Kehutananjuga Pertanian
Kehutananjuga Pertanian
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumberdaya alam hayati didefinisikan sebagai unsur-unsur di alam yang
terdiri dari sumber-sumber alam nabati dan hewani yang bersama dengan unsur
non hayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk suatu ekosistem
(Poolock, 1991). Salah satu bentuk-bentuk sumberdaya alam adalah kekayaan
hutan yang dimiliki bangsa Indonesia.
Pengelolaan sumberdaya hutan bertujuan untuk mendapatkan manfaatmanfaat penting dari hutan, diantaranya sebagai penghasil kayu dan vegetasi
lainnya, satwa liar, tempat rekreasi, mencegah banjir dan erosi, mempertahankan
kesuburan tanah, dan mengatur kondisi iklim dan lingkungan hidup (Worrel,
1970).
Hutan mempunyai banyak manfaat (multiple use) yang merupakan
karakteristik sumberdaya alam yang berbeda dengan sumberdaya alam lainnya,
sebab selain sebagai produksi kayu, hutan juga mempunyai berbagai fungsi
penting lainnya, sehingga dalam pengambilan keputusan mengenai macam
penggunaan hutan, perlu diperhatikan bahwa tidak semua hutan cocok untuk
semua bentuk pemanfaatan (Suparmoko, 1989).
Hutan di Indonesia merupakan 75 % dari seluruh wilayah Indonesia atau
50% dari hutan tropika di Asia Tenggara dan 10 % dari seluruh wilayah hutan
tropika dunia. Hutan di Indonesia berdasarkan Tata Guna Lahan Kesepakatan
(TGHK) secara nasional seluas 144 juta hektar yang tersebar di berbagai pulau
utama di Indonesia. Kawasan hutan seluas 144 juta hektar tersebut dalam
pembulatan presentase dibagi menjadi beberapa fungsi, yaitu 20 % sebagai hutan
konversi, 27 % sebagai hutan lindung, 9,8 % sebagai hutan suaka alam dan wisata
hutan, 17 % sebagai hutan produksi tetap, 16,1 % sebagai hutan produksi terbatas
(Arief, 2001).
Salah satu wilayah Sumatera Selatan yang memiliki hutan produksi adalah
Kabupaten Ogan Komering Ilir. Hutan produksi terdapat di berbagai lahan seperti
lahan kering, rawa lebak, dan rawa gambut. Pengembangan hutan produksi sendiri
masih memiliki berbagai kendala seperti kondisi lahan yang terbatas dan
kemampuan lahan tidak merata, maka pengembangan lahan yang lestari dan
berkelanjutan harus mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan sistem
perencanaan yang akurat dan terukur, sehingga semua faktor yang mempengaruhi
pengembangan hutan yang berkelanjutan, termasuk faktor pendukung dan
pembatas, perlu dipikirkan sejak awal dan dituangkan dalam sebuah produk
database dan peta.
Perkembangan penggunaan sumber daya lahan sampai saat ini di
Kabupaten Ogan Komering Ilir belum sepenuhnya memiliki kontribusi yang nyata
dalam meningkatkan produksi tanaman secara berkelanjutan. Hal ini dipengaruhi
oleh kondisi lahan bervariasi berdasarkan letak geografis dan topografi, yang
sangat mempengaruhi produktifitas tanaman, sehingga diperlukan perencanaan
yang matang dalam mengambil keputusan jenis tanaman yang akan ditanam.
Perencanaan dan pengambilan keputusan yang tepat harus dilandasi oleh
data dan informasi yang yang akurat tentang kondisi lahan. Penggunaan teknologi
A. Hutan
Hutan merupakan salah satu bentuk tata guna lahan dijumpai di daerah
tropis, subtropis, di dataran rendah maupun pegunungan bahkan di daerah kering
sekalipun. Pengertian hutan disini adalah suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan dan
hewan yang hidup dalam lapisan dan permukaan tanah, yang terletak pada suatu
kawasan dan membentuk suatu kesatuan ekosistem yang berada dalam
keseimbangan dinamis.
Hutan adalah masyarakat tetumbuhan dan binatang yang hidup dalam
lapisan dan dipermukaan tanah dan terletak pada suatu kawasan, serta membentuk
suatu kesatuan eksosistem yang berada dalam keseimbangan dinamis (Arief,
1994).
Pengertian menurut pemerintah berdasarkan Undang-Undang Pokok
Kehutanan No.5 Tahun 1967 adalah suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohonan
yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati, alam
lingkungannya dan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan (Arief, 1994)
Menurut Arief (1994), hutan produksi adalah kawasan hutan yang khusus
dikelola untuk menghasilkan jenis-jenis hasil hutan tertentu sebagai keperluan
industri dan ekspor. Contohnya hutan jati (Tectona grandis), hutan pinus (Pinus
merkusii), hutan damar (Agathis loranthifolia), hutan mahoni (Swietenia sp.) dan
sonokeling (Dalbergia latifolia).
Berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun 1999, total luas
hutan Indonesia adalah 120,34 juta hektar (WALHI, 2007). Departemen
Kehutanan telah mengalokasikan hutan produksi tidak produktif untuk usaha
Hutan Tanaman Rakyat (HTR) seluas 5,4 juta ha. Hutan Tanaman Rakyat tersebut
tersebar di 8 propinsi yang ada di 102 kabupaten di daratan Sumatera dan
Kalimantan,
merupakan
alokasi
untuk
tahap
pertama.
Untuk
realisasi
atau salin, termasuk kawasan laut yang mempunyai kedalaman air pada saat surut
terendah tidak lebih dari enam meter (Ramsar dalam Noor, 2004).
Hutan Rawa Gambut Tropika pada umumnya disebut pula sebagai hutan
ramin, mengingat jenis ini sangat mendominasi tipe hutan ini, meskipun pola
sebarannya cenderung berubah mengikuti trend perubahan ketebalan lapisan
gambut. Jenis Ramin (Gonystilus bancanus) pada umumnya terkonsentrasi berada
di daerah dengan ketebalan lapisan gambut berkisar antara 0,5 - 5 meter. Di
daerah-daerah dimana ketebalan lapisan gambut mencapai 5 meteran, jenis ini
cenderung berkurang, sedangkan untuk daerah-daerah peralihan (0,5 meter), jenis
ramin ini berasosiasi dengan cukup nyata dengan jenis Agathis dan beberapa jenis
meranti rawa (Anonim, 2007).
b. Sebaran Gambut
Luasan lahan gambut atau bergambut pada kondisi utuh dan asli
penutupan vegetasinya adalah identik dengan luas hutan rawa gambut, karena
pada hutan primer di lahan gambut merupakan sumber utama bahan organik
sebagai bahan utama gambut.
Luasan lahan gambut pada awalnya adalah sama dengan luas lahan
gambut, namun dengan perkembangan kebutuhan manusia dan teknologi yang ada
menusia mengelola lahan rawa gambut dan sebagian besar terjadi degradasi lahan
(Lopez dan Shanley, 2005).
Indonesia memiliki kawasan gambut dan lahan basah air tawar yang sangat luas
yaitu sekitar 19 juta hektar atau 10 persen luas wilayah negara. Delapan puluh
sembilan persen diantaranya berupa lahan gambut yang sebagian besar terletak di
Papua Barat, Sumatera, dan Kalimantan. Lahan-lahan basah tropis ini secara alami
tertutup rapat oleh vegetasi hutan dan seringkali memilki jenis kayu bernilai tinggi
(Chokkalingam dan Suyanto, 2004).
Luasan lahan gambut atau bergambut pada kondisi utuh dan asli
penutupan vegetasinya (virgin forest) adalah identik dengan luas hutan rawa
gambut, karena pada hutan primer di lahan gambut merupakan sumber utama
bahan organik sebagai bahan utama gambut.
gambut pada awalnya adalah sama dengan luas lahan gambut. Namun dengan
perkembangan kebutuhan manusia dan teknologi yang ada manusia mengelola
lahan rawa gambut dan sebagian besar terjadi degradasi lahan (Lopez dan
Shanley, 2005).
c. Proses Pembentukan
Tanah gambut terbentuk karena laju akumulasi bahan organik
melebihi proses mineralisasi yang biasanya terjadi pada kondisi
jenuh air yang hampir terus menerus sehingga sirkulasi oksigen
dalam tanah terhambat. Hal tersebut akan memperlambat proses
dekomposisi bahan organik dan akhirnya bahan organik itu akan
menumpuk (Chotimah, 2002).
Gambut terbentuk dari seresah organik yang terdekomposisi secara
anaerobik dimana laju penambahan bahan organik lebih tinggi daripada laju
dekomposisinya. Di dataran rendah dan daerah pantai, mula-mula terbentuk
gambut topogen karena kondisi anaerobik yang dipertahankan oleh tinggi
d. Karakteristik Gambut
Analisis laboratorium bahan organik dinyatakan dalam kadar karbon 1218% atau lebih. Makin tinggi kadar karbon, bahan organik dapat dikatakan masih
segar, sedangkan makin kecil kadar karbon maka bahan organik makin lanjut
pelapukannya dan disebut dengan humus (Rismunandar, 2001).
Tanah gambut di Indonesia pada umumnya mempunyai reaksi kemasaman
tanah (pH) yang rendah, yaitu antara 3,0 5,0 (Hardjowigeno, 1996). Hasil
analisis di berbagai wilayah di Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya,
memperlihatkan bahwa Histosols menunjukkan reaksi tanah masam ekstrim (pH
3,5 atau kurang) sampai sangat masam sekali (pH 3,6 4,5).
Kandungan bahan organik di seluruh lapisan, sangat tinggi ( 6 91 %) dan
kandungan nitrogen di seluruh lapisan gambut, sebagian besar, juga sangat tinggi
(>75 %), rasio C/N tergolong tinggi sampai sangat tinggi (16 69), yang berarti
walaupun kandungan N tinggi, tetapi dalam bentuk tidak tersedia bagi tanaman.
Kandungan P dan K-potensial lapisan atas (0 -50 cm) sedang sampai
tinggi, lebih baik dari pada lapisan bawah yang umumnya rendah. Pada gambut
dangkal dan gambut eutrofik kandungan potensial kedua unsur tersebut termasuk
sedang sampai tinggi.
Analisis laboratorium bahan organik dinyatakan dalam kadar karbon 1218% atau lebih. Makin tinggi kadar karbon, bahan organik dapat dikatakan masih
segar, sedangkan makin kecil kadar karbon maka bahan organik makin lanjut
pelapukannya dan disebut dengan humus (Rismunandar, 2001).
KTK tanah karena kandungan bahan organik tinggi, semuanya
menunjukkan nilai sangat tinggi (60 350 Cmol(+)kg-1 tanah. Namun
sebaliknya, KB-nya semuanya termasuk sangat rendah (1-5%). Dengan demikian,
disimpulkan bahwa potensi kesuburan alami tanah gambut adalah sangat rendah
sampai rendah.
Tanah gambut memiliki berat isi yang rendah berkisar antara 0,05 0,25
gcm-3, semakin lemah tingkat dekomposisinya semakin rendah berat isi (BD),
sehingga daya topang terhadap bebadan diatasnya seperti tanaman, bangunan
irigasi, jalan, dan mesin-mesin pertanian adalah rendah. Gambut yang sudah
direklamasi akan lebih padat dengan berat isi antara 0,1 0,4 gcm-3 (Subagyono
et al., 1997).
Menurut Subagjo (2002), tanah gambut mempunyai pori-pori dan kapiler
yang tinggi, sehingga mempunyai daya menahan air yang sangat besar. Dalam
keadaan jenuh kandungan air tanah gambut dapat mencapai 4,50-30 kali bobot
keringnya.
Pada kondisi gambut pada musim kemarau, tanah gambut masih tetap
lembab dengan kadar air tinggi. Kondisi tersebut merupakan kondisi yang optimal
bagi pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu, pengambilan sampel pada kondisi
lembab akan lebih mendekati keadaan di lapangan. Sifat fisik juga sangat
berkaitan dengan aspek teknik pembangunan rumah, pembuatan dan pemeliharaan
jalan, serta pembuatan saluran drainase dan irigasi (Widjaja, 1984).
Kualitas
tanah
gambut
sangat
bergantung
pada
vegetasi
yang
menentukan
kematangan
gambut
di
lapangan
Kematangan
Fibrik
Hemik
Saprik
(1997),
menekankan
perlunya
pengelolaan
terpadu
dan
hidup dan ada bagian yang masih sesuai utuk poenggunaan pertanian. Wilayah
yang potensial untuk pengembangan pertanian harus dipilih secara hati-hati, dan
umumnya terbatas pada gambut topogen dangkal dengan sisipan tanah mineral,
dan atau pada gambut dangkal di wilayah pinggiran kubah gambut (peatswamp).
C. Rawa Lebak
a. Defenisi
Rawa lebak adalah wilayah daratan yang mempunyai genangan hampir
sepanjang tahun minimal selama tiga bulan dengan tinggi genangan minimal 50
cm. Rawa lebak dipengaruhi oleh iklim tropika basah atau agak basah dengan
curah hujan antara 2000-3000 mm per tahun dengan jumlah bulan basah antara 67 bulan dan 3-4 bulan kering. Bulan basah adalah bulan yang mempunyai curah
hujan bulanan lebih dari 200 mm dan bulan kering adalah bulan yang mempunyai
curah hujan bulanan kurang dari 100 mm. Agih (distribition) curah hujan di
beberapa wilayah rawa lebak menunjukkan perbedaan yang terkait dengan
ketinggian tempat dari permukaan laut dan vegetasi yang tumbuh (Noor, 2004).
Swamp ialah rawa yang tertumbuhi pohon di sana sini dan lebih bersifat
air tergenang. Menurut pengertian ahli Amerika, swamp ialah rawa bergambut,
sedangkan di Inggris dinamakan bog atau morass. Kondisi rawa sangat berbeda
antara lain dengan yang genangannya dipertahankan oleh air permukaan ( runoff)
atau luapan sungai yang berlangsung secara berkala. Tebal air genangan rawa ini
berfluktuasi menurut musim hujan dan kemarau.
tawar, sedangkan lahan rawa pasang surut disebut tidal swamps karena letaknya di
bagian hilir sungai yang secara langsung dipengaruhi oleh pasang surut air laut
(Departemen Pertanian, 2005).
Menurut Soebagjo dan Soepraptohardjo (1978), umumnya tanah yang
terdapat di daerah rawa lebak terdiri dari tanah tanggul sungai dan dataran rawa
belakang. Tanah tanggul sungai mempunyai jenis tanah Alluvial Hidromorf dan
Alluvial kelabu, sedangkan tanah dataran rawa belakang terletak lebih jauh dari
tanggul sungai dan didominasi oleh jenis tanah Glei Humus dan Oganosol. Tanah
Glei Humus dan Organosol mempunyai kandungan bahan organik tinggi, N
rendah, K sangat rendah, reaksi tanah (pH) umumnya masam sampai sangat
masam, KTK tinggi, dan kejenuhan basa rendah, yang mengakibatkan tanaman
tidak dapat tumbuh dengan baik.
Tingkat kesuburan lahan rawa lebak sangat bervariasi dan tergantung pada
sistem saluran reklamasi. Kemerosotan kesuburan lahan rawa lebak berhubungan
dengan heterogenitas lahan lebak, antara lain lahan yang mengandung pirit dan
lahan yang bergambut tebal. Kemerosotan kesuburan lahan rawa lebak dikaitkan
dengan sistem tata air. Semakin dekat dengan saluran utama, maka kematangan
bahan organik semakin meningkat (Armanto et al., 1998).
D. Sistem Informasi Geografis
a. Definisi
Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu sistem (berbasiskan
komputer) yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasiinformasi geografis. Sistem informasi geografis dirancang untuk mengumpulkan,
yang
didesain
untuk
memperoleh,
menyimpan,
memperbaiki,
GIS
REAL
USER
WORLD
Software
Database
Result
Gambar 1. Pola keterkaiatan GIS
rangka
bumi
mengidentifikasi
mendeteksi
diperlukan
perubahan
suatu
perubahan-perubahan
yang
teknik
atau
terjadi
di
yang
dapat
fenomena
melalui
Sejak SIG pertama kali hadir pada tahun 1960-an, terjadi perkembangan
yang sangat pesat di bidang perangkat lunak SIG baik yang berbasiskan data
spasial vektor maupun raster. Beberapa diantara sistem SIG ini dikembangkan
dengan tujuan eksperimental di lingkungan akademis di beberapa universitas.
Sementara sistem-sistem SIG yang lain sudah dikembangkan sebagai sistem yang
benar-benar operasional sebagaimana perangkat lunak aplikasi SIG pada saat ini.
Tetapi sayangnya, tidak sedikit dari sistem-sistem yang dikembangkan pada saat
itu tidak berfungsi secara penuh sebagai tools untuk analisis spasial. Sementara
pada kasus-kasus yang lain, sistem-sistem (khususnya SIG) tersebut masih sering
representasi
grafis
dari
dunia
nyata;
objek-objek
yang
direpresentasikan diatas peta disebut unsur peta atau map features (contohnya
adalah sungai, taman, kebun, jalan, dan lain-lain). Karena peta mengorganisasikan
unsur-unsur berdasarkan lokasinya, peta sangat baik dalam memperlihatkan
hubungan atau relasi yang dimiliki oleh unsur-unsurnya.
SIG menyimpan semua informasi deskriptif unsur-unsurnya sebagai
atribut-atribut di dalam basis data. Kemudian, SIG membentuk dan menyimpan
dalam tabel (relasional). Setelah itu, SIG menghubungkan unsur-unsur di atas
dengan tabel-tabel bersangkutan, dengan demikian, atribut-atribut ini dapat
diakses melalui lokasi-lokasi unsur-unsur peta, dan sebaliknya, unsur-unsur dapat
dicari dan ditemukan berdasarkan atribut-atributnya.
SIG menghubungkan sekumpulan unsur-unsur peta dengan atributatributnya di dalam satuan-satuan yang disebut layer. Sungai, bangunan, jalan,
laut, batas-batas administrasi, perkebunan, dan hutan merupakan contoh-contoh
layer. Kumpulan dari layer-layer ini akan membentuk basis data SIG. Dengan
demikian, perancangan basisdata merupakan hal yang esensial di dalam SIG.
Rancangan basisdata akan menentukan efektifitas dan efisiensi proses-proses
masukan, pengelolaan, dan keluaran SIG.
d. Peran Sistem Informasi Geografis
Menurut Bernhardsen (1992), dalam SIG terdapat berbagai peran dari
berbagai unsur, baik manusia sebagai tenaga ahli dan sekaligus operator,
perangkat alat (lunak/keras) maupun objek permasalahan. SIG adalah sebuah
rangkaian sistem yang memanfaatkan teknologi digital untuk melakukan analisis
spasial. Sistem ini memanfaatkan perangkat keras dan lunak komputer untuk
melakukan pengolahan data seperti perolehan dan verifikasi, kompilasi,
penyimpanan, pembaruan dan perubahan, manajemen dan pertukaran, manipulasi,
penyajian, dan analisis. Rustiadi et al. (1999) mendefinisikan analisis
spasial sebagai suatu kemampuan umum untuk memanipulasi data
spasial ke dalam bentuk-bentuk yang berbeda dan mengekstraksi
pengertian tambahan
D. Software
1. ArcView GIS
2. Microsoft Access
tanah, dan 4) komputer yang mampu bekerja dengan program Microsoft Access,
Arc View 3.3.
C. Metode Penelitian
Metode pengumpulan data mencakup koordinasi dan konsultasi dengan
instansi terkait, metode sampling survai dan wawancara untuk mendapatkan data
sekunder dan data primer yang menjadi output. Satuan contoh ditentukan dengan
metode purposive sampling yaitu berdasarkan pada keperluan serta tujuan
pembuatan peta dan analisis lahan yang nantinya memungkinkan untuk digunakan
pada setiap lahan. Untuk mendapatkan unsur keterwakilan data tiap-tiap lahan,
maka sample ditempatkan di setiap lahan yang diambil sampel tanah nya.
Data primer dan sekunder yang didapatkan dari kegiatan lapangan
dimasukkan(entry) ke dalam Microsoft Access 2003 dan Arc View. Hasil dari
verifikasi lapangan ini digunakan untuk membuat klasifikasi ulang, guna
mendapatkan database informasi lahan. Seluruh data yang disajikan dalam bentuk
skripsi. Bagan alir Kegiatan Sistem Informasi Lahan Rawa Gambut Produksi
Pedamaran Kayuagung Kabupaten Ogan Komering Ilir disajikan pada Gambar 2.
b. Survai Utama
Survai utama dilakukan mulai bulan September 2007, yaitu kegiatan
pengambilan data primer pada setiap lahan yang telah ditentukan. Data primer
yaitu data yang diambil langsung dari lapangan berupa ground chek penutupan
lahan hasil dari analisis citra satelit. Data lain yang diambil untuk keperluan
mendukung analisis kesesuaian lahan berupa data fisik lapangan.
Untuk keperluan analisis sifat kimia tanah maka pengambilan contoh
tanah dilakukan dengan metode contoh tanah tidak utuh yaitu menggunakan bor
tanah, sedangkan untuk sifat fisika pengambilan contoh tanah dilakukan dengan
ring tanah untuk mendapatkan contoh tanah utuh.
laboratorium
yaitu
menganalisis
sifat
kimia
tanah
di
yang
berhasil
dikumpulkan
akan
dianalisis
dengan
kelas penutupan lahan dengan mengacu pada peta dasar, dan kemudian melakukan
verifikasi lapangan untuk masing-masing penutupan lahan tersebut.
Data yang dimasukkkan ke dalam Ms. Access digunakan sebagai database
informasi lahan hutan rawa gambut hutan produsi pedamaran Kayu Agung.
Hasil kegiatan ini antara lain menilai kesesuaian lahan pada beberapa
lahan yang berbatasan langsung dengan hutan aslinya. Masyarakat akan
mendapatkan informasi karakteristik lahan dan akan lebih giat memanfaatkan
lahan daripada tergantung pada hutan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sampel
Tanah Gambut
1
2.
3.
4.
Kedalaman
(cm)
0 100
300 400
0 100
200 300
0 100
400 500
0 100
400 500
Vegetasi
Purun tikus
Purun tikus, Pakis,
tumbuhan semak
Perpat, purun tikus,
tumbuhan semak, Pakis
Purun tikus, Pakis,
tumbuhan semak
Kemasaman
(pH)
3,67
3,61
3,74
3,38
3,59
3,51
3,43
3,75
pH, Dari hasil analisis tanah, terlihat bahwa tanah gambut bereaksi sangat
masam baik pada lapisan atas maupun lapisan bawahnya. Menurut Jones
(1984), nilai pH rendah itu disebabkan oleh asam-asam organik, pirit
(senyawa sulfur), dan ion hidrogen dapat ditukar (H-dd) yang tinggi
terkandung dalam tanah gambut. Menurut Buckman dan Brady
(1982), secara umum kompleks koloid gambut dipengaruhi oleh
No.
Sampel
Kedalaman
Tanah Gambut
(cm)
1.
2.
3.
4.
Kemasaman
(pH)
C-Organik
(%)
N-Total
(%)
3,67
3,61
3,74
3,38
3,59
3,51
3,43
3,75
35,59
31,48
27,96
26,12
32,75
32,01
36,06
30,91
0,73
0,69
0,76
0,67
0,76
0,73
0,79
0,58
0 100
300 400
0 100
200 300
0 100
400 500
0 100
400 500
utama adalah bahan organi, Nitrogen dalam tanah berasal dari bahan organik
tanah (Hardjowigeno, 1995). Dari hasil analisis yang diperoleh terlihat bahwa
kandungan N-total pada tanah lapisan atas lebih tinggi dari tanah lapisan
No.
1.
Sampel
Tanah Gambut
1
2.
3.
4.
Kedalaman
(cm)
0 100
300 400
0 100
200 300
0 100
400 500
0 100
400 500
Na
(me/100 g)
0,44
0,33
0,33
0.44
0,33
0,55
0,44
0,55
Ec
(mhos)
0,810
1,090
0,890
1,710
1,350
1,260
1,140
1.410
No.
Sampel
Tanah Gambut
1.
2.
3.
4.
No
.
1.
Sampel
Tanah Gambut
1
2.
3.
4.
Kedalaman
(cm)
0 100
300 400
0 100
200 300
0 100
400 500
0 100
400 500
Kedalaman
(cm)
0 100
300 400
0 100
200 300
0 100
400 500
0 100
400 500
C-Organik
(%)
35,59
31,48
27,96
26,12
32,75
32,01
36,06
30,91
Kadar Abu
(%)
5,86
5,43
7,59
5,39
5,51
5,72
6,22
4,09
BO
(%)
61,35716
54,27152
48,20304
45,03088
56,461
55,18524
62,16744
53,28884
BO
(%)
61,357
54,272
48,203
45,031
56,461
55,185
62,167
53,289
Abu (%), Dari data analisis tanah, terlihat bahwa kadar abu tergolong rendah. Hal
ini menunjukkan tanah gambut pada lokasi penelitian tergolong gambut dalam
dengan tingkat pelapukan yang belum lanjut. Kadar abu gambut yang belum
terganggu tergolong rendah, peningkatan intensitas pertanian dapat meningkatkan
kadar abu seiring dengan meningkatnya mineralisasi tanah, (Noor, 2001).
No.
Ketebalan
Gambut
(cm)
400
Genangan
(cm)
Tingkat
Kematangan
Warna
tanah
1.
Sampel
Tanah
Gambut
1
-15
2.
300
-20
3.
150
4.
300
-30
5.
500
- 50
6.
>500
-50
7.
>500
-50
8.
>500
-10
9.
>500
-5
10.
10
>500
-5
Hemik
Fibik
Hemik
Fibik
Hemik
Hemik
Hemik
Hemik
Hemik
Fibik
Hemik
Hemik
Hemik
Fibik
Hemik
Fibik
Hemik
Fibrik
Hemik
Hemik
10YR 3/1
10YR 3/2
10YR 3/1
10YR 3/2
10YR 3/1
10YR 3/2
10YR 2/1
10YR 3/1
10YR 3/1
10YR 3/2
10YR 3/1
10YR 3/2
10YR 3/1
10YR 3/2
10YR 3/1
10YR 3/2
10YR 2/1
10YR 3/3
10YR 3/1
10YR 3/2
Rawa, lokasi penelitian termasuk lahan rawa lebak tengahan. Tinggi genangan
dapat mencapai lebih dari 100cm pada saan nusim hujan. Nanun pada saat
pengamatan dilakukan permukaan air tanah di bawah permukaan gambut, hal ini
dikarenakaan musim kemarau.
Warna, warna gambut lapisan atas lebih gelap dari lapisan bawahnya hal ini
dikarenakan bagian atas gambut lebih terdekomposisi, dan sebagian lokasi
pengamatan telah terbakar.
SR
ST
C-organik (%)
N-total (%)
Nisbah C/N
P2O5-Bray (g g-1)
KTK (cmol (+) kg-1)
K-dd (cmol (+) kg-1)
Na-dd (cmol (+) kg-1)
Mg-dd (cmol (+) kg-1)
Ca-dd (cmol (+) kg-1)
Kejenuhan basa (%)
Kejenuhan Al (%)
pH H2O
SM
<4,5
<1,00
<0,1
<5
<10
<5
<0,1
<0,1
<0,4
<2
<20
<5
M
4,5-5,5
1,00-2,00
0,1-0,2
5-10
10-15
5-16
0,1-0,3
0,1-0,3
0,4-1,0
2-5
20-35
5-50
AM
5,6-6,5
2,01-3,00
0,21-0,50
11-15
16-25
17-24
0,4-0,5
0,4-0,7
1,1-2,0
6-10
36-50
21-30
N
6,6-7,5
3,01-5,00
0,51-0,75
16-25
26-35
25-40
0,6-1,0
0,8-1,0
2,1-8,0
11-20
51-70
31-60
AB
7,6-8,5
>5,00
>0,75
>25
>35
>40
>1,00
>1,00
>8,00
>20
>70
>60
B
>8,5
Keterangan : SM
AM
AB
SR
ST
=
=
=
=
=
Sangat Masam
Agak Masam
Agak Basa
Sangat Rendah
Sangat Tinggi
M
N
B
R
S
T
=
=
=
=
=
=
Masam
Netral
Basa
Rendah
Sedang
Tinggi
3. Tekstur Tanah
Tekstur tanah pada lokasi penelitian adalah lempung berpasir dan lempung
liat berpasir, tetapi didominasi oleh lempung berpasir. Dari hasil analisis
laboratorium, diketahui bahwa pada titik T1, T5, T8, T13, T21, T23, T26 dan T29
memiliki tekstur tanah lempung berpasir sedangkan pada titik T11 dan T15 memiliki
tekstur tanah lempung liat berpasir. Berdasarkan
kesesuaian lahan untuk tanaman karet menurut CSR/FAO Staff (1983) tektur
tanah pada lokasi penelitian adalah tergolong S1 (sangat sesuai).
Tabel.Data Hasil Analisis Sifat Fisik Tanah Lokasi Penelitian
Kelas
Kedalaman
Kode
Kelas Tekstur
Draenase
Efektif (cm)
T1
Lempung Berpasir
Baik
150
T5
Lempung Berpasir
Baik
150
T8
Lempung Berpasir
Baik
150
T11
Lempung Liat Berpasir
baik
150
T13
Lempung Berpasir
Baik
150
T15
Lempung Liat Berpasir
Baik
150
T21
Lempung Berpasir
Baik
150
Lempung Berpasir
Baik
150
T23
T26
Lempung Berpasir
Baik
150
T29
Lempung Berpasir
Baik
150
dengan kisasaran 0,29 sampai 0,99 cmol(+)kg -1. Berdasarkan kriteria kesesuaian
lahan CSR/FAO (1983) untuk tanaman karet, kandungan K2O pada lokasi
penelitian tergolong kelas kesesuaian S1 (sangat sesuai).
0,24 (S)
0,29 (S)
0,27 (S)
0,16 (R)
0,23 (S)
0,18 (R)
0,19 (R)
0,21 (S)
0,21 (S)
0,15 (R)
5,15 (SR)
9,62 (SR)
3,67 (R)
16,03 (S)
14,42 (R)
61,83 (ST)
11,34 (R)
93,09 (ST)
8,93 (SR)
9,62 (SR)
0,42 (T)
0,29 (R)
0,42 (T)
0,57 (T)
0,42 (R)
0,99 (T)
0,57 (T)
0,42 (T)
0,29 (R)
0,57 (T)
15,23 (R)
13,05 (R)
14,14 (R)
16,31 (S)
14,14 (R)
15,23 (R)
15,23 (R)
12,18 (R)
11,31 (R)
14,14 (R)
Sumber : Laboratorium Kimia Tanah, Jurusan Tanah Fakultas Pertanian UNSRI, 2007
Keterangan : SM
M
SR
T
S
R
= Sangat masam
= Masam
= Sangat rendah
= Tinggi
= Sedang
= Rendah
pH
4,99 (M)
4,94 (M)
4,93 (M)
4,34 (SM)
4,77 (M)
5,44 (SM)
4,96 (M)
5,03 (M)
5,10 (M)
4,87 (M)
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kehutanan. 2007. Dephut Alokasikan Lahan Hutan 5,4 Juta Hektar
Untuk
Usaha
Hutan
Tanaman
Rakyat,
(ttp://www.indonesia.go.id/index.php?
option=com_content&task=view&id=3152&Itemid=694) diakses tanggal
25 Mei 2007.
ESRI. 1997. ESRI Shapefile : A Technical Description.An ESRI White Paper,
May 1997.
Hanafiah, K. A. 1992. Intervensi dan Adaptasi Budidaya dalam Ameliorasi
Lahan Rawa untuk Pertanian. Dalam : Prosiding Seminar Nasional
Pemanfaatan Lahan Rawa untuk Pencapaian dan Pelestarian Swasembada
Pangan. Fakultas Pertanian. Universitas Sriwijaya, Palembang.
Lo,
Terapan.
Terjemahan:
Suparmoko. 1989. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Pusat Antar
Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Yogyakarta.
WALHI, 2007. Hentikan Perluasan dan Pembangunan HTI Baru di Indonesia.
(http://www.walhi.or.id/kampanye/hutan/konversi/070307_hti_li/) diakses
tanggal 25 Mei 2007.
Waluyo, Suparwoto, A. Suzana, Muzhar, R. Dewi, I. W. Supartha, T. Arief, Z.
Arifin, M. Syarief, dan Suhendi. 1997. Pengkajian Model Sistem
Usahatani di Lahan Lebak Kayu Agung Sumatera Selatan. Loka
Pengkajian Teknologi Pertanian Puntikayu. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Sumatera Selatan,
Palembang.
Widjaja, Adhi, I P.G. 1984. Masalah Tanaman Di Tanah Gambut. Prosiding
Pertemuan Teknis Penelitian Pola Usahatani Menunjang Transmigrasi.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Widjaya, Adhi, I. P. G. 1988. Physical and chemical characteristics
of peat soils of Indonesia. IARDJ 10 (3) : 59 64.
Worrel, A.C. 1970. Principle of Forest Policy. McGraw Hill Book Company, New
York.
LAMPIRAN
PETA AGROPOLITAN
KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR
KEC.
PANGKALAN LAMPAM
KEC.
TELUK GELAM
KEC.
PEDAMARAN TIMUR
JAYA
RAYA
KEC.
KEC.
MESUJI
LEMPUING
Kws.
Agropolitan
(SP.
Padang
Kws.
Agropolitan
Sei
Menang
Kws.
Agropolitan
Lempuin
g
Kota
Tani
Pusat
Distrik
KEC.
MESUJI MAKMUR