STATUS PASIEN
1.1 Identitas Pasien
Nama
: Ny.IA
Jenis Kelamin
: Perempuan
Umur
: 59 tahun
Agama
: Islam
Pekerjaan
Alamat
1.2 Anamnesis
Dilakukan autoanamnesis pada tanggal 17 Februari 2012.
Keluhan Utama
: disangkal
DM
: disangkal
Status Generalis
Keadaan umum
Kesadaran
: compos mentis
Tanda vital
B.
Nadi: 86x/menit
Suhu: afebris
Status Oftalmologikus
Keterangan
1. Visus
Okulo Dextra
Okulo Sinistra
- Tajam penglihatan
5/60
2/60
- Koreksi
S 2.00 6/12f
Tidak dapat dikoreksi
- Addisi
+ 2.75
+ 2.75
- Distansia pupil
64/62 mm
- Kacamata lama
S - 2.00
S 2.00
2. Kedudukan Bola Mata
- Deviasi
- Gerakan bola mata
3. Super Silia
Tidak ada
Baik ke semua arah
Tidak ada
Baik ke semua arah
- Warna
- Letak
4. Palpebra
Abu-abu kehitaman
Simetris
Abu-abu kehitaman
Simetris
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
- Edema
- Nyeri tekan
- Ektropion
- Entropion
- Trikiasis
- Hordeolum
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
2
- Kalazion
5. Konjungtiva Tarsalis
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
- Hiperemis
- Folikel
- Papil
- Sikatrik
- Anemia
6. Konjungtiva Bulbi
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
- Injeksi Konjungtiva
- Injeksi Siliar
-Perdarahan
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Terdapat jaringan
Terdapat jaringan
fibrovaskular
fibrovaskular
(derajat I)
Tidak ada
Positif
(derajat I)
Tidak ada
Tidak ada
Subkonjungtiva
- Pterigium
- Pinguekula
- Nevus Pigmentosus
(ukuran 2 mm)
7. Sklera
- Warna
- Ikterik
8. Kornea
Putih
Tidak ada
Putih
Tidak ada
- Kejernihan
- Permukaan
- Ukuran
- Sensibilitas
- Infiltrat
- Edema
9. Bilik Mata Depan
Jernih
Licin
12 mm
Baik
Tidak ada
Tidak ada
Jernih
Licin
12 mm
Baik
Tidak ada
Tidak ada
- Kedalaman
- Kejernihan
- Hifema
- Hipopion
10. Iris
Normal
Jernih
Tidak ada
Tidak ada
Normal
Jernih
Tidak ada
Tidak ada
- Warna
- Kriptae
- Bentuk
- Sinekia
11. Pupil
Coklat kehitaman
Jelas
Bulat
Tidak ada
Coklat kehitaman
Jelas
Bulat
Tidak ada
- Letak
- Bentuk
- Ukuran
Refleks
Di tengah
Bulat
3 mm
Positif
Di tengah
Bulat
3 mm
Positif
Positif
Positif
Keruh
Di tengah
Positif
Keruh
Di tengah
Positif
Jernih
Jernih
Positif
Positif
Bulat
Tegas
Kuning kemerahan
0,4
2/3
Bulat
Tegas
Kuning kemerahan
0,4
2/3
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Positif
Tidak ada
Positif
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
7/7,5 = 18.5 mmHg
Tidak ada
Tidak ada
8/7,5 = 15,6 mmHg
cahaya
langsung
- Refleks cahaya
tak
langsung
12. Lensa
- Kejernihan
- Letak
- Shadow Test
13. Badan Kaca
- Kejernihan
14. Fundus Okuli
a. Refleks Fundus
b. Papil
- Bentuk
- Batas
- Warna
- C/D Ratio
c. Arteri : Vena
d. Retina
- Edema
- Perdarahan
- Eksudat
e. Makula Lutea
- Refleks Fovea
- Edema
15. Palpasi
- Nyeri tekan
- Massa tumor
- Tonometri Schiotz
16. Kampus Visi
- Tes Konfrontasi
1.4 Resume
4
Okulo Dextra
Okulo Sinistra
- Tajam penglihatan
- Koreksi
Konjungtiva Bulbi
5/60
S 2.00 6/12f
2/60
Tidak dapat dikoreksi
- Pterigium
Lensa
Positif (derajat I)
Positif (derajat I)
Keruh
Positif
Keruh
Positif
- Kejernihan
- Shadow Test
1.5 Diagnosis Kerja
OD : Katarak Senilis Imatur
Pterigium derajat I
OS : Katarak Senilis Imatur
Pterigium derajat I
Persiapan preoperatif :
A. Pemeriksaan oftalmologi :
Gula darah
Tekanan darah
Elektrokardiografi
Chest X-Ray
2. Pterigium
Untuk pterigium ODS : karena masih dalam derajat I maka hanya perlu
penatalaksanaan :
1. Non farmakologis :
Edukasi untuk menjaga mata agar terhindar dari kontak langsung sinar
ultraviolet
2. Farmakologi :
3. Indikasi pembedahan :
Jika sudah derajat III atau IV atau pterigium sudah mengenai visual aksis
sehingga mengganggu penglihatan atau alasan kosmetik.
1.9 Prognosis
OD
Ad vitam
: Bonam
Ad fungtionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
OS
Bonam
Dubia ad bonam
Dubia ad bonam
6
BAB II
ANALISIS KASUS
2.1 Anamnesis
Pasien datang dengan keluhan utama penglihatannya kabur (buram) secara perlahanlahan sejak + 1 tahun terakhir. Darikeluhanutamaini,dapatdinyatakanbahwapasien
tergolongkedalamkelompokpenyakitmatatenangvisusturunperlahan.Olehkarena
itu, kemungkinan penyakit yang dapat diderita pasien adalah: katarak, gangguan
refraksi,glaukomakronik,retinopatidiabetik,retinopatihipertensi,danintoksikasi
sarafoptikkarenaobat.
Pasien menyadari seperti ada selaput kuning pada bagian putih mata, dan kadang
disertai kemerahan disertai rasa gatal namun tidak nyeri. Pasien menyadari adanya
selaput putih kuning mulai ada sejak + 2 tahun terakhir. Mata akan tampak lebih
merah saat mata pasien terpapar oleh sinar matahari. Keadaan ini menunjukkan
adanya kelainan pada konjungtiva dapat berupa pingukuela, pterigium, atau
pterigium.
Pasien menyangkal adanya mual, muntah, sakit pada daerah di sekitar mata. Dari
keluhan ini maka kemungkinan diagnosis yang dapat disingkirkan adalah kelainan
humor aquous yaitu glaucoma kronik. Pada glaukoma gejala yang timbul adalah
kepala pening atau sakit, terasa berat pada sebelah mata yang disertai mual muntah,
yang merupakan tanda-tanda peningkatan tekanan bola mata.
Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi dan diabetes melitus. Dari keluhan ini maka
kemungkinan yang dapat disingkirkan adalah katarak diabetes, retinopati diabetik,
dan retinopati hipertensi.
Selain itu pasien juga tidak memiliki riwayat trauma atau benturan maupun terkena
bahan-bahan kimia. Kemungkinan diagnosis yang dapat disingkirkan adalah katarak
traumatik.
Pasien tidak mengkonsumsi obat jangka panjang seperti kortikosteroid , dari keadaan
ini kemungkinan yang dapat disingkirkan adalah katarak komplikata.
Pasien juga menyangkal mengkonsumsi OAT, dari keadaan ini kemungkinan dapat
disingkirkan adalah intoksikasisarafoptikkarenaobat.
Pasien menyangkal pada keluarganya ada yang memiliki keluhan yang sama
dengannya. Hal ini menandakan bahwa penyakit pasien bukan penyakit keturunan.
baik.
Pemeriksaan Konjungtiva bulbi
Pada inspeksi langsung, ODS juga terlihat adanya penebalan berupa jaringan ikat
pada sklera pasien yang dimulai dari kantus medius ke arah kornea, membentuk
segitiga dengan puncaknya di daerah limbus kornea. Pertumbuhan fibrovaskular
seperti ini khas ditemukan pada pterigium, yaitu kelainan degeneratif, neoplasia dan
peradangan yang sering sekali ditemukan pada orang-orang yang sering terpajan sinar
ultraviolet, kekeringan pada mata dan sering terpajan udara yang panas. Dapat
o ODS normal , dapat ditemukan CoA dangkal menandakan lensa sedang dalam
tahap intumesen, yaitu terjadi proses hidrasi korteks yang menjadikan lensa
mencembung mengakibatkan pendorongan iris ke depan sehingga bilik mata
Gula darah
Tekanan darah
Elektrokardiografi
Chest X-Ray
10
Untuk pterigium ODS : karena masih dalam derajat I maka hanya perlu
penatalaksanaan :
1. Non farmakologis :
Edukasi untuk menjaga mata agar terhindar dari kontak langsung sinar
ultraviolet
2. Farmakologi :
3. Indikasi pembedahan :
11
Jika sudah derajat III atau IV atau pterigium sudah mengenai visual aksis
sehingga mengganggu penglihatan atau alasan kosmetik.
2.3 Prognosis
OD
Ad vitam
: Bonam
Ad fungtionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
OS
Bonam
Dubia ad bonam
Dubia ad bonam
12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Katarak
III.1 Definisi
Katarak berasal dari bahasa Yunani Katarrhakies, dan Latin Cataracta yang
berarti air terjun. Dalam bahasa Indonesia disebut bular dimana penglihatan seperti
tertutup air terjun akibat lensa yang keruh. Katarak adalah setiap keaddaan kekeruhan
pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambhan cairan) lensa, denaturasi
protein lensa terjadi akibat kedua-duanya.1
III.2 Etiologi dan faktor predisposisi 2
Etiologi katarak masih belum diketahui dengan pasti, namun umumnya
berhubungan dengan denaturasi protein lensa. Perkembangan katarak dipengaruhi oleh
faktor yang bervariasi,antara lain :
-
usia lanjut merupakan faktor resiko utama yang berkaitan dengan proses degenerasi
lensa.
genetik, bila salah satu dari kembar identik mengalami katarak, maka kembar
lainnya mempunyai kemungkinan 48% lebih besar daripada masyarakat pada
umumnya. Faktor genetik umumnya berkorelasi dengan katarak kongenital, riwayat
katarak pada keluarga berperan sebagai predisposisi berkembangnya katarak pada
usia dini yang dapat digunakan sebagai antisipasi pada katarak presenilis.
Pajanan terhadap radiasi jangka panjang, misal UVB, sinar infra merah, dll.
Efek sekunder dari penyakit sistemik, misal diabetes mellitus, hipertensi, dehidrasi
kronik, diare, dan malnutrisi meningkatkan resiko katarak empat kali lebih besar.
defisiensi vitamin C and E, selenium, beta carotene, dan lycopene yang berperan
melindungi sel-sel tubuh dari kerusakan akibat radikal bebas. Kebiasaan merokok
dan konsumsi alkohol juga meningkatkan insiden katarak.
Status atopik atau alergi mempercepat progresifitas katarak, terutama pada insiden
katarak juvenilis.
Drug-induced
cataract,
seperti
kortikosteroid,
amiodarone,
phenytoin,
13
III.3 Klasifikasi 3
Tabel 1 Klasifikasi katarak berdasarkan opasitas lensa
Sumber : Scholte, Pocket Atlas of Ophtalmology, Thieme, 2006, pg 140
Maturitas
Katarak insipien
Katarak intumesen
Katarak immatur
Katarak matur
Katarak hipermatur (hypermature morgagnian cataract)
Lokasi
Katarak nukleus
Katarak kortikal (anterior or posterior)
Katarak subkapsular
Katarak polaris/piramidalis (anterior or posterior polar cataract)
- Katarak zonular/lamelar
Katarak kortikonuklear (opasitas pada beberapa lapisan yang berbeda)
Bentuk opasitas lensa
Katarak kuneiformis (Wedge-shaped cataract)
Katarak fisiformis (Fish-shaped cataract)
Katarak pulverulent (Powdery cataract)
Katarak stelatum (Star-shaped cataract)
Warna
Katarak brunescent (brown cataract)
Katarak nigra (black cataract)
Onset
Katarak kongenital
Katarak infantil (< 1 tahun)
Katarak juvenil (1-12 tahun)
Katarak presenilis (di bawah usia 40 tahun)
Katarak senilis (> 40 tahun)
Asal
Katarak traumatik
Katarak syndermatotik
Katarak sekunder
14
- Korticosteroids
- Amiodarone
- Golongan statin
- Sitostatik
- Chlorpromazine, phenytoin
- Parasimpatomimetik local
Radiasi
- Ionisasi: X-rays, -rays, -rays
- Non-ionisasi: UVB, infra merah (glassblowers cataract), microwaves, highvoltage current (electric cataract)
Berdasarkan maturitas 1,4
1. Katarak insipien
Opasitas dimulai dari tepi ekuator berbentuk jeruji menuju korteks anterior dan
posterior (katarak kortikal). Vakuol mulai tampak di korteks. Kekeruhan ini
dapat menimbulkan poliopia karena indeks refraksi yang tidak sama pada semua
bagian lensa. Bentuk ini kadang menetap pada waktu yang lama.
2. Katarak intumesen
Kekeruhan lensa disertai pembengkakan lensa akibat lensa degeneratif
menyerap air. Lensa yang edema mendorong iris sehingga bilik mata depan
lebih dangkal dibandingkan normal dan dapat menimbulkan penyulit glaukoma.
Katarak tipe ini berjalan cepat dan menyebabkan miopi lentikular.
3. Katarak immatur
Katarak belum mengenai seluruh lapis lensa, volume lensa dapat bertambah
karena meningkatnya tekanan osmotik akibat bahan lensa yang degeneratif, dan
dapat menimbulkan penyulit berupa glaukoma sekunder.
4. Katarak matur
Katarak telah mengenai seluruh ketebalan lensa. Katarak matur merupakan
tahap perkembangan lanjutan dari katarak imatur dan intumesen dimana telah
terjadi pengeluaran cairan lensa sehingga lensa kembali ke ukuran normal, bilik
16
mata depan kembali ke kedalaman normal, uji bayangan iris negatif, dan dapat
terjadi kalsifikasi lensa. Tajam penglihatan menurun hingga persepsi cahaya.
5. Katarak hipermatur
Katarak yang mengalami degenerasi lanjut. Massa lensa yang berdegenerasi
keluar dari kapsul lensa sehingga lensa mengecil. Pada pemeriksaan terlihat
bilik mata depan dalam dan lipatan kapsul lensa.Bila proses katarak berlangsung
terus disertai dengan kapsul yang tebal, maka korteks berdegenerasi dan cairan
tidak dapat keluar, disebut sebagai katarak Morgagni.
Berdasarkan usia dan bentuk (age related - katarak senilis dan presenilis) 4
1. Kortikal (spoke cuneiform)
Proses opasitas lensa dimulai dari perifer lensa dan terus meluas ke area pupil.
Prosesnya dapat dimulai dari setiap kuadran, namun daerah nasal inferior lebih
prevalen daripada kuadran lainnya. Proses diawali dengan separasi lamella lensa
yang disebabkan oleh overhidrasi lensa. Opasitas dapat terjadi di bagian anterior
maupun posterior lensa dan tidak dapat diprediksi progresifitasnya.
2. Posterior subcapsular (cupuliform PSC)
Kekeruhan pada lensa berbentuk vakuol atau granular. Proses katarak terjadi di
lapisan posterior korteks lensa. Oleh karena letaknya, katarak tipe ini
menyebabkan reduksi visual yang berarti. Kausa yang berkaitan dengan katarak
kupuliformis antara lain usia, penggunaan steroid jangka lama, trauma atau
akibat uveitis kronik. Tipe ini merupakan salah satu jenis katarak yang
progresifitasnya paling cepat sehingga harus dimonitor dengan seksama.
3. Nuclear sclerosis (NS)
Segera setelah berusia 40 tahun, bagian sentral lensa akan mengalami sklerosis,
hal ini mengakibatkan perubahan indeks refraksi lensa. Pada stadium lanjut
nukleus akan berbentuk seperti oil droplet. Pemeriksaan yang dianjurkan
antara lain, retroilluminasi dengan oftalmoskopi langsung atau retroilluminasi
dengan slit-lamp pada pupil yang midriasis.
III.4 Patogenesis
17
Dua patogenesis utama yang terlibat pada mayoritas katarak (terutama katarak senilis)
adalah hidrasi dan sklerosis.
Hidrasi
Peningkatan hidrasi menyebabkan separasi lamella lensa dan penimbunan protein non
polar pada serat-serat lensa, mengakibatkan lensa kehilangan strukturnya yang
transparan dan terjadi pembiasan sinar secara irregular (scatter). Peningkatan hidrasi
menyebabkan peningkatan degenerasi protein lensa, menghasilkan opasitas lensa yang
ireversibel.
Mekanisme yang mendasari terjadinya hidrasi yang utama adalah :
Sklerosis
Proses ini melibatkan predominasi nukleus dan merupakan bagian dari proses
degenerasi yang normal. Peningkatan densitas protein lensa dan peningkatan jumlah
protein dengan berat molekul tinggi yang terikat pada sulfida menyebabkan hilangnya
transparansi lensa, yang mengakibatkan pembiasan sinar iregular pada katarak.
III.5 Diagnosis
a.Gejala dan Tanda
Gejala
1. Pandangan kabur (blurred),
18
Berdasarkan riset pada tahun 2003, belum terdapat medikasi yang efektif untuk
mencegah atau mengatasi katarak. Namun demikian, dapat dianjurkan diet dengan gizi
yang seimbang, suplementasi vitamin A, C, dan E, serta selenium dan anti oksidan
lainnya dengan dosis yang tepat dapat membantu memperlambat progresifitas katarak.
Operatif
Indikasi operasi katarak diklasifikasikan menjadi 3 kelompok , yaitu :
1. Indikasi optik
Tidak ada batasan pasti tajam penglihatan kapan operasi katarak sebaiknya
dilakukan. Saat ini keputusan dilakukannya operasi disesuaikan dengan kebutuhan
penglihatan subjektif pasien. Visus 6/12 merupakan indikasi awal dilakukannya
operasi, pasien harus diinformasikan mengenai keuntungan dan kerugian operasi
katarak terhadap tajam penglihatan. Glare adalah indikasi optik lainnya terutama
pada pasien yang berkendara pada malam hari.
2. Indikasi medis
Kondisi katarak di bawah ini harus segera dioperasi walaupun prognosis
penglihatannya tidak menjanjikan atau pasien tidak berminat pada perbaikan
penglihatannya :
-
Katarak hipermatur
Ablasio retina atau patologi segmen posterior lainnya dimana diagnosis atau tata
laksananya akan terganggu dengan adanya opasitas lensa
3. Indikasi estetik
White pupil yang disebabkan oleh katarak tidak dapat diterima sepenuhnya oleh
pasien usia muda, operasi katarak dilakukan untuk menghilangkan white pupil
walaupun fungsi penglihatan tidak kembali sepenuhnya.
Operasi Katarak
Persiapan preoperatif
21
1. Lebih baik bila pasien telah dirawat inap 1 hari sebelum operasi.
2. Lakukan informed consent.
3. Eye-lashes mata yang akan dioperasi diepilasi dengan hati-hati, dibersihkan dengan
Povidone-Iodine 5 % solution dan ditandai.
4. Diberikan antibiotik profilaksis topikal tiap 6 jam.
5. Sedativa ringan (Diazepam 5 mg) dapat diberikan 1 hari sebelum operasi pada
pasien yang mengalami ansietas.
6. Pada hari operasi, pasien dipuasakan 6-8 jam.
7. Pupil diberikan midriatikum 2 jam sebelum operasi setiap 15 menit
-
perdarahan
dan
pembuluh
darah
besar
dikoagulai
dengan
elektrokauter bipolar.
5. Insisi dibuat setengah ketebalan pada limbus dengan menggunakan razor
mounted on blade breaker-holder, sehingga akan tampak insisi dengan
konfigurasi bi-planar.
6. Cairan visko-elastik (Poly-propyl hydroxy methyl cellulose or sodium
hyaluronate) diinjeksikan ke bilik mata depan, cairan ini akan meliputi endotel
kornea, melindunginya dari kerusakan, dan memperdalam bilik mata depan
untuk memperluas area operasi.
7. Dilakukan kapsulotomi anterior dengan menggunakan jarum bent hypodermic
26 or 30 G, dilakukan dengan beberapa teknik, antara lain bear-can opener,
Christmas tree, envelope, capsulorrhexis, dan lain-lain
8. Insisi lumbal diperluas dengan menggunakan gunting kornea
9. Nukleus dinyatakan dengan memberikan tekanan lain pada jam 12 dan jam 6
meridian,
10. Korteks dikeluarkan dengan suction dilakukan dengan IA Cannula (IrrigationAspiration), kemudian diirigasi dengan saline fisiologis atau ringer laktat.
11. Jika akan dilakukan implantasi lensa, larutan viskoelastik diinjeksikan kembali
ke bilik mata depan.
12. IOL (intraocular lens) dimasukkan ke dalam kapsula lensa kemudian
dirotasikan sampai diperoleh kedudukan yang terbaik.
13. Larutan viskoelastik diaspirasi dengan IA Cannula.
14. Insisi lumbal dijahit dengan menggunakan Prolene 10.0 atau Nylon sekitar
ketebalan kornea dan sklera dengan jahitan interuptus atau kontinu. Jahitan
diangkat setelah 6-8 minggu. Adapun penyembuhan sempurna luka terjadi
setelah 1-3 tahun.
15. Konjungtiva direposisikan menutup luka di daerah limbus.
16. Antibiotik kombinasi dan steroid diinjeksikan subkonjungtiva, dan mata ditutup
selama 24 jam.
b. Intra-capsular cataract extraction (ICCE)
23
Lensa dikeluarkan secara in toto, nukleus dan korteks dikeluarkan dalam kapsula
lensa setelah memutuskan zonula zinii. Kerugiaannya hanya dapat dilakukan
implantasi anterior chamber IOL yang dapat menimbulkan komplikasi terhadap
kornea. Selain itu tidak ada barrier segmen anterior dan posterior bola mata
sehingga mudah timbul komplikasi. Keuntungannya adalah tidak akan terjadi
katarak sekunder karena seluruh komponen lensa telah dikeluarkan.
Tahap-tahap pembukaan bola mata dan penutupan luka di limbus sama dengan yang
dilakukan pada ECCE. Namun, metode pengeluaran lenda berbeda dengan insisi
yang lebih besar (jam 9.30 2.30 atau lebih) dan dilakukannya iridektomi perifer
sebelum pengeluaran lensa. Teknik-teknik yang dilakukan untuk pengeluaran lensa,
antara lain :
1. Cryo-extraction : menggunakan cryoprobe dan N2O menyebabkan suhu turun
hingga -400C, yang menyebabkan perlekatan lensa ke probe, lensa dikeluarkan
secara perlahan.
2. Erysiphake
3. Sliding technique
4. Tumbling
5. Lens Forceps technique
6. Wire-vectis technique
Tabel Perbandingan ECCE dan ICCE
Sumber : Ophtalmology, a Pocket Textbook Atlas, 2nd Ed, Thieme, pg 192
24
Pengeluaran lensa
ECCE
Nucleus dikeluarkan dari
ICCE
Lens dikeluarkan secara in toto
dikeluarkan
zonula zinii
Incisi
Iridektomi perifer
Instrumen (rumit)
Waktu
Implantasi IOL
Diperlukan
Lebih lama
Posterior chamber
Teknik
Biaya
Komplikasi yang
Lebih sulit
Lebih banyak
After-Cataract
meningkat
vitreus
2. Edema makula
3. Endophthalmitis
4. Aphakic Glaucoma
5. Fibrous & Endothelial
ingrowth
6. Neovascular Glaucoma
in Proliferative Diabetic
Retinopathy
After-Cataract
Komplikasi yang
berkurang
Indikasi
1. Dislokasi lensa
Kontraindikasi
1. Dislokasi lensa
2. Subluksasi lensa
(>1/3 bagian
zonula rusak)
(Ligament of Weigert)
c.Phacoemulsification
Teknik ini merupakan suatu bentuk modifikasi ECCE dimana nukleus diubah ke
dalam bentuk bulir diemulsifikasi dengan gelombang suara frekuensi tinggi (40,000
MHz), kemudian dilakukan suction melalui insisi kecil (3,2 mm). Kemudian
foldable IOL khusus dimasukkan ke dalam kapsula lensa melalui insisi yang sama.
Keuntungannya adalah tidak ada kemungkinan kecil terjadinya astigmatisma
postoperatif, penyembuhan luka lebih cepat, dan rehabilitasi visual dapat terjadi
dalam 6-8 minggu.
Tata laksana postoperatif
1. 24 jam postoperative verban dibuka dan mata dibersihkan
2. Mata diperiksa seluruhnya terutama tajam penglihatan, secret dalam saccus
konjungtiva, aposisi luka, kejernihan cornea, kedalaman bilik mata depan dan
hifema, pupil, IOL, kapsula posterior, retina, dan tekanan intra okuli.
3. Tetes antibiotic-steroid topical diberikan setiap 4-6 jam dan salep diberikan sebelum
tidur, digunakan untuk mengontrol infeksi dan inflamasi postoperatif dan diturunkan
dosisnya dalam 4-6 minggu.
4. Pasien dianjurkan untuk menghindari mencuci kepala dalam waktu 1 minggu,
mengangkat beban berat dalam 3 bulan.
Komplikasi operasi katarak
Intraoperatif
1. Kerusakan endotel kornea
2. Ruptura kapsula posterior lensa
3. Prolapsus dan degenerasi vitreus
4. Hyphaema
5. Hemoragik ekspulsif
6. Dislokasi nucleus ke dalam vitreus
Postoperatif
Dini
1. Edema kornea
26
2. Bekas luka
3. Prolapsus iris
4. Bilik mata depan yang dangkal
5. Hifema
6. Glaukoma
7. Dislokasi IOL
8. Endophthalmitis
Lanjut
1. After cataract
2. Cystoid macular edema (CME)
3. Vitreous touch syndrome
4. Vitreous wick syndrome
5. UGH syndrome (uveitis, glaucoma and hyphaema)
6. Bullous Keratopathy
7. Glaukoma
III.8 Prognosis
Beberapa kasus katarak berhenti setelah mencapai kondisi tertentu, namun umumnya
bersifat progresif dan bila tidak diobati akan menyebabkan kebutaan terutama pada
pasien berusia lebih dari 55 tahun. Katarak tidak pernah reversibel walaupun faktor
predisposisinya telah dihilangkan.
3.2 Pterigium
III. 1 Definisi
Pterigium adalah suatu penebalan konjungtiva bulbi yang berbentuk segitiga, mirip
daging yang menjalar ke kornea5, pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif 1
III.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi
geografisnya. Di daratan Amerika serikat, prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk
daerah diatas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36o. Sebuah
hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet
27
lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di
lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah. 6
III.3 Mortalitas/Morbiditas
Pterygium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi visual
atau penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi inflamasi sehingga menyebabkan
iritasi okuler dan mata merah.6
Berdasarkan beberapa faktor diantaranya :
1. Jenis Kelamin
Pterygium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih banyak
dibandingkan wanita. 6
2. Umur
Jarang sekali orang menderita pterygium umurnya di bawah 20 tahun. Untuk pasien
umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang tertinggi, sedangkan pasien
yang berumur 20-40 tahun dilaporkan mempunyai insidensi pterygium yang paling
tinggi.6
III.4 Etiologi
Pterigium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari, dan
udara panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu
neoplasma, radang, dan degenerasi.1
III.5 Patofisiologi
Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan ultraviolet,
debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi
yang menjalar ke kornea. Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai
kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua
kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum
lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior. Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat
sinar ultraviolet yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain,
karena di samping kontak langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet
secara tidak langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu pada bagian nasal konjungtiva
lebih sering didapatkan pterigium dibandingkan dengan bagian temporal.5
28
pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan aksis visual
sehingga tajam penglihatan menurun.8
29
Derajat 2 : Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea
Derajat 3 : Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm)
III.8 Diagnosa
Penderita dapat melaporkan adanya peningkatan rasa sakit pada salah satu atau kedua
mata, disertai rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak. Kondisi ini mungkin telah ada
selama bertahun-tahun
tanpa
gejala
dan menyebar
perlahan-lahan,
pada
akhirnya
3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak
dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada
kornea.8
B. Bedah
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat
mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi
dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk
menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan
hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mungkin, angka
kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus
pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.8
A.Indikasi Operasi5
1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena
astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.
B. Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan, dibuktikan
dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik bedah telah
digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena tingkat kekambuhan
yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah langkah pertama
untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari
kornea yang mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat,
jaringan parut yang minimal dan halus dari permukaan kornea.1 MMC topikal setelah
operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif
untuk mengurangi toksisitas.9
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena menghambat
mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun tidak ada data yang jelas dari
angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis scleral,
endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk
tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya.9
31
Sinar Beta
III.11 Komplikasi
1.
2.
Gangguan penglihatan
Mata kemerahan
Iritasi
Infeksi
Ulkus kornea
Iritasi
Yang paling sering dari komplikasi bedah pterigium adalah kekambuhan. Eksisi bedah
memiliki angka kekambuhan yang tinggi, sekitar 50-80%. Angka ini bisa dikurangi sekitar 515% dengan penggunaan autograft dari konjungtiva atau transplant membran amnion pada
saat eksisi6
32
III.12 Pencegahan
Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti nelayan, petani
yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan memakai kacamata
pelindung sinar matahari
III.13 Prognosis
Pterigium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya prognosis baik.
Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitotastik tetes mata atau beta
radiasi.6 Eksisi pada pterigium pada penglihatan dan kosmetik adalah baik. Prosedur yang
baik dapat ditolerir pasien dan disamping itu pada beberapa hari post operasi pasien akan
merasa tidak nyaman, kebanyakan setelah 48 jam pasca operasi pasien bisa memulai
aktivitasnya. Pasiendengan pterygium yang kambuh lagi dapat mengulangi pembedahan
eksisi dan grafting dengan konjungtiva / limbal autografts atau transplantasi membran
amnion pada pasien tertentu6
DAFTAR PUSTAKA
33
1. Ilyas S. Penglihatan turun perlahan tanpa mata merah. Ilmu penyakit mata. Edisi
ketiga. Jakarta: balai penerbit FKUI; 2007. Hal 200-11.
2. Harper RA, Shock JP. Lens in Vaughan and Asburys: General Opthalmology 16th
edition. McGraw Hills Company : 2007. P. 173-180.
3. Scholte, Pocket Atlas of Ophtalmology, Thieme, 2006, pg 140
4. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi kedua. Jakarta : Sagung Seto;2002.
5. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. Edisi III penerbit
Airlangga Surabaya. 2006. hal: 102 104
6. Jerome P Fisher, PTERYGIUM. 2009
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
7. www.eyewiki.aao.org/Pterygium
8. www.inascrs.org/pterygium/\
9. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. Management
of Pterygium http://www.aao.org/aao/publications/eyenet/201011/pearls.cfm
10. www.mdguidelines.com/pterygium
34