Anda di halaman 1dari 27

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Makanan Indonesia yang enak itu perlu. Saya kira mungkin kita lebih
mengembangkan kekuatan kita pada makanan one-dish-meal, seperti soto,
gulai, rawon, dan sebagainya Sebenarnya masakan daerah kita banyak
yang enak-enak, dan masakan Indonesia itu kaya dari segi rasa.
(Onghokham, 1933 2007).1
Masalah suatu cuisine diakui secara internasional atau tidak sebetulnya
cuma soal enak atau tidak enak. Cocok untuk orang banyak atau tidak
Makanan daerah di Indonesia itu banyak yang enak Tapi makanan
Indonesia tidak diakui karena belum dikenal. (Umar Kayam, 1932 2002).2
Adiboga kita, sebenarnya bahan ada, elemennya semua ada, cuma
creative person-nya yang belum. Creative person itu harus menguasai
bukan saja sejarah Indonesia, tetapi juga ilmu bumi dan pertanian
Indonesia. (Iwan Tirta, 1935 - 2010).3
Pada 2011, CNN Go merilis poling bertajuk Worlds 50 Best Foods. Hasil
poling itu menempatkan rendang dalam urutan pertama sebagai makanan terlezat
di dunia, mengalahkan berbagai makanan dari negara lainnya.4
Masyarakat Indonesia pun dibuat bangga dengan hasil poling itu karena
dianggap telah melambungkan popularitas makanan dari Padang itu ke
mancanegara. Alasan untuk bangga itu pun terbilang istimewa, karena hasil
poling itu dijadikan sebagai keunggulan bagi Indonesia dalam menghadapi
Haryani, Perlukah Adiboga Indonesia?, Selera, No. 9/th. XIV, (Desember,
1995), hlm. 33.
1

Ibid., hlm. 34.

Ibid., hlm. 61.

Poling itu tersedia di laman: http://travel.cnn.com/explorations/eat/readerschoice-worlds-50-most-delicious-foods-012321.

Malaysia yang beberapa tahun sebelumnya acap berpolemik dengan negara jiran
itu terkait aksi saling klaim kebudayaan, termasuk salah satunya rendang.5
Rendang dapat dijadikan contoh bagus betapa makanan pun bisa menjadi
masalah seteru dalam kancah hubungan antarbudaya bangsa. Meski begitu tidak
banyak yang menyadari imbas dari hal itu bagi persatuan bangsa dan antarbangsa.
Dengan memahami masalah itu melalui sejarah makanan, sedianya dapat
dipahami bahwa makanan pun bisa dijadikan sebagai sarana membayangkan
adanya suatu rasa bersama yang mampu mewujudkan rasa persatuan itu.
Hal itu misalnya dapat dibuktikan dari bagaimana orang-orang Italia
membanggakan pasta sebagai salah satu makanan nasionalnya. Orang-orang Italia
sendiri tidak malu untuk mengakui, bahwa pasta adalah adopsi dari sejenis
vermicelli (bihun/mi) di China yang konon awalnya disaksikan dan dibawa
sampelnya ke Italia oleh Marco Polo pada abad ke-13 silam.
Kasus menarik lainnya adalah paella. Makanan berbahan beras berwarna
kuning efek dari peresapan kunyit dicampur bahan daging atau ikan laut ini adalah
menu bersama (sharing menu) di beberapa negara Mediterania. Meski diduga
pengaruh pilaf6 (makanan Arab warisan Abad Pertengahan) dan biryani7 (dari

Wacana Bondan Winarno dalam artikelnya Pameran Pusaka Bersama di


Kompas, (Sabtu, 12 September 2009), menyatakan begitu bagus perihal sedianya
kasus rendang dijadikan sebagai shared heritage (pusaka bersama) oleh orang
Minang dan Pahang (Malaysia). Secara historis orang-orang Pahang notabenenya
merupakan migrasi orang-orang dari Minang. Wajar jika kalio bukan rendang,
seperti dikatakan Bondan yang dikonsumsi oleh orang-orang Pahang punya ciri
yang tidak jauh berbeda dengan rendangnya orang-orang Minang.
6

Makanan ini dikonsumsi hampir merata di kawasan Arab (seperti Mesir), Turki,
dan kawasan beberapa negara di Mediterania khususnya Spanyol dan Italia. Lihat
Ken Albala (ed.), Food Cultures of the World Encyclopedia, (Oxford:
Greenwood, 2011), hlm. 52 (indeks Egypt, vol. 1); hlm. 211(indeks Turkey, vol.
1); hlm. 350 351 (indeks Spain, vol. 4); hlm. 208 (indeks Italy, vol. 4).

India), tapi bangsa Spanyol dan Italia menganggapnya sebagai makanan bersama,
meski masing-masing menamakannya berbeda.8
Jika itu bukti keharmonisan sharing menu di negara lain, maka bagaimana
dengan kasus di Indonesia? Apakah didapati pula keharmonisan semacam itu?
Idealnya begitu. Namun, nyatanya untuk kasus di Indonesia dan Asia Tenggara
umumnya, hal ini tidak selalu akur dan mudah diakurkan, seperti terlihat dari
kasus rendang. Ada bahkan pihak-pihak yang berusaha melacak jejak sejarahnya
demi melakukan legitimasi budaya, namun dalam penafsirannya terkesan lebih
mencari pembenaran daripada berusaha mencari kenyataan di balik hubungan
berbagai fakta pada masa lalu. Masalah lain di balik itu juga disebabkan belum
banyak sumber terkait rendang ditelusur dan didedah secara cermat.
Hal itu pun dapat dirasakan dari perkembangan makanan di Indonesia
beberapa tahun terakhir ini. Kegairahan untuk mengembangkan makanan di
Indonesia bahkan dilakukan mulai dari lembaga pemerintahan hingga media
massa yang berusaha untuk mengangkat ragam makanan di berbagai daerah di
Indonesia agar dikenal di lingkup nasional hingga internasional.9

Ibid, hlm. 98 (indeks India, vol.3). Nasi biryani juga menjadi salah satu
makanan nasional di Malaysia, mengingat mengakarnya pengaruh Arab dan India
di sana, ibid., hlm. 162 (indeks Malaysia, vol. 3). Nasi biryani pun didapati dan
menjadi bagian dari makanan khas di Aceh dan Sumatra Utara.
8

Pilaf mula-mula mulai diterima di Spanyol seiring mulai masuknya jenis beras
Mesir pada abad ke-10. Orang Spanyol lalu melafalkan pilaf menjadi paella.
Adapun di Italia, pilaf lebih sering disebut dengan risotto, ibid., hlm. 52 (vol. 1);
hlm. 208 (vol. 4). Menariknya, Nicole Tarulevicz dalam entri artikel Singapore,
menyebut bahwa nasi goreng atau juga nasi padang dari Indonesia adalah sejenis
hidangan nasi bergaya pilaf (a pilaf style dish), ibid., hlm. 244 (vol. 3).
9

Dalam konteks media massa, hal ini dapat dilihat dari seri Jelajah Kuliner
Nusantara yang digarap Kompas sejak 2013. Seri yang terbit pada hari minggu
dengan waktu terbit tidak teratur ini mengulas berbagai boga daerah dan etnik di

Sebuah proyek seleksi makanan tradisional garapan Kementerian


Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tahun 2013 bertajuk The 30 Indonesian
Traditional Culinary Icons adalah satu buktinya. Komposisi dari 30 ikon
tradisional itu terdiri dari 22 berasal dari Pulau Jawa, 5 dari Sumatra, dan masingmasing 1 dari Sulawesi dan Bali, serta 2 ikon nasional yaitu tumpeng dan nasi
goreng kampung.10 Di antara para penanggapnya menilai seleksi itu tidak
berimbang karena banyak makanan dan minuman khas dari daerah lainnya tidak
masuk di dalamnya.11 Kata tradisional pun menjadi aneh ketika klappertaart
disebut sebagai makanan tradisional Manado. Tentu jika menelusuri jejak
historis kue warisan masa kolonial Belanda itu, maka konteks tradisional
berbagai provinsi di Indonesia. Sebelum itu, wartawan Kompas Andreas Maryoto
yang intens menulis berbagai masalah pangan di surat kabar nasional ini pernah
membukukan tulisan-tulisannya di Kompas dengan judul Jejak Pangan; Sejarah,
Silang Budaya, dan Masa Depan, (Jakarta: Kompas, 2009). Koran Tempo pun
tidak ketinggalan dalam mengembangkan boga di Indonesia. Pada 8 April 2012,
surat kabar nasional ini pernah menyisipkan suplemen khusus bertajuk Masakan
Pusaka Nusantara. Suplemen ini berusaha mengungkap sebaran masakan di
berbagai provinsi di Indonesia yang dianggapnya sebagai pusaka.
10

Kementrian ini merilisnya dalam format video berdurasi 7 menit 7 detik dengan
musik latar lagu nasional Indonesia Pusaka yang diunggahnya di Youtube.
Adapun 30 ikon itu mencakup: nasi tumpeng, ayam panggang bumbu rujak
Yogyakarta, gado-gado Jakarta, nasi goreng kampung, serabi Bandung, sarikayo
Minangkabau, es dawet ayu Banjarnegara, urap sayuran Yogyakarta, sayur
nangka kapau, lunpia Semarang, nagasari Yogyakarta, kue lumpur Jakarta, soto
ayam Lamongan, rawon Surabaya, asinan Jakarta, sate ayam Madura, sate
maranggi Purwakarta, klappertaart Manado, tahu telur Surabaya, sate lilit Bali,
rendang Padang, orak arik buncis Solo, pindang patin Palembang, nasi liwet Solo,
es bir pletok Jakarta, kolak pisang ubi Bandung, ayam goreng lengkuas Bandung,
laksa Bogor, kunyit asam Solo, asam padeh tongkol Padang. Seperti apa tampilan
dan respons para penanggapnya dapat dilihat lebih lanjut dan diunduh di:
http://www.youtube.com/watch?v=mK5KYs-VK5s.
11

Dua orang staf dari Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sempat
menemui dan mewawancarai saya untuk meminta tanggapan dan pandangan
terkait video ini. Untuk Saudara Tatang dan Ibu Komang, saya juga mengucapkan
terima kasih atas informasi yang telah diberikan terkait kontroversi dan polemik di
balik proyek 30 ikon makanan tradisional ini.

kadang jadi menggelikan. Pasalnya, kata itu tidak disadari oleh awam, kadang
dikonotasikan lebih rendah gengsinya dari oposisi binernya, modern.12
Bagaimana hal semacam itu bisa menubuh dalam masalah makanan di Indonesia?
Masalah di atas itu menjadi menarik jika dihubungkan dengan pernyataan
seorang Indo Belanda bernama James Schuurmans berikut ini:
Kita pernah membeli sebuah buku cetak ulang masakan Indis terlengkap
karya dari Nyonya Cathenius van der Meyden (sic) 13 Tidak ditemukan
sebuah indikasi adanya (masakan) Jawa, Sunda, Bali dan lain-lain. Hanya
resep-resep Indis Sayangnya buku itu diambil oleh juru masak
Indonesia pertama kita. Betapa kasihan dia tidak mengerti apa yang dimau
oleh orang-orang Belanda14
Di manakah adiboga Indonesia? Sepertinya tidak lagi ada (orang
Indonesia) yang suka memasak. Si nyonya punya juru masak yang tidak
bisa memasak15
Penyataan Schuurmans itu sangat terasa begitu mengolok-olok boga16
Indonesia. Dengan kata lain ia terkesan hendak mengatakan, ada standar khusus

12

Pemerintah dan gastronom di Indonesia pun suka sekali menyebut makananmakanan daerah di Indonesia adalah tradisional bahkan melayakkannya
sebagai street food. Mereka terkesan sulit atau diliputi keraguan untuk
merumuskan atau menyebutnya dengan makanan Indonesia. Selain buktinya
terlihat dari proyek The 30 Indonesian Traditional Culinary Icons itu, bukti
menarik lainnya dapat dilihat dari sebuah buku karya Bondan Winarno. Bondan
yang juga terlibat dalam proyek itu kemudian menerbitkan buku panduan makan
bertajuk 100 Makanan Tradisional Indonesia Mak Nyus Bondan Winarno (100
Best Street Food of Indonesia), (Jakarta: Kompas, 2013).
13

Schuurmans salah menulis nama, yang seharusnya: Catenius-van der Meijden.

14

We ever bought a reprint of the large complete Indies Cookbook of a Mrs


Cathenius van der Meyden Never a regional indication such as Javanese,
Sundanese, Balinese etc. Just Indies recipes Unfortunately the book was stolen
by our first Indonesian cook. What a pity she could not understand Dutch, James
Schuurmans, Indies Cuisine, Indonesian Cuisine, INA Magazine vol. XXI no. 1,
(2009), hlm. 32.
15

Where is Indonesias haute cuisine? It seems nobody likes cooking anymore.


Madam has a cook that cannot cook, ibid., hlm. 30.

seni memasak yang sejatinya bisa membawa makanan di Indonesia pada haute
cuisine17 atau adiboga. Nada sindirnya pun mungkin diarahkan kepada para
gastronom Indonesia masa awal kemerdekaan yang dianggapnya salah
memperlakukan resep-resep masak buatan seorang gastronom kolonial. Lalu, apa
maksud Schuurmans mendikotomikan yang Indis dengan yang kedaerahan? Hal
apa yang tidak dimengerti orang Indonesia terhadap orang Belanda dalam
mengurus persoalan boga? Lalu, bisakah diterima pemikiran Schuurmans itu?
Setidaknya, kata cuisine yang dipakai dan dimaksudkan Schuurmans
cukup mengena dengan pemaknaan kata itu sendiri, sebagaimana sejarawan
Michael Freeman mengartikannya: sebuah kesadaran diri tradisi masak dan
makan... dengan seperangkat sikap tentang makanan dan ruangnya di mana
manusia hidup.18 Linda Civitello lebih lanjut menjelaskan pengartian Freeman

16

Boga diambil dari bahasa Sansekerta, bhoga atau bhogi, yang artinya
kenikmatan, hal makan; segala objek kenikmatan, makanan, kesenangan, lihat
P.J. Zoetmulder dan S.O. Robson, Kamus Jawa Kuna Indonesia, (bagian 1 A
O), (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm. 129. Kata boga sendiri dipakai dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh gastronom Indonesia Suryatini N.
Ganie sebagai cuisine, sehingga haute cuisine diterjemahkannya menjadi
upaboga atau adiboga. Lihat Suryatini N. Ganie, Upaboga di Indonesia:
Ensiklopedia Pangan & Kumpulan Resep, (Jakarta: Gaya Favorit Press, 2003).
Dalam penelitian ini, kata boga pun dipakai untuk menyebut cuisine.
17

Kata cuisine masuk ke dalam kosakata Inggris yang diserap dari bahasa Prancis
sejak abad ke-18. Cuisine sendiri diserap dari beberapa turunan kata Latin, antara
lain coquino (memasak), coquitatio (hal memasak), coquo, coxi, coctum (1.
membuat masak; memeram; menangas; menguapi; 2. Memasak; membakar;
merebus; menggoreng; mengolah; mencairkan), coquens (juru masak), coquus
(juru masak), lihat C.M. Prent, K., J. Adisubrata, dan W.J.S Poerwadaminta,
Kamus Latin Indonesia, (Jakarta: Kanisius, 1969), hlm. 196. Adapun dalam
bahasa Belanda, beberapa turunan kata Latin di atas, tidak dilafalkan dengan
cuisine, tapi keuken; sehingga, misalnya, untuk menyebut boga Indonesia, orang
Belanda akan menyebutnya Indonesische keuken.
18

A self-conscious tradition of cooking and eating . . . with a set of attitudes


about food and its place in the life of man, Michael Freeman dikutip dari Linda

itu dengan menekankan bahwa yang diperlukan dalam cuisine bukan hanya seni
memasak, tapi sebuah kesadaran tentang bagaimana makanan diolah dan
dikonsumsi. Jika pada fase kehidupan paling purba, manusia makan hanya
sekedar membuat kenyang atau bertahan hidup dan tidak ada pengelolaan atas
makanannya, itu bukanlah cuisine.19 Dengan memakai kerangka berpikir Freeman
dan Civitello itu, maka sejak kapan dan seperti apa kesadaran pengelolaan
makanan yang dimaksud keduanya itu berkembang dalam konteks Indonesia?
Pemikiran Freeman dan Civitello dan juga jika dihubungkan dengan
pernyataan Schuurmans itu tentu perlu ditanggapi secara serius untuk memahami
masalah makanan di Indonesia. Pernyataan Onghokham, Umar Kayam, dan Iwan
Tirta dalam majalah Selera20 yang pada Desember 1995 mengangkat edisi khusus
Perlukah Adiboga21Indonesia sebagaimana dikutip pada awal bab ini, secara tidak
langsung bisa dipakai, khususnya sebagai bahan untuk menanggapi pernyataan
Schuurmans. Menurut ketiga tokoh Indonesia itu, boga Indonesia memang
memiliki nilai lebih dari segi kekayaan bahan dan rasa, tapi dari segi pengelolaan
untuk menuju adiboga, masih didapati banyak kekurangan. Tersirat Onghokham
Civitello, Cuisine and Culture: a History of Food and People, (New Jersey:
Wiley, 2008), hlm. 3.
19

Ibid.

20

Selera adalah majalah boga pertama di Indonesia. Dipelopori pendiriannya oleh


Suryatini N. Ganie (alm.). Sejak 1981 1995 ia menjadi pemimpin redaksi
Selera. Suryatini N. Ganie sendiri adalah seorang gastronom yang mengakui bakat
seni memasaknya diwariskan dari eyang-nya, R.A. Kartini. Kepemimpinan
redaksi Selera pada medio 1995 kemudian diambil alih oleh Emma S.
Wirakusumah, seorang ahli gizi.
21

Kata ini adalah terjemahan majalah Selera atas terma Prancis haute cuisine.
Haute cuisine sendiri memiliki arti seni masak tingkat tinggi (top-grade cooking),
lihat Charles Sinclair, International Dictionary of Food and Cooking, (London: A
& C Black, 2005), hlm. 273.

dan Umar Kayam menghendaki agar sedianya di Indonesia perlu terlebih dahulu
dibuat konsep dan konsensus one-dish-meal dalam hal makanannya. Konsep ini
sendiri dapat dikatakan sebagai bentuk sederhana dari pembentukan boga nasional
(national cuisine)22 sebelum menapaki fase adiboga sebagaimana contohnya
terlihat dari kasus boga di China dan Prancis.23 Selain itu, pernyataan Iwan Tirta
lebih penting lagi untuk dikembangkan, bahwa menurutnya yang pokok untuk
dipikirkan dari persoalan boga haruslah terhubung-kait dengan penguasaan
pengetahuan sejarah, geografi, dan pertanian.
Apa yang dinyatakan Iwan itu nyatanya belum benar-benar dipikirkan
secara global hubung-kaitnya dalam konteks sejarah makanan di Indonesia. Maka
itu, perlu kiranya pemikiran dan permasalahan yang telah diulas di atas diteliti
dalam perspektif global untuk memahami jejak sejarah makanan di Indonesia.

22

Wacana sejarah boga nasional pernah dilakukan oleh beberapa sarjana dengan
spasial berbeda. Misalnya Jeffrey M. Pilcher, Tamales or Timbales: Cuisine and
the Formation of Mexican National Identity, 1821 1911, The Americas 53 (2),
(1996), hlm. 193 yang meneliti kasus di Meksiko. Boga Meksiko dikatakan
Pilcher lahir dari perjuangan kelas, gender, etnisitas, dan kedaerahan. Juga ada
studi national cuisine di India yang diteliti Arjun Appadurai, How to Make a
National Cuisine: Cookbooks in Contemporary India, Comparative Studies in
Society and History vol. 30, No. 1, January, (1988), hlm. 5. Boga India lahir dari
produksi buku-buku masak (cookbook) oleh kaum wanita kelas menengah yang
berbaur dengan nilai etnis dan kasta. Lain lagi kasus di Afrika yang diteliti Igor
Cusack, African Cuisines: Recipes for Nation Building?, Journal of African
Cultural Studies, vol. 13 Number 2, (December, 2000), hlm. 209. Seraya
meminjam ungkapan Michael Billig, Cussack mengatakan boga di Afrika adalah
sebentuk banal nationalism: everyday, unnoticed nationalism.
23

Haryani, op.cit., hlm. 33 34. Bandingkan dengan China yang punya menu
mahal dan istimewa macam Peking duck. Sama halnya dengan Prancis memiliki
foie gras (hati angsa yang digemukan), maka Indonesia tidak memiliki
kekhususan itu. Satai dan nasi goreng yang dikatakan khas Indonesia, misalnya, di
mata Onghokham (dalam Haryani, ibid) adalah pilihan yang umum dikonsumsi
kebanyakan orang di Indonesia dari segala kalangan. Sulit mengatakannya sebagai
adiboga yang sedianya menuntut diolah dari bahan-bahan mahal dan unik.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup


Sejarah makanan di Indonesia terbentuk dari beberapa lapisan waktu yang
jika dihubungkan dengan sumber-sumber sejarah setidaknya telah terasa makanan
dikonstruksi sebagai boga (cuisine) sejak abad ke-10 M seiring juga dengan
masuknya pengaruh citarasa China, India, dan Arab. Hal itu makin kompleks
ketika Eropa mulai menanamkan pengaruhnya sejak abad ke-16 hingga abad ke18 dengan ditandai masuknya secara bergelombang berbagai jenis bahan makanan
baru dari Benua Amerika dan Eropa ke Indonesia (dan juga sebaliknya) yang
dalam sejarah global dikenal dengan Columbian Exchange. Kurun waktu yang
panjang itu menjadi penentu bagi perkembangan dan pembentukan citra makanan
di Indonesia pada masa kolonial (abad ke-19 paruh pertama abad ke-20) hingga
masa kemerdekaan. Pokok permasalahan studi ini membahas perkembangan
makanan di Indonesia dengan memahaminya melalui perspektif global.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini berusaha untuk memahami
berbagai permasalahan seputar makanan di Indonesia yang dilihat secara global
melalui aspek-aspek antara lain politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Selain
menekankan Indonesia sebagai ruang lingkup spasial, aspek temporal yang
panjang (longue dure) di atas pun dipakai dalam penelitian ini sebagai sarana
untuk memahami permasalahan global makanan di Indonesia.
Permasalahan di atas lalu dijelaskan melalui beberapa pertanyaan.
Pertama, terkait memahami proses awal pembentukan citra makanan di Indonesia.
Mengapa beberapa jenis makanan bisa bertahan selama berabad-abad? Mengapa
beberapa jenis makanan dari pengaruh China, India, Arab, dan Eropa bisa
diterima dan menyatu sebagai bagian dari boga di Indonesia? Apa yang membuat

10

bahan makanan tertentu disukai dan lainnya tidak 24 serta dari semula makanan
yang tidak dikenal nama dan resep pengolahannya kemudian menjadi dikenal?25
Kedua, kurun waktu abad ke-19 penting dilihat sebagai suatu proses
pembentukan baru citra makanan di Indonesia. Dikatakan penting, karena hal itu
ada kaitannya dengan perubahan lingkungan dan budaya akibat penerapan sistem
budidaya pangan yang ternyata turut memengaruhi terjadinya perkembangan
makna makan dan makanan. Pengaruh dan perkembangan itu pun ditunjang pula
oleh kehadiran buku-buku sains makanan dan buku-buku masak karya orangorang berdarah Eropa yang mulai berkembang penerbitannya. Lalu, bagaimana
pengaruh dan perkembangan itu berlangsung? Siapa saja agen yang berperan
dalam menanamkan pengaruh itu?
Ketiga, perkembangan sains makanan dan gastronomi pada kurun 1900
1940 memengaruhi para ahli ilmu makanan dalam mendorong pembudidayaan
berbagai jenis bahan makanan untuk dimanfaatkan sebagai konsumsi rakyat. Hal
ini lalu memunculkan konsep makanan rakyat (volksvoedsel). Apa maksud
pengembangan makanan rakyat ini? Selain itu, muncul juga usaha para penulis
buku masak dari kalangan orang Belanda untuk mengkonsepkan dan
mengembangkan Indische keuken (boga Hindia Belanda). Bahan makanan berikut
olahannya dari berbagai wilayah pun coba direngkuh dalam satu kesatuan
24

Dalam penelitian ini akan dilacak beberapa kecenderungan dalam masalah boga
di Indonesia, seperti misalnya apa yang membuat beras lebih pokok daripada
jagung; daging sapi lebih unggul daripada kerbau; cabai lebih disukai daripada
lada; serta makanan dari Jawa dan Sumatra lebih dominan mewakili boga di
Indonesia dibandingkan dari luar daerah lainnya.
25

Salah satu yang akan dilacak dalam penelitian ini adalah rendang. Makanan
populer dari Padang ini nyaris tidak didapati nama dan resepnya dalam buku-buku
masak sejak abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Melalui penelitian ini dilacak
bagaimana mulanya rendang menjadi makanan populer di Indonesia.

11

geografis (baca: Hindia Belanda). Mengapa Indische keuken dibutuhkan orangorang Belanda? Apa maksud para penulis buku masak merengkuh makanan di
Hindia dalam satu kesatuan geografis? Kenyataannya, beberapa perempuan
Pribumi pun turut terpengaruh Indische keuken yang cenderung identik sebagai
wujud makanan ningrat. Mereka pun mulai menulis buku-buku masaknya
sendiri. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi mereka?
Keempat, pada masa 1930 1950, Indische keuken mulai mengalami
proses dekonstruksi. Citra makanan ningrat pun mulai tergeser oleh makanan
rakyat. Bahkan pada masa akhir 1940-an mulai muncul adanya kesadaran dari
penulis buku masak Indonesia untuk menyebut makanan Indonesia. Bagaimana
proses itu berlangsung? Mengapa hal itu terjadi? Faktor-faktor apa saja yang
menyebabkannya?
Kelima, pada masa 1950 hingga 1967, Pemerintah Indonesia giat
mengembangkan program dan propaganda makanan sehat bagi rakyat melalui
publikasi buku-buku ilmu makanan. Mengapa hal itu dilakukan? Apa yang
sebenarnya tengah terjadi pada masa itu serta apa pengaruhnya bagi kehidupan
rakyat? Selain itu, usaha memiliki buku masak nasional pun untuk pertama
kalinya dikerjakan melalui proyek ambisius pemerintah pada kurun 1960 1967.
Buku masak bertajuk Mustika Rasa ini merupakan sebentuk penegasan
pemerintah terhadap perlunya konsep makanan Indonesia sebagai wujud
simbolik dari bagaimana makanan dijadikan sebagai identitas bangsa. Ribuan
jenis resep yang terdiri dari warisan lawas (lokal dan asing) abad-abad
sebelumnya hingga temuan resep-resep baru dari berbagai daerah di Indonesia
dihimpun dalam buku masak ini. Bagaimana proses berlangsungnya penyusunan

12

buku masak nasional itu? Apa tujuan penyusunannya? Mengapa pemerintah


merasa perlu untuk mewujudkannya? Tantangan apa saja yang dihadapi dalam
penyusunan buku masak nasional itu?
Lingkup makanan di Indonesia yang dikaji dalam penelitian ini bukan
berarti hendak merengkuh secara rinci keseluruhan makanan di berbagai daerah
dan apalagi suku-suku bangsa di Indonesia secara geografis dan etnografis.
Namun lebih diusahakan untuk menelusuri perkembangan citra makanan di
Indonesia yang tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan unsur-unsur penting antara
lain politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Hubungan makanan dengan unsur-unsur
itu sendiri ditempuh melalui proses evolusi yang panjang disertai berbagai
pengaruh global. Penelitian ini hendak mengkaji bagaimana unsur-unsur itu saling
berkait. Selain itu, penelitian ini juga berusaha untuk menelusuri jejak-jejak
sejarah makanan di Indonesia yang masih banyak tercecer dalam berbagai jenis
sumber (seperti penelitian prasasti dan naskah kuna, laporan perjalanan, hasil
penelitian ilmiah, hingga buku masak) dan di antaranya belum banyak tersentuh,
diabaikan, atau salah dimaknai. Adapun penamaan geografis antara lain
Nusantara, Hindia Timur, Hindia Belanda, dan Indonesia akan dipakai sesuai
dengan konteks zamannya.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Tema seputar makanan mulai mendapatkan perhatian dan diwacanakan
serius oleh peminat studi sejarah sebagai suatu kajian khusus setidaknya selama
tiga dasawarsa belakangan ini. Perhatian itu tentu saja bukan tanpa maksud dan

13

tujuan, mengingat masalah makanan ternyata bukan hanya menyangkut masalah


makanan saja, melainkan lebih rumit dari itu.
Dikatakan rumit, karena masalah makanan terkait dengan bagaimana
bahan-bahan makanan dibudidayakan, kebijakan politik dan ekonomi terkait tatakelola sistem budidaya itu, hingga persoalan budaya yang berpeluang
memunculkan aksi saling klaim makanan khas antarbangsa.26 Selain itu,
merebaknya berbagai upaya untuk menampilkan makanan daerah atau etnik juga
bisa memunculkan berbagai keambiguan.27 Rachel Slocum yang meneliti
fenomena makanan etnik bahkan berpendapat, bahwa tumbuh suburnya berbagai
rupa makanan etnik28 adalah sebuah ciri kecil dari tumbuhnya rasisme yang tidak
banyak disadari mengelindan dalam hidup keseharian. Hasilnya, hal-hal penting
yang seharusnya dikembangkan, sebut saja di antaranya masalah nutrisi dan
kesehatan serta ketahanan, revitalisasi, dan diversifikasi pangan luput dibenahi.
Masalah-masalah itu pun terasa mengelindan di Indonesia dan tentu saja
perlu dipahami akar masalahnya. Itulah mengapa melacak sejarah makanan dalam
penelitian ini menjadi tujuan penting untuk memahami bagaimana sejatinya

26

Salah satu kasusnya pada 2009 lalu Indonesia sempat berang ketika rendang
yang identik dengan makanan khas Minang diklaim juga sebagai makanan khas
dari Pahang, Malaysia. Lihat Bondan Winarno, (2009), op.cit.
27

Michiko Kubo yang melakukan riset kontemporer tentang makanan di


Indonesia pun mengomentari betapa membingungkannya batas-batas etnisitas
dalam konteks makanan di Indonesia. Lihat Michiko Kubo, The Development of
an Indonesian National Cuisine: A Study of New Movement of Instant Foods and
Local Cuisine, James Farrer (ed.), Globalization, Food and Social Identities in
the Asia Pacific Region (Tokyo: Sophia University Institute of Comparative
Culture, 2010).
28

Rachel Slocum, Race in the Study of Food, Progress in Human Geography.


35 (3), (2010), hlm. 303-314.

14

persoalan makanan di Indonesia didudukkan dalam sejarah dan juga sebaliknya,


bagaimana sejarah Indonesia dilihat dari persoalan makanan.

D. Tinjauan Pustaka
Pembahasan makanan dalam sejarah Indonesia masih amat minim
disinggung dan didalami para sejarawan atau peminat sejarah makanan. Malah
dalam lingkup Asia sendiri lebih khusus lagi Asia Tenggara, perhatian terhadap
sejarah makanan di Indonesia pun belum benar-benar terperhatikan secara khusus.
Hal ini bisa terlihat dari dua buku. Pertama Food Culture in Southeast
Asia (2008) karya Penny van Esterik. Buku ini secara umum membahas budaya
makan di Asia Tenggara secara selektif. Maksudnya, van Esterik secara umum
hanya menseleksi lalu membuat perbandingan singkat antarnegara seperti
Malaysia, Indonesia, dan Filipina. Hal menarik dalam studi perbandingannya ini,
van Esterik menyebut Indonesia sebagai island of cuisines, bukan lagi sekedar
sebutan klise island of spices. Van Esterik menyadari bukanlah hal mudah
mengupas sejarah makanan di Asia Tenggara. Pasalnya, beragam unsur seperti
lingkungan, bahasa, etnisitas, dan sistem politik berkelindan di dalamnya. 29
Hal itu pun kurang lebih sama dengan buku Food Culture in Colonial
Asia: a Taste of Empire yang digarap oleh Cecillia Leong-Salobir (2011). Meski
berlingkup Asia, Leong-Salobir hanya fokus pada tiga negara bekas koloni Inggris
yaitu India, Malaysia, dan Singapura. Buku ini pun sebatas membahas kontribusi
para pelayan/juru masak pribumi Asia dalam pengembangan makanan di ketiga
negara itu sejak 1858 1963. Adapun ruang yang dicakup Leong-Salobir adalah
29

Penny van Esterik, Food Culture in Southeast Asia, (London: Greenwood,


2008), hlm. xvi.

15

rumah tangga kolonial, hotel, dan restoran.30 Beberapa bagian dari buku ini
sebenarnya menyinggung sepintas hal-hal menarik tentang masalah pertanian,
rumah tangga, dan higienitas makanan di Indonesia pada masa kolonial sebagai
perbandingannya.31 Meski begitu, itu hanya disinggung sepintas lalu saja.
Sebenarnya penelitian Leong-Salobir sendiri cukup serupa dengan kasus
studi sejarah makanan dalam konteks penelitian sejarah budaya makan di
Indonesia beberapa tahun belakangan. Sebut saja buku saya sendiri Rijsttafel:
Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial, 1870 194232 (2011) dan juga
sebuah tesis dari Gregorius Andika Ariwibowo (2011) Pendidikan Selera:
Perkembangan Budaya Makan di Perkotaan Jawa pada Masa Akhir Kolonial.
Kedua penelitian ini masih mendudukkan makanan sebatas dalam wacana
permukaan, terutama gaya hidup di ruang sosial budaya perkotaan saja.
Maka, untuk meluaskan wacana terkait bagaimana konstruksi rasa dalam
pembentukan makanan di Indonesia yang mula-mula turut ditentukan oleh
perkembangan budidaya, penelitian Susie Protschky, Cultivated Taste: Colonial
Art, Nature and Landscape in the Netherlands Indies (2007) memberi kerangka
berpikir penting. Protschky melihat bagaimana budidaya perkebunan dan agraria
di Hindia Belanda dibangun citranya melalui perspektif seni rupa dan sastra Mooi

30

Cecillia Leong-Salobir, Food Culture in Colonial Asia: a Taste of Empire,


(London: Routledge, 2011), hlm. 2.
31

32

Ibid, hlm. 57, 69, 70.

Buku ini semula adalah tugas akhir (skripsi) saya di Jurusan Ilmu Sejarah
Universitas Padjadjaran yang dipertahankan pada 2006 dengan judul asli:
Rijsttafel: Perkembangan Budaya Makan di Pulau Jawa (1869 1942).
Perubahan menjadi budaya kuliner dan spasial di Indonesia semata-mata
didasari pertimbangan dengan penerbit untuk membuatnya menjadi sebuah bacaan
sejarah yang lebih populer.

16

Indi. Kerangka pemikiran ini setidaknya dapat menjadi model bagaimana jika
cultivated taste ala Protschky ini dibawa ke dalam permasalahan makanan.
Dalam meneliti perkembangan makanan di Indonesia didapati pula
penelitian yang mengkaji hubungan makanan di Indonesia sebagai identitas
bangsa. Dalam hal ini, ada pewacanaan sejarah kontemporer boga Indonesia yang
dilakukan Michiko Kubo dalam artikelnya The Development of an Indonesian
National Cuisine: a Study of New Movement of Instant Foods and Local Cuisine
(2010). Artikel Kubo ini hanya membahas pengaruh makanan instan dan boga
lokal dalam perkembangan kontemporer boga di Indonesia. Kubo sendiri tidak
melakukan studi sejarah komprehensif dalam penelitiannya tentang makanan di
Indonesia, sehingga hal itu menyisakan pertanyaan baginya tentang seperti apa
dan bagaimana proses pembentukan makanan di Indonesia itu sendiri. Penelitian
Kubo ini setidaknya bisa membantu mengiris fakta-fakta seputar perkembangan
makanan di Indonesia sejak kurun abad ke-19 yang tidak sampai dibahasnya.
Selain itu, persoalan budaya dan sejarah makanan di Indonesia pun masih
banyak dipertanyakan dalam ranah gastronomi, seperti tampak dari dua karya Sri
Owen berjudul Indonesian Regional Food and Cookery (1999) dan Indonesian
Food (2009). Dari dua karya gastronomi berbalut budaya ini, didapati hal menarik
tapi belum disadari oleh Sri terkait kekaguman sekaligus kebingungannya
terhadap buku Mustika Rasa yang disebutnya apakah ini: the first serious
Indonesian cookbook atau regional cookbook?33 Sri pun melihat mulai banyak
terbitnya buku-buku masak di Indonesia sebagai hal yang menarik. Dikatakan
menarik, karena fenomena penulisan resep-resep sebenarnya telah menggeser
33

Sri Owen, Indonesian Regional Food & Cookery, (London: Frances Lincoln
1999), hlm. 12.

17

tradisi pelisanan resep-resep yang berlaku pada abad-abad sebelumnya, termasuk


di lingkungan istana sekalipun.34 Lalu, masalah yang tersekam dan tidak bisa ia
retas adalah: apa sebenarnya motif dan imbas buku masak produk pemerintah
(baca: Departemen Pertanian) itu bagi pencitraan makanan di Indonesia?
Tinjauan pustaka di atas kiranya dapat membantu untuk mewacanakan
penggunaan sumber-sumber primer dalam penelitian ini, di antaranya penelitian
bahan makanan dan buku masak. Karya para ahli sains dan para penulis buku
masak memberikan banyak informasi penting yang mendukung penelitian ini.

E. Kerangka Pemikiran
Beberapa sejarawan makanan telah berusaha menampilkan hubungan
makanan dalam perspektif sejarah global dalam karya mereka.35 Pemikiran yang
secara jelas dan mendalam membahas hubungan itu tertuang dalam tulisan
Raymond Grew, Food and Global History, di mana ia menyatakan:
... para sejarawan berpikir secara global sebagai hasil dari respons
pengalaman kekinian terkait pandangan baru terhadap: segala kurun masa
lalu, penyelidikan atas hubungan-hubungan global, dan proses perubahan
akibat sejarah global yang mungkin diabaikan... Studi makanan dalam
sejarah global mau tidak mau harus memecahkan masalah periodisasi ini.
Beberapa tema... seperti lintas jarak jauh niaga bahan-bahan makanan...,
respons ekonomi subsisten terhadap perubahan-perubahan cuaca dan
wabah global, penyebaran teknik dan pemeliharaan makanan lintas
masyarakat dan benua (dimulai sejak masa kuna) berkembang luas dalam
sejarah. Manusia di seluruh dunia merawat itu semua menjadi lebih tinggi
dan membuatnya bertahan lebih lama dan itu terkait dengan sejarah global
34
35

Ibid.

Sebut saja beberapa contoh di antaranya: Linda Civitello, Cuisine and Culture:
a History of Food and People, (New Jersey: Wiley, 2008); Felipe FernndezArmesto, Near a Thousand Tables; a History of Food, (New York: The Free
Press, 2002); Reay Tannahill, Food in History, (New York: Stein and Day, 1973);
Jeffrey M. Pilcher, Food in World History, (New York: Routledge, 2006), dan
B.W. Higman, How Food Made History, (Oxford: Blackwell, 2012).

18

makanan pada masa modern; makanan adalah sebuah unsur penting dalam
relasi-relasi seperti ekonomi, kekuasaan, dan agama sebagai bagian dari
sejarah global yang (berlangsung) jauh lebih lampau.36
Pemikiran Grew sendiri sejalan dengan pemikiran Annales yang melihat
budaya material seperti makanan memiliki relasi dengan pola-pola mentalitas,
sebagaimana tertuang dalam wacana sejarah total Fernand Braudel. Melalui tiga
jilid bukunya Civilisation matrielle, conomie et capitalisme, XVe - XVIIIe
sicle,37 Braudel merumuskan konsep periode sejarah totalnya yang mencakup
unsur: masa yang panjang (longue dure) terkait ruang-ruang geografis, masa
yang sedang (conjoncture) terkait siklus ekonomi, dan masa yang pendek (les
vnements) terkait sejarah politik.38

36

historians, thinking globally as a result of contemporary experience invites


a new look at all periods of the past, probing for global connections and
recognizing global historical processes of change that may have been
underestimated The study of food in global history is unlikely to resolve this
issue of periodization. Some themes such as trade in food stuffs over great
distance; the response of subsistence economies to global changes in climate
and disease, and the spread across societies and continents of techniques for
producing and preserving food (beginning in ancient times)extend through
history. That human beings around the world are tending to grow taller and live
longer is related to the global history of food in the modern era, that food is a
crucial element in the relations of economies and empires and religions has been
a part of global history much longer. Raymond Grew, Food and Global
History, Raymond Grew (ed.), Food in Global History, (Colorado: Westview,
1999), hlm. 5 6.
37

Buku yang ditelaah di sini adalah versi terjemahan bahasa Inggris Civilization
and Capitalism: 15 18th Century, (London: Collins, 1984). Ketiga jilid itu
mencakup: Jilid I The Structure of Everyday Life: The Limits of the Possible; Jilid
II The Wheel of Commerce; dan Jilid III The Perspective of the World.
38

Ringkasan singkat tentang studi sejarah total Braudel di kawasan Mediterania


pada masa kekuasaan Philip II saya peroleh dari buku Christian Delacroix,
Franois Dosse, dan Patrick Garcia, Histoire et historiens en France depuis 1945,
(Paris : Association pour la diffusion de la pense Franaise, 2003), hlm. 28 - 30.
Dalam historiografi Asia Tenggara, studi sejarah total dipraktikkan begitu baik
dan rinci oleh Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450 - 1680,
Jilid I: Tanah di Bawah Angin, (Jakarta: Obor 1992) dan Jilid II: Dari Ekspansi

19

Konsep sejarah total Braudel sendiri sepintas terkesan meluputkan hal-hal


mikro di dalam sejarah. Akan tetapi, di kalangan sejarawan makanan ada yang
mencoba untuk membaharuinya melalui studi sejarah global dengan memilih
subyek makanan sebagai suatu unsur mikro yang penting untuk dikaji. Alasan
penting untuk dikaji itu sendiri tidak lepas dari pandangan bahwa makanan adalah
salah satu unsur paling melekat dalam sejarah kehidupan sehari-hari manusia.
Hal di atas bisa dirasakan lebih lanjut dalam pemikiran Massimo
Montanari yang mewacanakan hendaknya studi sejarah makanan didudukkan
dalam kerangka hubungan alam dan budaya; alam sebagai konstruksi budaya;
serta bagaimana memahaminya dalam ruang dan waktu.39 Sebagai suatu
komponen alam, tanah adalah ruang hidup yang memuat segala kepentingan
(budaya, sosial, ekonomi, dan politik). Segala kepentingan itu sebenarnya telah
mencerabut kealamian tanah dari akarnya. Marcel Sainclivier 40 melalui studinya
mempertanyakan: apakah ada makanan alami? Menurutnya, antitesis antara
makanan alami dan makanan yang diolah sebenarnya artifisial. Maksudnya,
bukan hanya faktor alam, tapi budaya pun menjadi faktor penting dalam
memainkan peran mengkonstruksi baik yang alami maupun diolah itu.

hingga Krisis, (Jakarta: Obor 1992); serta di Jawa oleh Denys Lombard, Nusa
Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu (tiga jilid), (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1996).
39

Massimo Montanari, Food is Culture, (Columbia: Columbia University Press,


2006), hlm. 1 18.
40

Marcel Sainclivier, Laliment naturel, un mythe ?, conomie rurale, N121,


(1977), hlm. 3.

20

Penyataan Sainclivier yang sejalan dengan Lvi-Strauss41 dan Montanari42 kiranya


menjadi beralasan jika menyelami konteks masalah makanan di Indonesia.43
Hal lain yang juga mesti dicermati dari konteks perkembangan makanan
(yang diolah) di Indonesia adalah sejak kapan dan bagaimana proses tradisi
melisankan resep beralih ke tulisan? Berkait ini, Walter J. Ong44 dan Mihai
Nadin45 yang menyarikan teorinya tentang pengaruh kelisanan, melek kirografik
(manuskrip) dan melek cetak, mengatakan cukup senada bahwa tulisan menata
kembali kesadaran. Distribusi buku masak yang diimbangi kemelekan aksara
telah menata kesadaran manusia dalam memaknai makna makan dan
makanannya. Hal ini setidaknya sejalan dengan pemikiran Montanari dalam
menyajikan proses bagaimana boga ditemu-ciptakan dan dikonstruksi melalui
skemanya yang menarik: fire -> cooking -> kitchen -> cuisine -> civilization46.

41

Lihat Claude Lvi-Strauss, The Raw and the Cooked (New York: Harper
Colophon, 1975). Apa yang dimaksudkan artifisial oleh Sainclivier, kiranya
menyambung dengan pemikiran Lvi-Strauss dalam Totemism bahwa makanan
bukan hanya baik untuk dimakan (bon manger) sebagai sifat alaminya, tapi
juga baik untuk dipikirkan (bon penser) sebagai sifatnya yang diolah.
Lihat Claude Lvi-Strauss, Totemism, (Boston: Beacon Press, 1963), hlm. 89.
42

Montanari membuktikan secara khusus dalam satu subbab bukunya bahwa rasa
itu sendiri adalah produk budaya. Montanari, op.cit., hlm. 61 66.
43

Istilah Tanah Air yang subur makmur atau gemah ripah loh jinawi yang
bahkan terpancar dalam aliran seni rupa Mooi Indi seringkali diterima dan
dikagumi sebagai hal yang terberi secara alami. Padahal dalam penelitiannya yang
apik, Protschky menyebut di balik semua eksotisme itu berkelindan banyak
modus operandi kekuasaan kolonial. Protschky, op.cit., hlm. 86.
44

Walter J. Ong, Orality and Literacy: the Technologizing of the World, (London:
Routledge, 1989), hlm. 82.
45

Mihai Nadin, The Civilization of Illiteracy, (Dresden: Wuppertal, 1997), hlm.


446 447.
46

Montanari, op.cit., hlm. 29 34.

21

Untuk menuju fase cuisine dan civilization itu, Montanari lebih jauh
memahaminya dari imbas ketika makanan dituliskan dan resep-resep masak
dilisankan (written cuisine and oral cooking).47 Montanari mengatakan bahwa
dalam hubungan antara bahasa dan makanan terkandung kode-kode komunikasi
yang mengekspresikan makna-makna simbolik terhadap berbagai macam aspek
kehidupan masyarakat (seperti ekonomi, sosial, politik, agama, etnik, dan
estetik).48 Perkembangan berupa perubahan dan kemunculan jenis-jenis makanan
baru berikut kebiasaan makannya, adalah ekspresi dari berbagai macam hal yang
menghasilkan rasa sebagai suatu hal paling subtil di balik makna makan dan
makanan. Rasa memang lebih sering ditempatkan dalam fungsi biologis; namun
bagi Montanari, sebenarnya ini juga adalah produk budaya yang terbentuk dari
hubungan makanan dengan ruang-ruang geografis49, bahasa, dan identitas50.
Hubungan di atas itu sendiri sejalan dengan pemikiran seorang gastronom
kenamaan Prancis Jean Anthelme Brillat-Savarin51 yang merumuskan konsep
fisiologi rasa (physiologie du got). Brillat-Savarin menjadikan makanan
47

Ibid, hlm. 35 42.

48

Ibid., hlm. 133.

49

Ibid, hlm. 59 82.

50

Ibid, hlm. 91 138.

51

Brillat-Savarin (1755-1826) adalah sarjana hukum yang juga menekuni ilmu


kimia dan kedokteran, lalu ia meramu ketiga ilmunya itu untuk merenungi makna
makanan. Baginya, makanan pun punya aturan hukum dan sains yang tidak boleh
diabaikan. Pada akhir 1825 atau dua bulan sebelum ia meninggal, terbit karyanya
Physiologie du gout ou mditations gastronomie transcendante ouvrage
thorique, historique, et lordre du jour, (Paris : Librairie Garnier Frres, 1948).
Karyanya ini begitu terkenal dan dipakai dalam studi makanan di berbagai negara
hingga saat ini. Wujud fisiologi rasa dalam konteks gastronomi Asia Tenggara
dapat dirasakan dari pemikiran Sri Owen dalam bukunya New Wave Asian: a New
Look at Southeast Asian Food, (London: Quadrille, 2002), hlm. 6 9.

22

sebagai sarana merenung bagi para praktisi (sains dan gastronomi) terkait
bagaimana rasa (got) sebaiknya dikonstruksi. Menurutnya, rasa adalah indra
yang terhubung dengan sensasi kenikmatan di mana tubuh menyadari sensasi itu.
Sebagai perangsang selera, lapar, dan haus, maka rasa adalah dasar yang
menghasilkan bagaimana individu bertumbuh, berkembang, merawat, dan
membenahi kehilangan-kehilangan (dari kebiasaan makan sebelumnya) sebagai
akibat dari perubahan vital. Mengatur tubuh agar tidak makan dengan cara sama
sebagai pembeda dengan tubuh-tubuh lainnya, menghasilkan kreasi, meragamkan
metode, hingga pengaruhnya dalam menentukan aneka cara pengelolaannya, itu
semua adalah serangkaian dari beroperasinya (fungsi) rasa. 52
Wacana fisiologi rasa pun turut memengaruhi pandangan terkait
perubahan kebiasaan makan serta hubungan makanan dengan kesehatan, sains,
dan kesenangan yang menggoda selera. Pemikiran Brillat-Savarin ini berkembang
menggairahkan dalam kancah sejarah makanan di dunia, termasuk terasa pula
pengaruhnya dalam konteks sejarah makanan di Indonesia pada masa kolonial.
Dalam pengolahan makanan, ada aturan-aturan yang telah diturunkan
sejak silam. Namun, makna aturan-aturan itu makin kemari tidak terlalu disadari
atau hanya di bagian permukaan saja yang bisa diketahui dan dipahami.
Aturan-aturan terkait pengolahan rasa dalam makanan sendiri mengandung
intuisi terkait penseleksian bahan-bahan makanan untuk mewujudkan citarasa
52

Le got est celui de nos sens qui nous met en relation avec les corps sapides,
au moyen de la sensation qu'ils causent dans l'organe destin les apprcier. Le
got, qui a pour excitateurs l'apptit, la faim et la soif, est la base de plusieurs
oprations dont le rsultat est que l'individu crot, se dveloppe, se conserve et
rpare les pertes causes par les vaporations vitales. Les corps organiss ne se
nourrissent pas tous de la mme manire; l'auteur de la cration, galement vari
dans ses mthodes et sr dans ses effets, leur a assign divers modes de
conservation. Brillat-Savarin, op.cit., hlm. 25.

23

tertentu. Secara biologis/alamiah, manusia mempunyai bekal/bakat universal


dalam mengecap rasa melalui hubungan lidah dengan air liur (saliva)-nya. Namun
sifat universal itu tidak berlaku secara sosial dan budaya sebagai aspek yang lebih
luas dari bekal/bakat biologis itu. Pengaruh sosial dan budaya secara luas
menyentuh aturan moral, perintah, dan norma. Inilah yang membuat sifat rasa
menjadi nisbi, bersinggungan dengan berbagai biner, seperti: berselera tidak
berselera; enak tidak enak; halal haram; tradisional modern; hingga
ambigunya batas antara boga nasional, boga daerah, dan boga etnik.
Wacana rasa di atas akhirnya membawa masuk makanan ke dalam ruang
identitas. Rachel Slocum53 dan juga Jon D. Holtzman 54 menyiratkan bahwa semua
proses yang membuat hewan, vegetasi, atau mineral menjadi dapat dimakan, itu
semua berkait dengan apa yang terjadi kemudian pada tubuh dan tatanan sosial.
Salah satu hubungan yang memuat kelumit masalah adalah makanan dan identitas.
Ketika makanan dipahami dalam sirkulasi kekuasaan, maka diperlukan analisis
dengan kesadaran politis untuk melihat bagaimana misalnya identitas etnik hingga
bangsa itu dikonstruksi atau dibayangkan.55 Hal ini mendukung pemikiran Ian
Cook dan Philip Crang56 yang mengatakan makanan mestinya bukan didudukkan
sebagai artefak kebudayaan, tapi sebagai material dan praktik yang dapat bergeser
53

Slocum, op.cit., hlm. 303-314.

54

Jon D. Holtzman, Food and Memory, Annual Review of Anthropology 35,


(2006), hlm. 361378.
55

Kata dibayangkan ini terinspirasi dari pemikiran Benedict Anderson,


Imagined Communities (Komunitas-Komunitas Terbayang), (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002).
56

Ian Cook dan Philip Crang, The World on a Plate: Culinary Culture,
Displacement and Geographical Knowledges, Journal of Material Culture 1,
(1996), hlm. 131.

24

(displacement) dan berubah (change) melalui serangkaian proses yaitu, pertama:


invented -> invention, -> innovation, dan kedua constructed -> deconstructed ->
reconstructed. Praktik rasisme politik kolonial yang diberlakukan dalam
pendidikan hasrat57, misalnya, juga menggeser persoalan makna makan dan
makanan di tanah jajahannya. Selain itu, berbagai aspek seperti sistem budidaya,
produksi serta distribusi buku sains, buku masak, dan panduan rumah tangga,
bahkan hingga kegiatan misionarisasi58, tidak pernah disadari, turut andil pula
menggeser dan mengubah berbagai kebiasaan makan di Indonesia.

F. Metode Penelitian dan Sumber


Langkah heuristik penelitian ini adalah menelusuri sumber-sumber
kepustakaan primer dan sekunder. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
menjadi lokasi utama penemuan sumber-sumber primer berupa buku, majalah,
surat kabar, dan jurnal. Beberapa arsip terkait informasi seputar lembaga-lembaga
yang menaruh perhatian terhadap riset pangan dilacak di Arsip Nasional Republik
Indonesia di Jakarta serta Lembaga Pustaka Pertanian dan Herbarium di Bogor.
Beberapa sumber studi gastronomi sempat merujuk koleksi bibliotik Institut
57

Ann Stoler memandang ras adalah fiksi dan juga tidak disadari bahwa rasisme
sebagai produk politik kolonial turut membentuk hubungan-hubungan terkait
ruang geografis (spatial), sejarah, dan aspek-aspek hidup keseharian yang
terselubung (invisible). Lihat Ann Stoler, Race and the Education of Desire:
Foucaults History of Sexuality and the Colonial Order of Things (Durham: Duke
University Press, 1995).
58

Dalam kaitan kasus hubungan makanan dengan agama terbilang menarik,


sebagaimana diteliti Gabriele Weichart, Same Stuff, Different Meaning Same
Meaning, Different Stuff? A Story of Bread and Wine in Indonesia,
Anthropological Notebooks 12 (1), (2006). Telaah Weichart terkait fenomena
minuman anggur lokal dan roti lokal di Manado menandakan bahwa
Kristenisasi di Indonesia memang berhasil mengkonversi adab makan masuk ke
dalam milieu Barat. Pembahasan seputar hal ini dibahas dalam Bab II dan Bab III.

25

Franais dIndonsie (IFI) di Jakarta. Koleksi Hatta Corner UGM di Perpustakaan


UGM yang di antaranya memiliki koleksi-koleksi tua termasuk jurnal terbitan
berkala BKI dan TNI juga menjadi rujukan. Perpustakaan FIB UGM pun
menyediakan tambahan sumber-sumber yang membantu penelitian ini. Untuk
sebagian jurnal ilmiah kontemporer didapatkan dari layanan online internet
dengan mencantumkan alamat dan waktu pengunduhannya. Selebihnya, sebagian
sumber primer dan sekunder yang dipakai diperoleh dari koleksi pribadi, beberapa
perpustakaan pribadi serta hibah buku-buku yang dikirim oleh beberapa rekan.59
Sumber-sumber yang terkumpul dalam tahap heuristik kemudian diperiksa
data-datanya melalui tahap kritik. Data-data ini kemudian dianalisis dalam tahap
interpretasi hingga menghasilkan fakta-fakta sesuai dengan masalah yang dibahas.
Dalam penelitian ini, penganalisisan masalah perkembangan makanan di
Indonesia menggunakan pendekatan sejarah total. Pendekatan ini ditujukan
sebagai penjelas untuk memahami hubungan kausalitas (aspek politik, ekonomi,
sosial, dan budaya) dalam penelitian sejarah makanan yang memengaruhi
pembentukan mentalitas manusia dalam memaknai arti makan dan makanannya.
Tahap akhir yaitu historiografi. Dalam tahap ini hasil analisis dari faktafakta disusun berdasarkan kerangka dan tujuan dari penelitian ini.
59

Beberapa sumber didapatkan dari keterlibatan saya sebagai kontributor dalam


proyek penulisan buku Indonesian Food (2009) bersama Sri Owen (gastronom
Inggris) dan proyek buku bertema Peranakan Cuisine (masih berjalan) karya Siu
Ling Koo (gastronom Belanda). Buku-buku kiriman Sri Owen (beberapa di
antaranya Indonesia Regional Food and Cookery [1999], New Wave Asian: a New
Look at Southeast Asian Food [2002], dan Indonesian Food [2009]); dari Siu Ling
Koo (beberapa di antaranya Indisch Kookboek [1872] dan Mustika Rasa [1967]);
serta Gani A. Jaelani yang bermurah hati di tengah kesibukan studi doktoral di
Paris untuk memberikan beberapa buku studi sejarah makanan dan digitalisasi
beberapa sumber penelitian bahan makanan pada paruh pertama abad ke-20.
Semua itu sungguh membantu dalam memetakan masalah penelitian sejarah
makanan di Indonesia ini. Saya sangat berterima kasih untuk ketiganya.

26

G. Sistematika Penulisan
Tesis ini terbagi dalam delapan bab. Terkait latar penelitian ini dapat
dikerjakan (workable), tersedianya sumber (available) dan dapat diolah
(manageable), serta dapat dihasilkan suatu temuan dari masalah yang diteliti
(obtainable) tertuang dalam bab I.
Adapun Bab II terdiri dari dua bagian. Pertama membahas secara umum
latar belakang bagaimana perkembangan makanan pada masa kuna hingga
masuknya berbagai pengaruh asing pada abad ke-16. Ini akan terkait dengan
bagian dua yang membahas dinamika makna makan dan makanan dilihat dari
perubahan lingkungan alam dan budaya hingga akhir abad ke-18.
Bab III menekankan pembahasan pada abad ke-19 yang terbagi menjadi
tiga bagian. Bagian pertama mengulas pembudidayaan bahan makanan. Adapun
bagian kedua membahas pembentukan dan pertumbuhan selera makan baru.
Bahasan kemudian dilanjutkan ke Bab IV yang membahas seputar faktor
pendorong perubahan selera makan pada paruh kedua abad ke-19. Bab ini terdiri
dari dua bagian. Bagian pertama membahas awal kemunculan buku masak.
Adapun bagian kedua membahas saintifikasi bahan-bahan makanan di Hindia.
Pembahasan pengembangan makanan masa kolonial sejak 1900 hingga
1940 dibahas dalam Bab V. Kaitan antara masalah sains dan gastronomi hingga
buku-buku masak dibagi ke dalam dua bagian. Bagian pertama membahas
perkembangan aspek saintifikasi makanan hingga 1930; sedangkan bagian kedua
membahas perkembangan aspek gastronominya hingga 1940.
Adapun Bab VI membahas perkembangan makanan pada masa-masa sulit
yaitu sejak 1930 hingga 1950 yang dibagi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama

27

masa Malaise (1930 1942); bagian kedua masa Jepang (1942 1945); dan
bagian ketiga masa awal Kemerdekaan (1945 1950).
Selanjutnya Bab VII membahas perkembangan makanan pada masa pasca
kolonial. Bagian pertama melihat proses dan usaha pembentukan citra makanan
Indonesia; dilanjutkan bagian kedua yang mengulas seputar perkembangan
pangan dan penelitian makanan hingga tahun 1960. Bagian ketiga menyorot
proyek pengerjaan hingga terbitnya buku masakan nasional pertama di Indonesia,
Mustika Rasa (1960 1967).
Selepas uraian dari Bab I hingga VII, kesimpulan penelitian ini tertuang
dalam bab VIII. Bab ini menjawab pertanyaan penelitian yang sebelumnya
dirumuskan dalam Bab I.

Anda mungkin juga menyukai