Serial Tarekat I
Sejarah Perkembangan Thariqah Di Indonesia
Dalam hal nasionalisme dan pengabdian terhadap tanah air, kaum thariqah
memang bisa diacungi jempol. Betapa tidak. Perjalananan penjang sejarah
kebangsaan negeri ini telah mencatat dengan tinta emas kiprah kaum thariqah.
Tak hanya sibuk mendidik umat dengan dzikir dan kluhuran akhlak, mereka juga
berada di barisan terdepan pejuang yang berjibaku mempertahankan tanah air
tercinta dari upaya penjajahan bangsa asing.
Tak hanya di Indonesia, di berbagai belahan dunia kaum thariqah juga diakui
sebagai kelompok yang paling mampu membawa dan menyebarkan nilai-nilai
sejati Islam yang tercermin dalam idiom rahmatan lil ‘alamin. Tak mengherankan
jika kemudian thariqah atau tarekat berkembang pesat dan menjadi salah satu
khazanah umat Islam yang mendunia.
Di Indonesia sendiri aktivitas thariqah telah dikenal sejak awal mula masuknya
Islam ke Nusantara. Berbagai riset dan penelitian kesejarahan yang di lakukan
oleh para sejarawan, baik lokal maupun mancanegara, membuktikan, para para
penganut thariqahlah yang telah membawa agama tauhid ini masuk ke
nusantara. Menilik sejarahnya yang panjang, tak mengherankan jika saat ini
Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah mengklaim bahwa
jumlah pengikut thariqah saat ini berkisar antara 35 -40 jutaan orang.
Rentang waktu yang telah dilalui kaum thariqah yang membentang melintasi
puluhan generasi tentu merupakan obyek yang menarik untuk dikaji. Sebab
dipastikan, kaum thariqah pasti terlibat dan mempunyai andil besar dalam
dinamika pertumbuhan Islam di Nusantara. Berikut sekelumit kisah masuk dan
berkembangnya thariqah ke Indonesia, berikut keterlibatannya dalam jatuh
bangunnya bangsa ini.
Serat Banten
Islamisasi nusantara secara besar-besaran terjadi pada awal abad 14,
bersamaan dengan masa keemasan perkembangan tasawuf akhlaqi yang
ditandai dengan munculnya aliran-aliran thariqah di Timur Tengah. Fase itu
sendiri telah dimulai sejak Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (wafat 1111
M) merumuskan konsep tasawuf yang moderat yang memadukan keseimbangan
unsur akhlaq, syariat, dan filsafat.
Konsep itu diterima secara terbuka oleh kaum fuqaha yang sebelumnya
menentang habis-habisan ajaran tasawuf falsafi yang kontroversial. Tasawuf
falsafi adalah ajaran tasawuf yang mencampur adukan antara konsep tauhid,
akhlaq dengan filsafat Yunani. Di antara doktrin kontroversialnya adalah hulul
dan ittihad, yakni penyatuan ragawi antara Allah dan makhluk yang juga dikenal
sebagai paham wahdatul wujud.
Selain itu, awal abad keempat belas juga menjadi fase pertumbuhan Thariqah
Naqsyabandiyyah yang didirikan oleh Syaikh Muhammad Bahauddin An-
Naqsyabandi (wafat 1389) dan Thariqah Syathariyyah yang didirikan Syaikh
Abdullah Asy-Syaththari (wafat 1428 M). Kedua thariqah tersebut belakangan
menjadi yang thariqah besar yang memiliki banyak pengikut di tanah air.
Terlepas dari kebenaran fakta cerita dalam Serat Banten Rante-rante, pendiri
Kesultanan Cirebon itu diyakini sebagai orang pertama yang membawa Thariqah
Kubrawiyyah ke tanah Jawa.
Ijazah kemursyidan Syaikh Abdul Rauf Singkel diperoleh dari dua sufi besar
Madinah, Syaikh Ahmad Al-Qusyasyi (wafat 1660M) dan Syaikh Ibrahim Al-
Kurani (wafat 1691). Setelah mendengar konflik antara pengikut Syaththariyyah
ala Syamsudin yang kontroversial dan Syaikh Nuruddin Ar-Raniri, Abdul Rauf
diutus gurunya untuk kembali ke Aceh guna menyebarkan thariqah
Syaththariyyah yang benar. Kedatangannya diterima dengan tangan terbuka
oleh kerajaan. Bahkan ia lalu diangkat menjadi salah satu mufti kerajaan.
Tokoh lain yang hidup semasa dengan Syaikh Abdul Rauf Singkel dan pernah
juga berguru kepada Syaikh Ibrahim Al-Kurani serta ulama sufi lainnya di Timur
Tengah adalah Syaikh Yusuf Al-Makassari, ulama pejuang asal Sulawesi
Selatan. Setelah mengembara hingga ke Damaskus, Syaikh Yusuf pulang ke
Nusantara dengan mengantongi ijazah kemursyidan Thariqah Naqsyabandiyyah,
Qadiriyyah, Syaththariyyah, Ba’alawiyyah dan Khalwatiyyah.
Karena simpati dengan ketulusan perjuangan Syaikh Yusuf, ulama itu kemudian
diangkat menantu Sultan Ageng Tirtayasa. Sepeninggal Sultan Ageng yang
gugur di penjara kompeni Belanda, Syaikh Yusuf meneruskan perjuangan sang
mertua. Ia membangun basis pertahanan di sekitar Tangerang.
Membela Penjajah
Namun sayang, karena Sultan Haji, raja Banten berikutnya lebih cenderung
membela kepentingan penjajah, perjuangan Syaikh Yusuf pun semakain
meleham hingga akhirnya tertangkap pada tahun 1683. Setelah dipindah-
pindahkan dari penjara Cirebon ke Batavia, akhirnya pada tanggal 12 September
1684 ia dibuang ke Ceylon, Afrika Selatan. Di negeri itu ia menghabiskan sisa
usia dengan berdakwah, mengajar dan menulis kitab. Hingga kini masyarakat
Ceylon masih menganggap sang Syaikh sebagai wali dan pahlawan kebanggan
mereka.
Abad enam belas dan tujuh belas memang merupakan masa-masa penting
dalam penyebaran thariqah di nusantara. Pada abad-abad tersebut, mulai
banyak santri dari Nusantara yang lazim dikenal dengan orang Jawah atau Jawi
yang menetap di Tanah Suci untuk belajar ilmu agama. Bahkan saat itu, jumlah
jamaah haji dari Nusantara termasuk yang terbesar dibanding dari dari negeri-
negeri muslim lain.
Para santri Jawah itu hidup dalam satu komunitas tersendiri yang terpisah dari
santri-santri negeri lain. Karena kemampuan berbahasa Arab mereka yang rata-
rata pas-pasan, santri-santri junior lebih banyak belajar kepada para santri senior
asal Jawah juga. Setelah cukup matang barulah mereka mulai belajar kepada
ulama besar setempat. Kemudian, sebagaimana yang dilakukan para pendahulu
mereka, setelah usai mengaji ilmu syariat, para santri Jawah itu lalu berguru ilmu
tasawuf kepada ulama sufi terkenal di kota itu.
Setelah era Syaikh Al-Qusyasyi dan Al-Kurani, pada abad 18, tokoh ulama sufi
yang menjadi tujuan belajar utama santri Jawah adalah Syaikh Muhammad bin
Abdul Karim As-Sammani (wafat 1775 M), penjaga makam Baginda Nabi
Muhammad SAW. Ulama yang produktif menulis itu mengajarkan perpaduan
ajaran thariqah Khalwatiyyah, Qadiriyyah, Naqsyabandiyyah dan Syadziliyyah.
Sufi yang dikenal banyak memiliki karamah itu juga menyusun sebuah ratib dan
mengajarkan metode berzikir baru yang belakangan dikenal sebagai wirid
Thariqah Sammaniyyah.
Karena kehebatan karamahnya, thariqah itu sangat diminati para santri Jawah
dan segera saja tersebar luas di nusantara. Salah satu murid utama Syaikh
Samman asal nusantara adalah Syaikh Abdul Shomad Al-Falimbani, ulama
pejuang asal Palembang, Sumatera Selatan yang mengarang beberapa kitab
terkenal berbahasa Melayu.
Berkat Syaikh Abdul Shomad pula thariqah itu diterima dengan tangan terbuka
dan berkembang pesat di Kesultanan Palembang. Bahkan, beberapa waktu
setelah sang syaikh wafat, Sultan Palembang membangun sebuah zawiyyah
Thariqah Sammaniyyah di kota pelabuhan Saudi Arabia, Jeddah.
Karena besarnya kecintaan para Sultan Palembang kepada Syaikh Samman dan
thariqahnya, tak heran hingga saat ini Thariqah Sammaniyyah terus berkembang
pesat di Sumetara Selatan, bahkan sampai pulau-pulau lain. Di beberapa daerah
di pesisir utara Jawa, misalnya, hingga ssat ini syair tawassul kepada Syaikh
Samman masih sering dikumandangkan setiap usai shalat tarawih dan witir di
bulan Ramadhan.
Thariqah ini juga menjadi alat pemersatu rakyat, ulama dan umara Palembang
dalam pertempuran penjajah pada tahun 1819. Dalam sebuah karya sastra
setempat dikisahkan, sekelompok pengikut thariqah yang mengenakan pakaian
serba putih dan menyandang senjata tampak berzikir dengan keras hingga
mencapai fana atau ekstase. Kemudian tanpa rasa gentar mereka menyerbu dan
mengobrak-abrik barisan tentara Belanda.
Seiring kepulangan santri Jawah yang telah selesai belajar di tanah suci,
menjelang akhir abad delapan belas, berbagai thariqah telah tersebar luas di
nusantara. Setiap daerah memiliki kekhasan thariqahnya sendiri, sesuai yang
dianut petinggi agama setempat. Beberapa daerah juga memiliki tradisi yang
merupakan perpaduan dari berbagai thariqah terkenal.
Bermodal Kesaktian
Jejak Thariqah Qadiriyyah dan Rifa’iyyah, misalnya, bisa dikenali lewat kesenian
debus yang tersebar mulai di berbagai kesultanan seperti Aceh, Kedah, Perak,
Minangkabau, Banten, Cirebon, Maluku, dan Sulawesi Selatan. Bahkan kesenian
yang mengedepankan aspek kesaktian itu juga dikenal di komunitas Melayu di
Cape Town, Afrika Selatan, yang mungkin mendapatkannya dari Syaikh Yusuf
Al-Makassari dan murid-muridnya.
Pada mulanya ilmu kebal debus diberikan para guru thariqah untuk menambah
semangat juang murid-muridnya dalam menghadapi penjajah. Tak heran
pertempuran demi pertempuran meletus di berbagai daerah yang digelorakan
oleh ulama dan pengikut tarekat. Selain di Pelambang, pertempuran lain
melawan penjajah yang dilakukan para pengikut thariqah juga tercatat pernah
meletus di Kalimantan Selatan (tahun 1860an), Jawa Barat (1888) dan Lombok
(1891).
Dua pertempuran yang disebut terakhir itu digerakkan oleh ulama dan pengikut
Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah (TQN), tarekat baru yang didirikan
oleh ulama sufi Makkah asal Kalimantan Barat, Syaikh Ahmad Khatib As-
Sambasi (wafat 1878). Sufi besar itu mempunyai tiga orang khalifah (asisten,
yang kelak bisa menggantikan sebagai guru utama), yakni Syaikh Abdul Karim
Banten, Syaikh Tholhah Cirebon dan Syaikh Ahmad Hasbullah Madura (tinggal
di Makkah).
Setelah Syaikh Abdul Karim wafat, kepemimpinan TQN tidak lagi terpusat.
Thariqah itu berkembang pesat di berbagai daerah di bawah kepemimpinan para
khalifah generasi seudahnya. Pada paruh kedua abad dua puluh, terdapat
setidaknya empat pusat TQN yang penting di Pulau Jawa : Rejoso (Jombang –
Jawa Timur) yang dipimpin oleh Kiai Musta’in Romly, Mranggen (Demak –Jawa
tengah) dipimpin Kiai Muslikh, Suryalaya (Tasikmalaya – Jawa Barat) dipimpin
oleh Abah Anom, dan Pagentongan (Bogor – Jawa Barat) dipimpin oleh Kiai
Tohir Falak.
Di antara keempat tokoh besar TQN itu, hanya tinggal Abah Anom yang masih
hidup. Dan hanya tinggal Suryalaya pula yang sepeninggal pengasunya,
kepemimpinan thariqahnya masih efektif hingga saat ini. Sementara ketiga pusat
pengajaran lainnya tidak berhasil melakukan regenerasi.
Di Jawa Timur, misalnya, Kiai Mustain Romly yang terjun ke politik praktis mulai
ditinggalkan pengikutnya. Ketokohannya kemudian digantikan oleh Kiai Adlan
Aly dari Tebuireng. Sepeninggal Kiai Adlan Aly, ketokohan TQN di Jawa Timur
dipegang Kiai Utsman Al-Ishaqi Surabaya dan dilanjutkan oleh putranya yang
legendaris, K.H. Asrori A-Ishaqi. Sementara di Jawa Tengah, sepeninggal Kiai
Muslikh yang kharismatik, kiprah kethariqahan Mranggen berangsur-angsur
tenggelam. Hal yang sama juga terjadi di Pesantren Pagentongan, Bogor, yang
sempat berjaya pada masa kepengasuhan Abah Falak.
Selain thariqah-thariqah yang sudah disebut di muka, masih banyak lagi thariqah
besar yang masuk ke nusantara pada pertengahan abad 19. Yang paling besar
tentu saja Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah (TNK), hasil pembaruan
thariqah Naqsyabandiyyah yang dilakukan oleh Maula Khalid Al-Baghdadi.
Thariqah ini, menurut berbagai sumber yang dikutip Martin VB dalam Tarekat
Naqsyabandiyah di Indonesia, masuk nusantara untuk kali pertama melalui
Syaikh Ismail Al-Minangkabawi, yang mengajar di Singapura. Melalui tokoh
mendapat ijazah dari Syaikh Abdullah Barzinjani (khalifah Maula Khalid) itu TNK-
pun menyebar ke Kerajaan Riau, Kerajaan Minang kemudian seluruh tanah air.
Perang Paderi
Di Minang, para pengikut Naqsyabandiyyah Khalidiyyah yang dipimpin Syaikh
Jalaluddin Cangking sempat terlibat bentrokan dengan pengikut tarekat
Syattariyah yang berpusat di Ulakan. Para penganut Naqsyabandiyyah yang
menganggap diri mereka pembaharu mengecam kaum konservatif di Ulakan,
yang ajaran thariqahnya dianggap sudah tercemari sinkretisme. Belakangan,
para tokoh Naqsyabandiyyah di Cangking terlibat peperangan melawan penjajah
Belanda dalam perang Paderi, yang dipimpin Imam Bonjol.
Selain melalui jalur Kiai Abdul Malik, Thariqah Syadziliyyah di Jawa juga dibawa
oleh K.H. Muhammad Dalhar Watucongol, Muntilan, Magelang. Dan pada akhir
abad dua puluh, pusat pengajaran Thariqah Syadziliyyah terbesar berada di
beberapa pesantren : Pesantren Peta di Tulungagung dengan guru mursyidnya
Kiai Abdul Jalil Mustaqim, Pesantren Watucongol Magelang dengan mursyid Kiai
Muhammad Abdul Haqq bin Dalhar alias Mbah Mad, Pesantren Parakan
Temanggung oleh Kiai Muhaiminan Gunardo, dan Pesantren Cidahu
Pandeglang oleh Abuya Dimyathi.
Yang menarik, meski baru tersebar luas di awal abad dua puluh, konon Thariqah
Syadziliyyah sudah masuk negeri ini, khususnya Jawa Timur, sejak awal akhir
abad 18. Pembawanya adalah Syaikh Maulana Abdul Qadir Khairi As-Sakandari,
seorang ulama asal dari Iskandariyyah Mesir yang kini dimakamkan di makam
auliya Desa Tambak, Kelurahan Ngadi, Kecamatan Mojo, Kediri, Jawa Timur.
Masih banyak lagi thariqah-thariqah lain yang saat ini terus tumbuh dan
berkembang di tanah air, baik yang mu’tabar (keabsahannya diakui) maupun
yang belum diakui. Dari yang diperkirakan datang bersamaan dengan tibanya
wali songo seperti Thariqah Kubrawiyyah, sampai yang baru masuk Indonesia di
penghujung abad dua puluh, seperti Thariqah Naqsyabandiyyah Haqqaniyyah.
Masalah kemu’tabaran itu memang selalu menjadi isu krusial dalam dunia
thariqah, karena dengan menyandang status mu’tabar suatu thariqah diakui
ketersambungan sanadnya sampai kepada Rasulullah. Kemu’tabaran suatu
thariqah sekaligus juga menyiratkan kemurniannya dari pengaruh ajaran
metafsik lain yang menyesatkan.