Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
Rinitis alergi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE.1
Rinitis alergi terdapat pada lebih kurang 40 juta penduduk
amerika. Rinitis ditemukan di semua ras manusia, pada anak-anak lebih sering
terjadi terutama anak laki-laki. Memasuki usia dewasa, prevalensi laki-laki dan
perempuan sama. Insidensi tertinggi terdapat pada anak-anak dan dewasa
muda dengan rerata pada usia 8-11tahun, sekitar 80% kasus rinitis alergi
berkembang mulai dari usia 20 tahun. Insidensi rinitis alergi pada anak-anak
40% dan menurun sejalan dengan usia sehingga pada usia senja rinitis
alergi jarang ditemukan.2,3
Rhinitis alergi disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang
sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya
suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik
tersebut. Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas alergen inhalan, alergen
ingestan, alergen injektan dan alergen kontaktan.1
Rinitis alergika terjadi bilamana suatu antigen terhadap seorang pasien
telah mengalami sensitisasi, merangsang satu dari enam reseptor neurokimia
hidung, yaitu: reseptor histamine H1, adrenoreseptor-alfa, adrenoreseptor-beta2,
kolinoreseptor, reseptor histamine H2, dan reseptor iritan. Dari semua ini, yang
terpenting adalah reseptor histamine H1, dimana bila terserang oleh histamine
akan meningkatkan tahanan jalan nafas hidung, menyebabkan bersin-bersin, gatal
dan rinore.1
Rinitis alergi berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya,
penurunan kualitas tidur, produktifitas kerja, prestasi di sekolah, dan aktifitas
sosial.2 Rinitis alergi yang tidak mendapatkan pengobatan dapat menyebabkan
beberapa komplikasi perkembangan asma, polip hidung,otitis media efusi dan
sinusitis berulang.1
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Hidung
Hidung terdiri atas hidung bagian luar dan hidung bagian dalam. Hidung
bagian luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas. Struktur
hidung luar dibedakan atas tiga bagian meliputi kubah tulang yang tidak dapat
digerakkan, kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan dan lobulus hidung
yang mudah digerakkan. Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya
dari atas ke bawah meliputi pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum
nasi), puncak hidung (tip), ala nasi, kolumela, dan lubang hidung (nares
anterior).4 Hidung luar sangat bervariasi dalam hal ukuran dan bentuknya
terutama karena perbedaan pada tulang-tulang rawan hidung.5
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os
nasal), prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontal. Kerangka
tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian
bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang
kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor
dan tepi anterior kartilago septum.4,5
hidung dari nasofaring. Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan
dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi
kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan
disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.4 Nares posterior berbentuk oval
dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap nares posterior bagian
bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum, bagian dalam oleh os
vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh lamina
pterigoideus. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial,
lateral, inferior dan superior.4,8
Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang
dan tulang rawan. Bagian tulang meliputi lamina perpendikularis os etmoid,
vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang
rawan meliputi kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Septum
dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian
tulang, sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung.4,5
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os
maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian
dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina
pterigoideus medial. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar
dan letaknya paling bawah adalah konka inferior, kemudian yang lebih kecil
adalah konka media, lebih kecil lagi adalah konka superior dan yang paling kecil
adalah konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior
merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid,
sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin
etmoid. Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Terdapat tiga meatus yaitu, meatus inferior, medius dan
superior. Meatus inferior merupakan yang terbesar diantara ketiga meatus. Meatus
inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral
rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis yang
terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril.4,5
Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga
hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus
3
etmoid anterior. Meatus media merupakan celah yang lebih luas dibandingkan
dengan meatus superior. Di balik bagian anterior konka media yang letaknya
menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang
dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan
sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan
hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk
tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di
atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh
salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid
anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid
anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di
posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang
duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum.4,5
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit
antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel
etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa
ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan
korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno etmoidal, tempat bermuaranya sinus
sfenoid. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan
konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.4,5
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung yang dibentuk oleh
prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os palatum. Dinding superior
atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh kartilago lateralis superior dan
inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os
sfenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribriformis yang
memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis
merupakan lempeng tulang yang berasal dari os etmoid, tulang ini memiliki
lubang sebagai tempat masuknya serabut- serabut saraf olfaktorius yang berasal
dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum
nasi dan permukaan kranial konka superior. Di bagian posterior, atap rongga
hidung dibentuk oleh os sfenoid.4,5
Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri
atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan
4
sinus paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular
dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah
apeks prosesus zygomatikus os maksilla. Sinus paranasal adalah rongga-rongga di
dalam tulang kepala yang berisi udara yang berkembang dari dasar tengkorak
hingga bagian prosesus alveolaris dan bagian lateralnya berasal dari rongga
hidung hingga bagian inferomedial dari orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus
tersebut terbentuk oleh pseudostratified columnar epithelium yang berhubungan
melalui ostium dengan lapisan epitel dari rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi
sejumlah mukus yang dihasilkan oleh sel-sel goblet.4,8
sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke
infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka
media.4,5,8
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri ethmoidalis
anterior dan posterior sebagai cabang dari arteri oftalmika. Bagian bawah rongga
hidung mendapat pendarahan dari arteri maxilaris interna, diantaranya adalah
ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen
sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di
belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat
pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Pada bagian depan septum terdapat
anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri
labialis superior, dan arteri palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach.
Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma sehingga
sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak-anak.4
Vena-vena hidung memiliki nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena
oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak
mempunyai katup sehingga merupakan predisposisi untuk mudahnya penyebaran
infeksi sampai ke intrakranial.4
Rongga hidung bagian depan dan atas mendapat persarafan sensoris dari
nervus etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang
berasal dari nervus oftalmikus (N V1). Rongga hidung bagian lainnya sebagian
besar mendapat persarafan sensoris dari nervus maxilla melalui ganglion
sfenopalatina. Ganglion sfenopalatina selain memberikan persarafan sensoris juga
memberikan persarafan otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima
serabut saraf sensoris dari nervus maksilaris (N V2), serabut parasimpatis dari
nervus petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari nervus petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit diatas ujung
posterior konka media.4 Persarafan parasimpatis rongga hidung berasal dari
nervus nasalis posterior inferior & superior cabang dari ganglion sphenopalatina.
Persarafan simpatis berasal dari ganglion cervical superior. Efek persarafan
parasimpatis pada kavum nasi yaitu sekresi mukus dan vasodilatasi. Dalam
rongga hidung, terdapat serabut saraf pembau yang dilengkapi sel-sel pembau.
6
Setiap sel pembau memiliki rambut-rambut halus atau silia olfaktoria di ujungnya
dan selaput lendir meliputinya untuk melembabkan rongga hidung.8 Fungsi
penghidu atau pembau ini berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui
lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir
pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas
hidung.4
dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa
hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. Rinitis Alergika secara klinis
didefinisikan sebagai gangguan fungsi hidung, terjadi setelah paparan alergen
melalui peradangan mukosa hidung yang diperantarai IgE.1
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu: Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
biasa terjadi pada musim- musim tertentu , allergen penyebabnya spesifik yaitu
serbuk dan spora jamur, dan rinitis alergi sepanjang tahun (perennial) gejala pada
penyakit ini timbul intermiten atau terus menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat
ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan
terutama pada orang dewasa dan alergen ingestan sering pada anak- anak biasanya
disertai dengan gejala alergi yang lain seperti urtikaria, ganguaan pencernaan.1
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari
WHO Initiative Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma 2001 yaitu berdasarkan
sifat berlangsungnya dibagi menjadi: intermiten (kadang-kadang) bila gejala <4
hari tiap minggu atau <4 minggu, dan persisten (menetap) bila gejala >4 hari tiap
minggu atau >4 minggu. Sementara itu, klasifikasi menurut berat ringannya
penyakit, dibedakan menjadi: gejala ringan bila gejala rinitis tidak ditemukan
gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja,
dan hal-hal lain yang menganggu dan sedang-berat bila terdapat satu atau lebih
dari gangguan tersebut diatas. 1
serpihan epitel kulit binatang misalnya kucing dan anjing, rerumputan (Bermuda
grass) serta jamur (Aspergillus, Alternaria). Alergen ingestan yang masuk ke
saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang,
kepiting dan kacang-kacangan. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan
atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan lebah. Alergen kontaktan, yang
masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik,
perhiasan. Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran,
sehingga memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi
gejala asma bronkial dan rinitis alergi.1,2
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi
terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi
Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam
setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.1
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung
dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major
Histocompability Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th
0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti Interleukin 1 (IL 1) yang
akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2.1
Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL 4, IL 5 dan IL 13.
IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga
sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di
sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan
sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif.
Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi.
Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka
kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi atau
10
pecahnya dinding sel mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator
kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamin. Selain
histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2
(PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4(LT C4), bradikinin, Platelet
Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL 3, IL 4, IL 5, IL6, GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan berbagai mediator
lainnya. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).1,2
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Gatal pada
hidung dan bersin-bersin mewakili gejala karakteristik utama selain obstruksi
hidung dan rinore pada rinitis alergi. Mukosa hidung diinervasi oleh saraf
sensoris, simpatik dan parasimpatik. Transmisi sinyal saraf sensoris menghasilkan
sensasi gatal dan refleks motorik seperti bersin sedangkan refleks parasimpatis
dan simpatis mengatur sistem kelenjar dan vaskular. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).1
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini
tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai
puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan
jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan
mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan
Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1
pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah
akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major
Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain
faktor spesifik yaitu alergen, iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat
11
gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan
kelembapan udara yang tinggi.1
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air
mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama
pada anak-anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan
utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.1
2.5.2. Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau
livid disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa
inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila
fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap
di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi
hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak
menggosok-gosok hidung karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini
disebut allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah,
yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit
yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi
(facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema
(cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak
seperti gambaran peta (geographic tongue).1
2.5.3. Pemeriksaan Penunjang
In vitro :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian
pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) seringkali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu
macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronchial atau
urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi
atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih
bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Imuno Sorbent
Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan
sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna
sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin
13
2.6.2. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),
konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirka bila
konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.1
2.6.3. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang
berat dan sudah berlangsung lama, serta dengan pengobatan lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan
IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada dua metode imunoterapi yang
umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual.
2.7 Komplikasi Rinitis Alergi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah polip hidung. Beberapa peneliti
mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab
terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung. Komplikasi rinitis
alergi yang lain meliputi otitis media efusi yang sering residif, terutama pada
anak-anak dan sinusitis paranasal.1
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama
: HJ
Umur
: 45 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
Suku
: Bali
Bangsa
: Indonesia
16
Agama
: Islam
Tanggal Pemeriksaan
: 21 Mei 2015
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama: Pilek dan bersin-bersin
Pasien datang dengan keluhan pilek dan bersin-bersin sejak kurang lebih 5
tahun yang lalu. Bersin-bersin dikatakan lebih dari 5 kali sehari disertai keluar
ingus yang encer dan bening serta kadang-kadang sampai menyebabkan hidung
pasien tersumbat pada satu atau kedua lubang hidung. Pasien juga mengeluh
gatal-gatal pada hidung dan kedua matanya. Keluhan tersebut dirasakan hampir
setiap hari terutama pada saat pagi hari dan saat terkena debu. Pasien awalnya
memang tidak menghiraukan keluhan ini karena biasanya hilang sendiri setelah
beberapa jam. Tetapi karena keluhannya sangat mengganggu aktivitas, pasien
berulang kali pergi ke dokter dan akhirnya disarankan untuk melakukan
imunoterapi dua tahun yang lalu. Namun pasien tidak melanjutkan imunoterapi
tersebut. Keluhan muncul kembali sejak 1 bulan terakhir, keluhan ini dirasakan
sangat sering dan mengganggu membuat penderita tidak dapat berkonsentrasi
dengan baik sehingga mengganggu aktivitasnya sehari-hari. Kadang untuk
mengurangi keluhannya tersebut penderita minum obat flu yang dibelinya sendiri
disertai dengan istirahat, namun keluhannya akan dirasakan kembali terutama
pada saat terpapar debu seperti yang disebutkan diatas.
Tidak ada keluhan nyeri kepala dan daerah pipi, riwayat demam tidak ada.
Riwayat penyakit alergi makanan dan alergi obat disangkal pasien. Riwayat
penyakit asma dan dermatitis disangkal. Riwayat atopi pada keluarga disangkal.
Riwayat penyakit yang sama pada anggota keluarga yang lain disangkal oleh
penderita.
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status Present
Keadaan Umum
: Baik
Kesadaran
: Kompos mentis
Tekanan darah
: 120/70 mmHg
17
Nadi
: 80kali permenit
Respirasi
: 20 kali permenit
Temperatur aksila
: 36,5 C
BB
: 65 Kg
Status General
Kepala
: Normocephali
Mata
THT
Leher
: DBN
Thorak
: DBN
Abdomen
: DBN
Ekstremitas
: DBN
Status THT
Telinga:
- Daun telinga : normal / normal
- Liang Telinga : Lapang, hiperemi (-),/ Lapang, hiperemi (-)
- Discharge : -/- Membrane timpani : intak / intak
- Tumor : -/- Mastoid : ND
- Tes pendengaran : ND
Hidung :
- Hidung luar : normal / normal
- Kavum nasi : lapang / sempit
- Septum nasi : deviasi (-)
- Discharge : serous/serous
- Mukosa : pucat/pucat
- Tumor : -/- Konka : dekongesti/kongesti
- Sinus : nyeri tekan sinus (-)
- Koana : ND
- Naso endoskopi : ND
18
Tenggorok :
- Dispneu : (-)
- Sianosis : (-)
- Stridor : (-)
- Suara : normal
- Mukosa : merah muda
- Tonsil : T1/T1, hiperemi (-), permukaan rata
- Dinding belakang : normal
Laring : (ND)
Kelenjar limfe leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Hasil Tes Alergi (Prick Test)
3.4 Resume
Pasien laki-laki 45 tahun, suku Bali, agama islam dan bekerja sebagai
wiraswasta mengeluh pilek dan bersin-bersin sejak kurang lebih 5 tahun yang lalu.
Bersin-bersin dikatakan lebih dari 5 kali sehari disertai keluar ingus yang encer
dan bening serta kadang-kadang sampai menyebabkan hidung pasien tersumbat
pada satu atau kedua lubang hidung. Pasien juga mengeluh gatal-gatal pada
hidung dan kedua matanya. Pasien memiliki riwayat melakukan imunoterapi dua
tahun yang lalu. Namun pasien tidak melanjutkan imunoterapi tersebut. Keluhan
muncul kembali sejak 1 bulan terakhir. Tidak ada keluhan nyeri kepala dan
daerah pipi, riwayat demam tidak ada. Riwayat penyakit alergi makanan dan
alergi obat disangkal pasien. Riwayat penyakit asma dan dermatitis disangkal.
Riwayat atopi pada keluarga disangkal. Riwayat penyakit yang sama pada anggota
keluarga yang lain disangkal oleh penderita.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan status present normal, status general
dalam batas normal dan pada status lokalis THT didapatkan telinga dalam batas
normal yaitu membran timpani kanan dan kiri intak, serumen (-), MAE lapang.
19
Tenggorokan dalam batas normal ditunjukkan dengan tonsil T1/T1 hiperemi (-),
permukaan rata. Sedangkan pada hidung ditemukan kavum nasi lapang/sempit,
discharge serous, mukosa pucat, konka dekongesti/kongesti.
Berdasarkan hasil tes alergi (Prick Test) pasien mempunyai alergi terhadap
houst dust (+3), human dander (+3), mite culture (+2), bandeng (+1), udang (+2),
dan kepiting (+1).
3.5 Diagnosis Kerja
Rinitis Alergi
3.6 Penatalaksanaan
1. Loratadin 1x10 mg i.o
2. Imunoterapi dengan L1 dosis 0,20 cc.
3. KIE
Hindari kontak dengan alergen yang diduga sebagai penyebab, terutama
yang sering kontak adalah debu rumah dengan cara membersihkan rumah
secara teratur dengan masker. Penderita disarankan juga memakai jaket
pada udara dingin dan bila bepergian jauh.
Untuk meningkatkan daya tahan tubuh penderita disarankan untuk
berolahraga teratur, makan makanan bergizi dan istirahat yang cukup.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien ini di diagnosa rinitis alergi karena dari anamnesa pasien mengeluh
bersin-bersin lebih dari 5 kali pada saat serangan, keluar ingus banyak bening,
encer seperti air dan tidak berbau. hidung tersumbat di kedua sisi dan disertai
gatal pada hidung. Keluhan akan muncul jika berada di udara yang banyak debu.
Keluhan yang dialami sangat menggangu pernafasan dan kenyamanan pasien. Hal
ini sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa gejala rinitis alergi yang
khas adalah terdapatnya serangan bersin berulang. Bersin ini terutama merupakan
gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya
histamin. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
20
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang juga dikeluhkan oleh pasien. Pasien sudah
berobat ke dokter berulang kali. Kejadiannya hilang timbul. Tidak ada riwayat
atopi, tidak ada keluhan pada telinga, ataupun pada faring sehingga dapat
disimpulkan pasien tidak mengalami komplikasi. Dari pemeriksaan fisik status
general dalam batas normal. Pada pemeriksaan THT ditemukan pada telinga kesan
tenang, tenggorok kesan tenang. Pada hidung kavum nasi lapang/sempit,
discharge serous, mukosa pucat, konka dekongesti/kongesti. Temuan ini sesuai
dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa ketika dilakukan rinoskopi anterior
akan tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya
secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi.
Penatalaksanaan pada pasien ini meliputi loratadin 1x10 mg per oral.
Loratadin merupakan antihistamin generasi 2 yang bersifat lipofobik sehingga
sulit menembus sawar darah otak. Antihistamin ini bersifat selektif mengikat
reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan
efek pada SSP minimal (non-sedatif). Loratadin memiliki onset satu sampai tiga
jam dan memiliki durasi kerja yang panjang yaitu lebih dari 24 jam. Loratadin
diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi
gejala pada respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif
untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat.
Imunoterapi diberikan pada pasien ini dengan L1 dosis 0,20 cc karena
hasil tes alergi cenderung house dust. Imunoterapi diberikan pada pasien dengan
alergi inhalan yang memiliki gejala berat dan sudah berlangsung lama, serta
dengan pengobatan lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari
imunoterapi adalah pembentukan IgG blocking antibody dan penurunan IgE.
Pasien diberikan saran untuk menghindari kontak dengan alergen yang
diduga sebagai penyebab, terutama yang sering kontak adalah debu rumah dengan
cara membersihkan rumah secara teratur dengan masker. Penderita disarankan
juga memakai jaket pada udara dingin dan bila bepergian jauh. Untuk
meningkatkan daya tahan tubuh penderita disarankan untuk berolahraga teratur,
makan makanan bergizi dan istirahat yang cukup.
21
BAB V
SIMPULAN
Rinitis alergi merupakan proses inflamasi mukosa hidung dengan
sekumpulan gejala terdiri dari bersin, hidung tersumbat, gatal pada hidung, dan
keluar cairan dari hidung. Penyakit ini timbul pada semua golongan umur, tetapi
frekuensi terbanyak yaitu anak-anak dan dewasa muda.
Penyebab rinitis alergi adalah semua zat yang berperan sebagai alergen
pada seorang individu. Zat-zat yang menimbulkan alergi pada seorang penderita
belum tentu menimbulkan alergi pada orang lain. Selain itu, macam alergen dapat
merangsang lebih dari satu macam organ.
Mekanisme terjadinya rinitis alergi merupakan reaksi antigen antibodi
pada kontak kedua menyebabkan terjadinya degranulasi sel mediator, yang
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. 2012. Rinitis Alergi. Dalam
Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI. Hal 106-111.
2. Small P, Kim H. 2011. Allergic Rhinitis. Asthma and clinical immunology,
7 (Suppl 1):53.
3. Ethical Diggest-Semijurnal Farmasi dan Kedokteran. Diagnosis Rinitis
Alergika. Diunduh dari: http://physalin.blogspot.com . Akses: 20 Mei
2015.
4. Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. 2012. Sumbatan Hidung.
Dalam Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar
23
dari:
http://3.bp.blogspot.com/-
xqrwoufa1dq/tyskowqwxji/aaaaaaaadgy/gkc7mrsdazu/s1600/New+Picture
+%285%29.png. Akses: 21 Mei 2015.
8. Oliver P, Raap P, Holz M, Hormann K, Klimek L. Pathophisiology of
Itching and Sneezing in Allergic Rhinitis. Dept of Otorhinolaryngology,
University Hospital Mannheim, Germany. Article. Swiss Med Wkly 2009;
139 (3-4). p 35-40.
9. Anatomi sinus paranasal.
Diunduh
dari:
http://ausfp.com/wp-
dari:
https://sandurezu.files.wordpress.com/2014/07/071914_0253_rinosinusit3.
jpg%3Fw%3D1024. Akses: 21 Mei 2015.
11. Anatomi Perdarahan Hidung. Diunduh dari: http://1.bp.blogspot.com/2d3og1jqecw/ticyawptori/aaaaaaaaaci/ehchtcqdqwi/s320/AnatomiPembuluh-Darah-Septum-Hidung.jpg. Akses: 21 Mei 2015.
12. Anatomi
Persarafan
Hidung.
Diunduh
dari:
http://biologimediacentre.com/wpcontent/uploads/2011/03/olfactory_nerve-to-brain.jpg. Akses:
2015.
13. Mekanisme
Imunologik
pada
Rinitis
Alergi.
21
Diunduh
Mei
dari:
http://1.bp.blogspot.com/8azm1qvyduy/udz8r41zf6i/aaaaaaaaaei/4ngifulm
b_i/s1600/Picture1.jpg. Akses: 21 Mei 2015.
24