Anda di halaman 1dari 9

Bab I

Pendahuluan
Skizofrenia berasal dari dua kata skizo yang berarti retak atau pecah (split), dan
frenia yang berarti jiwa. Dengan demikian seseorang yang menderita gangguan jiwa
skizofrenia adalah orang yang mengalami keretakan atau keretakan kepribadian (splitting of
personality)
Skizofrenia adalah suatu psikosa fungsional dengan gangguan utama pada proses pikir
serta disharmonisasi antara proses pikir, afek atau emosi, kemauan dan psikomotor disertai
distorsi kenyataaan terutama karena waham dan halusinasi, assosiasi terbagi-bagi sehingga
muncul inkoherensi, afek dan emosi inadekuat, psikomotor menunjukkan penarikan diri,
ambivalensi dan perilaku bizar.
Skizofrenia, yang menyerang kurang lebih 1% populasi, biasanya bermula di bawah
usia 25 tahun, berlangsung seumur hidup, dan mengenal orang dari semua kelas sosial. Baik
pasien maupun keluarga pasien sering mendapatkan pelayanan yang buruk dan pengasingan
sosial karena ketidak tahuan yang meluas akan gangguan ini. Meski didiskusikan seolah-olah
sebagi suatu penyakit tunggal, skizofrenia mungkin terdiri dari sekumpulan gangguan dengan
etiologi yang heterogen dan mencakup pasien dengan presentasi klinis, respons terhadap
terapi, dan perjalanan penyakit yang bervariasi. Klinisi seyogianya menyadari bahwa
diagnosis skizofrenia sepenuhnya didasarkan pada riwayat psikiatri dan pemeriksaan status
mental.

Bab 2
SkizofreniaKatatonik
2.1.

Definisi
Skizofrenia katatonik merupakan suatu subtipe dari skizofrenia, yang
dikarakteristikkan dengan gangguan fungsimotorik diantaranya termasuk stupor,
rigiditas, eksitasi, negativisme, atau posturing, atau perubahan antara perilakuperilaku ini.
Kadang-kadang, pasien menunjukkan perubahan yang sangat cepat antara
eksitasi dan stupor ekstrim. Gambaran terkait meliputi stereotipi, manerisme, dan
fleksibilitas serea. Mutisme terutama lazim ditemukan.

2.2.

Epidemiologi
Dalam studi epidemiologi, prevalensi dari katatonia pada pasien jiwa
bervariasi dari 7% menjadi 31%. Tampaknya lebih sering di pasien rawat inap, dan
dapat terjadi baik pada orang dewasa dan remaja,serta bayi: di Amerika Serikat, setiap
tahun, 90.000 individu dirawat di rumah sakit untuk katatonia, dan menurut hasil 10
studi prospektif internasional, katatonia didiagnosis pada sekitar 10% dari penerimaan
rumah sakit. Pasien-pasien ini sering mengalami asosiasi gejala dan tanda-tanda
katatonik, biasanya lebih dari 5; gejala yang paling sering adalah mutasisme (68%
kasus),dan negativisme(62% kasus).
Ketidakpastian tentang sifat dan relevansi diagnostik katatoniatentutidak
memfasilitasi pengakuan dan interpretasi yang benar dari gejala katatonik. Selain
itu,di

negara-negara

industrial

manifestasi

katatonik

klasik

seperti

imobilitasataunegativisme telah menjadi kurang sering, dan katatonia sering timbul


dalam bentuk lain yang memerlukan spesialis dengan wawasan klinis yang baik untuk
dapat menegakkan diagnosis dengan benar.
Dengan demikian, diyakini bahwa katatonia tidak benar diketahui dalam
sejumlah besar kasus. Misalnya, dalam sebuah penelitian di Belanda pada pasien
kejiwaan, persentase kasus klinis didiagnosis adalah 2%, sementara yang
diungkapkan oleh peneliti menggunakan skala tertentu adalah lebih dari 18%.
Diperkirakan lebih dari setengah pasien katatonik mungkin memiliki
gangguan mood. Berdasarkan analisis data dari 5 studi, tampak bahwa katatonia yang
dikaitkan dengan skizofrenia hanya 10-15% dari kasus.
2

Menurut beberapa penelitian, manifestasi katatonik paling sering dikaitkan


dengan bentuk kronis stereotipe, manersime, gerakan otomatis dan postur aneh;
Sebaliknya, imobilitas, mutasisme dan perubahan neurovegetatif tampaknya
lebihsering pada bentuk akut. Gejala katatonik diamati sering berhubungan dengan
berbagai penyakit medis. Dalam tiga studi epidemiologi pada pasien katatonik rawat
inap, persentasekatatoniayang disebabkan olehkondisi medis umum berkisar antara
20% sampai 25%.
2.3.

GambaranKlinis
a. Imobilitas fisik Pasien tidak dapat berbicara atau bergerak. Pandangan dapat
berfokus pada satu titik dan dapat mempertahankan suatu posisi tubuht erusmenerus. Mereka juga tampak tidak sadar akan sekelilingnya (stupor katatonik).
b. Waxy flexibility Merupakan bagian dari imobilitas fisik. Sebagai contoh, jika
lengan pasien digerakkan oleh seseorang ke suatu posisi tertentu, posisi tersebut
akan dipertahankan kemungkinan beberapa jam.
c. Mobilitas berlebihan Pasien bergerakdengansemangattanpaadanyatujuanspesifik.
Ini dapat termasuk bergerak secara energik, berjalan berputar membentuk
lingkaran, mengeluarkan kata-kata yang takterputus dengan suara keras.
d. Nonkooperatif Pasien mungkin dapat bertahan dari percobaan untuk
menggerakkan mereka. Mereka dapat tidak berbicara sama sekali dan tidak
merespon instruksi.
e. Pergerakan yang aneh Postur pasien dapat tidak biasa atau inappropriate.
Mungkin terdapat manersimebizar dan grimacing.
f. Perilaku tak lazim Pasien dapat mengulang kata-kata, mengikutisuatu ritual
ataurutinitasdenganobsesi.

Pasienmungkindapatterobsesimenyusunbarang-

barangdengancara-caratertentu.
g. Ekolalia (meniru tutur kata) dan/atau ekopraksia (meniru pergerakan) Pasien
mungkin dapat mengulangi hal yang barudi katakana oleh seseorang. Mungkin
terdapat repetisi pergerakan atau gestur yang dibuat oleh orang lain.

Gambar 1.PasienSkizofreniaKatatonik
2.4.

Pedoman Diagnostik
Pedoman diagnostik dari PPDGJ-III, untuk F20.2 Skizofreniakatatonik:
1. Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia.
2. Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya:
a. Stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan dalam
gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara).
b. Gaduh-gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan, yang tidak
dipengaruhi oleh stimuli eksternal)
c. Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela yang mengambil dan
mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh)
d. Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap semua
perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakan ke arah yang
berlawanan)
e. Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan upaya
menggerakkan dirinya)
f. Fleksibilitas serea / waxy flexibility (mempertahankan anggota gerak dan
tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar)
g.Gejala-gejala lain seperti command automatism (kepatuhan secara otomatis
terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata serta kalimat-kalimat.
3. Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari gangguan
katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai diperoleh bukti
yang memadai tentang adanya gejala-gejala lain.
Penting untuk diperhatikan bahwagejala-gejala katatonik bukan petunjuk
diagnostik untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit otak,
4

gangguan metabolik, atau alkohol dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi pada
gangguan afektif.
2.5.

Penatalaksanaan
Manajemen yang benar pada katatonia membutuhkan, pertama-tama,
identifikasi dan pengobatankondisimedisyang mendasari (internal neurologis,
toksikologi) yangbertanggung jawab untuk gejala klinis. Hal ini diperlukan
untukmengambil langkah-langkah yang memadai untuk mengurangi morbiditas dan
mortalitasterkait dengan imobilitas dan kekurangan gizi, yangumum pada
katatonia.Sejumlah laporan kasus telah melaporkan komplikasiyang sering dialami
oleh pasien katatonik: dekubitus, deep vein thrombosis dengan emboli paru,demam,
infeksi, retensi urin dan pneumonia aspirasi. Oleh karena itu, penting pada
awaltahapan program diagnostik-terapi untuk membantupasien menggunakan
spesialis multi-disiplin (kejiwaan, internis, ahli gizi,dan lain-lain).
Langkah pertama untuk mencegah komplikasi medis adalah terapi
antikoagulandengan heparin subkutan, pemasangan kateter urin dan perawatan yang
memadai. Pasien katatonikumumnya menolak makan per oral dan dapat mengalami
malnutrisi dan dehidrasi. Oleh karena itu perlu untukmemberikan hidrasi parenteral
dan/atau enteral yang memadai danmelalui nasogastric tube.
Pengobatan elektif gejala katatonik terdiri dariBenzodiazepine (BDZ)intravena
dan/atau ECT. Pengobatan yang paling umum digunakan adalah lorazepam
intravena,dengan tingkat remisi manifestasi katatoniksekitar 70%; ECT efektif di
sekitar 85% pasien. Respon terapi untuk ECT sangatmenguntungkan dibandingkan
dengan lorazepam dalam kasus katatonia maligna (89% vs 40%). Tes lorazepam dapat
sangat berguna. Dalam hal ini, intravenalorazepam (1 mg) diberikan: jika tidak ada
perubahan gejala setelah 5 menit, dosis 1 mg intravena lain diberikan. Suatu hasil
negatif, bahkanjika tidak mengecualikan respon lorazepam yang akan datang (pada
dosis yang lebih tinggi daripada yang biasanya digunakan), menunjukkan bahwa ECT
lebihdianjurkan.
Telah dihipotesiskan bahwa BDZ, karena efek agonis mereka terhadap
GABA-A, dapat memperbaiki defisit neurotransmisi GABA di korteks orbitofrontal
yangtelah dikaitkan dengan katatonik gejalamotorik dan afektif. Respon untuk BDZ
tampaknya lebih baik di keadaan katatonik akut, terkait dengan stupor, terutamajika
dikaitkan dengan gangguan mood, sementara secara signifikan probabilitas
keberhasilan rendah, sekitar 20-30%, terlihat padakasus skizofrenia dengan gejala
5

jangka panjang, mungkin karena heterogenitas neurobiologis mendasari bentuk akut


dan kronis dari katatonia.
Lorazepam adalah BDZ yang paling umum digunakan dalam pengobatan
katatonia, meskipun obat lain seperti diazepam, oxazepam dan clonazepam telah
digunakan dengansukses. Bahkan jika tidak ada konsensus tentang cara penggunaan
pengobatan lorazepam, banyak penulis telah merekomendasikan dosis awal 1-2 mg
(parenteral) setiap 4-10 jam, dengan peningkatan berikutnya dalam pada hari
berikutnya sampai resolusi tanda dan gejala katatonik,menghindari sedasi berlebihan
dan mengurangirisiko pneumonia aspirasi. Dosis lorazepam dapat ditingkatkan hingga
24 mg/hari; di samping itu, bahkan dalam kasus respon awal terhadap pengobatan,
perluuntuk melanjutkan terapi sampai remisi klinis lengkap untuk menghindari risiko
kekambuhan. Telah menunjukkan bahwa pasien dengan sindrom katatonik
karenakondisi medis umum atau gangguan afektif meresponlebih baik terhadap
lorazepam dibandingkan dengan mereka dengan diagnosis skizofrenia. Dalam
beberapa kasus, untukmemperoleh remisi lengkap manifestasi katatonik,mungkin
perlu ECT, sebagai efek sinergis antara kedua terapi yang telahdilaporkan.
Tes lorazepam

Lorazepam 1 mg intravena
Jika tidak ada respon setelah 5 menit, beri 1 mg lagi

Jika positif: Terapi dengan peningkatan dosis lorazepam hingga 24 mg/hari


Jika negatif: terapi ECT bilateral
Zolpidem, agonis non-benzodiazepine dari GABA suatu reseptor, telah
digunakan sebagai alternatif untuk lorazepam. Administrasi zolpidem, ditandaioleh
onset cepat (15-30 menit), juga telahdiusulkan sebagai tes diagnostik (Zolpidem
Challenge

Test)mirip

dengan

lorazepam;

namun,

penggunaannya

dalam

pengobatankatatonia terbatas pada durasi pendek, dari 3-4 jam,dan dengan demikian
memerlukan administrasi yang sering.

Electroconvulsive therapy (ECT)

Pedoman dari APA menunjukkan bahwa ECT adalah pengobatan yang paling
sindrom katatonik. Banyak studi dan laporan kasus telah menunjukkan, pada
kenyataannya, bahwa ECT memiliki probabilitas keberhasilan tinggi dalam
pengobatan segala bentuk katatonia, termasuk katatonia maligna dan sindrom
neuroleptik maligna. Secara khusus, pengobatan yang cepat dengan ECT ditunjukkan
dalam kasus untuk lorazepam, subtipe bersemangat-bingung dan bentuk maligna
katatonia.
Dalam penilaian retrospektif baru-baru ini dari 27 pasien katatonik yang
diobati dengan ECT, respon yang lebih baik dikaitkandengan usia yang lebih muda,
kejang yang lebih lama, gangguan vegetatif berat (khususnya pada demam tinggi)
dan inisiasi awal terapi. Penundaan ECT, diagnosis selain dari gangguan mood dan
pengobatan jangka panjang sebelumnya dengan antipsikotik tampakberhubungan
dengan respon negatif terapi.
Mengenai posisi elektroda, evaluasi ambang kejang, frekuensi dan jumlah
aplikasi, masih belum ada protokol pengobatan standar.Penempatan bitemporal
elektroda dengan impuls singkat awal umumnya direkomendasikan. Bahkan jika
respon cepat untuk sesi pertama ECT tercapai, bukti klinis menunjukkan bahwa siklus
6 sesi masih harus diselesaikan untuk mencegah risiko kekambuhan. Pada kasus
sindrom neuroleptik maligna dan katatonia maligna, kemungkinan ECT harian harus
dipertimbangkan selama minggu pertama pengobatan atau sampai gejala hilang. Jenis
jadwal ini dapat meningkatkan probabilitas efek samping kognitif (disorientasi
temporal sementara, gangguan memori jangka pendek), penilaian klinis harus
dilakukan mengingatrisiko morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan bentukbentuk katatonia.
Interupsi cepat BZD sebelum sesi pertama ECT dapat menyebabkan
eksaserbasi manifestasi katatonik, dan dengan demikian beberapa penulis telah
menyarankan bahwa pemberian merekaharus dilanjutkan sebelum dan selama ECT.
ECT menimbulkan risiko tambahan pada pasien yang imobiluntuk jangka waktu yang
panjang: peningkatan sementara kaliemia, biasanya disebabkan oleh ECT, dapat
meningkatkan kemungkinan potensi aritmia jantung. Profilaksis farmakologis yang
memadai, seperti antikoagulan (heparin atau warfarin), tetap akan menyetujui
pengobatan cukup aman dengan ECT.
Antagonis NMDA
7

Antagonis dari glutamat reseptor N-methyl-D-aspartate adalah terapi alternatif


dalam pengobatan katatonia resisten atau dengan adanya kontraindikasi untuk BZD
dan ECT. Beberapa laporan kasus telah menyarankan bahwa amantadine dan
memantine bermanfaat dalam pengobatan katatonia. Namun, harus dipertimbangkan
amantadine dapat memiliki efek samping antikolinergik, dan juga dapat meningkatkan
tonus dopaminergik. Dalam penelitian baru-baru ini, penggunaan efektif amantadine
(200-500mg oral atau parenteral) dan memantine (5-20 mg oral) sebagai terapi
tambahan untuk standar pengobatan BDZ/ECT. Pengaruh antagonis NMDA
umumnya lebih lambat dari BZD: respon pertama biasanya diamati dalam waktu 24
jam, meskipun respon yang lebih lengkap terjadi dalam waktu sekitar 3 minggu.

Daftar Pustaka
1. Maslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa: Ringkasan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta:
PT. Nuh Jaya, 2003
2. Kaplan, Sadock, Grebb. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Prilaku Psikiatri Klinis
Jilid Satu. Jakarta: Binarupa Aksara, 1997.
3. National Institue of Mental Health, National Institues of Health. www.nimh.nih.gov
diakses tanggal 8 Mei 2007.
4. Expert Consensus Treatment Guidelines for Schizophrenia: A Guide for Patients and
Families. www.nmah.com diakses tanggal 8 Mei 2007.
5. Schizophrenia. www.merck.com diakses tanggal 8 Mei 2007.
6. Schizophrenia. www.emedicine.com diakses tanggal 9 Mei 2007
7. Maramis W.F. Catatan lmu kedokteran jiwa. Airlangga universiti Press. Surabaya.
475-481,1980.
8. Maslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik : PT Nuh Jaya, 1999
9. Schizophrenia Treatment. www. Psychiatrist4u.co.uk diakses tanggal 9 Mei 2007.
1

Anda mungkin juga menyukai