Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS

KERATITIS

Disusun oleh
Noorgiani Lestari
NIM: 07120100056

Pembimbing:
dr. Karliana Taswir, SpM
dr. Werlinson Tobing, SpM

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE RUMAH SAKIT UMUM SILOAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE Agustus September 2015
Tangerang, 2015

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................i
BAB I STATUS PASIEN........................................................................................1
Identitas Pasien........................................................................................................1
Anamnesis................................................................................................................1
Pemeriksaan Fisik....................................................................................................3
Resume.....................................................................................................................9
Follow up...............................................................................................................10
Diagnosis................................................................................................................10
Diagnosis Banding.................................................................................................10
Tata Laksana..........................................................................................................10
Saran Pemeriksaan.................................................................................................11
Prognosis................................................................................................................11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................12
Epidemiologi..........................................................................................................12
Patogenesis.............................................................................................................12
Manifestasi Klinis..................................................................................................13
Diagnosis................................................................................................................14
Tata Laksana..........................................................................................................15
Prognosis................................................................................................................16
BAB III PEMBAHASAN......................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................21

BAB I
STATUS PASIEN
Identitas Pasien
No. MR

: RSUS 00-00-66-64-56

Nama

: Bpk S

Jenis kelamin : Laki-Laki


Usia

: 36 tahun

Status

: Sudah menikah

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Supir Truck

Pendidikan

: SLTA

Kebangsaan

: Indonesia

Autoanamnesis
Tanggal

: 2 September 2015

Jam

: 08.00 WIB

Tempat: Rumah Sakit Umum Siloam


Keluhan Utama: Pasien datang dengan keluhan mata kanan merah sejak 1
minggu yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien Laki-laki datang ke rumah sakit umum siloam dengan keluhan mata
kanan merah sejak 1 minggu yang lalu. Keluhan mata merah ini dimulai dari tepi
mata kiri pasien yang semakin menjalar ke tengah mata. Gejala mata merah ini
semakin memburuk dalam 1 minggu, tanpa adanya periode di mana keluhan ini
membaik. Keluhan disertai dengan gejala perasaan yang mengganjal di mata
kanan, nyeri dan mata berair sejak 1 minggu yang lalu. Keluhan nyeri dirasakan
pada mata kanan (di bagian yang mengalami kemerahan), terjadi sesaat dan hilang
dengan sendirinya. Nyeri tajam dengan skala 6 dari 10 tanpa adanya pemicu,
faktor yang memperberat maupun faktor yang memperingan. Rasa nyeri ini
dirasakan sebanyak kurang lebih 2 hingga 3 kali sehari.

Gejala penglihatan kabur, mual dan muntah disangkal oleh pasien.


Keluhan ini hanya terjadi di mata kanan pasien, mata kiri pasien bebas dari gejala.
Pasien pernah memiliki riwayat dengan gejala serupa (mata kanan saja tanpa
adanya keterlibatan mata kiri) dan diberikan pengobatan hanya dengan obat
cendofenicol 3 kali sehari 1 tahun yang lalu, dan sudah mendingan jadi pasien
tidak berobat ke dokter. Untuk keluhan saat ini pasien mengaku sudah mencoba
menggunakan terapi yang ia dapat sebelumnya namun tidak begitu meringankan
gejala yang ia rasakan. Keluhan pasien mengganggu aktivitas hidup pasien seharihari.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat diabetes melitus disangkal, gangguan pada mata sebelumnya
disangkal, kolesterol disangkal, alergi disangkal, asma disangkal, penggunaan
obat-obatan rutin disangkal, riwayat demam dan batuk dalam waktu yang lama
disangkal. Mempunyai riwayat paparan terhadap sinar matahari ataupun debu
yang berlebihan. Mempunyai riwayat trauma pada bagian mata 1 dan kepala
disangkal. Pasien tidak memiliki riwayat penggunaan kacamata, sementara
riwayat penggunaan lensa kontak disangkal oleh pasien. Pasien tidak pernah
dirawat di Rumah Sakit sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, jantung disangkal, riwayat penyakit
dengan gejala serupa di keluarga juga disangkal oleh pasien.
Riwayat Sosial dan Kebiasaan
Pasien tinggal bersama suami dan anaknya. Sehari-harinya pasien
menghabiskan sebagian besar waktu di rumah sebagai ibu rumah tangga memasak
dan membersihkan rumah. Riwayat kebiasaan merokok, konsumsi minuman
alkohol dan penggunaan obat-obatan terlarang disangkal oleh pasien.

Pemeriksaan Fisik
Status Generalisata
Keadaan umum

: Baik, sadar penuh

GCS

: E: 4; M: 6; V: 5 (total: 15, compos mentis)

Tanda vital:
Nadi

: 80 / menit

Suhu tubuh

: tidak dilakukan

Tekanan darah

: 120/80 mmHg

Laju pernapasan

: 16 kali / menit

Status Oftalmikus
Acies Visus Okulo Dextra: 1/60
Dengan pin hole : VOD 1/60
Acies Visus Okulo Sinistra: 6/6 Emetropia
PD: 60/58
OD

Inspeksi

OS

OD
Tidak dilakukan
n/p

Tekanan Bola Mata


Tonometri Schiotz
Palpasi bola mata

OS
Tidak dilakukan
n/p

OD

Tes Konfrontasi

OS

+
+
+
+
+
+
+
+

Nasal
Temporal
Superior
Inferior
Nasal Superior
Nasal Inferior
Temporal Superior
Temporal Inferior

+
+
+
+
+
+
+
+

OD
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Kedudukan Bola Mata


Orthoposisi
Eksoftalmos
Endoftalmos
Eksotropia
Esotropia
Eksoforia
Esoforia

OS
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

OD
Sedikit bengkak
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Palpebra Superior
Bengkak
Merah / ekimosis
Benjolan / tumor
Ptosis
Pseudoptosis
Lagoftalmos
Blefarospasm
Entropion
Ektropion
Trikiasis
Abses

OS
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

OD
sedikit bengkak
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Palpebra Inferior
Bengkak
Merah / ekimosis
Benjolan / tumor
Blefarospasm
Entropion
Ektropion
Trikiasis
Abses
Madarosis
Xantelasma

OS
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

OD

Area Lakrimal dan

OS

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Pungtum Lakrimal
Bengkak
Hiperemi
Fistula
Benjolan / tumor
Lakrimasi
Epifora
Sekret
Madarosis
Xanthelasma

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

OD

Konjungtiva Tarsalis

OS

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Superior
Litiasis
Hordeolum
Kalazion
Membran
Pseudomembran
Papil / giant papil
Folikel / cobble stone
Simblefaron
Hiperemis
Pucat

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

OD

Konjungtiva Tarsalis

OS

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Inferior
Litiasis
Hordeolum
Kalazion
Membran
Pseudomembran
Papil / giant papil
Folikel / cobble stone
Simblefaron
Hiperemis
Pucat

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

OD
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Tidak ada
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Tes Bulbi
Sekret
Kemosis
Papil
Folikel
Perdarahan
Injeksi siliar
Injeksi episklera
Injeksi konjungtiva
Pterigium
Pinguekula
Tumor dan nevus

OS
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

OD
Tidak ada
Putih
Tidak ada

Sklera
Nodul
Warna
Stafiloma

OS
Tidak ada
Putih
Tidak ada

Tidak ada

Ruptur

Tidak ada

OD
Jernih
Tampak infiltrat sentralis

Kornea
Kejernihan
Gambaran kelainan

OS
Jernih
Tidak ada

berwarna keputihan
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Positif
Tidak dilakukan

Arkus senilis
Edema
Korpus alienum
Tes fluoresein
Tes sensibilitas (refleks

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

kornea)
Nebula
Leukoma
Stafiloma
Perforasi
Vesikel / bula
Ulkus

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

OD
dalam
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

COA
Kedalaman
Flare
Hipopion
Hifema

OS
Dalam
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

OD
Coklat tua
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Baik
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Iris
Warna
Atrofi
Sinekia anterior
Sinekia posterior
Gambaran radier
Iris termulans
Iris bombe
Iridodialisis

OS
Coklat tua
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Baik
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

OD
+
+

Pupil
Reflek cahaya langsung
Refleks cahaya tidak

OS
+
+

Bulat

langsung
RPAD
Bentuk

Bulat

kurang lebih 5mm,


berbentuk bulat dan

3 mm
Sentral
Isokoria
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Ukuran
Letak
Isokoria / anisokoria
Oklusio
Seklusio
Leukoria

3 mm
Sentral
Isokoria
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

OD
Jernih
Tidak ada
Tidak ada
Di tengah
Tidak ada
Sentral
Isokoria

Lensa
Kejernihan
Letak kekeruhan
Iris shadow test
Letak lensa
Refleks kaca
Letak
Isokoria / anisokoria

OS
Jernih
Tidak ada
Tidak ada
Di tengah
Tidak ada
Sentral
Isokoria

OD
Jernih
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Badan Kaca
Kejernihan
Flare
Sel radang
Sel darah merah
Fibrosis

OS
Jernih
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

OD
Jernih
Oranye
Jelas
0.3
2/3
Jernih, refleks cemerlang
Tenang
Tenang
Sulit dinilai

Funduskopi
Refleks fundus
Media
Warna papil
Batas papil
Cup/disc ratio
Arteri/vena ratio
Macula lutea
Retina sentral
Retina perifer
Gambaran kelainan

OS
+
Jernih
Oranye
Jelas
0.3
2/3
Jernih, refleks cemerlang
Tenang
Tenang
Sulit dinilai

Resume
Bapak S, 36 tahun datang dengan keluhan mata kanan merah sejak 1
minggu SMRS dan semakin memburuk. mata kiri pasien tenang, riwayat trauma
(+). AVOD: 2/60,15, TIO: N/P. OS mata merah (+), perasaan mengganjal (+),
nyeri (+) bersifat episodik 2-3 kali sehari kualitas tajam dengan durasi beberapa
detik skala 4 dari 10. Pasien sudah mencoba terapi namun tidak ada perbaikan.
AVOS: 6/6, TIO:N/P. Pada pemeriksaan fisik ditemukan: status generalis baik,
konjungtiva hiperemis (+), injeksi konjungtiva dan silier (+) OD. Riwayat
penggunaan kacamata (-). Riwayat ganguan sebelumnya (+) 1 tahun yang lalu
dengan pengobatan cendofenicol.
Follow up
Pada 8 september 2015 pasien kontrol ke Poli mata RSUS dengan perbaikan
kondisi. AVOD :
AVOS : 6/6 Emetropia
Diagnosis
Keratitis Bakterial
Diagnosis Banding
Tatalaksana
Medikamentosa

Polydex ED 6 dd gtt 1 OS
Ibuprofen tab 200 mg PO 3 dd 1

Non-medikamentosa

Menghindari terjadinya trauma di daerah mata dan sekitarnya.


Menghindari paparan debu dan udara kotor.
Melakukan kontrol rutin terhadap keluhan radang sendi yang ia miliki.
Resep kaca mata karena ukuran lensa untuk membaca dekat pasien sudah

berubah.
Segera kontrol apabila terdapat gejala baru seperti rasa sakit yang
memberat dan tidak memberikan respon terhadap terapi yang telah
diberikan.

Merujuk ke dokter spesialis mata apabila terdapat kecurigaan adanya


skleritis untuk tata laksana lebih lanjut.

Saran Pemeriksaan
Saran pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain:

Pemeriksaan fisik terhadap tanda-tanda adanya kelainan sistemik.


Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari tanda terdapatnya gangguan
sistemik melalui kelainan pada komponen darah seperti misalnya pada

jumlah sel darah putih, laju endap darah (ESR), dan CRP.
Pemeriksaan laboratorium (Rheumatoid factor) untuk memastikan
kelainan sistemik pada pasien karena pada anamnesis diperoleh data
bahwa pasien memiliki riwayat didiagnosis dengan radang sendi pada satu
tahun yang lalu.

Prognosis
Quo ad visam

: bonam

Quo ad sanam

: bonam

Quo ad functionam

: bonam

Quo ad kosmeticam

: bonam

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
A. EPISKLERITIS
1. Epidemiologi
Kurang lebih 70 persen dari seluruh kasus episkleritis menyerang wanita,
terutama pada populasi dengan umur muda dan menengah tetapi secara
keseluruhan, episkleritis dapat menyerang berbagai kelompok usia1.
Umumnya sebagian besar kasus episkleritis merupakan kasus yang terisolasi
dalam artian bahwa kejadian episkleritis tidak dihubungkan dengan adanya
gangguan sistemuk (seperti yang lebih umum terobservasi pada skleritis). Tetapi,
tidak menutup kemungkinan bahwa episkleritis juga dihubungkan dengan
beberapa gangguan sistemik seperti1,2:

Simple episcleritis terobservasi pada spondiloartritis seronegatif, IBD


(inflammatory bowel disease), dan varian dari vaskulitis tertentu,
khususnya vaskulitis yang berhubungan dengan ANCA (antineutrophil

cytoplasmic antibodies).
Nodular episcleritis umumnya

bersifat

idiopatik

namun

dapat

berhubungan dengan rheumatoid arthritis. Pada kelainan ini ditemukan


sebuah nodul (umumnya pada pemeriksaan slit lamp) yang dikelilingi oleh
pelebaran pembuluh darah.

Simple episcleritis
2. Patogenesis

Nodular episcleritis

Episkleritis merupakan penyakit yang dapat disebabkan oleh berbagai macam


mekanisme sistemik baik imun maupun non imun. Penyebab umum terjadinya
episkleritis yang tidak berhubungan dengan gangguan sistemik yaitu dry eye
syndrome (yang tidak berhubungan dengan Sjogren syndrome). Pemeriksaan
histologis dari pasien dengan gangguan ini menunjukkan vasodilatasi, edema dan
infiltrasi limfositik yang menyeluruh.
Mekanisme terkait imun yang menyebabkan episkleritis juga beraneka ragam
seperti misalnya hipersensitivitas tipe I yang disebabkan oleh degranulasi mast
cells yang dimediasi oleh IgE. Selain itu episkleritis juga dapat disebabkan oleh
hipersensitivitas yang dimediasi oleh kompleks imun (hipersensitivitas tipe III)
seperti yang terjadi pada beberapa jenis vaskulitis dan infeksi sistemis seperti pada
sifilis dan tuberkulosis. Episkleritis juga dapat disebabkan oleh hipersensitivitas
tipe IV namun dengan mekanisme dan antigen yang belum diketahui dengan
jelas1-4.
3. Manifestasi Klinis
Pasien dengan episkleritis umumnya datang dengan keluhan kemerahan pada
mata, produksi air mata berlebihan yang terjadi dengan tiba-tiba. Gejala nyeri
umumnya tidak dikeluhkan oleh pasien, namun dapat terobservasi pada
episkleritis kronik atau nodular. Tidak ada keluhan penurunan tajam penglihatan
(visus). Gejala ini umumnya terjadi pada 1 mata saja (unilateral), namun tidak
menutup kemungkinan bahwa gejala ini juga dapat muncul pada kedua mata
(bilateral) dan diasosiasikan dengan gangguan sistemik. Pemeriksaan fisik
menunjukkan vasodilatasi dari pembuluh darah episklera dan edema dari
episklera.
Sebagian besar pasien episkleritis tidak memiliki gangguan sistemik. Sebuah studi
menunjukkan hanya 36 persen pasien memiliki gangguan sistemik yang menyertai
dengan komposisi1-5:

Rheumatoid artritis 11 persen


Inflammatory bowel disease 8 persen
Vaskulitis 5 persen
Systemic lupus erythematosus 3 persen
Penyakit rematik lain 3 persen

Herpes zoster oftalmik 3 persen


Lyme disease 3 persen

4. Diagnosis
Pada pasien dengan episode pertama episkleritis, evaluasi yang dapat dilakukan
mencakup anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap. Rujukan kepada dokter
spesialis mata disarankan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya diagnosis
yang salah.
Jika anamnesis dan pemeriksaan fisik menunjukkan hasil yang normal, maka
pemeriksaan lebih lanjut sebaiknya tidak dilakukan kecuali gejala muncul kembali
atau pasien mengalami keluhan lain karenan umumnya episkleritis dapat sembuh
dengan sendirinya tanpa terapi dalam waktu kurang lebih 3 minggu.
Pemeriksaan penunjang umum yang dapat disarankan untuk pasien dengan
episkleritis antara lain2-4:

Pemeriksaan darah lengkap pasien dengan gangguan sistemik sering kali


memiliki abnormalitas pada jumlah sel darah putih, trombosit dan

hematokrit.
Pemeriksaan kimia darah pemeriksaan ini mencakup level dari kreatinin,

urea (BUN), elektrolit, albumin, protein total dan aminotransferase.


Urinalisis mikroskopik pemeriksaan mikroskopik urin terutama sedimen
urin dapat dilakukan untuk menyingkirkan gangguan ginjal seperti

gromerulonefritis.
Reaktan fase akut pasien dengan episkleritis yang berhubungan dengan
gangguan sistemik umumnya memiliki tingkat reaktan fase akut yang
tinggi seperti ESR dan CRP.

Pemeriksaan serologis pemeriksaan serologis yang secara spesifik dapat


dilakukan untuk mencari gangguan sistemik yang berhubungan dengan
episkleritis antara lain:

Rheumatoid factor
Antibodi terhadap CCP Antibodi terhadap CCP yang positif
menunjukkan bahwa pasien mengalami rheumatoid artritis.

Antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA) Pemeriksaan ANCA


memberikan hasil positif pada pasien dengan penyakit Wegener, atau pada

poliangiitis mikroskopik, dan sindroma Churg-Strauss.


Antinucear antibodies (ANA) Pemeriksaan ini berguna untuk
menyingkirkan kemungkinan penyakit jaringan ikat yang berhubungan
dengan systemic lupus erythematosus (SLE).

Radiologi thorax rontgen thorax dapat dilakukan pada pasien episkleritis dengan
kecurigaan terhadap terdapatnya gangguan sistemik. Abnormalitas apapun yang
terdeteksi pada pemeriksaan sebaiknya ditelusuri lebih lanjut dengan pemeriksaan
lain seperti misalnya CT scan.
Pemeriksaan penunjang lain dapat dilakukan sesuai dengan gejala atau gangguan
lain yang ditemukan selama anamnesis dan pemeriksaan fisik seperti misalnya
endoskopi apabila terdapat kecurigaan terdapatnya inflammatory bowel disease2-5.
5. Tata Laksana
a. Farmakologis
Episkleritis merupakan gangguan yang tidak membahayakan penglihatan dan
pada sebagian besar pasien bersifat episodik dan sembuh dengan sendirinya tanpa
terapi. Tujuan dari terapi episkleritis adalah penanganan simtomatik. Terdapat 4
pilihan terapi yang dapat diberikan6:

Lubrikan topikal Manajemen awal dari episkleritis dapat berupa


pemberian dari lubrikan topikal. Pemberian air mata buatan sudah cukup,
dengan frekuensi kurang lebih 4 hingga 6 kali sehari. Air mata buatan

yang digunakan terutama yang tidak mengandung preservatif.


NSAID topikal Pasien dengan episkleritis yang terutama memiliki
keluhan nyeri atau perasaan tidak nyaman dapat diberikan NSAID topikal
sebanyak 2 hingga 4 kali sehari. Obat yang dapat diberikan misalnya
diklofenak

topikal.

Penting

bagi

dokter

untuk

menyingkirkan

kemungkinan terdapatnya gangguan mata lain seperti misalnya mata


kering atau gangguan epitel.

Glukokortikoid topikal Pemberian glukokortikoid topikal dapat


memberikan hasil yang baik pada pasien episkleritis. Sebuah studi
menunjukkan 80 persen pasien mengalami perbaikan kondisi dengan

pemberian glukokortikoid topikal.


NSAID oral Contoh obat NSAID oral yang dapat diberikan antara lain
indomethacin, naproxen dan ibuprofen. Pemberian terapi sebaiknya
dimulai dari dosis rendah terlebih dahulu.

b. Nonfarmakologis
Tata laksana nonfarmakologis yang dapat dilakukan antara lain:

Melakukan kontrol rutin terhadap keluhan radang sendi yang ia miliki.


Segera kontrol apabila terdapat gejala baru seperti rasa sakit yang
memberat dan tidak memberikan respon terhadap terapi yang telah

diberikan.
Merujuk ke dokter spesialis mata apabila terdapat kecurigaan adanya
skleritis untuk tata laksana lebih lanjut.

6. Prognosis
Episkleritis merupakan gangguan yang dapat sembuh dengan sendirinya tanpa
memerlukan terapi. Gangguan ini jarang sekali menimbulkan komplikasi yang
berat dan mengganggu penglihatan. Komplikasi yang dapat muncul antara lain1-4:
a. Inflamasi kornea, ditandai dengan terlihatnya infiltrat kecil pada kornea
perifer dalam pemeriksaan slit lamp yang menunjukkan terdapatnya
inflamasi pada stroma kornea. Pasien dengan gejala ini sebaiknya
menjalani pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan keluhan yang ia
alami tidak berlanjut hingga menjadi skleritis.
b. Anterior uveitis, yang ditandai dengan ditemukannya keratic precipitate
pada lapisan endotel kornea di pemeriksaan slit lamp disertai dengan
keluhan fotofobia, rasa sakit sampai gangguan penglihatan. Kondisi ini
dapat ditangani dengan pemberian kortikosteroid topikal.

BAB 3
PEMBAHASAN
Pasien pertama kali datang dengan keluhan kemerahan pada mata tanpa
adanya gangguan pada penglihatan. Hal ini dikonfirmasi lagi pada pemeriksaan
fisik yang dilakukan di mana ditemukan kemerahan pada mata kiri dan hasil
pemeriksaan visus menunjukkan tidak adanya penurunan tajam penglihatan pada
mata yang dikeluhkan. Hal ini memberikan beberapa kemungkinan diagnosis pada
pasien ini. Dari inspeksi yang dilakukan, ditemukan bahwa gejala kemerahan pada
mata pasien bersifat lokal pada sisi temporal mata kiri yang memberikan
pemikiran

bahwa

kemungkinan

konjungtivitis

sebagai

diagnosis

dapat

dikesampingkan karena pada konjungtivitis, kemerahan (atau injeksi) yang


didapatkan akan bersifat difus di seluruh mata. Hal ini juga didukung dari temuan
tidak adanya folikel ataupun papil pada konjungtiva, dan tidak adanya sekret.
Kemudian ditemukan bahwa kemerahan pada mata pasien mengikuti pola
pembuluh darah, bukan berupa bercak sehingga diagnosis pendarahan
subkonjungtiva juga dapat dikesampingkan. Hal ini juga didukung dari tidak
adanya riwayat trauma, riwayat darah tinggi dan kejadian yang berulang dalam
waktu kurang dari 1 bulan yang tidak terlalu cocok dengan pendarahan
subkonjungtiva. Tidak ditemukannya massa ataupun nodul pada konjungtiva
memberikan pemikiran bagi kita untuk mengesampingkan diagnosis banding
pterygium ataupun pinguekula (yang juga dapat didukung lagi dengan data dari
anamnesis bahwa pasien tidak memiliki riwayat paparan terhadap sinar matahari
ataupun debu dalam waktu yang lama).
Diagnosis banding skleritis juga dapat disingkirkan melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Pasien dengan skleritis umumnya datang dengan keluhan yang
lebih berat dibandingkan dengan pasien episkleritis. Pasien umumnya
mengeluhkan rasa nyeri yang sangat berat (dideskripsikan sebagai nyeri tajam di
bola mata yang menjalar ke periorbita dan dapat membangunkan pasien dari
tidur), dan dapat juga disertai dengan gangguan visus. Selain itu pada
pemeriksaan mata akan ditemukan juga bahwa pada skleritis terdapat edema dan
penipisan dari sklera yang pada episkleritis tidak ditemukan. Pada beberapa kasus,
membedakan skleritis dan episkleritis mungkin akan sulit dan hal ini dapat

dilakukan dengan pemberian tetes phenylephrine topikal di mana setelah 10


hingga 15 menit kemerahan pada mata akan hilang pada episkleritis sedangkan
pada skleritis, kemerahan tidak menghilang atau perubahannya tidak signifikan.
Hal ini disebabkan oleh letak pembuluh darah episklera yang lebih superfisial
dibandingkan dengan pembuluh darah sklera.
Untuk diagnosis

keratokonjungtivitis limbik superior juga dapat

disingkirkan karena pada anamnesis tidak ditemukan adanya gangguan


penglihatan (visus menurun). Pada pemeriksaan fisik ditemukan bahwa hiperemis
yang terlokalisir di sisi temporal. Pada saat eversi palpebra juga tidak ditemukan
adanya papil yang umumnya ditemukan pada keratokonjungtivitis limbik superior.
Maka dari itu, diagnosis kerja episkleritis diambil.
Pada pasien ini, ia telah mengalami keluhan dengan gejala yang sama
sebelumnya dan telah menjalani terapi dengan Tobroson (kortikosteroid topikal)
dan PCT. Terapi ini pada awalnya dapat meringankan gejala yang dialami oleh
pasien. Namun pada serangan kedua, menurut informasi yang diberikan oleh
pasien, kali ini terapi tersebut tidak meringankan gejala yang dialami oleh pasien.
Maka pada kali ini, terapi yang diberikan kepada pasien dikombinasikan antara
kortikosteroid topikal (Polydex) dan NSAID oral (ibuprofen). Pemberian NSAID
oral dan kortikosteroid topikal ini bertujuan untuk menekan proses inflamasi yang
terjadi. Tambahan NSAID oral juga berguna sebagai anti nyeri bagi keluhan nyeri
yang dirasakan oleh pasien.
Untuk gangguan refraksi, pasien didiagnosis dengan astigmatisme myopia
kompositus dengan presbiopia ODS melalui hasil lensometri kacamata pasien.
Pada saat pemeriksaan, koreksi visus belum dapat dilakukan karena saat itu pasien
datang dengan keluhan mata merah sehingga apabila dilakukan koreksi, hasilnya
bisa saja tidak objektif. Pasien disarankan untuk menjalani pemeriksaan kacamata
pada saat pasien kembali kontrol dan dengan keadaan mata tenang karena
kemungkinan ukuran kacamata pasien sudah berubah.
Secara umum, selain tata laksana yang telah dijabarkan di atas, penting
bagi pasien untuk mengetahui bahwa gangguan yang ia alami bisa saja berulang
(bersifat episodik) dan sangat penting bagi pasien untuk segera kontrol apabila
muncul gejala seperti nyeri pada mata yang sangat berat dan penurunan visus

karena bisa saja telah terjadi komplikasi seperti uveitis yang membutuhkan tata
laksana lebih lanjut. Episode episkleritis berikutnya juga kemungkinan
membutuhkan pemeriksaan penunjang untuk memastikan kondisi sitemik yang
menyebabkan keluhan.
Secara keseluruhan, prognosis pasien dengan episkleritis adalah baik.
Untuk fungsi penglihatan, karena gangguan ini (selain jika terjadi komplikasi)
tidak menimbulkan gangguan penglihatan, memberikan prognosis yang baik.
Untuk prognosis rekurensi (quo ad sanationam) adalah dubia ad bonam karena
episkleritis bisa terjadi kembali walaupun angka rekurensinya tidak tinggi.
Sedangkan untuk prognosis secara kosmetik (quo ad kosmetikam) juga baik
karena secara umum, tanpa terapipun episkleritis dapat hilang dengan sendirinya
dalam waktu 3 hingga 4 minggu.

REFERENSI
1. Jabs DA, Mudun A, Dunn JP, Marsh MJ. Episcleritis and Scleritis: Clinical
Features and Treatment Results. Am J Ophthalmol. 2000; Vol. 130(1): 460-469.
2.

Eva PR, Cunningham ET. Vaughan & Asburys General Ophthalmology.


18th ed. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. 2011. 18: 166-173.

3.

Ehlers JP, Shah CP. The Willis Eye Manual: Office and Emergency
Diagnosis and Treatment of Eye Disease. 5th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins. 2008. 5: 111-115.

4.

Ilyas HS. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2010.

5.

Trottini M, Telud C. Scleritis: When a Red Eye Raises a Red Flag. Review
of Optometry. 2014; Vol. 12(1): 29-33.

6. Williams CP, Browning AC, Sleep TJ, et al. A Randomised, Double-blind Trial
of Topical Ketorolac vs Artificial Tears for the Treatment of Episcleritis. Eye.
2005; Vol. 19: 730-739.

Anda mungkin juga menyukai