Depresi Pada Lansia
Depresi Pada Lansia
TINJAUAN PUSTAKA
(1)
penghindaran
dari
penyakit
dan
ketidakmampuan;
(2)
kesehatan kronik yang paling sering terjadi pada lansia adalah artritis, hipertensi,
gangguan pendengaran, penyakit jantung, katarak, deformitas atau kelemahan
ortopedik, sinusitis kronik, diabetes, gangguan penglihatan, varicose vein (Sadock
& Sadock, 2007).
Ketidakmampuan fungsional yang merupakan akibat dari beberapa penyakit
medis yang terjadi bersama-sama dan ketidakmampuan ortopedik dan neurologik
pada lansia merupakan suatu kehilangan yang besar. Dalam Blazer (2003)
disebutkan bahwa ketidakmampuan fisik tampaknya membawa jumlah kejadian
hidup negatif yang lebih tinggi. Ketidakmampuan fisik dapat menyebabkan
keterbatasan untuk melakukan aktivitas sosial atau aktivitas di waktu luang
(leisure activities) yang bermakna, isolasi, dan berkurangnya kualitas dukungan
sosial.
Dalam Goldman (2000) disebutkan bahwa berbagai kehilangan dan kejadian
hidup yang merugikan merupakan penentu utama penyakit-penyakit psikiatrik
pada
lansia.
Kehilangan
teman-teman
dan
orang-orang
yang
dicintai
menyebabkan terjadinya isolasi sosial. Kehilangan anak, atau yang lebih sering,
kehilangan pasangan merupakan faktor risiko penting untuk depresi mayor,
hipokondriasis, dan penurunan fungsi.
Lansia lebih mudah untuk mengalami isolasi sosial. Dalam Hoyer & Roodin
(2003) disebutkan bahwa lansia memiliki jaringan dukungan sosial yang lebih
kecil daripada orang yang lebih muda, dan jaringan ini didominasi oleh sanak
saudara.
Menurut Goldman (2000), pengunduran diri (retirement) atau kehilangan
fungsi utama di rumah, terutama ketika hal tersebut tidak direncanakan atau
diinginkan, berhubungan dengan kelesuan, involusi (degenerasi progresif), dan
depresi. Retirement berhubungan dengan pengurangan pendapatan personal
sebesar sepertiga sampai setengahnya. Perubahan peran akan berdampak langsung
pada penghargaan diri. Retirement juga akan menyebabkan perubahan gaya hidup
pada pasangannya dan menyebabkan beberapa adaptasi dalam hubungan mereka.
Dalam Hoyer & Roodin (2003) disebutkan bahwa sekitar 15% lansia mengalami
kesulitan-kesulitan besar dalam penyesuaian diri terhadap retirement.
2.2.1
Definisi
Depresi merupakan suatu gangguan mood. Mood adalah suasana perasaan
yang meresap dan menetap yang dialami secara internal dan yang mempengaruhi
perilaku seseorang dan persepsinya terhadap dunia (Sadock & Sadock, 2007)
Depresi ialah suasana perasaan tertekan (depressed mood) yang dapat
merupakan suatu diagnosis penyakit atau sebagai sebuah gejala atau respons dari
kondisi penyakit lain dan stres terhadap lingkungan. Depresi pada lansia adalah
depresi sesuai kriteria DSM-IV. Depresi mayor pada lansia adalah didiagnosa
ketika lansia menunjukkan salah satu atau dua dari dua gejala inti (mood
terdepresi dan kehilangan minat terhadap suatu hal atau kesenangan) bersama
dengan empat atau lebih gejala-gejala berikut selama minimal 2 minggu: perasaan
diri tidak berguna atau perasaan bersalah, berkurangnya kemampuan untuk
berkonsentrasi atau membuat keputusan, kelelahan, agitasi atau retardasi
psikomotor, insomnia atau hipersomnia, perubahan signifikan pada berat badan
atau selera makan, dan pemikiran berulang tentang kematian atau gagasan tentang
bunuh diri (American Psychiatric Association/APA, 2000).
2.2.2 Epidemiologi
Menurut White, Blazer, dan Fillenbaum (1990) dalam Blazer (2000),
gejala-gejala depresif lebih sering terjadi pada oldest old, yaitu lebih dari 20%
dibandingkan dengan kurang dari 10% pada young old. Tetapi frekuensi yang
lebih tinggi tersebut diterangkan oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan
penuaan, seperti proporsi wanita yang lebih tinggi, lebih banyak ketidakmampuan
fisik, lebih banyak gangguan kognitif, dan status sosioekonomik yang lebih
rendah. Ketika faktor-faktor tersebut terkontrol, tidak ada hubungan antara gejalagejala depresi dan usia.
Prevalensi depresi pada lansia berjenis kelamin wanita lebih tinggi. Alasan
untuk perbedaan ini meliputi perbedaan hormonal, efek-efek dari melahirkan,
perbedaan stressor psikososial, dan model-model perilaku dari learned
helplessness (Sadock & Sadock, 2007). Wanita memiliki risiko untuk depresi
lebih tinggi daripada pria, bahkan di masa tua (Gallo & Gonzales, 2001). Pada
penelitian oleh Schoever et al
sebesar 6,9% dan sebesar 16,5% pada wanita. Pada penelitian oleh Schoever
tersebut dapat dilihat pada subjek penelitian bahwa disabilitas fungsional lebih
sering terjadi pada wanita dan lebih banyak wanita yang tidak atau tidak lagi
menikah.
Dalam Hoyer & Roodin (2003) disebutkan bahwa angka depresi per tahun
paling rendah pada mereka yang menikah yaitu sebesar 1,5%. Angka depresi
tertinggi terdapat mereka yang telah bercerai sebanyak 2 kali, yaitu sebesar 5,8%.
Angka depresi pada mereka yang bercerai satu kali adalah 4,1% sedangkan
mereka yang tidak pernah menikah memiliki angka depresi tahunan sebesar 2,4%.
Dalam Gallo dan Gonzales (2001) disebutkan bahwa angka depresi pada
pasien lansia dengan penyakit medis serius adalah lebih tinggi. Depresi dialami
oleh sekitar 40% pasien dengan stroke, 35% pasien dengan kanker, 25% pasien
dengan penyakit Parkinson, 20% pasien dengan penyakit kardiovaskular, dan 10%
pasien dengan diabetes.
2.2.3
Etiologi
Etiologi diajukan para ahli mengenai depresi pada usia lanjut (Damping,
2003) adalah:
1. Polifarmasi
Terdapat beberapa golongan obat yang dapat menimbulkan depresi,
antara lain: analgetika, obat antiinflamasi nonsteroid, antihipertensi,
antipsikotik, antikanker, ansiolitika, dan lain-lain.
2. Kondisi medis umum
beberapa
penelitian
juga
ditemukan
adanya
perubahan
depresi. Kegiatan religius dihubungkan dengan depresi yang lebih rendah pada
lansia di Eropa. Religious coping berhubungan dengan kesehatan emosional
dan fisik yang lebih baik. Religious coping berhubungan dengan berkurangnya
gejala-gejala depresif tertentu, yaitu kehilangan ketertarikan, perasaan tidak
berguna, penarikan diri dari interaksi sosial, kehilangan harapan, dan gejala-gejala
kognitif lain pada depresi (Blazer, 2003).
2.2.4
Gambaran Klinik
Ciri-ciri pokok untuk episode depresif mayor adalah suatu periode paling
sedikit 2 minggu yang mana selama masa tersebut terdapat mood terdepresi atau
kehilangan ketertarikan atau kesenangan dalam hampir semua aktivitas. Individu
dengan depresi juga harus mengalami paling sedikit empat gejala tambahan yang
ditarik dari suatu daftar yang meliputi perubahan-perubahan dalam nafsu makan
atau berat badan, tidur, dan aktivitas psikomotorik; energi yang berkurang;
perasaan tidak berharga atau bersalah; kesulitan dalam berpikir, berkonsentrasi,
atau membuat keputusan; atau pemikiran-pemikiran berulang tentang kematian
atau pemikiran, rencana-rencana, atau usaha untuk bunuh diri (American
Psychiatric Association).
Dalam Gallo & Gonzales (2001) disebutkan gejala-gejala depresi lain pada
lanjut usia:
1. kecemasan dan kekhawatiran
2. keputusasaan dan keadaan tidak berdaya
3. masalah-masalah somatik yang tidak dapat dijelaskan
4. iritabilitas
5. kepatuhan yang rendah terhadap terapi medis atau diet
6. psikosis
Manifestasi depresi pada lansia berbeda dengan depresi pada pasien yang
lebih muda. Gejala-gejala depresi sering berbaur dengan keluhan somatik.
Keluhan somatik cenderung lebih dominan dibandingkan dengan mood depresi.
Gejala fisik yang dapat menyertai depresi dapat bermacam-macam seperti sakit
kepala, berdebar-debar, sakit pinggang, gangguan gastrointestinal, dan sebagainya
2.2.5
Pada
depresi
timbul
ketidakseimbangan
hormonal
yang
dapat
Skrining depresi pada lansia pada layanan kesehatan primer sangat penting.
Hal ini penting karena frekuensi depresi dan adanya gagasan untuk bunuh diri
pada lansia adalah tinggi (Blazer, 2003). Skrining juga perlu dilakukan untuk
membantu edukasi pasien dan pemberi perawatan tentang depresi, dan untuk
mengikuti perjalanan gejala-gejala depresi seiring dengan waktu (Gallo &
Gonzales, 2001). Skrining tidak ditujukan untuk membuat diagnosis depresi
(Holroyd dan Clayton, 2002), namun kedua instrumen inilah yang paling sering
digunakan (Blazer, 2000).
Geriatric Depression Scale terdiri dari 30 pertanyaan yang dirancang
sebagai suatu self-administered test, walaupun telah digunakan juga dalam format
observer-administered test. Geriatric Depression Scale dirancang untuk
mengeliminasi hal-hal somatik, seperti gangguan tidur yang mungkin tidak
spesifik untuk depresi pada lansia (Gallo & Gonzales, 2001). Skor 11 pada GDS
mengindikasikan adanya depresi yang signifikan secara klinis, dengan nilai
sensitivitas 90,11 % dan nilai spesifisitas 83,67% (Nasrun, 2009). Terdapat juga
GDS versi pendek yang terdiri dari 15 pertanyaan saja. Pada GDS versi pendek
ini, skor 5 atau lebih mengindikasikan depresi yang signifikan secara klinis.
Geriatric Depression Scale menjadi tidak valid bila digunakan pada lansia
dengan gangguan kognitif. Status kognitif harus terlebih dahulu dinilai dengan
Mini Mental State Examination (MMSE), karena kemungkinan yang besar dari
komorbiditas depresi dan fungsi kognitif (Blazer, 2003).
Mini Mental State Examination adalah suatu skala terstruktur yang terdiri
dari 30 poin yang dikelompokkan menjadi tujuh kategori: orientasi tempat,
orientasi waktu, registrasi, atensi dan konsentrasi, mengingat kembali, bahasa, dan
konstruksi visual. Mini Mental State Examination didesain untuk mendeteksi dan
menjejaki kemajuan dari gangguan kognitif yang terkait dengan gangguan
neurodegenerative seperti penyakit Alzheimer. Mini Mental State Examination
telah terbukti merupakan instrumen yang valid dan sangat dapat dipercaya (Rush,
et al, 2000). Nilai MMSE 0-16 menunjukkan suatu definite gangguan kognitif.