Anda di halaman 1dari 19

PENILAIAN DAN PERENCANAAN PREOPERATIF

Preoperatif adalah fase dimulai ketika keputusan untuk menjalani operasi


atau pembedahan dibuat dan berakhir ketika pasien dipindahkan ke meja operasi.
Penilaian preoperatif sebaiknya dilakukan untuk memantapkan hubungan dokter
dengan pasien. Penting untuk mendapatkan riwayat penyakit pasien dan
melakukan pemeriksaan yang benar untuk menilai kesehatan medis dan surgikal
pasien, khususnya untuk menilai derajat berat suatu penyakit sistemik dan resiko
morbiditas perioperatif. Untuk kasus-kasus elektif, kita harus dapat memanfaatkan
kesempatan untuk mengoptimalkan kondisi medis pasien untuk meminimalisasi
morbiditas perioperatif.
Evaluasi praoperasi
Tujuan dari evaluasi pra operasi adalah untuk mengidentifikasi dan
mengukur

komorbiditas

setiap

hal

yang

dapat

mempengaruhi

hasil

operasi. Evaluasi ini didasari oleh anamnesa dan pemeriksaan fisik dan dengan
data epidemiologi berdasarkan usia, jenis kelamin, atau pola perkembangan
penyakit. Tujuannya adalah untuk mengungkap masalah atau menerima optimasi
pra operasi
Pengelolaan Pre-operatif
A. Informed Concent

Informed Concent merupakan proses komunikasi antara dokter dan pasien


tentang kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap
pasien. Kemudian dilanjutkan dengan penandatanganan formulir Informed

Consent secara tertulis. Hal ini didasari atas hak seorang pasien atas segala
sesuatu yang terjadi pada tubuhnya serta tugas utama dokter dalam melakukan
penyembuhan terhadap pasien. Tujuan pemberian informasi secara lengkap
mengenai penyakit serta tindakan medis yang akan dilakukan adalah agar
pasien bisa menentukan sendiri keputusannya sesuai dengan pilihannya
sendiri.
B. Anamnesa
Anamnesis dapat diperoleh dengan bertanya langsung pada pasien atau melalui
keluarga pasien. Yang harus diperhatikan pada anamnesis :
1. Identifikasi pasien, misalnya : nama,umur, alamat, pekerjaan, dll.
2. Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat
menjadi penyulit dalam anesthesia, antara lain penyakit alergi, diabetes
mellitus, penyakit paru kronik (asma bronchial, pneumonia, bronchitis),
penyakit jantung dan hipertensi (seperti infark miokard, angina pectoris,
dekompensasi kordis), penyakit susunan saraf (seperti stroke, kejang, parese,
plegi, dan lainnya ), penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit ganguan
perdarahan (riwayat perdarahan memanjang).
3. Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin
menimbulkan intereaksi (potensiasi, sinergis, antagonis dll) dengan obat-obat
anestetik. Misalnya, obat anti hipertensi, obat-obat antidiabetik, antibiotik
golongan aminoglikosida, obat penyakit jantung (seperti digitalis, diuretika),
monoamino oxidase inhibitor, bronkodilator. Keputusan untuk melanjutkan
medikasi selama periode sebelum anestesi tergantung dari beratnya penyakit
dasarnya. Biasanya obat tetapi mengalami perubahan dosis, diubah menjadi

preparat dengan masa kerja lebih singkat atau dihentikan untuk sementara
waktu. Akan tetapi, secara umum dikatakan bahwa medikasi dapat dilanjutkan
sampai waktu untuk dilakukan pembedahan.
4. Alergi dan reaksi obat.
Reaksi alergi kadang-kadang salah diartikan oleh pasien dan kurangnya
dokumentasi sehingga tidak didapatkan keterangan yang memadai. Beratnya
berkisar dari asimptomatik hingga reaksi anfilaktik yang mengancam
kehidupan, akan tetapi seringkali alergi dilaporkan hanya karena intoleransi
obat-obatan. Pada evaluasi pre operatif dicatat seluruh reaksi obat dengan
penjelasan tentang kemungkinan terjadinya respon alergi yang serius, termasuk
reaksi terhadap plester, sabun iodine dan lateks. Jika respon alergi terlihat, obat
penyebab tidak diberikan lagi tanpa tes imunologik atau diberi terapi awal
dengan antihistamin, atau kortikosteroid.
5. Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu, berapa
kali dan selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplilkasi saat itu
seperti kesulitan pulih sadar, perawatan intensif pasca bedah.
6. Riwayat keluarga.
Riwayat anestesi yang merugikan atau membayakan pada keluarga yang lain
sebaiknya juga dieveluasi. Wanita pada usia produktif sebaiknya ditanyakan
tentang kemungkinan mengandung. Pada kasus yang meragukan, pemeriksaan
kehamilan preoperative merupakan suatu indikasi.
7. Riwayat sosial yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi seperti
perokok berat (diatas 20 batang perhari) dapat mempersulit induksi anestesi
karena merangasang batuk, sekresi jalan napas yang banyak, memicu
atelektasis dan pneumenia pasca bedah. Rokok sebaiknya dihentikan minimal

24 jam sebelumnya untuk menghindari adanya CO dalam darah. Pecandu


alkohol umumnya resisten terhadap obat-obat anestesi khususnya golongan
barbiturat. Peminum alkohol dapat menderita sirosis hepatic. Meminum obatobat penenang atau narkotik..
C. Pemeriksaan Fisik
. Pemeriksaan fisik sebaiknya terdiri dari :
1. Keadaan umum : gelisah, takut, kesakitan, malnutrisi, obesitas.
2. Tanda-tanda vital
Tinggi dan berat badan perlu untuk penentuan dosis obat terapeutik

dan pengeluaran urine yang adekuat selama operasi.


Tekanan darah sebaiknya diukur dari kedua lengan dan tungkai
(perbedaan bermakna mungkin memberikan gambaran mengenai

penyakit aorta thoracic atau cabang-cabang besarnya).


Denyut nadi pada saat istirahat dicatat ritmenya, perfusinya (berisi)
dan jumlah denyutnya. Denyutan ini mungkin lambat pada pasien
dengan pemberian beta blok dan cepat pada pasien dengan demam,
regurgitasi aorta atau sepsis. Pasien yang cemas dan dehidrasi

sering mempunyai denyut nadi yang cepat tetapi lemah.


Respirasi diobservasi mengenai frekuensi pernapasannya,
dalamnya dan pola pernapasannya selama istirahat.
Suhu tubuh (Febris/ hipotermi).
Visual Aanalog Scale (VAS).
Skala untuk menilai tingkat nyeri

3. Kepala dan leher

Mata : anemis, ikterik, pupil (ukuran, isokor/anisokor, reflek

cahaya).
Hidung : polip, septum deviasi, perdarahan.
Gigi : gigi palsu, gigi goyang, gigi menonjol, lapisan tambahan

pada gigi, kelainan ortodontik lainnya.


Mulut : Lidah pendek/besar, TMJ (buka mulut jari), Pergerakan

(baik/kurang baik), sikatrik, fraktur, trismus, dagu kecil.


Tonsil : ukuran (T1-T3), hiperemis, perdarahan
Leher : ukuran (panjang/pendek), sikatrik, masa

tumor,

pergerakan leher (mobilitas sendi servical) pada fleksi ektensi dan


ritasi, trakea (deviasi), karotik bruit, kelenjar getah bening. Dalam
prediksi kesulitan intubasi sering di pakai 8T (Teet, Tongue, Temporo
mandibula joint, Tonsil, Torticolis, Tiroid notch/TMD, Tumor,
Trakea)
4. Thoraks
Jantung. Auskultasi jantung mungkin ditemukan murmurs (bising

katup), irama gallop atau perikardial rub.


Paru-paru.
Inspeksi

Bentuk dada (Barrel chest, pigeon chest,


pectus

excavatum,

Frekuensi

kifosis,

(bradipnue/takipnue)

pernafasan

torakal,

abdominal/abdominal

torako),

skoliosis)
Sifat
torako
irama

pernafasan (reguler/ireguler, cheyne stokes,


biot),

Sputum

(purulen,

pink

frothy),

Kelainan lain (stridor, hoarseness/serak,


sindroma pancoas)

Palpasi

Vocal fremitus (normal, mengeras, melemah)

Auskulatasi

Bunyi nafas pokok ( vesikuler, bronchial,


bronkovesikuler,

amporik),

bunyi

nafas

tambahan (ronchi kering/ wheezing, ronchi


basah/rales,
Perkusi

bunyi

gesekan

pleura,

hippocrates succussion.
Sonor, hipersonor, pekak, redup.

5. Abdomen
Pristaltik (kesan normal/meningkat/menurun), hati dan limpa (teraba/tidak,
batas, ukuran, per-mukaan), distensi, massa atau asites (dapat menjadi
predisposisi untuk regurgitasi).
6. Urogenitalia.
Kateter (terpasang/tidak), urin [volume : cukup (0,5-1 cc/jam), anuria (<
20 cc/24 jam), oliguria (25 cc/jam atau 400 cc/24jam), Poliuria (> 2500
cc/24 jam)], kualitas (BJ, sedimen), tanda-tanda sumbatan saluran kemih
(seperti kolik renal).
7. Muskulo Skletal
Edema tungkai, fraktur, gangguan neurologik /kelemahan otot (parese,
paralisis, neuropati perifer, distropi otot).
D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium rutin preoperatif sekarang diminimalisasi,
pemeriksaan tersebut sudah seharusnya disesuaikan dengan keadaan masingmasing pasien.

The National Institute for Clinical Excellence telah membuat pedoman dan
sebagian besar rumah sakit memiliki versi pedoman ini sendiri-sendiri. Halhal berikut inilah yang harus dijadikan sebagai pedoman.
1. Hemoglobin.
Pasien yang sehat yang akan menjalani pembedahan elektif dengan
perkiraan kehilangan darah < 10% dari total volume darah tidak
memerlukan penilaian hemoglobin. Penilaian Hemoglobin diperlukan pada
neonatus < 6 bulan, wanita > 50 tahun, pria > 65 tahun, penyakit Sickle
Cell, malignansi, kelainan hematologis, kehilangan darah preoperative,
trauma, malnutrisi, penyakit sistemik lainnya dan ASA 3 atau di atasnya.
2. Ureum dan elektrolit
Tidak diindikasikan pada pasien sehat yang akan menjalani operasi elektif.
Diindikasikan pada pasien > 65 tahun, penyakit ginjal, diabetes, hipertensi,
penyakit jantung iskemik/vaskuler, penyakit liver. Pasien yang dalam
pengobatan digoksin, diuretik, steroid, ACE inhibitor dan agen anti
aritmia. Koreksi kelainan elektrolit yang cepat sebaliknya dapat membuat
pasien yang stabil menjadi bermasalah, seperti demielinisasi pontin sentral
saat koreksi hiponatremi, dan aritmia pada saat koreksi hipokalemia. Bila
mungkin, operasi seharusnya ditunda dan kelainan elektrolit dikoreksi secara
perlahan-lahan (kuranglebih 2-3 hari untuk hiponatremia).
3. Pembekuan
Diindikasan pada pasien dengan ggguan perdarahan yang sudah diketahui
atau koagulopati, pasien dengan terapi antikoagulan, tranfusi darah saat ini
menggantikan > 20% volume darah total, infus koloid atau substansi
plasma saat ini menggantikan > 20% volume darah total (volume darah
berkisar antara 70-80 ml/kg BB), memar yang diketahui sebabnya, kehilangan darah

dan atau penurunan hemoglobin yang tidak diketahui penyebabnya,


hipersplenisme, gangguan liver, gagal ginjal.
4. Elektrokardiogram
Diindikasikan pada pria > 40 atau wanita > 50, penyakit kardiovaskuler,
penyakit ginjal, diabetes, ketidakseimbangan elektrolit, aritmia, pasien
yang diterapi dengan antihipertensi, antiaritmia, dan antiangina. Perubahan
pada EKG terkini ( dalam waktu 3 bulan) harus dianggap signifikandan
perlu pemeriksaan lebih lanjut.
5. Foto rontgen thoraks
Diindikasikan pada pasien dengan penyakit dada, penyakit kardiovaskuler
yang membatasi aktivitas, perokok lama dengan gejala penyakit dada,
penyakit keganasan.
6. Pemeriksaan lain
Pemeriksaan lain mungkin diperlukan untuk penilaian lengkap terhadap
suatu penyakit yang berbahaya, efektivitas suatu pengobatan, dan apakah
pasien dalamkondisi medis optimum serta resiko-resiko lain yang ada pada pasien.
Pemeriksaannya dapat meliputi test fungsi paru, analisa gas darah
(penyakit paru dengan toleransi aktivitas yang terbatas), echocardiografi
(penyakit jantung dengan indikasi fungsi terbatas), EKG (penyakit arteri
koroner dengan angina), enzim-enzim hepar (pada alkoholisme, penyakit
liver), gula darah (diabetes), fungsi endokrin (hipo/hipertiroidisme).
Beberapa

pemeriksaan

juga

diperlukan

sebagai

dasar

untuk

membandingkan preoperative dengan intra dan post operatif (misalnya


analisa gas darah).
E. Persiapan Preoperatif

Alasan puasa sebelum operasi yaitu untuk meminimalkan isi perut dan
adanya resiko yang berhubungan dengan regurgitasi dan aspirasi paru
setelah induksi anestesi. Meskipun puasa cukup, beberapa pasien masih beresiko
muntah dan mengalami aspirasi paru, beberapa pasien mempunyai kemampuan
pengosongan lambung yang lambat atau penurunan tonus sfingter esofagus
yang lemah. Pada operasi elektif, umumnya :
Pada orang dewasa, puasa makan makanan padat 6 jam sebelum operasi.
Mereka boleh sarapan makanan ringan jika operasi dijadwalkan

siang.
Anak dan balita puasa boleh makan atau minum susu 6 jam sebelum

operasi.
Semua pasien tidak boleh minum sejak 2 jam sebelum operasi
Bayi diperbolehkan menyusui ASI atau formula sampai 4 jam sebelum operasi.

Persiapan Fisik
Persiapan fisik pre operasi yang dialami oleh pasien dibagi dalam 2 tahapan,
yaitu persiapan di unit perawatan dan persiapan di ruang operasi. Berbagai
persiapan fisik yang harus dilakukan terhadap pasien sebelum operasi antara
lain :4
1) Status kesehatan fisik secara umum
Sebelum dilakukan pembedahan, penting dilakukan pemeriksaan status
kesehatan secara umum, meliputi identitas klien, riwayat penyakit seperti
kesehatan masa lalu, riwayat kesehatan keluarga, pemeriksaan fisik lengkap,
antara lain status hemodinamika, status kardiovaskuler, status pernafasan,
fungsi ginjal dan hepatik, fungsi endokrin, fungsi imunologi, dan lain-lain.

Selain itu pasien harus istirahat yang cukup, karena dengan istirahat dan
tidur yang cukup pasien tidak akan mengalami stres fisik, tubuh lebih rileks
sehingga bagi pasien yang memiliki riwayat hipertensi, tekanan darahnya
dapat stabil dan bagi pasien wanita tidak akan memicu terjadinya haid lebih
awal.
2) Status Nutrisi
Kebutuhan nutrisi ditentukan dengan mengukur tinggi badan dan berat
badan, lipat kulit trisep, lingkar lengan atas, kadar protein darah (albumin
dan globulin) dan keseimbangan nitrogen. Segala bentuk defisiensi nutrisi
harus dikoreksi sebelum pembedahan untuk memberikan protein yang
cukup untuk perbaikan jaringan. Kondisi gizi buruk dapat mengakibatkan
pasien mengalami berbagai komplikasi pasca operasi dan mengakibatkan
pasien menjadi lebih lama dirawat di rumah sakit. Komplikasi yang paling
sering terjadi adalah infeksi pasca operasi, dehisiensi (terlepasnya jahitan
sehingga luka tidak bisa menyatu), demam dan penyembuhan luka yang
lama. Pada kondisi yang serius pasien dapat mengalami sepsis yang bisa
mengakibatkan kematian.
3) Keseimbangan cairan dan elektrolit
Balance cairan perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan input dan output
cairan. Demikaian juga kadar elektrolit serum harus berada dalam rentang
normal. Kadar elektrolit yang biasanya dilakukan pemeriksaan di antaranya
adalah kadar natrium serum (normal : 135 -145 mmol/l), kadar kalium
serum (normal : 3,5 5 mmol/l) dan kadar kreatinin serum (0,70 1,50

mg/dl). Keseimbangan cairan dan elektrolit terkait erat dengan fungsi ginjal.
Dimana ginjal berfungsi mengatur mekanisme asam basa dan ekskresi
metabolit obat-obatan anastesi. Jika fungsi ginjal baik maka operasi dapat
dilakukan dengan baik. Namun jika ginjal mengalami gangguan seperti
oliguri/anuria, insufisiensi renal akut, dan nefritis akut, maka operasi harus
ditunda menunggu perbaikan fungsi ginjal, kecuali pada kasus-kasus yang
mengancam jiwa.
4) Kebersihan lambung dan kolon
Lambung dan kolon harus dibersihkan terlebih dahulu. Pasien dipuasakan
dan dilakukan tindakan pengosongan lambung dan kolon dengan tindakan
enema/lavement. Lamanya puasa berkisar antara 7 sampai 8 jam (biasanya
puasa dilakukan mulai pukul 24.00 WIB). Tujuan dari pengosongan
lambung dan kolon adalah untuk menghindari aspirasi (masuknya cairan
lambung ke paru-paru) dan menghindari kontaminasi feses ke area
pembedahan sehingga menghindarkan terjadinya infeksi pasca pembedahan.
Khusus pada pasien yang membutuhkan operasi CITO (segera), seperti pada
pasien kecelakaan lalu lintas, maka pengosongan lambung dapat dilakukan
dengan cara pemasangan NGT (naso gastric tube).
5) Pencukuran daerah operasi
Pencukuran pada daerah operasi ditujukan untuk menghindari terjadinya
infeksi pada daerah yang dilakukan pembedahan karena rambut yang tidak
dicukur

dapat

menjadi

tempat

bersembunyi

kuman

dan

juga

mengganggu/menghambat proses penyembuhan dan perawatan luka.

Meskipun demikian ada beberapa kondisi tertentu yang tidak memerlukan


pencukuran sebelum operasi, misalnya pada pasien luka incisi pada lengan.
Tindakan pencukuran (scheren) harus dilakukan dengan hati-hati jangan
sampai menimbulkan luka pada daerah yang dicukur. Sering kali pasien
diberikan kesempatan untuk mencukur sendiri agar pasien merasa lebih
nyaman.
Daerah yang dilakukan pencukuran tergantung pada jenis operasi dan
daerah yang akan dioperasi. Biasanya daerah sekitar alat kelamin (pubis)
dilakukan pencukuran jika yang dilakukan operasi pada daerah sekitar perut
dan paha. Misalnya : apendiktomi, herniotomi, uretrolithiasis, operasi
pemasangan plate pada fraktur femur, dan hemmoroidektomi. Selain terkait
daerah pembedahan, pencukuran pada lengan juga dilakukan pada
pemasangan infus sebelum pembedahan.
6) Personal Hygine
Kebersihan tubuh pasien sangat penting untuk persiapan operasi karena
tubuh yang kotor dapat merupakan sumber kuman dan dapat mengakibatkan
infeksi pada daerah yang dioperasi. Pada pasien yang kondisi fisiknya kuat
dianjurkan untuk mandi sendiri dan membersihkan daerah operasi dengan
lebih seksama. Sebaliknya jika pasien tidak mampu memenuhi kebutuhan
personal hygiene secara mandiri maka perawat akan memberikan bantuan
pemenuhan kebutuhan personal hygiene.
7) Pengosongan kandung kemih

Pengosongan kandung kemih dilakukan dengan melakukan pemasangan


kateter. Selain untuk pengongan isi bladder tindakan kateterisasi juga
diperlukan untuk mengobservasi balance cairan.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium rutin preoperatif sekarang diminimalisasi; pemeriksaan
tersebut sudah seharusnya disesuaikan dengan keadaan masing-masing pasien.
The

National Institute for Clinical Excellence telah membuat pedoman dan

sebagian besar rumah sakit memiliki versi pedoman ini sendiri-sendiri. Hal-hal
berikut inilah yang harus dijadikan sebagai pedoman.
1. Hemoglobin
Pasien yang sehat yang akan menjalani pembedahan elektif dengan
perkiraan kehilangan darah < 10% dari total volume darah tidak
memerlukan penilaian hemoglobin.
Penilaian Hemoglobin diperlukan pada

Neonatus < 6 bulan

Wanita > 50 tahun

Pria > 65 tahun

Penyakit Sickle Cell

Malignansi

Kelainan hematologis

Kehilangan darah preoperative

Trauma

Malnutrisi

Penyakit sistemik lainnya dan ASA 3 atau di atasnya

2. Ureum dan Elektrolit


Tidak diindikasikan pada pasien sehat yang akan menjalani operasi elektif.
Diindikasikan pada

Pasien > 65 tahun

Penyakit Ginjal

Diabetes

Hipertensi

Penyakit jantung iskemik/vaskuler

Penyakit liver

Pasien yang dalam pengobatan digoksin, diuretik, steroid, ACE


inhibitor,dan agen antiaritmia.

Koreksi kelainan elektrolit yang cepat sebaliknya dapat membuat pasien


yang stabil menjadi bermasalah, seperti demielinisasi pontin sentral saat
koreksi hiponatremi, dan aritmia pada saat koreksi hipokalemia. Bila
mungkin, operasi seharusnya ditunda dan kelainan elektrolit dikoreksi
secara perlahan-lahan (kurang lebih 2-3 hari untuk hiponatremia)
3. Studi Pembekuan
Indikasi

Gangguan perdarahan yang sudah diketahui atau koagulopati

Terapi antikoagulan

Tranfusi darah saat ini menggantikan > 20% volume darah total

Infus koloid atau substansi plasmasaat ini menggantikan > 20%


volume darah total (volume darah berkisar antara 70-80 ml/kg BB)

Memar yang diketahui sebabnya

Kehilangan darah dan atau penurunan hemoglobin yang tidak


diketahui penyebabnya

Hipersplenisme

Gangguan liver

Gagal Ginjal
4. Elektrokardiogram (EKG)
Indikasi

:
Pria > 40
Wanita > 50
Penyakit kardiovaskuler
Penyakit ginjal
Diabetes
Ketidakseimbangan Elektrolit
Aritmia
Pasien yang diterapi dengan

antihipertensi,

antiaritmia,

dan

antiangina.
Perubahan pada EKG terkini ( dalam waktu 3 bulan) harus dianggap
signifikan dan perlu pemeriksaan lebih lanjut.
5. Foto Rontgen Thoraks
Indikasi

Penyakit dada

Penyakit kardiovaskuler yang membatasi aktivitas

Perokok lama dengan gejala penyakit dada

Penyakit keganasan

Pada sebagian besar kondisi tersebut (dalam waktu kurang dari 3 bulan)
foto rontgen thoraks cukup memuaskan kecuali jika ada perubahan gejala.
6. Pemeriksaan Lain
Pemeriksaan lain mungkin diperlukan untuk penilaian lengkap terhadap
suatu penyakit yang berbahaya, efektivitas suatu pengobatan, dan apakah
pasien dalam kondisi medis optimum serta resiko-resiko lain yang ada
pada pasien.
Pemeriksaannya dapat meliputi

Test Fungsi Paru

Analisa Gas Darah (penyakit paru dengan toleransi aktivitas yang


terbatas)

Echocardiografi (penyakit jantung dengan indikasi fungsi terbatas)

EKG (penyakit arteri koroner dengan angina)

Enzim-enzim hepar (pada alkoholisme, penyakit liver)

Gula Darah (Diabetes)

Fungsi endokrin (hipo/hipertiroidisme)

Beberapa

pemeriksaan

juga

diperlukan

sebagai

dasar

untuk

membandingkan preoperative dengan intra dan post operatif (misal


Analisa Gas Darah).

Pemeriksaan Status Anestesi


Pemeriksaaan status fisik untuk dilakukan pembiusan ditujukan untuk
keselamatan

selama

pembedahan.

Sebelum

dilakukan

anestesi

demi

kepentingan pembedahan, pasien akan mengalami pemeriksaan status fisik


yang diperlukan untuk menilai sejauh mana resiko pembiusan terhadap diri
pasien. Pemeriksaan yang biasa digunakan adalah pemeriksaan dengan
menggunakan metode ASA (American Society of Anasthesiologist). Klasifikasi
status fisik menurut ASA adalah sebagai berikut :
-

ASA 1 :

Pasien tidak memiliki kelainan organik maupun

sistemik selain penyakit yang akan dioperasi.


-

ASA 2 :

Pasien yang memiliki kelainan sistemik ringan

sampai dengan sedang selain penyakit yang akan dioperasi.


Misalnya diabetes mellitus yang terkontrol atau hipertensi
ringan
-

ASA 3 : Pasien memiliki kelainan sistemik berat selain penyakit


yang akan dioperasi, tetapi belum mengancam jiwa. Misalnya
diabetes mellitus yang tak terkontrol, asma bronkial, hipertensi
tak terkontrol

ASA 4 :Pasien memiliki kelainan sistemik berat yang


mengancam jiwa selain penyakit yang akan dioperasi. Misalnya
asma bronkial yang berat, koma diabetikum

ASA 5 : Pasien dalam kondisi yang sangat jelek dimana


tindakan anestesi mungkin saja dapat menyelamatkan tapi risiko
kematian tetap jauh lebih besar. Misalnya operasi pada pasien
koma berat

Informed Consent
Selain dilakukannya berbagai macam pemeriksaan penunjang terhadap pasien,
hal lain yang sangat penting terkait dengan aspek hukum dan tanggung jawab
dan tanggung gugat, yaitu Informed Consent. Baik pasien maupun keluarganya
harus menyadari bahwa tindakan medis, operasi sekecil apapun mempunyai
resiko. Oleh karena itu setiap pasien yang akan menjalani tindakan medis,
wajib menuliskan surat pernyataan persetujuan dilakukan tindakan medis
(pembedahan dan anestesi).

PERSIAPAN PREOPERASI PADA PASIEN


Pada operasi elektif, umumnya :
Pada orang dewasa, puasa makan makanan padat 6 jam sebelum operasi.
Mereka boleh sarapan makanan ringan jika operasi dijadwalkan siang

Anak dan balita puasa boleh makan atau minum susu 6 jam sebelum
operasi

Semua pasien tidak boleh minum sejak 2 jam sebelum operasi

Bayi diperbolehkan menyusui ASI atau formula sampai 4 jam sebelum


operasi

Alasan puasa sebelum operasi yaitu untuk meminimalkan isi perut dan adanya
resiko yang berhubungan dengan regurgitasi dan aspirasi paru setelah induksi
anestesi. Meskipun puasa cukup, beberapa pasien masih beresiko muntah dan
mengalami aspirasi paru, pasien ini mempunyai kemampuan pengosongan
lambung yang lambat atau penurunan tonus sfingter esofagus yang

lemah

Profilaksis antasid sebaiknya diresepkan dan intubasi trakea harus dilakukan


dengan metode yang cepat. Pasien ini tidak cocok untuk pemasangan laryngeal
mask airway. Pasien yang memerlukan pembedahan emergensi dianggap
mempunyai perut yang terisi penuh bahkan meskipun saat ini kelaparan. Pasien
dengan abdomen akut jelas akan mengalami gastric stasis. Namun stasis dapat
juga terjadi akibat cemas, nyeri dan analgesik opioid.

Anda mungkin juga menyukai