id
Antisipasi Kebakaran Lahan Gambut di Perkebunan Kelapa Sawit *)
Muhammad Noor dan Acep Akbar
karena pembukaannya
memunculkan kebakaran besar yang kemudian diisukan menimbulkan emisi GRK setara dengan
negara Inggris. Kebakaran lahan gambut tahun 1997/1998 yang tercatat seluas 2,12 juta ha
ditaksir menimbulkan emist GRK setara 0,6-4,2 juta ton C atau 2-16 juta ton CO2 (Tacconi,
2003) sehinga Indonesia masuk sebagai emitor GRK ke tiga di dunia.
Dorongan kuat untuk pentingnya tata kelola lahan gambut yang bijak dan ramah
lingkungan terkait dengan komitmen Indonesia yang disampaikan Presiden Susilo Bambang
Yudiyono di Pittsburg, Amerika Serikat dan di Copenhagen pada Konferensi G-20 dan COP-15
pada diakhir tahun 2009 yang menyatakan akan menurunkan emisi GRK sebesar 26% secara
unilateral dan 41% jika ada dukungan bantuan negara maju, diantaranya 9,5-13,0% dari lahan
gambut.
Tulisan ini dimaksudkan sebagai sharing pengalaman dan pengetahuan dalam
memahami dan mengatasi kebakaran di lahan gambut, terutama pada perkebunan kelapa sawit.
Kebakaran lahan gambut merupakan salah satu isu kunci dalam tata kelola lahan gambut yang
ramah lingkungan.
1
http://balittra.litbang.deptan.go.id
Sekitar Kecaman dan Tudingan
Lahan gambut dinilai sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK), seperti
karbondioksida (CO2), metan (CH4), dan dinitrooksida (N2O) yang berdampak pada perubahan
iklim dan pemanasan global. Emisi GRK secara nasional cenderung meningkat setiap tahun yang
sebenarnya juga akibat meningkatnya pemakaian bahan bakar fosil dari minyak bumi, gas alam
dan batu bara baik untuk kepentingan energi dan listrik, seperti transportasi, industri, pabrikpabrik maupun kepentingan rumah tangga. Menurut laporan, kegiatan non pertanian
(penggunaan energi dan listrik) di atas telah menyumbang 65% dari total emisi GRK jauh lebih
besar daripada kegiatan pertanian (budidaya pertanian/perkebunan, alih fungsi lahan/hutan, dan
limbah pertanian/rumah tangga) yang menyumbang sekitar 35% dari total emisi GRK.
Keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kesepakatan internasional seperti Konvensi
Keanekaragaman Hayati (CBD), Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) dan
Konvensi Ramsar tentang Konservasi Lahan Basah, yang telah dituangkan dalam undangundang sebagai bentuk ratifikasi merupakan partisipasi pemerintah dalam pergaulan dunia yang
memang telah diamanatkan oleh Undang-unang Dasar 1945, namun pada tempatnya pemerintah
juga perlu tetap memperhatikan kedaulatan negara dan kepentingan nasional dalam apresiasi
kesepakatan-kesepakatan tersebut, khususnya dalam hal pengaturan sumber daya alam kita,
termasuk lahan gambut.
Tudingan-tudingan masyarakat dunia, khususnya oleh Negara-negara Eropah dan Amerika
Serikat, tentang pemanfaatan lahan gambut yang selama ini dianggap merusak lingkungan,
merusak hutan, dan menguras sumber daya air, menurunkan keanekaragaman hayati,
meningkatkan kemiskinan masyarakat setempat, dan meningkatkan emisi gas rumah kaca atau
menimbulkan perubahan iklim,
http://balittra.litbang.deptan.go.id
masyarakat luar (asing) lebih tertuju pada pelepasan karbon ketimbang penyipanannya dalam
bentuk tanaman. Lebih-lebih bahwa angka-angka seperti emisi GRK yang diekspose
menyerang lebih banyak estimasi-estimasi yang sangat mungkin terdistorsi untuk tujuan
politik dan bisnis.
http://balittra.litbang.deptan.go.id
kelapa sawit merupakan peluang sebagai sumber pendapatan daerah sehingga menawan untuk
dijadikan wilayah sumber pertumbuhan ekonomi baru.
Pemerintah di bawah Direktorat Jenderal Perkebunan telah merencanakan pembukaan
lahan perkebunan seluas 450 ribu ha per tahun. Dengan semakin sempitnya lahan yang tersedia
akibat konversi lahan pertanian menjadi non pertanian, maka pemanfaatan lahan-lahan sub
optimal seperti lahan rawa dan lahan gambut menjadi pilihan ke depan.
Dalam konteks
pemanfaatan lahan dan kebakaran lahan, boleh jadi dengan adanya tanaman pada lahan-lahan
gambut yang sudah dibuka atau bongkor, maka kebakaran lahan yang sering terjadi baik
disengaja ataupun tidak disengaja akan berkurang. Petani yang lahannya ditanami dengan baik
apakah itu karet atau kepala sawit tentunya tidak membiarkan begitu saja lahannya untuk
terbakar.
http://balittra.litbang.deptan.go.id
1. Operasional Teknis
Operasional teknis dalam hal ini adalah perencanaan pengendalian kebakaran hutan dan
lahan dengan fokus pada pencegahan terjadinya kebakaran. Pencegahan maksudnya adalah
kegiatan yang bersifat mencegah terjadinya kebakaran atau yang harus dilakukan saat belum
terjadi kebakaran. Berikut ini dikemukakan beberapa usaha pencegahan kebakaran lahan atau
hutan yang antara lain :
1. Pembuatan Peta Rawan Kebakaran.
kebakaran dapat dicegah selaus mungkin dengan cara mendelinasi areal yang rawan
kebakaran baik dari segi bahan bakar maupun sosial kemasyarakatan.
2. Pembuatan Sekat Bakar. Secara teknis hal ini sangat mudah hanya saja efektif tidaknya
sangat tergantung pada peletakan lokasi. Oleh karena itu, dari peta rawan kebakaran
dapat disusun perencanaan pembuatan sekat bakar, baik sekat bakar jalur hijau maupun
sekat bakar jalur kuning dengan jumlah yang memamdai dan tempat-tempat yang
strategis.
3. Sistem Deteksi Kebakaran. Kegiatan ini untuk mengetahui lebih dini kemungkinan
terjadinya kebakaran hutan, sehingga dapat diambil langkah-langkah penanggulangan
yang tepat. Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain :
Patroli secara periodik dengan frekuensi lebih meningkat pada saat musim kemarau;
Membangun dan mendayagunakan pos-pos jaga pada jalan masuk, jalan pengawasan
areal tanaman dan di sekitar kawasan yang berbatasan dengan desa atau lahan usaha
pertanian. Ini dimaksudkan untuk menghindari dari kebakaran hutan akibat kecerobohan
manusia atau kesengajaan;
http://balittra.litbang.deptan.go.id
Memanfaatkan informasi hotspot (titik panas) dan cuaca untuk penilaian tingkat
kerawanan kebakaran,
Pengelolaan bahan bakar. Pengelolaan bahan bakar adalah kegiatan untuk memanipulasi
bahan bakar, sehingga jumlah bahan bakar tidak berada pada kondisi yang rawan
terbakar;
Penyediaan tenaga dan peralatan pemadam. Tenaga yang terampil dan ketersediaan
peralatan sangat menunjang perlindungan tanaman dari bahaya kebakaran. Tanpa adanya
tenaga terlatih beserta peralatan, api akan sulit dikendalikan;
Penyediaan sumber air. Sumber air merupakan faktor kunci dimusim kebakaran. Untuk
itu waduk serbaguna, bak air beton, sarana transportasi dan komunikasi perlu disediakan;
Menyusun data statistik. Ini bertujuan untuk mengetahui segala asset atau tanaman yang
perlu dilindungi serta sarana prasarana yang ada.
2. Kelembagaan
Dalam perusahaan diperlukan kelembagaan khusus yang mengelola kebakaran dalam
bentuk bagian atau gugus tersendiri. Pembagian adanya unit khusus pengelolaan kebakaran ini
dimaksudkan agar dapat memperjelas tugas tanggung jawab dan mempermudah pelaksanaan
pengendalian kebakaran sehingga pengendalian kebakaran dapat lebih efektif. Unit-unit
pengelola ini tidak berdiri sendiri melainkan dikoordinasikan dengan masyarakat atau
perusahaan yang berdampingan sehingga kegiatan pengendalian kebakaran yang dilakukan dapat
http://balittra.litbang.deptan.go.id
bersifat terpadu. Masing-masing unit pengelola tersebut harus memiliki Brigade Pengendalian
Kebakaran yang bersifat operasional dan memiliki kemampuan yang memadai.
Selanjutnya di tingkat masyarakat yang berdekatan perlu dibentuk Regu Pengendali
Kebakaran Kampung/Desa (regu pengendali kebakaran hutan dan lahan yang berbasis
masyarakat) terutama pada daerah rawan kebakaran. Lembaga ini akan berperan sebagai ujung
tombak dan menjadi partner utama pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang memiliki
jaringan kerja dengan pusat pengendalian kebakaran pada level kecamatan maupun kabupaten
serta unit-unit pengelola tersebut di atas. Dengan sistem ini memungkinkan terjadinya
keterpaduan antara perusahaan swasta dan masyarakat dalam pengendalian kebakaran hutan dan
lahan.
Posko kampung/desa yang berkedudukan di sekitar daerah rawan kebakaran perlu
supporting dari perusahaan sehingga akan mempermudah pelaksanaan monitoring/pengawasan
areal, sehingga kebakaran yang terjadi dapat diantisipasi sejak dini. Untuk itu dalam posko
kampung harus disediakan peralatan pemadaman kebakaran yang mencukupi dan peralatan
komunikasi untuk mempermudah hubungan dengan jaringan di atasnya. Disamping itu, personel
posko kampung harus dibekali dengan teknik pemadaman kebakaran yang memadai yang dapat
diberikan dengan jalan pendidikan dan pelatihan.
http://balittra.litbang.deptan.go.id
hutan dan kebun akan semakin tinggi. Contoh kasus mengenai tradisi masyarakat Dayak Desa
Loksado di Hulu Sungai Selatan. Kelompok masyarakat ini memiliki tradisi melakukan
pembakaran untuk penyiapan ladang pertanian. Namun karena masyarakat ini merasa memiliki
dan sangat bergantung pada lahan tersebut maka meskipun melakukan pembakaran tidak pernah
terjadi kebakaran yang tidak terkendali. Dengan demikian keterlibatan masyarakat secara aktif
diarahkan agar : (1) masyarakat merasa memiliki areal tersebut sehingga muncul kepedulian, (2)
secara bertahap menimbulkan ketergantungan/kesadaran masyarakat akan pentingnya areal
tersebut bagi kehidupannya.
Dengan tercapainya dua hal tersebut di atas maka secara tidak langsung masyarakat telah
berperan dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Keterlibatan masyarakat secara aktif
dalam pengendalian kebakaran hutan dapat dilakukan pada :
a. Kegiatan Pencegahan Kebakaran
Dalam hal ini masyarakat terlibat dalam kegiatan patroli dan pengawasan areal terhadap
bahaya kebakaran yang merupakan salah satu sistem deteksi dini. Patroli dan pengawasan
yang dilakukan oleh masyarakat setempat akan jauh lebih efektif karena masyarakat tinggal
di lokasi yang relatif dekat dengan hutan atau kebun. Namun demikian pembinaan dari
instansi terkait harus selalu dilakukan sehingga terdapat rasa kebersamaan dengan
masyarakat setempat.
b. Kegiatan Pemadaman Kebakaran
Pembentukan posko pengendalian kebakaran tingkat kampong/desa (posko kampung) yang
beranggotakan masyarakat setempat akan sangat efektif dalam melakukan kegiatan
pemadaman jika terjadi kebakaran hutan dan lahan. Hal ini dikarenakan posko ini terletak
paling dekat dengan lokasi kebakaran sehingga dapat bergerak secara cepat untuk
memadamkan api secara dini ketika masih kecil dan menghambat terjadinya kebakaran
besar. Posko kampung adalah posko terdepan dalam sistem pengendalian kebakaran hutan
dan lahan. Jika kebakaran tidak dapat diatasi di tingkat desa maka regu pengendali
kebakaran desa dapat melaporkan dan meminta bantuan pada pusat pengendalian kebakaran
di Kecamatan, kabupaten bahkan provinsi. Posko kampung harus dilengkapi dengan
peralatan pemadam kebakaran sederhana dan juga alat komunikasi.
8
http://balittra.litbang.deptan.go.id
c. Penyuluhan
Upaya ini bertujuan untuk menimbulkan kesadaran masyarakat terhadap bahaya kebakaran
maupun tentang rehabilitasi hutan. Kementerian Kehutanan telah membuat Surat Keputusan
Menteri Kehutanan nomor 260/Kpts-II/1995 yang menekankan perlunya usaha pencegahan
dan penanggulangan kebakaran secara preventif dengan cara mendidik dan melatih semua
masyarakat yang berperan dalam pengendalian kebakaran. Hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam kegiatan penyuluhan terhadap masyarakat setempat adalah metode penyuluhan, bahan
informasi/materi yang disampaikan harus sesuai dengan permasalahan setempat dan
disampaikan dengan bahasa yang mudah dimengerti, pemilihan sarana penyampaian serta
perlunya bantuan tokoh-tokoh masyarakat baik tokoh formal maupun informal. Penyuluhan
juga dapat digunakan sebagai sarana sosialisasi peraturan dan perundangan kebakaran hutan
dan lahan kepada masyarakat.
d. Pelatihan
Kegiatan lain yang perlu juga dilakukan adalah memberikan pelatihan kepada masyarakat
sekitar areal rawan kebakaran, antara lain :
Pelatihan teknik pemadaman api, pelatihan ini bertujuan agar masyarakat dapat
melakukan praktek pemadaman dengan menggunakan teknik yang benar sehingga
aktivitas pemadaman menjadi lebih efektif. Peralatan yang digunakan adalah peralatan
pemadam sederhana seperti kepyok dan pompa punggung.
sekitar
memiliki
kebiasaan
melakukan
pembakaran
lahan
dapat
melakukannya secara terkendali sehingga tidak terjadi kebakaran yang tidak terkendali.
Kendala Implementasi
Kebijakan pemerintah tentang lahan gambut, seperti Peraturan Menteri Pertanian No
14/2009, 16 Pebruari 2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya
Kelapa Sawit, peraturan lainnya tentang Pembukaan atau Penyiapan Lahan Tanpa Bakar
(PLTB), pembentukan Tim Pengendalian Kebakaran Lahan Gambut, Kelompok Kerja (Pokja)
Pengelolaan Lahan Gambut dan Konsorsium Pengelolaan Lahan Gambut menunjukkan bahwa
9
http://balittra.litbang.deptan.go.id
pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan cukup banyak diapresiasi dalam kebijakan
pengelolaan lahan gambut selama ini, termasuk pencegahan kebakaran yang tertuang dalam
Undang-undang tentang Perkebunan (UU No 18/2004) dan Peraturan Pengendalian terhadap
Kerusakan Lingkungan dan Polusi (PP No 4/2001).
---------------------------------------------------------------Dr. Ir. Muhammad Noor, MS dan Dr. Ir. Acep Akbar, MS. masing-masing adalah Peneliti pada
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (BALITTRA) dan Balai Penelitian Kehutanan (BPK)
Banjarbaru, Kalimantan Selatan.
*) Terbit dalam Majalah Sawit IndonesiaVol II, Edisi 21, 15 Juli-15 Agutus 2013 (Bagian I
) dan Edisi 22 Agustus-September 2013 (Bagian II)
Terlampir foto-foto
10
http://balittra.litbang.deptan.go.id
Keterangan : Kebakaran besar di lahan gambut tahun 1997 (kiri atas); Kebakaran persawahan
lahan gambut, Kalimantan Selatan 1992 (kanan atas); Kebakaran hutan di lahan gambut PLG,
1997/1998 (kiri bawah). Kebakaran tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga ekologis
.
11
http://balittra.litbang.deptan.go.id
Keterangan : Kelapa sawit di lahan gambut Riau (kiri atas); Kelapa sawit di lahan gambut,
Kalimantan Barat (kanan atas); Model Pintu air dari kayu (kiri bawah); Model pintu air dari
benton dan pintu ulir besi (kanan bawah) Menjaga permukaan air dan mengkonservasi asir di
saluran dapat mencegah atau membatasi kebakaran lahan gambut.
12