Anda di halaman 1dari 4

BAB VI

PENGARUH PENYAKIT GINJAL TERHADAP OBAT


Ginjal termasuk organ eliminasi utama disamping hati. Oleh sebab itu
normalitas fungsi ginjal merupakan faktor penentu ekskresi senyawa endogen dan
eksogen (termasuk obat), dan akumulasinya di dalam tubuh. Dalam proses
ekskresi, ginjal melakukan filtrasi, sekresi dan reabsorpsi, yang mana proses ini
dipengaruhi oleh kecepatan dan aliran darah di ginjal. Karena berkaitan dengan
sirkulasi sistemik, maka jumlah dan kecepatan ekskresi obat melalui ginjal juga
ditentukan oleh curah jantung, khususnya aliran darah yang menuju dan diginjal
(renal blood flow). Kecepatan aliran darah ginjal diperkirakan 1200 mL/menit.
Oleh sebab itu setiap kejadian yang mengubah aliran darah ginjal akan mengubah
kecepatan dan jumlah obat yang diekskresi oleh obat.
Pengaruh disfungsi ginjal terhadap farmakokinetik obat, yaitu:
1. Absorpsi
Pada gagal ginjal dapat terjadi gangguan gastrointestinal, misalnya mual,
muntah, diare dan udem pada saluran usus, dapat mengubah ketersediaan
hayati obat. Selain itu, keadaan uremia dapat menjurus ke radang lambung,
kolon, dan bahkan pankreas, kenaikan urea dalam saliva dan pH lambung,
sehingga mengubah absorpsi obat. Ketersediaan hayati obat ternyata
bervariasi pada keadaan gagal ginjal seperti nampak pada tabel berikut.
Tabel 1. Ketersediaan hayati obat per oral pada pasien gagal ginjal
Berkurang
D-xylose
Furosemid
pindolol
Siklosporin

Tidak berubah
Digoxin
Kodein
Labetalol
Simetidin
Siprofloksasin
Sulfametoksazol
Trimetoprim

Meningkat

Bufuralol
D-propoksifen
Dihidrokodein
Eritromisin
Oksprenolol
Propanolol
Takrolimus
tolamolol

Dalam hal propanolol, ternyata terjadi kenaikan ketersediaan hayati


sekita 4-7 kali lipat dibandingkan pasien yang rutin menjalani dialisis atau
subyek dengan ginjal normal, setelah pemberian 40 mg propanolol per oral
(gombertoglio,1984). Penggunaan 0,5 mg digoksin pada pasien penderita
gagal ginjal kronis meningkatkan Cmaks hampir 2 kali lipat, dari 2,3 0,1
ng/mL (pada subyek normal, Tmaks 1 jam) menjadi 4,1 0,1 ng/mL (Tmaks
2 jam), karena perlambatan kecepatan absorbsi digoksin,tetapi tidak
mengubah ketersediaan hayati
2. Distribusi
Volume distribusi berbagai obat meningkat secara signifikan pada
penderita gagal ginjal berat. Kenaikan tersebut dapat disebabkan karena
kenaikan volume cairan tubuh atau perubahan ikatan protein-obat di dalam
darah karena kenaikan pH darah pada uremia
Volume distribusi beberapa obat menjadi lebih kecil pada gagal ginjal
kronik, dan diperkirakan hal ini disebabkan karena peningkatan fraksi obat
bebas yang berada di jaringan.
Ikatan obat oleh protein plasma juga berubah pada gagal ginjal kronik.
Misalnya, antibiotik golongan penisilin dan sefalosporin, fenitoin, furosemid,
glikosida jantung, barbiturat, klofibrat, salisilat berkurang, kemungkinan
karena hipoalbuminemia, perubahan kimia albumin, atau adanya kompetisi
dengan obat/metabolit, atau senyawa endogen (asam hipurat dapat
menghambat ikatan protein fenitoin dan teofilin)
3. Metabolisme
Hasil penelitian penelitian belakangan ini membuktikan bahwa ternyata
pada gagal ginjal kronik (end-stage renal disease, ESRD), terjadi juga
perubahan kapasitas metabolisme di hati, dan organ eliminasi selain ginjal.
Mekanisme kausalnya sangat kompleks, sebab merupakan komposit dari
berbagai perubahan fisiologis dan biokimiawi yang diakibatkan oleh gagal
ginjal. Jadi pada keadaan ini bukan hanya obat-obatan yang sebagian besar
tereliminasi oleh ginjal saja yang terpengaruh, namun obat-obatan yang
sebagian besar termetabolisme juga mengalami perubahan klirens.
Dalam kaitannya dengan pendosisan, jika keadaan gagal ginjal kronik
juga mempengaruhi sistem metabolisme di hati (non-renal), maka penetapan

dan penyesuaian dosis obat tidak cukup dengan mengukur serum kreatinin
atau klirens kreatinin seperti yang berlaku saat ini, sebab klirens kreatinin
hanya mengukur fungsi ginjal saja. Penurunan metabolisme di hati tidak
hanya terjadi pada gagal ginjal kronik, tetapi juga pada gagal ginjal akut.
(Hakim, 2011)
4. Ekskresi
Ekskresi adalah parameter farmakokinetika yang paling terpengaruh oleh
gangguan ginjal.

Jika filtrasi glomeruler terganggu oleh penyakit ginjal,

maka klirens obat yang terutama tereliminasi melalui mekanisme ini akan
menurun dan waktu paruh obat dalam plasma menjadi lebih panjang.
Penderita dengan ginjal yang tidak berfungsi normal dapat menjadi lebih
peka terhadap beberapa obat, bahkan jika eliminasinya tidak terganggu.
Anjuran dosis didasarkan pada tingkat keparahan gangguan ginjal, yang
biasanya dinyatakan dalam istilah laju filtrasi glomeruler (LFG). Perubahan
dosis yang paling sering dilakukan adalah dengan menurunkan dosis atau
memperpanjang interval pemberian obat, atau kombinasi keduanya.
Berdasarkan Dipiro (2008), obat-obatan yang tidak boleh diberikan pada
kondisi gagal ginjal kronik karena dapat memperberat kerja ginjal dan
memperparah GGK, beberapa diantaranya yaitu:
1. Antibiotik golongan Aminoglikosida
2. Antibiotik golongan penisilin
3. Antibiotik ciprofloxacin
4. Antibiotik golongan sulfonamida
5. Antibiotik amphotericin
6. AINS (Antiinflamasi Non-steroid)
7. Analgesik
8. ACE inhibitor
9. Digoxin
10. Metronidazole
11. Phenobarbital
12. Phenytoin
13. Theophylline
14. N-acetylprocainamide

DAFTAR PUSTAKA
Hakim, L. 2011. Farmakokinetik Klinik. Yogyakarta: Bursa Buku
Dipiro T. Joseph. 2008. Pharmacotheraphy seventh edition. The McGraw-Hill
Companies, Inc. United State

Anda mungkin juga menyukai