti F, 2010, Analisi SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis, Jakarta: Gramedia
R. Siti Zuhro, Suara Karya, 25 Maret 2010
Winardi, 1994, Teori Konflik, Jakarta: Gramedia
25