Anda di halaman 1dari 11

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007

PENGARUH UMUR, MUSIM DAN TAHUN BERANAK


TERHADAP PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIAN HOLSTEIN
PADA PEMELIHARAAN INTENSIF DAN SEMI-INTENSIF
DI KABUPATEN BANYUMAS
(Effect of Age, Season and Year of Calving on Milk Yield of Hollstein
Friesian Raised Intensively and Semi-Intensively in Bayumas District)
ANNEKE ANGGRAENI
Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002

ABSTRACT
Milk yield per lactation of dairy cows is affected by a number of environmantal factors causing variation
among animals. Influences of age, season and year of calving on milk yield of Holstein-Friesian (HF) cows
were investigated at the Breeding Station (BS) and a number of small dairy holders (SDH) in Banyumas
district, Central Java. A number of milk lactation indices (LIs) including complete milk yield, annual milk
yield, standardized 305-d yield and milk yield per day were investigated by least square techniques of GLM.
Individual milk LIs generally showed a quadratic pattern as the age of the lactating cows progressed and
reached the peak yields at the age range of 49 60 mo, equivalent to the 3rd 4th lactation. Season of calving
resulted in non significant effects on milk yield in both locations (P > 0.05). This was mainly due to the
availability of abundant forages and sufficient concentrate to feed lactating cows through the year in the BS
and any attempts conducted by dairy farmers to substitute the lack of forages and concentrate during the
adverse dry season in SDH. During six periods of calving observation ( 1994 2000), cows in SDH
produced milk in a quadratic pattern with the highest yield occurring in calving year of 1996, but a cubic
pattern of milk yield resulted from cows lactating in the BS. The changes in genetic and environment were
two principal factors associated with the changed milk yield by progressing years of cows lactating in both
locations. Decreased resources per animals, standard management and selection activity might be additional
factors in decreasing milk performance of HF cows particularly in SDH.
Key Words: Holstein-Friesian Cows, Milk Lactation Indices, Age, Season, Year of Calving
ABSTRAK
Produksi susu per laktasi sapi perah akan dipengaruhi oleh sejumlah faktor lingkungan sehingga
menimbulkan variasi produksi antara individu ternak. Penelitian bertujuan mengetahui pengaruh umur,
musim dan tahun beranak pada performans produksi susu sapi Friesian-Holstein (FH) pada dua kondisi
pemeliharaan berbeda, manajemen intensif di Stasiun Bibit (SB) dan semi-intensif di sejumlah peternakan
rakyat (PR) di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Sejumlah indeks laktasi dari produksi susu meliputi
produksi laktasi lengkap, tahunan, terstandarisasi 305 hari, dan harian dianalisis menggunakan teknik kuadrat
terkecil untuk data tidak berimbang. Umur beranak umumnya berpengaruh nyata pada indeks produksi susu
(P < 0,05) di SB dan PR. Produksi susu mengikuti pola kuadratik dengan meningkatnya umur awal laktasi.
Puncak produksi dicapai pada kisaran umur 49 60 bulan, setara laktasi ke 3 4. Musim berpengaruh tidak
nyata pada semua indeks produksi susu (P > 0,05) di kedua lokasi. Ini dikarenakan pakan hijauan tersedia
mencukupi sepanjang tahun di SB, sedangkan di PR kemungkinan karena usaha peternak menggunakan
sejumlah sumber pakan dapat memenuhi kebutuhan nutrisi ternak selama masa sulit musim kemarau.
Pengamatan dalam enam periode produksi ( 1994 2000), menghasilkan perubahan kuadratik produksi
susu di PR dengan puncak produksi terjadi di tahun 1996; sebaliknya pola kubik produksi susu terjadi di SB.
Genetik dan lingkungan merupakan dua faktor utama dalam mempengaruhi tren produksi selaras dengan
berjalannya waktu sapi berproduksi di kedua lokasi. Menurunnya kualitas ternak, manajemen standar yang
diterapkan dan aktivitas seleksi kemungkinan juga menjadi faktor pembatas kinerja produksi sapi FH
terutama di PR.
Kata Kunci: Friesian-Holstein, Indeks Produksi Susu, Umur, Musim, Tahun Melahirkan

156

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007

PENDAHULUAN
Introduksi budidaya sapi perah sub-tropis
telah
ditempuh
oleh
banyak
negara
berkembang
dalam
rangka
memenuhi
permintaan susu segar mereka yang terus
meningkat. Adopsi budidaya sapi perah Bos
taurus yang dikenal memiliki kemampuan
produksi susu tinggi di negara asalnya,
diharapkan dapat menstimulir peningkatan
produksi susu secara signifikan dibandingkan
pemeliharaan sapi perah Bos indicus. Banyak
studi melaporkan kegiatan introduksi sapi
perah sub-tropis untuk mensuplai permintaan
susu segar dari masyarakat negara berkembang
yang sebagian besar memiliki kondisi iklim
tropis (ANGGRAENI, 2006). Lebih jauh adopsi
teknologi ini sering difokuskan sebagai
kegiatan usaha peternakan rakyat di daerah
pedesaan dan pinggiran kota (TADESSE dan
DESSIE, 2003; MASAMA et al., 2003; AGEEB
dan HAYES, 2003). DEVENDRA (2001)
menyatakan ekspansi budidaya sapi perah
eksotik yang diterapkan pada kondisi peternak
kecil di daerah tropis kurang memberi hasil
menggembirakan karena ditemui banyak
kendala seperti sulitnya memperoleh pakan
berkualitas sepanjang tahun, meningkatnya
invasi penyakit dan terjadinya cekaman
ekstrim panas tropis. Peternak kecil juga
memiliki kemampuan yang kurang (tidak)
memadai dalam memelihara sapi perah,
disamping rendahnya pemilikan modal dan
fasilitas
yang
dibutuhkan
untuk
mengkondisikan sapi perah eksotik dapat
berproduksi mendekati kemampuannya di
daerah asal.
Susu, sebagai salah satu sifat penting dari
suatu usaha produksi sapi perah, perlu
dihasilkan secara efisien baik oleh setiap
individu ternak ataupun usaha peternakan.
Apabila susu dapat dihasilkan dengan efisien,
diharap produktivitas ternak akan optimal dan
operasional
peternakan
menguntungkan,
sehingga menjamin keberlanjutan usaha sapi
perah. Produksi susu per periode laktasi setiap
ekor sapi laktasi dipengaruhi banyak faktor
seperti kemampuan genetik, umur berproduksi,
paritas, frekuensi pemerahan, lama laktasi dan
status fisiologis ternak. Produksi susu dari
suatu peternakan dipengaruhi oleh kapasitas
produksi ternak serta kondisi keseluruhan

peternakan. Dengan demikian, produksi susu


yang dihasilkan akan ditentukan oleh struktur
ternak, pakan, musim, manajemen dan
keseluruhan
lingkungan
pemeliharaan.
Sejumlah faktor lain juga bisa berkontribusi
tetapi sering sulit diukur pengaruhnya pada
produksi susu, contohnya invasi penyakit dan
parasit, yang memerlukan upaya pencegahan
dan pengobatan (ENTING et al., 1997).
Adanya perhatian dan usaha intensif dari
pemerintah pada peternakan sapi perah rakyat
selama lebih dari dua dekade, telah mendorong
berkembangnya peternak skala kecil sebagai
pelaku utama budidaya sapi perah domestik.
Sampai saat ini tidak kurang dari 90% populasi
sapi perah FH dioperasikan oleh peternak skala
kecil (4 10 ekor), hanya dalam jumlah kecil
diusahakan peternak skala menegah dan besar.
Budidaya sapi perah tersebut juga masih
terkonsentrasi di Jawa Timur, Jawa Tengah
dan Jawa Barat. Evaluasi awal yang dilakukan
sekitar lebih dari satu dekade oleh SYRSTAD
(1990) patut untuk dijadikan perhatian yang
menekankan
bahwa
transfer
teknologi
budidaya sapi perah eksotik memerlukan
evaluasi pada sejumlah sifat dengan nilai
ekonomis penting. Hal ini dikarenakan adanya
interaksi antara faktor genetik dan lingkungan
yang akan mempengaruhi kemampuan
produksi susu sapi perah subtropis. Hasil
evaluasi dapat dijadikan bahan informasi untuk
mengupayakan sapi perah eksotik dapat
berproduksi secara optimal di daerah tropis.
Dengan demikian, dalam memperbaiki
produktivitas sapi perah FH diperlukan
evaluasi berbagai faktor lingkungan yang
diperkirakan mempengaruhi sapi tersebut
dalam mengekspresikan produksi susu.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh umur, musim dan tahun pada saat
sapi beranak atau berawal laktasi pada sapi FH
yang dipelihara dalam dua kondisi berbeda,
manajemen intensif di stasiun bibit sapi perah
BPTU Baturraden (SB) dan semi-intensif di
sejumlah peternakan rakyat binaan (PR) di
Kabupaten
Banyumas,
Jawa
Tengah.
Informasi yang diperoleh diharap akan
dijadikan sebagai bahan acuan dalam
mengetahui kontribusi pengaruh lingkungan
yang dipelajari pada keragaman produksi sapi
untuk dipilih sebagai calon bibit.

157

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007

MATERI DAN METODE


Penelitian dilakukan pada dua kondisi
usaha sapi perah yang berbeda, pertama pada
manajemen intensif dengan pemeliharaan
ternak skala besar di Balai Pembibitan Ternak
Unggul Baturraden (BPTU Baturraden) (SB)
dan kedua pada sejumlah peternak rakyat yang
umumnya melakukan pemeliharaan ternak
secara semi-intensif (PR) di Kabupaten
Banyumas. BPTU Baturraden terletak pada
kaki gunung Slamet dengan ketinggian > 1.500
m dpl, sehingga memberikan kondisi iklim
cukup nyaman bagi sapi perah subtropis.
Seluruh peternakan sapi perah rakyat penelitian
(PR) merupakan binaan dari SB yang sudah
berkembang lebih dari satu dekade. Hampir
semua lokasi menyebar pada dataran rendah
dengan ketinggian berkisar antara 150 350 m
dpl dari 25 desa di lima kecamatan Pekuncen,
Cilongok, Karang Lewas, Sumbang dan
Baturraden
di
Kabupaten
Banyumas.
perkecualiaan pada kecamatan Baturraden
yang berlokasi dekat dengan SB dan berada
pada ketinggian > 750 m dpl.
Kabupaten Banyumas memiliki tipe iklim
subhumid tropis. Pengamatan tahun 2002
menunjukkan temperature harian berkisar
24,4C 30,9C, dengan rataan 26,3C. Rataan
curah hujan (CH) tahunan di SB selama 10
tahun pengamatan (1983 1992) adalah 6,595
mm/thn (4,946 8,117 mm/tahun). Sedangkan
rataan CH di peternakan rakyat selama 13

1200

tahun pengamatan (1990 2002) adalah 3,115


mm/thn (1,935 4,878 mm/tahun). Kecamatan
Baturraden merupakan kecamatan yang
mempunyai intensitas CH tertinggi, dengan
rataan CH 3,726 mm/thn (2,156 5,779
mm/tahun). Gambar 1 mengillustrasikan
sebaran CH bulanan di sekitar lokasi SB dan
PR
di
Kecamatan
Baturraden
yang
menunjukkan sebaran CH tahunan di
Kabupaten Banyumas pada dasarnya berpola
unimodal. Curah hujan tinggi terjadi sekitar
bulan Oktober sampai Maret selanjutnya
menjadi berkurang selama bulan April sampai
September.
Pada BPTU Baturraden, anak sapi
dibesarkan secara artifisial. Anak setelah
dilahirkan segera dipisah dari induk kemudian
diberi kolostrum selama 6 hari dilanjutkan
dengan pemberian susu buatan sampai berumur
enam bulan. Selain itu diberi konsentrat
dengan jumlah yang meningkat sekitar 0,25 2
kg/hari/ekor. Sapi dara dipelihara pada
kandang pembesaran dengan pemberian pakan
hijauan segar sebanyak 10% BB atau sekitar 25
kg/hari/ekor dan konsentrat dengan jumlah
meningkat sekitar 2,25 5 kg/hari/ekor. Sapi
induk dikandangkan berdasarkan perbedaan
status fisiologis. Pemberian hijauan segar
sebanyak 10% BB sekitar 55 kg dan pemberian
konsentrat tergantung kapasitas produksi susu
biasanya pada rasio konsentrat dan susu
sebesar 1 : 2.

SB

PR

1000

Curah hujan
mm/bulan

800
600
400
200
0
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des

Bulan

Gambar 1. Distribusi curah hujan bulanan pada sekitar lokasi Stasiun Bibit (SB) dan Kecamatan Baturraden
(PR)

158

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007

BPTU Baturraden secara teknis mengemban


dua tugas utama. Tugas pertama sebagai
penghasil hijauan dan bibit unggul (rumput dan
legum) yang dipakai untuk keperluan sendiri
ataupun disebarkan pada peternak binaan.
Beberapa pakan hijauan unggul ditanam antara
lain King Grass (Composite grass), Brachiaria
decumbens, Pennisetum purpureum and
Setaria splendid juga Gliricidia sepium sebagai
legume unggul pada total area tanam 40 ha.
Fungsi kedua sebagai penghasil sapi perah
Friesian-Holstein (FH) betina bibit baik dara
dan induk. Sapi induk dengan kapasitas
produksi susu dibawah rataan populasi
disebarkan kepada peternak binaan. Pada
kondisi peternak rakyat, pemeliharaan ternak
dilakukan baik secara individu atau
berkelompok
dengan
satu
kelompok
beranggota antara 10 12 peternak.
Pemeliharaan kelompok dimaksudkan untuk
memudahkan pemberian bantuan fasilitas,
transfer teknologi dan pembinaan peternak.
Pada kondisi peternakan rakyat, setelah
anak dilahirkan biasanya peternak segera
memisahkannya dari induk, diberi kolostrum
selama enam hari, kemudian diberi susu buatan
menggunakan ember. Anak juga diberi
konsentrat dan hijauan dalam jumlah yang
meningkat. Setelah disapih pada umur enam
bulan, sapi dara dipelihara pada kandang
berbeda tetapi sering disatukan dengan sapi
laktasi. Sapi dara diberikan pakan hijauan dan
konsentrat dengan jumlah lebih rendah
dibandingkan sapi induk. Standar pemberian
hijauan segar sekitar 10% BB dan konsentrat
dalam jumlah bervariasi. Sumber pakan
hijauan biasanya bersumber dari hijauan
unggul, sisa tanaman pangan ataupun rumput
alam. Rumput unggul yang diberikan antara
lain King grass (composite grass), Pennisetum
purpureum, Brachiaria decumbens dan Setaria
splandida. Konsentrat diberikan terutama pada
induk bunting dan laktasi, sedangkan sapi dara
mendapatkan konsentrat dengan jumlah lebih
sedikit. Berbagai alternatif pakan konsentrat
juga diberikan terutama dalam menghadapi
masa sulit pakan selama musim kemarau
seperti ampas ubi, tahu, dedak dan pollard.
Pemerahan di SB dilakukan dua kali sehari
menggunakan mesin perah dilanjutkan
pemerahan tangan bila produksi sudah
menurun. Pengeringan dilakukan sekitar dua

bulan sebelum sapi beranak kembali atau bila


produksi susu sudah menurun hanyak sekitar 2
kg/hari/ekor. Pada kondisi peternakan rakyat,
pemerahan
sapi
semuanya
dilakukan
menggunakan tangan sebanyak dua kali sehari.
Pengeringan biasanya sama dengan yang
dilakukan SB.
Catatan produksi susu harian sapi perah FH
kedua lokasi dikumpulkan dari data dasar
produksi susu di Bagian Pembibitan di SB.
Produksi susu harian merupakan penjumlahan
produksi susu yang dikumpulkan pada pagi dan
sore di hari yang sama yang mulai dicatat pada
hari ke-7 setelah beranak. Pada SB, produksi
susu harian dicatat setiap minggu dan
dikumpulkan selama periode produksi sepuluh
tahun, 1992 2002. Catatan produksi susu
harian di PR dicatat setiap bulan dan
dikumpulkan selama periode enam tahun, 1996
2002. Sejumlah laktasi indeks produksi susu
yang dievaluasi adalah produksi laktasi
lengkap (LL), produksi tahunan (PTH),
produksi terstandar 305-hari (P 305-hari) dan
produksi harian (PHR). Produksi tahunan
merupakan produksi susu harian dari satu
laktasi lengkap dibagi dengan selang beranak
selanjutnya dikalikan dengan 365 hari.
Produksi 305 hari diperoleh dengan
menstandarisasi produksi susu kumulatif dari
laktasi lengkap atau sebagian kepada produksi
305 hari menggunakan perangkat faktor
koreksi yang dikembangkan untuk setiap
lokasi, SB dan PR.
Pengaruh umur, musim dan tahun beranak
dipelajari
dengan
mempertimbangkan
ketiganya sebagai faktor bebas dari setiap
indeks produksi susu dalam model linier umum
(General Linier Model/GLM) untuk data tidak
berimbang guna mendapatkan rataan kuadrat
terkecil (RKT) dari setiap pengaruh lingkungan
tersebut. Musim beranak diklasifikasi kedalam
empat musim berdasarkan sebaran CH bulanan
(Gambar 1), yaitu akhir musim hujan (Januari
Maret), awal musim kemarau (April Juni),
akhir musim kemarau (Juli September) dan
awal musim hujan (Oktober Desember).
Jumlah catatan dan ternak yang digunakan
untuk PLL, PTH, PHR dan P 305 hari
berurutan 442 (171), 386 (154), 439 (171) dan
282 (133) di SB dan 605 (309), 405 (229), 599
(308) dan 459 (278) di PR.

159

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007

HASIL DAN PEMBAHASAN


Deskripsi performans produksi susu
Rataan dan simpangan baku indeks laktasi
dari produksi susu sapi FH di kedua lokasi SB
dan PR disajikan pada Tabel 1. Performans
produksi susu sapi FH di SB lebih tinggi
dibandingkan di PR. Demikian pula simpangan
baku dari hampir semua indeks produksi susu
sapi FH di SB lebih besar terhadap PR yang
mencerminkan variasi produksi susu lebih
tinggi di SB. Rataan PLL sapi FH di SB (4.335
kg) lebih rendah dibandingkan dengan
performa produksi susu sapi yang sama di
daerah subtropis, misalnya dengan sapi
Holstein di USA 7114 8355 kg (RAY et al.,
1992) dan United Kingdom antara 6811 8821
kg (WICKS dan LEAVER, 2002).
Prestasi tersebut juga masih lebih rendah
bila dibandingkan dengan produksi sapi perah
temperate yang dilaporkan oleh beberapa studi
di wilayah tropis dengan kisaran 4564 5003
kg di Afrika Utara (DJEMALI dan BERGER,
1992), 4791 kg di Zimbabwe (MAKUZA dan
MCDANIELL, 1996), 5204 kg di Sudan (AGEB
dan HAYES, 2000) dan 4851 kg di Pakistan
(NIAZI dan ALEEM, 2003). Sementara PLL sapi
FH di PR lebih rendah daripada di SB, 3179 kg
vs 4791 kg. Meskipun demikian prestasinya
tidak jauh berbeda dengan rataan produksi susu
sapi perah temperate di sejumlah wilayah lain,
yang diperoleh 3253 kg di Emirat Arab
(ANSHELL, 1976), 3041 kg di Bolivia
(WILKINS et al., 1979) dan 3028 kg di
Ethiophia (TADESSE dan DESSIE, 2003).
Rataan produksi susu harian sapi FH di SB
(14,3 kg) masih sebanding dengan sapi FH di
Sudan (14,7 kg) (AGEEB dan HAYES, 2000),
tetapi lebih rendah dari sapi Holstein di Turkey

(19,0 kg) (TEKERLY dan GUNDOGAN, 2005).


Demikian pula PHR sapi FH di PR (9,7 kg)
masih sebanding dengan produksi sapi FH di
Ethiophia (10.0 kg) (TADESSE dan DESSIE,
2003). Rataan PTH sapi FH baik di SB dan PR
(3895 kg dan 2735 kg) lebih rendah
dibandingkan rataan PLL (4335 kg dan 3179
kg) yang mencerminkan menurunnya kinerja
reproduksi sapi FH tersebut di kedua lokasi.
Meskipun demikian, rataan PTH sapi FH di SB
sedikit lebih tinggi dibandingkan sapi Holstein
di Sudan (4125 kg) (AGEEB dan HAYES, 2000),
sementara rataan PTH sapi FH di PR lebih
tinggi dibandingkan sapi FH di Ethiophia
(2611 kg) (TADESSE dan DESSIE, 2003).
Rataan P 305-hari sapi FH di SB (4635 kg)
masih lebih rendah dari kisaran produksi 6525
- 8198 kg dari sapi Holstein di Arizona (RAY et
al., 1992) dan 6182 6281 kg dari sapi FH di
Turkey (KAYA et al., 2003). Akan tetapi rataan
P 305-hari tersebut masih tidak berbeda dengan
kisaran produksi 3898 5906 kg pada sapi FH
impor dan 3917 5450 pada keturuan
pertamanya di Jordan (LAFI et al., 1995).
Rataan P 305-hari sapi FH di PR (3057 kg)
lebih rendah dari produksi 3538 kg sapi
Holstein lokal di Egypt (MARAI et al., 1999),
akan tetapi lebih tinggi terhadap kisaran
produksi 2207 2499 kg sapi Friesians di
Egypt (MARAI et al., 1999) dan Ghana (OSEI et
al., 1991).
Perbedaan indeks laktasi dari produksi susu
pada berbagai wilayah tersebut terjadi antara
lain karena perbedaan potensi genetik ternak,
pakan, managemen dan lingkungan. Menurut
COMBELASS et al. (1981) ekspresi fenotipe dari
sapi perah eksotik di wilayah tropis terkait erat
dengan sistem produksi yang diterapkan dan
faktor lingkungan pemeliharaan. Selaras
dengan hal tersebut, WILKINS et al. (1979)

Tabel 1. Rataan dan simpangan baku (sb) indeks laktasi produksi susu sapi Friesian-Holstein di dua lokasi
stasiun bibit (SB) dan peternakan rakyat (PR)
SB

PR

Keseluruhan

Rataan

sb

Rataan

sb

Rataan

sb

PLL

441

4335

1082

604

3179

899

1045

3667

1134

PHR

438

14,3

2,7

598

9,7

0,1

1036

11,6

3,4

PTH

385

3895

904

404

2735

818

789

3301

1038

P 305-hari

282

4635

856

458

3057

721

738

3655

1089

PLL = poduksi laktasi lengkap; PHR = produksi harian; PTH = produksi tahunan; P 305-hari = produksi 305
hari

160

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007

menekankan sistem produksi yang diterapkan


akan berpengaruh besar pada kemampuan
produksi, reproduksi dan morbiditas ternak.
Pengaruh umur saat beranak
Hasil analisis ragam menunjukkan umur
beranak berpengaruh sangat nyata (P > 0,05)
pada semua indeks produksi susu sapi FH baik
di SB maupun PR (Tabel 2). Kontribusi
pengaruh umur, dinyatakan dengan koefisien
keragaman (R2 = JK setiap lingkungan/JK
total), bervariasi antara 1,05 6,41% di SB dan
1,91 5,02% di PR. Berdasarkan klasifikasi
lima umur beranak ( 36 bulan sampai 73
bulan), nilai rataan terkoreksi (RTK) indeks
laktasi dari produksi susu umumnya
membentuk pola kurvilinier dengan semakin
bertambahnya umur sapi berlaktasi baik di SB
(Tabel 3) maupun di PR (Tabel 4). Puncak
produksi tercapai pada kisaran umur 49 60
bulan. Kekecualian terjadi untuk PTH di SB
dengan puncak produksi tercapai pada umur
lebih awal (37 48 bulan), sementara di PR
produksi PHR dan PHH lebih membentuk pola
linier selaras meningkatnya umur beranak.

Seperti tertera pada Tabel 3 dan 4,


dibandingkan dengan puncak produksi (49 60
bulan), PLL, PHR, PTH dan P 305-hari sapi
dengan umur beranak termuda (3 6 bulan)
berproduksi susu lebih rendah berurutan 12,1,
10,6, 5,4 dan 12,1% di SB; dan 10,9, 11,4, 16,2
dan 10,6% di PR. Sebaliknya, sapi dengan
umur tertua ( 73 bulan) berproduksi lebih
rendah berurutan 10,7, 4,0, 4,3 dan 10,8% di
SB; dan 6,5, 3,8, 2,7 dan 5,1% di PR.
Selaras dengan hal ini, paritas umumnya
berpengaruh secara kurvilinier pada indeks
laktasi dari produksi susu, meningkat sampai
laktasi ke-3 4 tetapi memasuki periode
laktasi ke lima dan selebihnya tidak memberi
hasil lebih baik. Kisaran umur dewasa saat
tercapai puncak produksi susu sapi Holstein di
sejumlah wilayah temperate USA antara 63
96 bulan (MAO et al., 1974) dan untuk sapi FH
di Tunisia antara 63 84 bulan (DJEMALI dan
BERGER, 1992). Puncak produksi tercapai pada
umur lebih awal pada sapi FH di SB dan PR
kemungkinan
disebabkan
oleh
faktor
lingkungan sebagai indikasi dari kurang
tercukupi kebutuhan energi dari sapi laktasi.

Tabel 2. Probabilitas dan koefisen keragaman pengaruh umur, musim dan tahun beranak pada produksi susu
sapi Friesian-Holstein
Lokasi/faktor
lingkungan
SB
Umur beranak
Musim beranak
Tahun beranak
Total
PR
Umur beranak
Musim beranak
Tahun beranak
Total
Keseluruhan
Lokasi
Umur beranak
Musim beranak
Tahun beranak
Total

PLL
R2 (%)

P 305-hari
P
R2 (%)

PTH
R2 (%)

PHR
R2 (%)

0,002**
0,187ns
0,000**

3,58
0,84
4,11
6,17

0,001**
0,846ns
0,005**

6,41
0,45
4,02
7,23

0,404ns
0,624ns
0,135ns

1,05
0,42
1,65
3,12

0,000**
0,667ns
0,000**

4,74
0,35
4,80
7,56

0,015*
0,510ns
0,000**

1,91
0,40
9,55
10,18

0,013*
0,214ns
0,000**

2,57
1,05
10,09
11,52

0,000**
0,106ns
0,001**

5,02
1,27
3,89
7,62

0,000**
0,051ns
0,000**

4,05
1,10
4,43
7,83

0,000**
0,000**
0,257ns
0,000**

25,7
1,7
0,3
3,8
30,7

0,000**
0,000**
0,226ns
0,000**

49,8
2,1
0,3
3,1
54,5

0,000**
0,007**
0,469ns
0,000**

31,5
1,2
0,2
1,4
33,4

0,000**
0,000**
0,601ns
0,000**

46,3
2,3
0,1
1,7
49,6

P = peluang; ** = P < 0,01; * = P < 0,05; ns = P > 0,05; R2 = koefisien keragaman yang diperoleh dengan
membagi setiap jumlah kuadrat lingkungan terhadap jumlah kuadrat total

161

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007

Tabel 3. Pengaruh faktor lingkungan pada indeks laktasi produksi susu (kg) sapi Friesian Holstein di Stasiun Bibit
Faktor lingkungan

Umur beranak (bulan)


36
37 48
49 60
61 72
73
Paritas
1
2
3
4
5
Musim beranak
Akhir hujan
Awal kering
Akhir kering
Awal hujan
Tahun beranak
1994
95
96
97
98
2000

128
117
76
48
72
129
138
78
45
51
94
135
129
82
87
68
79
83
71
53

PLL
RKT
P < 0,01**
4158a
4354b
4728c
4557c
4222a
P < 0,01**
4102a
4482b
4666c
4446b
4149b
P > 0,05ns
4460a
4323a
4553a
4278a
P < 0,01**
4738c
4376b
4361b
4509b
4205 a
4035a

sb
96
98
122
154
131
96
92
119
160
155

N
123
103
60
41
58
126
114
67
37
41

112
92
95
120

87
118
107
72

122
132
121
117
123
139

89
68
80
83
45
20

PTH
RKT
P > 0,05ns
3765a
3979a
3965a
3892a
3808a
P > 0,05ns
3766a
3933a
3971a
3950a
3808a
P > 0,05ns
3862a
3946a
3934a
3785a
P > 0,05ns
4041a
3822a
3903a
3979a
3771a
3663a

sb
86
89
118
144
124
86
85
111
152
148

PHR
RKT

127
117
75
48
71

P < 0,01**
13,5a
14,6b
15,1c
14,8b
14,5b

0,24
0,24
0,30
0,38
0,33

79
153
208
244
280

128
138
77
45
50

P < 0,01**
13,4a
14,7c
15,0c
14,4b
14,7c

0,24
0,23
0,30
0,39
0,38

81
88
62
29
23

0,28
0,23
0,23
0,30

57
79
93
54

0,30
0,33
0,30
0,29
0,26
0,24

74
121
168
218
160
120

100
84
92
110

93
134
129
81

105
114
104
101
112
117

86
67
78
83
77
57

P > 0,5ns
14,4a
14,5a
14,7a
14,3a
P < 0,01**
14,1a
13,8a
14,8b
15,5c
14,2 c
14,2a

sb

305-hari
RKT
P < 0,01**
4397a
4654b
4997c
4792b
4457a
P < 0,01**
4362a
4723b
4936c
4569b
4559b
P > 0,05ns
4708a
4704a
4638a
4588a
P < 0,01**
4614b
4414a
4776b
4998c
4515b
4496a

P = peluang; ** = P < 0,01, * = P < 0,05, ns = P > 0,05; huruf yang sama dari satu kolom menunjukkan secara statistik perbedaan tidak nyata (P > 0,05);
sb = simpangan baku; RKT = nilai rataan
Produksi laktasi lengkap (PLL); produksi harian (PHR); produksi tahunan (PTH); produksi 305 hari (P 305-hari)

162

sb
99,7
96,9
113,6
139,2
145,3
101,6
89,8
107,2
157,0
189,0
112,7
95,5
88,6
119,7
107,5
126,7
124,0
118,1
112,3
107,6

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007

Tabel 4. Pengaruh faktor lingkungan pada indeks laktasi produksi susu (kg) sapi Friesian Holstein di Peternakan Rakyat
Faktor lingkungan

Umur beranak (bulan)


36
37 48
49 60
61 72
73
Paritas
1
2
3
4
5
Musim beranak
Akhir hujan
Awal kering
Akhir kering
Awal hujan
Tahun beranak
1994
95
96
97
98
2000

147
131
104
68
140
231
152
90
61
70
155
141
153
149
67
35
92
153
154
100

PLL
RKT
P < 0,05*
3105a
3209a
3485b
3316a
3257a
P > 0,05ns
3157a
3292a
3361a
3352a
3321a
P > 0,05ns
3347a
3304a
3243a
3204a
P < 0,01**
3071b
3365c
3575c
3471c
3015b
2891a

sb
77
78
87
106
81
65
75
93
114
111

N
97
105
67
44
87
163
102
56
43
40

77
80
74
75

100
95
120
89

108
145
91
72
61
57

59
32
92
135
54
32

PTH
RKT
P < 0,01**
2462a
2570a
2939c
2826b
2861b
P < 0,01**
2511a
2667a
2866b
2901b
3095c
P > 0,05ns
2895a
2713a
2627a
2692a
P > 0,01**
2741b
2605b
2932c
2895c
2516b
2486a

sb
84
80
99
119
90
67
81
106
123
128

PHR
RKT

147
131
102
66
138

P < 0,01**
9,3a
9,5a
10,5c
10,3c
10,1b

0,21
0,21
0,24
0,29
0,22

108
104
83
47
105

231
151
88
59
69

P < 0,01**
9,3a
10,0b
10,3b
10,1b
10,5c

0,17
0,20
0,25
0,31
0,30

176
123
67
41
51

0,21
0,21
0,20
0,20

124
94
117
116

0,29
0,39
0,24
0,19
0,15
0,15

44
24
70
121
100
95

83
87
77
88

152
141
151
148

108
140
85
70
79
91

67
35
92
150
138
113

P > 0,05ns
10,2c
10,2c
9,6c
9,8c
P < 0,01**
10,2c
9,7b
10,5c
10,2c
9,2a
9,0a

sb

305 hari
RKT
P < 0,05*
2973a
3074a
3324b
3128a
3156a
P > 0,05ns
3000a
3207a
3219a
3216a
3170a
P > 0,05ns
3215a
3162a
3120a
3027a
P < 0,01**
3054b
3141c
3396c
3266c
2990b
2797a

Sb
74,1
70,1
79,3
102,5
73,9
60,7
69,0
86,1
112,7
103,3
71,3
77,9
68,3
67,7
104,8
139,8
83,3
64,9
73,2
52,3

P = peluang; ** = P < 0,01, * = P< 0,05, ns = P > 0,05; huruf yang sama dari satu kolom menunjukkan secara statistik perbedaan tidak nyata (P > 0,05)
Produksi laktasi lengkap (PLL), produksi harian (PHR), produksi tahunan (PTH) dan produksi 305 hari (P 305-hari)

163

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007

Pengaruh musim beranak


Tabel 2 menunjukkan musim beranak
memberi pengaruh tidak nyata pada semua
indek laktasi dari produksi susu di kedua lokasi
(P > 0,05) dan nilai R2 menunjukkan umur
beranak hanya berpengaruh kecil pada
berbagai performa produksi susu (SB = 0,35
0,84%; PR = 0,40 1,27%). Bila dibandingkan
indeks produksi dari sapi FH induk yang
beranak di awal musim hujan (April Juni)
dan awal musim kemarau (Oktober
Desember) di kedua lokasi (Tabel 3 dan 4),
diperoleh hasil yang hampir sama. Perbedaan
RTK dari PLL, PTH dan P 305-hari dari kedua
musim di SB berurutan 45, 161 dan 126 kg;
sedangkan di PR berurutan 100, 21 dan 65 kg.
Tipe unimodal dari CH bulanan secara jelas
menggambarkan perbedaan presipitasi CH
selama musim hujan dibandingkan musim
kemarau (Gambar 1). Kecilnya variasi
produksi susu antara musim awal laktasi sapi
FH di SB karena tersedianya hijauan baik
rumput dan legum unggul serta konsentrat
dalam jumlah dan kuantitas memenuhi
kebutuhan ternak sepanjang tahun. Tidak
signifikan pengaruh musim beranak terhadap
produksi susu sapi FH di PR, diperkirakan
karena peternak berusaha mencari berbagai
hijauan pakan alternatif seperti limbah
pertanian tanaman pangan (jerami padi, jerami
jagung dan jerami kacang tanah) dan rumput
alam untuk memenuhi kebutuhan ternak
terlebih selama masa sulit di musim kemarau.
Selain pakan konsentrat, banyak peternak juga
memberi hasil sampingan industri pertanian
seperti ampas tahu dan dedak terutama pada
sapi yang mulai laktasi dengan periode
produksi susu di puncak produksi.
Tidak nyata fluktuasi produksi susu antara
musim laktasi sapi FH di PR kiranya menjadi
suatu penjelasan bahwa pengaruh presipitasi
pada hasil produksi pakan hijauan dapat
diminimalkan apabila dilakukan sisipan
teknologi
aplikatif
untuk
menjamin
ketersediaan pakan tersebut dalam jumlah yang
memadai selama masa sulit musi kemarau.
Sejumlah teknologi pengolahan yang bisa
diupayakan seperti fermentasi jerami padi
ataupun silase rumput. Berkurangnya pengaruh
musim saat sapi berawal laktasi pada produksi
susu sapi FH juga dilaporkan pada kondisi
pemeliharaan di daerah panas Ethiophia

164

(TADESSE dan DESSIE, 2003) sebagai hasil


suplementasi pakan pada sapi laktasi selama
musim kering.
Pengaruh tahun beranak
Dikarenakan keterbatasan jumlah data
produksi susu pengamatan, pengaruh tahun
bernak pada kedua lokasi diklasifikasikan
menjadi 6 subklas, dari 94 sampai 2000
(Tabel 2). Tahun saat sapi berawal laktasi
memberi pengaruh sangat nyata pada semua
indeks laktasi produksi susu di kedua lokasi (P
> 0,01) dan kontribusinya lebih besar
dibandingkan kedua faktor lingkungan umurdan musim beranak, yakni dengan R2 antara
1,65 4,80% di SB dan 3,89 10,09% di PR
(Tabel 2). Meskipun demikian, didapatkan
perbedaan pola perubahan produksi susu
dengan berjalannya tahun produksi pada kedua
lokasi. Pola perubahan dari RTK indeks laktasi
dari produksi susu sapi FH di PR umumnya
berpola kuadratik (Tabel 3), tetapi di PR
umumnya ditemukan pola kubik (Tabel 4).
Pada sapi FH di SB, produksi susu sedikit lebih
tinggi pada awal tahun beranak 94
dibandingkan tahun 1995 dan 1997 kemudian
cenderung menurun sampai akhir tahun
beranak yang diamati 2000. Pada sapi FH di
PR, produksi susu umumnya meningkat
sampai mencapai puncak di tahun awal laktasi
1996 kemudian mengalami penurunan.
Kekecualian terjadi pada PTH dimana sapi
yang beranak pada awal tahun 1994
menghasilkan produksi susu sedikit lebih
tinggi terhadap tahun 1995.
Perubahan berbagai indeks produksi susu
selaras dengan berjalan tahun saat sapi beranak
atau berawal laktasi mencerminkan adanya
perubahan baik faktor genetik maupun
lingkungan. Produksi susu per periode laktasi
setiap ternak dipengaruhi oleh banyak faktor
seperti potensi genetik, umur saat laktasi atau
paritas, lama laktasi dan sejumlah faktor
fisiologis lainnya. Lebih jauh, produksi susu
peternakan akan dipengaruhi oleh struktur
ternak dan berbagai keputusan pada sistem
perkawinan,
pakan,
manajemen
dan
keseluruhan komponen lingkungan. Suatu
kombinasi dari dua atau lebih faktor tersebut
dapat memberi perubahan pola produksi susu
dari tahun ke tahun. Meskipun demikian, untuk

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007

mengetahui taraf pengaruh dari setiap faktor


ataupun interaksi dengan faktor lainnya pada
produksi susu sulit dilakukan. SYSRTAD (1990)
menjelaskan dengan berjalannya waktu
produksi, sejumlah faktor lain dapat pula
memberi pengaruh pada kemampuan produksi
susu ternak yang umum ditemukan pada
peternakan
rakyat
seperti
rendahnya
sumberdaya genetik ternak itu sendiri,
penurunan standar manajemen pemeliharaan
dan berkurangnya aktivitas seleksi pada
replacement stock. Dinyatakan pula, kondisi
tersebut merupakan suatu fenomena yang
umum ditemukan pada adopsi budidaya sapi
perah Subtropis di daerah tropis.
KESIMPULAN
Umur dan tahun beranak atau berawal
laktasi merupakan dua faktor lingkungan yang
memberi pengaruh besar sebaliknya musim
menyumbang relatif kecil pada performa
produksi susu sapi FH di kedua lokasi SB dan
PR. Umur berpengaruh kuadratik pada kedua
lokasi SB dan PR dengan puncak produksi
umumnya tercapai pada kisaran 49 60 bulan
setara dengan paritas ke-3 4. Pengaruh tidak
nyata musim beranak pada produksi susu sapi
FH khususnya di PR menginformasikan
suplementasi
pakan
dan
manajemen
merupakan salah satu cara efektif dalam
menanggulangi kesulitan pakan selama masa
sulit di musim kering. Selaras dengan
berjalannya waktu berproduksi menghasilkan
perubahan produksi susu berpola kuadratik
pada sapi FH di PR dan berpola kubik di SB.
Satu atau kombinasi dari faktor genetik dan
lingkungan diperkirakan penyebab perubahan
pola produksi susu, namun sulit diketahui
secara pasti kontribusi setiap komponen dari
kedua faktor genetik dan lingkungan tersebut.
Untuk memperoleh informasi cukup akurat,
maka
diperlukan
lebih
banyak
data
pengamatan yang tentunya memerlukan
periode pengumpulan data lebih lama atau
dengan memperluas lokasi penelitian yang
sudah melakukan pencatatan produktivitas
secara baik dan konsisten.

DAFTAR PUSTAKA
AGEEB, A.G. and J.F. HAYES. 2000. Genetic and
environmental effects on the productivity of
Holstein-Friesian cattle under the climatic
conditions of Central Sudan. Tropical Animal
Health and Production. 32: 33 49.
ANGGRAENI, A. 2006. Productivity of HolsteinFriesian Dairy Cattle Maintained under Two
Systems in Banyumas District, Central Java,
Indonesia. Thesis Ph.D. Department of
Agriculture, University of Newcastle upon
Tyne, United Kingdom.
ANSHELL, R.H. 1976. Maintaining European dairy
cattle in the Near East. World Animal Review.
20: 73 79.
COMBELASS, J., N. MARTINEZ and M. CAPRILES.
1981. Holstein cattle in tropical areas of
Venezuela. Trop. Anim. Prod. 6:3, pp. 214
220.
DEVENDRA, C. 2001. Smallholder dairy production
systems
in
developing
countries:
characteristic, potential and opportunities for
improvement. Review. Asian-Aust. J. Anim.
Sci. 14(1): 104 113.
DJEMALI, M. and P.J. BERGER. 1992. Yield and
reproduction characteristics of Friesian cattle
under North African conditions. J. Dairy Sci.
75: 3568 3575.
ENTING, H., D. KOOJI, A.A. DIJKHUIZEN, R.B.M.
HUIRNE and E.N. NOORDHUIZEN-STASSES.
1997. Economic losses due to clinical
lameness in dairy cattle. Livestock Production
Science. 49: 259 267.
KAYA, I., C. UZMAY, A. KAYA and Y. AKBAS. 2003.
Comparative analysis of milk yield and
reproductive traits of Holstein-Friesian cows
born in Turkey or imported from Italy and
kept on farms under the Turkish-ANAFI
project. Ital. J. Anim. Sci. 2: 141 150.
LAFI, S.Q., F.A. ODEH, Q.H. NABIL and A.R.F.
MAHMOUD.
1995.
Reproductive
and
production performance of Friesian dairy
cattle in Jordan. Prev. Vet. Med. 22: 227
234.
MAKUZA, S.M. and B.T. MCDANIEL. 1996. Effects
of days dry, previous days open, and current
days open on milk yields of cows in
Zimbabwe and North Carolina. J. Dairy Sci.
79: 702 709.

165

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007

MARAI, F.M., A.A.M. HABEEB and H.M. FARGHALY.


1999.
Productive,
physiological
and
biochemical changes in imported and locally
born Friesian and Holstein lactating cows
under hot summer conditions of Egypt. Trop.
Anim. Health Prod. 31: 233 243.
MASAMA, Y.N., M.J. BRYANT, I.B. RUTAM, F.N.
MINJA and L. ZYLSTRA. 2003. Effect of
environmental factors and of the proportion of
Holstein blood on the milk yield and lactation
length of crossbred dairy cattle on
smallholders farms in North-east Tanzania.
Trop. Anim. Health Prod. 32: 23 31.
MAO, I.L., J.W. WILTON and E.B. BURNSHIDE. 1974.
Parity in age adjustment for milk and fat
yields. J. Dairy Sci. 57: 100 104.
OSEI, S.A., K. EFFAH-BAAH and P. KARIKARI. 1991.
The reproductive performance of Friesian
cattle bred in the hot humid forest zone of
Ghana. World Animal Review. FAO. Rome.
RAY, D.E., T.J. HALBACH and D.V. ARMSTRONG.
1992. Season and lactation number effects on
milk production and reproduction of dairy
cattle in Arizona. J. Dairy Sci. 75: 2976
2983.

166

SYRSTAD, O. 1990. Dairy cattle crossbreeding in the


tropics: the importance of genotype x
environment interaction. Liv. Prod. Sci. 24:
109 118.
TADESSE, M. and T. DESSIE. 2003. Milk production
performance of Zebu, Holstein Friesian and
their crosses in Ethiopia. Livestock Research
for Rural Development.15 (3). http://www.
cipac.org.co./lrrd/lrrd15/3/Tadel153.htm. (5
Nopember 2004).
TEKERLI, M. and M. GNDOAN. 2005. Effect of
certain factors on productive and reproductive
efficiency traits and phenotypic relationships
among these traits and repeatabilities in West
Anatolian Holsteins. Turk. J. Vet. Anim. Sci.
29: 17 22.
WICKS, H.F.C. and J.D. LEAVER. 2002. Influence of
Genetic merit on 305-day milk production of
dairy cattle on commercial farms at the three
levels of feeding. Proc. of the British Society
of Animal Science. Abstract.
WILKINS, J.V., G. PEREYRA, A. ALI and S. AYOLA.
1979. Milk production in the tropical lowlands
of Bolivia. World Animal Review (FAO) 32:
25 32.

Anda mungkin juga menyukai