Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFNISI
Infark miokard akut (IMA) terjadi apabila terdapat nekrosis miokard
sebagai akibat dari ketidak seimbangan antara kebutuhan O2 miokardium dan
suplai darah arterialnya. IMA terjadi biasanya karena oklusi arteri koronaria,
tetapi trombosis atau perdarahan kedalam plak ateroma juga menyababkan
IMA. Juga dapat timbul sebagai akibat dari spasme arterial atau embolisasi
dari bekuan darah atau material ateroma proksimal dari tempat obstruksi
(Eliastam et al,1998).
B. Epidemiologi
Belum diketahui secara pasti angka kejadiannya, namun diketahui
30% pasien dengan IMA meninggal sebelum mendapatkan perawatan. Angka
kejadian dan kematian pada pasien dengan IMA diketahui mulai menurun
sebagai hasil dari usaha pencegahan primer dan pengurangan faktor resiko
(Gray et al,2005).
C. Etiologi
Faktor-faktor penyebab Infark Miocard Akut (IMA)
1. Suplai oksigen ke miocard berkurang yang disebabkan oleh 3 faktor :
a) Faktor pembuluh darah :
Aterosklerosis.
Spasme
Arteritis
b) Faktor sirkulasi :
Hipotensi
Stenosos aurta
Insufisiensi
c) Faktor darah :
Anemia
Hipoksemia
polisitemia
2. Curah jantung yang meningkat :
Aktifitas berlebihan
Emosi
Makan terlalu banyak
Hypertiroidisme
3. Kebutuhan oksigen miocard meningkat pada :

Kerusakan miocard
Hypertropimiocard
Hypertensi diastolic
D. Faktor Resiko
Hal-hal yang diketahui dapat menjadi faktor resiko adalah
(Kasuari,2002):
1. Faktor resiko biologis yang tidak dapat diubah :
Usia lebih dari 40 tahun
Jenis kelamin : insiden pada pria tinggi, sedangkan pada wanita
meningkat setelah menopause
Hereditas
Ras : lebih tinggi insiden pada kulit hitam.
2. Faktor resiko yang dapat diubah :
a) Mayor :
Hiperlipidemia
Hipertensi
Merokok
Diabetes
Obesitas
Diet tinggi lemak jenuh, kalori
b) Minor:
Inaktifitas fisik
Pola kepribadian tipe A (emosional, agresif, ambisius, kompetitif).
Stress psikologis berlebihan.
E. Patofisiologi
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis
mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik
memicu trombogenesis, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur
yang

mengakibatkan

menunjukkan

plak

oklusi
koroner

arteri

koroner.

cenderung

Penelitian

mengalami

histologis

ruptur

jika

mempunyaifibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada
STEMI gambaran patologis klasik terdiri darijhrin rich red trombus, yang
dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respons terhadap
terapi trombolitik.
Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen,
ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya
akan memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal

yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi


reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Setelah mengalami konversi fungsinya,
reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada
protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF)
dan fibrinogen, di mana keduanya adalah molekul multivalen yang dapat
mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan
silang platelet dan agregasi.
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue faxtor pada sel
endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi. Mengkibatkan konversi
protrombin menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen
menjadi fibrin. Pada kondisi tertentu STEMI dapat disebabkan oleh oklusi
arteri koroner yang disebabkan emboli koroner, abnormalitas kongenital,
spase, koroner dan penakit inflamasi sistemik (Sudoyo et al, 2010).
F. Manifestasi Klinis
Gejala khas pada IMA adalah nyeri dada yang bert dan memanjang
minimal 30 menit. Kebanyakan pasien yang dtang (>80%) melaporkan
baha sensasi nyeri dada yang dirasakan seperti tertekan dan disertai
keringat dingin juga perasaan takut (Gray et al,2005)..
Sesak nafas pada pasien IMA dapat disebabkan oleh peningkatan
tekanan akhir diastolik di ventrikel kiri. Kecemasan yang dirasakan pasien
dapat menyebabkan hiperventilasi (Gray et al,2005)..
G. Diagnosis
Diagnosis IMA dengan ST elevasi ditegakkan dengan anamnesis
nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya ST elevasi 2mm,
minimal pada 2 sadapan prekordial yang berdampingan atau 1mm pada 2
sadapan ekstermitas (Sudoyo et al, 2010).
Saat dilakukan anamesis pasien akan mengeluhkan nyeri dada,
nyeri dada pada IMA khas sebagai berikut:
1. Lokasi : substernal, retrostrenal, dan prekordial
2. Sifat nyeri : sakit seperti ditekan, terbakar, ditidih benda berat,
seprti ditusuk diperas atau dipelintir.
3. Penjalaran : biasanya ke lengan kiri, dapat keleher, rahang bawah,
gigi, punggung, perut, dapat juga sampai ke lengan kanan.
4. Nyeri akan membaik dengan penggunaan obat nitrat atau istirahat.

5. Faktor pencetus : latihan fisik, serta emosi, udara dingin, dan


sesudah makan.
6. Gejala yang meyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat
dingin, cemas dan lemas.
Pada pemeriksaam fisik akan tampak pasien cemas dan gelisah.
Seringkali ekstermitas tampak pucat dan tampak keringat dingin. Adanya
nyeri dada substernal >30 menit dicurigai adanya STEMI. Pada 25%
pasien IMA memiliki manifestasi peningkatan saraf simpatis (takikardi
dan/hipotensi).
Tanda fisis pada disfungsi ventrikular adalah S4 danS3 gallop,
penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split parodoksikal bunyi
jantung kedua. Dapat ditentukan murmur midsistolik atau late sistolik
apikal yang bersifat sementarakarena disfungsi aparatus katup mitral dan
pericardial friction rub. Penignkatan suhu sampai 38C dapat dijumpai
dalam minggu pertama pasca STEMI.
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harue dilakukan pada semua pasien
dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini
harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan di IGD.
Pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan dalam menentukan
keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi
segmen ST dapat mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk
dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik
untuk STEMI tetapi pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat
STEMI, EKG serial dengan interval 5- 10 menit atau pemantauan EKG 12
sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi
perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior,
EKG sisi kanan hams diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada
ventrikel kanan. Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi
segmen ST mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang
akhirnya didiagnosis infark miokard gelombang Q. sebagian kecil menetap
menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi trombus tidak
total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral,

biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya


mengalami angina pektoris tak stabil atau non STEMI.

Pada sebagian

pasien tanpa elebasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q


disebut infark non Q. Sebelumnya istilah infark miokard transmural
digunakan jika EKG menunjukkan gelombang Q atau hilangnya
gelombang R dan infark miokard non transmural jika EKG hanya
menunjukkan perubahan sementara segmen ST dan gelombang T. Namun
ternyata tidak selalu ada korelasi gambaran patologis EKG dengan lokasi
infark (mural/transmural) sehingga terrninologi IMA gelombang Q dan
non Q menggantikan IMA mutral/nontransmural.
Pemeriksaan laboratori~imh arus dilakukan sebagai bagian dalam
tatalaksana pasien STEMI namun tidak boleh menghambat implementasi
terapi repefusi. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinin urinase
(CK)MB dan cardiac spesific troponin (cTn)T atau cTn 1 dan dilakukan
secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien
STEMl yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga
akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan
gejala IMA, terapi repertusi diberikan segera mungkin dan tidak
tergantung pada pemeriksaan biomarker.
Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas nonnal
menunjukkan ada nekrosisjantung (intbrk miokard).
1. CKMB: meningkat setelah 3jam bila ada inlarh miokard dan mencapai

puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalarn 2 3 hari.


Operasijantung,

miokarditis

dan

kardioversi

elehtrik

dapat

meningkatkan CKMB.
2. cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. E~izim ini meningkat setelah 2

jam bila ada infarh miocard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan
cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah
5-10 hari.
Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu:

1. Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai


puncak dalam 4-8 jam.
2. Creatinin kinase (CK): Meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark
miokard dan mencapai puncak dalam 10-36 jani dan kembali normal
dalam 3-4 hari.
3. Lacticdihidrogenase (LDH) meningkat setelah 24-48 jam bila ada
infark miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali nonnal dalaln 814 hari.
H. Terapi
Penggunaan terapi antiplatelet dan antitrombin selama fase awal
STEMI berdasarkan bukti klinis dan laboratoris bahwa trombosis
mempunyai peran penting dalam patogenesis. Tujuan primer pengobatan
adalah untuk memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner
yang terkait infark. Tujuan sekunder adalah menurunkan tendensi pasien
menjadi trombosis. Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI.
Manfaat antiplatelet terutama aspirin pada STEMI dapat dilihat pada
Antiplatelets Trialists ' Collaboration. Data dari hampir 20.000 pasien
dengan infark miokard yang berasal dari 15 randomised trial dikumpulkan
dan menunjukkan penurunan relatif laju mortalitas sebesar 27%, dari
14,2% pada kelompok kontrol dibandingkan 10,4% pada pasien yang
mendapat

antiplatelet.

Pada

penelitian

ISIS-2

pemberian

aspirin

menurunkan mortalitas vaskular sebesar 23% dan infark nonfatal sebesar


49%.
Klopidogrel harus diberikan segera mungkin pada semua pasien
STEMI yang mengalami PCI. Pada pasien yang mengalami PC1
dianjurkan dosing loading 600 mg. Sedangkan yang tidak menjalani PC1
dosis loading 300 mg dilanjutkan dosis pemulihan 75 mglhari. Inhibitor
glikoprotein menunjukkan manfaat untuk mencegah komplikasi trombosis
pada pasien STEMI yang menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL
membandingkan abciximab dan stenting dengan plasebo dan stenting.
Hasilnya menunjukkan penurunan kematian, reinfark atau revaskularisasi
segera pada 20 hari dan 6 bulan pada kelompok abciximab dan stent. Obat

antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah


unfvactionated heparin. Pemberian UFH IV segera sebagai tambahan
terapi regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin relatif (tPA, rPA
atau

TNK),

membantu

trombolisis

dan

memantapkan

dan

mempertahankan patensi arteri yang terkait infark. Dosis yang


direkomendasikan adalah bolus 60 Ukg (maksimum 4000 U) dilanjutkan
inhs inisial 12 Ukg perjam (maksimum 1000 Uljam). Activatedpartial
thromboplastin time selama terapi pemeliharaan hams mencapai 1,5-2 kali.
Antikoagulan alternatif pada pasien STEMI adalah low-molecular-weight
heparin (LMWH). Pada penelitian ASSENT-3 enoksaparin dengan
tenektepl'ase dosis penuh memperbaiki mortalitas, reinfark di Rumah Sakit
dan iskemia refrakter di Rumah Sakit. Pasien dengan infark anterior,
disfungsi ventrikel kiri berat, gaga1 jantung kongestif, riwayat emboli,
trombus mural pada ekokardiografi 2 dimensi atau fibrilasi atrial
merupakan risiko tinggi tromboemboli paru sistemik. Pada keadaan ini
harus mendapat terapi antitrombin kadar terapeutik penuh (UFH atau
LMWH) selama dirawat, dilanjutkan terapi warfarin sekurang-kurangnya
3 bulan. Pada penelitian OASIS-6, faondaparinux dosis rendah, suatu obat
anti-Xa tak langsung, lebih superior dibandingkan dengan plasebo atau
heparin dalam mencegah kematian dan reinforce pada 5436 pasien yang
mendapat terapi fibrinolitik. Pada subset pasien yang menjalani PCI,
fondaparinux dikaitkan dengan insiden kematian atau infark berulang
dalam 30 hari lebih tinggi (1%) yang tidak bermakna. Hal ini dikaitkan
dengan terjadinya trombosis kateter, sehingga perlu diberikan tambahan
bolus heparin intra vena, untuk mencegah trombosis kateter. Pada pasca
STEMI dengan onset <12 jam yang tidak diberikan terapi reperfusi, atau
pasien STEMI dengan onset > 12 jam aspirin, klopidogren dan obat anti
trombin (heparin, enoksapirin atau fondaparinux) hams diberikan sesegera
mungkin (Sudoyo et al, 2010).
I. Komplikasi

Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam


bentuk, ukuran dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan
non infark. Proses ini disebut remodeling ventrikular dan umumnya
mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan
bulan atau tahun pasca infark. Segera setelah infark ventrikel kiri
mengalami dilatasi. Secara akut, hasil ini berasal dari ekspansi infark al;
slippage serat otot, disrupsi sel miokardial normal dan hilangnya jaringan
dalam zona nekrotik. Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen
noninfark, mengakibatkan penipisan yang disproporsional dan elongasi
zona infark. Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang te rjadi
dikaitkan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark
pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik
yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk.
Progresivitas dilatasi dan konsekuensi klinisnya dapat dihambat dengan
terapi inhibitor ACE dan vasodilator lain. Pada pasien dengan fraksi ejeksi
<40%, tanpa melihat ada tidaknya gagal jantung, inhibitor ACE harus
diberikan (Sudoyo et al, 2010).
Gangguan hemodinamik, gagal pemompaan (pump failure)
merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit pada STEMI.
Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan dengan
tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan
sesudahnya. Tanda klinis yang tersering dijumpai adalah ronki basah di
paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada pemeriksaan rontgen sering
dijumpai kongesti paru.
J. Prognosis
Beberapa sistem yang dapat digunakan untuk menetukan prognosis IMA
(Sudoyo et al, 2010).
Klasifikasi Killip
Berdasarkan pada pemeriksaan fisik bed side sederhana: S3, gallop,
kongestif paru dan syok kardiogenik
kelas Definisi
I
Tidak ada tanda gagal jantung kongestif
II
+S3 dan / ronkhi basah

Mortalitas %
6
17

III
IV

Edema paru
Syok kardiogenik

30-40
60-80

Klasifikasi Forsester
Berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung dan pullmonary
capillary, wedge pressure ( PCWP)
kelas
I
II
III
IV

indeks
>2,2
>2,2
<2,2
<2,2

PCWP (mmHg)
<18
>18
<18
>18

Mortalitas
3
9
23
51

Kalsifikasi TIMI risk factor


Faktor resiko
Usia 65-74 tahun
Usia >75 tahun
DM/ HT atau angina
Tekanan sistolik <100mmHg
Frekuensi jantung >100mmHg
Klasifikasi Killip II-IV
Berat <67kg
Elevasi ST anterior atau LBBB
Waktu ke referfusi >4jam
Skor risiko=total poin

Bobot
2
3
1
3
2
2
1
1
1
0-14

Mortalitas
0
1
2
3
4
5
6
7
8
>8

Anda mungkin juga menyukai