TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
2.2.
2.3.
Anestesi Spinal
1.
Definisi
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan
tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid.
Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai blok spinal intradural
atau blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan
Cara ini akan terjadi sumbatan pada saluran, sehingga natrium tak
dapat keluar masuk membran. Aksi ini merupakan hampir 90% dari
efek blok. Percobaan dari Hille menegaskan bahwa reseptor untuk
kerja obat anestesi lokal terletak di dalam saluran natrium.
5
2. Ekspansi membran.
Bekerja non spesifik, sebagai kebalikan dari interaksi antara obat dengan
reseptor. Aksi ini analog dengan stabilisasi listrik yang dihasilkan oleh zat nonpolar lemak misalnya barbiturat, anestesi umum dan benzocaine.
Untuk dapat melakukan aksinya, obat anestesi lokal pertama kali harus dapat
menembus jaringan, dimana bentuk kation adalah bentuk yang diperlukan untuk
melaksanakan kerja obat di membran sel. Jadi bentuk kation yang bergabung
dengan reseptor di membran sel yang mencegah timbulnya potensial aksi. Agar
dapat melakukan aksinya, obat anestesi spinal pertama kali harus menembus
jaringan sekitarnya.
3. Teknik Anestesi Spinal
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja
operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
menyebarnya obat. Adapun langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal
adalah sebagai berikut :
1.
2.
Penusukan jarum spinal dapat dilakukan pada L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan
pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
3.
4.
Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3
ml.
5.
Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G,
25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G
dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit
10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal,
kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum
tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum
(bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring
6
Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid
(wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa
6cm.
kecuali
pada
kasus-kasus pseudotumor
cerebri.
Sedangkan
7
sepsis pada
tempat
tusukan
(misalnya,
infeksi ekstremitas korioamnionitis atau lebih rendah) dan lama operasi yang tidak
diketahui. Dalam beberapa kasus, jika pasien mendapat terapi antibiotik dan tandatanda vital stabil, anestesi spinal dapat dipertimbangkan, sebelum melakukan
anestesi spinal, ahli anestesi harus memeriksa kembali pasien untuk mencari
adanya tanda-tanda infeksi, yang dapat meningkatkan risiko meningitis.
Syok hipovolemia pra operatif dapat meningkatkan risiko hipotensi setelah
pemberian anestesi spinal. Tekanan intrakranial yang tinggi juga dapat
meningkatkan risiko herniasi uncus ketika cairan serebrospinal keluar melalui
jarum, jika tekanan intrakranial meningkat. Setelah injeksi anestesi spinal, herniasi
otak dapat terjadi.
Kelainan koagulasi dapat meningkatkan resiko pembentukan hematoma, hal
ini penting untuk menentukan jumlah waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan
operasi sebelum melakukan induksi anestesi spinal. Jika durasi operasi tidak
diketahui, anestesi spinal yang diberikan mungkin tidak cukup panjang untuk
menyelesaikan operasi dengan mengetahui durasi operasi membantu ahli anestesi
menentukan anestesi lokal yang akan digunakan, penambahan terapi spinal seperti
epinefrin dan apakah kateter spinal akan diperlukan.
Pertimbangan lain saat melakukan anestesi spinal adalah tempat operasi,
karena operasi diatas umbilikus akan sulit untuk menutup dengan tulang belakang
sebagai teknik tunggal. Anestesi spinal pada pasien dengan penyakit neurologis
seperti multiple sclerosis masih kontroversial karena dalam percobaan in vitro
didapatkan bahwa saraf demielinisasi lebih rentan terhadap toksisitas obat bius
lokal.
Penyakit jantung yang level sensorik di atas T6 merupakan kontraindikasi
relatif terhadap anestesi spinal seperti pada stenosis aorta, dianggap sebagai
kontraindikasi mutlak untuk anestesi spinal, sekarang mungkin menggabungkan
pembiusan spinal dilakukan dengan hati-hati, dalam perawatan anestesi mereka
deformitas
dari
kolumna
spinalis
dapat
meningkatkan
kesulitan
dalam
6. Komplikasi
Komplikasi
analgesia
spinal
dibagi
menjadi
Komplikasi sirkulasi :
1.
Hipotensi
Tekanan darah yang turun setelah anestesi spinal sering terjadi. Biasanya
terjadinya pada 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah perlu
diukur setiap 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah perlu
diukur setiap 2 menit selama periode ini. Jika tekanan darah sistolik turun
dibawah 75 mmHg (10 kPa), atau terdapat gejala-gejala penurunan tekanan darah,
maka kita harus bertindak cepat untuk menghindari cedera pada ginjal, jantung
dan otak. Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, makin tinggi
blok makin berat hipotensi.
Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan kristaloid
(NaCl, Ringer laktat) secara cepat segera setelah penyuntikan anestesi spinal dan
juga berikan oksigen. Bila dengan cairan infus cepat tersebut masih terjadi
hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti efedrin 15-25 mg
intramuskular. Jarang terjadi, blok spinal total dengan anestesi dan paralisis
seluruh tubuh. Pada kasus demikian, kita harus melakukan intubasi dan
melakukan ventilasi paru, serta berikan penanganan seperti pada hipotensi berat.
Dengan cara ini, biasanya blok spinal total dapat diatasi dalam 2 jam.
2. Bradikardia
Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau karena blok
simpatis. Jika denyut jantung di bawah 65 kali per menit, berikan atropin 0,5 mg
intravena.
3. Sakit Kepala
Sakit kepala pasca operasi merupakan salah satu komplikasi anestesi spinal
yang sering terjadi. Sakit kepala akibat anestesi spinal biasanya akan memburuk
bila pasien duduk atau berdiri dan hilang bila pasien berbaring. Sakit kepala
9
biasanya pada daerah frontal atau oksipital dan tidak ada hubungannya dengan
kekakuan leher. Hal ini disebabkan oleh hilangnya cairan serebrospinal dari otak
melalui pungsi dura, makin besar lubang, makin besar kemungkinan terjadinya
sakit kepala. Ini dapat dicegah dengan membiarkan pasien berbaring secara datar
(boleh menggunakan satu bantal) selama 24 jam.
4. Komplikasi Respirasi
a)
Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi
paru-paru normal.
b)
Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal
tinggi.
c)
Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena
tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan pernafasan
buatan.
5. Komplikasi gastrointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis berlebihan,
pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus gastrointestinal serta
komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi lumbal merupakan nyeri kepala
dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak.
Mulai terasa pada 24-48 jam pasca pungsi lumbal, dengan kekerapan yang bervariasi.
Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan meningkat.
MEDIKASI
1. Ondansentron
Farmakodinamik : bekerja sebagai selektif antagonis reseptor serotonin yang
ketiga (5HT3) pada CTZ (Chemoreseptor Trigger Zone) dan aferen vagal saluran
cerna, dengan cara menghambat terjadinya ikatan antara serotonin (5HT) dengan
reseptor serotonin yang ketiga (5HT3).
10
2. Bupivacain
Farmakodinamik: menghambat pembentukan dan penjalaran impuls saraf dengan
meningkatkan ambang eksitasi elektrik dalam saraf, memperlambat penyebaran
3. Efedrin
Farmkodinamik : suatu amin simpatomimetik yang bekerja melalui efek langsung
pada reseptor alfa dan reseptor beta di jantung yang menyebabkan vasokontriksi
perifer dan efek inotropik positif pada jantung serta dilatasi koroner. Hal ini
sangat cepat. Keseimbangan cairan masuk dan keluar harus diperhatikan agar tidak
terjadi overload cairan yang bisa mengakibatkan edema paru dan otak yang bisa
mengakibat kejang dan bisa berakibat fatal. Hal ini disebabkan karena oksitosin
bersifat antidiuretik sehingga menyebabkan retensi cairan dalam tubuh.
5. Ketorolac
Farmakodinamik : analgesik non-narkotik dan anti-inflamasi nonsteroid yang
menunjukkan aktivitas antipiretik yang lemah dan anti-inflamasi serta
menghambat sintesis prostaglandin dan dapat dianggap sebagai analgesik yang
dalam feses.
Indikasi : nyeri akut sedang sampai rendah pada setelah dilakukan pembedahan
Kontraindikasi :
o Pasien yang sebelumnya pernah mengalami alergi dengan obat ini, karena ada
kemungkinan sensitivitas silang.
o Pasien yang menunjukkan manifestasi alergi serius akibat pemberian Asetosal
atau obat anti-inflamasi nonsteroid lain.
o Pasien yang menderita ulkus peptikum aktif, penyakit serebrovaskular,
gangguan koagulasi, sindrom polip nasal lengkap atau parsial, angioedema
atau bronkospasme.
o Terapi bersamaan dengan ASA dan NSAID lain.
o Hipovolemia akibat dehidrasi, gangguan ginjal derajat sedang sampai berat
(kreatinin serum >160 mmol/L).
o Riwayat asma.
o Pasien pasca operasi dengan risiko tinggi terjadi perdarahan atau hemostasis
inkomplit, pasien dengan antikoagulan termasuk Heparin dosis rendah (2.500
sampai dosis maksimal 1,25 mg. Obat ini juga bisa diberikan secara intramiometrial
atau intrvena dengan dosis 0,125 mg. Obat ini menyebabkan vasospasme perifer dan
dapat mengakibatkan kenaikan tekanan darah sehingga metilergonovin tidak boleh
diberikan pada pasien hipertensi. Obat ini juga dapat menyebabkan rasa mual dan
muntah
13