BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Makanan Indonesia yang enak itu perlu. Saya kira mungkin kita lebih
mengembangkan kekuatan kita pada makanan one-dish-meal, seperti soto,
gulai, rawon, dan sebagainya Sebenarnya masakan daerah kita banyak
yang enak-enak, dan masakan Indonesia itu kaya dari segi rasa.
(Onghokham, 1933 2007).1
Masalah suatu cuisine diakui secara internasional atau tidak sebetulnya
cuma soal enak atau tidak enak. Cocok untuk orang banyak atau tidak
Makanan daerah di Indonesia itu banyak yang enak Tapi makanan
Indonesia tidak diakui karena belum dikenal. (Umar Kayam, 1932 2002).2
Adiboga kita, sebenarnya bahan ada, elemennya semua ada, cuma
creative person-nya yang belum. Creative person itu harus menguasai
bukan saja sejarah Indonesia, tetapi juga ilmu bumi dan pertanian
Indonesia. (Iwan Tirta, 1935 - 2010).3
Pada 2011, CNN Go merilis poling bertajuk Worlds 50 Best Foods. Hasil
poling itu menempatkan rendang dalam urutan pertama sebagai makanan terlezat
di dunia, mengalahkan berbagai makanan dari negara lainnya.4
Masyarakat Indonesia pun dibuat bangga dengan hasil poling itu karena
dianggap telah melambungkan popularitas makanan dari Padang itu ke
mancanegara. Alasan untuk bangga itu pun terbilang istimewa, karena hasil
poling itu dijadikan sebagai keunggulan bagi Indonesia dalam menghadapi
Haryani, Perlukah Adiboga Indonesia?, Selera, No. 9/th. XIV, (Desember,
1995), hlm. 33.
1
Malaysia yang beberapa tahun sebelumnya acap berpolemik dengan negara jiran
itu terkait aksi saling klaim kebudayaan, termasuk salah satunya rendang.5
Rendang dapat dijadikan contoh bagus betapa makanan pun bisa menjadi
masalah seteru dalam kancah hubungan antarbudaya bangsa. Meski begitu tidak
banyak yang menyadari imbas dari hal itu bagi persatuan bangsa dan antarbangsa.
Dengan memahami masalah itu melalui sejarah makanan, sedianya dapat
dipahami bahwa makanan pun bisa dijadikan sebagai sarana membayangkan
adanya suatu rasa bersama yang mampu mewujudkan rasa persatuan itu.
Hal itu misalnya dapat dibuktikan dari bagaimana orang-orang Italia
membanggakan pasta sebagai salah satu makanan nasionalnya. Orang-orang Italia
sendiri tidak malu untuk mengakui, bahwa pasta adalah adopsi dari sejenis
vermicelli (bihun/mi) di China yang konon awalnya disaksikan dan dibawa
sampelnya ke Italia oleh Marco Polo pada abad ke-13 silam.
Kasus menarik lainnya adalah paella. Makanan berbahan beras berwarna
kuning efek dari peresapan kunyit dicampur bahan daging atau ikan laut ini adalah
menu bersama (sharing menu) di beberapa negara Mediterania. Meski diduga
pengaruh pilaf6 (makanan Arab warisan Abad Pertengahan) dan biryani7 (dari
Makanan ini dikonsumsi hampir merata di kawasan Arab (seperti Mesir), Turki,
dan kawasan beberapa negara di Mediterania khususnya Spanyol dan Italia. Lihat
Ken Albala (ed.), Food Cultures of the World Encyclopedia, (Oxford:
Greenwood, 2011), hlm. 52 (indeks Egypt, vol. 1); hlm. 211(indeks Turkey, vol.
1); hlm. 350 351 (indeks Spain, vol. 4); hlm. 208 (indeks Italy, vol. 4).
India), tapi bangsa Spanyol dan Italia menganggapnya sebagai makanan bersama,
meski masing-masing menamakannya berbeda.8
Jika itu bukti keharmonisan sharing menu di negara lain, maka bagaimana
dengan kasus di Indonesia? Apakah didapati pula keharmonisan semacam itu?
Idealnya begitu. Namun, nyatanya untuk kasus di Indonesia dan Asia Tenggara
umumnya, hal ini tidak selalu akur dan mudah diakurkan, seperti terlihat dari
kasus rendang. Ada bahkan pihak-pihak yang berusaha melacak jejak sejarahnya
demi melakukan legitimasi budaya, namun dalam penafsirannya terkesan lebih
mencari pembenaran daripada berusaha mencari kenyataan di balik hubungan
berbagai fakta pada masa lalu. Masalah lain di balik itu juga disebabkan belum
banyak sumber terkait rendang ditelusur dan didedah secara cermat.
Hal itu pun dapat dirasakan dari perkembangan makanan di Indonesia
beberapa tahun terakhir ini. Kegairahan untuk mengembangkan makanan di
Indonesia bahkan dilakukan mulai dari lembaga pemerintahan hingga media
massa yang berusaha untuk mengangkat ragam makanan di berbagai daerah di
Indonesia agar dikenal di lingkup nasional hingga internasional.9
Ibid, hlm. 98 (indeks India, vol.3). Nasi biryani juga menjadi salah satu
makanan nasional di Malaysia, mengingat mengakarnya pengaruh Arab dan India
di sana, ibid., hlm. 162 (indeks Malaysia, vol. 3). Nasi biryani pun didapati dan
menjadi bagian dari makanan khas di Aceh dan Sumatra Utara.
8
Pilaf mula-mula mulai diterima di Spanyol seiring mulai masuknya jenis beras
Mesir pada abad ke-10. Orang Spanyol lalu melafalkan pilaf menjadi paella.
Adapun di Italia, pilaf lebih sering disebut dengan risotto, ibid., hlm. 52 (vol. 1);
hlm. 208 (vol. 4). Menariknya, Nicole Tarulevicz dalam entri artikel Singapore,
menyebut bahwa nasi goreng atau juga nasi padang dari Indonesia adalah sejenis
hidangan nasi bergaya pilaf (a pilaf style dish), ibid., hlm. 244 (vol. 3).
9
Dalam konteks media massa, hal ini dapat dilihat dari seri Jelajah Kuliner
Nusantara yang digarap Kompas sejak 2013. Seri yang terbit pada hari minggu
dengan waktu terbit tidak teratur ini mengulas berbagai boga daerah dan etnik di
Kementrian ini merilisnya dalam format video berdurasi 7 menit 7 detik dengan
musik latar lagu nasional Indonesia Pusaka yang diunggahnya di Youtube.
Adapun 30 ikon itu mencakup: nasi tumpeng, ayam panggang bumbu rujak
Yogyakarta, gado-gado Jakarta, nasi goreng kampung, serabi Bandung, sarikayo
Minangkabau, es dawet ayu Banjarnegara, urap sayuran Yogyakarta, sayur
nangka kapau, lunpia Semarang, nagasari Yogyakarta, kue lumpur Jakarta, soto
ayam Lamongan, rawon Surabaya, asinan Jakarta, sate ayam Madura, sate
maranggi Purwakarta, klappertaart Manado, tahu telur Surabaya, sate lilit Bali,
rendang Padang, orak arik buncis Solo, pindang patin Palembang, nasi liwet Solo,
es bir pletok Jakarta, kolak pisang ubi Bandung, ayam goreng lengkuas Bandung,
laksa Bogor, kunyit asam Solo, asam padeh tongkol Padang. Seperti apa tampilan
dan respons para penanggapnya dapat dilihat lebih lanjut dan diunduh di:
http://www.youtube.com/watch?v=mK5KYs-VK5s.
11
Dua orang staf dari Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sempat
menemui dan mewawancarai saya untuk meminta tanggapan dan pandangan
terkait video ini. Untuk Saudara Tatang dan Ibu Komang, saya juga mengucapkan
terima kasih atas informasi yang telah diberikan terkait kontroversi dan polemik di
balik proyek 30 ikon makanan tradisional ini.
kadang jadi menggelikan. Pasalnya, kata itu tidak disadari oleh awam, kadang
dikonotasikan lebih rendah gengsinya dari oposisi binernya, modern.12
Bagaimana hal semacam itu bisa menubuh dalam masalah makanan di Indonesia?
Masalah di atas itu menjadi menarik jika dihubungkan dengan pernyataan
seorang Indo Belanda bernama James Schuurmans berikut ini:
Kita pernah membeli sebuah buku cetak ulang masakan Indis terlengkap
karya dari Nyonya Cathenius van der Meyden (sic) 13 Tidak ditemukan
sebuah indikasi adanya (masakan) Jawa, Sunda, Bali dan lain-lain. Hanya
resep-resep Indis Sayangnya buku itu diambil oleh juru masak
Indonesia pertama kita. Betapa kasihan dia tidak mengerti apa yang dimau
oleh orang-orang Belanda14
Di manakah adiboga Indonesia? Sepertinya tidak lagi ada (orang
Indonesia) yang suka memasak. Si nyonya punya juru masak yang tidak
bisa memasak15
Penyataan Schuurmans itu sangat terasa begitu mengolok-olok boga16
Indonesia. Dengan kata lain ia terkesan hendak mengatakan, ada standar khusus
12
Pemerintah dan gastronom di Indonesia pun suka sekali menyebut makananmakanan daerah di Indonesia adalah tradisional bahkan melayakkannya
sebagai street food. Mereka terkesan sulit atau diliputi keraguan untuk
merumuskan atau menyebutnya dengan makanan Indonesia. Selain buktinya
terlihat dari proyek The 30 Indonesian Traditional Culinary Icons itu, bukti
menarik lainnya dapat dilihat dari sebuah buku karya Bondan Winarno. Bondan
yang juga terlibat dalam proyek itu kemudian menerbitkan buku panduan makan
bertajuk 100 Makanan Tradisional Indonesia Mak Nyus Bondan Winarno (100
Best Street Food of Indonesia), (Jakarta: Kompas, 2013).
13
14
seni memasak yang sejatinya bisa membawa makanan di Indonesia pada haute
cuisine17 atau adiboga. Nada sindirnya pun mungkin diarahkan kepada para
gastronom Indonesia masa awal kemerdekaan yang dianggapnya salah
memperlakukan resep-resep masak buatan seorang gastronom kolonial. Lalu, apa
maksud Schuurmans mendikotomikan yang Indis dengan yang kedaerahan? Hal
apa yang tidak dimengerti orang Indonesia terhadap orang Belanda dalam
mengurus persoalan boga? Lalu, bisakah diterima pemikiran Schuurmans itu?
Setidaknya, kata cuisine yang dipakai dan dimaksudkan Schuurmans
cukup mengena dengan pemaknaan kata itu sendiri, sebagaimana sejarawan
Michael Freeman mengartikannya: sebuah kesadaran diri tradisi masak dan
makan... dengan seperangkat sikap tentang makanan dan ruangnya di mana
manusia hidup.18 Linda Civitello lebih lanjut menjelaskan pengartian Freeman
16
Boga diambil dari bahasa Sansekerta, bhoga atau bhogi, yang artinya
kenikmatan, hal makan; segala objek kenikmatan, makanan, kesenangan, lihat
P.J. Zoetmulder dan S.O. Robson, Kamus Jawa Kuna Indonesia, (bagian 1 A
O), (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm. 129. Kata boga sendiri dipakai dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh gastronom Indonesia Suryatini N.
Ganie sebagai cuisine, sehingga haute cuisine diterjemahkannya menjadi
upaboga atau adiboga. Lihat Suryatini N. Ganie, Upaboga di Indonesia:
Ensiklopedia Pangan & Kumpulan Resep, (Jakarta: Gaya Favorit Press, 2003).
Dalam penelitian ini, kata boga pun dipakai untuk menyebut cuisine.
17
Kata cuisine masuk ke dalam kosakata Inggris yang diserap dari bahasa Prancis
sejak abad ke-18. Cuisine sendiri diserap dari beberapa turunan kata Latin, antara
lain coquino (memasak), coquitatio (hal memasak), coquo, coxi, coctum (1.
membuat masak; memeram; menangas; menguapi; 2. Memasak; membakar;
merebus; menggoreng; mengolah; mencairkan), coquens (juru masak), coquus
(juru masak), lihat C.M. Prent, K., J. Adisubrata, dan W.J.S Poerwadaminta,
Kamus Latin Indonesia, (Jakarta: Kanisius, 1969), hlm. 196. Adapun dalam
bahasa Belanda, beberapa turunan kata Latin di atas, tidak dilafalkan dengan
cuisine, tapi keuken; sehingga, misalnya, untuk menyebut boga Indonesia, orang
Belanda akan menyebutnya Indonesische keuken.
18
itu dengan menekankan bahwa yang diperlukan dalam cuisine bukan hanya seni
memasak, tapi sebuah kesadaran tentang bagaimana makanan diolah dan
dikonsumsi. Jika pada fase kehidupan paling purba, manusia makan hanya
sekedar membuat kenyang atau bertahan hidup dan tidak ada pengelolaan atas
makanannya, itu bukanlah cuisine.19 Dengan memakai kerangka berpikir Freeman
dan Civitello itu, maka sejak kapan dan seperti apa kesadaran pengelolaan
makanan yang dimaksud keduanya itu berkembang dalam konteks Indonesia?
Pemikiran Freeman dan Civitello dan juga jika dihubungkan dengan
pernyataan Schuurmans itu tentu perlu ditanggapi secara serius untuk memahami
masalah makanan di Indonesia. Pernyataan Onghokham, Umar Kayam, dan Iwan
Tirta dalam majalah Selera20 yang pada Desember 1995 mengangkat edisi khusus
Perlukah Adiboga21Indonesia sebagaimana dikutip pada awal bab ini, secara tidak
langsung bisa dipakai, khususnya sebagai bahan untuk menanggapi pernyataan
Schuurmans. Menurut ketiga tokoh Indonesia itu, boga Indonesia memang
memiliki nilai lebih dari segi kekayaan bahan dan rasa, tapi dari segi pengelolaan
untuk menuju adiboga, masih didapati banyak kekurangan. Tersirat Onghokham
Civitello, Cuisine and Culture: a History of Food and People, (New Jersey:
Wiley, 2008), hlm. 3.
19
Ibid.
20
Kata ini adalah terjemahan majalah Selera atas terma Prancis haute cuisine.
Haute cuisine sendiri memiliki arti seni masak tingkat tinggi (top-grade cooking),
lihat Charles Sinclair, International Dictionary of Food and Cooking, (London: A
& C Black, 2005), hlm. 273.
dan Umar Kayam menghendaki agar sedianya di Indonesia perlu terlebih dahulu
dibuat konsep dan konsensus one-dish-meal dalam hal makanannya. Konsep ini
sendiri dapat dikatakan sebagai bentuk sederhana dari pembentukan boga nasional
(national cuisine)22 sebelum menapaki fase adiboga sebagaimana contohnya
terlihat dari kasus boga di China dan Prancis.23 Selain itu, pernyataan Iwan Tirta
lebih penting lagi untuk dikembangkan, bahwa menurutnya yang pokok untuk
dipikirkan dari persoalan boga haruslah terhubung-kait dengan penguasaan
pengetahuan sejarah, geografi, dan pertanian.
Apa yang dinyatakan Iwan itu nyatanya belum benar-benar dipikirkan
secara global hubung-kaitnya dalam konteks sejarah makanan di Indonesia. Maka
itu, perlu kiranya pemikiran dan permasalahan yang telah diulas di atas diteliti
dalam perspektif global untuk memahami jejak sejarah makanan di Indonesia.
22
Wacana sejarah boga nasional pernah dilakukan oleh beberapa sarjana dengan
spasial berbeda. Misalnya Jeffrey M. Pilcher, Tamales or Timbales: Cuisine and
the Formation of Mexican National Identity, 1821 1911, The Americas 53 (2),
(1996), hlm. 193 yang meneliti kasus di Meksiko. Boga Meksiko dikatakan
Pilcher lahir dari perjuangan kelas, gender, etnisitas, dan kedaerahan. Juga ada
studi national cuisine di India yang diteliti Arjun Appadurai, How to Make a
National Cuisine: Cookbooks in Contemporary India, Comparative Studies in
Society and History vol. 30, No. 1, January, (1988), hlm. 5. Boga India lahir dari
produksi buku-buku masak (cookbook) oleh kaum wanita kelas menengah yang
berbaur dengan nilai etnis dan kasta. Lain lagi kasus di Afrika yang diteliti Igor
Cusack, African Cuisines: Recipes for Nation Building?, Journal of African
Cultural Studies, vol. 13 Number 2, (December, 2000), hlm. 209. Seraya
meminjam ungkapan Michael Billig, Cussack mengatakan boga di Afrika adalah
sebentuk banal nationalism: everyday, unnoticed nationalism.
23
Haryani, op.cit., hlm. 33 34. Bandingkan dengan China yang punya menu
mahal dan istimewa macam Peking duck. Sama halnya dengan Prancis memiliki
foie gras (hati angsa yang digemukan), maka Indonesia tidak memiliki
kekhususan itu. Satai dan nasi goreng yang dikatakan khas Indonesia, misalnya, di
mata Onghokham (dalam Haryani, ibid) adalah pilihan yang umum dikonsumsi
kebanyakan orang di Indonesia dari segala kalangan. Sulit mengatakannya sebagai
adiboga yang sedianya menuntut diolah dari bahan-bahan mahal dan unik.
10
bahan makanan tertentu disukai dan lainnya tidak 24 serta dari semula makanan
yang tidak dikenal nama dan resep pengolahannya kemudian menjadi dikenal?25
Kedua, kurun waktu abad ke-19 penting dilihat sebagai suatu proses
pembentukan baru citra makanan di Indonesia. Dikatakan penting, karena hal itu
ada kaitannya dengan perubahan lingkungan dan budaya akibat penerapan sistem
budidaya pangan yang ternyata turut memengaruhi terjadinya perkembangan
makna makan dan makanan. Pengaruh dan perkembangan itu pun ditunjang pula
oleh kehadiran buku-buku sains makanan dan buku-buku masak karya orangorang berdarah Eropa yang mulai berkembang penerbitannya. Lalu, bagaimana
pengaruh dan perkembangan itu berlangsung? Siapa saja agen yang berperan
dalam menanamkan pengaruh itu?
Ketiga, perkembangan sains makanan dan gastronomi pada kurun 1900
1940 memengaruhi para ahli ilmu makanan dalam mendorong pembudidayaan
berbagai jenis bahan makanan untuk dimanfaatkan sebagai konsumsi rakyat. Hal
ini lalu memunculkan konsep makanan rakyat (volksvoedsel). Apa maksud
pengembangan makanan rakyat ini? Selain itu, muncul juga usaha para penulis
buku masak dari kalangan orang Belanda untuk mengkonsepkan dan
mengembangkan Indische keuken (boga Hindia Belanda). Bahan makanan berikut
olahannya dari berbagai wilayah pun coba direngkuh dalam satu kesatuan
24
Dalam penelitian ini akan dilacak beberapa kecenderungan dalam masalah boga
di Indonesia, seperti misalnya apa yang membuat beras lebih pokok daripada
jagung; daging sapi lebih unggul daripada kerbau; cabai lebih disukai daripada
lada; serta makanan dari Jawa dan Sumatra lebih dominan mewakili boga di
Indonesia dibandingkan dari luar daerah lainnya.
25
Salah satu yang akan dilacak dalam penelitian ini adalah rendang. Makanan
populer dari Padang ini nyaris tidak didapati nama dan resepnya dalam buku-buku
masak sejak abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Melalui penelitian ini dilacak
bagaimana mulanya rendang menjadi makanan populer di Indonesia.
11
geografis (baca: Hindia Belanda). Mengapa Indische keuken dibutuhkan orangorang Belanda? Apa maksud para penulis buku masak merengkuh makanan di
Hindia dalam satu kesatuan geografis? Kenyataannya, beberapa perempuan
Pribumi pun turut terpengaruh Indische keuken yang cenderung identik sebagai
wujud makanan ningrat. Mereka pun mulai menulis buku-buku masaknya
sendiri. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi mereka?
Keempat, pada masa 1930 1950, Indische keuken mulai mengalami
proses dekonstruksi. Citra makanan ningrat pun mulai tergeser oleh makanan
rakyat. Bahkan pada masa akhir 1940-an mulai muncul adanya kesadaran dari
penulis buku masak Indonesia untuk menyebut makanan Indonesia. Bagaimana
proses itu berlangsung? Mengapa hal itu terjadi? Faktor-faktor apa saja yang
menyebabkannya?
Kelima, pada masa 1950 hingga 1967, Pemerintah Indonesia giat
mengembangkan program dan propaganda makanan sehat bagi rakyat melalui
publikasi buku-buku ilmu makanan. Mengapa hal itu dilakukan? Apa yang
sebenarnya tengah terjadi pada masa itu serta apa pengaruhnya bagi kehidupan
rakyat? Selain itu, usaha memiliki buku masak nasional pun untuk pertama
kalinya dikerjakan melalui proyek ambisius pemerintah pada kurun 1960 1967.
Buku masak bertajuk Mustika Rasa ini merupakan sebentuk penegasan
pemerintah terhadap perlunya konsep makanan Indonesia sebagai wujud
simbolik dari bagaimana makanan dijadikan sebagai identitas bangsa. Ribuan
jenis resep yang terdiri dari warisan lawas (lokal dan asing) abad-abad
sebelumnya hingga temuan resep-resep baru dari berbagai daerah di Indonesia
dihimpun dalam buku masak ini. Bagaimana proses berlangsungnya penyusunan
12
13
26
Salah satu kasusnya pada 2009 lalu Indonesia sempat berang ketika rendang
yang identik dengan makanan khas Minang diklaim juga sebagai makanan khas
dari Pahang, Malaysia. Lihat Bondan Winarno, (2009), op.cit.
27
14
D. Tinjauan Pustaka
Pembahasan makanan dalam sejarah Indonesia masih amat minim
disinggung dan didalami para sejarawan atau peminat sejarah makanan. Malah
dalam lingkup Asia sendiri lebih khusus lagi Asia Tenggara, perhatian terhadap
sejarah makanan di Indonesia pun belum benar-benar terperhatikan secara khusus.
Hal ini bisa terlihat dari dua buku. Pertama Food Culture in Southeast
Asia (2008) karya Penny van Esterik. Buku ini secara umum membahas budaya
makan di Asia Tenggara secara selektif. Maksudnya, van Esterik secara umum
hanya menseleksi lalu membuat perbandingan singkat antarnegara seperti
Malaysia, Indonesia, dan Filipina. Hal menarik dalam studi perbandingannya ini,
van Esterik menyebut Indonesia sebagai island of cuisines, bukan lagi sekedar
sebutan klise island of spices. Van Esterik menyadari bukanlah hal mudah
mengupas sejarah makanan di Asia Tenggara. Pasalnya, beragam unsur seperti
lingkungan, bahasa, etnisitas, dan sistem politik berkelindan di dalamnya. 29
Hal itu pun kurang lebih sama dengan buku Food Culture in Colonial
Asia: a Taste of Empire yang digarap oleh Cecillia Leong-Salobir (2011). Meski
berlingkup Asia, Leong-Salobir hanya fokus pada tiga negara bekas koloni Inggris
yaitu India, Malaysia, dan Singapura. Buku ini pun sebatas membahas kontribusi
para pelayan/juru masak pribumi Asia dalam pengembangan makanan di ketiga
negara itu sejak 1858 1963. Adapun ruang yang dicakup Leong-Salobir adalah
29
15
rumah tangga kolonial, hotel, dan restoran.30 Beberapa bagian dari buku ini
sebenarnya menyinggung sepintas hal-hal menarik tentang masalah pertanian,
rumah tangga, dan higienitas makanan di Indonesia pada masa kolonial sebagai
perbandingannya.31 Meski begitu, itu hanya disinggung sepintas lalu saja.
Sebenarnya penelitian Leong-Salobir sendiri cukup serupa dengan kasus
studi sejarah makanan dalam konteks penelitian sejarah budaya makan di
Indonesia beberapa tahun belakangan. Sebut saja buku saya sendiri Rijsttafel:
Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial, 1870 194232 (2011) dan juga
sebuah tesis dari Gregorius Andika Ariwibowo (2011) Pendidikan Selera:
Perkembangan Budaya Makan di Perkotaan Jawa pada Masa Akhir Kolonial.
Kedua penelitian ini masih mendudukkan makanan sebatas dalam wacana
permukaan, terutama gaya hidup di ruang sosial budaya perkotaan saja.
Maka, untuk meluaskan wacana terkait bagaimana konstruksi rasa dalam
pembentukan makanan di Indonesia yang mula-mula turut ditentukan oleh
perkembangan budidaya, penelitian Susie Protschky, Cultivated Taste: Colonial
Art, Nature and Landscape in the Netherlands Indies (2007) memberi kerangka
berpikir penting. Protschky melihat bagaimana budidaya perkebunan dan agraria
di Hindia Belanda dibangun citranya melalui perspektif seni rupa dan sastra Mooi
30
32
Buku ini semula adalah tugas akhir (skripsi) saya di Jurusan Ilmu Sejarah
Universitas Padjadjaran yang dipertahankan pada 2006 dengan judul asli:
Rijsttafel: Perkembangan Budaya Makan di Pulau Jawa (1869 1942).
Perubahan menjadi budaya kuliner dan spasial di Indonesia semata-mata
didasari pertimbangan dengan penerbit untuk membuatnya menjadi sebuah bacaan
sejarah yang lebih populer.
16
Indi. Kerangka pemikiran ini setidaknya dapat menjadi model bagaimana jika
cultivated taste ala Protschky ini dibawa ke dalam permasalahan makanan.
Dalam meneliti perkembangan makanan di Indonesia didapati pula
penelitian yang mengkaji hubungan makanan di Indonesia sebagai identitas
bangsa. Dalam hal ini, ada pewacanaan sejarah kontemporer boga Indonesia yang
dilakukan Michiko Kubo dalam artikelnya The Development of an Indonesian
National Cuisine: a Study of New Movement of Instant Foods and Local Cuisine
(2010). Artikel Kubo ini hanya membahas pengaruh makanan instan dan boga
lokal dalam perkembangan kontemporer boga di Indonesia. Kubo sendiri tidak
melakukan studi sejarah komprehensif dalam penelitiannya tentang makanan di
Indonesia, sehingga hal itu menyisakan pertanyaan baginya tentang seperti apa
dan bagaimana proses pembentukan makanan di Indonesia itu sendiri. Penelitian
Kubo ini setidaknya bisa membantu mengiris fakta-fakta seputar perkembangan
makanan di Indonesia sejak kurun abad ke-19 yang tidak sampai dibahasnya.
Selain itu, persoalan budaya dan sejarah makanan di Indonesia pun masih
banyak dipertanyakan dalam ranah gastronomi, seperti tampak dari dua karya Sri
Owen berjudul Indonesian Regional Food and Cookery (1999) dan Indonesian
Food (2009). Dari dua karya gastronomi berbalut budaya ini, didapati hal menarik
tapi belum disadari oleh Sri terkait kekaguman sekaligus kebingungannya
terhadap buku Mustika Rasa yang disebutnya apakah ini: the first serious
Indonesian cookbook atau regional cookbook?33 Sri pun melihat mulai banyak
terbitnya buku-buku masak di Indonesia sebagai hal yang menarik. Dikatakan
menarik, karena fenomena penulisan resep-resep sebenarnya telah menggeser
33
Sri Owen, Indonesian Regional Food & Cookery, (London: Frances Lincoln
1999), hlm. 12.
17
E. Kerangka Pemikiran
Beberapa sejarawan makanan telah berusaha menampilkan hubungan
makanan dalam perspektif sejarah global dalam karya mereka.35 Pemikiran yang
secara jelas dan mendalam membahas hubungan itu tertuang dalam tulisan
Raymond Grew, Food and Global History, di mana ia menyatakan:
... para sejarawan berpikir secara global sebagai hasil dari respons
pengalaman kekinian terkait pandangan baru terhadap: segala kurun masa
lalu, penyelidikan atas hubungan-hubungan global, dan proses perubahan
akibat sejarah global yang mungkin diabaikan... Studi makanan dalam
sejarah global mau tidak mau harus memecahkan masalah periodisasi ini.
Beberapa tema... seperti lintas jarak jauh niaga bahan-bahan makanan...,
respons ekonomi subsisten terhadap perubahan-perubahan cuaca dan
wabah global, penyebaran teknik dan pemeliharaan makanan lintas
masyarakat dan benua (dimulai sejak masa kuna) berkembang luas dalam
sejarah. Manusia di seluruh dunia merawat itu semua menjadi lebih tinggi
dan membuatnya bertahan lebih lama dan itu terkait dengan sejarah global
34
35
Ibid.
Sebut saja beberapa contoh di antaranya: Linda Civitello, Cuisine and Culture:
a History of Food and People, (New Jersey: Wiley, 2008); Felipe FernndezArmesto, Near a Thousand Tables; a History of Food, (New York: The Free
Press, 2002); Reay Tannahill, Food in History, (New York: Stein and Day, 1973);
Jeffrey M. Pilcher, Food in World History, (New York: Routledge, 2006), dan
B.W. Higman, How Food Made History, (Oxford: Blackwell, 2012).
18
makanan pada masa modern; makanan adalah sebuah unsur penting dalam
relasi-relasi seperti ekonomi, kekuasaan, dan agama sebagai bagian dari
sejarah global yang (berlangsung) jauh lebih lampau.36
Pemikiran Grew sendiri sejalan dengan pemikiran Annales yang melihat
budaya material seperti makanan memiliki relasi dengan pola-pola mentalitas,
sebagaimana tertuang dalam wacana sejarah total Fernand Braudel. Melalui tiga
jilid bukunya Civilisation matrielle, conomie et capitalisme, XVe - XVIIIe
sicle,37 Braudel merumuskan konsep periode sejarah totalnya yang mencakup
unsur: masa yang panjang (longue dure) terkait ruang-ruang geografis, masa
yang sedang (conjoncture) terkait siklus ekonomi, dan masa yang pendek (les
vnements) terkait sejarah politik.38
36
Buku yang ditelaah di sini adalah versi terjemahan bahasa Inggris Civilization
and Capitalism: 15 18th Century, (London: Collins, 1984). Ketiga jilid itu
mencakup: Jilid I The Structure of Everyday Life: The Limits of the Possible; Jilid
II The Wheel of Commerce; dan Jilid III The Perspective of the World.
38
19
hingga Krisis, (Jakarta: Obor 1992); serta di Jawa oleh Denys Lombard, Nusa
Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu (tiga jilid), (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1996).
39
20
41
Lihat Claude Lvi-Strauss, The Raw and the Cooked (New York: Harper
Colophon, 1975). Apa yang dimaksudkan artifisial oleh Sainclivier, kiranya
menyambung dengan pemikiran Lvi-Strauss dalam Totemism bahwa makanan
bukan hanya baik untuk dimakan (bon manger) sebagai sifat alaminya, tapi
juga baik untuk dipikirkan (bon penser) sebagai sifatnya yang diolah.
Lihat Claude Lvi-Strauss, Totemism, (Boston: Beacon Press, 1963), hlm. 89.
42
Montanari membuktikan secara khusus dalam satu subbab bukunya bahwa rasa
itu sendiri adalah produk budaya. Montanari, op.cit., hlm. 61 66.
43
Istilah Tanah Air yang subur makmur atau gemah ripah loh jinawi yang
bahkan terpancar dalam aliran seni rupa Mooi Indi seringkali diterima dan
dikagumi sebagai hal yang terberi secara alami. Padahal dalam penelitiannya yang
apik, Protschky menyebut di balik semua eksotisme itu berkelindan banyak
modus operandi kekuasaan kolonial. Protschky, op.cit., hlm. 86.
44
Walter J. Ong, Orality and Literacy: the Technologizing of the World, (London:
Routledge, 1989), hlm. 82.
45
21
Untuk menuju fase cuisine dan civilization itu, Montanari lebih jauh
memahaminya dari imbas ketika makanan dituliskan dan resep-resep masak
dilisankan (written cuisine and oral cooking).47 Montanari mengatakan bahwa
dalam hubungan antara bahasa dan makanan terkandung kode-kode komunikasi
yang mengekspresikan makna-makna simbolik terhadap berbagai macam aspek
kehidupan masyarakat (seperti ekonomi, sosial, politik, agama, etnik, dan
estetik).48 Perkembangan berupa perubahan dan kemunculan jenis-jenis makanan
baru berikut kebiasaan makannya, adalah ekspresi dari berbagai macam hal yang
menghasilkan rasa sebagai suatu hal paling subtil di balik makna makan dan
makanan. Rasa memang lebih sering ditempatkan dalam fungsi biologis; namun
bagi Montanari, sebenarnya ini juga adalah produk budaya yang terbentuk dari
hubungan makanan dengan ruang-ruang geografis49, bahasa, dan identitas50.
Hubungan di atas itu sendiri sejalan dengan pemikiran seorang gastronom
kenamaan Prancis Jean Anthelme Brillat-Savarin51 yang merumuskan konsep
fisiologi rasa (physiologie du got). Brillat-Savarin menjadikan makanan
47
48
49
50
51
22
sebagai sarana merenung bagi para praktisi (sains dan gastronomi) terkait
bagaimana rasa (got) sebaiknya dikonstruksi. Menurutnya, rasa adalah indra
yang terhubung dengan sensasi kenikmatan di mana tubuh menyadari sensasi itu.
Sebagai perangsang selera, lapar, dan haus, maka rasa adalah dasar yang
menghasilkan bagaimana individu bertumbuh, berkembang, merawat, dan
membenahi kehilangan-kehilangan (dari kebiasaan makan sebelumnya) sebagai
akibat dari perubahan vital. Mengatur tubuh agar tidak makan dengan cara sama
sebagai pembeda dengan tubuh-tubuh lainnya, menghasilkan kreasi, meragamkan
metode, hingga pengaruhnya dalam menentukan aneka cara pengelolaannya, itu
semua adalah serangkaian dari beroperasinya (fungsi) rasa. 52
Wacana fisiologi rasa pun turut memengaruhi pandangan terkait
perubahan kebiasaan makan serta hubungan makanan dengan kesehatan, sains,
dan kesenangan yang menggoda selera. Pemikiran Brillat-Savarin ini berkembang
menggairahkan dalam kancah sejarah makanan di dunia, termasuk terasa pula
pengaruhnya dalam konteks sejarah makanan di Indonesia pada masa kolonial.
Dalam pengolahan makanan, ada aturan-aturan yang telah diturunkan
sejak silam. Namun, makna aturan-aturan itu makin kemari tidak terlalu disadari
atau hanya di bagian permukaan saja yang bisa diketahui dan dipahami.
Aturan-aturan terkait pengolahan rasa dalam makanan sendiri mengandung
intuisi terkait penseleksian bahan-bahan makanan untuk mewujudkan citarasa
52
Le got est celui de nos sens qui nous met en relation avec les corps sapides,
au moyen de la sensation qu'ils causent dans l'organe destin les apprcier. Le
got, qui a pour excitateurs l'apptit, la faim et la soif, est la base de plusieurs
oprations dont le rsultat est que l'individu crot, se dveloppe, se conserve et
rpare les pertes causes par les vaporations vitales. Les corps organiss ne se
nourrissent pas tous de la mme manire; l'auteur de la cration, galement vari
dans ses mthodes et sr dans ses effets, leur a assign divers modes de
conservation. Brillat-Savarin, op.cit., hlm. 25.
23
54
Ian Cook dan Philip Crang, The World on a Plate: Culinary Culture,
Displacement and Geographical Knowledges, Journal of Material Culture 1,
(1996), hlm. 131.
24
Ann Stoler memandang ras adalah fiksi dan juga tidak disadari bahwa rasisme
sebagai produk politik kolonial turut membentuk hubungan-hubungan terkait
ruang geografis (spatial), sejarah, dan aspek-aspek hidup keseharian yang
terselubung (invisible). Lihat Ann Stoler, Race and the Education of Desire:
Foucaults History of Sexuality and the Colonial Order of Things (Durham: Duke
University Press, 1995).
58
25
26
G. Sistematika Penulisan
Tesis ini terbagi dalam delapan bab. Terkait latar penelitian ini dapat
dikerjakan (workable), tersedianya sumber (available) dan dapat diolah
(manageable), serta dapat dihasilkan suatu temuan dari masalah yang diteliti
(obtainable) tertuang dalam bab I.
Adapun Bab II terdiri dari dua bagian. Pertama membahas secara umum
latar belakang bagaimana perkembangan makanan pada masa kuna hingga
masuknya berbagai pengaruh asing pada abad ke-16. Ini akan terkait dengan
bagian dua yang membahas dinamika makna makan dan makanan dilihat dari
perubahan lingkungan alam dan budaya hingga akhir abad ke-18.
Bab III menekankan pembahasan pada abad ke-19 yang terbagi menjadi
tiga bagian. Bagian pertama mengulas pembudidayaan bahan makanan. Adapun
bagian kedua membahas pembentukan dan pertumbuhan selera makan baru.
Bahasan kemudian dilanjutkan ke Bab IV yang membahas seputar faktor
pendorong perubahan selera makan pada paruh kedua abad ke-19. Bab ini terdiri
dari dua bagian. Bagian pertama membahas awal kemunculan buku masak.
Adapun bagian kedua membahas saintifikasi bahan-bahan makanan di Hindia.
Pembahasan pengembangan makanan masa kolonial sejak 1900 hingga
1940 dibahas dalam Bab V. Kaitan antara masalah sains dan gastronomi hingga
buku-buku masak dibagi ke dalam dua bagian. Bagian pertama membahas
perkembangan aspek saintifikasi makanan hingga 1930; sedangkan bagian kedua
membahas perkembangan aspek gastronominya hingga 1940.
Adapun Bab VI membahas perkembangan makanan pada masa-masa sulit
yaitu sejak 1930 hingga 1950 yang dibagi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama
27
masa Malaise (1930 1942); bagian kedua masa Jepang (1942 1945); dan
bagian ketiga masa awal Kemerdekaan (1945 1950).
Selanjutnya Bab VII membahas perkembangan makanan pada masa pasca
kolonial. Bagian pertama melihat proses dan usaha pembentukan citra makanan
Indonesia; dilanjutkan bagian kedua yang mengulas seputar perkembangan
pangan dan penelitian makanan hingga tahun 1960. Bagian ketiga menyorot
proyek pengerjaan hingga terbitnya buku masakan nasional pertama di Indonesia,
Mustika Rasa (1960 1967).
Selepas uraian dari Bab I hingga VII, kesimpulan penelitian ini tertuang
dalam bab VIII. Bab ini menjawab pertanyaan penelitian yang sebelumnya
dirumuskan dalam Bab I.