Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Persalinan Sectio Caesarea


Istilah sectio caesarea berasal dari bahasa Latin, caedere, yang artinya
memotong. Pengertian ini semula dijumpai dalam Roman Law dan Emperors
Law yaitu undang-undang yag mengkhendaki supaya janin dalam kandungan
ibu-ibu yang meninggal harus dikeluarkan dari dalam rahim. Jadi sectio
caesarea tidak ada hubungannya dengan Julius Caesar (Mochtar, 1998).
Sectio caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat
sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut atau vagina
(Mochtar, 1998).
Indikasi dilakukannya sectio caesarea adalah (Mochtar, 1998):
1. Plasenta previa sentralis dan lateralis
2. Panggul sempit
3. Disproporsi sefalo-pelvik
4. Ruptura uteri mengancam
5. Partus lama (prolonged labor)
6. Partus tak maju (obstructed labor)
7. Distosia serviks
8. Preeklampsi dan hipertensi
9. Malpresentasi janin:
Letak lintang
Letak bokong, apabila terdapat panggul sempit, primigravida (hamil untuk
pertama kali), janin besar.
Presentasi dahi dan muka (letak defleksi) bila reposisi dan cara lain tak
berhasil
Gemelli (kehamilan multipel), apabila janin pertama letak lintang atau
presentasi bahu, terjadi interlock, gawat janin.

2.2.

Preeklampsia dan Eklampsia


Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai proyeinuria dan
edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah
persalinan. Eklampsia adalah preeklampsia yang disertai kejang dan atau
koma yang timbul bukan akibat kelainan neurologi. Pada preeklampsia berat,
persalinan harus terjadi dalam 24jam, sedangkan paa eklampsia dalam 6 jam
sejak gejala eklampsia timbul. Jika terjadi gawat janin atau persalinan tidak
dapat terjadi dalam 12 jam(pada eklampsia), lakukan seksio sesaria.
Superimposed preeklampsia-eklampsia adalah timbulnya preeklampsia
pada pasien yang menderita hipertensi kronik. Pada preeklampsia terjadi
spasmus pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air. Pada biopsi
ginjal ditemukan spasmus yang hebat dari arteriola glomerulus. Pada beberapa
kasus lumen arterioala sedemikian sempitnya sehingga hanya dapat dilalui
oleh satu sel darah merah. Jadi jika semua arteriola dalam tubuh mengalami
spasmus, maka tekanan darah dengan sendirinya akan naik sebagai usaha
untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer agar oksigenasi jaringan dapat
dicukupi. Sedangkan kenaikan berat badan dan edema yang disebabkan
penimbunan air yang berlebihan dalam ruangan interstisial belum diketahui
sebabnya, mungkin disebabkan oleh retensi air dan garam.proteinuria mungkin
disebabkan oleh spasmus arteriola sehingga terjadi perubahan glomerulus.
Jika seksio sesaria akan dilakukan, perhatikan bahwa :
1. Tidak terdapat koagulopati (koagulopati kontraindikasi anestesi spinal).
2. Anestesi yang aman/terpilih adalah anestesi umum untuk eklampsia dan
spinal untuk PEB. Dilakukan anestesi lokal, bila ririko anestesi terlalu
tinggi.

2.3.

Anestesi Spinal
1.

Definisi
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan
tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid.
Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai blok spinal intradural
atau blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan

obat analgesik lokal ke dalam ruang subarachnoid di daerah antara


vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.
2.

Mekanisme Kerja Anestesi Regional


Zat anestesi lokal memberikan efek terhadap semua sel tubuh,
dimana tempat kerjanya khususnya pada jaringan saraf. Penggunaan
pada daerah meradang tidak akan memberi hasil yang memuaskan oleh
karena meningkatnya keasaman jaringan yang mengalami peradangan
sehingga akan menurunkan aktifitas dari zat anestesi lokal (pH sekitar
5).
Anestesi lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls
saraf, efeknya pada aksoplasma hanya sedikit saja. Sebagaimana
diketahui, potensial aksi saraf terjadi karena adanya peningkatan sesaat
(sekilas) pada permeabilitas membran terhadap ion Na akibat
depolarisasi ringan pada membran. Proses inilah yang dihambat oleh
obat anestesi lokal dengan kanal Na+ yang peka terhadap perubahan
voltase muatan listrik (voltase sensitive Na+ channels). Dengan
bertambahnya efek anestesi lokal di dalam saraf, maka ambang
rangsang membran akan meningkat secara bertahap, kecepatan
peningkatan potensial aksi menurun, konduksi impuls melambat dan
faktor pengaman (safety factor) konduksi saraf juga berkurang. Faktorfaktor ini akan mengakibatkan penurunan kemungkinan menjalarnya
potensial aksi, dan dengan demikian mengakibatkan kegagalan
konduksi saraf. Ada kemungkinan zat anestesi lokal meninggikan
tegangan permukaan lapisan lipid yang merupakan membran sel saraf,
sehingga terjadi penutupan saluran (channel) pada membran tersebut
sehingga gerakan ion (ionik shift) melalui membran akan terhambat.
Zat anestesi lokal akan menghambat perpindahan natrium dengan aksi
ganda pada membran sel berupa :
1.

Aksi kerja langsung pada reseptor dalam saluran natrium.

Cara ini akan terjadi sumbatan pada saluran, sehingga natrium tak
dapat keluar masuk membran. Aksi ini merupakan hampir 90% dari
efek blok. Percobaan dari Hille menegaskan bahwa reseptor untuk
kerja obat anestesi lokal terletak di dalam saluran natrium.
5

2. Ekspansi membran.
Bekerja non spesifik, sebagai kebalikan dari interaksi antara obat dengan
reseptor. Aksi ini analog dengan stabilisasi listrik yang dihasilkan oleh zat nonpolar lemak misalnya barbiturat, anestesi umum dan benzocaine.
Untuk dapat melakukan aksinya, obat anestesi lokal pertama kali harus dapat
menembus jaringan, dimana bentuk kation adalah bentuk yang diperlukan untuk
melaksanakan kerja obat di membran sel. Jadi bentuk kation yang bergabung
dengan reseptor di membran sel yang mencegah timbulnya potensial aksi. Agar
dapat melakukan aksinya, obat anestesi spinal pertama kali harus menembus
jaringan sekitarnya.
3. Teknik Anestesi Spinal
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja
operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
menyebarnya obat. Adapun langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal
adalah sebagai berikut :
1.

Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus.


Beri bantal kepala, selain nyaman untuk pasien juga supaya tulang belakang
stabil. Buat pasien membungkuk maksimal agar processus spinosus mudah
teraba. Posisi lain adalah duduk.

2.

Penusukan jarum spinal dapat dilakukan pada L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan
pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.

3.

Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.

4.

Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3
ml.

5.

Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G,
25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G
dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit
10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal,
kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum
tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum
(bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring
6

bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor


yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi
menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit
berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda
yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar
arah jarum 90 biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat
dimasukan kateter.
6.

Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid
(wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa
6cm.

4. Indikasi Anestesi Spinal


Adapun indikasi untuk dilakukannya anestesi spinal adalah untuk pembedahan
daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah papila mammae ke
bawah). Anestesi spinal ini digunakan pada hampir semua operasi abdomen bagian
bawah (termasuk seksio sesaria), perineum dan kaki.
5. Kontraindikasi
Pada Anestesi spinal terdapat kontraindikasi absolut dan relatif. Kontraindikasi
Absolut diantaranya penolakan pasien, infeksi pada tempat suntikan, hipovolemia,
penyakit neurologis yang tidak diketahui, koagulopati, dan peningkatan tekanan
intrakanial,

kecuali

pada

kasus-kasus pseudotumor

cerebri.

Sedangkan
7

kontraindikasi relatif meliputi

sepsis pada

tempat

tusukan

(misalnya,

infeksi ekstremitas korioamnionitis atau lebih rendah) dan lama operasi yang tidak
diketahui. Dalam beberapa kasus, jika pasien mendapat terapi antibiotik dan tandatanda vital stabil, anestesi spinal dapat dipertimbangkan, sebelum melakukan
anestesi spinal, ahli anestesi harus memeriksa kembali pasien untuk mencari
adanya tanda-tanda infeksi, yang dapat meningkatkan risiko meningitis.
Syok hipovolemia pra operatif dapat meningkatkan risiko hipotensi setelah
pemberian anestesi spinal. Tekanan intrakranial yang tinggi juga dapat
meningkatkan risiko herniasi uncus ketika cairan serebrospinal keluar melalui
jarum, jika tekanan intrakranial meningkat. Setelah injeksi anestesi spinal, herniasi
otak dapat terjadi.
Kelainan koagulasi dapat meningkatkan resiko pembentukan hematoma, hal
ini penting untuk menentukan jumlah waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan
operasi sebelum melakukan induksi anestesi spinal. Jika durasi operasi tidak
diketahui, anestesi spinal yang diberikan mungkin tidak cukup panjang untuk
menyelesaikan operasi dengan mengetahui durasi operasi membantu ahli anestesi
menentukan anestesi lokal yang akan digunakan, penambahan terapi spinal seperti
epinefrin dan apakah kateter spinal akan diperlukan.
Pertimbangan lain saat melakukan anestesi spinal adalah tempat operasi,
karena operasi diatas umbilikus akan sulit untuk menutup dengan tulang belakang
sebagai teknik tunggal. Anestesi spinal pada pasien dengan penyakit neurologis
seperti multiple sclerosis masih kontroversial karena dalam percobaan in vitro
didapatkan bahwa saraf demielinisasi lebih rentan terhadap toksisitas obat bius
lokal.
Penyakit jantung yang level sensorik di atas T6 merupakan kontraindikasi
relatif terhadap anestesi spinal seperti pada stenosis aorta, dianggap sebagai
kontraindikasi mutlak untuk anestesi spinal, sekarang mungkin menggabungkan
pembiusan spinal dilakukan dengan hati-hati, dalam perawatan anestesi mereka
deformitas

dari

kolumna

spinalis

dapat

meningkatkan

kesulitan

dalam

menempatkan anestesi spinal. Arthritis, kyphoscoliosis, dan operasi fusi lumbal


dalam kemampuan dokter anestesi untuk performa anestesi spinal. Hal ini penting
untuk memeriksa kembali pasien untuk menentukan kelainan apapun pada anatomi
sebelum mencoba anestesi spinal.
8

6. Komplikasi
Komplikasi

analgesia

spinal

dibagi

menjadi

komplikasi dini dan

komplikasi lambat. Komplikasi berupa gangguan pada sirkulasi, respirasi dan


gastrointestinal.
a.

Komplikasi sirkulasi :

1.

Hipotensi
Tekanan darah yang turun setelah anestesi spinal sering terjadi. Biasanya

terjadinya pada 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah perlu
diukur setiap 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah perlu
diukur setiap 2 menit selama periode ini. Jika tekanan darah sistolik turun
dibawah 75 mmHg (10 kPa), atau terdapat gejala-gejala penurunan tekanan darah,
maka kita harus bertindak cepat untuk menghindari cedera pada ginjal, jantung
dan otak. Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, makin tinggi
blok makin berat hipotensi.
Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan kristaloid
(NaCl, Ringer laktat) secara cepat segera setelah penyuntikan anestesi spinal dan
juga berikan oksigen. Bila dengan cairan infus cepat tersebut masih terjadi
hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti efedrin 15-25 mg
intramuskular. Jarang terjadi, blok spinal total dengan anestesi dan paralisis
seluruh tubuh. Pada kasus demikian, kita harus melakukan intubasi dan
melakukan ventilasi paru, serta berikan penanganan seperti pada hipotensi berat.
Dengan cara ini, biasanya blok spinal total dapat diatasi dalam 2 jam.
2. Bradikardia
Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau karena blok
simpatis. Jika denyut jantung di bawah 65 kali per menit, berikan atropin 0,5 mg
intravena.
3. Sakit Kepala
Sakit kepala pasca operasi merupakan salah satu komplikasi anestesi spinal
yang sering terjadi. Sakit kepala akibat anestesi spinal biasanya akan memburuk
bila pasien duduk atau berdiri dan hilang bila pasien berbaring. Sakit kepala
9

biasanya pada daerah frontal atau oksipital dan tidak ada hubungannya dengan
kekakuan leher. Hal ini disebabkan oleh hilangnya cairan serebrospinal dari otak
melalui pungsi dura, makin besar lubang, makin besar kemungkinan terjadinya
sakit kepala. Ini dapat dicegah dengan membiarkan pasien berbaring secara datar
(boleh menggunakan satu bantal) selama 24 jam.
4. Komplikasi Respirasi
a)

Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi

paru-paru normal.
b)

Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal

tinggi.
c)

Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena

hipotensi berat dan iskemia medulla.


d)

Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas, merupakan tanda-

tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan pernafasan
buatan.
5. Komplikasi gastrointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis berlebihan,
pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus gastrointestinal serta
komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi lumbal merupakan nyeri kepala
dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak.
Mulai terasa pada 24-48 jam pasca pungsi lumbal, dengan kekerapan yang bervariasi.
Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan meningkat.
MEDIKASI
1. Ondansentron
Farmakodinamik : bekerja sebagai selektif antagonis reseptor serotonin yang
ketiga (5HT3) pada CTZ (Chemoreseptor Trigger Zone) dan aferen vagal saluran
cerna, dengan cara menghambat terjadinya ikatan antara serotonin (5HT) dengan
reseptor serotonin yang ketiga (5HT3).

10

Indikasi : CINV ( Chemotherapy Induced Nausea and Vomiting), RINV


( Radiotherapy Induced Nausea and Vomiting), dan PONV (Post Operative

Nausea and Vomiting).


Kontraindikasi : hipersensirif terhadap ondansentron.

2. Bupivacain
Farmakodinamik: menghambat pembentukan dan penjalaran impuls saraf dengan
meningkatkan ambang eksitasi elektrik dalam saraf, memperlambat penyebaran

impuls saraf, dan mengurangi kecepatan bangkitan aksi potensial.


Farmakokinetik : setelah injeksi bupivacaine untuk blok kaudal, epidural atau
saraf perifer pada manusia, kadar puncak bupivacaine dalam darah dicapai dalam
30-45 menit, diikuti oleh penurunan kadar sampai kadar tidak bermakna selama
3-6 jam kemudian. Anestetik lokal didistribusi luas ke seluruh jaringan tubuh,
konsentrasi tinggi ditemukan pada organ dengan perfusi tinggi seperti hati, paru,
jantung dan otak. Ginjal adalah organ ekskresi utama untuk kebanyakan anestetik
lokal dan metabolitnya. Ekskresi melalui urin dipengaruhi oleh perfusi renal dan
faktor-faktor yang mempengaruhi pH urin. Hanya 5% dari bupivacaine yang

diekskresi dalam urin dalam bentuk asal.


Indikasi : Anestesi lokal atau regional dan sebagai analgesia pada pembedahan

(bedah mulut, terapi dan diagnostik, serta prosedur obstetrik).


Kontraindikasi : Anestesia blok paraservikal obstetri, anestesia regional intravena,
pasien dengan hipersensitivitas terhadap bupivacaine atau anestetik lokal
golongan amida lainnya atau komponen lain dari larutan Buvanest

3. Efedrin
Farmkodinamik : suatu amin simpatomimetik yang bekerja melalui efek langsung
pada reseptor alfa dan reseptor beta di jantung yang menyebabkan vasokontriksi
perifer dan efek inotropik positif pada jantung serta dilatasi koroner. Hal ini

meningkatkan tekanan darah sistemik dan aliran darah koroner.


Indikasi : untuk mengontrol tekanan darah pada keadaan hipotensi akut.
Kontraindikasi : pasien hipotensi karena kekurangan volume darah, kecuali dalam
keadaan emergensi untuk mempertahankan perfusi arteri koroner dan serebral

sampai terapi penggantian volume dapat diberikan.


4. Oksitosin
Merupakan oksitosika utama yang dipakai dalam pencegahan dan penanganan
perdarahan pascasalin, diberikan pada saat penanganan aktif kala tiga sebagai sebuah
tindakan preventif. Oksitosin mengungguli uterotoika lainnya karena efeknya yang
11

sangat cepat. Keseimbangan cairan masuk dan keluar harus diperhatikan agar tidak
terjadi overload cairan yang bisa mengakibatkan edema paru dan otak yang bisa
mengakibat kejang dan bisa berakibat fatal. Hal ini disebabkan karena oksitosin
bersifat antidiuretik sehingga menyebabkan retensi cairan dalam tubuh.
5. Ketorolac
Farmakodinamik : analgesik non-narkotik dan anti-inflamasi nonsteroid yang
menunjukkan aktivitas antipiretik yang lemah dan anti-inflamasi serta
menghambat sintesis prostaglandin dan dapat dianggap sebagai analgesik yang

bekerja perifer karena tidak mempunyai efek terhadap reseptor opiat.


Farmakokinetik : diserap dengan cepat dan lengkap setelah pemberian
intramuskular dengan konsentrasi puncak rata-rata dalam plasma sebesar 2,2
mcg/ml setelah 50 menit pemberian dosis tunggal 30 mg. Waktu paruh terminal
plasma 5,3 jam pada dewasa muda dan 7 jam pada orang lanjut usia (usia ratarata 72 tahun). Ketorolac dan metabolitnya (konjugat dan metabolit para-hidroksi)
ditemukan dalam urin (rata-rata 91,4%) dan sisanya (rata-rata 6,1%) diekskresi

dalam feses.
Indikasi : nyeri akut sedang sampai rendah pada setelah dilakukan pembedahan
Kontraindikasi :
o Pasien yang sebelumnya pernah mengalami alergi dengan obat ini, karena ada
kemungkinan sensitivitas silang.
o Pasien yang menunjukkan manifestasi alergi serius akibat pemberian Asetosal
atau obat anti-inflamasi nonsteroid lain.
o Pasien yang menderita ulkus peptikum aktif, penyakit serebrovaskular,
gangguan koagulasi, sindrom polip nasal lengkap atau parsial, angioedema
atau bronkospasme.
o Terapi bersamaan dengan ASA dan NSAID lain.
o Hipovolemia akibat dehidrasi, gangguan ginjal derajat sedang sampai berat
(kreatinin serum >160 mmol/L).
o Riwayat asma.
o Pasien pasca operasi dengan risiko tinggi terjadi perdarahan atau hemostasis
inkomplit, pasien dengan antikoagulan termasuk Heparin dosis rendah (2.500

5.000 unit setiap 12 jam).


o Terapi bersamaan dengan Ospentyfilline, Probenecid atau garam lithium.
o Selama kehamilan, persalinan, melahirkan atau laktasi.
o Anak < 16 tahun.
6. Metilergonovin maleat atau ergometrin
Alkaloida ergot yang menghasilkan kontraksi tetanik dalam 5 menit setelah
pemberian intramuskular. Dosisnya adalah 0,25 mg yang dapat diulang tiap 5 menit
12

sampai dosis maksimal 1,25 mg. Obat ini juga bisa diberikan secara intramiometrial
atau intrvena dengan dosis 0,125 mg. Obat ini menyebabkan vasospasme perifer dan
dapat mengakibatkan kenaikan tekanan darah sehingga metilergonovin tidak boleh
diberikan pada pasien hipertensi. Obat ini juga dapat menyebabkan rasa mual dan
muntah

13

Anda mungkin juga menyukai