Anda di halaman 1dari 19

Jenis Korosi

Setiap jenis korosi yang terjadi akan memiliki bentuk yang berbeda pula.
Berbagai bentuk korosi akibat terjadinya proses mekanisme korosi dapat dilihat
pada Gambar 5. Untuk mengetahui lebih lanjut megenai jenis-jenis korosi, akan
diterangkan pada subbab-subbab berikut.

Gambar 5. Diagram Pourbaix untuk Fe dalam larutan cair

1. Korosi Sumuran (pitting)


Korosi bisa ditemukan dalam berbagai bentuk, namun yang umum
terjadi pada lingkungan air laut dibagi menjadi

korosi merata dan lokal

(korosi galvanik dan sumuran/pitting). Korosi merata merupakan jenis yang


paling banyak mengkonsumsi logam, namun jenis korosi lokal lebih
berbahaya serta sukar untuk diprediksi dan dikendalikan. Walaupun korosi
lokal tidak mengkonsumsi banyak material, penetrasi dan kegagalan yang
terjadi lebih cepat dibandingkan dengan yang merata.
Kecepatan korosi dapat dilihat sebagai penipisan ketebalan per satuan
waktu dengan rumus berikut :
mpy

di mana :

534W
DAT

(2.18)

D = densitas (g/cm3)
W = massa yang hilang (mg)
A = luas permukaan (in2)
T = waktu penetrasi (jam)

Korosi jenis ini hasil dari rusaknya lapisan pasif pada permukaan
logam, umumnya berada dalam media yang mengandung klor (Cl). Korosi
sumuran sukar untuk diprediksi, khususnya dalam bentuk yang curam
dengan penampang inisiasi yang kecil/sempit (5).

Gambar 6. Bentuk-bentuk korosi sumuran :


(a) narrow,deep, (b )eliptical, (c) wide, shallow, (d) subsurface, (e)
undercutting, (f) orizontal, (g) vertical(5)

Gambar 6 merupakan bentuk-bentuk umum dari korosi sumuran.


Mekanisme sumuran terbagi menjadi tahap inisiasi dan propagasi. Inisiasi
dimulai ketika lapisan pasif pada permukaan logam mengalami kegagalan
(break down) yang lebih cepat akibat konsentrasi ion Cl - terlarut pada daerah
tersebut dalam bentuk endapan garam Cl yang terakumulasi, karena adanya
gaya elektrostatik antara anion Cl - dengan permukaan logam yang
bermuatan positif(3). Reaksi hidrolisis dan hasil oksidasi logam yang terjadi di
bawah endapan garam tersebut membentuk lingkungan klorin yang asam :
Fe2+ + 2H2O + 2Cl- Fe(OH)2 + 2HCl

(2.19)

sehingga dalam kondisi pH yang rendah akan mempercepat reaksi oksidasi


logam di bawahnya dan menyebabkan terbentuknya lapisan yang sukar
terurai, Fe(OH)3, pada permukaan endapan, dari lapisan Fe(OH) 2 yang tidak
stabil dengan reaksi sebagai berikut :

Pada

Fe(OH)2 HFeO2- + H+

(2.20)

HFeO2- + H2O Fe(OH)3 + e-

(2.21)

tahap

propagasi

terjadi

mekanisme

autokatalitik

yang

memperdalam daerah tersebut dalam bentuk lubang yang mulutnya turtutup


oleh lapisan semipermeabel, Fe(OH)3, sehingga Fe2+ hasil oksidasi akan
keluar dari daerah tersebut untuk kemudian membentuk endapan netral dan
sebagian teroksidasi menjadi Fe3+, sedangkan ion-ion Cl- dapat bebas
bermigrasi ke dalam lubang dan menjaga keasaman dan konsentrasi klor di
dalamnya.

Gambar 7. Skematis proses pertumbuhan pit pada besi(5).

2. Korosi Merata
Korosi jenis ini tergantung pada faktor kecepatan reaksi oksidasi pada
permukaan logam, di mana kecepatan oksidasi yang terjadi relatif

sama

pada seluruh permukaan yang terserang sehingga terjadi kehilangan logam


secara progresif . Produk korosi yang terjadi akan mempengaruhi laju korosi
selanjutnya. Lapisan produk korosi yang protektif akan melindungi logam
dasar sehingga laju korosi akan menurun.
Korosi jenis ini dapat diamati pada logam Al dalam larutan basa, Zn
dalam asam sulfat, atau baja tulangan dalam beton.

Gambar 8. Korosi merata pada pipa bawah tanah (5).


3. Korosi Galvanik
Korosi galvanik terjadi jika dua buah logam/paduan yang tidak sejenis
terhubung secara elektrik dalam suatu elektrolit korosif, salah satu di
antaranya terkorosi sedangkan lainnya tidak. Hal ini disebabkan potensial
reduksi setiap logam berbeda-beda.
Deret emf (Tabel 1) dapat digunakan untuk memprediksi korosi
galvanik, suatu logam akan terkorosi jika dihubungkan secara galvanik
dengan logam lain yang memliki potensial standar lebih besar. Kecepatan
korosi jenis ini ditentukan oleh sifat media dan besarnya perbedaan potensial

standar logam, di mana kecepatan korosi tinggi pada kondisi resistivitas


media kecil, korosif, atau beda potensial standar (E0) besar.
Rangkaian sederhana pada Gambar 9 menunjukkan proses korosi
galvanik, antara logam Fe dengan logam Al dalam larutan teraerasi NaCl
3,5% (air laut sintetis). Logam Al mengalami reaksi oksidasi (korosi) karena
potensial standarnya lebih negatif daripada Fe (Tabel 1), sehingga pada
elektroda terjadi reaksi :
Katoda (Fe) :

O2 + 2H2O + 4e- 4OH-

Anoda (Al)

Al Al3+ + 3e-

(2.22)

Gambar 9. Galvanic coupling logam Fe dengan Al dalam larutan NaCl.


Pada logam permukaan logam Fe terjadi reaksi reduksi oksigen
sebagai akibat dari penambahan elektron dari Al, sedangkan pada
permukaan logam Al terjadi oksidasi Al menjadi Al 3+. Hasil oksidasi Al
membentuk lapisan Al2O3 yang bersifat pasif, namun lapisan tersebut tidak
bertahan lama akibat adanya ion-ion Cl - pada media, sebagai perusak agresif
lapisan pasif logam. Reaksi tersebut akan terus berlangsung hingga logam Al
habis.

4. Korosi Erosi
Korosi jenis ini merupakan bentuk korosi lokal yang dipengaruhi oleh
korosifitas air, kecepatan aliran dan aliran regim, adanya partikel solid, serta
density dari fluida. Perlu diketahui juga besarnya kecepatan kritis dengan
perhirungan menggunakan rumus empiris sebagai berikut :
Vcr = C / (rm )1/2
Dimana rm = berat jenis fluida

Non corrosive service :

C =100 - 130

Dry oil or gas :

C > 200

Inhibited corrosive service :

C = 150 - 200

Water injection :

C = 250

Stainless steel :

Vcr = 60 m/s

Gambar 10. Critical Velocities


Partikel solid, khususnya pasir, dapat menyebabkan terjadinya korosi
erosi yang berpengaruh failure pada pipa. Hal yang biasa dilakukan untuk
mencegah korosi erosi yang disebabkan oleh pasir adalah dengan
pemasangan sand traps atau sand separation unit.

Gambar 11. Mekanisme korosi erosi oleh partikel padat


5. Korosi Permukaan
Korosi di lingkungan atmosferik berkaitan dengan media korosif yang
berupa oksigen atau gas-gas polutan (O 2, SO2, CO2, H2S) yang terlarut dalam
air-terkondensasi pada permukaan logam. Faktor-faktor yang berpengaruh
dalam korosi atmosferik antara lain kelembaban (humidity), kadar polutan,
temperatur atau panas matahari, serta aliran udara.

Gambar 12. Korosi logam baja di lingkungan oksigen dan air


terkondensasi yang mengandung gas SO 2

Gambar 13. Korosi permukaan (atmosferik) logam baja di lingkungan oksigen


dan air terkondensasi
6. Korosi Intergranular
Pada proses korosi, batas butir dari suatu logam biasanya akan
terkorosi sedikit lebih cepat daripada matriksnya. Namun pada kasus
tertentu, korosi pada batas butir terjadi jauh lebih cepat daripada matriksnya.
Hal ini disebut dengan korosi intergranular. Korosi intergranular dapat terjadi
pada karena adanya impurities, kelebihan unsur paduan atau malah
pengurangan salah satu dari unsur paduan. Pada stainless steel, kekurangan
chrome

pada

daerah

batas

butir

menyebabkan

terjadinya

korosi

intergranular.
Pada temperatur sekitar 950 sampai 1450 oF, stainless steel akan
mengalami sensitisasi. Bila kadar karbon lebih besar daripada 0,02%, karbon
akan terkumpul pada batas butir dan akan menarik chrome keluar dari baja
untuk membentuk krom karbida. Hal ini menyebabkan rendahnya kadar
chrome pada daerah disekitar batas butir sehingga daerah tersebut akan
lebih rentan terhadap serangan korosi. Korosi intergranular dapat dijelaskan
secara skematis pada gambar 14.

Gambar 14. Korosi intergranular


7. Korosi Retak Tegang (Stress Corrosion Cracking / SCC)
Korosi retak tegang atau stress corrossion cracking timbul pada logam
yang diberikan tegangan statis pada lingkungan tertentu. Lapisan pasif pada
permukaan logam harus ada dan tegangan yang diberikan cukup rendah.
Mekanisme terjadinya korosi retak tegang ini belum sepenuhnya dimengerti
meskipun korosi jenis ini merupakan salah satu jenis korosi yang penting
untuk diketahui. Hal ini disebabkan kompleksnya hubungan antara logam,
interface, dan lingkungan.
Korosi memainkan peranan penting dalam inisisi dari retakan.
Sumuran atau diskontinuitas pada permukaan akan berfungsi sebagai
peningkat tegangan. Konsentrasi tegangan pada ujung notch akan
meningkat drastis seiring dengan penurunan radius notch. Setelah crack
terjadi, konsentrasi tegangan akan menyebabkan perambatan retakan
tersebut.
Tegangan berperan dalam merusak lapisan pasif yang melindungi
permukaan logam. Pecahnya lapisan pasif tersebut akan menyebabkan

serangan korosi timbul di berbagai tempat pada permukaan logam. Hal


tersebut merupakan awal dari timbulnya retakan. Rusaknya lapisan pasif
yang diikuti oleh retakan tidak memungkinkan pemulihan dari lapisan pasif
tersebut, sehingga propagasi akan terus berlanjut.
Korosi retak tegang memberikan penampilan seperti perpatahan
getas, sebagai hasil dari proses korosi lokal. Pada korosi retak tegang,
terdapat baik perpatahan intergranular maupun perpatahan transgranular.
Perpatahan

intergranular

merambat

melalui

batas

butir,

sedangkan

perpatahan transgranular merambat dengan membelah butir. Perpatahan


intergranular dapat diamati pada gambar 15 dan perpatahan transgranular
dapat diamati pada gambar 16.

Gambar 15. Perpatahan intergranular

Gambar 2.16. Perpatahan transgranular

Peningkatan tegangan menyebabkan menurunnya jumlah waktu yang


diperlukan sampai retakan terjadi. Ada suatu nilai tegangan minimum tertentu
dimana retakan tidak terjadi. Nilai tegangan minimum tersebut tergantung
kepada temperatur, komposisi logam dan komposisi lingkungan. Pada
beberapa kasus, tegangan minimum tersebut bernilai kira-kira 10% dari
tegangan luluhnya, sedangkan pada kasus lain retakan tidak akan terjadi bila
tegangan tidak melampaui 70% dari titik luluhnya.
Sumber tegangan dapat terdiri dari berbagai macam sumber seperti
tegangan pakai, residual, termal, atau karena pengelasan. Pada sejumlah
kasus, retakan terjadi meskipun tidak ada tegangan eksternal pada material
yang dipakai. As-welded steel memiliki tegangan sisa yang mendekati titik
luluhnya. Sumber lain dari tegangan disebabkan karena produk dari korosi.
Produk korosi tersebut dapat menyebabkan tegangan sebesar 10.000 lb/in 2
pada daerah ujung dari retakan.
Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi korosi retak tegang
adalah faktor lingkungan. Korosi retak tegang secara umum timbul pada
media aqueous. Akan tetapi fenomena ini dapat muncul pada logam cair,
lelehan garam, dan larutan inorganik aqueous tertentu. Hadirnya bahan
pengoksidasi juga cenderung untuk mempercepat terjadinya retakan.
Selain oleh lingkungan, korosi retak tegang juga dipengaruhi oleh
faktor metalurgi dari logam yang bersangkutan. Faktor-faktor tesebut antara
lain adalah komposisi, orientasi butir, komposisi dan distribusi dari presipitat,
interaksi dilokasi setrta fasa dari logam tersebut. Selain itu proses manufaktur
seperti pengerjan dingin juga mempengaruhi timbulnya korosi retak tegang.
Stress Corrosion Cracking merupakan proses inisiasi retak dan
perambatannya (propagation) yang terjadi pada material logam dan
paduannya akibat dari suatu proses yang melibatkan kombinasi antara
tegangan atau tekanan dan lingkungan yang korosif secara bersamaan.
Tegangan tersebut bisa berupa aplikasi tekanan yang diberikan ataupun
tegangan sisa yang ada akibat proses fabrikasi, ataupun tegangan yang
terdapat dalam sistem sambungan (bolt, nut, dan weldment). Contoh umum
dari SCC adalah amine corrosion cracking (kaustik cracking) yang biasa

terjadi pada Carbon Steel dan Stainless Steel dan juga chloride corrosion
cracking yang umumnya hanya terjadi pada Stainless Steel. SCC adalah
jenis korosi internal, proses ini menghasilkan penurunan kekuatan mekanis
dengan metal loss yang rendah. Kerusakan yang terjadi tidak bisa dilihat
dengan inspeksi biasa. SCC mengakibatkan proses perpatahan yang singkat
dan jenis patahan yang brittle pada struktur maupun komponen.
7.a. Caustic Stress Corrosion Cracking
Caustic Stress Corrosion Cracking merupakan salah satu jenis dari
korosi antar butir yang umumnya terjadi pada Carbon Steel, dan juga pada
Stainless Steel dibawah tekanan dalam lingkungan kaustik dan temperatur
yang tinggi. Korosi jenis ini tidak terjadi pada temperatur ruang, tetapi biasa
ditemui pada temperatur diatas temperatur ruang, biasanya diatas 60 oC.
Umumnya Caustic stress cracking merupakan patahan transgranular (brittle)
tetapi bisa juga berupa intergranular apabila material mengalami sensitasi
terlebih dahulu. Tegangan yang diperlukan untuk pembentukan cracking
mutlak selalu menyertai pada saat proses terjadi. Tegangan sisa akibat
proses fabrikasi baik itu metal forming, bending, maupun penyambungan
cukup besar untuk terjadinya pembentukan crack.

Gambar 17. Jenis patahan intergranular dan transgranular.

Gambar 18. Jenis patahan Caustic Stress Corrosion Cracking pada SS 304.
Terlihat retakan yang bercabang.

Gambar 19. Caustic Corrosion dan Caustic Stress Corrosion Cracking,


digambarkan dalam grafik isocorrosion

Gambar 20. Ketahanan Korosi dari Carbon Steel,Stainless Steel dan Nikel
Alloy dalam larutan Kaustik, berdasarkan temperatur dan konsentrasi.

8. Korosi Celah ( Crevice )


Laju korosi dari suatu logam biasanya lebih besar pada celah yang
disebabkan oleh kontak dengan material lain. Hal ini disebabkan karena
adanya beda aerasi antara celah dengan sekelilingnya. Mekanisme awal dari
korosi celah ini dapat dilihat pada gambar 2.20. Misalkan logam terebut
tercelup pada air laut yang teraerasi dengan pH 7. Reaksi yang terjadi pada
awalnya adalah:
M M+ + e-

oksidasi

O2 + 2H2O + 4e- 4OH-

reduksi

Pada awalnya reaksi korosi akan berjalan secara seragam pada


seluruh permukaan logam. Akan tetapi setelah beberapa lama, daerah celah
akan kekurangan oksigen karena daerah tersebut tidak teraerasi dengan baik
dan oksigen terus menerus bereaksi.

Gambar 21. Tahap awal korosi celah


Kekurangan oksigen akan membawa pengaruh yang sangat besar
pada peristiwa korosi ini selanjutnya. Setelah oksigen menipis, tidak ada lagi
reduksi oksigen yang terjadi meskipun logam M terus menerus teroksidasi.
Keadaan ini digambarkan oleh gambar 22. Hal ini akan menyebabkan
kelebihan ion M+ dalam celah yang akan diimbangi oleh migrasi ion klorida ke
dalam celah. Hal ini akan meningkatkan konsentrasi ion logam dan klorida
dalam celah. Sebagai pengaruh proses migrasi dan hidrolisis, laju korosi
meningkat tajam akibat adanya ion klorida dan hidrogen. Saat korosi celah
terjadi, reduksi oksigen juga terjadi terus menerus di luar celah tersebut. Hal
ini mengakibatkan daerah di luar celah tersebut terproteksi dari korosi.

Gambar 22. Tahap lanjut korosi celah

9. Korosi Dealloying (Dezincification)


Paduan yang aktif atau lebih elektronegatif terhadap elemen pelarut
utama aka terkorosi oleh peristiwa dealloying. Peristiwa ini juga sering
disebut dengan selective leaching. Dealloying dari kuningan, yang biasa
disebut dezincification, adalah contoh yang umum dan sering ditemui. Seng
yang jauh lebih aktif daripada tembaga akan segera terkorosi dan
meninggalkan kuningan sehingga menjadi tembaga yang berpori dengan
sifat mekanis yang buruk. Dezincification biasanya terjadi pada daerah yang
tersembunyi sehingga kegagalan material sulit diprediksi.
Salah satu contoh lain dari dealloying adalah graphitic corrosion
dimana besi akan terkorosi oleh selective leaching dari besi tuang kelabu.
dari besi tuang kelabu. Yang tertinggal adalah grafit yang berpori dan lunak
sehingga bisa dengan mudah dikerat dengan pisau. Graphitic corrosion
terjadi pada pipa dari besi tuang kelabu yang terkubur dalam tanah dan baru
dapat dideteksi setelah bertahun-tahun. Saat pipa tersebut mengalami
kegagalan, kecelakaan yang berakibat fatal sangat mungkin terjadi.

10. Korosi Sulfide Stress Cracking (SSC)


Sulfide stress cracking terjadi ketika H2S yang berada dalam
reservoir kontak langsung dengan high strength steel yang biasa digunakan
dalam pengeboran, perlengkapan dan sumur produksi. SSC merupakan
fenomena embrittlement dimana kegagalan (failure) dapat terjadi pada saat
tekanan sumur (well) berada dibawah yield strength dari material. Selain itu
SCC juga dipengaruhi oleh konsentrasi sulfida, temperatur dan pH. Contoh
SSC dapat dilihat pada Gambar 23.

Gambar 23. Sulfide Stress Cracking


11. Korosi Fatik
Korosi Fatigue merupakan korosi yang terjadi akibat kombinasi dari
tegangan berulang dan lingkungan yang korosif. Proses fatigue diperkirakan
menyebabkan

kerusakan

pada

lapisan

pasif

pelindung,

sehingga

menyebabkan korosi terjadi semakin cepat. Apabila material logam yang


mengalami proses fatigue tersebut dalam waktu yang bersamaan diekspos
dalam lingkungan yang korosif, kegagalan akan terjadi bahkan pada beban
tekanan yang lebih rendah dan dalam waktu yang lebih singkat.
Dalam lingkungan yang korosif, besarnya tegangan yang bisa diterima
material harganya bisa lebih rendah bahkan tidak ada sekalipun. Berbeda

dengan mekanikal fatigue, dalam korosi fatigue tidak ada batas beban
tertentu.

Gambar 24. Perbedaan Tegangan Maksimum Fatigue pada berbagai


lingkungan
Perpatahan fatigue berbentuk brittle dan retakannya seringkali
berbentuk transgranular, seperti yang terjadi pada SCC, tetapi tidak
bercabang. Pada Gambar 25 terlihat retakan korosi fatigue primer, dimana
sebagian retakan tersebut menjadi lebih lebar akibat reaksi korosi sekunder
(terkorosi lebih lanjut).

Gambar 25. Retak yang terjadi akibat korosi fatigue

Lingkungan yang korosif bisa menyebabkan pertumbuhan retak yang


semakin cepat dan atau perambatan retak pada tingkatan tegangan yang
lebih rendah dibandingkan di lingkungan udara.

12. Korosi Hydrogen Induced Cracking ( HIC )


Hydrogen induced cracking disebut juga sebagai stepwise cracking
atau blistering cracking dimana umumnya ditemukan pada lower-strength
steel khususnya baja yang memiliki tensile strength kurang dari 500 MPa(80
Ksi). Proses korosi terjadi pada saat terjadi rekasi antara baja dan H 2S yang
berada dalam air, atom hydrogen masuk kedalam baja tetapi HIC berbeda
dengan SSC, atom hydrogen membentuk gas hidrogen pada internal defect.
Defect tersebut dapat menjadi tempat inisiasi crack yang kemudian dapat
menjalar secara bertahap. Contoh HIC dapat dilihat pada Gambar 26.

Gambar 26. Hydrogen Induced Cracking

Anda mungkin juga menyukai