Anda di halaman 1dari 4

Kita tentu prihatin melihat perseteruan yang terjadi antara elite pemimpin politik bangsa kita,

yang kemudian menajam kepada pertentangan dua badan penegak hukum indonesia. Sebenarnya
ketidak harmonisan hubungan antara kedua pihak ini sudah terjadi sejak awal terbentuknya KPK.
Pemicu ketidak harmonisan itu sendiri menyangkut beberapa aspek, diantaranya mengenai
kewenangan, citra institusi, dan kesejahteraan. KPK dianggap mengganggu sebagian 'lapak' Polri
sebagai lembaga penegak hukum khususnya yang terkait penanganan kasus korupsi. Selain itu
latar belakang dan pertimbangan dibentuknya KPK menurut UU nomor 30 tahun 2002 adalah
karena lembaga penegak hukum yang telah ada yaitu Polri dan Kejaksaan dianggap belum
efektif dalam memberantas korupsi. Dari hal ini saja sudah timbul citra buruk terhadap institusi
polri yang dianggap tidak mampu menangani kasus korupsi secara efektif.
Kunci penyelesaian masalah ini berada di tangan presiden Jokowi. Dia mempunyai hak untuk
mengambil langkah tegas menangani kisruh cicak versus buaya yang sudah beberapa kali terjadi.
Jokowi harus belajar dari sejarah, dimana ketika itu SBY mampu menyelesaikan kasus Bibit
Samad dan Candra Hamzah kedua pimpinan KPK yang pernah dijadikan tersangka oleh
kepolisian RI. Sesuai dengan kewenangannya, SBY sebagai kepala negara memerintahkan Jaksa
agung untuk men-deponeering kasus tersebut. Deponeering adalah ketentuan atau pasal hukum
yang memberikan hak pada Jaksa agung menghentikan penyelesaian suatu kasus, jika keputusan
tersebut berpihak pada kepentingan orang banyak.
Karena itu selayaknya Jokowi bersikap lebih tegas dengan melakukan semacam deponeering.
Selain itu banyak kepentingan asing yang mendominasi persoalan KPK, Polri dan Presiden. Oleh
karena itu jika Jokowi ingin menyelesaikan masalah ini, maka yang harus diselesaikan adalah
masalah politik, barulah kemudian masalah hukum.
Kecuali Abraham Samad, tiga komisioner KPK disasar dengan kasus-kasus yang terjadi sebelum
mereka dilantik pada 2011. Bambang Widjojanto dilaporkan atas dugaan pengarahan kesaksian
palsu pada sidang Pilkada Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah tahun 2010. Zulkarnain
dilaporkan dalam kasus korupsi dana hibah Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat
(P2SEM) dari Pemprov Jatim 2008. Sedang Adnan Pandu Praja diadukan atas tuduhan
pemalsuan surat notaris dan penghilangan saham PT Desy Timber yang kasusnya bermula pada
2006.

Jika melihat waktu kejadiannya, ketiga kasus yang dilaporkan tersebut berlangsung sebelum
konflik KPK-Polri jilid 2 yang terjadi pada tahun 2012. Ketika itu terjadi tarik-menarik antara
KPK-Polri dalam penanganan kasus Simulator SIM yang melibatkan Irjen Djoko Susilo. KPK
kemudian menggeledah kantor Korlantas. Penggeledahan oleh KPK ini disusul dengan upaya
penangkapan penyidik KPK Kompol Novel Baswedan. Dan dengan alasan masa tugasnya
berakhir, Polri menarik 20 anggotanya sebagai penyidik KPK. Karena jumlah penyidiknya
tinggal sekitar 150 orang, KPK berniat merekrut penyidik dari TNI.

Konflik KPK-Polri ini berlangsung berbulan-bulan. Karena lamanya tersebut sampai-sampai


muncul teriakan KPK: Kemana Presiden Kita! Dari rentang waktu yang panjang itu semua
reaksi Polri selalu disalahkan publik sedang KPK sebaliknya. Tindakan KPK selalu mendapat
pembenaran.

Pertanyaannya, dengan rentang waktu sekian lama itu, kenapa tidak satu pun anggota masyarakat
yang melaporkan kasus-kasus yang melibatkan pimpinan KPK kepada Polri? Apakah ada pihak
yang sengaja menahan untuk kemudian diledakan pada saat yang tepat?

Spekulasi ditahannya kasus-kasus tersebut bisa benar jika melihat ketidakjelasan penyelesaian
kasus pelanggaran kode etik KPK oleh Samad yang ditangani internal KPK hampir setahun lalu.
Pada Mei 2014 Bambang Widjojanto menyatakan, ada rencana para pimpinan KPK menggelar
rapat. Rapat pimpinan tersebut terkait pertemuan Samad dngan Jokowi menyangkut isu
cawapres.

Waktu itu Bambang mengatakan hendak mengklarifikasi pernyataan Samad yang mengatakan
telah mendapat restu dari pimpinan KPK untuk bertemu Jokowi. Di situ akan ditentukan apakah
Samad sebagai Ketua KPK telah melakukan pelanggaran kode etik atau tidak.(liputan6.com)

Bagaimana kelanjutan proses klarifikasi itu? Tidak jelas! Bahkan publik tidak memerhatikan
dugaan pelanggaran etik tersebut.

Menariknya keempat kasus yang disasarkan pada pimpinan KPK, termasuk pelanggaran kode
etik oleh Samad, meledak dalam waktu yang hampir bersamaan setelah KPK menetapkan
Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka.

Jika, dipersoalkannya kasus-kasus yang menjerat pimpinan KPK itu sebagai bentuk kriminalisasi
terhadap KPK, sebagaimana yang sering diungkapkan oleh sejumlah LSM, pengamat dan

politisi, kenapa tidak dilakukan sejak 2012 lalu? Bukankah saat konflik KPK-Polri jilid 2 yang
berlangsung lama itu Polri memiliki kesempatan untuk mengkondisikan pelaporan-pelaporan
masyarakat, khususnya kasus yang melibatkan Bambang dan Zulkarnain. Sebagaimana
Bambang, dugaan adanya keterlibatan oknum jaksa dalam penerimaan suap pun sempat
diberitakan pada 2010 (kompas.com)

Pertanyaan lainnya yang lebih menggelitik, kenapa pelaporan-pelaporan itu terjadi secara
beruntun dan penindaklanjutannya dilaksanakan Polri setelah Kapolri Jenderal Sutarman
diberhentikan? Dan faktanya, pada masa kepemimpinan Sutarman (25 Oktober 2013 16
Januari 2015) tidak terjadi konflik KPK-Polri.

Apakah pelaporan kasus-kasus yang menjerat pimpinan KPK itu menunggu sinyal akan
digantikannya Sutarman?

Berikut ada fakta-fakta menarik dari latar belakang pelapor kasus-kasus yang menjerat 4
pimpinan KPK.

Bambang Widjojanto dilaporkan oleh Sugianto Sabran, mantan calon Bupati Kota Waringin
Barat yang didukung PDIP.

Adnan Pandu Praja dilaporkan oleh Mukhlis Ramlan, mantan caleg DPRD Provinsi Kaltim
2009-2014 dari Partai Hanura.

Zukarnain dilaporkan oleh Fathurrosyid, mantan Wakil Ketua PKB Jawa Timur yang kemudian
menyeberang ke PKNU.

Abraham Samad dilaporkan oleh dilaporkan oleh KPK Watch setelah pengakuan Hasto
Kristianto, politisi PDIP yang mengakui kebenaran artikel Rumah Kaca Abraham Samad yang
dipublikasi di Kompasiana.

Jelas, jika para pelapor terkait dengan parpol-parpol pendukung Jokowi atau PDIP, Hanura, dan
PKB ditambah lagi dengan Zaenal Tahir, mantan caleg Nasdem yang membenarkan foto Samad
yang tengan tidur bersama perempuan. Lengkaplah keempat parpol Koalisi Indonesia Hebat
dalam kemelut yang disebut banyak orang sebagai Cicak Vs Buaya ini.

Jika melihat latar belakang pelapor, bisa disimpulkan kalau serangan terhadap KPK merupakan
inisiatif dari KIH, bukan Polri. Dan KIH baru dibentuk pasca pencalonan Jokowi-JK sebagai
capres dan cawapres dan baru berkuasa sejak 20 Oktober 2014. Jadi bisa disimpulkan jika kasuskasus ini sengaja ditahan untuk diledakkan setelah KIH berkuasa.

Spekulasi ini semakin kuat karena Jokowi sebagai presidenlah yang mengawali kekisruhan ini
dengan menyodorkan BG sebagai calon tunggal Kapolri pengganti Sutarman. Kekisruhan yang
menurut pengamatan Kompasianer Prayitno Ramelan dalam kendali istana. Terbukti dengan
berubahnya sikap KMP yang semula akan memakzulkan Jokowi jika tidak melantik BG, menjadi
mendukung apapun sikap presiden terkait BG. Dan, siap pasang badan untuk presiden.

Anda mungkin juga menyukai