Case Demensia
Case Demensia
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Demensia adalah kumpulan gejala kronik yang disebabkan oleh berbagai
latar belakang penyakit dan ditandai oleh hilangnya memori jangka pendek,
gangguan global fungsi mental, termasuk fungsi bahasa, mundurnay kemampuan
berpikir abstrak, kesulitan merawat diri sendiri, perubahan perilaku, emosi labil,
dan hilangnya pengenalan waktu dan tempat, tanpa adanya gangguan dalam
pekerjaan, aktivitas harian, dan sosial.
Klasifikasi
Demensia dapat dibagi menjadi demensia yang reversibel dan ireversibel
yaitu :
Reversibel :
-
Alkoholisme
Gangguan pasikiatri
Demensia Vaskular
Ireversibel :
- Demensia Alzheimer
- Picks Disease
- Parkinsons Disease Dementia1
Diagnosis
Demensia ditandai
perilaku sehingga terjadi gangguan pada pekerjaan, aktivitas harian, dan sosial.
Diagnosis
ditegakkan
berdasarkan
anamnesis,
pemeriksaan
fisik
dan
dan riwayat keluarga). Pemeriksaan fisik meliputi tanda vital, pemeriksaan umum,
pemeriksaan neurologis dan neuropsikologis. Pemeriksaan penunjang meliputi
pemeriksaan laboratorium dan radiologis
Anamnesis
Wawancara mengenai penyakit sebaiknya dilakukan pada penderita dan
mereka yang sehari-hari berhubungan langsung dengan penderita (pengasuh).
Hal yang paling penting diperhatikan adalah riwayat penurunan fungsi
terutama
kognitif
dibandingkan
dengan
sebelumnya.
Awitan
merokok,
penyakit
jantung,
penyakit
kolagen,
hipertensi,
komprehensif):
gangguan
fungsi
eksekutif
(meliputi
melaksanakan hobi, dan mengikuti aktivitas sosial. Dalam hal ini, perlu
pertimbangan berdasarkan pendidikan dan sosial budaya.
Riwayat Gangguan Perilaku dan kepribadian
Gejala psikiatri dan perubahan perilaku sering dijumpai pada penderita
demensia. Hal ini perlu dibedakan dengan gangguan psikiatri murni, misalnya
depresi, skizofrenia, terutama tipe paranoid. Pada penderita demensia dapat
ditemukan gejala neuropsikologis berupa waham, halusinasi, misidentifikasi,
depresi, apatis, dan cemas. Gejala perilaku dapat berupa bepergian tanpa
tujuan, ( Wandering ), agitasi, agresifitas fisik maupun verbal, restlessness, dan
disinhibisi.
Riwayat Intoksikasi
Perlu ditanyakan riwayat intoksikasi aluminium, air raksa, pestisida,
insektisida, alkoholisme, dan merokko. Riwayat pengobatan terutama
pemakaian kronis antidepresan dan narkotika.
Riwayat Keluarga
Riwayat demensia, gangguan psikiatri, depresi, penyakit Parkinson,
sindrom down, dan retardasi mental.
Pemeriksaan fisik
Demensia adalah suatu sindrom yang terdiri dari gejala-gejala gangguan
daya kognitif global yang tidak disertai gangguan derajat keesadaran, namun
bergandengan dengan perubahan tabiat ayng dapat berkembang secara
mendadak atau sedikit demi sedikit pada setiap orang dari semua golongan
usia.
Pemeriksaan fisik umum, dilakukan sebagaimana biasa pada prakter klinis.
Pemeriksaan neurologis : Dilihat adanya tekanan tinggi intra kranial, gangguan
neurologis fokal misalnya gangguan berjalan, gangguan motorik, sensorik,
otonom, koordeinasi, gangguan penglihatan, gerakan abnormal/apraksia dan
adanya refleks patologis dan primitif.
DEMENSIA ALZHEIMER
Merupakan frekuensi demensia yang paling tinggi, meliputi 50-55 % dari
seluruh demensia, biasanya memeiliki faktor resiko seperti usia yang lebih dari
40 tahun, riwayat keluarga Alzheimer, Parkinson, Sindrom Down.
Demensia Alzheimer dibagi menjadi 3 stadium yaitun :
-
Stadium Ringan
Gangguan memori menonjol, namun penderita masih dapat melakukan
aktivitas harian sederhana.
Stadium Sedang.
Gangguan memori diikuti oleh gangguan kognisi lain : Penderita
membutuhkan bantuan untuk melakukan aktivitas harian, terutama yang
kompleks.
Stadium lanjut.
Penderita sudah tidak dapat berkomunikasi karena gangguan kognitif
berat, biasanya diikuti penurunan fungsi motorik.
menyebabkan perubahan level kolesterol serum dan LDL. ApoE4 ini juga
memainkan peran dalam pembentukan arterosklerosis7. ApoE4 akan membantu
hemostasis dari kolesterol, dan ini merupakan komponen dari kilomikron, VLDL,
dan produk degradasi mereka. Beberapa reseptor di hati mengenali ApoE,
termasuk reseptor LDL, Reseptor LDL yang terikat protein , dan reseptor VLDL8.
Penelitian yang dilakukan oleh DeLeewu et. al menyimpulkan bahwa pasien
dengan ApoE4 adalah beresiko tinggi terhadap lesi di substansia alba apabila ia
juga menderita hipertensi9. Dalam penelitian terbaru yang dilakukan Kokobu et
al, melaporkan adanya hubungan antara ApoE4 dengan perdarahan subarachnoid.
Hal ini membuat dugaan bahwa ApoE4 memainkan peran dalam respon terhadap
trauma sistem saraf pusat.
Patologi dari penyakit vaskuler dan perubahan-perubahan kognisi telah
diteliti. Berbagai perubahan makroskopik dan mikroskopik diobservasi. Beberapa
penelitian telah berhasil menunjukkan lokasi dari kecenderungan lesi patologis,
yaitu bilateral dan melibatkan pembuluh-pembuluh darah besar ( arteri serebri
anterior dan arteri serebri posterior). Penelitian-penelitian lain mendemonstrasikan
keberadaan lakuna-lakuna di otak misalnya di bagian anterolateral dan medial
thalamus, yang dihubungkan dengan defisit neuropsikologi yang berat. Beberapa
lokasi strategis termasuk substansia alba bagian frontal atau basal dari forebrain,
basal ganglia, genu dari kapsula interna hippocampus, mamillary bodies, otak
tengah dan pons.Pada analisis mikroskopik perubahan - perubahan tipe Alzheimer
(neurofibrillary tangles dan plak senile) didapatkan juga sehingga akan
merumitkan gambaran. Istilah demensia campuran digunakan ketika baik
perubahan vaskuler dan degenerasi memberikan kontribusi pada penurunan
kognisi.
Mekanisme
patoisiologi
dimana
patologi
vaskuler
menyebabkan
kerusakan kognisi adalah belum jelas. Hal ini dapat dijelaskan bahwa dalam
kenyataannya beberapa patologi vaskuler yang berbeda dapat menyebabkan
kerusakan kognisi, termasuk trombosis otak emboli jantung, dan perdarahan.Peran
dari abnormalitas substansia alba sebagai penyebab disfungsi kognisi telah
diketahui. Suatu penelitian terbaru tentang patologi substansia alba pada 40 kasus
dengan demensia vaskuler menunjukkan adanya :
6
1. Patologi fokal meliputi daerah infark luas dan sempit pada substansia alba
2. Patologi difus substansia alba yang melibatkan rarefaction perifokal yang
dikelilingi infark dan substansia alba tanpa infark.
Faktor resiko
Faktor-faktor resiko telah diteliti oleh beberapa ilmuwan dalam 4 tahun
terakhir ini.
Mereka membagi faktor-faktor resiko itu dalam 4 kategori :
1. Faktor demografi, termasuk diantaranya adalah usia lanjut, ras dan
etnis( Asia, Africo-American ), jenis kelamin ( pria), pendidikan yang rendah,
daerah rural.
2. Faktor aterogenik, termasuk diantaranya adalah hipertensi, merokok
cigaret, penyakit jantung, diabetes, hiperlipidemia, bising karotis, menopause
tanpa terapi penggantian estrogen, dan gambaran EKG yang abnomal.
3. Faktor non-aterogenik, termasuk diantaranya adalah genetik, perubahan
pada hemostatis, konsumsi alkohol yang tinggi, penggunaan aspirin, stres
psikologik, paparan zat yang berhubungan dengan pekerjaan ( pestisida,
herbisida, plastik), sosial ekonomi.
4. Faktor yang berhubungan dengan stroke yang termasuk diantaranya adalah
volume kehilangan jaringan otak, serta jumlah dan lokasi infark.
Jenis kelamin merupakan faktor yang masih kontroversial, dan beberapa
penelitian menemukan bahwa tidak ada perbedaaan dalam jenis kelamin.
Semuanya dapat terkena dalam perbandingan yang sama.Genetik juga merupakan
faktor yang berpengaruh. Arteriopati cerebral autosomal dominan dengan infark
subkortikal dan leukoencepalopati (CADASIL) adalah suatu penyakit genetik
yang melibatkan mutasi Notch 3, menyebabkan infark subkortikal dan demensia
pada 90 % pasien yang terkena yang akhirnya meninggal dengan kondisi
ini.Riwayat dari stroke terdahulu adalah faktor resiko yang penting pada demensia
vaskuler. Tidak hanya berhubungan dengan luas dan jumlah infark, tetapi juga
lokasi dan bahkan lesi tunggal yang strategis sudah dapat menyebabkan demensia.
diagnosis
yang
digunakan
saat
ini
adalah
NINDS-
pengorganisasian,
sekuensial,
eksekusi,
set-shifting,
11
12
Manajemen Terapi
A. Terapi farmakologik. Penderita dengan faktor resiko penyakit serebrovaskuler
misalnya hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, arterosklerosis,
arteriosklerosis, dislipidemia dan merokok, harus mengontrol penyakitnya
dengan baik dan memperbaiki gaya hidup. Kontrol teratur terhadap penyakit
primer dapat memperbaiki fungsi kognisinya. Terapi simptomatik pada
demensia vaskuler kolinergik sehinggaadalah pemberian kolinesterase inhibitor
karena terjadi penurunan neurotransmiter. Penelitian-penelitian terakhir
menunjukkan obat golongan ini dapat menstabilkan fiungsi kognisi dan
memperbaiki aktivitas harian pada penderita demensia vaskuler ringan dan
sedang. Efek samping kolinergik yang perlu diperhatikan adalah mual, muntah,
diare, bradikardi dan gangguan konduksi supraventrikuler. Terapi nonfarmakologis bertujuan untuk memaksimalkan/mempertahankan fungsi kognisi
yang masih ada.
Program harus dibuat secara individual mencakup intervensi terhadap
pasien sendiri, pengasuh dan lingkungan, sesuai dengan tahapan penyakit dan
sarana yang tersedia.
Intervensi terhadap pasien meliputi :
1. Perilaku hidup sehat
2. Terapi rehabilitasi, dilakukan orientasi realitas, stimulasi kognisi,
reminiscent, gerak dan latih otak serta olahraga lain, edukasi, konseling, terapi
musik, terapi wicara dan okupasi.
3. Intervensi lingkungan, dilakukan melalui tata ruang, fasilitasi aktivitas,
penyediaan fasilitas perawatan, day care center, nursing home.
Gangguan mood dan perilaku yang ditemukan pada pasien demensia
vaskuler dapat bervariasi sesuai dengan lokasi fungsi otak yang rusak. Gejala
yang sering muncul adalah depresi, agitasi, halusinasi, delusi, ansietas, perilaku
kekerasan, kesulitan tidur dan wandering ( berjalan ke sana kemari). Sebelum
memulai terapi farmakologis, terapi non-farmakologis harus dilakukan dulu untuk
mengontrol gangguan ini namun dalam prakteknya sering diperlukan kombinasi
kedua metode terapi ini. Penting untuk selalu menganalisa dengan seksama setiap
13
gejala yang timbul, adakah hubungan gejala perilaku atau psikiatrik dengan
kondisi fisik (nyeri), situasi (ramai, dipaksa, dll) atau semata-mata akibat
penyakitnya. Pasien demensia vaskuler dengan depresi memperlihatkan gangguan
fungsional yang labih berat dibanding pasien demensia Alzheimer tanpa depresi.
Obat antidepresan dapat memperbaiki gejala depresi, mengurangi disabilitas tetapi
tidak memperbaiki gangguan kognisi.
Penanganan non-farmakologis;
1. Memberi dorongan aktivitas.
2.Menghindari tugas yang kompleks.
3.Bersosialisasi untuk mengurangi depresi.
4.Konseling dengan psikiater.
Manajemen terapi farmakologis :
1.Semua antidepresan mampunyai efektivitas yang sama dan onset of action
dalam jangka waktu tertentu ( sekitar 2 minggu ) dalam terapi depresi.
2.Pemilihan obat yang tepat berdasarkan riwayat respon obat sebelumnya, efek
samping obat dan interaksi obat .
3. Antidepresan yang dapat dipakai pada pasien demensia vaskuler antara lain
a. Golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitors ( SSRI ).golongan ini
mempunyai tolerabilitas tinggi pada pasien lansia karena tanpa efek
antikolinergik dan kardiotoksik, efek hipotensi ortostatik yang minimal
b. Golongan Reversible MAO-A Inhibitor (RIMA)
c.Golongan trisiklik. Tidak dianjurkan untuk lanjut usia karena efek
sampingnya.Ansietas dan agitasi.Sebagian pasien demensia vaskuler dapat
hipersensitif terhadap peristiwa sekitarnya.
Manajemen terapi non-farmakologi:
1.Usahakan lingkungan rumah yang tenang dan stabil.
2.Tanggapi pasien dengan sabar dan penuh kasih
3.Buatlah aktivitas konstruktif untuk penyaluran gelisahnya.
14
15
BAB 2
LAPORAN KASUS
Lemah anggota gerak kiri sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit, terjadi
tiba-tiba ketika pasien baru selesai Shalat. Ketika berdiri, mendadak anggota
gerak kiri terasa berat dimana pasien menjadi berjalan dengan menyeret, dan
ketika memegang benda, mudah terlepas Kelemahan tungkai dan lengan
sama. Pasien tetap sadar, tidak mengalami sakit kepala dan muntah, juga
tidak ada riwayat trauma sebelumnya.
Sering lupa sejak 5 tahun yang lalu, awalnya pasien lupa tanggal dan hari,
kesulitan mengingat nama orang baik yang baru dikenal maupun teman
yang telah lama dikenal, dan sering mengulang pertanyaan dan pekerjaan
yang telah dilakukan sebelumnya. Kemudian pasien kadang-kadang juga
sering tersesat di jalan yang sudah sering dilalui. Pasien juga cenderung
mudah marah, tersinggung, cemas. Pasien masih dapat melaksanakan
kegiatan sehari-hari dengan. Tidak ada riwayat trauma, pemakaian obatobatan sebelum pasien mengalami gejala ini.
16
Riwayat menderita tekanan darah tinggi sejak kurang lebih 5 tahun yang lalu
namun tidak kontrol secara teratur ke dokter.
Riwayat sakit gula, sakit jantung, tidak ada
Tidak ada keluarga yang menderita sakit gula, tekanan darah tinggi dan
jantung.
Kesadaran
Tekanan darah
: 180/110 mmHg
Nadi
: 64 x/menit
Napas
Suhu
: 18x/menit
: 36,5 oC
Status Internus
Rambut
Kulit dan kuku
KGB regional
Kepala
Mata
Hidung
PARU
Inspeksi
: simetris kiri=kanan
Palpasi
: fremitus kanan=kiri
Perkusi
: sonor
Auskultasi
JANTUNG
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: Kiri
Auskultasi
Kanan
Atas
: RIC II
ABDOMEN
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: timpani
Auskultasi
Status Neurologis
Kesadaran CMC, GCS 15 (E4 M6 V5)
18
Kanan
Baik
Baik
Kiri
Baik
Baik
Kanan
Baik
Baik
Baik
Tidak diperiksa
Kiri
Baik
Baik
Baik
Tidak diperiksa
N.II (Optikus)
Penglihatan
Tajam Penglihatan
Lapangan Pandang
Melihat warna
Funduskopi
N.III (Okulomotorius)
Bola Mata
Ptosis
Gerakan Bulbus
Strabismus
Nistagmus
Ekso/Endopthalmus
Pupil
Bentuk
Refleks Cahaya
Refleks Akomodasi
Refleks Konvergensi
Kanan
Kiri
Bulat
Bulat
Doll eyes movement bergerak
Bulat, isokor
(+)
(+)
(+)
Bulat, isokor
(+)
(+)
(+)
Kanan
Baik
Ortho
(-)
Kiri
Baik
Ortho
(-)
N.IV (Troklearis)
19
N.VI (Abdusens)
Kanan
Baik
Ortho
(-)
Kiri
Baik
Ortho
(-)
Kanan
Kiri
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
Baik
(+)
(+)
(+)
Baik
(+)
Baik
Baik
Baik
Kanan
Baik
(+)
Baik
Baik
Baik
Kiri
Baik
(+)
Baik
Baik
Baik
N.V (Trigeminus)
Motorik
Membuka mulut
Menggerakan rahang
Menggigit
Mengunyah
Sensorik
-Divisi Oftlamika
Refleks Kornea
Sensibilitas
-Divisi Maksila
Refleks Masseter
Sensibilitas
-Divisi Mandibula
Sensibilitas
N.VII (Fasialis)
Raut wajah
Sekresi air mata
Fisura palpebra
Menggerakan dahi
Menutup mata
Mencibir/bersiul
Memperlihatkan gigi
Sensasi lidah 2/3 belakang
Hiperakusis
Plika nasolabialis
(-)
Baik
Baik
(-)
Baik
(-)
Baik
(-)
Baik
N.VIII (Vestibularis)
Suara berbisik
Detik Arloji
Rinne test
Webber test
Kanan
Kiri
(+)
(+)
(+)
(+)
baik
Baik
Tidak ada lateralisasi
20
Scwabach test
Memanjang
Memendek
Nistagmus
Pendular
Vertical
Siklikal
Pengaruh posisi kepala
(-)
(-)
(-)
(-)
N.IX (Glosofaringeus)
Kanan
Sensasi Lidah 1/3 belakang
Refleks muntah (gag refleks)
Kiri
baik
(+)
Baik
(+)
N.X (Vagus)
Kanan
Arkus faring
Uvula
Menelan
Artikulasi
Suara
Nadi
Kiri
Simetris
Di tengah
Baik
Baik
Baik
Baik
Teratur
N.XI (Asesorius)
Menoleh kekanan
Menoleh kekiri
Mengangkat bahu kanan
Mengangkat bahu kiri
Kanan
Baik
Kiri
Baik
Baik
Baik
N.XII (Hipoglosus)
Kanan
simetris
(-)
(-)
(-)
Kiri
Simetris
(-)
(-)
(-)
Pemeriksaan Koordinasi
Cara Berjalan
Sukar dinilai
Disatria
21
(-)
Romberg test
Ataksia
Rebound Phenomen
Tes Tumit Lutut
Tidakterganggu
(-)
(-)
(+)
Disgrafia
Supinasi-Pronasi
Tes Jari Hidung
Tes Hidung Jari
(-)
(+)
(+)
(+)
Respirasi
Duduk
Gerakan spontan
(-)
Tremor
Atetosis
Mioklonik
Khorea
(-)
(-)
(-)
(-)
Teratur
Dapat dilakukan
(-)
berjalan
C.Ekstermitas
Gerakan
Kekuatan
Tropi
Tonus
(-)
(-)
(-)
(-)
Superior
Kanan
Aktif
555
Eutropi
Eutonus
Inferior
Kiri
aktif
444
Eutropi
eutonus
Kanan
Aktif
555
Eutropi
Eutonus
Kiri
aktif
444
eutropi
eutonus
Pemeriksaan Sensibilitas
Sensibilitas taktil
Sensibilitas nyeri
Sensibilitas termis
Sensibilitas kortikal
Stereognosis
Pengenalan 2 titik
Pengenalan rabaan
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Sistem Refleks
A. Fisiologis
Kornea
Berbangkis
Kana
Kir
n
(+)
i
(+)
Laring
Masseter
Dinding Perut
Biseps
Triseps
KPR
APR
Bulbokavernos
22
Kana
Kiri
n
(++)
(++)
(++)
(++)
(++)
(++)
(++)
(++)
a
Creamaster
Sfingter
Atas
Tengah
Bawah
B. Patologis
Lengan
Hofmann Tromner
Kana
Kir
(-)
(-)
Kana
n
Tungkai
Babinski
Chaddoks
Oppenheim
Gordon
Schaeffer
Klonus paha
Klonus kaki
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
Fungsi Otonom
Miksi : baik, aninhibited bladder tidak ada
Defikasi : baik
Keringat : baik
Fungsi Luhur
Kesadaran
Reaksi bicara
reaksi intelek
Reaksi emosi
Tanda Demensia
Refleks glabela
Refleks Snout
Refleks Menghisap
Refleks Memegang
Refleks palmomental
Mini Mental State Examination : Skor=13
Baik
Baik
baik
: 10,7 g/dl
: 12200/mm3
Leukosit
LED
: 33%
Trombosit
: 335000/mm3
GDR
: 106 gr%
Ureum
: 35 g/dl
23
Kiri
(-)
(-)
(+)
(+)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
Kreatinin
: 0,8 g/dl
Na
: 142mEq/L
: 4,2mEq/L
Cl
: 111 mEq/L
: Hemiparese sinistra
Diagnosis Topik
Diagnosis Etiologi
: Trombosis
Diagnosis Sekunder
: Hipertensi Stage II
Anemia
Demensia
IVFD RL 12 jam/kolf
Aspilet 2x80 mg po
Citicolin 2x500 mg IV
Captopril 2 x 25 mg po
24
HCT 1x12,5 mg po
BAB 3
DISKUSI
Telah diperiksa seorang wanita berumur 70 tahun yang dirawat di bangsal
Neurologi RS DR M Djamil Padang dengan diagnosis klinik vertigo perifer
(BPPV), diagnosis topik Subkorteks Serebri Hemisfer Dextra, dan diagnosis
etiologi trombosis, dan diagnosis sekunder Hipetensi stage II, anemia, dan
demensia.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari
anamnesis diketahui pasien menderita lemah anggota gerak kiri saat pasien
beraktivitas ringan, yang tidah disertai penurunan kesadaran, muntah dan sakit
25
dari
golongan
diuretik
1x12,5
mg
(1/2
tablet
, untuk anemia, diberikan tablet sulfas ferosus 2x300 mg po, dan asam folat 1x 5
mg po.
Penatalaksanaan non farmakologis pada penderita demensia antara lain
program aktivitas harian penderita ( kegiatan harian yang teratur dan sistematis,
misalnya aktivitas fisik yang baik, melaksanakan Latih, Ulang, Perhatikan dan
asosiasi ), serta orientasi realitas ( penderita diingatkan akan waktu dan tempat,
beri tanda khusus untuk suatu tempat tertentu.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Dikot Y, Ong PA, 2007. Diagnosis dini dan penatalaksanaan demensia. Jakarta:
PERDOSSI.
2 Mardjono M, Sidharta P, 2004. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat,
hal 211-214
3. Herbert R et al, Incidence and Risk Factors in the Canadian Study of Health
and Aging. American Heart Association, 2000; 3: 1487-933.
4.Geldmacher D, Whitehouse P, Evaluation of Dementia. The New England
Journal of Medicine. 1996; (8);330-364.
27
5. Taternichi TK, Desmond DW, Mayeux R, et al. Dementia after stroke: baseline
frequency, risks, and clinical features in hospitalized cohort. Neurology.1992;
42(6): 1185-936.
6. Rocca WA, Hoffman Apendiks, Brayne C, et.al. The prevalence of vascular
dementia in Europe: facts and fragments from 1980-1990 studies. EURODEMPrevalence Research Group. Ann Neurol. 1991; 30(6): 817-247.
7. DeCarli C, Reed T, Miller BL, et.al.Impact of Apolipprotein E 4 and Vascular
Disease om Brain Morphology in Men from the NHLBI Twin Study. American
Heart Association 1999; (5):1548-538.
8. Beilby JP, Hunt OCJ, et.al. Apolipoprotein E Gene Polymorphism are
associated with Carotid Plaque Formation but not With Intima-media Wall
Thickening. American Heart Association. 2003;(10):869-739.
9. De Leeuw FE, Richard F, De Groot JC, et.al. Interaction Between
Hypertension, ApoE, and Cerebral White Matter Lesions. American Heart
Associatiom. 2004;(1): 11057-6210.
10 Leung CHS, Poon WS, et.al. Apolipoprotein E Genotype and Outcome in
Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage. 2002; (10): 548-5
28