Anda di halaman 1dari 10

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tuberkulosis
2.1.1. Definisi
Penyakit TB adalah penyakit yang tergolong dalam infeksi menular yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Kasus TB terbanyak
menyerang paru sehingga disebut dengan tuberkulosis paru meskipun TB bisa
juga menyerang bagian atau organ tubuh yang lain.

2.1.2. Epidemiologi
Di seluruh dunia TB menyerang 10 juta orang dan menyebabkan 3 juta
kematian setiap tahun. Di negara maju, TB jarang terjadi yaitu menyerang kirakira 1 per 10.000 populasi. TB paru paling sering menyerang masyarakat di Asia
yakni di Cina dan India Barat.

Transmisi melalui udara dan kontak dekat

menyebarkan penyakit ini. Orang usia lanjut, orang yang malnutrisi atau orang
dengan penekanan sistem imun (infeksi HIV, diabetes melitus, terapi
kortikosteroid, alkoholisme, intercurrent lymphoma) lebih mudah terkena.
Perbaikan keadaan rumah dan malnutrisi mengurangi insidensi (Jane, 2002).

2.1.3 . Faktor Risiko


Beberapa faktor risiko untuk menderita TB adalah:
1. Jenis kelamin.
Penyakit TB dapat menyerang laki-laki dan perempuan. Hampir
tidak ada perbedaan di antara anak laki dan perempuan sampai
pada umur pubertas .
2. Status gizi.
Telah terbukti bahwa malnutrisi akan mengurangi daya tahan tubuh
sehingga akan menurunkan resistensi terhadap berbagai penyakit
termasuk TB. Faktor ini sangat berperan pada negara-negara
miskin dan tidak mengira usia (Croft, 2002).

Universitas Sumatera Utara

3. Sosioekonomi.
Penyakit TB lebih banyak menyerang masyarakat yang berasal dari
kalangan sosioekonomi rendah. Lingkungan yang buruk dan
permukiman yang terlampau padat sangat potensial dalam
penyebaran penyakit TB (Croft, 2002).
4. Pendidikan.
Rendahnya

pendidikan

seseorang

penderita

TB

dapat

mempengaruhi seseorang untuk mencari pelayanan kesehatan.


Terdapat

beberapa

penelitian

yang

menyimpulkan

bahwa

seseorang yang mempunyai pendidikan rendah akan berpeluang


untuk mengalami ketidaksembuhan 5,5 kali lebih besar berbanding
dengan orang yang mempunyai tingkat pendidikan yang lebih
tinggi (Croft, 2002).
5. Faktor-faktor Toksis.
Merokok, minuman keras, dan tembakau merupakan faktor penting
dapat menurunkan daya tahan tubuh (Nelson, 1995).

2.1.4. Penegakan Diagnosis


Untuk menegakan diagnosis pertama sekali adalah dengan melakukan
anamnesis mengenai ada tidak gejala-gejala TB. Gejala Umum berupa batuk terus
menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih. Gejala lain yang sering
dijumpai adalah dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas dan rasa nyeri
dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak
badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam meriang
lebih dari satu bulan.

Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan
konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris),
badan kurus atau berat badan menurun.

Universitas Sumatera Utara

Tempat kelainan lesi TB yang perlu dicurigai adalah bagian apeks paru. Bila
dicurigai infiltrat yang agak luas, maka akan didapatkan perkusi yang redup dan
auskultasi nafas bronkial. Akan didapatkan juga suara nafas tambahan berupa
ronkhi basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan
pleura, suara nafasnya menjadi vesikular melemah (Amin, 2006).

Pemeriksaan Penunjang
Terdapat beberapa uji untuk menegakkan diagnosis TB yaitu:
Tuberkulin skin test
Uji ini dilakukan dengan menginjeksikan secara intracutaneous 0.1ml
Tween-stabilized liquid PPD (Purified Protein Derivative) pada bagian
punggung atau dorsal dari lengan bawah. Dalam waktu 48 72 jam,
area yang menonjol (indurasi), bukan eritema, diukur. Ukuran tes
Mantoux ini sebesar 5 mm diinterpretasikan positif pada kasus-kasus:
1.

Individu yang memiliki atau dicurigai terinfeksi HIV (Human


Immunodeficiency Virus).

2. Memiliki kontak yang erat dengan penderita TB yang infeksius.


3. Individu dengan rontgen dada yang abnormal yang mengindikasikan
gambaran proses penyembuhan TB yang lama, yang sebelumnya tidak
mendapatkan terapi OAT yang adekuat.
4. Individu yang menggunakan narkoba dan status HIV yang tidak
diketahui.
Ukuran 10 mm uji tuberkulin, dianggap positif biasanya pada kasus-kasus
seperti :
1.

Individu dengan kondisi kesehatan tertentu kecuali penderita HIV.

2.

Individu yang menggunakan narkoba (jika status HIV negatif).

3.

Tidak

mendapatkan pelayanan kesehatan, populasi dengan

pendapatan yang rendah, termasuk kelompok ras dan etnik yang


berisiko tinggi.
4.

Anak kecil yang berusia kurang dari 4 tahun.

Universitas Sumatera Utara

Uji ini sekarang sudah tidak dianjurkan dipakai karena uji ini hanya
menunjukkan ada tidaknya antibodi anti TB pada seseorang, sedangkan menurut
penelitian, 80% penduduk Indonesia sudah pernah terpapar antigen TB, walaupun
tidak bermanifestasi, sehingga akan banyak memberikan false positif (Amin,
2006).
Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis juga diperlukan untuk membantu penegakan
diagnosis.
1.

Adanya infeksi primer digambarkan dengan nodul terkalsifikasi


pada bagian perifer paru dengan kalsifikasi dari limfe nodus hilus.

2.

Sedangkan proses reaktifasi TB akan memberikan gambaran :


a. Nekrosis.
b. Kavitasi (terutama tampak pada foto posisi apical lordotik).
c. Fibrosis dan retraksi region hilus.
d. Bronchopneumonia.
e. Infiltrate interstitial.
f. Pola milier.
g. Gambaran diatas juga merupakan gambaran dari TB primer
lanjut.

3. TB pleura memberikan gambaran efusi pleura yang biasanya terjadi


secara massif.
4. Aktivitas dari kuman TB tidak bisa hanya ditegakkan hanya dengan 1
kali pemeriksaan rontgen dada, tapi harus dilakukan serial rontgen
dada. Tidak hanya melihat apakah penyakit tersebut dalam proses
progesi atau regresi (Amin, 2006).
Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting, karena dengan ditemukannnya
kuman BTA, diagnosis TB sudah dapat dipastikan. Kriteria BTA positif
adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada
satu sediaan (Amin, 2006).

Universitas Sumatera Utara

2.1.5. Pengobatan
Pengobatan TB Kriteria I (Tidak pernah terinfeksi, ada riwayat kontak,
tidak menderita TB) dan II (Terinfeksi TB/test tuberkulin (+), tetapi tidak
menderita TB (gejala TB tidak ada, radiologi tidak mendukung dan bakteriologi
negatif) memerlukan pencegahan dengan pemberian INH (Isoniazid) 510
mg/kgbb/hari.
1. Pencegahan (profilaksis) primer:
Anak yang kontak erat dengan penderita TB BTA (+) mendapat INH
minimal 3 bulan walaupun uji tuberkulin memberi hasil negatif. Terapi
profilaksis dihentikan bila hasil uji tuberkulin ulang menjadi negatif atau
sumber penularan TB aktif sudah tidak ada.
2. Pencegahan (profilaksis) sekunder:
Anak dengan infeksi TB yaitu uji tuberkulin (+) tetapi tidak ada gejala
sakit.
Profilaksis diberikan selama 6-9 bulan.
Obat yang digunakan untuk TB digolongkan atas dua kelompok yaitu :
i. Obat primer : INH, Rifampisin, Etambutol, Streptomisin, Pirazinamid.

Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang masih dapat


ditolerir, sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat
ini. Dosis OAT dapat dilihat pada table 2.2.
ii. Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin,

Kapreomisin dan Kanamisin.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 1. Dosis obat antituberkulosis (OAT)


Obat

INH

Dosis harian

Dosis 2x/minggu

Dosis 3x/minggu

(mg/kgbb/hari)

(mg/kgbb/hari)

(mg/kgbb/hari)

5-15 (maks 300 mg)

Rifampisin

10-20

(maks.

15-40 (maks. 900 15-40


mg)

(maks.

900

(maks.

600

mg)

600 10-20 (maks. 600 15-20

mg)

mg)

mg)

Pirazinamid

15-40 (maks. 2 g)

50-70 (maks. 4 g)

15-30 (maks. 3 g)

Etambutol

15-25 (maks. 2,5 g)

50 (maks. 2,5 g)

15-25 (maks. 2,5 g)

Streptomisin

15-40 (maks. 1 g)

25-40 (maks. 1,5 g) 25-40 (maks. 1,5 g)

Pengobatan TB pada orang dewasa


1. Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol
setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan
rifampisin tiga kali dalam seminggu (tahap lanjutan).
Diberikan kepada:
i. Penderita baru TB paru BTA positif.
ii. Penderita TB ekstra paru (TBC di luar paru-paru) berat.

2. Kategori 2 : HRZE/5H3R3E3
Diberikan kepada:
i. Penderita kambuh.
ii. Penderita gagal terapi.
iii. Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat.
3. Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3
Diberikan kepada:
i. Penderita BTA (+) dan rontgen paru mendukung aktif.

Universitas Sumatera Utara

Pengobatan TB pada anak


Adapun dosis untuk pengobatan TBC jangka pendek selama 6 atau 9 bulan, yaitu:
1. 2HR/7H2R2 :
INH+Rifampisin setiap hari selama 2 bulan pertama, kemudian INH
+Rifampisin setiap hari atau 2 kali seminggu selama 7 bulan
(ditambahkan Etambutol bila diduga ada resistensi terhadap INH).
2. 2HRZ/4H2R2
INH+Rifampisin+Pirazinamid: setiap hari selama 2 bulan pertama,
kemudian INH+Rifampisin setiap hari atau 2 kali seminggu selama 4
bulan (ditambahkan Etambutol bila diduga ada resistensi terhadap INH).
Pengobatan TBC pada anak-anak jika INH dan rifampisin diberikan
bersamaan, dosis maksimal perhari INH 10 mg/kgbb dan rifampisin 15
mg/kgbb.
TB tidak berat
INH

: 5 mg/kgbb/hari

Rifampisin : 10 mg/kgbb/hari

a) TB berat (milier dan meningitis TBC)


INH

: 10 mg/kgbb/hari

Rifampisin : 15 mg/kgbb/hari
Prednison

: 1-2 mg/kgbb/hari (maks. 60 mg)

2.1.6. Permasalahan DOTS


Sejak 1995 program Pemberantasan Penyakit TB di Indonesia mengalami
perubahan manajemen operasional dengan penyesuaian pada strategi global yanng
direkomendasikan oleh WHO. Langkah ini dilakukan untuk menindaklanjuti
Indonesia WHO joint Evaluation dan National Tuberculosis Programme in
Indonesia pada April 1994. Dalam program ini prioritas ditujukan pada
peningkatan mutu pelayanan dan penggunaan obat yang rasional untuk
memutuskan rantai penularan serta mencegah meluasnya resistensi kuman TB di

Universitas Sumatera Utara

masyarakat. Program ini dilakukan dengan cara mengawasi pasien dalam menelan
obat setiap hari,terutama pada fase awal pengobatan.
Strategi DOTS pertama kali diperkenalkan pada tahun 1996 dan telah
diimplementasikan secara meluas dalam sistem pelayanan kesehatan masyarakat.
Sampai dengan tahun 2001, 98% dari populasi penduduk dapat mengakses
pelayanan DOTS di puskesmas. Strategi ini diartikan sebagai "pengawasan
langsung menelan obat jangka pendek oleh pengawas pengobatan" setiap hari.
Indonesia adalah negara high burden, dan sedang memperluas strategi
DOTS dengan cepat, karenanya baseline drug susceptibility data akan menjadi
alat pemantau dan indikator program yang amat penting. Berdasarkan data dari
beberapa wilayah, identifikasi dan pengobatan TB melalui Rumah Sakit mencapai
20-50% dari kasus BTA positif, dan lebih banyak lagi untuk kasus BTA negatif.
Jika tidak bekerja sama dengan Puskesmas maka banyak pasien yang didiagnosis
oleh Rumah Sakit (RS) memiliki risiko tinggi dalam kegagalan pengobatan, dan
mungkin menimbulkan kekebalan obat.
Akibat kurang baiknya penanganan pengobatan penderita TB dan lemahnya
implementasi strategi DOTS. Penderita yang mengidap BTA yang resisten
terhadap OAT akan menyebarkan infeksi TBC dengan kuman yang bersifat multidrugs resistant (MDR).

2.2. Putus dari Pengobatan OAT


2.2.1. Faktor Risiko Putus dari Pengobatan OAT
Menurut penelitian kohort yang dilakukan Rio (2008) terdapat beberapa
faktor risiko yang menyebabkan terjadinya putus dari pengobatan OAT
yaitu:
a. Rendahya status ekonomi berdasarkan penghasilan yang diperoleh
kepala keluarga. Pasien putus pengobatan kebanyakan berasal dari
keluarga yang mempunyai penghasilan yang rendah. Hal ini terjadi
karena mereka tidak mempunyai kenderaan dan tidak mampu untuk
menyediakan biaya untuk berobat ke rumah sakit (Rio, 2008).

Universitas Sumatera Utara

b. Rendahnya tingkat pendidikan. Didapati bahwa pasien yang tidak pandai


membaca sulit untuk mengakses informasi yang diberikan oleh
pelayanan kesehatan. Hal ini juga turut berhubungan dengan rendahnya
ekonomi dan menyebabkan pasien putus dari pengobatan OAT (Rio,
2008).
c. Stigma sosial yang menyebabkan pasien merasa malu sekiranya orang
disekeliling tahu bahwa mereka menderita TB dan memilih untuk
berobat di tempat yang jauh dari tempat tinggal mereka. Kondisi jarak
yang jauh menyebabkan terjadinya ketidakberaturan berobat dan
menyebabkan mereka malas untuk meneruskan pengobatan OAT (Rio,
2008).
d. Jantina.Masih tidak dapat dikenal pasti hubungan jantina dengan faktor
putus berobat, namun pria lebih sering putus berobat berbanding wanita
(Rio, 2008).

2.2.2. Alasan Putus dari Pengobatan OAT


Studi Kasus Hasil Pengobatan Tuberkulosis Paru di 10 Puskesmas di DKI
(Departemen Kesihatan Indonesia) Jakarta pada tahun 1996-1999 menunjukkan
bahwa kasus putus pengobatan OAT adalah cukup besar yakni sebanyak 20,4%
(53 kasus) dari 220 kasus. Alasan putus pengobatan OAT dapat dilihat pada tabel
2.3.
Tabel 2. Alasan kasus putus dari pengobatan OAT
No.

Alasan

Kasus (%)

1.

Pasien tidak kembali

69,8

2.

Spesimen ulangan tidak dikirim

11,3

3.

Penderita bosan berobat

5,3

4.

Efek samping OAT

5,3

5.

Meninggal

5,3

6.

Pindah berobat

3,0

Universitas Sumatera Utara

Alasan drop out terutama (69,8%) adalah pasien tidak kembali untuk
kunjungan ulang (follow up); antara lain karena pulang kampung tanpa
pemberitahuan sebelumnya. Terdapat 3 pasien (5,3%) yang tidak melanjutkan
terapi karena bosan selain terdapat 3 pasien yang meninggal karena sepsis dan
hepatitis (Gitawati, 2002) .

2.2.3. Efek Putus Pengobatan OAT


Putus pengobatan OAT menimbulkan beberapa implikasi seperti:
1. Multidrugs-Resistent in Tuberculosis (MDR-TB)
Keadaan ini terjadi apabila pasien tidak mengambil obat sesuai dengan
yang diresepkan oleh dokter. Hal ini menyebabkan kuman TB resisten
terhadap antibiotik yang diberikan sebelumnya sehingga antibiotik
tersebut tidak lagi dapat membunuh kuman TB. MDR-TB biasanya terjadi
pada pasien yang :
(a) terinfeksi dengan seseorang yang telah mengalami MDR-TB.
(b) ketidakberaturan minum obat.
(c) putus pengobatan sebelum kuman TB dibasmi.
(d) pasien yang relaps setelah mendapat pengobatan TB.
Kadangkala kuman TB resisten terhadap lebih dari satu antibiotik. Untuk
menangani kasus MDR-TB dibutuhkan obat lain selain obat standar
pengobatan TB yaitu obat fluorokuinolon seperti siprofloksasin, ofloxacin,
atau levofloxacin. Sangat disayangkan bahwa obat ini tidak dianjurkan
pada anak dalam masa pertumbuhan (Felton, 2005).
2. Kematian
Menurut Rio (2008), pengobatan yang tidak komplit merupakan faktor
risiko yang terpenting yang menyebabkan kematian pada penyakit TB.
Pada penelitian yang dijalankan oleh Rio de Janeiro pada tahun 2007, dari
320 pasien yang meninggal sebanyak 18.2% adalah pasien yang putus dari
pengobatan OAT yang sebelumnya.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai