Anda di halaman 1dari 9

Saturday, August 15, 2009

Serial Tarekat I
Sejarah Perkembangan Thariqah Di Indonesia

Berdakwah Dan Berjuang Melalui Dzikir


Dengan semangat dzikir kaum thariqah berjuang mengislamkan nusantara dan
mempertahankannya dari upaya penjajahan bangsa-bangsa Eropa. Dan kini,
melalui Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah kaum tarekat
Indonesia berhimpun untuk memajukan bangsa.

Dalam hal nasionalisme dan pengabdian terhadap tanah air, kaum thariqah
memang bisa diacungi jempol. Betapa tidak. Perjalananan penjang sejarah
kebangsaan negeri ini telah mencatat dengan tinta emas kiprah kaum thariqah.
Tak hanya sibuk mendidik umat dengan dzikir dan kluhuran akhlak, mereka juga
berada di barisan terdepan pejuang yang berjibaku mempertahankan tanah air
tercinta dari upaya penjajahan bangsa asing.

Tak hanya di Indonesia, di berbagai belahan dunia kaum thariqah juga diakui
sebagai kelompok yang paling mampu membawa dan menyebarkan nilai-nilai
sejati Islam yang tercermin dalam idiom rahmatan lil ‘alamin. Tak mengherankan
jika kemudian thariqah atau tarekat berkembang pesat dan menjadi salah satu
khazanah umat Islam yang mendunia.

Tengok saja fenomena Thariqah Naqshabandiyyah Haqqaniyyah di Amerika


Serikat yang dibawa oleh Syaikh Muhammad Hisham Kabbani Al-Hasani asal
Cyprus dan Thariqah Syadziliyyah di Eropa yang perkenalkan oleh Syaikh
Muhammad bin Ibrahim Al-Ya’qubi Al-Hasani asal Damaskus, Suriah. Meski
perlahan, pertumbuhan kedua tarekat itu sangat signifikan di berbagai negeri-
negeri barat, seiring pertumbuhan jumlah umat Islam di negeri-negeri yang sejak
lama telah kehilangan rasa dengan agama nenek moyangnya.

Di Indonesia sendiri aktivitas thariqah telah dikenal sejak awal mula masuknya
Islam ke Nusantara. Berbagai riset dan penelitian kesejarahan yang di lakukan
oleh para sejarawan, baik lokal maupun mancanegara, membuktikan, para para
penganut thariqahlah yang telah membawa agama tauhid ini masuk ke
nusantara. Menilik sejarahnya yang panjang, tak mengherankan jika saat ini
Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah mengklaim bahwa
jumlah pengikut thariqah saat ini berkisar antara 35 -40 jutaan orang.

Rentang waktu yang telah dilalui kaum thariqah yang membentang melintasi
puluhan generasi tentu merupakan obyek yang menarik untuk dikaji. Sebab
dipastikan, kaum thariqah pasti terlibat dan mempunyai andil besar dalam
dinamika pertumbuhan Islam di Nusantara. Berikut sekelumit kisah masuk dan
berkembangnya thariqah ke Indonesia, berikut keterlibatannya dalam jatuh
bangunnya bangsa ini.

Serat Banten
Islamisasi nusantara secara besar-besaran terjadi pada awal abad 14,
bersamaan dengan masa keemasan perkembangan tasawuf akhlaqi yang
ditandai dengan munculnya aliran-aliran thariqah di Timur Tengah. Fase itu
sendiri telah dimulai sejak Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (wafat 1111
M) merumuskan konsep tasawuf yang moderat yang memadukan keseimbangan
unsur akhlaq, syariat, dan filsafat.

Konsep itu diterima secara terbuka oleh kaum fuqaha yang sebelumnya
menentang habis-habisan ajaran tasawuf falsafi yang kontroversial. Tasawuf
falsafi adalah ajaran tasawuf yang mencampur adukan antara konsep tauhid,
akhlaq dengan filsafat Yunani. Di antara doktrin kontroversialnya adalah hulul
dan ittihad, yakni penyatuan ragawi antara Allah dan makhluk yang juga dikenal
sebagai paham wahdatul wujud.

Karena bertentangan dengan doktrin umum syariat, pertumbuhan tasawuf falsafi


sangat berdarah-darah. Aksi-aksi kontroversial para sufi falsafi kontan menyulut
kemarahan jumhur ulama dan penguasa masa itu. Beberapa tokohnya, seperti
Al-Hallaj dan Abu Yazid Al-Busthami, kemudian dibawa ke meja hijau dan
dihukum mati.

Setelah Al-Ghazali sukses dengan konsep tasawuf moderatnya yang dianggap


selaras dengan syariat, berturut-turut muncul tokoh-tokoh sufi yang mendirikan
zawiyyah pengajaran tasawuf akhlaqi di berbagai tempat. Sebut saja Syaikh
Abdul Qadir Al-Jilani (wafat 1166 M), yang ajaran tasawufnya menjadi dasar
Thariqah Qadiriyyah. Ada juga Syaikh Najmudin Kubra (wafat 1221 M), sufi Asia
Tengah pendiri Thariqah Kubrawiyyah; Syaikh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili
(wafat 1258), pendiri Thariqah Syadziliyyah asal Maghribi, Afrika Utara; Ahmad
Ar-Rifa’i (wafat 1320) yang mendirikan Thariqah Rifa’iyyah.

Selain itu, awal abad keempat belas juga menjadi fase pertumbuhan Thariqah
Naqsyabandiyyah yang didirikan oleh Syaikh Muhammad Bahauddin An-
Naqsyabandi (wafat 1389) dan Thariqah Syathariyyah yang didirikan Syaikh
Abdullah Asy-Syaththari (wafat 1428 M). Kedua thariqah tersebut belakangan
menjadi yang thariqah besar yang memiliki banyak pengikut di tanah air.

Para sejarawan barat meyakini, sebagaimana dikuti Martin Van Bruinessen


dalam bukunya Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Islam bercorak sufistik
itulah yang membuat penduduk nusantara yang semula beragama Hindu dan
Buddha menjadi sangat tertarik. Tradisi dua agama asal India yang kaya dengan
dimensi metafisik dan spiritualitas itu dianggap lebih dekat dan lebih mudah
beradaptasi dengan tradisi thariqah yang dibawa para wali.
Salah satu referensi keterkaitan para wali dengan dunia thariqah adalah Serat
Banten Rante-rante, sejarah Banten kuno. Dalam karya sastra yang ditulis di
awal berdirinya kesultanan Banten itu disebutkan, pada fase belajarnya Sunan
Gunung Jati pernah melakukan perjalanan ke tanah Suci dan berjumpa dengan
Syaikh Najmuddin Kubra dan Syaikh Abu Hasan Asy-Syadzili. Dari kedua tokoh
berlainan masa itu sang sunan konon memperoleh ijazah kemursyidan Thariqah
Kubrawiyyah dan Syadziliyyah.

Untuk menguatkan cerita tersebut, Serat Banten Rante-rante juga


mencantumkan 27 tokoh ulama yang pada masa yang sama juga belajar kepada
Syaikh Najmuddin Kubra, dan belakangan menjadi tokoh penyebar Thariqah
Kubrawiyyah ke seluruh dunia. Mereka antara lain Syaikh Jamaluddin
Muhammad Al-Khalwati, Qadhi Zakariyya Al-Anshari dan Syaikh Abdul Wahhab
Asy-Sya’rani.

Terlepas dari kebenaran fakta cerita dalam Serat Banten Rante-rante, pendiri
Kesultanan Cirebon itu diyakini sebagai orang pertama yang membawa Thariqah
Kubrawiyyah ke tanah Jawa.

Faham Wahdatul Wujud


Thariqah lain yang masuk nusantara pada periode awal adalah Thariqah
Qadiriyyah, Syaththariyyah dan Rifa’iyyah. Ketiga thariqah tersebut masuk ke
Sumatra sepanjang abad 16 dan 17 secara susul menyusul. Thariqah yang
pertama kali masuk adalah Qadiriyyah yang dibawa oleh Hamzah Fansuri,
sastrawan sufi kontroversial dari Aceh. Meski meninggalkan banyak karya tulis,
namun sang sufi yang sempat berkelana ke negeri-negeri di Asia Selatan dan
Tenggara itu diyakini tidak menyebarkan thariqahnya kepada khalayak umat
Islam.

Jejaknya hanya diikuti oleh murid utamanya, Syamsudin As-Sumatrani, yang


belakangan justru menyebarkan Thariqah Syaththariyyah. Ijazah kemursidan
Syaththariyyahnya diperoleh dari sufi asal Gujarat, Syaikh Muhammad bin
Fadhlullah Burhanpuri.

Meski berbeda thariqah, guru dan murid itu mempunyai kesamaan


kecenderungan, yakni mengajarkan paham wahdatul wujud. Ajaran itulah yang
kemudian memicu konflik tajam dengan sufi lain yang menjadi mufti kerajaan
Aceh, yakni Syaikh Nuruddin Ar-Raniri.

Usaha kelompok Ar-Raniri dalam memerangi ajaran panteisme ala Syamsudin


itu tak main-main. Selain pembakaran kitab pegangan dan zawiyyah-
zawiyyahnya, Ar-Raniri juga berhasil meyakinkan pemerintah untuk menghukum
bakar Syamsudin beserta para pengikutnya.

Sepeninggal Ar-Raniri, jejaknya diteruskan oleh Syaikh Abdul Rauf As-Singkili


asal Singkel, Aceh. Ulama muda yang pernah belajar di Tanah Suci selama
sembilan belas tahun itu membawa Thariqah Syaththariyyah yang lebih bercorak
akhlaqi.

Ijazah kemursyidan Syaikh Abdul Rauf Singkel diperoleh dari dua sufi besar
Madinah, Syaikh Ahmad Al-Qusyasyi (wafat 1660M) dan Syaikh Ibrahim Al-
Kurani (wafat 1691). Setelah mendengar konflik antara pengikut Syaththariyyah
ala Syamsudin yang kontroversial dan Syaikh Nuruddin Ar-Raniri, Abdul Rauf
diutus gurunya untuk kembali ke Aceh guna menyebarkan thariqah
Syaththariyyah yang benar. Kedatangannya diterima dengan tangan terbuka
oleh kerajaan. Bahkan ia lalu diangkat menjadi salah satu mufti kerajaan.

Tokoh lain yang hidup semasa dengan Syaikh Abdul Rauf Singkel dan pernah
juga berguru kepada Syaikh Ibrahim Al-Kurani serta ulama sufi lainnya di Timur
Tengah adalah Syaikh Yusuf Al-Makassari, ulama pejuang asal Sulawesi
Selatan. Setelah mengembara hingga ke Damaskus, Syaikh Yusuf pulang ke
Nusantara dengan mengantongi ijazah kemursyidan Thariqah Naqsyabandiyyah,
Qadiriyyah, Syaththariyyah, Ba’alawiyyah dan Khalwatiyyah.

Di Makassar, Syaikh Yusuf lalu mengajarkan Thariqah Khalwatiyyah yang dipadu


dengan beberapa ritual thariqah lain yang dikuasainya, dan dikenal kemudian
dengan nama Khalwatiyyah Yusufiyyah. Pengikut thariqah ini juga dikenal sangat
militan. Beberapa kali mereka terlibat bentrokan dengan penjajah dan ditangkapi.
Syaikh Yusuf sendiri kemudian hijrah ke kesultanan Banten, ikut membantu
perjuangan rakyat Banten sambil terus mengajarkan thariqah Khalwatiyyahnya.

Karena simpati dengan ketulusan perjuangan Syaikh Yusuf, ulama itu kemudian
diangkat menantu Sultan Ageng Tirtayasa. Sepeninggal Sultan Ageng yang
gugur di penjara kompeni Belanda, Syaikh Yusuf meneruskan perjuangan sang
mertua. Ia membangun basis pertahanan di sekitar Tangerang.

Membela Penjajah
Namun sayang, karena Sultan Haji, raja Banten berikutnya lebih cenderung
membela kepentingan penjajah, perjuangan Syaikh Yusuf pun semakain
meleham hingga akhirnya tertangkap pada tahun 1683. Setelah dipindah-
pindahkan dari penjara Cirebon ke Batavia, akhirnya pada tanggal 12 September
1684 ia dibuang ke Ceylon, Afrika Selatan. Di negeri itu ia menghabiskan sisa
usia dengan berdakwah, mengajar dan menulis kitab. Hingga kini masyarakat
Ceylon masih menganggap sang Syaikh sebagai wali dan pahlawan kebanggan
mereka.

Abad enam belas dan tujuh belas memang merupakan masa-masa penting
dalam penyebaran thariqah di nusantara. Pada abad-abad tersebut, mulai
banyak santri dari Nusantara yang lazim dikenal dengan orang Jawah atau Jawi
yang menetap di Tanah Suci untuk belajar ilmu agama. Bahkan saat itu, jumlah
jamaah haji dari Nusantara termasuk yang terbesar dibanding dari dari negeri-
negeri muslim lain.

Para santri Jawah itu hidup dalam satu komunitas tersendiri yang terpisah dari
santri-santri negeri lain. Karena kemampuan berbahasa Arab mereka yang rata-
rata pas-pasan, santri-santri junior lebih banyak belajar kepada para santri senior
asal Jawah juga. Setelah cukup matang barulah mereka mulai belajar kepada
ulama besar setempat. Kemudian, sebagaimana yang dilakukan para pendahulu
mereka, setelah usai mengaji ilmu syariat, para santri Jawah itu lalu berguru ilmu
tasawuf kepada ulama sufi terkenal di kota itu.

Setelah era Syaikh Al-Qusyasyi dan Al-Kurani, pada abad 18, tokoh ulama sufi
yang menjadi tujuan belajar utama santri Jawah adalah Syaikh Muhammad bin
Abdul Karim As-Sammani (wafat 1775 M), penjaga makam Baginda Nabi
Muhammad SAW. Ulama yang produktif menulis itu mengajarkan perpaduan
ajaran thariqah Khalwatiyyah, Qadiriyyah, Naqsyabandiyyah dan Syadziliyyah.
Sufi yang dikenal banyak memiliki karamah itu juga menyusun sebuah ratib dan
mengajarkan metode berzikir baru yang belakangan dikenal sebagai wirid
Thariqah Sammaniyyah.

Karena kehebatan karamahnya, thariqah itu sangat diminati para santri Jawah
dan segera saja tersebar luas di nusantara. Salah satu murid utama Syaikh
Samman asal nusantara adalah Syaikh Abdul Shomad Al-Falimbani, ulama
pejuang asal Palembang, Sumatera Selatan yang mengarang beberapa kitab
terkenal berbahasa Melayu.

Berkat Syaikh Abdul Shomad pula thariqah itu diterima dengan tangan terbuka
dan berkembang pesat di Kesultanan Palembang. Bahkan, beberapa waktu
setelah sang syaikh wafat, Sultan Palembang membangun sebuah zawiyyah
Thariqah Sammaniyyah di kota pelabuhan Saudi Arabia, Jeddah.

Karena besarnya kecintaan para Sultan Palembang kepada Syaikh Samman dan
thariqahnya, tak heran hingga saat ini Thariqah Sammaniyyah terus berkembang
pesat di Sumetara Selatan, bahkan sampai pulau-pulau lain. Di beberapa daerah
di pesisir utara Jawa, misalnya, hingga ssat ini syair tawassul kepada Syaikh
Samman masih sering dikumandangkan setiap usai shalat tarawih dan witir di
bulan Ramadhan.

Thariqah ini juga menjadi alat pemersatu rakyat, ulama dan umara Palembang
dalam pertempuran penjajah pada tahun 1819. Dalam sebuah karya sastra
setempat dikisahkan, sekelompok pengikut thariqah yang mengenakan pakaian
serba putih dan menyandang senjata tampak berzikir dengan keras hingga
mencapai fana atau ekstase. Kemudian tanpa rasa gentar mereka menyerbu dan
mengobrak-abrik barisan tentara Belanda.

Syaikh Abdul Shamad Al-Falimbani sendiri di masa tuanya hijrah ke Pattani,


untuk berdakwah dan membantu umat Islam setempat yang tengah berjuang
melawan penjajah eropa yang datang silih berganti.

Seiring kepulangan santri Jawah yang telah selesai belajar di tanah suci,
menjelang akhir abad delapan belas, berbagai thariqah telah tersebar luas di
nusantara. Setiap daerah memiliki kekhasan thariqahnya sendiri, sesuai yang
dianut petinggi agama setempat. Beberapa daerah juga memiliki tradisi yang
merupakan perpaduan dari berbagai thariqah terkenal.

Bermodal Kesaktian
Jejak Thariqah Qadiriyyah dan Rifa’iyyah, misalnya, bisa dikenali lewat kesenian
debus yang tersebar mulai di berbagai kesultanan seperti Aceh, Kedah, Perak,
Minangkabau, Banten, Cirebon, Maluku, dan Sulawesi Selatan. Bahkan kesenian
yang mengedepankan aspek kesaktian itu juga dikenal di komunitas Melayu di
Cape Town, Afrika Selatan, yang mungkin mendapatkannya dari Syaikh Yusuf
Al-Makassari dan murid-muridnya.

Pada mulanya ilmu kebal debus diberikan para guru thariqah untuk menambah
semangat juang murid-muridnya dalam menghadapi penjajah. Tak heran
pertempuran demi pertempuran meletus di berbagai daerah yang digelorakan
oleh ulama dan pengikut tarekat. Selain di Pelambang, pertempuran lain
melawan penjajah yang dilakukan para pengikut thariqah juga tercatat pernah
meletus di Kalimantan Selatan (tahun 1860an), Jawa Barat (1888) dan Lombok
(1891).

Dua pertempuran yang disebut terakhir itu digerakkan oleh ulama dan pengikut
Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah (TQN), tarekat baru yang didirikan
oleh ulama sufi Makkah asal Kalimantan Barat, Syaikh Ahmad Khatib As-
Sambasi (wafat 1878). Sufi besar itu mempunyai tiga orang khalifah (asisten,
yang kelak bisa menggantikan sebagai guru utama), yakni Syaikh Abdul Karim
Banten, Syaikh Tholhah Cirebon dan Syaikh Ahmad Hasbullah Madura (tinggal
di Makkah).

Sepeninggal Syaikh Ahmad Khatib Sambas, kepemimpinan tertinggi Thariqah


Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah di Makkah dipegang oleh Syaikh Abdul Karim
Banten. Kharisma kuat yang memancar dari diri Syaikh Abdul Karim membuat
thariqah ini segera tersebar luas di nusantara, khususnya Jawa Barat, Jawa
Tengah bagian utara dan Jawa Timur.

Setelah Syaikh Abdul Karim wafat, kepemimpinan TQN tidak lagi terpusat.
Thariqah itu berkembang pesat di berbagai daerah di bawah kepemimpinan para
khalifah generasi seudahnya. Pada paruh kedua abad dua puluh, terdapat
setidaknya empat pusat TQN yang penting di Pulau Jawa : Rejoso (Jombang –
Jawa Timur) yang dipimpin oleh Kiai Musta’in Romly, Mranggen (Demak –Jawa
tengah) dipimpin Kiai Muslikh, Suryalaya (Tasikmalaya – Jawa Barat) dipimpin
oleh Abah Anom, dan Pagentongan (Bogor – Jawa Barat) dipimpin oleh Kiai
Tohir Falak.
Di antara keempat tokoh besar TQN itu, hanya tinggal Abah Anom yang masih
hidup. Dan hanya tinggal Suryalaya pula yang sepeninggal pengasunya,
kepemimpinan thariqahnya masih efektif hingga saat ini. Sementara ketiga pusat
pengajaran lainnya tidak berhasil melakukan regenerasi.

Di Jawa Timur, misalnya, Kiai Mustain Romly yang terjun ke politik praktis mulai
ditinggalkan pengikutnya. Ketokohannya kemudian digantikan oleh Kiai Adlan
Aly dari Tebuireng. Sepeninggal Kiai Adlan Aly, ketokohan TQN di Jawa Timur
dipegang Kiai Utsman Al-Ishaqi Surabaya dan dilanjutkan oleh putranya yang
legendaris, K.H. Asrori A-Ishaqi. Sementara di Jawa Tengah, sepeninggal Kiai
Muslikh yang kharismatik, kiprah kethariqahan Mranggen berangsur-angsur
tenggelam. Hal yang sama juga terjadi di Pesantren Pagentongan, Bogor, yang
sempat berjaya pada masa kepengasuhan Abah Falak.

Selain thariqah-thariqah yang sudah disebut di muka, masih banyak lagi thariqah
besar yang masuk ke nusantara pada pertengahan abad 19. Yang paling besar
tentu saja Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah (TNK), hasil pembaruan
thariqah Naqsyabandiyyah yang dilakukan oleh Maula Khalid Al-Baghdadi.

Thariqah ini, menurut berbagai sumber yang dikutip Martin VB dalam Tarekat
Naqsyabandiyah di Indonesia, masuk nusantara untuk kali pertama melalui
Syaikh Ismail Al-Minangkabawi, yang mengajar di Singapura. Melalui tokoh
mendapat ijazah dari Syaikh Abdullah Barzinjani (khalifah Maula Khalid) itu TNK-
pun menyebar ke Kerajaan Riau, Kerajaan Minang kemudian seluruh tanah air.

Perang Paderi
Di Minang, para pengikut Naqsyabandiyyah Khalidiyyah yang dipimpin Syaikh
Jalaluddin Cangking sempat terlibat bentrokan dengan pengikut tarekat
Syattariyah yang berpusat di Ulakan. Para penganut Naqsyabandiyyah yang
menganggap diri mereka pembaharu mengecam kaum konservatif di Ulakan,
yang ajaran thariqahnya dianggap sudah tercemari sinkretisme. Belakangan,
para tokoh Naqsyabandiyyah di Cangking terlibat peperangan melawan penjajah
Belanda dalam perang Paderi, yang dipimpin Imam Bonjol.

Cerita seputar hubungan antara Perang Paderi dengan thariqah


Naqsyabandiyyah belakangan kembali dipertanyakan, terutama oleh sejarawan
Minang dan Tapanuli. Pemicuya adalah beberapa buku sejarah yang
menyatakan Imam Bonjol dan pasukannya adalah penganut paham Wahhabi
yang bermaksud menggusur kaum muslim tradisionalis di kawasan itu. Wallahu
a’lam bish shawwab.

Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah semakin berkembang pesat di tanah air


melalui jamaah haji sejak Syaikh Sulaiman Zuhdi, khalifah thariqah tersebut
membuka zawiyyah di Jabal Abi Qubais, Makkah Al-Mukarramah. Untuk wilayah
Jawa, misalnya, Syaikh Sulaiman menunjuk tiga khalifah: Syaikh Abdullah
Kepatian (Tegal), Syaikh Muhammad Ilyas Sokaraja (Banyumas), dan Syaikh
Muhammad Hadi, Girikusumo (Salatiga).

Khalifah pertama hingga wafatnya tidak mengangkat pengganti. Sedangkan


kekhalifahan Syaikh Ilyas diteruskan oleh putranya Kiai Abdul Malik, Purwokerto,
lalu oleh Habib Luthfi Bin Yahya, Pekalongan. Sementara kekhalifahan Syaikh
Muhammad Hadi Girikusumo dilanjutkan oleh putranya Kiai Manshur Popongan
Klaten, lalu oleh cucunya Kiai Salman Dahlawi dan muridnya Kiai Arwani Amin
Kudus.

Selain mewariskan Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah, Kiai Abdul Malik


juga mewariskan ijazah kemursyidan beberapa thariqah kepada Habib Luthfi Bin
Yahya, salah satunya adalah Thariqah Syadziliyyah. Bahkan, belakangan
pemimpin tertinggi Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah itu
lebih identik dengan tarekat yang berasal dari Afrika Utara tersebut.

Selain melalui jalur Kiai Abdul Malik, Thariqah Syadziliyyah di Jawa juga dibawa
oleh K.H. Muhammad Dalhar Watucongol, Muntilan, Magelang. Dan pada akhir
abad dua puluh, pusat pengajaran Thariqah Syadziliyyah terbesar berada di
beberapa pesantren : Pesantren Peta di Tulungagung dengan guru mursyidnya
Kiai Abdul Jalil Mustaqim, Pesantren Watucongol Magelang dengan mursyid Kiai
Muhammad Abdul Haqq bin Dalhar alias Mbah Mad, Pesantren Parakan
Temanggung oleh Kiai Muhaiminan Gunardo, dan Pesantren Cidahu
Pandeglang oleh Abuya Dimyathi.

Selain di beberapa pesantren tersebut, pengajaran Thariqah Syadziliyyah juga


diberikan oleh guru mursyid non pesantren. Yang terkenal di desa Kacangan
Boyolali oleh Kiai Idris dan –yang terbesar-- di Noyontakan Pekalongan yang
diasuh oleh Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim Bin Yahya. Namun sayangnya saat
ini hanya tinggal Habib Luthfi dan Mbah Mad saja yang masih hidup, sementara
yang lain telah wafat sepanjang satu dasa warsa lalu.

Yang menarik, meski baru tersebar luas di awal abad dua puluh, konon Thariqah
Syadziliyyah sudah masuk negeri ini, khususnya Jawa Timur, sejak awal akhir
abad 18. Pembawanya adalah Syaikh Maulana Abdul Qadir Khairi As-Sakandari,
seorang ulama asal dari Iskandariyyah Mesir yang kini dimakamkan di makam
auliya Desa Tambak, Kelurahan Ngadi, Kecamatan Mojo, Kediri, Jawa Timur.

Ijazah Dari Rasulullah


Thariqah besar lain yang ikut mewarnai khazanah muslim nusantara adalah
Thariqah Tijaniyyah yang didirikan oleh Syaikh Ahmad At-Tijani (1737 – 1815)
Sufi dari Afrika Utara. Karena usianya yang masih muda, thariqah ini baru masuk
Indonesia setelah tahun 1920an, melalui Jawa Barat. Pembawanya adalah
Syaikh Ali bin Abdullah At-Thayyib Al-Azhari, ulama pengembara kelahiran
Makkah.
Di negeri ini kehadiran Thariqah Tijaniyyah sempat mengundang polemik, karena
pendirinya mengaku mendapat ijazah langsung dari Rasulullah dalam keadaan
sadar dan thariqahnya menyempurnakan serta menutup thariqah-thariqah lain.
Meski sempat ditentang oleh ulama thariqah lain, Tijaniyyah tumbuh subur di
Cirebon dan Garut dengan Pesantren Buntet, Cirebon sebagai pusatnya. Saat ini
terdapat tak kurang dari 28 muqaddam, istilah untuk guru mursyid dalam
thariqah ini, yang tersebar di seluruh Indonesia.

Masih banyak lagi thariqah-thariqah lain yang saat ini terus tumbuh dan
berkembang di tanah air, baik yang mu’tabar (keabsahannya diakui) maupun
yang belum diakui. Dari yang diperkirakan datang bersamaan dengan tibanya
wali songo seperti Thariqah Kubrawiyyah, sampai yang baru masuk Indonesia di
penghujung abad dua puluh, seperti Thariqah Naqsyabandiyyah Haqqaniyyah.

Masalah kemu’tabaran itu memang selalu menjadi isu krusial dalam dunia
thariqah, karena dengan menyandang status mu’tabar suatu thariqah diakui
ketersambungan sanadnya sampai kepada Rasulullah. Kemu’tabaran suatu
thariqah sekaligus juga menyiratkan kemurniannya dari pengaruh ajaran
metafsik lain yang menyesatkan.

Untuk menjaga kemurnian dan kemu’tabaran ajaran thariqah-thariqah tersebut,


sejak tahun 1979, pada muktamarnya ke-26, warga Nahdlatul Ulama membentuk
Jamiyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah, badan otonom NU yang
melaksanakan mandat warga nahdliyyin seputar dunia pertarekatan. Dan saat ini
Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah telah mengakui
kemu’tabaran empat puluh empat thariqah di Indonesia.

Dan tanggal 26 - 30 Juni 2008 mendatang, organisasi kaum tarekat di


lingkungan NU itu akan menggelar musyawarah kubra tingkat nasional yang
selalu digelar di pertengahan masa kepengurusan suatu periode. Mudah-
mudahan akan semakin banyak kemanfaatan lahir dan tersebar di nusantara.
Sebagaimana selama ini insan thariqah telah membuktikan jati dirinya melalui
dakwah, dzikir dan perjuangan merebut kemerdekaan. Semoga!. (Kang Iftah,
Januari 2009)

Sumber : Martin VB (Tarekat Naqsyabandiyyah di Indonesia dan Kitab Kuning,


Pesantren dan Tarekat)

Anda mungkin juga menyukai