A. Sentralisasi
Sentralisasi adalah memusatkan seluruh wewenang kepada sejumlah kecil manajer atau
yang berada di posisi puncak pada suatu struktur organisasi. Sentralisasi banyak
digunakan pada pemerintahan lama di Indonesia sebelum adanya otonomi daerah.
Kelemahan dari sistem sentralisasi adalah di mana seluruh keputusan dan kebijakan di
daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat, sehingga waktu
yang diperlukan untuk memutuskan sesuatu menjadi lama. Kelebihan sistem ini adalah di
mana pemerintah pusat tidak harus pusing-pusing pada permasalahan yang timbul akibat
perbedaan pengambilan keputusan, karena seluluh keputusan dan kebijakan dikoordinir
seluruhnya oleh pemerintah pusat.
B. Desentralisasi
Pada sistem pemerintahan yang terbaru tidak lagi banyak menerapkan sistem sentralisasi,
melainkan sistem otonomi daerah atau otda yang memberikan sebagian wewenang yang
tadinya harus diputuskan pada pemerintah pusat kini dapat di putuskan di tingkat
pemerintah daerah atau pemda. Kelebihan sistem ini adalah sebagian besar keputusan dan
kebijakan yang berada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa adanya campur tangan
dari pemerintahan di pusat. Namun kekurangan dari sistem desentralisasi pada otonomi
khusus untuk daerah adalah euforia yang berlebihan di mana wewenang tersebut hanya
mementingkat kepentingan golongan dan kelompok serta digunakan untuk mengeruk
keuntungan pribadi atau oknum. Hal tersebut terjadi karena sulit untuk dikontrol oleh
pemerintah di tingkat pusat.
Seperti telah diketahui, pemahaman dan tujuan "baik" semacam itu sudah
dipandang ketinggalan zaman. Saat ini desentralisasi dikaitkan pertanyaan
apakah prosesnya cukup akuntabel untuk menjamin kesejahteraan masyarakat
lokal.
Semata birokrasi untuk pelayanan tidak cukup untuk menjamin kesejahteraan
masyarakat, bahkan sering merupakan medium untuk melencengkan sumber daya
publik. Kontrol internal lembaga negara sering tak mampu mencegah berbagai
macam pelanggaran yang dilakukan pejabat negara.
Di Indonesia sejak tahun 1998 hingga baru-baru ini, pandangan politik yang
dianggap tepat dalam wacana publik adalah bahwa desentralisasi merupakan jalan
yang meyakinkan, yang akan menguntungkan daerah. Pandangan ini diciptakan
oleh
pengalaman sejarah selama masa Orde Baru di mana sentralisme membawa
banyak
akibat merugikan bagi daerah. Sayang, situasi ini mengecilkan kesempatan
dikembangkannya suatu diskusi yang sehat bagaimana sebaiknya desentralisasi
dikembangkan di Indonesia. Jiwa desentralisasi di Indonesia adalah "melepaskan
diri sebesarnya dari pusat" bukan "membagi tanggung jawab kesejahteraan
daerah".
Karena takut dianggap tidak politically correct, banyak orang enggan membahas
peran pusat dan daerah secara kritis. Kini sudah saatnya proses pembahasan
dibuka kembali dengan mempertimbangkan fakta-fakta secara lebih jujur
Kedua, batas antara pusat dan daerah tidak selalu jelas. Kepentingan di daerah
bisa terbelah antara para elite penyelenggara negara dan masyarakat lokal.
Adalah mungkin pemerintah pusat memainkan peran menguatkan masyarakat
lokal
dalam menghadapi kesewenangan kekuasaan. Ketiga, dalam suatu masyarakat
yang
berubah, tanggung jawab pusat maupun daerah akan terus berubah pula.
Dalam penyelenggaraan negara selalu ada aspek dan definisi baru tentang peran
pusat dan daerah. Misalnya, globalisasi akan meningkatkan kembali campur
tangan
pusat di daerah di sisi-sisi tertentu. Karena itu, desentralisasi dan
sentralisasi dapat terjadi bersamaan pada aspek-aspek berbeda.
ada pada domain di mana pengaruh etik pembangunan yang diterima secara
internasional. Pemerintah pusat juga berada pada hot spot proses politik.
Adalah lebih mungkin terjadi situasi di mana pemerintah di bawah tekanan jika
kekuatan masyarakat sipil bersatu.
Bagaimana hal-hal itu dapat menghasilkan sesuatu yang positif atau negatif
tergantung pada situasinya. Pertama yang penting adalah legitimasi politik
pemerintah pusat. Secara sederhana, harus dibedakan antara legitimasi terhadap
para pemimpin di tingkat nasional dan legitimasi terhadap birokrasi. Pemerintah
pusat sering harus mengandalkan birokrasi untuk programnya terhadap daerah.
Kepopuleran individu selalu tidak bertahan lama dan dapat segera dirusak oleh
ketidakmampuan memperbaiki mutu birokrasi.
Birokrasi sekali lagi adalah alat pemerintah pusat untuk melakukan perbaikan
daerah. Birokrasi, jika dirancang secara sungguh-sungguh, bisa berperan sebagai
alat merasionalisasikan masyarakat. Pemerintah pusat, misalnya, membantu
pemerintah daerah dalam mendesain pelayanan publik yang akuntabel.
Pemerintah
daerah sering pada situasi terlalu terpengaruh dengan kepentingan perpolitikan
lokal.
Dalam hal membicarakan sosok kegiatan “perencanaan” kedepan, tampaknya hal tersebut
tidak dapat dilepaskan dari konteks perkembangan politik kepemerintahan, sosial-
ekonomi, dan teknologi, serta paradigma perencanaan sendiri.
Definisi perencanaan dapat dikenali melalui 3 konsep formal, yaitu upaya mengkaitkan
keilmuan dan pengetahuan teknikal bagi :
(i) tindakan di dalam domain publik (action in the public domain), yang diangkat dari
filosofi politik, berupa suatu tindakan baik pengubahan kondisi perilaku rutin dan inisiasi
dari sesuatu matarantai konsekwensi agar tidak terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan,
(ii) proses pengarahan masyarakat (societal guidance), yang merupakan keterlibatan
peran pemerintah baik dalam bentuk alokasi dan inovasi,
(iii) proses transformasi sosial (social transformation), yang merupakan suatu proses
politik atau gerakan sosial-politik masyarakat karena kekosongan peran pemerintah dan
pasar (Friedmann, 1987) .
Beberapa bentuk perencanaan yang dikenali sampai dengan saat ini antara lain:
perencanaan proyek, perencanaan sektoral, perencanaan program pembangunan,
perencanaan makro ekonomi, dan perencanaan wilayah dan kota. Kegiatan perencanaan
sebagai besar merupakan proses tindakan mengubah kondisi dan pengarahan masyarakat
yang biasanya dilakukan oleh organisasi pemerintah. Namun pada akhir-akhir ini gerakan
sosial-politik masyarakat sangat dominan, sehingga tindakan perencanaan untuk
mengarahkan masyarakat tanpa proses pelibatan dan partisipasi masyarakat akan
menyebabkan berkurangnya atau tidak adanya legitimasi hasil suatu proses kegiatan
perencanaan.
Pertanyaan pokok yang diajukan dalam hal ini adalah (i) apa permasalahan pokok yang
dihadapi oleh masyarakat pada saat ini? (ii) nilai-nilai seperti apa yang diadopsi dalam
proses kegiatan perencanaan yang dapat dilakukan oleh pemerintah? bagaimana proses
kegiatan perencanaan itu sendiri dapat dilakukan oleh lembaga perencanaan atau profesi
perencana secara efektif sebagai alat pengambilan keputusan dan tindakan untuk
memecahkan permasalahan masyarakat?
Dengan melihat perkembangan situasi pada akhir-akhir ini, tulisan ini merupakan
sumbangan pemikiran untuk dapat membantu memecahkan permasalahan
kemasyarakatan melalui peningkatan kinerja perencanaan dengan pendekatan baru serta
memperkuat proses perencanaan secara transparan, akuntabel, dan partisipatif di berbagai
tingkatan pemerintahan.
Dalam kegiatan atau tindakan perencanaan, permasalahan yang muncul secara umum
adalah:
(1) adanya keraguan dari banyak kalangan terhadap keberadaan dan manfaat tindakan
perencanaan untuk dapat menyelesaian masalah yang dihadapi oleh masyarakat,
(2) kurangnya keterkaitan antara berbagai proses perencanaan didalam kegiatan sektor
publik dan kegiatan sosial-ekonomi yang berlangsung di masyarakat,
(3) kurangnya konsistensi antara kebijakan, perencanaan, dan pembiayaan, maupun
perencanaan tata ruang dan pertanahan, serta antara perencanaan sektoral dengan
perencanaan wilayah dan kota,
(4) kurang tanggapnya proses kegiatan perencanaan dengan kebutuhan “klien” yang ada,
atau terlepasnya kegiatan perencanaan dengan proses politik, serta kurang terbukanya
proses dan produk kegiatan perencanaan kepada publik,
(5) kurang efektifnya proses interaksi antara organisasi pemerintah, dunia usaha, dan
masyarakat dalam proses kegiatan perencanaan.
(6) lemahnya produk perencanaan untuk dapat memberikan informasi tentang kebijakan,
inovasi, dan input teknikal dalam perancangan kegiatan pembangunan atau investasi yang
berdampak pada perubahan ruang,
(7) kurangnya kapasitas organisasi perencanaan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya
baik dalam proses perencanaan, pengelolaan informasi bagi keperluan analisis
permasalahan dan kebijakan, serta proses pengambilan keputusan bagi pihak pelaku yang
berkepentingan,
(8) terbatasnya wawasan dan kemampuan para perencana untuk memahami paradigma,
metoda, dan proses perencanaan yang baik, dan cara kerja interaktif dengan disiplin lain,
pelaku berkepentingan, dan terutama dengan masyarakat.
Peran Perencanaan
Kegiatan perencanaan di negara maju telah berkembang sedemikian rupa sebagai bagian
dari proses untuk merespon permasalahan sosial-ekonomi dan politik, bahkan sudah
merupakan budaya masyarakat dan terkait erat dengan sistem manajemen publik.
Semakin maju budaya politik dan sistem manajemen publik, semakin besar kontribusi
perencanaan dalam memberikan informasi kebijaksanaan, inovasi, dan input teknikal
untuk mendukung proses pengambilan keputusan bagi pihak pelaku berkepentingan baik
sektor publik dan sektor privat, maupun individual. Kegiatan perencanaan yang paling
nyata adalah sebagai bentuk tindakan alokasi dan inovasi dalam arena publik termasuk
sebagai alat pengarahan masyarakat (societal guidance). akan tetapi jika peran
pemerintah gagal atau tidak kurang efektif maka proses perubahan sosial akan menguat
melalui kekuatan sosial-politik masyarakat. Dalam keadaan normal, tindakan
perencanaan tetap memegang prinsip untuk tidak mengurangi ruang gerak masyarakat
dan mekanisme pasar.
Kegiatan perencanaan dapat pula dikatagorikan sebagai barang dan jasa publik, yang
sebenarnya merupakan “jasa informasi kebijaksanaan, inovasi, dan input solusi teknikal”
bagi proses pengambilan keputusan oleh sektor publik dan sektor privat dalam hal:
(1) alokasi kegiatan atau investasi oleh pemerintah dalam penyediaan barang dan jasa
publik untuk memenuhi kebutuhan kolektif,
(2) alokasi kegiatan atau investasi oleh masyarakat dan usaha swasta dalam penyediaan
barang dan jasa privat untuk memenuhi kebutuhan pasar,
(3) tindakan pengaturan (insentif dan disinsentif) untuk mengarahkan pemanfaatan ruang
secara efektif dan efisien, dan membatasi distorsi dan mengurangi dampak ekternalities
yang diakibatkan oleh pemanfaatan ruang,
(4) menyediakan perlindungan atau pemberdayaan bagi kelompok masyarakat yang
lemah untuk memperoleh akses ruang bagi kebutuhan hidupnya.
(i) mendefinisikan persoalan dan mengkaitkan dengan tindakan atau intervensi kebijakan,
(ii) memodelkan dan menganalisis situasi bagi perumusan tindakan intervensi dengan
memperincikan kedalam instrumen kebijakan dan mobilisasi sumberdaya,
(iii) mendesain satu atau beberapa solusi dalam bentuk paket kebijakan, rencana
tindakan, dan kelembagaan, yang memuat dimensi (a) penetapan tujuan dan sasaran
kedepan, (b) pengorganisasian rencana tindakan, rancangan fisik atau ruang, (c)
kebutuhan masukan sumberdaya, (d) prosedur pelaksanaan, dan (e) pemantauan dan
evaluasi umpan balik,
(iv) melakukan proses evaluasi terhadap usulan alternatif solusi dari segi kelayakan
teknis, efektifitas biaya, analisis dampak, kelayakan politik, dll-nya.
Pada dasarnya nilai-nilai baku dalam kegiatan perencanaan adalah rasionalitas pasar dan
rasionalitas sosial-politik, yang mempengaruhi proses dan tindakan perencanaan.
Turunan dari keduanya adalah nilai-nilai seperti transparan, akuntabel, keadilan, dan
partisipatif atau demokratis.
Perencanaan yang “transparan”, cirinya adalah adanya proses perencanaan yang mudah
dimengerti, dimana informasi tentang produk dan informasi kebijakan dan input teknikal
tersedia dan aksesnya terbuka, dan pelaku berkepentingan dapat mengetahui apa peran
yang dimainkan dalam pengambilan keputusan atau terlibat dalam tindakan perencanaan.
Perencanaan yang “akuntabel” mempunyai ciri antara lain dapat dipertanggungjawabkan
dan sah diterima masyarakat, sesuai dengan tujuan yang ditetapkan, efisien dalam
menggunakan sumberdaya, efektif dalam pemecahan solusi masalah, memberi
keleluasaan dan kemudahan, dan melihat kepentingan masyarakat banyak. Perencanaan
yang “berkeadilan” mempunyai ciri antara lain dapat melihat keseimbangan antara hak-
hak individu dan dan kepentingan masyarakat banyak, atau memberikan pemihakan
kepada masayarakat yang lemah akses dan kemampuannya untuk mendapatkan
sumberdaya yang diperlukan. Perencanaan yang “partisipatif atau demokratis” dapat
dicirikan sebagai perencanaan yang mengadopsi prinsip interaktif, kesetaraan, dan
kooperatif dalam proses pengambilan keputusan secara bersama dengan
mempertimbangkan aspirasi semua pelaku yang berkepentingan dan bagi kepentingan
masyarakat banyak.
Substansi Perencanaan
Pertanyaan pokok adalah apa yang dimaksud desentralisasi itu dan elemen apa yang ada
didalamnya? apa permasalahan yang muncul sebgai akibat kebijakan desentralisasi dan
otonomi pada proses kegiatan perencanaan di daerah? bagaimana proses perencanaan
tersebut dapat dilakukan secara efektif dalam mendukung tujuan desentralisasi? apa
relevansi dari perencanaan terhadap tujuan desentralisasi?
Di negara kita, persoalan yang muncul secara tidak diduga akibat kebijakan desentralisasi
dan otonomi daerah adalah terkait dengan: (i) respon berlebihan terhadap batasan dan
lingkup kewenangan tugas yang diserahkan ke daerah otonom tanpa diimbangi dengan
kapasitas yang memadai, (ii) dampak negatif dari luasnya kekuasaan DPRD dalam
pengawasan, pemilihan dan pengangkatan kepala daerah, pengesahan anggaran dan
belanja daerah, (iii) tidak adanya hirarki antara pemerintah propinsi dan pemerintah
kabupaten/kota yang menimbulkan ketidakharmonisan hubungan kerja vertikal, (iv)
ketidakjelasan pemahaman terhadap transparansi dan akuntabilitas, serta partisipasi
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan publik sehingga timbul gerakan masa
yang bekelebihan, (v) penyempitan wawasan kebangsaan dan pembatasan proses
asimilasi budaya dan interaksi sosial sehingga timbul arogansi kedaerahan.
Dampak yang ditimbulkan terhadap kegiatan perencanaan adalah: (i) wewenang daerah
dalam kegiatan perencanaan yang penuh, sehingga proses pengambilan keputusan terjadi
ditingkat lokal, hubungan horisontal-internal menjadi kuat dibandingkan hubungan
vertikal-eksternal, (ii) peran lembaga perwakilan semakin besar dibandingkan dengan
eksekutif, rasionalistas perencanaan melemah dibandingkan rasionalitas konstituen,
metoda dan proses perencanaan berubah dari teknikal ke politikal dengan partisipasi
penuh dari berbagai pihak berkepentingan melalui forum-forum, dan (iii) sumber
pembiayaan dari pihak pemerintah propinsi dan pusat berkurang, sehingga kekuasaan
alokasi sumberdaya berada di tingkat lokal.
Perencanaan sangat jelas bersifat partisipatif. Namun bila dilihat dari sejarahnya, dasar
partisipasi di dalam perencanaan publik telah berubah dari partisipasi yang dilakukan
oleh sebuah kelompok kecil yang terdiri dari kalangan elit informal menjadi sebuah
kelompok unsur pendukung formal dengan dasar yang luas. Tujuan dari partisipasi warga
juga telah berubah. Warga sekarang dapat memegang tiga fungsi di dalam perencanaan.
Pertama adalah sebagai pendukung bagi lembaga perencanaan beserta kegiatan-
kegiatannya. Kedua, berfungsi sebagai alat untuk memperoleh kebijaksanaan dan
pengetahuan di dalam pengembangan sebuah rencana serta mengidentifikasi misi dari
lembaga perencanaan. Fungsi ketiga, dan yang mulai berkembang adalah fungsinya
sebagai pengawas atas haknya sendiri dan hak orang lain dalam merancang dan
menyampaikan kebijakan.
Terdapat lima peran yang dapat direncanakan oleh warga di dalam perencanaan, yaitu:
tinjauan dan komentar, konsultasi, pemberi nasihat, pengambilan keputusan bersama, dan
pengambilan keputusan terkendali. Warga dapat memegang lebih dari satu peran di
dalam suatu organisasi. Timbulnya peran warga di dalam perencanaan serta
meningkatnya lembaga perencanaan yang memiliki spesialisasi telah mengubah dasar
pengambilan keputusan dari community planning, dari yang murni berorientasi pada
kepentingan umum menjadi berorientasi terhadap kepentingan pribadi atau kelompok.
Lembaga perencanaan berfungsi atas nama suatu isu yang substansif dan pendukung
yang jelas.
Penulis telah mengidentifikasi enam strategi dari partisipasi warga. Ketepatan dan
keefektifan strategi-strategi ini akan bergantung pada dua kondisi.
Pertama adalah kondisi organisasi; yaitu misi, bantuan, serta sumber daya suatu
organisasi. Tidak semua strategi tepat untuk semua organisasi. Strategi yang berorientasi
pada konflik, yang bergantung kepada protes masyarakat, seperti yang diperlihatkan oleh
lembaga anti kemiskinan lokal, merupakan hal yang tidak tepat bagi lembaga
perencanaan umum. Tampaknya suatu strategi konflik akan lebih tepat bagi organisasi
reformasi sosial yang didukung secara pribadi, atau lebih menguntungkan lagi, yang
mendukung dirinya sendiri. Sebagian besar kelompok kurang beruntung yang berusaha
memperoleh perubahan sosial harus bergantung kepada sumber daya mereka sendiri atau
kepada kelompok lain yang simpatik dengan maksud mereka. Salah satu contoh yang
baik adalah perjuangan untuk memperoleh hak asasi: contoh yang lain adalah para buruh
yang terorganisir.
Strategi yang tepat bagi lembaga perencanaan umum dan sebagian besar lembaga
perencanaan community yang luas adalah strategi perubahan perilaku serta strategi
penambahan staf. Fungsi dari strategi penambahan staf adalah untuk menyediakan
sumber daya, legitimasi dan dukungan bagi keputusan perencanaan dan organisasi
perencanaan. Namun sumber daya, legitimasi serta dukungan seperti itu tidak dapat
diperoleh tanpa adanya dukungan dan keterlibatan para partisipan di dalam kegiatan
organisasi.
Dalam hal ini, para partisipan warga dapat dianggap sebagai anggota staf dari organisasi
perencanaan tersebut. Keahlian khusus yang dimiliki oleh para partisipan dipandang
memiliki nilai dalam membantu organisasi mencapai tujuan-tujuannya. Organisasi
tersebut jelas mengakui bahwa keahlian khusus serta pengetahuan merupakan dasar
pemikiran dalam pengambilan keputusan. Wewenang terakhir dalam pengambilan
keputusan terletak pada mereka dengan jabatan yang lebih tinggi di dalam struktur
organisasi – seperti dewan direktur, dewan wewenang, serta para anggota legislatif. Bila
di lain pihak, organisasi tersebut terus-menerus menolak memperhatikan usulan serta
nasihat para partisipan maka hubungan akan diakhiri. Harapan para partisipan tidak dapat
dipenuhi dan para partisipan akan menarik dukungan mereka. Strategi perubahan perilaku
tampaknya berguna dalam mengatasi apa yang biasanya disebut sebagai “politik” proses
perencanaan. Dengan karakteristik preferensi dari sasaran perencanaan yang dapat
diperdebatkan serta adanya konsep pasar bebas dari persaingan antar organisasi
community maka disarankan untuk mengangkat strategi partisipasi yang bertujuan untuk
mengakomodasi berbagai kepentingan. Strategi perubahan perilaku memiliki kelebihan
dalam memberikan preferensi nilai terhadap suatu dialog, memperbolehkan dialog
tersebut disiarkan di dalam konteks proses perencanaan tersebut. Organisasi lain yang
terlibat juga didorong untuk berpartisipasi agar menghilangkan perasaan takut mereka,
memperoleh masukan mereka, serta memperolah kerja sama mereka.
Kondisi kedua yang menentukan keefektifan dan ketepatan suatu strategi partisipasi
warga adalah peran spesifik yang diberikan kepada warga di dalam organisasi
perencanaan. Bila peran dari warga adalah untuk menyediakan fungsi sebagai pemberi
tinjauan dan komentar (lihat Bab 3) maka strategi penambahan staf atau strategi
perubahan perilaku, tentu saja sangat tidak tepat. Peran yang tepat untuk strategi
penambahan staf adalah sebagai penasihat atau pengambilan keputusan secara bersama.
Perlu ditekankan bahwa strategi partisipasi warga akan menentukan struktur peran warga
di dalam organisasi perencanaan.
“Strategi sisi permintaan” (demand side strategy) merupakan suatu cara pengembangan
suatu daerah dengan tujuan peningkatan pemenuhan permintaan lokal terhadap barang
dan jasa dari luar akibat perkembangan sosial-ekonomi masyarakat, sedangkan “strategi
sisi penawaran” (supply side strategy) merupakan cara yang ditujukan untuk
meningkatkan pasokan keluar atau ekspor yang biasanya didasarkan pada pemanfaatan
sumberdaya lokal; dan “strategi pelayanan kawasan” merupakan suatu cara untuk
mengembangkan daerah yang potensinya rendah melalui penyediaan pelayanan dengan
subsidi pemerintah.
(1) pengkaitan antara proses politik dan rasionalitas perencanaan kedalam proses analisis
kebijakan, analisis solusi teknikal, dan analisis organisasional pelaksanaan rencana,
(2) penerapan metoda interaksi multi organisasi atau antar pelaku berkepentingan dalam
proses pengambilan keputusan publik atau bertumpu pada kepentingan rakyat banyak,
(3) pengidentifikasian pada “klien” yang jelas dan menyentuh persoalan dasar secara
benar dan dengan solusi yang tepat .
(4) pengintegrasian potensi dan kapasitas sumberdaya yang tersedianya baik dari
pemerintah, usaha swasta, maupun masyarakat dalam proses perwujutan dan
pemanfaatan ruang,
(5) pemihakan dan pemberdayaan masyarakat yang lemah melalui metoda dialog,
partisipatif, dan pembimbingan,
Dalam rangka peningkatan kapasitas lembaga dan organisasi perencanaan di daerah, hal
penting yang perlu dilakukan adalah:
(1) pelembagaan cara pengaturan yang transparan dan akuntabel untuk dapat dapat
memberikan efektifitas pengarahan bagi masyarakat dan kemudahan dalam proses
transformasi sosial,
(2) pelembagaan cara pengaturan (standar operasi dan prosedur) partisipasi dan kemitraan
(usaha swasta, organisasi swadaya masyarakat, dan pemerintah) untuk menghasilkan
tindakan perencanaan yang didukung (legitimate) dan sesuai dengan kesepatan
kepentingan masyarakat banyak (democratic /participative),
(3) adanya kapasitas organisasi publik untuk dapat menjalankan cara pengaturan yang
disepakati, mengatur pemanfaatan potensi dan sumberdaya yang ada, mengkordinasikan
kepentingan dan kebutuhan organisasi-organisasi untuk mensinkronkan kegiatan
perencanaan dan pelaksanaan rencana.
Upaya untuk memperbaiki metoda perencanaan harus diikuti pula dengan pemahaman
mendalam informasi tentang aspirasi dan kebutuhan sebenarnya masyarakat sebagai
individu, keluarga, dan masyarakat sebagai pelaku dalam proses transformasi sosial
secara berkelanjutan; pengembangan metoda partisipasi masyarakat dalam pengambilan
keputusan publik proses perencanaan dan pelaksanaan rencana secara demokratik,
transparan, dan akuntabel. Untuk dapat memperbaiki kelembagaan perencanaan
diperlukan langkah kongkrit dengan mengatur keterkaitan dan konsistensi dengan proses
perencanaan lainnya, memperjelas pembagian tugas dan hubungan antar kegiatan
perencanaan (makro dan mikro) di berbagai tingkatan pemerintahan, merubah cara kerja
lembaga perencanaan di berbagai tingkatan pemerintahan, dan meningkatkan kapasitas
dan kemampuan sumberdaya manusia perencana.
(i) peningkatan kapasitas perencana yang terlibat dalam berbagai kegiatan perencanaan,
lembaga perencana harus dapat mengambil inisiatif untuk pemutakhiran wawasan,
pengetahuan, dan ketrampilan menggunakan metoda baru dalam proses perencanaan,
(ii) peningkatan hubungan kerja antar lembaga dan organisasi perencanaan, lembaga
perencana perlu melakukan interaksi antara para pelaku berkepentingan untuk dapat
mengembangkan proses perencanaan yang lebih baik bagi kepentingan masyarakat,
(iii) peningkatan pelayanan kepada masyarakat, diperlukan adanya pengingkatan kegiatan
informasi dan komunikasi yang menyangkut perkembangan keilmuan dan pengetahuan
teknikal dalam kegiatan perencanaan, serta memberikan informasi umpan balik kepada
lembaga atau organisasi perencanaan, termasuk lembaga pendidikan perencanaan.
Kesimpulan
Kebutuhan terhadap kegiatan perencanaan akan semakin besar untuk dapat memberikan
informasi kebijakan, inovasi, dan input teknikal dalam proses pengambilan keputusan
oleh pemerintah, usaha swasta, dan masyarakat. Dalam era otonomi, pemerintah daerah
memiliki tugas dan fungsi yang semakin penting dalam kegiatan pemerintahan dan
penyediaan pelayanan publik dimana dalam proses manajemen publik tersebut instrumen
perencanaan sangat penting untuk mengantisipasi kondisi masa depan, mengarahkan
masyarakat, dan mendorong proses transformasi sosial.
Secara khusus, kegiatan proses perencanaan wilayah dan kota harus dapat dilakukan
secara transparan, akuntabel, dan partisipatif (sebagai perwujudan prinsip-prinsip “good
governance”) yang dapat memberikan dukungan pencapaian tujuan peningkatan
kesejahteraan masyarakat, pertumbuhan ekonomi daerah, dan kelestarian lingkungan
hidup.